BAB 1 epid

19
BAB 1 PENDAHULUAN Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya. Dalam pengertian yang luas desain penelitian mencakup berbagai hal yang dilakukan oleh peneliti, mulai dari identifikasi masalah, perumusan hipotesis, operasionalisasi hipotesis tersebut, sampai pada analisis data. Dalam pengertian yang lebih sempit desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk mencapai tujuan penelitian.Desain penelitian harus disusun dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan agar dapat menghasilkan petunjuk empiris yang kuat relevansinya dengan pertanyaan penelitian (Notoatmodjo, 2002). Pembagian desain penelitian yang sangat sering digunakan adalah pembagian desain penelitian deskriptif dan analitik. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan, baik yang berupa faktor risiko maupun efek atau hasil. Fenomena hasil penelitian disajikan secara apa adanya, peneliti tidak mencoba menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena tersebut dapat terjadi,oleh karena itu pada penelitian deskriptif tidak perlu ada hipotesis (Sudigdo,1995).

description

po

Transcript of BAB 1 epid

Page 1: BAB 1 epid

BAB 1

PENDAHULUAN

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian

rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan

penelitiannya. Dalam pengertian yang luas desain penelitian mencakup berbagai

hal yang dilakukan oleh peneliti, mulai dari identifikasi masalah, perumusan

hipotesis, operasionalisasi hipotesis tersebut, sampai pada analisis data. Dalam

pengertian yang lebih sempit desain penelitian mengacu pada jenis atau macam

penelitian yang dipilih untuk mencapai tujuan penelitian.Desain penelitian harus

disusun dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan agar dapat menghasilkan

petunjuk empiris yang kuat relevansinya dengan pertanyaan penelitian

(Notoatmodjo, 2002).

Pembagian desain penelitian yang sangat sering digunakan adalah

pembagian desain penelitian deskriptif dan analitik. Penelitian deskriptif adalah

penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena yang

ditemukan, baik yang berupa faktor risiko maupun efek atau hasil. Fenomena

hasil penelitian disajikan secara apa adanya, peneliti tidak mencoba menganalisis

bagaimana dan mengapa fenomena tersebut dapat terjadi,oleh karena itu pada

penelitian deskriptif tidak perlu ada hipotesis (Sudigdo,1995).

Pada penelitian analitik peneliti mencoba mencari hubungan anatara

variabel.Pada penelitian ini dilakuakan analisis terhadap data yang

dikumpulkan,karena itu pada penelitian analitik perlu dibuat hipotesis. Desain

penelitian analitik dibagi menjadi dua yaitu desain penelitian analitik

observasional dan desain penelitian eksperimental (Sudigdo,1995).

Desain penelitian analitik observasional pada umumnya dapat dibagi

menjadi tiga jenis,yaitu desain penelitian cross sectional, desain penelitian kasus-

kontrol,dan desain penelitian kohort (Pratiknya A.W,1986).

Desain penelitian cross sectional ialah suatu desain penelitian untuk

mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan

cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat

(point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali

Page 2: BAB 1 epid

saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada

saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati

pada waktu yang sama. Desain ini dapat mengetahui dengan jelas mana yang

menjadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya hubungan sebab akibatnya

(Notoatmodjo, 2002).

Penelitian cross sectional ini, peneliti hanya mengobservasi fenomena pada

satu titik waktu tertentu. Penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif, ataupun

eksplanatif, penelitian cross-sectional mampu menjelaskan hubungan satu variabel

dengan variabel lain pada populasi yang diteliti, menguji keberlakuan suatu model

atau rumusan hipotesis serta tingkat perbedaan di antara kelompok sampling pada

satu titik waktu tertentu. Namun penelitian cross-sectional tidak memiliki

kemampuan untuk menjelaskan dinamika perubahan kondisi atau hubungan dari

populasi yang diamatinya dalam periode waktu yang berbeda, serta variabel

dinamis yang mempengaruhinya (Nurdini, 2006)

Epidemiologi mempunyai sejumlah pilihan desain yang diperlukan untuk

menjalankan riset. Mengenal dan memahami karakteristik desain studi penting

agar dapat memilih rencana dengan tepat untuk mencapai tujuan penelitian dan

menafsirkan dengan tepat hasil-hasil penelitian. Tetapi perlu dicatat bahwa tidak

satupun desain studi dikatakan paling baik untuk diterapkan pada semua

penelitian. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Disesuaikan dengan

penelitiannya. Setiap peneliti diharapkan dapat meminimalisasi kekurangan dan

mengoptimalkan kelebihan dari desain yang dipilih dalam riset (Budiarto,2004).

Di bawah ini dijelaskan tentang desain studi analitik cross sectional dengan

masing-masing kelebihan dan kekurangannya, serta contoh aplikasi desain studi

analitik cross sectional dalam bidang gizi.

Page 3: BAB 1 epid

BAB II

ISI

A. Definisi Studi Potong Lintang (Cross Sectional Study)

Cross sectional study merupakan penelitian prevalensi penyakit dan

sekaligus dengan prevalensi penyebab atau  faktor resiko. Tujuan penelitian ini

untuk mengamati hubungan antara faktor resiko dengan akibat yang terjadi

berupa penyakit atau keadaan kesehatan tertentu dalam waktu yang bersamaan,

ditanya masalahnya (akibat) sekaligus penyebabnya (faktor resikonya).

Pengukuran terhadap variabel pengaruh dan terpengaruh dilakukan pada

titik waktu yang sama. Mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor

resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat ( poin time approach ). Artinya, tiap subjek penelitian

hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status

karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti

semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama.

Studi potong-lintang (cross-sectional study, studi prevalensi, survei)

berguna untuk mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu

titik waktu tertentu. Data yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data

prevalensi terdiri atas kasus baru dan lama. Prevalensi adalah jumlah kasus

yang ada di suatu saat dibagi dengan jumlah populasi studi.. Tetapi studi

potong-lintang dapat juga digunakan untuk meneliti hubungan paparan-

penyakit, meskipun bukti yang dihasilkan tidak kuat untuk menarik kesimpulan

kausal antara paparan dan penyakit, karena tidak dengan desain studi ini tidak

dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit.

B. Langkah –langkah Cross Sectional

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis

a. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan

dengan jelas.

b. Dalam studi cross-sectional analitik hendaklah dikemukakan

hubungan antar variabel yang diteliti.

Page 4: BAB 1 epid

2.  Mengidentifikasikan variable penelitian

a. Semua variabel yang diteliti dalam studi prevalen harus

diindentifikasikan dengan cermat.

3.  Menetapkan subyek penelitian

a. Menetapkan populasi penelitia

b. Bergantung kepada tujuan penelitian, maka ditentukan dari

populasi terjangkau mana subyek penelitian yang akan dipilih,

apakah dari rumah sakit / fasilitas kesehatan, atau dari masyarakat

umum.

c. Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel

d. Besar sampel harus diperkirakan dengan formula yang sesuai dan

pemilihan sampel harus dilakukan dengan cara yang benar, agar

dapat mewakili populasi terjangkau.

4.  Melaksanakan pegukuran

a. Pengukuran faktor risiko

i. Penetapan factor risiko dapat dilaksanakan dengan berbagai

cara, tergantung pada sifat faktor  risiko.

ii. Dapat digunakan kuesioner, catatan medik, uji

laboratorium, pemeriksaan fisik, atau prosedur pemeriksaan

khusus.

b. Pengukuran efek (penyakit)

i. Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan

dengan kuesioner, pemeriksaan fisik, ataupun pemeriksaan

khusus, bergantung kepada karakteristik penyakit yang

dipelajari.

ii. Harus ditetapkan criteria diagnosisnya dengan batasan

operasional yang jelas.\

Page 5: BAB 1 epid

5. Melakukan analisis

Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk

memperoleh risiko relatif. Hal yang terakhir inilah yang lebih sering dihitung

dalam studi cross-sectional untuk mengidentifikasi faktor risiko.

C. Ciri-Ciri Penelitian Cross Sectional

Ciri-ciri penelitian cross sectional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai

berikut:

1. Pengumpulan data dilakukan pada satu saat atau satu periode tertentu dan

pengamatan subjek studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian.

2. Perhitungan perkiraan besarnya sampel tanpa memperhatikan kelompok

yang terpajan atau tidak.

3. Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai dengan criteria subjek studi.

Misalnya hubungan antara Cerebral Blood Flow pada perokok, bekas

perokok dan bukan perokok.

4. Tidak terdapat kelompok control dan tidak terdapat hipotesis spesifik.

5. Hubungan sebab akibat hanya berupa perkiraan yang dapat digunakan

sebagai hipotesis dalam penelitian analitik atau eksperimental.

 D. Kelebihan dan Kelemahan Penelitian Cross Sectional

1. Kelebihan penelitian cross sectional adalah sebagai berikut:

a. Studi cross sectional memungkinkan penggunaan populasi dari

masyarakat umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan,

hingga generalisasinya cukup memadai

b. Relatif murah dan hasilnya cepat dapat diperoleh

c. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus

d. Jarang terancam loss to follow-up (drop out)

e. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort

atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah biaya

f. Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat

lebih konklusif

g. Membangun hipotesis dari hasil analisis

Page 6: BAB 1 epid

2. Kelemahan penelitian cross sectional adalah sebagai berikut:

a. Sulit untuk menentukan sebab akibat karena pengambilan data risiko

dan efek dilakukan pada saat yang bersamaan (temporal relationship

tidak jelas)

b. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa

sakit yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit yang pendek,

karena inidividu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai

kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi

c. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila variabel

yang dipelajari banyak

d. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidensi maupun prognosis

e. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang jarang

f. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit

(Sayogo, 2009)

Keunggulan metode penelitian ini antara lain mudah dilaksanakan, relatif

murah, menghasilkan angka prevalensi dan dapat mengamati banyak

variabel. Sedangkan keterbatasannya tidak dapat meneliti kondisi atau

kasus penyakit yang sedikit (rare) banyak "bias" yang timbul, kurang baik

untuk meramalkan kecenderungan, memerlukan sampel besar, kurang

akurat untuk menggambarkan suatu penyakit dan faktor risiko serta tidak

dapat menghitung angka insidensi (Nasseh, 1993).

E. Interpretasi Hasil

Pada studi cross sectional, estimasi resiko relative diperoleh dengan

menghitung rasio prevalens. Resiko relative adalah perbandingan antara

prevalensi penyakit (efek) pada kelompok dengan resiko, dengan prevalensi efek

pada kelompok tanpa resiko. Yang dimaksud prevalensi adalah perbandingan

antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan

seluruh subyek yang ada.

Rasio prevalensi harus disertai dengan nilai interval kepercayaan yang

dikehendaki yang menetukan apakah rasio prevalensi tersebut bermakna atau

Page 7: BAB 1 epid

tidak. Interval kepercayaan akan menunjukkan rentang nilai rasio prevalensi yang

diperoleh pada populasi terjangkau apabila sampling dilakukan berulang-ulang.

1. Bila nilai rasio prevalensi = 1, berarti variabel yang diduga merupakan

faktor resiko tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadi efek, dengan

kata lain bersifat netral.

2. Bila nilai rasio prevalensi > 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor

resiko untuk timbulnya penyakit tertentu.

3. Apabila nilai rasio prevalensi < 1, berarti faktor yang diteliti tersebut justru

mengurangi kejadian penyakit dengan kata lain faktor yang diteliti tersebut

merupakan faktor protektif.

4. Bila nilai rasio prevalensi mencakup angka 1, berarti pada populasi yang

diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai prevalensinya = 1, sehingga

belum dapat disimpulkan bahwa faktor tersebut merupakan faktor resiko.

F. Contoh Penerapan Di Bidang Gizi

1. Contoh sederhana: ingin mengetahui “Hubungan Antara Anemia Besi

Pada Ibu Hamil Dengan Berat Badan Bayi Lahir (BBL)”, dengan

menggunakan rancangan atau pendekatan cross sectional (Notoatmodjo,

2002).

a. Tahap pertama: mengidentifikasi variabel-variabel yang akan

diteliti dan kedudukannnya masing-masing:

1) Variabel dependen (efek): Berat badan bayi lahir

2) Variabel independen (resiko): Anemia besi

b. Tahap Kedua: menetapkan studi penelitian atau populasi dan

sampelnya. Subjek penelitian disini adalah ibu-ibu yang baru

melahirkan, namun perlu dibatasi dari daerah mana mereka ini

dapat diambil, apakah lingkup di Rumah Sakit Umum, Rumah

Sakit Bersalin, atan Rumah Bersalin. Demikian pula batas

waktunya juga ditentukan. Kemudian cara pengambilan

sampelnya, apakah bedasarkan teknik random atau non random

Page 8: BAB 1 epid

c. Tahap Ketiga: melakukan pengumpulan data, observasi atau

pengukuran terhadap variabel dependen dan independen (dalam

waktu yang sama). Caranya, mengukur berat badan bayi yang baru

dilahirkan dan memeriksa Hb darah ibu.

d. Tahap Keempat: mengolah dan menganalisis data dengan cara

membandingkan anatara berat badan bayi lahir dengan Hb darah

ibu. Dari analisis ini akan diperoleh bukti adanya atau tidak adanya

hubungan antara anemia besi dengan berat badan bayi lahir.

2. Contoh penelitian Cross sectional bersifat analitik yang dikutip dalam

Budiarto (2004) yaitu hubungan antara anemia dengan kelahiran bayi

dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Pada setiap ibu hamil yang akan

melahirkan dilakukan pemeriksaan Hb kemudian setelah bayi lahir

ditimbang berat badannya. Kriteria inklusi adalah persalinan

normal/fisiologis dengan kehamilan yang cukup bulan. Batasan untuk

anemia adalah Hb kurang dari 11gr%.

Anemia           Jumlah                    R

esiko

- 15 85 100 0,15

- 8 92 100 0,08

Jumlah 23 177 200 RR 1,9

Hasil dari tabel tersebut menunjukkan bahwa resiko anemia

terhadap BBLR 2 kali lebih besar dibandingkan dengan tidak anemia.

Resiko atribut (RA) = 0,15 – 0,08 = 0,07. Ini berarti bahwa resiko BBLR

yang dapat dihindarkan bila tidak terjadi anemia pada ibu hamil sebesar

0,007.Analisis data yang dilakukan dalam penelitian yaitu dengan uji Chi-

Square. Uji Chi-Square  berguna untuk menguji hubungan atau pengaruh

dua buah variabel nominal dan mengukur kuatnya hubungan antara

variabel yang satu dengan variabel nominal lainnya (Wijayanto, 2009).

Page 9: BAB 1 epid

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional karena

pengumpulan data dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan, tetapi

bersifat analitis karena dilakukan analitis seperti penelitian kohor.

Kelemahan penelitian ini antara lain tidak diketahui apakah anemia terjadi

sebelum hamil atau setelah hamil dan komparabilitas kedua kelompok

tidak dapat dilakukan, misalnya tingkat pendidikan, makanan yang

dikonsumsi, sosial ekonomi, dan lain-lain yang mungkin berpengaruh

terhadap terjadinya anemia (Budiarto, 2004).

3.Contoh kasus yang menggunakan desain studi analitik cross sectional dalam

Jurnal gizi

Asosiasi menunda sarapan dengan obesitas dan kualitas hidup terkait

kesehatan: bukti dari nasional Survei di Taiwan

Subjek dan Metode

Penelitian cross-sectional ini menggunakan data dari 2005 National

Health Interview Survey di Taiwan Dilakukan oleh National Health

Research Institutes, Biro Nasional Obat Terkendali dan Biro Promosi

Kesehatan, Departemen Kesehatan, Taiwan. Wawancara Kesehatan

Nasional. Unit sampling tahap pertama adalah lingkungan (atau desa)

Dalam masing-masing kota atau kabupaten, yang Tahap kedua adalah 'Lin'

(unit terkecil untuk rumah tangga pendaftaran di Taiwan) dan tahap ketiga

adalah orang. Individu Termasuk dalam penelitian ini di mana Individu

berusia antara 18 dan 64. Frekuensi makan sarapan Dinilai oleh Pertanyaan

berikut: "Biasanya, berapa hari dalam seminggu melakukan Anda makan

sarapan? “. ada Lima kategori respon yaitu:

a. tidak pernah,

b. satu kali dalam seminggu,

c. 2-3 kali dalam seminggu,

d. 4-5 hari seminggu dan

e. setiap hari atau hampir setiap hari.

Page 10: BAB 1 epid

Pada periode waktu yyang sama BMI Dihitung menggunakan

Mengikuti rumus: berat badan (kg) / height2 (m2). Individu Apakah

diklasifikasikan sebagai 'obesitas'. BMI Apakah mereka adalah sama

dengan atau lebih besar dari 27 berdasarkan BMI yang disarankan oleh

Departemen Kesehatan di Taiwan. Perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan kebiasaan termasuk dalam arus Analisis Apakah merokok,

minum alkohol, mengunyah sirih dan olahraga. Kehadiran Kebiasaan ini

adalah Diidentifikasi oleh empat ya-tidak pertanyaan.

Pemodelan regresi logistik multivariabel digunakan untuk mengatur

semua Perkiraan risiko untuk kovariat (yang adalah, usia, jenis kelamin,

status perkawinan, tingkat pendidikan, bulanan pendapatan, merokok,

konsumsi alkohol, sirih quid mengunyah dan kebiasaan olahraga). Uji

Cochran-Armitage untuk trend dilakukan untuk menentukan apakah ada

signifikan 'tergantung dosis' hubungan antara frekuensi konsumsi sarapan

dan obesitas sebagai biner variabel respon.

Hasil

Sampel dari penelitian ini meliputi 7829 pria dan 7511 wanita

berusia 18-64 tahun (rata-rata ¼ 38.69 ± 12.65). Antara mereka, 1239

orang Apakah jarang sarapan dan 14 101 orang makan sarapan secara

teratur. Kira-kira, 8,1% dari Adalah orang dewasa jarang sarapan.

Diantara Seluruh Sampel, 2468 Individu (16,09%) diklasifikasikan sebagai

obesitas. Dari sampel perempuan 12,53% adalah obesitas, Sedangkan

19,50% dari laki-laki obesitas. Dalam Kedua jenis kelamin, tingkat

prevalensi obesitas lebih tinggi pada dewasa setengah baya (laki-laki:

21,86% dan perempuan 20.40%) dibandingkan pada orang dewasa muda

(laki-laki: 18,28% dan perempuan: 8.12%). Hubungan terbalik antara

frekuensi makan dan Prevalensi obesitas telah-telah ditunjukkan dalam

cross-sectional. Temuan ini mendukung hipotesis kami Bahwa ada

hubungan dosis-tergantung Antara frekuensi konsumsi sarapan dan

obesitas. Temuan dari studi ini menambah bukti untuk mendukung peran

makan sarapan di pencegahan obesitas.

Page 11: BAB 1 epid

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Page 12: BAB 1 epid

DAFTAR PUSTAKA

Eko Budiarto.2004. Metode Penelitian. Jakarta: EGC.

Notoadmojo, Soekidjo.2002.Metode Penelitian.Jakarta : Redika Citra

Setiadi.2002.konsep dan Praktik penulisan Riset keperawatan,ED: kedua,

Yogyakarta:Graha Ilmu

http://nuritadiah.students-blog.undip.ac.id/2010/10/31/metode-penelitian-

survey-analitik/

Nasseh, Syahrudji. 1993. Keunggulan dan Keterbatasan Beberapa Metode

Penelitian Kesehatan. Media Litbangkes Vol. III No.01/1993. Puslit

Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan.

Sastroasmoro, Sudigdodan Sofyan Ismael. 1995. Dasar-Dasar Metodologi

Penelitian Klinis. Binarupa Aksara: Jakarta.

Sayogo, Savitri. 2009. Studi Cross-sectional Atau Potong Lintang. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Budiarto,E.2004.Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta:EGC.

Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: PT Rineka Citra.

Nurdini,S.2010. Studi Cross-sectional Atau Potong Lintang.Bandung: Cipta

Karya.

Pratiknya A.W.1986. Dasar- dasar metodologi penelitian kedokteran kesehatan.

Jakarta: Rajawali.

Sudigdo,S.1995.Dasar-dasar metodelogi penelitian klinis.Jakarta:Binarupa

Aksara.