bab 1-4a sgd 20

33
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Proses menua (aging proces) biasanya akan ditandai dengan adanya 2 perubahan fisik-biologis, mental ataupun psikososial. Perubahan fisik diantaranya adalah penurunan sel, penurunan system persyarafan, system pendengaran, system penglihatan, system kardiovaskuler, system pengaturan temperature tubuh, system respirasi, system endokrin, system kulit, system musculoskeletal. Perubahan-perubahan mental pada lansia yaitu terjadi perubahan kepribadian, memori dan perubahan intelegensi, sedangkan perubahan psikososial dapat berupa kehilangna pekerjaan, kesepian dan kehilangan pasangan (Nugroho, 2000). Menurut salomon dalam Darmojo (2000), bahwa inkontinensia urine pada lanjut usia menduduki urutan kelima. Dari penelitian menyebutkan bahwa 15-30 % orang yang tinggal di masyarakat, dan 50 % orang yang dirawat di tempat pelayanan kesehatan menderita inkontinensia urine. pada tahun 1999, dari semua pasien geriatri yang dirawat di ruang geriatri penyakit dalam RSUD Dr. cipto Mangun Kusumo didapatkan angka kejadian inkontinensia urine sebesar 10 % 1

description

neurologi

Transcript of bab 1-4a sgd 20

BAB IPENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Proses menua (aging proces) biasanya akan ditandai dengan adanya 2 perubahan fisik-biologis, mental ataupun psikososial. Perubahan fisik diantaranya adalah penurunan sel, penurunan system persyarafan, system pendengaran, system penglihatan, system kardiovaskuler, system pengaturan temperature tubuh, system respirasi, system endokrin, system kulit, system musculoskeletal. Perubahan-perubahan mental pada lansia yaitu terjadi perubahan kepribadian, memori dan perubahan intelegensi, sedangkan perubahan psikososial dapat berupa kehilangna pekerjaan, kesepian dan kehilangan pasangan (Nugroho, 2000).Menurut salomon dalam Darmojo (2000), bahwa inkontinensia urine pada lanjut usia menduduki urutan kelima. Dari penelitian menyebutkan bahwa 15-30 % orang yang tinggal di masyarakat, dan 50 % orang yang dirawat di tempat pelayanan kesehatan menderita inkontinensia urine. pada tahun 1999, dari semua pasien geriatri yang dirawat di ruang geriatri penyakit dalam RSUD Dr. cipto Mangun Kusumo didapatkan angka kejadian inkontinensia urine sebesar 10 % dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 12 % pranarka, 2001). Diperkirakan sekitar 13 % penduduk pria dan wanita berusia 75 tahun atau lebih menderita inkontinensia urine. Hampir 34 % terjadi pada laki-laki dan 60 % terjadi pada wanita yang berusia 75 tahun pada institusi perawat akut mengalami inkontinensia urine. lnkontinenia urine sangat menghabiskan biaya, baik konsekwensi secara pskososial bagi pasien maupun dampak ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Biaya perawatan pasien inkontinensia urine diperkirakan lebih dari 10,3 milyar US$ pertahunnya (AHCPR, 1992).lnkontinenesia urine sering kali menyebabkan pasien dan keluarganya frustasi, bahkan depresi. Bau yang tidak sedap dan perasaan kotor, tentu akan menimbukan masalah social dan psikologis. selain iu inkontinensia urine juga akan mengganggu akvitas fisik, seksual dehidrasi karena umumnya penderita akan mengurangi minumnya khawatir terjadi ngompol. Masalah lain yang dapat ditemukan adalah adanya dekubitus dan infeksi saluran kemih yang berulang, disamping dibutuhkan biaya perawatan sehari-hari yang relative lebih tinggi untuk keperluan membeli tampon (Setiati, 2001 ). Terdapat cara yang digunakan untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu dengan latihan otot dasar panggul (pelvic muscte exercise) atau sering disebut dengan latihan kegel. Latihan ini baru diterapkan pada kondisi gangguan berkemih pada kasus-kasus pasca persalinan yang difokuskan pada latihan kontraksi dan relaksasi otot dasar panggul, selain itu kegel juga telah dikenal sebagai senam yang berhubungan dengan aktivitas seksual (Edu. K, 2001).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses penuaan serta perubahan-perubahan fisiologi pada geriatri?2. Apa etiologi inkontinensia urine?3. Apa klasifikasi dari inkontinensia urine?4. Apa saja manifestasi klinis inkontinensia urine?5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari inkontinensia urine?6. bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urine?

1.3 Tujuan

Mengetahui proses penuaan serta perubahan-perubahan fisiologi pada geriatri Mengetahui etiologi inkontinensia urine Mengetahui klasifikasi inkontinensia urine Mengetahui manifestasi klinis inkontinensia urine Mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang inkontinensia urine Mengetahui penatalaksanaan dari inkontinensia urineBAB IIPEMBAHASAN

SEMESTER 6 MODUL XX (TUMBUH KEMBANG, GERIATRI DAN DEGENERATIF)SKENARIO 6INKONTINENSIA URINE

2.1 Skenario

Seorang laki-laki umur 79 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan selalu buang air kecil sedikit-sedikit tanpa disadarinya. Keadaan ini sudah dialaminya sejak 2 tahun yang lalu. Selama ini penderita berjalan tidak stabil, karena pada lututnya sering sakit dan bengkak. RPT: DM dan stroke.

2.2 Learning Objective1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang perubahan-perubahan fisiologi tubuh manusia2. Mahasiswa mampu mengetahui tentang etiologi inkontinensia urine3. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi inkontinensia urine4. Mahasiswa mampu mengetahui tentang manifestasi klinis dari inkontinensia urine5. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang inkontinensia urine6. Mahasiswa mampu mengetahui tentang penatalaksanaan inkontinensia urine

BAB IIIISI

3.1 PENGATURAN DIURESIS

Pengaturan Diuresis NormalInkontinensia urine bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia. Usia lanjut tidak menyebabkan inkontinensia urin. Walaupun begitu, beberapa perubahan-perubahan berkaitan dengan bartambahnya usia, dan faktor-faktor yang sekarang timbul akibat seorang menjadi lanjut usia dapat mendukung terjadinya inkontinensia. Faktor-faktor yang berkaitan dengan bertambahnya usia ini antara lain: Mobilitas yang lebih terbatas karena pancaindra, kemunduran sistem lokomosi Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes melitus, gagal jantung kongestif.Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Saat periode pengisian kandung kemih, tekanan didalamnya tetap rendah.Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih mencapai antara 115-350 ml. Kapasitas kandung kemih normal bervariasi sekitar 300-600 ml. Umunya kandung kemih dapat menampung urin sampai lebih kurang 500 ml tanpa terjadi kebocoran. Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor dari kandung kemih berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter. Secara sederhana dapat digambarkan, saat proses berkemih dimulai, tekanan dari otot-otot detrusosr kandung kemih meningkat melebihi tahahnan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar.Secara garis besar, proses berkemih diatur oleh pusat refleks berkemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom, membawa informasi tentang isis kandung kemih ke medula spinalis sesuai pengisian kandung kemih.Tonus simpatik akan menyebabkan penutupan kandung kemih dan menghambat tonus parasimpatik. Pada saat proses berkemih berlangsung. Tonus simpatik menururn dan peningkatan rangsan simpatik menurn dan peningkatan rangsang parasimpatik mengakibatkan kontraksi kanduung kemih. Semua proses ini berlangsung dibawah koordinasi dari pusat yang lebih tinggi pada batang otak, otak kecil dan korteks serebri. Sehingga proses patologik yang mengenai pusat-pusat ini misalnya stroke, sindroma parkinson, demensia dapat menyebabkan inkontinensia. Semua ini adalah deskripsi yang disederhanakan dari proses berkemih yang sebenarnya rumit, sedangkan keadaan neurofisiologik yang sesungguhnya belum sepenuhnya diketahui.

Proses berkemih adalah suatu mekanisme yang sangat kompleks. Untuk dapat mengelola penderita inkontinensia urin dengan lebih baik, dibutuhkan pemahaman dari mekanisme detrusor dan mekanisme sfingter.a. Mekanisme detrusorOtot detrusor kandung kemih merupakan otot-otot yang beranyaman dan bersifat kontraktil. Mekanisme detrusor melibatkan oto detrusor, persyarafan pelvis, medulla spinalis dan pusat-pusat di otak yang mengatur proses berkemih. Bila kandung kemih makin terisi dengan urin, sensasi syaraf diteruskan lewat persyarafan pelvis dan medula spinalis ke pusat-pusat subkortikal dan korteks. Pusat sub-kortikal di ganglia basalis pada serebellum memerintahkan kandung kemih untuk relaksasi, dengan demikian proses pengisian berlanjut, perasaan regangan kandung kemih mencapai pusat kesadaran.Selanjutnya pusat di korteks di lobulus frontalis akan mengatur untuk menunda berkemih. Gangguan pada pusat-pusat di korteks atau sub-kortikal ini kaibat penyakit atau obat-obatan dapat menurunkan kemampuan untuk menunda berkemih.Bila dikehendaki untuk berkemih, rangsang dari korteks diteruskan lewat medulla spinalis dan perssyarafan pelvis ke otot-otot detrusor. Kerja kolinergik dari persyarafan pelvis mengakkibatkan kontraksi dari otot-otot detrusor. Gangguan pada aktifitas kolinergik dari persyarafan pelvis ini berakibat penurunan kontraktilitas otot-otot detrusor. Otot-otot ini juga mempunyai reseptor untuk prostaglandin, sehingga obat-obat yang menghambat prostagalndin dapat menganggu kerja detrusor. Kontraksi kandung kemih juuga tergantung pada kerja ion kalsium, sehingga penghambat kalsium juga dapat mengganggu kontraksi kandung kemih.b. Mekanisme sfingterInervasi dari sfingter interna dan eksterna juga kompleks. Walaupun demikian, untuk memberikan obat yang tepat dibutuhkan pemahaman dari persyarafan adrenergik dari sfingter-sfingter ini serta hubungan anatomik dari uretra dan kandung kemih.Aktifitas alfa adrenergik menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karenanya obat-obat bersifat alfa adrenergik agonis, misalnya pseudoefedrin, dapat memperkuat kontraksi sfingter. Sedangkan obat-obat penghambat alfa misalnya terazozin dapat memengaruhi penutupan sfingter. Inervasi beta adrenergik menyebabkan relaksasi dari sfingter uretra dari obat-obat alfa adrenergik tidak ada yang menghambat.Komponen lalin dari mekanisme sfingter adalah hubungan anatomik antra uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter yang terkendali membutuhkan sudut yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter yang normal juga tergantung dari posisi yang tepat dari uretra, sehingga peningkatan tekanan intra-abdominal dapat secara efektif diteruskan ke uretra. Bila uretra dalam posisi yang tepat, urin tidak akan keluar dengan mengejan, batuk, dan lain-lain gerakan yang meningkatkan tekanan dalam perut.Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa uin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung menignkat dan kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksi-kontraksi involunter ini ditemuka pada 40-75 % orang lanjut usia yang mengalami inkontinensia.Pada wanita, menjadi lanjut usia juga beraknbat menurunnya tahanan pada uretra dan muara kandung kemih. Ini berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya jaringan/otot-otot panggul karena proses melahirkan, apalagi bila disertai tindakan-tindakan berkenaan persalinan tersebut.Menurunnya pengaruh dari estrogen pada lanjut usia, juga dapat menyebabkan vaginitis atropi dan uretrhitis sehingga terjadi keluhan-keluhan disuri misalnya polakisuri dan dapat mencetuskan inkontinensia.Pada pria, pembesaran kelenjar prosta pada lanjut usia, mempunyai potensi untuk menyebab inkontinensia.

3.2 INKONTINENSIA URINE

Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita usia lanjut. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit. Bukan merupakan diagnosis, sehingga perlu dicari penyebabnya.Inkontinensia urin dapat didefinisikan sebagai secara tidak terkendali atau tidak disadari mengeluarkan air kemih dalam jumlah tertentu atau cukup sering, sehingga mengakibatkan masalah psikososial dan atau masalah kesehatan. Inkontinensia urin mengenai sekitar 15-30% usia lanjut (usila) yang tinggal di rumah, yang kemudian mengakibatkan sepertiga dari mereka dirawat di ruang rawat kronik. Pada usia lanjut yang tinggal di masyarakat Amerika Serikat, prevalensi inkontinensia urin dilaporkan berkisar antara 10-50%. Diokno dkk menemukan bahwa 18,9% dari pria dan 37,7% dari wanita berusia 60 tahun ke atas yang tinggal di Michigan mengalami inkontinensia urin. Di antara pasien usia lanjut di Kanada yang sudah terganggu status fungsionalnya dan mendapat perawatan di rumah, Mohide dkk menemukan 22% diantaranya mengalami inkontinensia urin. Frekuensi pada pria dan wanita adalah sama, dan inkontinensia dijumpai pada 25% pasien berusia 85 tahun atau lebih. Di ruang rawat Bagian Penyakit Dalam RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) pada tahun 1995 dijumpai 23,8% pasien usia lanjut yang mengalami inkontinensia urin. Secara klinik, inkontinensia urin dapat menyebabkan kemerahan (rash) perineum, ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, bahkan urosepsis, jatuh, maupun fraktur. Secara psikososial, inkontinensia urin dikaitkan dengan rasa malu, stigmatisasi, isolasi, depresi, dan dengan risiko perawatan (institusionalisasi). Secara ekonomi, di Amerika Serikat, pada tahun 1987 lebih dari 10 milyar dollar Amerika dihabiskan untuk menangani inkontinensia, suatu jumlah yang pada waktu itu lebih banyak dibandingkan jumlah uang yang dihabiskan untuk dialisis dan bedah pintas koroner. Walaupun pasien usia lanjut sering mengabaikan inkontinensia urin ini dan menganggapnya sebagai bagian normal dari proses penuaan, inkontinensia urin adalah sesuatu yang abnormal pada semua usia, dan dapat diobati dan sering dapat disembuhkan, bahkan pada usia yang sangat lanjut sekalipun. Namum demikian, keberhasilan penatalaksanaan memerlukan pengertian akan pengaruh penuaan normal dan faktor di luar saluran kemih pada sistem urogenital.Pengaruh Umur pada Kontinensi Pada semua usia, kontinensi tergantung mobilitas yang adekuat, status mental, motivasi, dan fungsi saluran kemih bagian bawah yang intak. Walaupun inkontinensia urin pada pasien usia muda jarang berkaitan dengan defisit di luar saluran kemih, defisit seperti ini biasa dijumpai pada pasien usila. Defisit ini sangat penting dideteksi karena dapat menyebabkan inkontinensia dan intervensi mungkin tidak akan efektif sampai masalah di luar saluran kemih tersebut diselesaikan. Saluran kemih bagian bawah mengalami perubahan karena usia, walaupun tanpa ada penyakit apapun. Kapasitas kandung kemih, kontraktilitas, dan kemampuan untuk menahan berkemih menurun pada usila pria dan wanita, sedangkan kekuatan dan lama menutup uretra menurun bersamaan dengan meningkatnya usia pada wanita. Prostat membesar pada kebanyakan pria yang sering menyebabkan obstruksi. Pada pria dan wanita, prevalensi kontraksi kandung kemih meningkat sedangkan volume residu setelah berkemih meningkat sampai 50-100 ml. Sebagai tambahan, usila sering mengeksresikan sebagian besar asupan cairan pada malam hari, walaupun tidak memiliki penyakit ginjal, edema perifer dan prostatismus. Perubahan-perubahan ini meningkatkan gangguan tidur, menyebabkan berkemih 1-2 kali di malam hari pada kebanyakan usila sehat. Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi dari kadang-kadang keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan disertai juga inkontinensia alvi. Inkontinensia dapat merupakan faktor tunggal yang menyebabkan seorang lanjut usia dirawat, karena sudah tidak teratasi oleh penderita sendiri maupun keluarga/orang yang merawatnya.Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini.Inkontinensia urin mempunyai dampak medik, psikososial dan ekonomik. Dampak medik dari inkontinensia antara lain dikaitkan dengan ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal dan mortalitas yang meningkat. Sedang dampak psikososial dari inkontinensia urin adalah kehilangan kepercayaan diri, depresi, menurunnya aktivitas seksual dan pembatasan aktifitas sosial. Pada kasus yang lebih berat terjadi ketergantungan pada yang merawat. Inkontinensia urin juga sering menjadi faktor utama dari indikasi perawatan.Selain dari pengertian serta definisi inkontinensia urin di atas ada juga yang mengartikan pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga hal tersebut dapat juga dianggap merupakan sesuatu masalah bagi seseorang. Inkontinensia urin ini di kalangan masyarakat umum sering diartikan sebagaibeserataumengompol.

Etiologi Inkontinensia Urine.

Etiologi atau penyebab dari inkontinensia urine ini adalah karena adanya kelemahan dari otot dasar panggul. Ini yang berkaiatan dengan anatomi dan juga fungsi organ kemih. Kelemahan dari otot dasar panggul ini bisa karena beberapa penyebab yaitu diantaranya kehamilan yang berulang-ulang, kesalahan dalam mengedan. Hal tersebut bisa mengakibatkan seseorang tersebut tidak dapat menahan air seni(beser). Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.Penyebab inkontinensia urineantara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan / keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.Patofisiologi Inkontinensia Urin.Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

1. Inkontinensia Sementara Inkontinensia yang sementara (transient) dijumpai pada sepertiga usila di masyarakat, dan sampai dengan 50% pasien usila yang dirawat. Inkontinensia ini dapat berkembang pada semua usila dan sebagian akan berisiko. Obat-obat antikolinergik mungkin menyebabkan inkontinensia urin overflow (luber) pada usila dengan kandung kemih yang lemah dan tersumbat (mengalami obstruksi). Sedangkan produksi urin yang berlebihan sangat mungkin menyebabkan inkontinensia urge (urgensi) pada usila dengan overaktivitas detrusor atau mobilitas yang terganggu. Penyebab inkontinensia urin yang sementara ini dapat menetap selama tidak diterapi dan tidak boleh diabaikan.

2. Inkontinensia yang Menetap Inkontinensia ini dapat digolongkan pada beberapa tipe yaitu: inkontinensia fungsional, inkontinensia stress, inkontinensia urge dan inkontinensia overflow. a. Inkontinensia Fungsional Inkontinensia fungsional adalah kebocoran urin berkaitan dengan ketidakmampuan pasien untuk mencapai toilet pada waktunya karena gangguan fisik atau kognitif. Hal ini disebabkan antara lain oleh demensia berat, kelainan neurologik, maupun oleh faktor psikologis seperti; depresi, regresi, marah dan hostility. Istilah inkontinensia fungsional sebetulnya menunjukkan bahwa fungsi saluran kemih normal padahal banyak penelitian saat ini menunjukkan bahwa pada tipe ini fungsi saluran kemih yang normal sulit dijumpai, bahkan pada usia lanjut yang kontinen sekalipun. Karena usia lanjut yang terganggu status fungsionalnya lebih mungkin mengalami faktor-faktor yang menyebabkan inkontinensia urin sementara, penyebab inkontinensia urin yang reversibel mungkin terabaikan/terlupakan sehingga tidak ditangani dengan baik. Bahkan pada usila yang betul-betul terganggu status fungsionalnya mungkin menderita inkontinensia urin obstruksi atau stress yang sebenarnya dapat diobati. Jadi lebih baik menganggap gangguan fungsional sebagai kontributor pada inkontinensia daripada sebagai penyebab. b. Inkontinensia Urge Pada keadaan ini pasien tak dapat menahan berkemih, umumnya volume urin yang dikeluarkan sedang sampai banyak. Istilah lain adalah overaktivitas detrusor (kontraksi kandung kemih involunter). Merupakan penyebab yang paling banyak dijumpai pada usila. Ditandai dengan kontraksi kandung kemih involunter dan dikaitkan dengan aktivitas otot polos spontan yang meningkat dan perubahan spesifik pada tingkat selular. Ketidak stabilan sistem sensorik dan motorik detrusor dapat disebabkan oleh kelainan lokal seperti sistitis, tumor, batu, atau obstruksi outflow kandung kemih, ataupun oleh karena kelainan saraf sentral seperti pada strok, demensia, atau parkinsonisme. Gejala klinis dari overaktivitas detrusor adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru (urgensi). Kebocoran urin terjadi secara episodik tetapi sering, volume kebocoran biasanya sedang sampai banyak, nokturia dan inkontinensi urin biasa terjadi. Sensasi dan refleks sakral tetap terpelihara, dan bila tidak ada gangguan kontraktilitas kandung kemih, volume residu pasca berkemih umumnya sedikit. c. Inkontinensia Stress Merupakan penyebab inkontinensia urin tersering kedua pada usila wanita. Kondisi ini terjadi pada pria hanya bila mekanisme sfingter dirusak oleh reseksi prostat yang luas. Gejala klinisnya antara lain kebocoran urin segera setelah meningkatnya tekanan intra abdomen (stress maneuvers), misalnya oleh karena batuk, tertawa atau latihan/aktivitas, dan disebabkan oleh kelemahan otot-otot dasar panggul, bagian luar kandung kemih, atau sfingter uretra. Pada pria, inkontinensia menyerupai leaky tap, tetesan urin terus-menerus yang dieksaserbasi oleh posisi berdiri atau ketegangan. Pada overaktivitas detrusor dengan inkontinensia stress, kebocoran pada umumnya memburuk pada siang hari. Inkontinensia stress yang terjadi bersamaan dengan inkontinensia urgensi akibat overaktivitas detrusor disebut inkontinensia campuran (mixed incontinence).

d. Inkontinensia Overflow Pada keadaan ini pengeluaran urin terjadi akibat overflow (luber), biasanya sedikit-sedikit. Tipe ini merupakan penyebab kedua yang paling banyak dijumpai pada usia lanjut pria, akibat kandung kemih yang terlalu meregang disebabkan oleh sumbatan (obstruksi) akibat pembesaran prostat, striktur uretra, dll. Pada diabetes mellitus atau cedera medulla spinalis dapat terjadi overflow oleh karena kandung kemih tidak berkontraksi, atau neurogenic bladder. Pada wanita umumnya hanya dijumpai pada wanita yang telah menjalani bladder neck suspension atau yang telah menderita prolaps berat dengan kinking uretra. Aktivitas yang berkurang dari detrusor, yang biasanya idiopatik, ditandai dengan perubahan degeneratif pada sel-sel otot dan akson secara luas. Kondisi ini muncul sebagai inkontinensia overflow dengan gejala sering berkemih, nokturia, dan kebocoran urin dalam jumlah yang sedikit namun sering. Volume sisa pasca berkemih biasanya sangat banyak (biasanya lebih dari 450 ml).

Evaluasi Inkontinensia Urin Pasien Usia Lanjut Tujuan evaluasi adalah: Mengidentifikasi apakah inkontinensia urin terjadi sementara atau menetap. Mengkaji lingkungan pasien. Mengetahui dukungan yang tersedia untuk pasien. Mendeteksi kondisi-kondisi yang jarang terjadi tetapi serius yang mungkin mendasari terjadinya inkontinensia urin ini seperti lesi pada otak dan medulla spinalis, karsinoma kandung kemih atau prostat, batu kandung kemih, hidronefrosis, menurunnya ketahanan kandung kemih, dan disinergia detrusor. Secara sistematis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan kemudian dengan pemeriksaan penunjang dicari faktor-faktor di atas. Dalam anamnesis juga dievaluasi mengenai pola asupan cairan pasien, obat-obatan yang diminum (diuretik, psikotropik, antikolinergik), penyakit-penyakit tertentu (diabetes mellitus, strok, demensia, dsb) dan gejala yang berkaitan dengan saluran urin (disuria, gangguan berkemih). Semua waktu berkemih dan jumlah urin, serta kejadian inkontinensia urin perlu dicatat selama 2-7 hari. Catatan ini dapat memberikan kunci diagnostik yang berharga. Sebagai contoh, inkontinensia yang terjadi hanya antara jam 8.00 sampai siang hari mungkin disebabkan oleh diuretik yang diminum pagi hari. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan abdomen, rectum, dan genital untuk mencari adanya pembesaran kandung kemih atau prostat atau gangguan saraf sacrum. Pada pasien usila yang sudah renta/rapuh perlu diperhatikan status mobilitas dan status mentalnya karena berkaitan dengan terjadinya inkontinensia urin. Terabanya kandung kemih pada pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan adanya inkontinensia overflow akibat dari obstruksi kandung kemiah atau tidak berkontraksinya kandung kemih. Sistokel yang besar menunjukkan adanya inkontinensia stress, hipestesia perianal menunjukkan inkontinensia overflow akibat denervasi sakral. Adanya parkinsonisme atau riwayat strok mengarahkan kemungkinan suatu inkontinensia urgensi akibat ketidakstabilan kandung kemih.Pendekatan berikut mungkin relatif tidak invasif, akurat, hemat biaya dan ditoleransi dengan baik. Tahap pertama adalah mengidentifikasi adanya inkontinensia urin tipe overflow (sisa air kemih lebih atau sama dengan 450 ml), bila sesuai secara klinis, pasien dapat dirujuk ke ahli urologi dan dapat dikateterisasi. Untuk 90-95% pasien sisanya tergantung jenis kelamin pasien. Karena obstruksi jarang terjadi pada pasien wanita, diagnosis banding umumnya antara inkontinensia stress atau overaktivitas detrusor. Kebocoran akibat stress atau tekanan harus dicari selama pemeriksaan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien, bila pasien usila wanita tersebut merasakan bahwa kandung kemihnya penuh, diminta untuk beristirahat dan batuk dengan kuat segera sehingga kebocoran dapat segera diamati. Tidak hanya kebocoran yang teratur pada saat dilakukan stress maneuvers merupakan bukti yang kuat bahwa bukan suatu inkontinensia stress. Pada pria, inkontinensia urin tipe stress jarang dijumpai. Masalah yang biasanya dijumpai adalah membedakan overaktivitas detrusor dengan obstruksi. Tahapan berikutnya adalah mencari kemungkinan adanya hidronefrosis pada pria dengan sisa urin melebihi 200 ml, dan merujuknya atau mengosongkan kandung kemih (dekompresi). Bila hidronefrosis tidak dijumpai namun terdapat obstruksi, pasien tetap dirujuk untuk menjalani kemungkinan tindakan pembedahan. Untuk yang lain, pada pasien-pasien dengan gejala inkontinensia urgensi diduga karena overaktivitas detrusor dapat diberi pengobatan. Obat-obat untuk merelaksasi kandung kemih seyogyanya dihindari pada pasien dengan sisa urin 150 ml atau lebih. Pendekatan yang sama juga disarankan pada pasien dengan gangguan kognitif yang dapat diamati secara dekat. Pasien usila pria tanpa inkontinensia urgensi yang gagal dengan terapi empiris, dan yang terganggu fungsi kognitifnya harus dirujuk.

Penatalaksanaan Inkontinensia Urine

Penatalaksanaan harus bersifat individual, tergantung pada pasiennya, karena faktor-faktor di luar saluran kemih sering kali mempengaruhi kelayakan dan efektivitas pengobatan. Berbagai pilihan terapi tersedia untuk penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti cara pengobatan behavioral (perilaku), lingkungan, obat-obatan dan pembedahan. Karena patofisiologi inkontinensia urin kompleks, pasien sering mendapatkan manfaat dengan kombinasi dari cara pengobatan tersebut. Di samping itu, inkontinensia tipe urgensi, stress dan fungsional sering terjadi bersamaan pada pasien yang sama. Inkontinensia Urgensi Intervensi perilaku merupakan dasar terapi pada inkontinensia tipe ini. Latihan kandung kemih akan memperpanjang interval berkemih. Bagi pasien dengan status kognitif baik, teknik penanganan sendiri seperti latihan kebiasaan (habit training), latihan kandung kemih (bladder training) dan latihan otot dasar panggul adalah hal yang praktis dan sesuai. Sebagai contoh, pasien yang mengalami inkontinensia urin tiap 3 jam diminta untuk berkemih tiap 2 jam sekali dan menahan keinginan berkemih diantara waktu itu. Latihan tersebut terus dilakukan dengan memperpanjang interval berkemih secara bertahap sampai dapat dicapai hasil yang memuaskan. Bagi pasien dengan gangguan mobilitas, habit training dan penjadwalan ke toilet (scheduled toileting) adalah paling bermanfaat. Pasien ditanya apakah ingin berkemih tiap 2 jam. Bila pasien menyatakan iya, pasien diantarkan ke toilet. Sebagian dari mereka akan tetap kering (tidak mengompol) dengan upaya tersebut di atas, namun diperlukan keterlibatan pemberi pelayanan (tenaga medik atau non medik) yang konsisten dan berkesinambungan. Dukungan lingkungan juga membantu terapi perilaku. Memperbaiki kamar mandi, cahaya penerangan yang cukup, tinggi tempat duduk toilet, dan pegangan bagi pasien merupakan hal-hal penting yang perlu diperhatikan. Sarana lain seperti pembalut (pads, diapers, absorbent pants atau disposable pants) merupakan benda-benda yang bermanfaat, khususnya pada pasien yang imobil yang mengalami kesulitan mengatur jadwal ke toiletnya. Kateter kondom dapat menolong tetapi sering menyebabkan lecet dan mengurangi motivasi untuk tetap kering dan mungkin tidak layak untuk penis yang kecil. Kateter uretra yang menetap tidak direkomendasikan karena biasanya mengeksaserbasi overaktivitas detrusor. Jika tetap harus digunakan (misalnya untuk member kesempatan ulkus dekubitus menyembuh) kateter yang kecil dengan balon yang kecil pula dapat dipilih untuk menghindari kontraksi detrusor yang menyebabkan kebocoran di sekitar kateter. Jika overaktivitas detrusor menetap, obat dapat membantu terapi behavioral, seperti oksibutinin, tetapi tidak dapat menggantikannya karena pada umumnya obat tidak dapat menghilangkan sama sekali overaktivitas dan kerja yang saling melengkapi seperti oksibutinin dan imipramin, akan meningkatkan manfaat dan mengurangi efek samping. Obat-obat dengan efek samping antikolinergik yang lebih poten seperti supositoria beladona, seyogyanya dihindari pada usila. Inkontinensia Overflow Terapi yang sesuai tergantung pada penyebabnya, apakah obstruksi atau kandung kemih yang tidak berkontraksi. Inkontinensia urin akibat obstruksi prostat yang membesar diatasi dengan pembedahan (TUR/prostatektomi). Pasien yang mempunyai kondisi fisik yang baik umumnya berespon baik terhadap pembedahan. Setelah operasi harus tetap diikuti untuk melihat apakah dalam jangka panjang terdapat masalah inkontinensia lagi atau tidak. Banyak usia lanjut yang mendapat gangguan kandung kemih setelah masa strok dapat membaik dengan gabungan usaha pelatihan, obat dan rehabilitasi. Keberhasilan usaha ini amat tergantung kepada tim yang beranggotakan para profesi (dokter, perawat), keluarga pasien dan pasien, sehingga pasien mengerti maksud perawatan ini, dan menimbulkan motivasi yang kuat. Bila keadaan tidak memungkinkan dengan pembedahan, dekompresi kandung kemih urin dengan kateter dapat dilakukan. Pada inkontinensia urin akibat tidak berkontraksinya kandung kemih, kadang-kadang berespons dengan terapi medikamentosa atau dekompresi setelah retensi urin yang akut, namun seperti pada neurogenic bladder, biasanya memerlukan kateterisasi intermitten setiap 4-6 jam. Pada obstruksi uretra tanpa retensi urin, modifikasi kebiasaan berkemih dan ekskresi cairan mungkin sudah cukup. Jika tidak, antagonis adrenergik alfa dapat menolong pada pria yang ingin menunda pembedahan. Manfaatnya dapat diobservasi dalam beberapa minggu. 3. Inkontinensia Stress Inkontinensia tipe ini dapat diperbaiki dengan menyesuaikan/mengatur ekskresi cairan dan interval berkemih untuk memelihara volume kandung kemih di bawah ambang. Latihan otot dasar panggul 30-200 kali sehari dapat mengurangi inkontinensia terutama pada wanita usia lanjut dengan status kognitif dan motivasi yang baik. Latihan ini dilakukan dengan cara menegangkan atau mengkontraksikan otot dasar panggul selama sekitar 5 detik, dan diulangi sekitar 4-5 kali setiap jamnya. Berbagai cara untuk memahami latihan otot dasar panggul ini, antara lain dengan instruksi agar pasien berusaha menutup/mengeraskan otot-otot anus dan otot vagina, atau secara mendadak menghentikan aliran kemihnya, atau pada pemeriksaan colok dubur diinstruksikan pasien berusaha menjepit jari pemeriksa. Masalah Khusus Banyak usia lanjut dianggap apatis terhadap keadaan inkontinensianya. Oleh karena itu dalam penilaian harus dicari betul apakah ini depresi atau tidak, sehingga perlu pemberian obat-obat anti depresan. Apatis juga dapat merupakan usaha pasien untuk mengatasi keadaan inkontinensianya. Secara ideal mengingat cukup banyak kasus dengan inkontinensia, maka perlu ada 1 tim inkontinensia, yang terdiri dari professional; dokter, perawat, rehabilitasi, psikiater, yang bersama keluarga pasien dan pasien sendiri untuk mengatasi hal ini. Dengan program yang terencana, pendidikan dan latihan, serta dukungan ahli urologi/bedah maka sebagian besar kasus dapat ditangani. Di Negara yang telah maju banyak organisasi yang mengkhususkan pada masalah inkontinensia, yang sangat membantu pasien. Walaupun inkontinensia termasuk dalam pelayanan kesehatan, dengan adanya organisasi-organisasi seperti ini, pasien lebih mendapatkan perhatian.

BAB IVPENUTUPDemikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelmahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya. Terima kasih.

4.1 KESIMPULAN

Inkontinensia Urin adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan hilanganya kendali pada kandung kemih yang berakibat pada kebocoran urin/mengompol. Kondisi ini biasanya merupakan gejala dari penyakit yang mendasari atau masalah fisik, seperti infeksi saluran kemih, konstipasi, diabetes, infeksi prostat, dan penyakit neurologi. Beratnya kebocoran urin bervariasi dari satu individu dengan yang lainnya. Beberapa orang kadang-kadang hanya mengalami gejala kebocoran kecil sedangkan pada yang lainnya seringkali dapat membasahi pakaian mereka. Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin: Inkontinensia Stress (mengompol sewaktu ada tekanan yang mendesak ketika batuk, bersin, tertawa, olahraga dan mengangkat beban berat), Inkontinensia Urgensi (umumnya disebabkan oleh infeksi saluran kemih, masalah pencernaan, dan penyakit neurologis dan ditandai dengan keinginan berkemih yang tiba-tiba, terus menerus mendesak diikuti dengan berkemih secara tidak sadar), Overflow Inkontinensia (ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dan umumnya ditemukan pada orang-orang dengan kerusakan kandung kemih atau sumbatan pada uretra), Inkontinensia Campuran (campuran dari dua atau lebih tipe inkontinensia urin), Inkontinensia Fungsional (dialami oleh orang tua di rumah jompo akibat gangguan fisik atau mental yang mencegah mereka untuk berkemih ke toilet) dan Inkontinensia Total (kebocoran berkelanjutan dari urin sepanjang hari). 4.2 SARANAgar kita lebih memperdalam lagi pengetahuan tentang ilmu kesehatan geriatri, sehingga dapat memahami proses-proses diuresis normal dan inkontinensia urine pada usia lanjut dan dapat melakukan tatalaksana pada inkontinensia urine pada usia lanjut tersebut..

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.2011. Jakarta:FK UIManual, Merck.2013. Geriatrics.Jilid 1. Jakarta: Binarupa AksaraPurnomo, Basuki. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto

21