Bab 2 Tinjauan Pustaka

36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangunan Penyadap (Intake) Bangunan ini berfungsi sebagai penyadap/pengambil air baku. Intake dilengkapi dengan screen agar dapat melindungi perpipaan dan pompa dari kerusakan atau penyumbatan yang diakibatkan oleh adanya material melayang atau terapung. 2.1.1. Faktor- Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Perencanaan Intake Dalam perencanaan Intake, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: a. Intake sebaiknya terletak ditempat dimana tidak ada aliran yang deras yang dapat membahayakan intake, sehingga mengakibatkan terputusnya pengaliran air baku untuk air minum. b. Tanah disekitar intake harus cukup stabil dan tidak gampang erosi. c. Aliran air yang menuju intake harus bebas dari hambatan dan gangguan. d. Intake sebaiknya dibawah permukaan sungai atau danau untuk terjaminnya air yang cukup dingin dan mencegah masuknya benda terapung. Tetapi harus dijaga agar inlet tidak terlalu berada di dasar karena bisa saja lumpur di dasar sungai ikut terbawa ke inlet. e. Untuk menghindari dari kontaminasi, intake seharusnya terletak cukup jauh dari sumber kontaminasi f. Intake sebaiknya terletak di hulu sungai.

description

tpam

Transcript of Bab 2 Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bangunan Penyadap (Intake)

Bangunan ini berfungsi sebagai penyadap/pengambil air baku. Intake

dilengkapi dengan screen agar dapat melindungi perpipaan dan pompa dari

kerusakan atau penyumbatan yang diakibatkan oleh adanya material melayang atau

terapung.

2.1.1. Faktor- Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Perencanaan Intake

Dalam perencanaan Intake, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Intake sebaiknya terletak ditempat dimana tidak ada aliran yang deras yang

dapat membahayakan intake, sehingga mengakibatkan terputusnya pengaliran

air baku untuk air minum.

b. Tanah disekitar intake harus cukup stabil dan tidak gampang erosi.

c. Aliran air yang menuju intake harus bebas dari hambatan dan gangguan.

d. Intake sebaiknya dibawah permukaan sungai atau danau untuk terjaminnya air

yang cukup dingin dan mencegah masuknya benda terapung. Tetapi harus

dijaga agar inlet tidak terlalu berada di dasar karena bisa saja lumpur di dasar

sungai ikut terbawa ke inlet.

e. Untuk menghindari dari kontaminasi, intake seharusnya terletak cukup jauh dari

sumber kontaminasi

f. Intake sebaiknya terletak di hulu sungai.

g. Intake sebaiknya dilengkapi dengan saringan (screen). Ujung pipa pengambilan

yang berhubungan dengan pompa sebaiknya juga diberi saringan (strainer)

h. Untuk muka air yang berfluktuasi, inlet yang ke sumur pengumpul sebaiknya

dibuat beberapa level.

i. Jika fluktuasi muka air musim kemarau dan musim penghujan terlalu besar dan

sungai menjadi hampir kering di musim kemarau. Air dapat ditampung dengan

membuat weir kecil memotong sungai.

j. Jika permukaan air sungai konstan dan tebing terendam, maka intake dapat

dibuat di dekat sungai. Dalam keadaan ini air dialirkan ke pipa yang dilewatkan

horizontal. Dalam hal ini inlet juga sebaiknya dilindungi dengan saringan kasar

(overscreen) atau strainer.

Page 2: Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1.2. Jenis-Jenis Intake

Jenis intake yang digunakan untuk perencanaan ini adalah:

River Intake

Biasanya berbentuk sumur pengumpul dengan pipa penyadap. lebih ekonomis

untuk air sungai yang memiliki level permukaan air musim hujan dan kemarau

yang cukup tinggi.

Gambar 2.1 River Intake

2.1.3. Bagian-Bagian Intake

Intake mempunyai bagian-bagian sebagai berikut:

1. Bell Mouth Strainer

o Kecepatan melalui lubang strainer 0,15 – 0,3 m / dt.

Disarankan untuk kecepatan mendekati nilai terendah untuk mencegah masuknya

kotoran.

o Diameter Strainer 6 – 12 mm.

o Luas total permukaan strainer = 2 kali luas efektif (Luas total dari lubang-

lubang)

2. Intake Well (Sumuran)

Untuk memudahkan pemeliharaan (maintenance) sebaiknya dibuat 2

sumuran atau lebih.

Waktu detensi sebaiknya 20 menit atau sumuran harus cukup besar untuk

menjaga kebersihan air.

Dasar dari sumuran sebaiknya 1 m dibawah dasar sungai atau 1,5 m di

bawah muka air terendah.

Ketinggian foot valve sebaiknya kurang dari 0,6 m dari dasar sumuran.

Page 3: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Sumuran sebaiknya rapat air dan terbuat dari beton. Tebal dinding

sebaiknya 20 cm atau lebih kecil.

Sumuran sebaiknya cukup kuat untuk melawan uplift pressure.

3. Suction pipe dari Low Lift Pump (Suction pipe untuk pemompaan)

Kecepatan dari pipa sebaiknya 1 – 1,5 m/dt.

Perbedaan ketinggian antara muka air terendah dengan pusat pompa

sebaiknya tidak lebih dari 3,7 m.

Jika permukaan pompa lebih tinggi dari LWL, maka jarak suction sebaiknya

kurang dari 4 m.

Lokasi pompa yang terletak dibawah LWL dengan “floaded suction line“ lebih

disukai dan kadang-kadang cukup ekonomis.

4. Pipa Backwashing (untuk membersihkan foot valve atau strainer)

Kecepatan pipa sebaiknya tidak lebih dari 3 m/dt.

Dipakai air yang telah diolah.

Kuantitas air untuk backwash sebaiknya 1/3 dari aliran

dalam suction pipe.

2.1.4. Pompa Intake

Dalam perencanaan pompa intake, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

yaitu:

Fluktuasi level air sungai.

Kandungan padatan air sungai.

Besar arus sungai.

Kondisi fisik sungai.

Pompa yang di gunakan pada perencanaan ini adalah pipa:

Pompa Sentrifugal Submersible.

Biasa digunakan untuk sistem intake tidak langsung, karena pompa

dilindungi dengan bangunan permanen.

Aliran stabil sehingga pengaruh aliran relatif kecil.

NPSH tidak terlalu menjadi masalah karena pompa terendam air.

Pompa submersible harus terendam air sampai ketinggian tertentu dari

level air sungai terendah. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat

mencegah terjadinya pusaran air jika ketinggiannya melebihi batas yang

disyaratkan. Pusaran air dapat menyebabkan masuknya udara ke

Page 4: Bab 2 Tinjauan Pustaka

dalam pompa dan terjadi kavitasi. Pompa ini sebaiknya dilengkapi

dengan switch level pada level tertentu, sehingga bila pompa tidak

terendam air maka pompa akan mati secara otomatis.

Penempatan pompa harus pada tempat permanen agar tidak

dipengaruhi oleh arus sungai bahkan sampai terbawa arus sungai dan

peletakannya di bawah level air terendah.

Level air yang berubah-ubah menyebabkan perubahan pada

karakteristik pompa.

Pompa sistem ini agak sukar dalam pemeliharaan dan harganya cukup

mahal.

Untuk perhitungan intake,

Debit tiap pipa = …………….....................(2.1)

Kecepatan dalam pipa ...................................(2.2)

Debit tiap sumuran = …………………(2.3)

Luas sumur = A = ……………………….......……..(2.4)

Dimensi tiap pipa

Persamaan Hazen Williams

dimana:

L : panjang pipa (m)

Hf : head loss/ head mayor sepanjang pipa lurus (m)

D : diameter pipa (m)

Q : debit aliran (l/s)

C : koefisien Hazen Williams

(besarnya tergantung jenis pipa yang digunakan)

2.2. Prasedimentasi

2.2.1. Umum

Bangunan prasedimentasi dapat dibagi atas empat zona atau ruang, yaitu:

Q 1,85 Hf = x L .......(2.5) 0,00155 x C x D2,63

Page 5: Bab 2 Tinjauan Pustaka

a. Zona Inlet, sebagai tempat memperhalus transisi aliran dari aliran influent ke

aliran steady uniform di zona pengendapan.

b. Zona Outlet, sebagai tempat memperhalus transisi dari settling zone ke aliran

effluent.

c. Zone Lumpur, sebagai tempat menampung material yang diendapkan yang

berupa lumpur endapan.

d. Zone Pengendapan, sebagai tempat berlangsungnya proses pengendapan

(pemisahan) partikel dari air baku, sehingga harus bebas dari pengaruh

ketiga zone lainnya.

Gambar 2.2 Prasedimentasi

2.2.2. Faktor Desain

Faktor desain pada bangunan prasedimentasi adalah:

1. Waktu detensi (td)

Lama waktu pengendapan disesuaikan dengan kondisi bak

prasedimentasi.

Rumus: td = ....................................................(2.6)

dimana: td = waktu detensi (det)

V = volume bak (ms

2. Overflow Rate

Overflow rate dipengaruhi oleh surface area, semakin besar surface area,

maka kecepatan pengendapan akan semakin cepat dan efisien semakin

baik

Rumus: ........................................(2.7)

bd

c

a

Page 6: Bab 2 Tinjauan Pustaka

......................................(2.8)

dimana: So = overflow rate

As = surface area

Q = debit

Xr = efisiensi penyisihan partikel

Vs = kecepatan pengendapan

3. Efisiensi removal partikel diskrit (Xt)

.................................................... (2.9)

dimana: Xt = Efisiensi removal

Xo = Fraksi berat yang tersisa

dxi = Fraksi berat

Vxi = Kecepatan pengendapan untuk tiap fraksi

Vs = Kecepatan pengendapan

4. Diameter Partikel

d = .............................................................(2.10)

dimana: d = Diameter partikel (m)

Vs= Kecepatan pengendapan (m/dt)

υ = Viskositas kinematik air

Ss= Spesific gravity partikel

g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)

5. Bilangan Reynolds

Perhitungan ini digunakan untuk mengontrol kondisi aliran dalam

bangunan agar laminer.

NRe = .......................................................................(2.11)

dimana: NRe = Bilangan Reynolds

VH = Kecepatan aliran horizontal

R = Jari-jari hidrolis

υ = Viskositas kinematik air

Page 7: Bab 2 Tinjauan Pustaka

6. Bilangan Froude

Perhitungan ini digunakan untuk mengontrol terjadinya aliran pendek.

NFR = ......................................................................(2.12)

dimana: NFR = Bilangan froude

VH = Kecepatan aliran horizontal

R = Jari-jari hidrolis

g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt)

7. Kecepatan Penggerusan

Perhitungan ini digunakan untuk mengontrol agar tidak terjadi

penggerusan lumpur yang telah terkumpul.

...................................................(2.13)

dimana: Vs = Kecepatan penggerusan (m/dt)

k = Faktor koreksi porositas (0,02 – 0,12)

Ss = Spesific gravity partikel (2,65)

g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)

f = Faktor friksi hidrolik (0,02)

d = Diameter partikel

8 Headloss pada inlet

Q = Cd. A.

dimana: Q = Debit inlet (m3/dt)

Cd = Koefisien discharge

A = Luas orifice (m2)

g = Percepatan gravitasi (m/dt2)

hf = Headloss (m)

maka,

hf = ...................................(2.14)

2.3. Bangunan Pembubuh Koagulan

2.3.1. Umum

Bangunan pembubuh bahan kimia (koagulan) diperlukan untuk

membubuhkan bahan kimia yang digunakan untuk menurunkan kekeruhan dimana

larutan koagulan (bahan kimia) akan diinjeksikan dengan pompa dosing ke saluran

yang menuju bangunan pengaduk cepat (flash mix) untuk didispersikan pada air

Page 8: Bab 2 Tinjauan Pustaka

baku. Jenis koagulan ada bermacam-macam dan dipilh berdasarkan kualitas air

bakunya. Alum adalah koagulan yang yang populer khususnya untuk air permukaan

(sungai). Disamping efektif, Alum juga mudah diperoleh dipasaran sebagai tawas

dengan kadarnya kurang lebih 60% karena berbentuk padat, sehingga untuk

membubuhkannya, terlebih dahulu dilarutkan dalam air.

2.3.2. Kriteria desain

Kriteria desain untuk pembubuh koagulan adalah sebagai berikut:

1. alum mengandung (15-22)% Al2O3

2. dosis tawas 60 mg/l (berdasarkan jartest)

3. konsentrasi larutan (3-7)%

4. kerapatan jenis tawas yang bverbentuk powder (0.6-0.7)kg/l

5. bak pembubuh dilengkapi dengan pipa pembubuh

6. pengadukan/pelarutan dilakukan dengan motor pengaduk

7. periode pelarutan maksimum 8 jam

8. jumlah bak maksimum 2 bak

Rumus yang digunakan:

Kebutuhan total alum murni = dosis alum x debit.......................(2.15)

Volume alum = ...............................................(2.16)

Daya motor untuk menggerakkan impeller (P) :

P = ..............................................................(2.17)

Diameter impeller (Dt) :

P= Dt5 = ................................(2.18)

Lebar paddle (Wt) :Dt/Wt = 4.....................................................................................(2.19)

Jarak paddle dari dasar bak (Sp)

Sp = 0,5(Dt)................................................................................(2.20)

Cek NRe aliran: Nre .............................................(2.21)

Sedangkan untuk menginjeksi koagulan yang sudah dilarutkan digunakan

pompa dosing (dosing-pump), yang termasuk jenis reciprocating. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam merencanakan pompa dosing adalah sebagai berikut:

a. tekanan pompa dosing

b. kapasitas pompa dosing dan kapasitas bahan kimia yang diinjeksikan

Page 9: Bab 2 Tinjauan Pustaka

c. jenis zat kimia yang diinjeksikan

Rumus yang digunakan:

Daya pompa dosing (P) :

...............................................(2.22)

2.4. PENGADUK CEPAT (FLASH MIX)

2.4.1. Umum

Bangunan pengaduk cepat (flash mix) digunakan untuk proses koagulasi

yang merupakan awal untuk pengendapan partikel-partikel koloid yang terdapat

dalam air baku. Partikel koloid sangat halus dan sulit untuk diendapkan tanpa proses

pengolahan lain (plain sedimentation). Adapun karakteristik dari partikel koloid

adalah sebagai berikut :

Sangat halus

Umumnya bermuatan listrik dimana partikel anorganik memiliki muatan positif

sedangkan partikel organik bermuatan negatif.

Koloid dapat digolongkan atas hydrophobic (sukar bereaksi dengan air) dan

hydrophilic (mudah bereaksi dengan air).

Karena sifat partikel yang sangat halus, maka ukuran partikel koloid harus diperbesar

dengan menggabungkan partikel-partikel koloid tersebut melalui proses koagulasi

dan flokulasi sehingga mudah untuk mengendapkannya.

Koagulasi adalah proses pengadukan cepat dengan pembubuhan bahan

kimia/koagulan yang berfungsi untuk mengurangi gaya tolak-menolak antar partikel

koloid kemudian bergabung mmbentuk flok-flok. Pengaduk cepat digunakan dalam

proses koagulasi, karena:

Untuk melarutkan koagulan dalam air.

Untuk mendistribusikan koagulan secara merata dalam air.

Untuk menghasilkan partikel-partikel halus sebagai inti koagulasi (coagulating

agent) sebelum reaksi koagulan selesai.

Proses pengadukan cepat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Pengadukan mekanis

Adalah membuat aliran turbulen dengan tenaga penggerak motor dimana bak

pengaduk dilengkapi dengan peralatan mekanis, seperti:

Paddle dengan putaran 2 – 150 rpm

Turbine dengan putaran 10 – 150 rpm

Propeller dengan putaran 150 – 1500 rpm

2. Pengaduk Hidrolis

Page 10: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Pengadukan cepat secara hidrolis dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan

kondisi alirannya, yaitu:

a. Open channel flow

Hydraulic jump mixer

Dengan lompatan air menggunakan drop atau tanpa drop pada

saluran sehingga dapat membentuk aliran superkritis.

Parshall flume

Sangat efektif untuk pengadukan cepat ketika hydraulic jump

digabung dekat downstream saluran.

Palmer Bowlus flume

Merupakan modifikasi dari parshall flume

Weir

Sangat efektif digunakan sebagai pengaduk cepat bila

kapasitasnya kecil.

b. Flow in pressure pipe

Hydraulic energy dissipitor

Turbulent flow pipe mixer

2.4.2. Prinsip Proses

1. Destabilisasi Partikel Koloid

Pada umumnya, paartikel koloid adalah penyebab kekeruhan yang

bersifat hydrophobic (bermuatan negatif). Agar terjadi penggabungan

diperlukan destabilisasi yang hanya dapat dicapai dengan penambahan

elektrolit yang bermuatan positif, sehingga diharapkan gaya tolak menolak

antar partikel dapat diperkecil. Selanjutnya diperlukan suatu gaya yang dapat

memperkecil jarak antar partikel, yakni dengan mengadakan tumbukan antar

partikel. Oleh karena itu, dalam proses koagulasi diperlukan turbulensi yang

cukup tinggi untuk meratakan koagulan keseluruh bagian zat cair dan

memungkinkan terbentuknya inti flok.

Proses destabilisasi sangat dipengaruhi oleh derajat hidrasi partikel

dan konsentrasi muatan. Bila konsentrasi muatan koloid kurang besar, maka

proses destabilisasi akan terhambat. Oleh karena itu, untuk memudahkannya

diperlukan tambahan partikel koloid baru yang dapat memperbesar muatan.

2. Pembentukan Mikroflok

Pada proses koagulasi, tahap destabilisasi partikel koloid dan

pembentukan mikroflok terjadi pada penambahan elektrolit positif Al3+ dari

Page 11: Bab 2 Tinjauan Pustaka

koagulan Al2(SO4)3. Didalam air, koagulan alum akan bereaksi ganda yakni

dissosiasi dan hidrolisa dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

Reaksi dissosiasi : Al2(SO4)3 2 Al 3+ + 3 SO42-

Reaksi hidrolisa : Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 3H2SO4

Dalam hal ini Al3+ berfungsi sebagai elektrolit positif penetral muatan negatif

partikel pada proses destabilisasi. Al(OH)3 merupakan presipitat sebagai inti

pembentuk mikroflok. Sesuai dengan konsep destabilisasi koloid, apabila

konsentrasi muatan partikel koloid kecil (kekeruhan rendah), maka penetralan

oleh Al3+ sulit terjadi. Untuk itu diperlukan penambahan zat bantu koagulasi

berupa material kekeruhan.

3. Proses koagulasi

Proses mixing atau pengadukan adalah proses dimana dua atau lebih

material dicampur untuk memperoleh derajat keseragaman yang diinginkan.

Proses mixing digunakan untuk menimbulkan kondisi turbulensi yang cukup

besar pada aliran. Pada proses pengadukan cepat memerlukan waktu yang

relatif cukup singkat, karena pada prinsipnya tujuan utam adari mixing adalah

mendispersikan zat-zat kimia. Dengan waktu pengadukan yang singkat,

maka volume pengadukan relatif kecil. Waktu mixing yang pendek

dikonversikan dengan meningkatnya gradien kecepatan (G).

2.4.3. Faktor-Faktor Desain

1. Gradien kecepatan (G)

Merupakan perbedaan kecepatan antara dua titik atau volume terkecil

fluida yang tegak lurus perpindahan. Gradien kecepatan berhubungan

dengan waktu pengadukan. Nilai G yang terlalu besar dapat mengganggu titik

akhir pembentukan flok.

Rumus: ..................................................................(2.23)

dimana: G = gradien kecepatan (det-1)

P = power pengaduk

μ = viskositas absolut

V = volume bak (m3)

Rumus lainnya: .........................................................(2.24)

dimana: y = densitas air

hf = kehilangan tekanan

Page 12: Bab 2 Tinjauan Pustaka

T = waktu detensi (td)

2. Waktu kontak (td)

Waktu kontak adalah nilai kontak antara partikel kimia dengan air

baku yang dipengaruhi oleh volume bak dan debit air baku.

Rumus: .................................................................(2.25)

Jumlah benturan partikel sebanding dengan nilai gradien kecepatan dan

waktu detensi (td).

3. Putaran rotasi pengaduk (n)

Rumus: ..............................................(2.26)

dimana: n = putaran rotasi pengaduk (rps)

P = power pengaduk

gc = kecepatan gravitasi

Dt = diameter pengaduk

γ = densitas air

Kt = konstanta pengaduk untuk turbulensi

4. Bilangan Reynolds

Bilangan Reynolds adalah bilangan untuk menentukan apakah aliran

itu laminer, turbulen atau transisi.

Rumus: ............................................................(2.27)

dimana: Nre = bilangan Reynolds

n = putaran rotasi pengaduk (rps)

dt = diameter pengaduk

γ = densitas air

μ = viskositas absolut

2.5. Pengaduk Lambat (Slow Mix)

2.5.1. Umum

Bangunan pengaduk lambat merupakaan tempat terjadinya flokulasi yaitu

proses yang bertujuan untuk menggabungkan flok-flok kecil yang titik akhir

pembentukannya terjadi di bak pengaduk cepat agar ukurannya menjadi lebih besar

sehingga cukup besar untuk dapat mengendapkan secara gravitasi.

Page 13: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Pengadukan lambat (agitasi dan stirring) digunakan dalam proses flokulasi,

karena:

1. Memberi kesempatan kepada partikel flok yang sudah terkoagulasi untuk

bergabung membentuk flok yang ukurannya semakin membesar.

2. Memudahkan flokulan untuk mengikat flok-flok kecil.

3. Mencegah pecahnya flok yang sudah terbentuk.

Proses agitasi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:

1. Cara Mekanis

Pengadukan dengan menggunakan alat-alat mekanis, yaitu paddle, turbin

atau impeller yang digerakkan secara mekanis dengan motor. Bentuk dan

cara kerjanya sama dengan alat mekanis yang digunakan pada pengadukan

cepat, hanya saja nilai gradien kecepatnnya jauh lebih kecil.

2. Cara Hidrolis

Baffle channel flocculator

Flokulator yang berbentuk saluran dan dilengkapi dengan baffle. Ada 2

jenis aliran yaitu aliran horizontal dan vertikal.

Hydraulic jet action flocculator

Sangat sesuai dengan pengolahan air minum debit kecil.

Gravel bed flocculator

Menggunakan media kerikil untuk membentuk flok dan sangat sesuai

untuk pengolahan air minum skala kecil.

Sistem Orifice

Menggunakan pipa-pipa orifice yang dipasang pada dinding-dinding

beton dimana pengadukan terjadi (diharapkan) melewati lubang-

lubang orifice tersebut.

Pada pengadukan lambat ini dimana titik akhir flok-flok yang telah terbentuk

karena proses koagulasi, diperbesar sehingga flok tersebut dapat bergabung dan

akan diendapkan dalam bak sedimentasi. Proses ini memanfaatkan ketidakstabilan

dari partikel-partikel koloid sehingga flok-flok tersebut dapat berikatan satu dengan

yang lain. Dua mekanisme yang penting dalam proses flokulasi ini adalah:

1. Perikinesis, dimana pengumpulan dihasilkan dari pengadukan lambat dalam

air dan sangat signifikan untuk partikel lebih kecil dari 1 – 2 mm.

2. Orthokinesis, berhubungan dengan gradien kecepatan (G), dimana dengan G

tertentu diharapkan terjadi pengadukan yang membantu pengumpulan flok

dan tidak menyebabkan flok-flok yang sudah terbentuk pecah.

Page 14: Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.5.2. Kriteria Perencanaan

Faktor-faktor yang berpengaruh pada flokulator sama dengan yang

berpengaruh pada bangunan flash mix, diantaranya yaitu:

1. Waktu detensi

2. Gradien kecepatan (G)

Rumus: Untuk baffle channel.................................(2.28)

dimana: v = viskositas kinematis

t = waktu detensi

g = percepatan gravitasi

h = headloss

Untuk pengaduk mekanis dengan paddle

...................................................(2.29)

dimana: Cd = koefisien drag (tergantung dari bentuk paddle dan arah aliran)

A = luas permukaan paddle

v = viskositas kinematis

v = kecepatan relatif paddle

V = Volume bak flokulasi

3. Headloss saluran (Hf)

Hf akibat belokan ............................................................(2.30)

dimana: k = konstanta empiris untuk belokan (1,5)

vb = kecepatan aliran (m/det)

g = percepatan gravitasi (m/det2)

4. Jumlah sekat/baffle (n) untuk around the end

.............................................(2.31)

dimana: n = jumlah sekat

H = kedalaman air (m)

L = panjang bak (m)

G = gradien kecepatan (det-1)

Q = debit (m3/det)

t = waktu fluktuasi (det)

μ = viskositas dinamis (kg/m.det)

Page 15: Bab 2 Tinjauan Pustaka

ρ = densitas air (kg/m3)

f = koefisien friksi dari sekat

w = lebar bak (m)

2.6. Sedimentasi

2.6.1. Umum

Bangunan sedimentasi berfungsi mengendapkan partikel-partikel flokulen

yang terbentuk pada proses koagulasi-flokulasi pada bak pengaduk cepat dan

lambat. Bentuk bangunan sedimentasi ada yang rectangular dan circular tank,

dimana pada tiap tangki terdapat 4 zona, yaitu:

♣ Zona Inlet

Berfungsi sebagai tempat memperhalus transisi aliran dari aliran influen ke

aliran steady uniform di settling zona.

♣ Zona Outlet

Berfungsi sebagai tempat memperhalus transisi dari settling zona ke aliran

effluen.

♣ Zona Settling (pengendapan)

Berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses pengendapan partikel dari

air.

♣ Zona lumpur

Berfungsi sebagai tempat untuk menampung lumpur hasil dari proses

pengendapan.

Jenis-jenis bangunan sedimentasi adalah:

1. Konvensional

Menggunakan plate settler, plate settler digunakan untuk meningkatkan

efisiensi pengendapan karena plate memiliki kemiringan tertentu (45o – 60o),

sehingga lumpur tidak menumpuk di plate tetapi meluncur ke bawah dan flok

dapat lebih mudah dipisahkan. Efisiensi pengendapan partikel flokulen

dipengaruhi oleh overflow rate, waktu detensi, dan kedalaman bak

pengendap.

2. Tube settler, mempunyai fungsi sama dengan plate settler, hanya saja

modelnya yang berbentuk tube. Ada yang dipasang secara horizontal

maupun vertikal dengan kemiringan tertentu terhadap garis horizontal.

2.6.2. Faktor Desain

1. Waktu detensi

Page 16: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Untuk bak rectangular, aliran air memiliki kecepatan horizontal (Vo),

pengendapan partikel mempunyai kecepatan pengendapan (Vs). Secara

teoretis, waktu detensi air didalam tangki adalah:

..................................................................................(2.32)

dimana: L = panjang bak (m)

Secara teoretis, waktu pengendapan flok adalah:

..................................................................................(2.33)

dimana: h = kedalaman bak (m)

2. Overflow rate

Overflow rate dipengaruhi oleh surface area. Semakin besar surface

area maka kecepatan pengendapan akan semakin cepat dan efisiensi

semakin baik.

Rumus: ..............................................................................(2.34)

dimana: So = overflow rate (m/jam)

Q = debit (m3/det)

As = surface area (m2)

Apabila So = Vs = h/ts, maka semakin besar h akan menurunkan efisiensi.

Sebaliknya semakin besar waktu detensi akan meningkatkan efisiensi

pengendapan.

3. Batch settling test

Batch settling test digunakan untuk mengevaluasi karakteristik

pengendapan suspensi flokulen. Diameter coloumn untuk tes 5 – 8 inch (12,7

– 20,3 cm) dengan tinggi paling tidak sama dengan kedalaman bak

pengendap. Sampel dikeluarkan melalui pori pada interval waktu periodik.

Prosentase penghilangan dihitung untuk masing-masing sampel yang

diketahui konsentrasi suspended solidnya dan konsentrasi sampel.

Prosentase penghilangan diplotkan pada grafik sebagai nilai penghilangan

pad grafik waktu vs kedalaman. Lalu dibuat interpolasi antara titik-titik yang

diplot dan kurva penghilangan, Ra, Rb, dst.

2.7. Filtrasi

2.7.1. Umum

Page 17: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bangunan filter berfungsi untuk menyaring flok-flok halus yang masih

terdapat didalam air yang tidak terendapkan pada sedimentsi II dan juga menyaring

bakteri atau mikroorganisme lain yang ada dalam air. Beberapa macam proses

filtrasi antara lain:

1. Rapid Filtration (Penyaringan cepat)

Rapid filtration adalah proses filtrasi yang dilakukan setelah adanya proses

koagulasi. Flokulasi dan sedimentasi media yang bisa dipakai adalah:

- Dual media, contoh: pasir dan antrasit yang terpisah

- Mixed media, contoh: pasir dan antrasit yang tercampur

Tetapi secara umum, media yang sering dipakai adalah antrasit, pasir dan

kerikil. Susunan media yang baik untuk filtrasi adalah bagian atas kasar dan

semakin kebawah semakin halus. Hal tersebut dilakukan adalah untuk

menghindari terjadinya penyumbatan (clogging) dilapisan atas dan selain itu

agar seluruh media dapat dimanfaatkan sebagai filter.

2. Slow Sand Filtration (Penyaringan lambat)

Slow sand filtration adalah proses filtrasi lambat denagn media pasir untuk

proses pengolahan air permukaan yang tidak melalui unit-unit koagulasi,

flokulasi dan sedimentasi. Sehingga air baku setelah mengalami proses

sedimentasi pada prasedimentasi langsung dialirkan ke filter lambat ini.

Pada filter ini proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi terjadi pada filter

dengan bantuan dari mikroorganisme yang terbentuk pada permukaan pasir.

Keuntungan dari proses ini yaitu dari tingkat pengolahan yang tinggi. Akan

tetapi juga banyak kerugiannya, yaitu:

- Sangat sensitif dengan variasi pH air baku

- Jika ada air keruh yang masuk maka pori-pori dari film dipermukaan

akan tersumbat. Oleh karenanya diperlukan tambahan bak

pengendap yang besar sebelum masuk ke filter.

- Waktu pengendapan air baku cukup lama sehingga proses filtrasi juga

berlangsung lama.

- Memerlukan lahan yang cukup luas selain untuk filtrasi itu sendiri

tetapi juga untuk pengendap yang digunakan.

3. Pressure Filtration (Penyaringan bertekanan)

Pressure filtration adalah proses penyaringan dengan tekanan pada

pengolahan air minum yang berasal dari air tanah sebelum didistribusikan.

4. Direct Filtration (Penyaringan langsung)

Direct filtration adalah proses filtrasi untuk air baku yang kekeruhannya

rendah.

Page 18: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Mekanisme filtrasi yang paling penting antara lain:

1. Mechanical straining

Mechanical straining adalah proses penyaringan partikel suspended matter

yang terlalu besar untuk lolos dari lubang diantara butiran pasir. Proses ini

terjadi pada permukaan filter.

2. Sedimentasi

Sedimentasi adalah proses pengendapan partikel tersuspensi yang lebih

halus ukurannya daripada lubang pori pada permukaan butiran.

3. Adsorpsi

Adsorpsi adalah proses yang paling penting dalam proses filtrasi karena

dapat menghilangkan partikel-partikel koloidal yang berasal dari bahan-bahan

organik maupun non organik yang tidak terendapkan. Proses ini dapat terjadi

karena secara alamiah pasir kwarsa pada pH normal mempunyai muatan

negatif sehingga dapat terjadi karena menarik partikel koloid yang bermuatan

positif (berasal dari anorganik) seperti flok dari besi, mangan, aluminium dan

lain-lain. Bila telah banyak muatan negatif yang tertahan pada butiran filter

maka filter menjadi jenuh dan bermuatan positif sehingga dapat menarik

partikel koloid yang berasal dari bahan organik yang bermuatan negatif.

Apabila jenuh lagi maka muatan kembali menjadi negatif.

4. Aktivitas kimia

Dalam filter ada aktivitas kimia karena bereaksinya beberapa senyawa kimia

dengan oksigen ataupun dengan bikarbonat.

5. Aktivitas biologis

Aktivitas mikroorganisme yang hidup didalam filter yang secara alamiah hidup

didalam air baku dan bila melalui filter dapat berkembang biak dalam filter.

Mikroorganisme ini dapat berkembang biak dalam filter dengan sumber

makanan yang berasal dari bahan organik dan anorganik yang terdapat

dalam air yang akan diolah.

Adapun prinsip dari proses filtrasi ini adalah dengan melewatkan air kedalam

media berpori untuk menyaring flok-flok halus dan belum dapat diendapkan dalam

sedimentasi II untuk memperbaiki kualitas air.

Pada perencanaan ini digunakan dual media (pasir dan antrasit) dengan

konstan rate pada Rapid Sand Filter (RSF). Penggunaan dual media ini didasarkan

pada:

1. Menghindari terjadinya clogging atau penyumbatan yang terlalu cepat

2. Efektivitas lapisan filter mudah dicapai.

Page 19: Bab 2 Tinjauan Pustaka

3. Headloss dapat diminimalkan.

Pada filter, pencucian dilakukan karena adanya proses penyumbatan dengan

tetap menjaga agar media filter tetap terstrata dengan antrasit kasar (Berat Jenis

kecil) pada bagian atas dan pasir yang lebih halus (Berat Jenis besar) dibagian

bawah. Pencucian media dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan

backwashing system atau dengan surface washing system.

2.7.2. Kriteria Desain

A. Bak Filter

Tinggi air diatas media = 1,5 – 3 m

Panjang (L) = Lebar (B) = (1,5 – 2) : 1

Kecepatan filtrasi = 7,3 – 19,5 m/jam

Jumlah bak > 2 buah

B. Backwash

Kecepatan backwash (Vbw) = 36,7 – 48,9 m/jam

Waktu (tbw) = 3 – 75 menit

Tekanan (Pbw) = 1 – 2 atm

Periode penurunan = 12 – 72 jam

Volume (Vbw) = 1 – 6% Volume filtrasi

C. Underdrain

Luas media = luas orifice = 1 : (1,5 – 5).10-3

Luas manifold = luas lateral = (1,5 – 3) : 1

Luas lateral = luas orifice = (2 – 4) : 1

Diameter orifice = 6 – 12 mm

Jarak antar orifice = 7,5 cm untuk 6 mm

= 20 cm untuk 12 mm

Kecepatan maximum di manifold = < 0,35 – 0,6 m/dt

Kecepatan maximum di lateral = < 0,2 – 0,5 m/dt

Jarak antar lateral maximum = 30 cm

D. Gutter

Lebar gutter = 2 ft = 16 cm

Jarak gutter antar tepi = 4 – 6 ft = 122 cm – 183 cm

E. Headloss

Head loss = 0,3 m – 3 m

Page 20: Bab 2 Tinjauan Pustaka

F. Media Filter

Media Pasir Tebal (L) = 60 – 75 cm

Ukuran butiran (D) = 0,5 – 2 mm

Spesific gravity (SS) = 2,55 – 2,65 gr/cm3

Effective size (ES) = > 0,45 – 0,55

Uniform effisien (Vc) = 1,5 – 1,7

Media Anthrasit

Tebal (L) = 25 – 30 cm

Diameter (D) = 1,5 – 1,9 mm

Spesific gravity (SS) = 1,2 – 1,6 gr/cm3

Effective size (ES) = > 0,9 – 1,1

Uniform effisien (Vc) = 1,6 – 1,8

Media Penyangga

Tebal (L) = 30 – 60 cm

Ukuran butiran (D) = 0,3 – 6 mm

Spesific gravity (SS) = 2,55 – 2,65 gr/cm3

Tebal media filter = 1 m

Slope filter ke outlet = 1 : 200

Data-data Perencanaan Filter:

Dari analisa laboratorium diperoleh data fisik dari media yang dipakai:

Antrasit

Ss = 1,5 gr/cm3

porositas ( ) = 0,7

porositas ( ) = 0,48

Pasir

Ss = 2,65 gr/cm3

porositas ( ) = 0,83

porositas ( ) = 0,4

Kerikil

Ss = 2,65 gr/cm3

porositas ( ) = 0,98

porositas ( ) = 0,38

Rumus yang digunakan :

Uniform Coefficient (UC)

UC ............................................................................(2.35)

Page 21: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Persiapan pasir filter : (2.36)

Prosentase pasir yang digunakan

Pusable = 2 x ( % D60 - % D10)

= 2 x (55 – 30) = 50%

Prosentase pasir yang terlalu halus

P too fine = (%D10) – (0,1 x Pusable)

= 30% - (0,1 x 50%) = 25%

Prosentase pasir yang terlalu kasar

P too coarse = ( Pusable + P too fine)

= 50% + 25% = 75%

Jumlah bak filter (n)

n = 12 x (Q)1/2 ......................................................................(2.37)

Luas permukaan filter (Af)

..............................................................................(2.38)

Tinggi bak filter (h) ;

h = tebal media + tinggi air diatas media + freeboard.....(2.39)

Headloss pada media filter

..........................................(2.40)

dimana : k = konstanta = 5

L = tebal media (m)

f = porositas untuk antrasit = 0,48

pasir = 0,4

kerikil = 0,38

v = viskositas kinematis = 0,8976.10-6 m2/det.

Ψ = shape factor untuk antrasit = 0,7

Pasir = 0,8

Kerikil = 0,98

% fraksi

Tebal media dengan Ø tertentu

Pi = x 100 %

Tebal media tertentu total

di = (Ø terkecil x Ø terbesar ) ½ atau (d1x d2)1/2

Intermixing

Page 22: Bab 2 Tinjauan Pustaka

.................................................(2.41)

.....................................................................(2.42)

..................................................................(2.43)

Sehingga dihasilkan subtitusi ketiga persamaan diatas sebagai berikut :

....................................................(2.44)

Ekspansi media Filter

ekspansi : ....................................(2.45)

Control ekspansi : .............................................(2.46)

Headloss : ......................................(2.47)

Debit air untuk backwash

(Qbw) = A bak filter x v bw....................................................(2.48)

Volume filtrasi dalam 1 hari (Vbak)

= Qtiap bak x td.....................................................................(2.49)

Volume air backwash (Vbw)

= 1 – 6 % dari volume filtrasi.................................................(2.50)

Waktu operasi backwash (tbw)

tbw .................................................................................(2.51)

Sistem underdain

Luas penampang manifold

...............................................................................(2.52)

Panjang pipa manifold

P = panjang filter – jarak manifold dari dinding...............(2.53)

Luas total lateral

A lateral = ...............................................................(2.54)

Jumlah pipa lateral (n)

Page 23: Bab 2 Tinjauan Pustaka

..............................................................(2.55)

Luas tiap lateral

A tiap lateral = ...........................................................(2.56)

Panjang pipa lateral

.........(2.57)

Debit tiap lateral

Qtiap lateral ............................................................(2.58)

Kecepatan pada pipa lateral

v lateral ..................(2.59)

A Orifice total

= ...................................................................(2.60)

Jumlah lubang orifice total pada pipa lateral (n)

................................................................................(2.61)

Jumlah orifice pada tiap pipa lateral

∑ orifice tiap lateral .........................................(2.62)

Jarak tiap orifice

Jarak antar orifice ......................(2.63)

Headloss Saat Filtrasi pada Underdrain

Q tiap orifice

....................................................................................(2.64)

Hf Orifice

= ...................................(2.65)

Hf Lateral

= .................................(2.66)

Page 24: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Rumus Manning

Q = → Saluran Penampang Ekonomis......(2.67)

Debit di Pintu air

Q = .....................................................(2.68)

Kedalaman air pada gutter

H = 1,73 x ...............................................................(2.69)

Kedalaman Kritis.

Yc = ............................................................................(2.70)

Dimana : q = ..................................................................(2.71)

Kedalaman air di gutter.

Ho = ..........................................................(2.72)

Tinggi air saat backwash.

Tinggi media ekspansi + Tinggi Gutter + Tinggi air di atas gutter....(2.73)

Tebal media saat backwash

L media kerikil + tinggi ekspansi pasir + tinggi ekspansi anthrasit........(2.74)

Tinggi air diatas media

Saat filtrasi dengan media bersih

= Hf pada underdrain (4 bak operasi) + Hf media filter (4 bak operasi)…..(2.75)

Saat clogging

= Hf underdrain (4 bak operasi) + Hf media saat clogging...................(2.76)

Saat backwashing

= Hf underdrain saat backwash + Hf media saat backwash……(2.77)

Tinggi air diatas media saat filtrasi

= Tinggi bak + tebal media + tebal underdrain.....................(2.78)

2.8. Desinfeksi

2.8.1. Umum

Adapun prinsip atau metode yang digunakan dalam proses desinfeksi adalah

menggunakan klor sebagai desinfektan. Beberapa desinfektan lainnya adalah klorin

dioksida, ozon, ultra violet, bromin, iodine dan pemanasan. Klorin dioksida 25 kali

lebih efektif dibanding gas klor, yang mudah meledak pada suhu tinggi. Tidak

Page 25: Bab 2 Tinjauan Pustaka

menghasilkan Trihalometan dan tidak bereaksi dengan ammonia. Sedangkan UV

lebih mahal disbanding dengan penggunaan klor dan tidak menyediakan

perlindungan residu. Klorinasi merupakan pilihan penting untuk suatu instalasi

pengolahan air minum. Pada pengolahan air untuk kebutuhan industri, klor bukanlah

satu-satunya desinfektan yang dipakai, namun khlor meupakan desinfektan efektif

yang telah dikenal. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. Hanya senyawa klor yang relatif murah dan mudah didapat. Klor juga mudah

ditangani dalam operasinya. Desinfeksi dengan klor merupakan yang paling

sederhana dan tidak membutuhkan operator yang sangat ahli

2. Kemampuan klor dalam membunuh bakteri atau virus (agen desinfektan)

3. Klor menyediakan perlindungan residual, yaitu kemampuan untuk tetap bisa

membunuh organisme patogen detelah air keluar dari instalasi pengolahan

(distribusi)

4. Klor juga berfungsi sebagai oksidan zat-zat oganik dan ion-ion logam (Fe, Mn)

serta dapat mengurangi rasa dan bau serta dapat menghilangkan amoniak

(NH4+). Reaksi klor yang terjadi adalah sebagai berikut :

Ca(OCl)2 + 2 H2O 2 HOCl + Ca(OH)2

HOCl OCl- + H+

(Hipoklorit)

Beberapa kerugian dari penggunaan klor:

1. Klor adalah senyawa kimia yang berbahaya.

2. Bila klor bereaksi dengan zat organik, konsentrasinya berkurang dan tekanan

rendah maka akan terbentuk trihalometan (THM). Trihalometan yang terkandung

bersifat karsinogenik.

3. Serangkaian tes perlu dilakukan untuk mengetahui dosis klor yang efektif dan

aman.

2.8.2. Karakteristik Klor

Klor tersedia dalam bentuk dibawah ini dalam pengolahan air minum adalah:

1. Gas (Cl2) yang korosif dan beracun.

2. Hipoklorit solid berupa NaOCl atau Ca(OCl)2. Lebih aman dibanding gas klor

namun 4 - 5 kali lebih mahal.

3. Hipoklorit terlarut berbentuk cairan berkonsentrasi 5 – 10%. Jarang dipakai

karena mahal dan menyebabkan kondisi bulking.

Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut:

Cl2 + H2O H+ + OCl- + Cl-

Dua asam terbentuk (Hipoklor dan Hidroklor)

Page 26: Bab 2 Tinjauan Pustaka

NaOCl Na+ + OCl-

HOCl H+ + OCl- pKa = 7,53

HOCl > OCl- pada pH < pKa

HOCl < OCl- pada pH > pKa

HOCl = OCl- pada pH = pKa HOCl 80 kali lebih efektif dibanding

OCl- sebagai desinfeksi karena muatan negatif pada mikroba menolak

OCl-

2.8.3. Break Point Chlorination

Dosis klor dihitung dengan adanya Break Point Chlorination (BPC) dan sisa

klor. Jika kurang, maka desinfektan menjadi tidak efisien (gagal) dan bila kelebihan

akan menyebabkan rasa dan bau yang tidak enak dalam air minum. BPC

memberikan indikasi bahwa :

Semua zat yang dapat teroksidasi telah teroksidasi tuntas

Amoniak hilang sebagai N2

Masih ada residu klor aktif tersebut untuk desinfeksi daalam system distribusi

Sisa klor (residu klor) dalam air diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi

bakteri selama pejalanan air samapai ke konsumen. Biasanya klor tergantung dari

jarak yang ditempuh, pH dan temperatur air. Untuk jarak yang tidak begitu jauh, sisa

klor cukup 0,2 - 0,4 mg/l.

Rumus yang digunakan:

Dosis chlor= BPC + sisa chlor (2.79)

n = mol Cl2 = (2.80)

Volume Cl2= (2.81)

2.9. Reservoir

Reservoir berfungsi untuk menampung air bersih sebelum didistribusikan

pada konsumen. Reservoir juga bisa berfungsi sebagai bak kontak desinfektan

(proses desinfeksi). Agar proses desinfeksi ini berlangsung optimum, maka reservoir

ini biasanya dilengkapi dengan saluran baffle agar terjadi kontak antara air dengan

desinfektan.

Volume reservoir = xQ…..

(2.82)