Atresia Bilier

13
ATRESIA BILIER A. Pendahuluan Atresia bilier merupakan penyakit yang ditandai oleh obliterasi fibrotik sebagian atau seluruh lumen extrahepatic biliary tree yang terjadi pada 3 bulan pertama dari kehidupan 1 . Proses obliterasi fibrotik yang terjadi ekstrahepatik dapat meluas mengenai duktus biliaris intrahepatik sehingga penggunaan istilah atresia bilier ekstrahepatik sudah mulai ditinggalkan. Penyakit ini digolongkan kedalam kelompok kelainan kolestatik neonatus, yaitu kelainan yang diakibatkan oleh hambatan aliran empedu sehingga dijumpai peningkatan kadar - bilirubin - direk, - feses - akholik - dan - hepatomegali. Dijumpai banyak penyakit yang dimasukan dalam kelompok kelainan kolestatik neonatus sehingga dapat dimengerti kesulitan dalam menentukan diagnosa atresia bilier, yang pada akhirnya mengakibatkan keterlambatan tindakan operatif. Bila operasi portoenterostomi dikerjakan sebelum usia 8 minggu, angka bebas ikterus dapat mencapai 80%. Bila operasi dikerjakan setelah usia 12 minggu angka bebas ikterus turun menjadi sekitar 20%, karena umumya sudah terjadi sirosis bilier yang permanen 2,3 . Tujuh puluh sampai delapan puluh persen pasien pasca portoenterostomi akhirnya memerlukan tranplantasi hati yang saat ini belum dapat dikerjakan di Indonesia . B. Klasifikasi

Transcript of Atresia Bilier

Page 1: Atresia Bilier

ATRESIA BILIER

A. Pendahuluan

Atresia bilier merupakan penyakit yang ditandai oleh obliterasi fibrotik sebagian atau

seluruh lumen extrahepatic biliary tree yang terjadi pada 3 bulan pertama dari kehidupan 1.

Proses obliterasi fibrotik yang terjadi ekstrahepatik dapat meluas mengenai duktus biliaris

intrahepatik sehingga penggunaan istilah atresia bilier ekstrahepatik sudah mulai

ditinggalkan. Penyakit ini digolongkan kedalam kelompok kelainan kolestatik neonatus, yaitu

kelainan yang diakibatkan oleh hambatan aliran empedu sehingga dijumpai peningkatan

kadar-bilirubin-direk,-feses-akholik-dan-hepatomegali. 

Dijumpai banyak penyakit yang dimasukan dalam kelompok kelainan kolestatik

neonatus sehingga dapat dimengerti kesulitan dalam menentukan diagnosa atresia bilier, yang

pada akhirnya mengakibatkan keterlambatan tindakan operatif. Bila operasi portoenterostomi

dikerjakan sebelum usia 8 minggu, angka bebas ikterus dapat mencapai 80%. Bila operasi

dikerjakan setelah usia 12 minggu angka bebas ikterus turun menjadi sekitar 20%, karena

umumya sudah terjadi sirosis bilier yang permanen 2,3. Tujuh puluh sampai delapan puluh

persen pasien pasca portoenterostomi akhirnya memerlukan tranplantasi hati yang saat ini

belum dapat dikerjakan di Indonesia.

B. Klasifikasi

Ada 3 (tiga) jenis atresia bilier : Tipe I,  atresia dari duktus biliaris komunis;  tipe II

atresia dari duktus hepatikus; sedangkan tipe III obstruksi atau sumbatan dari saluran empedu

makin ke hulu pada jaringan hati yaitu saluran pada porta hepatis dan diatas porta hepatis. 

Kebanyakan pasien atresia bilier termasuk dalam tipe III, yaitu sebanyak 90%.

C. Etiologi

Penyebab dari Atresia bilier tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme auto imun

mungkin merupakan sebagian penyebab terjadinya progresivitas dari Atresia bilier. Penelitian

terbaru mengatakan infeksi virus pada bayi dan kelainan kongenital dari sistim biliaris

merupakan penyebab terbanyak dari Atresia bilier. Kurang lebih 10 % dari Atresia bilier

Page 2: Atresia Bilier

terutama masa fetal bersama sama dengan kelainan kongenital lainnya seperti kelainan

jantung, limpa dan usus.

Atresia bilier terjadi selama periode fetus atau neonatal kemungkinan triger nya adalah

salah satu atau kombinasi faktor dibawah ini :

- Infeksi dengan virus atau bakteri

- Kelainan genetik

- Masalah sistim imun

- Komponen empedu yang abnormal

- Ganguan pertumbuhan dari liver dan duktus biliaris

D. Patofisiologi

Patofisiologi dari atresia bilier juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan gambaran

histopatologi, diketahui bahwa atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan

yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami kerusakan secara progresif. Pada

keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan

mengalami kerusakan yang progresif pula.

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal

empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan

menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi

hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrosis. Dan hipertensi portal sehingga akan

mengakibatkan gagal hati.

E. Patogenesis

1. Defek morfogenesis dari traktus biliaris

2. Defek dalam fetus/prenatal sirkulasi

3. Faktor lingkungan

Page 3: Atresia Bilier

4. Infeksi virus

5. Immunologi

6. Faktor genetik

F. Gambaran Klinis

Dikenal 2 bentuk atresia bilier, tipe embrional/fetal dan tipe perinatal/acquired. Tipe

embrional dijumpai pada 20% dari seluruh kasus atresia bilier, sering muncul bersama

anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta preduodenum, situs inversus dan juga

malrotasi usus. Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan,dan

intraoperatif sering tidak dijumpai bile duct remnants. Sedangkan pada tipe perinatal yang

dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul

pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 kehidupan. Umumnya intra operatif dijumpai bile

duct.remnant-8,9

Perlu diingat gambaran ikterus, feses akholik dan urin berwarna gelap bukan hanya

ditemukan pada pasien atresia bilier tetapi juga pada penyakit lain yang merupakan diagnosa

banding penyakit atresia bilier. Dari seluruh diagnosa banding yang ada, yang paling

menyerupai atresia bilier adalah hepatitis neonatus. Beberapa hal yang membedakannya

adalah, hepatitis neonatus lebih sering dialami oleh bayi laki laki dengan berat badan lahir

rendah dan mengalami failure to thrive. Sedangkan atresia bilier lebih sering dialami oleh

bayi perempuan dengan gizi baik . Status gizi baik ini pula yang sering membuat

keterlambatan diagnosa. Pada pemeriksaan laboratorium akan dijumpai peningkatan bilirubin

direk, AST (aspartate amino transferase), ALT (alanin aminotransferase) dan GGT (gamma-

glutamyltranspeptidase). Walaupun obstruksi duktus biliaris telah terjadi kadang kadar

bilirubin total hanya mencapai 12mg/dl dengan kadar bilirubin direk tidak melebihi dari

8mg/dl, hal ini sangat berbeda dengan hepatitis neonatus dimana kadar bilirubin dapat

melebihi 20mg/dl. Mengingat hal tersebut maka gejala awal atresia bilier dapat hanya berupa

ikterus pada sklera tanpa jelas adanya ikterus pada kulit apalagi bila kulit pasien berwarna

gelap 4,10

G. Diagnosis

Page 4: Atresia Bilier

Anamnesa, selain mendapatkan tanda klasik seperti riwayat kuning, feses akholik, urin

berwarna gelap, perlu diperhatikan pula untuk mencari kemungkinan etiologi dengan

menanyakan riwayat infeksi ibu pada saat hamil/melahirkan, berat badan lahir rendah dan

resiko hepatitis virus (transfusi darah, operasi), serta paparan terhadap obat-obatan / toksin. 

Pemeriksaan fisik, pertumbuhan bayi dinilai dengan mengukur berat badan dan lingkar

kepala, sedangkan ikterus dicari pada kulit dan sklera. Jika pada pemeriksaan fisik abdomen

didapatkan hepatosplenomegali ataupun asites maka keadaan ini akan memperburuk

prognosa.

Pemeriksaan penunjang rutin, darah tepi lengkap, gambaran darah tepi, urin rutin, tinja 3

porsi dan biokimia darah. Secara kasar dapat dibedakan gambaran laboratorium kolestasis

ekstrahepatis-dan-kolestasis-intrahepatis.

Kolestasis kolestasis

Intrahepatis ekstrahepatis

AST(SGOT)/ALT(SGPT) +++ + 

GGT + ++++

Bilirubin serum +++ ++

H. Pemeriksaan Penunjang Khusus

- Aspirasi cairan duodenum, dilakukan pemeriksaan bilirubin dan bile acid terhadap aspirat

duodenum 11

- USG, pada awalnya kemampuan diagnostik USG pada kasus atresia bilier sangat diragukan,

tetapi setelah Choi 12, menemukan “triangular cord” sign , dan terlebih lagi setelah

digunakannya transducer frekwensi tinggi (13MHz) 13; maka USG hampir rutin digunakan

sebelum tindakan operasi. 

- Skintigrafi hepatobilier, sulitnya ekskresi isotop pada usus halus membuat spesifisitas

pemeriksaan ini hanya 50%-70% , sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan 14

- MRCP(Magnetic Resonance Cholangiopancreaticography), pada awal ditemukannya

pemeriksaan noninvasif ini, sangat dianjurkan untuk dikerjakan 15, namun pada akhirnya

Page 5: Atresia Bilier

diketahui bahwa dengan pemeriksaan ini sulit dibedakan antara kelainan kolestasis

intrahepatik berat dengan atresia bilier 16 

- ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreaticography), walaupun mempunyai

akurasi yang cukup baik namun tidak secara luas digunakan karena :

* dibutuhkan keakhlian khusus untuk mengerjakannya

* memerlukan anestesi umum

* memerlukan alat endoskopi dengan side viewing probe yang khusus 17

- Biopsi Hati Perkutan , bila ditangani oleh ahli patologi yang berpengalaman, ketepatan

diagnosis dapat mencapai 90%-95% 18

H. TATALAKSANA

Selama evaluasi, pasien dapat diberi 19:

A. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :

1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan :

- Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran empedu).

- Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder 20

2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :

Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik

B) Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak

Tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu : 19

1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak.

Page 6: Atresia Bilier

2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.

C) Terapi bedah

Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, laparatomi eksplorasi dianjurkan pada keadaan sebagai berikut: 21

1. Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari.

2. Gamma-GT meningkat > 5 kali

3. Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin

4. Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.

Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II.

Pada atresia bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).

Ada peneliti yang menyatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III dengan keberhasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai 21

Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap penderita :

1. Atresia bilier tipe III yang telah mengalami sirosis

2. Kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat

3. Pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran empedu.

J. Komplikasi

Page 7: Atresia Bilier

Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia biliaris adalah:

1. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.

2. Progresif serosis hepatis trjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penngumpalan.

3. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.4. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat

diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.5. Hipertensi portal6. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di esofaguc dan

perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.7. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan

penurunan produksi albumin dalam protein plasma.

K. Daftar Pustaka

1. Balistreri WF, Gand R, Hoofnagle JH, et al. Biliary atresia: current concept and research direction. Summery of a syposium. Hepatology 1996; 23:1682-92.

2. Karrer FM, Bensard DD. Neonatal cholestasis. Semin Peditr Surg 2000;9;166-9

Page 8: Atresia Bilier

3. Chardot C, Carton M, Spire-Bedelac N, et al. Epidemiology of biliary atresia in France : a national study 1986-96. J Hepatol 1999;31:1006-13

4. Sokol RJ, Mack C, Narkewicz MR, Karrer FM. Pathogenesis and Outcome of Biliary Atresia: Current Concept. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003;37:4-21

5. Tyler KL, Sokol RJ, Oberhaus SM, et al. Detection of reovirus RNA in hepatobiliary tissues from patients with extrahepatic biliary atresia and choledochal cyst. Hepatology 1998,27:1475-82

6. Silveira TR, Salzano FM, Donaldson PT et al. Association between HLA and extrahepatic biliary atresia. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1993:16:114-117.

7. Vasiliauskas E, Targan S, Cobb L, et al. Biliary atresia- an autoimmune disorder ? Hepatology 1995;22(4 Pt2):87

8. Sokol RJ, Mack C. Ethiopathogenesis of biliary atresia. Semin Liver Dis 2001;21:517-24

9. Narkewicz MR. Biliary atresia:an update on our understanding of the disorder. Curr Opin Pediatr 2001;13:435-40.

10. SetchellK, O’Connell N. Disorder of bile acids synthesis and metabolism : a metabolic basis for liver diseases. In : Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,eds. Liver Diseases in Children. Philadephia:Lippincott,Williams & Wilkins 2001:701-34.

11. Meisheri IV, Kasat LS, Kumar A, et al. Duodenal intubation and test for bile- a reliable method to rule out biliary atresia. Pediatr Surg Int 2002;18:392-5

12. Choi SO, Park Wh, LeeHJ, et al. “Triangular cord”: a sonographic finding applicable in the diagnosis of biliary atresia. J Peditr Surg 1996;31:363-6.

13. Farrant P, Meire HB, Mieli-Vergani G. Improved diagnosis of extrahepatic biliary atresia by high frequency utrasound of the gall bladder.Br J Radiol 2001;74:952-4

14. Gilmour SM, Hershkop M, Reifen R, et al. Outcome of hepatobiliary scanning in neonatal hepatitis syndrome. J Nucl Med 1997;38:1279-82

15. Guibaud L, Lachaud A, Touraine R, et al. MR cholangiography in neonates and infants : feasibility and preliminary applications. AJR Am J Roentgenol 1998; 170:27-31.

16. Norton KI, Glass RB, Kogan D, et al. MR cholangiography in the evaluation of neonatal cholestasis: initial results. Radiology 2002 ; 222: 687-91. 

Page 9: Atresia Bilier

17. Linuma Y, Narisawa R, Iwafuchi M, et al. The role of endoscopic retrogade cholangiopancreatography in infants with cholestasis. J Pediatr Surg 2000; 35:545-9.

18. Zerbini MC, Gallucci SD, Maezono R, et al. Liver biopsy in neonatal cholestasis: a review on statistical grounds. Mod Pathol 1997; 10:793-9.

19. Dr. Parlin Ringoringo, “Atresia Bilier”, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universotas Indonesia, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, , 1990. Jurnal diunduh dari www.kalbe.co.id/masalah anak/atresia bilier.

20. Myung-Joon Kim, MD,dkk “Biliary Atresia in Neonates and Infants: Triangular Area of High Signal Intensity in the Porta Hepatis at T2-weighted MR Cholangiography with US and Histopathologic Correlation”, RSNA 2007. Jurnal diunduh dari http://radiology.rsna.org/content/215/2/395.full

21. Wood RP, Langnas AN, Stratta RJ, Pillen TJ, Williams L, Lindsay S,Meiergerd D, Shaw BW. Optimal therapy for patients with biliary atresia:Portoenterostomy ("Kasai" procedures) versus primary transplantation. J.Pediatr Surg 1990