Trauma Inhalasi FIX

download Trauma Inhalasi FIX

of 18

description

refarat forensik

Transcript of Trauma Inhalasi FIX

TRAUMA INHALASI

A. PENDAHULUANKerusakan pada sistem pernapasan akibat inhalasi asap atau zat kimia yag dihasilkan dari proses pembakaran berhubungan dengan kecacatan yang serius maupun kematian. Trauma inhalasi dapat mengakibatkan disfungsi paru jangka panjang.1Trauma inhalasi didefinisikan sebagai kerusakan saluran nafas akut yang dengan tingkat keparahan tertentu karena inspirasi asap dan uap dengan suhu yang amat panas serta zat toksik yang diproduksi akibat proses pembakaran yang tidak sempurna. Uap mengandung beberapa partikel yang terdispersi dalam udara yang mengandung berbagai zat iritan atau zat sitotoksik yang melekat pada partikel. Kabut mengandung zat aerosol iritan atau cairan sitotoksik. Asap mengandung kombinasi, gas, kabut dan udara panas. Tingkatan dan derajat trauma sangat ditentukan oleh sifat psikokimia dari agen penyebab, jumlah zat yang dihirup dan adanya penyakit penyerta lainnya.2,3 Trauma inhalasi dengan kejadian luka bakar dapat terjadi terpisah namun pada kenyataannya sering ditemukan bersamaan. Trauma inhalasi dapat terjadi pada berbagai lokasi disepanjang saluran nafas.3 Insidensi trauma inhalasi didunia cenderung meningkat dimana kejadian sebelumnya hanya mencapai kurang dari 10% dengan total luas permukaan tubuh yang terbakar kurang dari 5%, saat ini mencapai lebih dari 80% dengan luas permukaan tubuh yang terbakar mencapai lebih dari 85%.Inhalasi asap terjadi pada satu dari 3 pasien yang dirawat di unit perawatan luka bakar. Amerika serikat memiliki tingkat fatalitas tertinggi didunia dengan angka kematian akibat trauma inhalasi mencapai 2.3 per 100.000 penduduk dan hal ini lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan di Eropa dan Jepang.4Trauma inhalasi lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak-anak karena lebih banyak paparan terhadap sumber api. Sekitar 50% kematian akibat inhalasi asap terjadi karena hipoksemia dan 80% diantanya terjadi karena intoksikasi CO.

Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka kematian. Trauma inhalasi secara signifikan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas luka bakar diikuti dengan komplikasi saluran nafas misalnya pneumonia dan distres pernapasan. Derajat pemulihan sangat bergantung pada luasnya kerusakan parenakim paru dan resiko hipoksia pada organ. Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas, asap atau uap panas yang terhisap. Cedera inhalasi disebabkan oleh jenis bahan kimia terbakar (tracheobronchitis) dari saluran pernapasan. Bila cedera ini terjadi pada pasien dengan luka bakar kulit yang parah kematian sangat tinggi antara 48% sampai 86%. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas.5,6,7Keracunan asap disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hidrogen sianida, nitrogen oksida, hidrogen klorida, akreolin dan partikelpartikel tersuspensi.Efek akut dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi jalan napas akan menjadi lebih hebat akibat adanya tracheal bronchitis dan edema.6,7B. HISTOLOGI SALURAN PERNAPASAN

Beberapa bagian anatomi saluran nafas berkontribusi terhadap perlindungan saluran nafas dan paru-paru dari zat toksik yang terhirup. Pada saluran nafas atas, partikel sebesar 5-10 mikrometer terperangkap oleh turbulensi udara dipermukaan mukosa nasal. Pada saluran nafas juga terdapat epitel bersilia yang mensekresi mukus dan memindahkan partikel dengan kecepatan 1- 4 cm per jam.8Pada saluran nafas distal, makrofag alveolar memfagosit patikel. Makrofag ini dapat berpindah melalui ruang udara, saluran limfe dan kapiler pulmonal. Lisosom dalam makrofag mengandung asam hidrolase yang mampu menghancurkan partikel, akan tetapi interaksi antara makrofag dengan partikel yang terhirup juga dapat memicu reaksi imunologis dan inflamasi pada paru.8,9Faktor yang mempengaruhi trauma inhalasi yakni, solubilitas komponen asap terhadap air, dan lamanya paparan .Solubilitas air memiliki peran yang signifikan dapam menentukan lokasi gas atau trauma inhalasi uap air. Komponen yang lebih larut air dapat mempengaruhi saluran nafas atas karena dapat terurai dan terkonsentrasi pada fase aqueous dari mukus. Pada konsentrasi tinggi atau paparan yang lama, komponen yang larut air juga dapat menyebabkan trauma saluran nafas bawah. Komponen yang tidak larut air mempengaruhi saluran nafas bawah sehingga menyebabkan kerusakan alevoli dan epitel bronkiolus respirasi.8C. PATOFISIOLOGI TRAUMA INHALASI

Saluran nafas atas

Saluran nafas atas lebih banyak mengalami trauma termal karena tingginya kemampuan pertukaran panas terutama pada orofaring dan nasofaring. Pada percobaan yang dilakukan terhadap binatang yang menghirup udara kering bersuhu 350-500 derajat selsius menunjukkan bahwa udara ini mulai kehilangan panas sebelum mencapai saluran nafas bawah. Oleh karena itu mekanisme patofisiologi trauma inhalasi pada saluran nafas atas berhubungan dengan trauma termal Panas yang timbul akan menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan epitelial, denaturasi protein dan mengaktivasi sistem komplemen yang memicu terjadinya pelepasan histamin dan menstimulasi pembentukan xanthin oxidase. Enzim ini mengkatalis pemecahan purin menjadi asam urat dan melepaskan reactive oxygen species (ROS) seperti superoksida.9,10Dalam waktu yang bersamaan, pembentukan nitrit oksida oleh sel endotel meningkat oleh karena stimulasi histamin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan pembentukan reactive nitrogen species (RNS) seperti peroxynitrit. ROS dan RNS dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel untuk protein sehingga timbul edema. Selain itu, pelepasan eicosanoid dan IL-8 menyebabkan terjadinya penarikan sel-sel polimorfonuklear ke tempat trauma yang akan memperbesar proses inflamasi. Terbentuknya nitrit oksida akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah sehingga memperparah terjadinya edema.11Edema yang lebih parah akan menimbulkan gejala klinis seperti stridor, dispneu dan peningkatan beban respirasi. Hal ini dapat muncul hingga 18 jam atau lebih. Adanya proses inflamasi juga dapat merusak fungsi siliar pada saluran nafas sehingga menimbulkan resiko infeksi dikemudian hari.9,12

Kongesti mukosa epiglotis akibat trauma inhalasi9Sistem TrakeobronkialTrauma inhalasi pada sistem trakeobronkial biasanya lebih sering disebabkan karena bahan kimia. Saluran nafas ini kaya akan persarafan vasomotor dan ujung saraf sensoris. Inhalasi asap menstimulasi saraf ini untuk melepaskan neuropeptida yang bersifat bronkokonstriktor poten. Dalam kondisi fisiologis, mukosa memproduksi endopeptidase neutral yang menetralisir agen toksik ini, namun terjadinya gangguan seluler dapat menyebabkan hilangnya proses neutralisasi. Neuropeptida juga menyebabkan terjadinya aktivasi dan atraksi neutrofil yang berujung pada peningkatan produksi ROS. Selain itu neuropeptida juga mengaktifkan neuronal NO sintetase (nNOS, NOS-1) yang mengkatalis pembentukan superoksida yang dapat menginaktivasi enzim penting yang memicu terjadinya kerusakan DNA dan menginduksi proses apoptosis.11Hilangnya epitel bronkus memicu terjadinya pembentukan eksudasi cairan dengan kadar protein tinggi. Cairan ini akan menjadi solid dan membentuk suatu bahan obstruktif yang bentuknya sesuai dengan saluran nafas (airway casts). Airway cast terdiri dari mukus, sel epitel pernapasan, sel inflamasi dan fibrin.11

Airway cast pada saluran napas pasien kasus trauma inhalasi11Selain obstruksi saluran nafas, tanda lain yang bisa ditemukan yakni bronkospasme, peningkatan sirkulasi bronchial dan aliran cairan transvaskular. Peningkatan aliran darah bronkial dapat mencapai 10 kali lipat dalam 20 menit pasca inhalasi asap.1Parenkim ParuKerusakan pada parenkim paru karena trauma inhalasi cenderung lambat. Perbedaan waktu antara inisiasi trauma dan penurunan tekanan oksigen arterial terhadap fraksi oksigen berkorelasi terhadap derajat keparahan trauma pada paru. Mekanisme trauma pada alveolar ditunjukkan dengan kolapsnya alveolar dan atelektasis karena kurangnya surfaktan yang menimbulkan gangguan perfusi oksigen. Selain itu adanya gangguan hemostasis alveolar memicu terjadinya kondisi prokoagulasi yang menimbulkan peningkatan deposisi fibrin dan semakin memperparah ventilasi udara dan memicu terjadinya proses inflamasi.11Neutrofil yang teraktivasi, akan memproduksi ROS, dan enzim protease. Neutrofil juga beradesi dengan membran kapiler melalui L-selectin dan menyebabkan kerusakan kapiler karena ROS dan Protease.11

kolaps alveolar dengan atelektasis9Respon sistemik dan toksisitas Respon sistemik pada inhalasi asap ditandai oleh systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang disebabkan oleh mediator proinflamasi yang beredar secara sistemik melalui paru-paru melewati vaskularisasi bronkial dan pulmonar menuju organ sistemik. Penurunan transport oksigen ke jaringan menyebabkan elevasi kadar karboksihemoglobin dan penurunan fungsi jantung yang dapat memperburuk keadaan. Kombinasi antara luka bakar dan trauma inhalasi terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan pergeseran dari aliran darah arteri dari usus menuju jaringan lunak atau otot, sehingga meningkatkan resiko kegagalan organ akibat translokasi bakteri.11D. KLASIFIKASI TRAUMA INHALASI

Trauma inhalasi dapat memberikan gambaran trauma pulmonar yang disebabkan oleh inhalasi bahan iritan termal maupun kimiawi. Secara anatomis, kerusakan akibat trauma inhalasi dibagi kedalam tiga kelas, yaitu : 1) Trauma panas pada saluran napas bagian atas

Temperatur udara pada sebuah ruangan yang terbakar dapat mencapai 1000F. Karena adanya kombinasi pembuangan panas yang efisien di saluran napas bagian atas, refleks penutupan laring, udara yang sangat panas biasanya mengakibatkan cedera yang terbatas pada struktur saluran napas di daerah proksimal. trauma pada struktur saluran napas atas menyebabkan edema massif pada lidah, epiglottis, dan struktur ariepiglotika. Edema yang terjadi menyebabkan obstruksi saluran napas.112) Trauma kimiawi pada saluran napas bagian bawah

Sebagian besar substansi yang terbakar akan menghasilkan material yang toksik terhadap salurn napas. Karet dan plastik yang terbakar menghasilkan sulfur dioksida, ditrogen dioksida, amoniak, dan klorin dengan sifat asam dan alkali yang sangat kuat apabila dikombinasikan dengan cairan pada saluran napas dan alveolus, perabot yang mengandung perekat dapat melepaskan gas sianida ketika dibakar. Katun atau wol yang terbakar menghasilkan aldehida yang bersifat toksik.1,3,13 Gas yang beracun dapat merusak epitel dan endotel kapiler pada saluran napas. Proses transpor mukosilier rusak dan pembersihan bakteri berkurang. Kolaps alveolar dan atelektasis terjadi karena kehilangan surfaktan. Makrofag alveolus menyebabkan respon inflamasi yang memproduksi kemotaksin. Proses inflamasi awal yang terjadi dalam jalan napas diikuti dengan periode pembentukan eksudat. Kombinasi necrotizing bronchitis, edema bronkus, dan bronkospasme menyebabkan obstruksi saluran napas besar dan kecil. Wheezing terjadi akibat pembengkakan kedua bronkus. Peningkatan permeabilitas kapiler memperberat edema saluran napas dan paru-paru.3,11,143) Toksisitas sistemik akibat paparan karbon monoksida dan sianidaAfinitas hemoglobin pada karbon monoksida (CO) adalah 200 kali lebih besar dibandingkan afinitasnya terhadap oksigen. CO berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin sehingga transportasi oksigen ke jaringan mengalami gangguan.karbon monoksida menginhibisi system oksidasi sitokrom intrasel, khususnya sitokrom P-450 yang mengakibatkan ketidakmampuan sistem sel untuk menggunakan oksigen.Inhalasi hidrogen sianida yang dihasilkan selama proses pembakaran perabot rumah tangga juga menginhibisi sistem sitokrom oksidase dan memiliki efek yang sinergis dengan efek yang dihasilkan oleh karbon monoksida yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan asidosis serta penurunan konsumsi oksigen oleh otak.1,11E. MEKANISME TRAUMA INHALASIMultiple cause of Death dari trauma inhalasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

Penyebab Kematian Langsung (1A) : Gangguan Pernafasan.

Gangguan pernafasan merupakan mekanisme utama damage atau death pada pasien dengan trauma inhalasi seperti mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya. Gangguan pernapasan meliputi gangguan passage jalan nafas berupa obstruksi hingga gangguan pernapasan tingkat seluler. Hal ini dimediasi oleh penyebab antara yang dijelaskan selanjutnya. Sedangkan Penyebab Antara (IB-C) yang mungkin terjadi pada pasien dengan trauma inhalasi adalah:Trauma Termal Langsung

Asap cenderung bersifat kering sehingga menurunkan potensi pertukaran panas. Area supralaring memiliki kapasitas yang lebih besar untuk pertukaran panas karena adanya mukosa yang mengandung air. Trauma saluran nafas atas ditunjukkan dengan adanya eritema, edema, dan ulserasi pada mukosa, dan berpotensi untuk timbul pendarahan lokal atau bahkan obstruksi pada area yang terkena.15,16Inhalasi Gas Hipoksik

Selama pembakaran, konsentrasi oksigen menurun secara progresif hingga sumber api dihentikan karena oksigen digunakan untuk mempertahankan nyala api. Tergantung pada tipe bahan bakar, proses ini berlangsung dengan variasi waktu tertentu. Pada kasus pembakaran dengan bensin, api dapat berhenti ketika fraksi oksigen mencapai 13-15%. Pada kasus dimana masih terdapat kandungan oksigen, pembakaran dapat berhenti ketika kadar fraksi O2 kurang dari 10%. Keadaan ini memicu terjadinya dispneu dan pusing sehingga mengganggu kesadaran, keram, bahkan koma. Pada keadaan dimana fraksi oksigen hanya berkisar 5%, keadaan ini dapat memicu kematian15Racun Lokal

Dari beberapa komponen asap, acrolein, formaldehide, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida dapat menimbulkan trauma saluran nafas secara langsung. Proses ini timbul dari proses inflamasi akut yang dimediasi oleh leukosit polimorfonuklear terutama neutofil. Gejala yang muncul pada proses ini tidak akan muncul hingga 24 jam pasca paparan dan menimbulkan perubahan dalam permeabilitas kapiler, aliran limfatik dan bersihan mukosiliar hingga sindrom distres nafas atau infeksi sekunder.12,15Racun Sistemik

Substansi yang paling berperan dalam menimbulkan efek sistemik adalah karbon monoksida dan sianida. Intoksikasi karbonmonoksida merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien yang mengalami trauma inhalasi. Karbonmonoksida memiliki afinitas sangat tinggi terhadap hemoglobin yakni mencapai 250-300 kali lipat dibandingan afinitas oksigen terhadap hemoglobin.9 Terbentuknya kompleks karboksihemoglobin yang sangat stabil tidak hanya menurunkan saturasi oksihemoglobin namun menyebabkan pergeseran kurva disosiasi ke kiri yang akhirnya menyebabkan sulitnya pelepasan oksigen ke jaringan. Selain itu, inhibisi kompetitif terhadap enzim sitokrom oksidase terutama sitokrom P-450 menghambat penggunaan oksigen untuk produksi energi. Karbon monoksida juga berikatan dengan myoglobin sehingga mengganggu penyimpanan oksigen di otot. 11,15Toksisitas sianida terjadi karena inhibisi oksigenasi seluler sehingga menimbulkan anoksia selular melalui inhibisi reversibel enzim sitokrom oksidase (fe3+). Inhibisi jalur glikolisis mendorong metabolisme anarob sehingga menimbulkan akumulasi hasil sampingan berupa asam. Dalam 6-8 menit pasca menghirup sianida dapat timbul kematian melalui proses yang dijelaskan sebelumnya. 14,15,16Tipe dan jenis paparan, atau mekanisme tertentu yang dominan akan menentukan tipe evolusi yang tampak pada trauma inhalasi.14Faktor lain yang dapat memperberat trauma inhalasi (II) adalah gangguan atau penyakit pada saluran nafas sebelumnya.

F. DIAGNOSISDiagnosis trauma inhalasi cenderung bersifat subjektif yang umumnya berdasarkan riwayat paparan asap di ruangan tertutup. Tanda klinis yang ditemukan termasuk lesi pada daerah wajah, bulu hidung yang terbakar, jelaga pada saluran napas bagian atas, sputum yang mengandung karbon, dan perubahan suara dapat membantu diagnosis.12,16Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya luka yang tampak pada saluran pernapasan, edema saluran napas atau bukti terjadinya disfungsi dan kerusakan parenkim paru. Temuan klinis dapat dikonfirmasi dengan menggunakan fiberoptic bronchoscopy, yang dapat dilakukan 24 jam setelah kejadian. Pada bronkoskopi sering ditemukan debris karbon endobronkial dan mukosa yang pucat, eritema dan ulserasi. Tidak ditemukannya gambaran khas pada bronkoskopi tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kerusakan pada parenkim paru.1,15

Tampak debris endobronkial dan mukosa yang pucat, eritema dan ulserasi.16Untuk mengevaluasi kerusakan pada parenkim paru dapat digunakan pemeriksaan xenon scanning. Tes ini aman dan cepat. Pemeriksaan ini meliputi scintiphotograms serial regio thorax setelah sebelumnya dilakukan injeksi gas xenon intravena. Pada pemeriksaan ini akan tampak penurunan kadar gas dalam alveolus, yang mengindikasikan adanya obstruksi saluran pernapasan kecil yang disebabkan oleh edema dan formasi fibrin. 15Metode terbaru untuk mengevaluasi trauma inhalasi adalah estimasi cairan pada ekstravaskuler paru-paru dengan pengukuran simultaneous thermal and dye dilution measurement. Metode ini tidak dapat menentukan secara kuantitatif derajat trauma tetapi terbukti bermanfaat dalam membedakan trauma pada parenkim dengan saluran napas bagian atas.1,15Keracunan karbon monoksida yang umumnya dapat menyertai trauma inhalasi dapat dievaluasi dengan mengukur level karboksihemoglobin. Gejala klinis seperti nyeri kepala, mual, dan perubahan perilaku dapat terjadi pada 30% pasien. Waktu sejak terjadinya trauma inhalasi hingga proses diagnosis sangat penting karena 4 jam setelah kejadian, level CO dalam darah akan menurun satu setengah kali apabila pasien bernapas di ruang terbuka dan kurang dari 1 jam pada pemberian oksigen 100% setelah kejadian. 15G. PROXIMUS MORTIS

Berbagai faktor berperan dalam terjadinya respon patologis yang berujung kematian pada kasus trauma inhalasi. Faktor-faktor tersebut bergantung dari lamanya paparan inhalan, temperatur inhalan, maupun zat gas yang terlarut. Pada trauma inhalasi dengan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan spasme dan edema pada saluran napas bagian atas sehingga terjadi obstruksi saluran napas. Gejala ini merupakan gejala dini yang dapat ditemukan pada trauma inhalasi. Sekitar dua jam setelah terjadinya trauma inhalasi, reaksi inflamasi mulai terjadi yang meliputi edema intersisial, invasi neutrofil, dan pembentukan pseudomembran. Obstruksi yang terjadi pada saluran napas bagian atas akan mengakibatkan terjadinya cedera sekunder pada daerah pulmonar berupa atelektasis hingga bronkopneumonia.3 Apabila trauma inhalasi terjadi hanya akibat inhalasi zat toksik itu sendiri, maka kematian akibat zat toksik ini dapat memiliki mekanisme tersendiri. Zat-zat toksik akan mengganggu ikatan hemoglobin dan oksigen karena daya ikat zat-zat toksin tersebut terhadap hemoglobin lebih besar dibandingkan daya ikat oksigen terhadap hemoglobin. Hal ini akan menyebabkan keracunan sistemik pada tubuh. Metabolisme anaerob akan terjadi untuk menggantikan metabolisme aerob yang terhambat sehingga diproduksi produk sampingan berupa asam laktat yang memperparah kondisi jaringan tubuh. selain itu, toksin seperti sianida dapat menyebabkan gangguan neurologis berupa kejang. Pada trauma inhalasi akibat suhu yang tinggi, zat-zat toksik akibat pembakaran dapat menjadi faktor komorbid. 3,12Gejala obstruksi saluran napas maupun akibat toksisitas sistemik pasca trauma inhalasi akan menyebabkan terjadinya gangguan pada tubuh untuk memperoleh oksigen. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan tubuh. kekurangan hingga ketiadaan oksigen akan menyebabkan gangguan metabolisme di seluruh tubuh. Apabila hipoksia berat yang terjadi kemudian menyebabkan hipoksia pada jaringan otak maka akan menyebabkan kematian.3,4

`

A. Proximus mortis trauma inhalasi kausa termalB. Proximus mortis trauma inhalasi kausa zat toksikH. TEMUAN POST MORTEMGambaran patologi dari saluran nafas dan bawah yakni terjadinya edema. Studi bronkoskopik menunjukkan 24 jam pertama pasca trauma menunjukkan perubahan gradual dari mukosa trakeobronkial yang edema.17Adanya peningkatan kadar CO (COHb > 10%) dan gas toksik lainnya di dalam darah, serta adanya jelaga pada mulut, saluran napas bagian atas, dan saluran pencernaan menunjukkan bahwa korban sempat hidup saat terjadi kebakaran. Pada epitel juga tampak adanya elongasi dan palisade sebagai efek postmortem.18Gambaran mikroskop cahaya juga menunjukkan deepitelisasi yang hampir sempurna pada daerah trakeobronkial. Lesi khas juga muncul pada saluran nafas bawah. Area kongesti fokal dan edema juga tampak, ditemukan pula area kolaps dan pneumonia sebagai mekanisme emfisema kompensasi. Lapisan epitel pada trakea dan bronkus dapat terlepas. Pemisahan progresif dari epitelium disertai dengan pembentukan pseudomembran menyebabkan obstruksi saluran nafas parsial atau komplit. Lesi dapat bervariasi mulai dari desquamasi epitel homogen yang bengkak hingga hilangnya lapisan epitel tracheobronchial dengan nekrosis fokal dan pseudomembran yang berisi mukus, debris seluler, eksudat fibrin, leukosit polimorfonuklear dan bakteri. Parenkim paru pada daerah yang mengalami trauma menunjukkan gambaran kongesti, edema interstitial dan alveolar, infiltrasi neutrofil, membran hilain dan atelektasis. Selanjutnya lesi ini akan membentuk lesi yang mengandung fibrin yang dapat memicu obstruksi saluran nafas.17

Kiri: gross anatomi: tampak adanya partikel karbon pada saluran nafas, Kanan: tampak partikel karbon berwarna kehitaman pada epitel respirasi.

Penurunan kapasitas paru hingga 50% juga dapat terjadi. Dalam 24 jam pertama pasca trauma, hal ini berhubungan dengan peningkatan cairan paru ekstravaskular dan aliran limfe pulmonal.17Inaktivasi surfaktan juga terjadi dan menyebabkan mikroatelektasis dan memgganggu fungsi perfusi ventilasi. Pada keadaan yang lebih berat akan menimbulkan hipoksemia berat dan trauma mikrovaskular yang akan menimbulkan sindrom distress nafas (ARDS).17I. MANAJEMEN

1. Airway

Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalsi maka sebelum dikirim ke pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam setelah kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat dilakukan.112. Breathing

Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernafasan seperti susah nafas, stridor, batuk, retraksi suara nafas bilateral atau tandatanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam darah.

3. Circulation

Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik pada pasien dengan trauma inhalasi yang disertai dngan adanya luka bakar diperlukan resusitasi cairan intravena. Pada pasien yang hanya mengalami trauma inhalasi tanpa luka bakar, pemberian cairan intravena tidak diperlukan. Pemberian cairan intravena harus dimonitor melalui.154. Neurologik

Pasien yang berespon atau sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan analgetik poten.35. Medikasi yang digunakan pada trauma inhalasia.Beta-agonists : Digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema bronkus.b.Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh staphylococus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien dengan kerusakan paru.c. Amyl nitrit dan sodium nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO kerena obat ini dapat menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan sodium tiosulfat juga dapat sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA.15DAFTAR PUSTAKA1. Dries DJ, Endorf FW. Inhalation injury: epidemiology, pathology, treatment strategies. Scandinavian Journal of Trauma, Rescucitation, and Emergency Medicine. 20132. Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. Respiratory Management of Inhalation Injury. Available at : www.worldburn.org/documents/respiratorycare.pdf . Cited : 22 January 20143. Fitzpatrick JC. William GC. Inhalation injury. Trauma quarterly 1994 No 11(2) :114-1264. Lafferty KA. Smoke Inhalation. 2012 [updated 2012; cited]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/771194-overview. 5. Serebrisky, Denise. Inhalation injury. Availabel at http://emedicine.medscape.com/article/1002413-overview#a0199 Cited 22 January 20146. Rajpura A., Inhalation Injury, available at www.burncenter.com, Januari 20117. Emily B Nazarian., Inhalation Injury, available at www.emedicine.com. Cited : Cited 22 January 20148. Miller K, Chang A. Acute inhalation injury. Emerg Med Clin N Am 21 (2003) 5335579. Vincent JD, Domick JD. Chapter 13: fire death In: forensic pathology second edition. Florida: CRC Press 2001 p 13.1-13.2110. Hans PF, Gerd OT,Otmar T, Peter AW. Oxidase in thermal injury of skin (AmJPathol 1989, 135:203-217)11. Sebastian R, Marc OM, Perenlei E,Dirk MM, Yusuke Y,Daniel LT. Pathophysiology, management and treatment of smoke inhalationinjuryExpert Rev Respir Med. 2009 June 1; 3(3): 28329712. Wilson WC. Trauma Emergency Resuscitation Perioperative Anesthesia Surgical Management. New York : Informa Healthcare. 200713. Demling RH. Smoke inhalation lung injury: an update.Eplasty.2008;8:e2714. David D, Evan WM, Emma OL Forensic pathology, principle and practice 2005 China: Elsevier15. Souza R, Jardim C, Salge JM, Carvalho CRR. Smoke inhalation injury. J Bras Pneumol 2004; 30(5) 557-65.16. Sheridan R. A Brief Review of Smoke Inhalation Injury. Boston ; 2012.14. Ludwig J. Handbook of Autopsy Practice 3th edition. Humana Press ; New Jersey : 2002. Hal. 218,220.17. Mlcak RP, Suman OE. Herndon DN. Respiratory management of inhalation injury. burns 33 (2007)2-1318. Michael JS.David AR Forensic pathology of trauma. 2007 NewJersey: Humania Press.19. Kaloadova V, Brychta P, Alhova H, et al. Inhalation Injury. Acta Journal. 2000Trauma Inhalasi

Trauma Inhalasi

Hambatan aliran udara

KEMATIAN

kegagalan pernapasan

Edema saluran pernapasan

Zat toksik dalam darah

Hambatan ikatan Hb dan O2

KEMATIAN

(B)

(A)

kegagalan pernapasan seluler

18