BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Senam Osteoporosis 2.1...

37
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Senam Osteoporosis 2.1.1 Defenisi Senam Osteoporosis Senam osteoporosis yaitu kegiatan yang merangsang kekuatan otot, tulang dan latihan yang biasanya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan (Tilarso, 1988). Senam osteoporosis merupakan kombinasi beberapa jenis latihan yang bersifat aerobik dengan benturan ringan, latihan kekuatan dengan menggunakan beban di kedua tangan, latihan keseimbangan dan latihan pernafasan. 2.1.2 Manfaat Senam Osteoporosis Gerakan aerobik pada senam osteoporosis yang berbeban berat badan akan bermanfaat pada kepadatan tulang punggung, pinggang dan pinggul, dan bila latihan tersebut dilakukan dengan duduk dikursi akan aman untuk sendi panggul dan sendi lutut. Latihan kekuatan otot dengan menggunakan beban di kedua tangan masing- masing beratnya 0,5 – 1 Kg akan bermanfaat mengurangi resiko patah tulang pada pergelangan tangan. Latihan keseimbangan mencegah usia lanjut agar tidak mudah jatuh latihan ini harus dilakukan dengan hati-hati benar dan perlahan-lahan. Latihan pernafasan sangat baik dilakukan karena menghirup oksigen yang banyak ke dalam otot-otot, pembuluh darah, kepala/otak, jantung dan paru-paru, yang akan menambah ketenangan dalam menjalani kehidupan atau aktivitas sehari-hari dan menambah Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Senam Osteoporosis 2.1...

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakekat Senam Osteoporosis

2.1.1 Defenisi Senam Osteoporosis

Senam osteoporosis yaitu kegiatan yang merangsang kekuatan otot, tulang

dan latihan yang biasanya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk

meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan (Tilarso, 1988). Senam

osteoporosis merupakan kombinasi beberapa jenis latihan yang bersifat aerobik

dengan benturan ringan, latihan kekuatan dengan menggunakan beban di kedua

tangan, latihan keseimbangan dan latihan pernafasan.

2.1.2 Manfaat Senam Osteoporosis

Gerakan aerobik pada senam osteoporosis yang berbeban berat badan akan

bermanfaat pada kepadatan tulang punggung, pinggang dan pinggul, dan bila latihan

tersebut dilakukan dengan duduk dikursi akan aman untuk sendi panggul dan sendi

lutut. Latihan kekuatan otot dengan menggunakan beban di kedua tangan masing-

masing beratnya 0,5 – 1 Kg akan bermanfaat mengurangi resiko patah tulang pada

pergelangan tangan. Latihan keseimbangan mencegah usia lanjut agar tidak mudah

jatuh latihan ini harus dilakukan dengan hati-hati benar dan perlahan-lahan. Latihan

pernafasan sangat baik dilakukan karena menghirup oksigen yang banyak ke dalam

otot-otot, pembuluh darah, kepala/otak, jantung dan paru-paru, yang akan menambah

ketenangan dalam menjalani kehidupan atau aktivitas sehari-hari dan menambah

Universitas Sumatera Utara

energi, serta pengendalian stress. Ditegaskan bahwa melakukan senam osteoporpsis

juga dapat menjaga postur tubuh, menjaga kelenturan dan pergerakan otot,

meningkatkan kerja jantung dan paru-paru, menjaga keseimbangan tubuh, melatih

koordinasi anggota gerak. Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik apapun yang

dihasilkan oleh otot dan rangka yang memerlukan atau membutuhkan

pengeluaran energi di atas kebutuhan energi saat istirahat, yang diukur dalam

jumlah kilo kalori (Public Health, 1985).

2.1.3 Hal-Hal yang tidak Dianjurkan dalam Senam Osteoporosis

2.1.3.1 Gerakan membungkuk. Misalnya Sit Up/meraih jari-jari kaki berdiri sambil

membungkuk ke depan dari pinggang dengan pinggang melengkung

2.1.3.2 Gerakan naik turun dingklik atau step aerobik

2.1.3.3 Gerakan memutar badan/twisting misalnya memutar ke kanan dan ke kiri

tidak boleh lebih dari sudut 90 derajat, tetapi boleh 30 derajat sampai 45

derajat

2.1.3.4 Gerakan terlalu lama berdiri

2.1.3.5 Gerakan yang terlalu cepat

2.1.3.6 Mengangkat beban dengan ayunan punggung

2.1.3.7 Duduk dengan punggung membungkuk

2.1.4 Frekuensi Senam Osteoporosis

Frekuensi latihan olahraga yaitu tiga kali seminggu, maksimal intensitas 50-

70% VO2 maks dan frekuensi denyut nadi yaitu 110-120 (Sukarman, 1987). Untuk

individu dengan tingkat kebugaran yang rendah, tiga sesi perminggu pada hari yang

Universitas Sumatera Utara

bergantian sudah cukup untuk meningkatkan kesehatan (Jackson et.al, 1986). Jika

intensitas dan durasi latihan bertambah, frekuensi juga harus bertambah bila

penigkatan ingin diteruskan (Pollock, 1973). Pembahasan penelitian mendapati

bahwa perubahan kebugaran berkaitan langsung dengan frekuensi latihan, walaupun

dianggap tidak tergantung pada efek intensitas, durasi, lama program, dan tingkat

kebugaran awal (Wenger & Bell, 1986). Individu yang tidak terlatih pada kenyataan

membutuhkan waktu 48 jam untuk beradaptasi dan pulih dengan ransangan latihan

(Fleck & Kraemer, 1987).

2.2 Hakekat Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya masa

tulang dan adanya kelainan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat

meningkatnya kerapuhan tulang serta resiko terjadinya patah tulang.

World Health Organisation (WHO, 2005) dan consensus ahli mendefinisikan

osteoporosis menjadi penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan

memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, yang menyebabakan kerapuhan tulang

sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak

memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (tief in the night).

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik, dan fraktur osteoporosis dapat

terjadi pada setiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini

meliputi torak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal,

definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan

Universitas Sumatera Utara

dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini.interaksi antara geometri tulang dan

dinamika terjatuh atau kacelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga

merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua dpat berdiri sendiri

atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang.

Dengan demikian, penyakit osteoporosis adalah berkuramgnya kepadatan tulang yang

progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah, tulang terdiri dari

kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Jika tubuh tidak mampu

mengatur kandungan mineral dalam tulang, mak tulang menjadi kurang padat dan

lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis.

Meskipun kalsium diluar tulang kurang lebih 2% dari kalsium dalam tubuh,

perannya sangat vital, terutama untuk kegiatan enzim, hormone, saraf, otot, dan

pembekuan darah. Kalsium yang beredar dalam darah menjadi patokan keseimbangan

kalsium diseluruh tubuh. Keseimbangan dan kestabilan kadar kalsium darah terutama

ditentukan oleh hormone paratiroid. Kalau kadar kalsium dalam darah normal, maka

proses mineralisasi berlangsung seimbang.

Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai

dengan rendahnya massa tulang yang disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan

kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Keadaan ini

berisiko tinggi, karena tulang menjadi rapuh dan mudah ratak, bahkan patah. Banyak

orang tidak menyadari jika osteoporosis merupakan pembunuh tersembunyi. Penyakit

ini hampir tidak menimbulkan gejala yang jelas. Sering kali, osteoporosis justru

Universitas Sumatera Utara

diketahui ketika sudah parah. Contoh kasus seorang terpeleset ringan, tetapi

tulangnya patah dibagian lengan atau pinggang.

Jika kita bertanya pada sekumpulan wanita usia paro baya ( 40 – 50 tahun)

mengenai sejauh mana pemahaman mereka terhadap ancaman osteoporosis, ternyata

informasi yang kita dapat sangat beragam. Ada yang beranggapan kondisi tubuhnya

aman–aman saja karena selama ini tidak merasakan adanya keluhan, sehingga dia

tidak perlu berjaga-jaga secara berlebihan. Namun, sebagian ada juga yang sangat

sadar akan pentingnya perhatian terhadap kesehatan tulang pada usia tersebut.

Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang umum pada orang dewasa.

Penyakit ini menyebabakan tulang lebih mudah keropos dan lebih mudah patah

daripada tulang yang normal. Dibanding penyakit tulang lain seperti ostomalasia dan

rickets, osteoporosis berbeda. Ini disebabkan berkurangnya matriks organik bukan

kelainan klsifikasi tulang. Pendeteksian dini osteoporosis merupakan langkah yang

tepat untuk mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).

2.2.1 Epidemologi Osteoporosis

Meningkatnya usia harapan hidup akan mempengaruhi angka kejadian

penderita osteoporosis dan bertambahnya jumlah orang lanjut usia (lansia) di

Indonesia menimbulkan kekhawatiran akan epidemi penyakit osteoporosis. Dua dari

lima orang Indonesia memiliki resiko terkena penyakit osteoporosis (Depkes, 2006).

Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima laki-laki di Indonesia terserang

osteoporosis atau keretakan tulang (Yayasan Osteoporosis Internasional)

Universitas Sumatera Utara

Jumlah penderita osteoporosis atau pengeroposan tulang di Indonesia semakin

mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin tingginya tren kenaikan

angka insiden patah tulang paha atas akibat osteoporosis pada 2007-2010. Kenaikan

insiden patah tulang akibat osteoporosis terus meningkat sejak 2007-2010. Dari

sekitar 20 ribuan kasus pada 2007 meningkat menjadi sekitar 43 ribuan kasus pada

2010. Data tersebut juga diperkuat dengan data dari Sistem Informasi Rumah Sakit

(SIRS) tahun 2010, yang menyatakan angka insiden patah tulang paha atas tercatat

sekitar 200/100 ribu kasus pada wanita dan pria di atas usia 40 tahun diakibatkan

osteoporosis.

WHO mendata sekitar 200 juta orang menderita angka patah tulang pinggul

akibat osteoporosis di seluruh dunia. Pada tahun 2050, diperkirakan akan meningkat

dua kali lipat pada wanita dan tiga kali lipat pada pria.

Tahun ini merupakan tahun ke-10 peringatan Hari Osteoporosis Nasional

(HON), sejak diluncurkan tahun 2002 lalu. Tahun ini, HON 2012 bertema "Indonesia

Bergerak-Waspadai Patah Tulang Akibat Osteoporosis". Puncak Peringatan HON

2012 akan dilaksanakan pada 21 Oktober 2012, di Monas. Berbagai kegiatan akan

dilakukan seperti peluncuran logo 10 tahun Hari Osteoporosis Nasional, jalan kaki

10.000 langkah yang akan diikuti oleh lebih dari 15 ribu orang, pengenalan osteo

dance dan lomba foto jurnalistik bagi media (Dimyati, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Faktor Resiko Osteoporosis

Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon

estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun Pencegahan

lebih awal terhadap penyusutan tulang pada wanita sebelum menopause akan memperlambat

proses penyusutan tulang, seperti diketahui bahwa penyusutan tulang telah terjadi sejak usia 30-40

tahun, disinilah pentingnya pemeriksaan marker tulang (Nugroho, 2008).

2.2.2.1 Wanita

2.2.2.2 Usia

Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada

usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam

mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium

menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat ( Nugroho, 2008 ).

2.2.3

Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah.

Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti

kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti

punya struktur genetik tulang yang sama (Nugroho, 2008).

Keturunan Penderita Osteoporosis

2.2.4

2.2.4.1

Gaya Hidup Kurang Baik

Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya

mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid,

penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah. Minuman berkafein seperti

kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak.

Universitas Sumatera Utara

2.2.4.2 Malas Berolahraga. Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat

proses osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan

massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot

akan memacu tulang untuk membentuk massa.

2.2.4.3

Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok

sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya

mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga

membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang

sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses

pelapukan.

Merokok

Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi,

penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau

darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi,

nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung.

Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa

karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati

umur 35 tahun, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses

pembentukan tulang pada umur tersebut sudah berhenti.

2.2.4.1 Kurang Kalsium, jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan

hormon yang akan mengambi l kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk

yang ada di tulang.

Universitas Sumatera Utara

2.2.4.2 Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada

penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis.

Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa tulang.

Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin

dan antikejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke

dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak

merugikan tulang.

2.2.4.3 Kurus dan mungil, Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh

cenderung ringan misal kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat

membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang

menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada

area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh

ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna

(Lumbantobing, 2001).

2.3 Penyebab Osteoporosis

Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang

membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya

gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai

muncul lebih cepat ataupun lebih lambat.Tidak semua wanita memiliki risiko yang

2.3.1 Osteoporosis Postmenopausal

Universitas Sumatera Utara

sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah

timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

2.3.2

Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia

dan ketidak seimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan

tulang yang baru.

Osteoporosis Senilis

Senilis

2.3.3

berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.

Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering

menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis pada

postmenopausal (Suryati, 2006 ).

Osteoporosis Sekunder

Ini dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh

keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa disebabkan

oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan

adrenal

2.3.4

) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan

hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok

bisa memperburuk keadaan osteoporosis.

Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini

terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon

yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari

rapuhnya tulang.

Osteoporosis Juvenil Idiopatik

Universitas Sumatera Utara

2.4 Standard Baku Pemeriksaan Osteoporosis yang Diukur dengan Densitometri

2.4.1 Normal: Massa tulang < 1

2.4.2 Masa tulang rendah: Massa tulang 1-2.5

2.4.3 Osteoporosis: Massa tulang >2.5

2.4.4 Osteoporosis berat: Massa tulang > 2.5 + fraktur.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Pencegahan Osteoporosis

2.5.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya terbaik, paling murah dan mudah.

2.5.1.1 Kalsium

Kalsium dibutuhkan untuk mineralisasi tulang, sehingga menjadi kuat.

Makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran hijau, jeruk, citrun, susu,

keju, yoghurt.

2.5.1.2 Latihan atau Aktivitas Fisik (Exercise Therappy)

Latihan fisik harus ada unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan

penekanan pada tulang, seperti berjalan, jogging, aerobik, atau naik turun tangga.

Latihan yang sangat berlebihan sangat tidak dianjurkan karena dapat mengganggu

menstruasi (menjadi amenorrhea) karena akan meningkatkan massa tulang.

Universitas Sumatera Utara

2.5.1.3 Terapi Latihahn atau Latihan yang Dianjurkan

Jalan dan berenang dianjurkan setiap hari 30 menit. Kalau sudah cukup

terlatih, latihan dapat ditingkatkan dengan jarak yang lebih jauh, tetapi waktu yang

sama serta bersepeda dengan mengikuti pedoman untuk tiap-tiap individu, termasuk

postur, beban, tingginya dudukan, tahanan dan kecepatannya.

2.5.1.4 Hindari Faktor-faktor sebagai berikut:

Menurunkan absorpsi kalsium, meningkatkan pengrusakan tulang, atau

mengganggu pembentukan tulang, seperti merokok, peminum alkohol, pemberian

obat seperti kortikosteroid maka suplemen kalsium harus ditambahkan.

2.5.2 Pencegahan Sekunder

2.5.2.1 Konsumsi Kalsium. Penurunan masa tulang terjadi pada wanita menopause

yang asupan kalsiumnya kurang dari 400mg/hari.

2.5.2.2 Estrogen Repleacement Therapy (ERT) atau Terapi Sulih Hormon (TSH).

Semua wanita pada saat menopause mempunyao resiko osteoporosis,

karenanya dianjurkan pemakaian IRT pada mereka yang tak ada

kontraindiksi.

2.5.2.3 Latihan. Latihan fisik bagi penderita osteoporosis, bersifat spesifik dan

individual, memperhatikan berat ringannya osteoporosis sehingga perlu

mendapat supervise dari tenaga medis/fisioterapi individu per individu.

2.5.2.4 Intervensi fisioterapi secara spesifik berdasarkan kajian problematik.

2.5.2.5 Kalsitonin. Bekerja menghambat pengeroposan tulang dan diindikasikan

untuk pasien yang tidak dapat menggunakan IRT.

Universitas Sumatera Utara

2.5.2.6 Vitamin D yang fungsi utamanya untuk membantu penyerapan kalsium

diusus.

2.5.3 Pencegahan Tersier

Setelah pasien mengalami fraktur osteoporosis, jangan dibiarkan berbaring

terlalu lama. Sejak awal perawatan disusun rencana pergerakan, mulai dari

pergerakan pasif sampai aktif dan berfungsi mandiri.

2.5.4 Edukasi Pasien

Pemahaman pasien dan keluarganya tentang hal osteoporosis diharapkan

menambahkan kepedulian mereka, dan selanjutnya berperilaku hidup sehat, sesuai

dengan pencegahan osteoporosis. Pemahaman tentang pencegahan osteoporosis

secara dini sehingga bahaya yang dapat menimbulkan gangguan terhadap aktifitas

gerak dan fungsi dapat diantisipasi.

2.6 Hakekat Aktivitas Fisik

Aktvitas fisik adalah pergerakkan anggota tubuh Aktivitas fisik

merupakan gerakan fisik apapun yang dihasilkan oleh otot dan rangka yang

memerlukan atau membutuhkan pengeluaran energi di atas kebutuhan energi saat

istirahat, yang diukur dalam jumlah kilo kalori (Public Health, 1985)

menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan

kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap

sehat, bugar sepanjang hari. (Depkes. RI, 2006). Dari ungkapan tersebut maka

dapat digambarkan bahwa aktivitas fisik bukan merupakan rutinitas sehari-hari,

Universitas Sumatera Utara

tetapi kegiatan dengan energi yang dikeluarkan di atas energi rata-rata saat

istirahat sehingga dapat meningkatkan kemampuannya.

Aktivitas fisik merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan hidup,

sehingga lebih sehat dan bahagia. Hal ini dapat mengurangi stress serta

nyaman secara keseluruhan. Dijelaskan bahwa beberapa manfaat melakukan

aktivitas fisik secara teratur adalah :

2.6.1 Membantu dalam mengendalikan berat badan, sehingga memberikan

kemungkinan untuk mempertahankan gaya hidup yang lebih baik, tetap segar

dan waspada saat terjaga.

2.6.2 Aktivitas fisik membantu mengurangi resiko penyakit jantung dan gagal

jantung karena otot-otot jantung lebih kuat.

2.6.3 Aktivitas fisik mampu mengurangin resiko diabetes dan kondisi lain

yang terkait dengan aktivitas seperti kegemukan.

2.6.4 Aktivitas fisik membantu mengurangi resiko jenis kanker tertentu.

2.6.5 Aktivitas fisik mampu menguatkan tulang dan otot menjadi lebih lentur. Hal

ini mampu mnegurangi terjadinya cedera fisik dan membantu

meningkatkan perbaikan jaringan tertentu.

2.6.6 Ketika seseorang aktif secara fisik, maka dapat meningkatkan kesehatan

mental serta suasana hati lebih stabil.

2.6.7 Membantu meningkatkan kemampuan tubuh untuk melakukan kegiatan

sehari-hari dan bagi orang dewasa mampu memberikan kekuatan lebih

banyak untuk membantu mencegah terjadinya jatuh.

Universitas Sumatera Utara

2.6.8 Secara keseluruhan aktivitas fisik membantu untuk lebih lama hidup

Dari penjelasan tersebut aktivitas fisik yang dimaksud adalah aktivitas

fisik yang dilakukan secara rutin dan teratur, sehingga menghasilkan perubahan

pada seseorang ke arah derajat keondisi fisik yang lebih baik. Manfaat aktivitas

fisik yang rutin dilakukan seperti olahraga kesehatan akan mampu

menghasilkan perubahan-perubahan pada aspek jasmani, rohani dan sosial. (WHO,

2009).

2.7 Hubungan Senam Osteoporosis dan Aktifitas Fisik

Senam aerobik adalah bentuk latihan atau gerakan yang dilakukan berulang-

ulang kali dan menggunakan kumpulan otot-otot besar sekurang-kurangnya 15 menit

dan membutuhkan oksigen sebagai sumber tenaga (Sadoso. 1996). Senam aerobik

yang pelaksanaannya mirip latihan aerobik berupa jalan, jogging dan lari dapat

merangsang kerja jantung dan paru serta peredaran darah. Peningkatan daya tahan

jantung paru (daya tahan cardiorespirasi) dapat dijadikan sebagai indikator tunggal

untuk menentukan tingkat kebugaran jasmani seseorang antara lain pengukuran VO2

Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan

pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan

mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat, bugar sepanjang

maks secara tidak langsung. Senam osteoporosis adalah gerakan aerobik dengan

benturan ringan (low impact) yang bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang,

kekuatan otot, keseimbangan, kelenturan dan independensi.

Universitas Sumatera Utara

hari (Pusat Promosi Depkes. RI, 2006). Tingkat aktifitas fisik dalam populasi

diperkirakan tidak aktif secara fisik 30,5%, aktif tapi tidak teratur 28,5%, aktif secara

teratur tidak intensif 31,5%, aktif secara teratur, intensif 9,1%. Hidup aktif

membutuhkan aktifitas fisik yang teratur dan hanya 40% populasi yang mendapatkan

keuntungan fisik dan mental. Ketidak-aktifan fisik dapat membahayakan kesehatan

dengan demikian Senam Osteoporosis diyakini dapat meningkatkan aktifitas fisik

lanjut usia.

2.8 Hakekat Lanjut Usia

2.8.1 Defenisi Lansia

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut

usia pada bab I pasal 1 ayat 2, yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun keatas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan pasal 19 ayat 1, Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya

mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial, perubahan ini akan

memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya.

Pengertian lanjuta usia beragam tergantung kerangkan pandang individu. Orang tua

berusia 35 tahun dapat dianggap tua bagi anaknya dan tidak muda lagi. Orang sehat

berusia 65 tahun mungkin menganggap usia 75 tahun sebagai permulaan lanjut usia

(Brunner & Suddart, 2011). Menurut Pudjiastuti & Utomo (2003), lanjut usai bukan

suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjutan dari suatu proses kehidupan yang

akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk

Universitas Sumatera Utara

beradaptasi dengan stres lingkungan. Menurut analisa dari 57 negara didunia

menemukana bahwa kriteria lanjut usia paling umum adalah gabungan antara usia

kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan status

fungsional seseorang (Glascock & Feinman 1981; Stanley & Beare, 2007).

2.8.2 Batasan Lanjut Usia

Batasaan usia ini sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi, masih

banyak yang berpendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenai batasa usia

ini antara lain;

2.8.2.1 WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia

kronologis/biologis menjadi empat kelompok yaitu usia pertengahan (middle

age) antara usia 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 – 74

tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old)

diatas 90 tahun.

2.8.2.2 Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan

menjadi usia dewasa muda (elderly adulhood) 18 atau 25-29 tahun, usia

dewasa penuh (middle years) atau maturitas 25 – 60 tahun, lanjut usia

(geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi dengan 70

– 75 tahun (young old), 75 – 80 tahun (old), lebih dari 80 tahun (very old).

2.8.2.3 Menurut UU No. 4 tahun1965 pasal 1 seseorang dapat dinyatakan sebagai

seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur

55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

keperluan hidup sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.

Universitas Sumatera Utara

2.8.3 Usia Harapan Hidup Penduduk Indonesia

2.8.4 Proses Penuaan

Penuaan (= menjadi tua = aging) adalah proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan furngsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994;

Darmojo, 2004)

Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara

alamiah. Menua bukanlah suatu penyakit melainkan proses berkurangnya daya tahan

tubuh dalam menghadapi stressor dari dalam maupun luar tubuh. Menuanya manusia

seperti ausnya suku cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks yang

bagian-bagiannya saling mempengaruhi secara fisik atau somatik dan psikologik.

Universitas Sumatera Utara

Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya dan sangat

individual. Banyak faktor yang mempengaruhi penuaan seseorang seperti genetik

(keturunan), asupan gizi, kondisi mental, pola hidup, lingkungan, dan pekerjaan

sehari-hari (Darmojo & Martono, 2004).

2.8.4.1 Teori Proses Penuaan

Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan struktural dan

fisiologis, begitu pula organ otak. Dalam hal perubahan fisiologis sampai patologis

telah dikenal proses menua yang menggunakan istilah senescence, senility dan

demensia. Senencense menandakan perubahan penuaan normal dan senility

menandakan penuaan yang abnormal, tetapi batasnya masih tidak jelas. Senility juga

dipakai sebagai indikasi gangguan mental yang ringan pada usia lanjut yang

mengalami demensia (Ciummings, Benson, 1992).

Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Perlu hati-hati dalam

mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological

aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging). Penuaan ini

sesuai dengan kronologis usia (penuaan primer), dipengaruhi oleh faktor endogen,

perubahan dimulai dari sel-jaringan-organ-sistem pada tubuh. Bila penuaan banyak

dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya, gaya hidup disebut

penuaan sekunder. Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh

trauma atau sakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degeneratif yang timbul

karena stress yang dialami oleh individu. Penuaan ini tidak sesuai dengan kronologis

usia dan patologis. Faktor eksogen juga dapat mempengaruhi faktor endogen

Universitas Sumatera Utara

sehingga dikenal dengan faktor resiko. Faktor resiko tersebut yang menyebabkan

terjadinya penuaan patologis (patological aging) (Pudjiastusi, utomo, 2003).

Gambar 2.3. Proses Penuaan dengan Faktor yang Memengaruhinya Sumber: Fisioterapi pada Lansia, Pudjiastuti dan Utomo, hal. 18 Cetakan I, 2003

Dalam proses penuaan beberapa teori menjelaskan hal tersebut. Teori penuaan

secara umum dapat dibedakan menjadi dua teori yaitu teori penuaan secara biologi

dan terori penuaan secara psikologi.

2.8.4.1.1 Teori Biologi

2.8.4.1.1.1 Teori Selular

Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan

kebanyakan sel-sel tubuh di program untuk membelah 50 kali. Jika semua sel pada

lansia dilepas dari tubuh dan dibiarkan di laboratorium kemudian diobservasi jumlah

sel-sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Hal ini memberikan beberapa

pengertian terhadap proses penuaan biologis dan menunjukkan bahwa pembelahan sel

lebih lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan sesuai

dengan berkurangnya umur.

Universitas Sumatera Utara

2.8.4.1.1.2 Teori “Genetik Clock”

Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies

tertentu tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) suatu jam genetik yang telah

diputar menurut replikasi tertentu (Suhana, 1994 ). Jam ini akan menghitung mitosis

dan menghentikan replikasi sel bila tidak berputar. Jadi menurut konsep ini bila jam

itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan

atau penyakit (Azizah, 2011).

2.8.4.1.1.3 Teori Sintesi Protein (kolagen dan elastin)

Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya. Proses

kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada

komponen protein dalam jaringan tersebut. Pada lanjut usia beberapa protein

(kolagen, kartilago dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan

struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda. Keadaan ini akan terlihat dari

perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitasnya dan cenderung berkerut,

juga terjadi penurunan mobilitas dan kecepatan pada sistem muskuloskeletal (

Azizah, 2011).

2.8.4.1.1.4 Sistim Imun

Kemampun sistem imun mengalami kemunduran padan lanjut usia.

Kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari limfatik dan khususnya sel darah

putih juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuan. Mutasi yang

berulang atau perubahan protein pasca tranlasi dapat menyebabkan berkurangnya

Universitas Sumatera Utara

kemampuan sistem imun tubuh mengenali diri sendiri (Goldstein, 1989). Jika mutasi

somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini

dapat menyebabkan sistem imun tubuh mengganggap sel yang mengalami perubahan

tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan ini akan menyebabkan

peningkatan aoutoimun (Goldstein, 1989).

2.8.4.1.1.5 Mutasi Somatic (teori error catastrophe)

Teori mutasi somatik dikatakan ada faktor-faktor lingkungan yang

menyebabakn terjadinya mutasi somatic, proses menua disebabkan oleh karena

kesalahan-kesalahan beruntun sepanjang kehidupan, setelah berlangsung dalam

waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi maupun proses

translasi, kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan akan

menyebabkan reaksi metabolisme yang salah sehingga mengurangi fungsional sel,

maka akan terjadi kesalahan yang makin banyak sehinnga terjadilah catastrop

(Suhana, 1994).

Salah satu hipotesis yang berhubungan dengan mutasi sel somatik adalah

hipotesis “Error Catastrophe”. Menurut teori tersebut menua diakibatkan oleh

menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia. Akibat

kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan

kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan (Martono, 2000).

2.8.4.1.1.6 Teori Metabolisme

Pengurangn intake kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan

dan perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena

Universitas Sumatera Utara

menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan hormon

yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon pertumbuhan. Peristiwa

menua akibat metabolisme badan sendiri antara lain karena kalori yang berlebihan,

kurang aktifitas dan sebagainya (Darmojo & Martono, 2000).

2.8.4.1.1.7 Teori Radikal Bebas

Teori radikal bebas dikatakan radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas,

dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan didalam rantai

pernapasan mitokondria. Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif

sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, seperti dalam

membrane sel dan gugus SH. Walaupun ada sistem penangkal namun sebagain

radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang

terbentuk sehingga proses penuaan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama

makin banyak dan akhirnya sel mati. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat

regenerasi (Oen, 1993).

2.8.4.2 Teori Psikologis

2.8.4.2.1 Aktivitas atau Kegiatan (activity theory)

Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya

setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa muda akan tetap terpelihara

sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usai yang sukses adalah mereka

yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup)

dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem

Universitas Sumatera Utara

sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia (Nugroho,

2008).

2.8.4.2.2 Kepribadian Lanjutan (continuty theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity

pada lanjut usia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan

dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, keluarga dan

hubungan interpersonal. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi

pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personallity yang

dimilikinya (Kontjoro, 2002).

2.8.4.2.3 Teori Pembebasan (disengagement theory)

Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran

individu dengan individu lainnya (Nugroho, 2000). Teori ini menyatakan bahwa

dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri

dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini

mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun baik secara kualitas maupun

kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (triple loss).

2.8.5 Patofisiologi Lanjut Usia

Semakin bertambahnya umur manusia terjadi proses penuaan secara

degenratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak

hanya perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, perasaan, sosial dan sexual.

2.8.5.1 Sistem Muskuloskeletal

2.8.5.1.1 Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Universitas Sumatera Utara

Kolagen sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.

Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia

sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk

meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan

berjalan serta hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Pudjiastuti & Utomo,

2003 Azizah, 2011;)

2.8.5.1.2 Kartilago;

Jaringan kartilago pada persendian lunak mengalami granulasi dan akhirnya

permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago utnuk regenerasi

berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya

kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut

sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi

mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya

aktifitas sehari-hari (Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.3 Tulang

Berkurangnya kepadatan tulang setelah di observasi adalah bagian dari

penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula tranversal

terabsorbsi kembali. Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan

osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Azizah, 2011;

Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.4 Otot

Universitas Sumatera Utara

Perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi, penurunan jumlah dan

ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak otot

mengakibatkan efek negatif. Dampak perubahan marfologis pada otot adalah

penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan

penurunan kemampuan fungsional otot (Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.5 Sendi

Pada lanjut usia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia

mengalami penurunan elastisitas. Ligament dan jaringan periarkular mengalami

penuruan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada

kartilago dan kapdul sendi. Sendi kehilangan flesibilitasnya sehingga terjadi

penurunan luas dan gerak sendi. Kelainan tersebut dapat menimbulkan gangguan

berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, gangguan jalan dan aktifitas sehari-hari

(Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.6 Saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang progresif

pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan

dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi

sensori dan respon motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor

propriosetif, hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami

perubahan morfologis dan biokimia, perubahan tersebut mengakibatkan penurunan

fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleks, proprioseptif,

perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.8.5.1.7 Sistem Kardiovaskular dan Respirasi

2.8.5.1.7.1 Sistem kardiovaskular

Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertofi, dan kemampuan

perenganggan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan

penumpukan lipofusin. Katup jantung mengalami fibrosis dan kalsifikasi. SA node

dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam

menjalankan fungsinya berkurang samapi 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami

penuruan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan

tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan tekanan sistole dan penurunan

perfusi jaringan. Penurunan sensitivitas berreseptor menyebabkan terjadinya

hipotensi postural. Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut

jantung maksimal dan volume sekuncup. Respons vasokontriksi untuk mencegah

terjadinya pengumpalan darah (pooling of blood) menurun sehingga respons terhadap

hipoksia menjadi lambat. (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.7.2 Sistem Respirasi;

Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru. Kapasitas total paru tetap

tetapi volume cadangan paru bertambah. Volume tidak bertambah untuk

mengkompensasi kenaikan ruang rugi paru. Udara yang mengalir ke paru berkurang.

Perubahan pada otot, kartilago dan sendi thoraks mengakibatkan pergerakan

pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan thoraks berkurang. Umur tidak

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan perubahan otot diafragma. Apabila terjadi perubahan otot

diafragma, otot thoraks menjadi tidak seimbang dan menyebabkan terjadinya distorsi

dinding thoraks selama respirasi berlangsung. Kalsifikasi kartilago kosta

mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk sehingga ekspansi rongga dada dan

kapasitas ventilasi paru menurun. (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.8 Sistem Indra

2.8.5.1.8.1 Sistem Penglihatan

Erat kaitannya dengan presbiopsi (old sigth). Lensa kehilangan elastisitas dan

kaku. Otot penyangga lensa lemah dan kehilangan tonus. Ketajaman penglihatan dan

akomodasi dari jarak jauh atau jarak dekat berkurang (Pudjiastuti & Utomo, 2003) .

2.8.5.1.8.2 Sistem Pendengaran

Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya

kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara

atau nada-nada tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, terjadi pada

usia 60 tahun keatas (Azizah, 2011)

2.8.5.1.8.3 Sistim Integument

Pada lansia kulit mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan berkerut.

Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit

disebabkan atrofi grandula sebasea dan grandula sudorifera. Penipisan kulit terjadi

pada dermis karena terdapat perubahan kolagen serta jaringan elastisnya. Bagian kecil

pada kulit menjadi mudah retak dan menyebabkan cechymosen. Timbul pigmen

berwarna coklat pada kulit, dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain angin dan sinar matahari, terutama

ultra violet (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.8.4 Sistem Ekresi

Pada lanjut usia ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula

Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi, nefron

secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai terlihat atropi, aliran darah di

ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal

dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun. Apabila terjadi stress fisik ginjal

tidak dapat mengatasi peningkatan kebutuhan dan mudah terjadi gagal ginjal

(Martono, 2009).

2.8.5.1.8.5 Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lanjut usia ditandai dengan menciutnya ovari dan

uterus. Terjadi atrofi payudara. Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi

halus, sekresi menjadi berkurang dan reaksinya menjadi bersifat alkali. Pada laki-laki

testis masih dapat memproduksi spermatosoa, meskipun adanya penuruanan secara

beransur-ansur. Dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun (jika kondisi

sehat baik), yaitu dengan kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut

usia (Azizah, 2011).

2.8.5.1.8.6 Kognitif

Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari

proses berfikir. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan

memanipulasi pengetahuan melalui aktifitas menggingat, mengganalisa, memahami,

Universitas Sumatera Utara

menilai, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa

diartikan sebagai kecerdasaan atau intelegensi (Ramdhani, 2008). Batasan fungsi

kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori, pemecahan masalah,

pengambilan sikap, integrasi belajar dan proses komprehensif (Pudjiastuti & Utomo,

2003).

2.9 Metode Uji Berjalan

Berjalan merupakan salah satu dari aktivitas dasar kehidupan (selain

bernafas, mendengar, melihat dan berbicara). Impairmen dari salah satu aktivitas

dasar ini akan menyebabkan disabilitas. Untuk mengetahui adanya impairmen dan

disabilitas berjalan dibutuhkan adanya parameter-parameter baik secara kualitatif

(gangguan keseimbangan untuk mencegah terjatuh) maupun kuantatif (kecepatan dan

jarak tempuh) serta apakah penderita membutuhkan alat bantu. Parameter-parameter

ini harus dijabarkan dan dibandingkan dengan kebutuhan fungsional yang nyata

dalam suatu komunitas. Kecepatan berjalan normal adalah berkisar antara 60-80

meter/menit (Ficher & Gullickson,1978). Kecepatan ini dibandingkan dengan

kecepatan fungsional yang dibutuhkan (79 meter/menit) untuk melewati tempat

menyeberang jalan raya dengan tanpa lampu, serta kecepatan yang umumnya pejalan

kaki dikota. Sementara itu 600 meter merupakan jarak tempuh terjauh yang umumnya

dibutuhkan seseorang untuk berjalan mengunjungi tempat-tempat umum di dalam

suatu komunitas. Kebanyakan aktivitas hidup sehari-hari mencerminkan suatu

latihan pada tingkat submaksimal, sehingga pengukuran dari kemampuan untuk

Universitas Sumatera Utara

melakukan latihan submaksimal (kapasitas endurance) merupakan komponen yang

penting dalam menilai adanya disabilitas. Uji berjalan sering digunakan dalam

praktek klinik maupun penelitian untuk menilai aspek dari fungsi fisik. Berbagai jenis

uji berjalan telah dikembangkan, baik berjalan pada waktu tertentu maupun pada

jarak tertentu. Sementara uji berjalan pada waktu 2 menit, 6 menit dan 12 menit

dilakukan untuk mengukur jarak tempuh dalam waktu tersebut diatas. Uji jarak

tempuh berjalan dalam waktu 12 menit, mula-mula dilaporkan sebagai petunjuk

untuk mengetahui kebugaran fisik seseorang (Lipkin et al, 1989) . Didapatkan adanya

hubungan yang erat antara jarak tempuh dalam 12 menit dengan penggunaan oksigen

maksimum (VO2 max) pada pria sehat.

Sejalan dengan waktu, uji ini dipersingkat menjadi 6 menit, 4 menit bahkan 2

menit. Membandingkan uji berjalan dalam waktu 12 menit, 6 menit, 2 menit, dan

mendapatkan bahwa waktu 12 menit sangat reprodusibel namun usia lanjut waktu

yang lebih pendek dibutuhkan mendapatkan hasil yang baik ( Butland et,al, 1982 ).

Sementara walaupun uji berjalan dalam waktu 2 menit, lebih singkat dan lebih mudah

bagi penderita maupun peneliti namun dijumpai beberapa kelemahan seperti: efek

latihan dari uji tersebut. Selanjutnya dikatakan uji jarak tempuh berjalan dalam waktu

6 menit merupakan waktu terbaik dan waktu yang paling sering digunakan dalam

praktek klinik maupun penelitian. Adapun keunggulan uji berjalan ini, dibanding

treadmill adalah bahwa uji ini lebih baik ditoleransi oleh penderita usia lanjut karna

kecepatan dari alat tersebut dan perasaan takut jatuh. Uji ini juga lebih mendekati

kebutuhan aktivitas fisik dibandingkan dengan uji menggunakan ergometer. Tidak

Universitas Sumatera Utara

dijumpai adanya efek samping dalam uji berjalan juga merupakan suatu uji sederhana

mudah dan murah (Mc Gavin,1979).

Suatu uji yang baik harus mempunyai reabilitas yang tinggi sehingga hasilnya

dapat diandalkan. Reabilitas dari uji berjalan 6 menit sangat baik. yang mana

pengukuran akan memberikan suatu hasil yang sama atau hampir sama ketika

dilakukan berulang kali (Harrada et,al,1997 ). Uji berjalan 6 menit (jarak tempuh)

dapat mengetahui kekuatan otot maupun ketahanan serta mobilitas yang akan

memberikan informasi tentang peningkatan aktivitas fisik.

Universitas Sumatera Utara

2.10 Landasan Teori

Gambar 2.4 Landasan Teori

Proses Menua 1. Faktor Endogen 2. Faktor Eksogen

1. Usia 2. Berat Badan 3. Tinggi Badan 4. Jenis Kelamin

Penurunan Fungsi

1. Kognitif 2. Psikososial 3. Integumen

1. Musculoskeletal 2. Neuromusculer 3. Kardiorespirasi

Resiko Osteoporosis

1. Kepadatan tulang menurun

2. Mikro Fraktur

1. Kurang Olahraga 2. Gaya Hidup

Senam Osteoporosis 1. Frekuensi Sekali

Seminggu 2. Frekuensi dua

kali seminggu

1. Keseimbangan 2. Kelenturan 3. Kekuatan Otot 4. Kepadatan Tulang

Jarak Tempuh Berjalan 6 Menit

Kualitas Aktivitas Fisik meningkat

Universitas Sumatera Utara

Penuaan adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur

dan furngsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan

memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994; Darmojo, 2004). Lanjut

usia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjutan dari suatu proses

kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pujiastuti &

Utomo,2003). Kriteria lanjut usia dari 57 negara didunia dan menemukan bahwa

kriteria lanjut usia paling umum adalah gabungan antara usia kronologis dengan

perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan status fungsional seseorang

(Staley & Beare, 2007). Yang terjadi dengan tubuh manusia dalam proses menua ini

secara ringkas yaitu kulit tubuh dapat menjadi lebih tipis, kering dan tidak elastis lagi,

rambut rontok , warnanya berubah menjadi putih, kering dan tidak mengkilat, jumlah

otot berkurang, ukuran juga mengecil, volume otot secara keseluruhan menyusut dan

fungsinya menurun, otot-otot jantung mengalami perubahan degeneratif, ukuran

jantung mengecil, kekuatan memompa darah berkurang, pembuluh darah mengalami

kekakuan (Arteriosklerosis), terjadinya degenerasi selaput lender dan bulu getar

saluran pemapasan, gelembung' pani-paru menjadi kurang elastis, tulang-tulang

menjadi keropos (osteoporosis). (Hardianto Wibowo, 2003). Osteoporosis adalah

kondisidi mana tulang menjadi rapuh dan mudah retak atau patah menjadi tua bukan berarti

harus berhenti dari olahraga (Wolf,1982). Aktivitas fisik atau olahraga tetap dapat

dilakukan dengan menyesuaikan kondisi lansia tersebut. Pemilihan jenis olahraga,

Universitas Sumatera Utara

intensitas (kerasnya melakukan latihan), lama dan frekuensi olahraga sangat

bergantung dari kemampuan lansia tersebut.

Dengan bertambahnya usia di atas 30 tahun akan terjadi penambahan lemak

tubuh, penurunan masa otot dan pengurangan jaringan organ tubuh. Dengan demikian

pula V0 2 Max secara otomatis akan menurun secara bertahap, yang juga

menunjukkan terjadinya kemunduran dalam kebugaran dan kesehatan jasmaninya

(Wibowo, 2003). Manfaat Senam Osteoporosis adalah, menjaga postur tubuh,

menjaga kelenturan dan pergerakkan otot, meningkatkan kerja jantung dan paru –

paru, menjaga keseimbangan tubuh, melatih koordinasi anggota gerak. Aktivitas

fisik merupakan gerakan fisik apapun yang dihasilkan oleh otot dan rangka

yang memerlukan atau membutuhkan pengeluaran energi di atas kebutuhan

energi saat istirahat, yang diukur dalam jumlah kilo kalori ( Public Health 1985).

Pembahasan penelitian mendapati bahwa perubahan kebugaran berkaitan langsung

dengan frekuensi latihan, walaupun dianggap tidak tergantung pada efek intensitas,

durasi, lama program, dan tingkat kebugaran awal ( Wenger & Bell, 1986 ). Individu

yang tidak terlatih pada kenyataan membutuhkan waktu 48 jam untuk beradaptasi dan

pulih dengan ransangan latihan ( Fleck & Kraemer, 1987 ). Uji berjalan 6

menit (jarak tempuh) dapat mengetahui kekuatan otot maupun ketahanan serta

mobilitas dan akan memberikan informasi tentang peningkatan aktivitas fisik.

Reabilitas dari uji berjalan 6 menit sangat baik. yang mana pengukuran akan

memberikan suatu hasil yang sama atau hampir sama ketika dilakukan berulang kali

(Harrada et,al,1997 ). Tidak dijumpai adanya efek samping dalam uji berjalan juga

Universitas Sumatera Utara

merupakan suatu uji sederhana mudah dan murah ( Mc Gavin,1979 ). Keterandalan

Uji Jalan Enam Menit di Lintasan Empat Persegi Panjang 20 x 2 m pada Penyandang

Disabilitas Intelektual dengan Obesitas di Jakarta (Tamin, et,al, 2011). Tidak

terdapat perbedaan jarak tempuh yang bermakna ketika uji jalan enam menit

dilakukan di panjang lintasan antara 15 sampai 50 meter ( Tamin, et, al, 2011 ).

2.11 Kerangka Konsep

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Senam Osteoporosis

Lansia

Perlakuan I (Senam

Osteoporosis, Frekuensi

Sekali Seminggu)

Perlakuan II (Senam

Osteoporosis, Frekuensi dua

kali Seminggu)

Kualitas Aktifitas

Fisik

Universitas Sumatera Utara