BAB 2 dan 3 BPH

23
BAB II TINJAUAN TEORITIS KONSEP MEDIS A. Definisi Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 1999). Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001). Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pertumbuhan dari nodul- nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. (Sylvia A. Prince. 2005). Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang non-neuplastik, yang sering terjadi setelah umur 50 tahun. (J.C.E Underwood. 1999). Dari empat pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hiperlasia adalah pembesaran progresif kelenjar prostat dan penyebaran yang biasa

Transcript of BAB 2 dan 3 BPH

Page 1: BAB 2 dan 3 BPH

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar

prostat (secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat

obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 1999).

Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum

pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada

pria di atas usia 60 tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001).

Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pertumbuhan dari nodul- nodul

fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. (Sylvia A. Prince. 2005).

Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang

non-neuplastik, yang sering terjadi setelah umur 50 tahun. (J.C.E Underwood. 1999).

Dari empat pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat

hiperlasia adalah pembesaran progresif kelenjar prostat dan penyebaran yang biasa

menimbulkan gangguan pembuangan produksi urine pada pria dewasa tua lebih dari

50 tahun

B. ANATOMI FISIOLOGI

Pada pria, beberapa organ berfungsi sebagai bagian dari traktrus urinarius

maupun sistem reproduksi. Kelainan pada organ-organ reproduksi pria dapat

menganggu salah satu atau kedua sistem. Akibatnya, penyakit sistem reproduksi pria

biasanya ditangani oleh ahli urology. Struktur dari sistem reproduksi pria adalah

testis, vas deferen (duktus deferen) vesika seminalis, penis, dan kelenjar asesori

tertentu, seperti kelenjar prostat dan kelenjar cowper (kelenjar bulbouretral). Organ

genetalia pria terdiri dari 6 komponen yaitu :

Page 2: BAB 2 dan 3 BPH

5

a. Testis dan epididymis.

b. Duktus deferen..

c. Vesikula seminalis.

d. Duktus ejakulatorius dan penis.

e. Prostat.

f. Kelenjar bulbo-uretra.

Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah interior buli-buli,

di depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri

dengan ukuran 3 x 4 x 2,5 cm dan beratnya 20 gram. Sebagian prostat mengandung

kelenjar grandular dan sebagian lagi otot involuter dan menghasilkan suatu cairan

yang di sebut semen, yang basa dan mendukung nutrisi sperma. Cairan prostat

merupakan kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Jika kelenjar ini

mengalami hiperlasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membantu

uretra posterior dan mengakibatkan obstruksi saluran kemih.

C.ETIOLOGI

Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon

enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia

prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan

proses aging (menjadi tua).

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia

prostat adalah:

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen

pada usia lanjut

2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar

prostat

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati

Page 3: BAB 2 dan 3 BPH

6

4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem

sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel

kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000,

hal 74-75)

Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan

perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia. (Barbara C Long,

1999: 32)

D. PATOFISIOLOGI

BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan

mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit

ini dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab

BPH ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan

dengan tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi.

Hormonal yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya

keseimbangan antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron

menurun dan estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi

oleh diet yang dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel

sehingga terjadi proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar

prostat maka terjadi obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung

kemih. Untuk mengatasi hal tersebut maka tubuh mengadakan oramegantisme

yaitu kompensasi dan dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot

mengakibatkan spasme otot spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat

menyebabkan penebalan pada dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan

mudah menimbulkan infeksi.

Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga

tekanan vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke

vesika urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali

menyebabkan dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan

pyclonefritis. Apabila telah terjadi retensi urine dan hidronefritis maka

dibutuhkan tindakan pembedahan insisi. Pada umumnya penderita BPH akan

Page 4: BAB 2 dan 3 BPH

7

menderita defisit cairan akibat irigasi yang digunakan alat invasif sehingga

pemenuhan kebutuhan ADC bagi penderita juga dirasakan adanya penegangan

yang menimbulkan nyeri luka post operasi pembedahan dapat terjadi infeksi dan

peradangan yang menimbulkan disfungsi seksual apabilla tidak dilakukan

perawatan dengan menggunakan teknik septik dan aseptik.

Page 5: BAB 2 dan 3 BPH

8

PATHWAY

Perubahan Usia

Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron

Testosteron menurun

Estrogen meningkat

Perubahan patologik anatomik

BPH

Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU

Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot

detruktor

Spasme otot sfinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine

Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran urine ke ginjal

(refluks VU)

MK :Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih

Tekanan ureter ke ginjal

Resiko infeksi

Kerusakan fungsi ginjal

Insisi prostat

MK : Gg Rasa Nyaman Nyeri

Page 6: BAB 2 dan 3 BPH

9

Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko

Berkemih Infeksi disfungsi seksual

Keseimbangan Peregangan

Cairan terganggu

Spasme otot VU

Resiko kekurangan

Volume cairan

E. MANIFESTASI KLINIK

Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary

Tract Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.

1. Gejala iritatif

Yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari

(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), nyeri pada saat

miksi (disuria)

2. Gejala Obstruktif

Yaitu pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau

miksi menunggu lama (hesistensi), harus mengejan (straining) kencing

terputus-putus (intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya

menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overlow.

Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal

ginjal, peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala

dapat dilihat dari stadiumnya

a. Stadium I

MK : Syok Hipovolemik

MK : Perubahan Eliminasi; inkontenisia

MK : Resti Infeksi

MK : Resiko Disfungsi Seksual

MK : Nyeri Akut

Page 7: BAB 2 dan 3 BPH

10

Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine

sampai habis

b. Stadium II

Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan

urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc

Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria)

Nokturia

c. Stadium III

Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih

d. Stadium IV

Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar

periodik. (Depkes, 1996, hal 109)

Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu:

a. Rectal Grading

Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam

lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli

kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai

berikut:

0-1 cm . . . . . . . grade 0

1-2 cm . . . . . . . grade 1

2-3 cm . . . . . . . grade 2

3-4 cm . . . . . . . grade 3

>4 cm . . . . . . . grade 4

b. Clinical Granding

Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine

Sisa urine 0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal

Sisa urine 0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1

Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2

Sisa urine >150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3

Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4

Page 8: BAB 2 dan 3 BPH

11

F.KOMPLIKASI

Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena

produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung

urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter,

hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi

karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu

ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga

menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu

miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia

atau hemoroid.

G.PENATALAKSANAAN

1. Observasi

2. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik λ, penghambat enzim 5-λ-

reduktase, fisioterapi)

3. Terapi bedah dan terapi infasiv

(Mansjoer Arif, 2000: 333)

Selain itu,terdapat juga beberapa penatalaksanaan medis lain yang umum dilakukan

pada penderita BPH,yaitu :

4. Transurethral Resection Of The Prostate (TURP). Pengankatan sebagian atau

seluruh kelenjar prostat melalui sistoskop atau resektoskop yang dimasukan

melalui uretra.

5. Prostatektomi Suprapubis. Pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang

dibuat di kandung kemih.

6. Prostatektomi Retropubis. Pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada

abdomen bagian bawah melalui frosa prostat anterior tanpa memasuki

kandung kemih.

Page 9: BAB 2 dan 3 BPH

12

7. Prostatektomi Perineal. Pengankatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah

insisi di antara skortum dan rektum.

8. Prostatektomi Reropubis Radikal. Pengangkatan kelenjar prostat termasuk

kapsula, vesikula seminalis, dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah

insisi pada abdomen bagian bawah ; uretra di anastomosiskan ke leher

kandung kemih.

H.PEMERIKSAAN PENUNJANG .

1. Pemeriksaan Laboratorium

Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya

lekosit, bakteri dan infeksi

Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status

metabolik

Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar

penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan

Darah lengkap

Leukosit

Blooding time

Liver fungsi

2. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen

Prelograf intravena

USG

Sistoskopi

Page 10: BAB 2 dan 3 BPH

13

BAB III

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan

hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan keluarga, untuk mencapai

tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses terapeutik maka perawat

melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan.

Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan

secara sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji

status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan

intervensi mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan

dengan proses keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.

A. Pengkajian

Data yang didapatkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi

1. Data subyektif:

a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.

b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.

c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan

d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

2. Data Obyektif:

a. Terdapat luka insisi

b. Takikardi

Page 11: BAB 2 dan 3 BPH

14

c. Gelisah

d. Tekanan darah meningkat

e. Ekspresi wajah ketakutan

f. Terpasang kateter

3. Pengkajian Riwayat Keperawatan

a. umur > 60 tahun

b. Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.

c. Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran,

melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi

dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti

infeksi.

d. BPH → hematuri

4. Pemeriksaan Fisik

a. Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan

renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.

b. Kandung kemih

1) Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik → retensi urine

2) Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan

pasien ingin buang air kecil → retensi urine

3) Perkusi : Redup → residual urine

Page 12: BAB 2 dan 3 BPH

15

c. Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya

stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.

d. Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) → posisi knee chest, syarat:

buli-buli kosong/dikosongkan. Tujuan: Menentukan konsistensi prostat

dan besar prostat.

e. Pemeriksaan Radiologi digunakan untuk

1) Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia

2) Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine

3) Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan

Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak

f. Bentuk Pemeriksaan Radiologia.

1) Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual

urine post miksi, dipertikel buli.Indikasi : disertai hematuria, gejala

iritatif menonjol disertai urolithiasis. Tanda BPH : Impresi prostat,

hockey stick ureter

2) BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal

3) Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya

refluk vesiko ureter/striktur uretra.

4) USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan

menilai pembesaran prostat jinak/ganas.

5) Pemeriksaan Endoskopi.

Page 13: BAB 2 dan 3 BPH

16

6) Pemeriksaan Uroflowmetri Berperan penting dalam diagnosa dan

evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buliQ max : > 15 ml/detik

→ non obstruksi10 - 15 ml/detik → border line< 10 ml/detik →

obstruktif

g. Pemeriksaan Laboratorium

1) Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit,

Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur) Jika infeksi:pH urine

alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau

PUS.

2) RFT → evaluasi fungsi renal

3) Serum Acid Phosphatase → Prostat Malignancy.

Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon

1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan

Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan

pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan

bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu

mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya? Dan apa

penyebab sakitnya saat ini?

2. Pola nutrisi dan metabolic

Page 14: BAB 2 dan 3 BPH

17

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek

penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi

pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,

penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan

pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

3. Pola eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami

oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai

aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,

frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada

postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur

pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk

mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi

warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan

tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan.

Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya

konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan dan

makanan.

4. Pola latihan- aktivitas

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan

terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan

perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga

merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya

sering dibantu oleh keluarga.

5. Pola istirahat dan tidur

Page 15: BAB 2 dan 3 BPH

18

Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,

disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana

hal ini dapat mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu mengkaji

berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur

sebelum dan selama sakit/ selama dirawat?

6. Pola konsep diri dan persepsi diri

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas

egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang

dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan

perilaku.

7. Pola kognitif- perceptual

klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya

terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami

hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, bagaimana

status neurologis klien, apakah ada gangguan?

8. Pola peran dan hubungan

Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang

diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien

dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan

klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran

selama klien sakit?

9. Pola reproduksi- seksual

Page 16: BAB 2 dan 3 BPH

19

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang

mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya,

takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan

kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

10. Pola pertahanan diri dan toleransi stress

Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan

pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa

melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan

tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien

menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan obat-obatan

untuk mengurangi stresnya?

11. Pola keyakinan dan nilai

Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti

gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena

BAK yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah

ada pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan?

B.Diagnosa Keperawatan .

Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan

teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien BPH

yaitu :

1. Perubahan eliminasi urine ; retensi urine (akut/ kronik) berhubungan

dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot

destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan

adekuat.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.

Page 17: BAB 2 dan 3 BPH

20

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia

dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.