BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1....

24
Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisi Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008). Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1....

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi

2.1.1. Definisi

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum

ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua

sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran

juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang

heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir

sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan

secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan

cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan,

enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara

intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan

molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008).

Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA

(American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status

fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori

sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan

operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter

dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis

dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi

dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA

4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam

kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun

dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok

hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E

atau III E.

Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan,

sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:

1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya

2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,

midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi

diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan

3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)

4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen

5. Pelemas otot jika diperlukan

2.1.2 Tahap-tahap Anestesi

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau

eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan

hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus,

dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi

involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium

pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut

kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,

hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3

bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya

anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola

mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai

dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot

mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular,

abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV

(paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada,

pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan

karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008).

Tabel 2.1. Tahap Anestesi

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Tahap Nama Keterangan

1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan

diakhiri dengan hilangnya kesadaran.

Sulit untuk bicara; indra penciuman dan

rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi

pendengaran dan penglihatan mungkin

terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai

tahap induksi

2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat

penekananan korteks serebri.

Kekacauan mental, eksitasi, atau

delirium dapat terjadi. Waktu induksi

singkat.

3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya

dilakukan pada tahap ini

4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan

hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu

diberikan bantuan ventilasi.

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

2.1.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal

Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan

pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar;

(4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara

langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial

yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung

pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).

2.1.4. Anestesi Cair yang Menguap

Halotan

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem

konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung

yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia

yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk

menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini

perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).

b. Pernapasan

Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan

menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi

yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk

mengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008).

c. Susunan Saraf Pusat

Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan

intrakranial menurun (Munaf, 2008).

d. Ginjal

Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh

curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).

e. Hati

Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).

f. Uterus

Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus

obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008).

Metabolisme

Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui

metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat

(Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian

potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan

napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard

terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah

serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial (Munaf, 2008).

Indikasi Klinik

Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena

ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status

asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan

penyakit intrakranial (Munaf, 2008).

Efek samping/Toksisitas

a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang

mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih

banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis

sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat

juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).

b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu

tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis

metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan

dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum

sarkoplasmik (Munaf, 2008).

Enfluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi

ringan miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008).

b. Respirasi

Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang

disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).

c. Susunan Saraf Pusat

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan

parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan

meningkatnya tekanan intrakranial (Munaf, 2008).

d. Ginjal

Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).

Metabolisne

Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu

fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang

digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).

Keuntungan dan kerugian

Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons

kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak

mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran

mempunyai potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan

tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan patologik

intrakranial (Munaf, 2008).

Isofluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan

curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi

miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal

oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan

(Munaf, 2008).

b. Respirasi

Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi,

bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas (Munaf, 2008).

c. Ginjal

Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah

disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun (Munaf, 2008).

d. Susunan Saraf Pusat

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik

serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf (Munaf,

2008).

Metabolisme

Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada

waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian

Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan

ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah

Iritasi jalan napas sedang (Munaf, 2008).

Sevofluran

Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu

menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat.

Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk

pemeliharaan umum (Munaf, 2008). 

Tabel 2.2. Obat Sevofluran

Obat Aritmia Sensitivitas terhadap katekolamin

Curah jantung

Tekanan Darah

Refleks Respirasi

Toksisitas pada Hepar

Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++ Enfluran

↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +

Isofluran

-- -- ↓ ↓ ↑(stimulasi awal)

--

Sevofluran

-- -- -- -- -- --

Nitrogenoksida

-- -- -- -- -- --

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.5. Anestesi Intravena

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi

cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu

anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium

anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996)).

Tabel 2.3. Anestesi Intravena

Obat Waktu induksi Pertimbangan Pemakaian Natrium tiopental

Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk induksi cepat pada anestesi umum. Membuat pasien tetap hangat, karena dapat terjadi tremor. Dapat menekan pusat pernapasan dan mungkin diperlukan bantuan ventilasi

Natrium Tiamilal

Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan anestesi untuk terapi elektrosyok

Droperidol Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi umum. Dapat juga dipaki sebagai obat preanestetik

Ketamin Hidroklorida

Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka singkat atau untuk induksi pembedahan. Obat ini meningkatkan salivasi, tekanan darah, dan denyut jantung

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.6. Anestesi Gas

Tabel 2.4. Anestesi Gas

Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian

Nitrous

oksida

Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai efek

yang minimal pada kardiovaskular.

Harus diberikan bersama-sama

oksigen. Potensi rendah

Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan meledak.

Jarang digunakan

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.7. Penggolongan Muscle Relaxant

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang

mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya

kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan

durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot

depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi

(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi

menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh

otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat

pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot

fase II depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al., 2004).

2.1.7.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps

tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama

menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti

relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan

dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase

plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase

(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase

(Mangku, 2010).

A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini

memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang

dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar

dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini

sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang

mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis

besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level

pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada

kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan

blokade yang memanjang (Mangku, 2010).

B. Ciri Kelumpuhan

a. Ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.

c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non

depolarisasi dan asidosis.

d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal maupun tetanik.

e. Belum diatasi dengan obat spesifik

2.1.7.2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin

tidak dapat bekerja (Latief, dkk, 2007).

Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah

pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma

dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan

yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran

darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada

farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi

volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh

penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk

menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila

volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau

perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang

lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat

pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

diberikan sebagai injeksi cepat intravena (Lunn, 2004).

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi

digolongkan menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,

doksakurium, mivakurium.

2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,

rokuronium.

3. Eter-fenolik : gallamin.

4. Nortoksiferin : alkuronium.

Tabel 2.5. Obat Pelumpuh Otot

Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang,

sedang, dan pendek:lama kerja,

Dosis

Awal

(mg/kg)

Dosis

Rumatan

(mg/kg)

Durasi

(menit)

Efek Samping

Non Depol Long Acting

1. D-tubokurarin

2. Pankuronium

3. Metakurin

4. Pipekuronium

5. Doksakurium

6. Alkurium

0.40 –

0.60

0.08 –

0.12

0.20 -

0.40

0.05 –

0.12

0.02 –

0.08

0.15 –

0.30

0.10

0.15 –

0.20

0.05

0.01 –

0.015

0.005 –

0.010

0.05

30 –

60

30 –

60

40 –

60

40 –

60

45 –

60

40 –

60

Hipotensi

Vagolitik,takikardi

Hipotensi

Kardiovaskuler

stabil

Kardiovaskuler

stabil

Vagolitik,

takikardi

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Non depol Intermediate

1. Gallamin

2. Atrakurium

3. Vekuronium

4. Rokuronium

5. Cistacuronium

4 – 6

0.5 –

0.6

0.1 –

0.2

0.6 –

0.1

0.15 –

0.20

0.5

0.1

0.015 –

0.02

0.10 –

0.15

0.02

30 –

60

20 –

45

25 –

45

30 –

60

30 –

45

Hipotensi

Aman untuk hepar

Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi

kerja panjang, sedang, dan pendek:

Dosis

Awal

(mg/kg)

Dosis

Rumatan

(mg/kg)

Durasi

(menit)

Efek Samping

Non Depol Short Acting

1. Mivakurium

2. Ropacuronium

0.20 –

0.25

1.5 –

2.0

0.05

0.3 – 0.5

10 –

15

15 –

30

Depol Short Acting

1. Suksinilkolin 1 3 – 10

Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

Ciri Kelumpuhan Otot

Non Depolarisasi

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

a. Tidak ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik

inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)

c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal atau tetanik.

d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.1.8. Penawar Pelumpuh Otot

Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga

asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah

neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan

edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan

oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga

menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas

usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti

atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai

0,2-0,3 mg pada dewasa) (Mangku, 2010).

2.1.9. Analgesik

Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu

obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol)

digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan

manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin

dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa

menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk

aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi

serta digunakan dalam kondisi rematik.

a. Jenis-Jenis Analgesik

Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi

kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika

perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa

nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).

b. Mekanisme Kerja Obat

1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)

Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu :

a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi

b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri

c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.

Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal

obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus

menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat

dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim

konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah

(Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga

homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di

mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat

sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal

ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-

1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan faktor pertumbuhan

(growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim

tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di

ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2,

yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit,

vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis

oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan

penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick

et al., 2008).

2. Obat Anti Inflamasi Steroid

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa opioid

didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson.

a. Analgesik Opioid Kuat

Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak

terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan

bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan

untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada

perawatan terminal.

Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral

yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor

(menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali

petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual, serta

muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut

juga menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas

opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter

Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan

vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami metabolisme dalam hati dengan

berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang

inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin

itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.

Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin

sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar

puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin.

Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan

nyeri hebat.

Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat diberikan

secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan

morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau

morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena.

b. Analgesik Opioid Lemah

Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik

ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi,

ibuprofen kurang menarik untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang

hebat.

Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas

sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi

dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein.

Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang

menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga

digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.

2.2. Post Operative Nausea and Vomitus (PONV)

2.2.1. Definisi

Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting

(PONV) tidak mengenakkan bagi pasien dan potensial mengganggu penyembuhan

paska operatif. Kapur mendeskripsikan PONV sebagai ‘the big little problem’ pada

pembedahan ambulatori (Maddali MM, Mathew J, 2003).

Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang

berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan

tenaga penuh dari isi gaster. Stimulus yang bisa mecetuskan mual dan muntah

berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ

memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan dan faktor – faktor

lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya PONV. Muntah diawali dengan bernafas

yang dalam, penutupan glotis dan naiknya langit – langit lunak. Diafrahma lalu

berkontraksi dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung keluar

dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Honkavaara, P, 1995).

2.2.2. Patofisiologi

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,

memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus

solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area

postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah

dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum,ginjal, peritoneum dan genital

dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical

atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di

telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area

postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah

atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ (Ho KY, Chiu JW, 2005).

Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang

berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang

tidak nyaman (Zainumi C M). Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan

mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui

perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih (Morgan

Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj, 2006). Sistem vestibular dapat dirangsang melalui

pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah

(Rahman MH, Beattie J, 2004).

Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-

1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang

tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-

reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya

reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah

mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot

perut untuk melakukan refleks muntah (Ho KY, Chiu JW, 2005)

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Skema patofisiologi mual dan muntah

Sumber: Rahman MH, Beattie J., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting. The

Pharmaceutical Journal, Vol. 273

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Patofisiologi mual dan muntah

Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan

Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV

Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang

Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir

penelitian. Medan.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Fisiologi Post Operative Nausea and vomiting

Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan

Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV

Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang

Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir

penelitian. Medan.

2.2.3. Faktor Risiko

1. Faktor – faktor pasien

a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun,

42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa.

b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih

mungkin dibandingkan laki – laki, kemungkinan karena hormon

perempuan.

c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi

PONV baik karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

– obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan

adipos.

d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih

mungkin terkena PONV

e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini

akan menambah resiko terjadinya PONV

f. Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV

2. Faktor – faktor preoperatif

a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan

meningkatkan insiden PONV

b. Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah

c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra

kranial,obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien

dengan kemoterapi.

d. Premedikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan

mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan

menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan

menambah keluarnya 5-HT dari sel – sel chromaffin dan terlepasnya

ADH.

3. Faktor – faktor intraoperatif

a. Faktor anestesi

Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan

muntah

Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat

ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah

Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan

merangsang vestibular

Obat – obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan

dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan

dengan kejadian PONV yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

Agen anstesi inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden

PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane,

enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian

PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang dalam

terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah karena N2O

karena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada

tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.

b. Teknik anestesi

Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila

dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai

insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.

c. Faktor pembedahan :

Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan

keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara,

laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (stabismus), bedah THT,

bedah ginekologi (Gan TJ, 2003).

Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV

meningkat sampai 60%).

4. Faktor – faktor paska operatif

Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat (Saeeda I, Jain P, 2004)

Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor – faktor tertentu diketahui

meningkatkan insiden. Faktor – faktor preoperatif yang berhubungan dengan pasien

seperti umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat

sebelumnnya, kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor – faktor post operatif

adalah tekhnik atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia

opioid, intake oral yang cepat dan pergerakan. Thomson juga menegaskan bahwa

penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari

jalur maupun waktu pemberiannya. (Saeeda I, Jain P, 2004)

Walaupun begitu, intervensi untuk mencegah PONV tidaklah perlu untuk

semua populasi pasien, bahkan tanpa profilaksis pasien belum tentu mengalami

simptom tersebut. Terlebih lagi intervensi yang dilakukan kurang efikasinya,

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

terutama yang monoterapi. Oleh karena itu, penting untuk memberikan intervensi

pada pasien yang mungkin mengalami PONV. Bagaimanapun, pengertian

mengenai faktor resiko PONV belumlah lengkap, untuk mengerti tentang

patofisiologi dan faktor resiko PONV dipersulit oleh banyaknya faktor karena

banyaknya reseptor dan stimulus. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang diketahui,

serotonin, dopamine, muscarine, acetylcholine, neurokinin – 1, histamine dan

opioid (Gan TJ, 2006).

2.2.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan farmakologikal PONV menurut Morgan Jr GE, 2006) dan

Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, 2006 :

a. Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan

keamanannya diantara golongan –golongan Antagonist reseptor Serotonin

tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron, Granisetron, dan Tropisetron

untuk profilaksis PONV. Obat ini efektif bila diberikan pada saat akhir

pembedahan. Banyak penelitian dari golongan obat ini seperti Ondansetron

dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari pada anti mual.

b. Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di CTZ, bila

reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin tersebut

seperti:Benzamida (Metoklopramide dan Domperidon),Phenotiazine

(Clorpromazine dan Proclorpromazine), dan Butirophenon (Haloperidol

dan Droperidol).

c. Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan

Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam

penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktivasi sistem

vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk muntah yang dirangsang

langsung di CTZ .Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine hydrobromide

atau Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah dengan memblok

kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di sistem vestibular.

d. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah deksametason.

Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV dengan cara menghambat

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter II.pdf · secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi

Universitas Sumatera Utara

pelepasan prostaglandin. Efek samping pemakaian berulang deksametason

adalah peningkatan infeksi, supressi adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan

efek samping timbul pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga

menurunkan motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek

samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi

urine, mulut kering, drowsiness.

2.2.5. Jenis Operasi yang Menyebabakan PONV

Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang

berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba – tiba

dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga

tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin berhubungan

dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal yang

lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika adanya riwayat

PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa,

penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah

medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti

pusat pernafasan dan vasomotor (Chandra, 2012).

Mual dan muntah sering juga ditemukan pascabedah dan bisa sekunder terhadap

ileus paralitikus, obstruksi usus halus mekanik, abses dan peradangan intraabdomen

(terutama jika dalam epigastrium) serta pemebrian berbagai obat yang lazim

diberikan pada pasien bedah. Anestesi umum dan analgesik opiat tersering

dilibatkan dalam hal ini. Mual dan muntah yang disebabkan oleh ileus paralitikus

dan obstruksi usus memerlukan pendekatan terapi yang lebih agresif. Disamping

debilitasi psikolog yang menyertai masa muntah yang lama, juga timbul akibat

fisiologi yang telah dikenal. Hipovolemia, hipokalemia dan alkalosis merupakan

penyimpangan metabolik dini yang dominan, yang akhirnya bisa memerlukan

koreksi jika muntah tetap (Sabiston, 2005).

Universitas Sumatera Utara