ASUHAN-KEPERAWATAN-STROKE (Revised).doc

download ASUHAN-KEPERAWATAN-STROKE (Revised).doc

of 45

Transcript of ASUHAN-KEPERAWATAN-STROKE (Revised).doc

ASUHAN KEPERAWATAN STROKE

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN STROKE (CVA)A. Pengertian

Stroke atau cedera cerebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/ atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan sematamata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000).

Menurut Price & Wilson (2006) pengertian dari stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian stroke adalah gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak yang timbulnya secara mendadak.

Stroke diklasifikasikan menjadi dua :

1.Stroke Non Hemoragik

Suatu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual, muntah, pandangan kabur dan dysfhagia (kesulitan menelan). Stroke non haemoragik dibagi lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik (Wanhari, 2008).

2.Stroke Hemoragik

Suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid. Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk (Wanhari, 2008).

B. Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian yaitu:

1.Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.

2.Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain.

3. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak

4.Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.

Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2000) adalah:

1. Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat stroke, penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.

2.Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.

C. Patofisiologi

Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.

Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu :

1.Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak.

2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan (hemorrhage).

3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.

4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.

Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri.. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.Skema Patofisiologi

Sumber : Satyanegara, 1998 (Wanhari, 2008).

D. Tanda dan Gejala

Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.

E. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksaan medis menurut menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi:

1.Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.

2. Antikoagulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler.

3. Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.

F. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah:

1.Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

2. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.

3.Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

G. Pemeriksaan Fisik Tingkat kesadaran :

1. Alert : Composmentis / kesadaran penuh

Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.

2. Lethargic : Kesadaran

Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara.

Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan cepat.

Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.

3. Obtuned

Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan.

4. Stuporus

Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.

Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus.5. Koma

Tidak dapat memberikan respon walaupun dengan stimulus maksimal, tanda vital mungkin tidak stabil. Didasarkan pada respon dari membuka mata (eye open = E), respon motorik (motorik response = M), dan respon verbal (verbal response = V).

Dimana masing-masing mempunyai scoring tertentu mulai dari yang paling baik (normal) sampai yang paling jelek. Jumlah total scoring paling jelek adalah 3 (tiga) sedangkan paling baik (normal) adalah 15.

Glasgow Coma Scale (GCS) :

Score : 3 4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja

< 7: koma

> 11: moderate disability

15 : composmentis

Adapun scoring tersebut adalah :

RESPONSCORING

1. Membuka Mata = Eye open (E)

Spontan membuka mata

Terhadap suara membuka mata

Terhadap nyeri membuka mata

Tidak ada respon4

3

2

1

2. Motorik = Motoric response (M)

Menurut perintah

Dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit (raba)

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak

Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi

Ekstensi abnormal/postur deserebrasi

Tidak ada respon6

5

4

3

2

1

3. Verbal = Verbal response (V)

Berorientasi baik

Bingung

Kata-kata respon tidak tepat

Respon suara tidak bermakna

Tidak ada respon5

4

3

2

1

Saraf kranial :

1. Test nervus I (Olfactory)

Fungsi penciuman

Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.

Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.

2. Test nervus II ( Optikus)

Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang

Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya.

Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.

3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)

Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).

Test N III (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.

Test N IV, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.

Test N VI, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.

4. Test nervus V (Trigeminus)

Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan bawah.

Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.

Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.

Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.

Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.

5. Test nervus VII (Facialis)

Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.

Otonom, lakrimasi dan salivasi

Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk : tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya

6. Test nervus VIII (Acustikus)

Fungsi sensoris :

Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.

Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.

7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)

N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.

N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.

Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan ah) apakah simetris dan tertarik keatas.

Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.

8. Test nervus XI (Accessorius)

Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya.

Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan ---- test otot trapezius.

9. Nervus XII (Hypoglosus)

Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan

Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)

Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

Fungsi sensorik :

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).

Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.

2. Kapas untuk rasa raba.

3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.

4. Garpu tala, untuk rasa getar.

5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :

Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.

Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis

Pen / pensil, untuk graphesthesia.

Sistem Motorik :

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.

Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.

1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi

2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.

Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.

Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.

Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.

3. Kekuatan otot :

Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovetts (memiliki nilai 0 5)

0=tidak ada kontraksi sama sekali.

1=gerakan kontraksi.

2 =kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau gravitasi.

3=cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4=cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

5=kekuatan kontraksi yang penuh.

Aktifitas refleks :

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0=tidak ada respon

1=hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )

2= normal ( ++ )

3=lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap

abnormal ( +++ )

4

=hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :

1. Refleks patella

Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.

2. Refleks biceps

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.

Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

3. Refleks triceps

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).

Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.

4. Refleks achilles

Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.

Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.

5. Refleks abdominal

Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

6. Refleks Babinski

Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :1. Kaku kuduk

Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada ---- kaku kuduk positif (+).

2. Tanda Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.

3. Tanda Brudzinski II

Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.

4. Tanda Kernig

Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.

Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.

5. Test Laseque

Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus. Pengkajian NyeriPengkajian nyeri akurat penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri, seperti factor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada respon perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST : P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri. Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat. R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri. S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri. T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.a.Riwayat NyeriSaat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri bagi klien dan bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :1). LokasiUntuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya menandai bagian tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang memiliki lebih dari satu sumber nyeri.2). Intensitas NyeriPenggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10. Angka 0 menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan nyeri terhebat yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan komunikasi.Keterangan 0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapatberkomunikasi dengan baik). 4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti perintah dengan baik). 7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi. 10 :Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisaberkomunikasi) .3). Kualitas Nyeri Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-tusuk. Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang diambil.4). Pola Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.5). Faktor Presipitasi Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh: aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya nyeri. 6). Gejala yang menyertai Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.7). Pengaruh aktifitas sehari-hari Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas waktu seggang serta status emosional.8). Sumber koping Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama/budaya.9). Respon afektif Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat dandurasi nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri klien.H. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penyakit stroke adalah:

1. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.

2. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.

3. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.

4. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.

5. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.

6. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

7. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.

I. Asuhan Keperawatan

Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil adalah merupakan respon klien, baik respon biopsikososial maupun spiritual, Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar bagi seorang perawat dalam melakukan pendekatan secara sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan klien tersebut. Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien serta memudahkan menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien serta memudahkan dalam perumusan diagnosa keperawatan (Doenges dkk, 1999).

Adapun pengkajian pada klien dengan stroke (Doenges dkk, 1999) adalah :

a. Aktivitas/ Istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).

Tanda: gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.

b. Sirkulasi

Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.

Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi vaskuler, frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.

c. Integritas Ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa

Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.

d. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih

Tanda: distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.e. Makanan/ Cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan sensasi pada lidah, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.

Tanda: kesulitan menelan, obesitas.

f. Neurosensori

Gejala: sakit kepala, kelemahan/ kesemutan, hilangnya rangsang sensorik kontralateral pada ekstremitas, penglihatan menurun, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.

Tanda: status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragis, gangguan fungsi kognitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia, ukuran/ reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.

g. Kenyamanan / Nyeri

Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda

Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot

h. Pernapasan

Gejala: merokok

Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas, timbulnya pernafasan sulit, suara nafas terdengar ronchi.i. Keamanan

Tanda: masalah dengan penglihatan, perubahan sensori persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespons terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan, gangguan dalam memutuskan.

j. Interaksi Sosial

Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi

k. Penyuluhan/ Pembelajaran

Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral, kecanduan alkohol.Diagnosa Keperawatan

Setelah data-data dikelompokkan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan diagnosa. Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan, dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doenges dkk, 1999). Untuk membuat diagnosis keperawatan yang akurat, perawat harus mampu melakukan hal berikut yaitu mengumpulkan data yang valid dan berkaitan, mengelompokkan data, membedakan diagnosis keperawatan dari masalah kolaboratif, merumuskan diagnosis keperawatan dengan tepat, dan memilih diagnosis prioritas (Carpenito & Moyet, 2007). Diagnosa keperawatan pada klien dengan Stroke (Doenges dkk, 1999) meliputi :

a.Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan:

1)Interupsi aliran darah

2)Gangguan oklusif, hemoragi

3)Vasospasme serebral

4)Edema serebral

b.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan:

1)Kerusakan neuromuskuler

2)Kelemahan, parestesia

3)Paralisis spastis

4)Kerusakan perseptual/ kognitif

c.Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan

1)Kerusakan sirkulasi serebral

2)Kerusakan neuromuskuler

3)Kehilangan tonus otot/ kontrol otot fasial

4)Kelemahan/ kelelahan

d.Perubahan sensori persepsi berhubungan dengan:

1)Perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologis atau defisit)

2)Stress psikologis (penyempitan lapang perseptual yang disebabkan oleh ansietas)

e.Kurang perawatan diri berhubungan dengan:

1)Kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/ koordinasi otot

2) Kerusakan perseptual/ kognitif

3)Nyeri/ ketidaknyamanan

4)Depresi

f. Gangguan harga diri berhubungan dengan:

1) Perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif

g..Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan berhubungan dengan:

1)Kurang pemajanan

2)Keterbatasan kognitif, kesalahan interprestasi informasi, kurang mengingat

3)Tidak mengenal sumber-sumber informasih. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan :

1) kelemahan otot mengunyah dan menelani. Diagnosa Keperawatan kembilan Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan :

1) menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi

3.Perencanaan

Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter & Perry, 2005). Perencanaan merupakan langkah awal dalam menentukan apa yang dilakukan untuk membantu klien dalam memenuhi serta mengatasi masalah keperawatan yang telah ditentukan. Tahap perencanaan keperawatan adalah menentukan prioritas diagnosa keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi keperawatan.

Tujuan yang ditetapkan harus sesuai dengan SMART, yaitu spesific (khusus), messeurable (dapat diukur), acceptable (dapat diterima), reality (nyata) dan time (terdapat kriteria waktu). Kriteria hasil merupakan tujuan ke arah mana perawatan kesehatan diarahkan dan merupakan dasar untuk memberikan asuhan keperawatan komponen pernyataan kriteria hasil.

Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien dengan Stroke ( Doenges dkk, 1999) adalah sebagai berikut :

a.Diagnosa keperawatan pertama: perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral.

1)Tujuan; kesadaran penuh, tidak gelisah

2)Kriteria hasil tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.

3)Intervensi;

a)Pantau/catat status neurologis secara teratur dengan skala koma glascow

Rasional: Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran.

b)Pantau tanda-tanda vital terutama tekanan darah.

Rasional:autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan.

c)Pertahankan keadaan tirah baring.

Rasional:aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan Tekanan Intra Kranial (TIK).

d)Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikkan dan dalam posisi anatomis (netral).

Rasional:menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi/ perfusi serebral.

e)Berikan obat sesuai indikasi: contohnya antikoagulan (heparin)

Rasional:meningkatkan/ memperbaiki aliran darah serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan.b.Diagnosa keperawatan kedua: kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan.

1)Tujuan; dapat melakukan aktivitas secara minimum

2)Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan aktivitas.

3)Intervensi;

a)Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas

Rasional:mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat memberikan informasi bagi pemulihan

b)Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring)

Rasional:menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan.

c)Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas

Rasional:meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.

d)Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit.

Rasional:dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu.

e)Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi pasien.

Rasionalprogram khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti/ menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.c.Diagnosa keperawatan ketiga: kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.

1)Tujuan; dapat berkomunikasi sesuai dengan keadaannya.

2)Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi kesalah pahaman bahasa antara klien, perawat dan keluarga

3)Intervensi;

a)Kaji tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi

Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari derajat gangguan serebral

b)Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana

Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik

c)Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut

Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik

d)Ajarkan klien tekhnik berkomunikasi non verbal (bahasa isyarat)

Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk menyampaikan isi pesan yang dimaksud

e)Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara.

Rasional: untuk mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan terapi.d. Diagnosa keperawatan keempat: perubahan sensori persepsi berhubungan dengan stress psikologis.

1) Tujuan; tidak ada perubahan perubahan persepsi.

2)Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan fungsi perseptual, mengakui perubahan dalam kemampuan.

3)Intervensi;

a)Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/ dingin, tajam/ tumpul, rasa persendian.

Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk terhadap keseimbangan.

b)Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh

Rasional: adanya agnosia (kehilangan pemahaman terhadap pendengaran, penglihatan, atau sensasi yang lain)

c)Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti berikan pasien suatu benda untuk menyentuh dan meraba.

Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan interprestasi stimulasi.

d)Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu.

Rasional: penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu dalam mengintergrasikan kembali sisi yang sakit.

e)Bicara dengan tenang dan perlahan dengan menggunakan kalimat yang pendek.

Rasional: pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang perhatian atau masalah pemahaman.e. Diagnosa keperawatan kelima: kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/ koordinasi otot

1)Tujuan; kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi

2)Kriteria hasil klien bersih dan klien dapat melakukan kegiatan personal hygiene secara minimal

3)Intervensi;

a)Kaji kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan diri.

Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan keluarga membantu dalam perawatan diri

b)Bantu klien dalam personal hygiene.

Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman pada klien

c)Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien setiap hari

Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi

d)Libatkan keluarga dalam melakukan personal hygiene

Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program peningkatan aktivitas klien

e)Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ ahli terapi okupasi

Rasional: memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi f. Diagnosa keperawatan keenam: gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.

1)Tujuan; tidak terjadi gangguan harga diri

2)Kriteria hasil mau berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang terjadi, mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.

3)Intervensi;

a)Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.

Rasional: penentuan faktor-faktor secara individu membantu dalam mengembankan perencanaan asuhan/ pilihan intervensi.

b)Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.

Rasional: membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol atas salah satu bagian kehidupan.

c)Berikan dukungan terhadap perilaku/ usaha seperti peningkatan minat/ partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi.

Rasional: mengisyaratkan kemampuan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.

d)Dorong orang terdekat agar member kesempatan pada melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.

Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.

e)Rujuk pada evaluasi neuropsikologis dan/ atau konseling sesuai kebutuhan.

Rasional: dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk perasaan/ merasa menjadi orang yang produktif.g. Diagnosa keperawatan ketujuh: kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan berhubungan dengan Keterbatasan kognitif, kesalahan interprestasi informasi, kurang mengingat

1)Tujuan; klien mengerti dan paham tentang penyakitnya

2)Kriteria hasil berpartisipasi dalam proses belajar

3)Intervensi;

a)Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien

Rasional: untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien

b)Berikan informasi terhadap pencegahan, faktor penyebab, serta perawatan.

Rasional: untuk mendorong kepatuhan terhadap program teraupetik dan meningkatkan pengetahuan keluarga klien

c)Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal- hal yang belum jelas.

Rasional: memberi kesempatan kepada orang tua dalam perawatan anaknya

d)Beri feed back/ umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.

Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman klien atau keluarga

e)Sarankan pasien menurunkan/ membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berfikir

Rasional: stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.h. Diagnosa Keperawatan kedelapan : Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan

1) Tujuan

Tidak terjadi gangguan nutrisi

2) Kriteria hasil

Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan

Hb dan albumin dalam batas normal

3) Rencana tindakan

a) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk

b) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan

c) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan

d) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu

e) Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang

f) Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air

g) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan

h) Anjurkan klien untuk berpartisipasidalam program latihan/kegiatan

i) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau makanan melalui selang

4) Rasional

a) Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien

b) Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi

c) Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskuler

d) Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan

e) Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar

f) Makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya didalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi

g) Menguatkan otot fasial dan dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak

h) Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan nafsu makan

i) Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut

i. Diagnosa Keperawatan kembilan Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi

1) Tujuan :

Jalan nafas tetap efektif.

2) Kriteria hasil :

Klien tidak sesak nafas

Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan

Tidak retraksi otot bantu pernafasan

Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit

3) Rencana tindakan :

a. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas

b. Rubah posisi tiap 2 jam sekali

c. Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari)

d. Observasi pola dan frekuensi nafas

e. Auskultasi suara nafas

f. Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien

4) Rasional :

a. Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas

b. Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran pernafasan

c. Air yang cukup dapat mengencerkan sekret

d. Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas

e. Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas

f. Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-paru

4.Pelaksanaan

Tindakan keperawatan (implementasi) adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan asuhan perawatan untuk tujuan yang berpusat pada klien (Potter & Perry, 2005). Pelaksanaan keperawatan merupakan tahapan pemberian tindakan keperawatan untuk mengatasi permasalahan penderita secara terarah dan komprehensif, berdasarkan rencana tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pelaksanaan keperawatan pada Stroke dikembangkan untuk memantau tanda-tanda vital, melakukan latihan rentang pergerakan sendi aktif dan pasif, meminta klien untuk mengikuti perintah sederhana, memberikan stimulus terhadap sentuhan, membantu klien dalam personal hygiene, dan menjelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan stroke.5.Evaluasi

Evaluasi adalah respons pasien terhadap terapi dan kemajuan mengarah pencapaian hasil yang diharapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai umpan balik dan bagian kontrol proses keperawatan, melalui mana status pernyataan diagnostik pasien secara individual dinilai untuk diselesaikan, dilanjutkan, atau memerlukan perbaikan (Doenges dkk, 1999).

Evaluasi asuhan keperawatan sebagai tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dan seluruh tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi ini bersifat sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan dan telah disebut juga evaluasi pencapaian jangka panjang.

Kriteria hasil dari tindakan keperawatan yang di harapkan pada pasien stroke adalah mempertahankan tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital stabil, kekuatan otot bertambah dan dapat beraktivitas secara minimal, dapat berkomunikasi sesuai dengan kondisinya, mempertahankan fungsi perseptual, dapat melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri, klien dapat mengungkapakan penerimaaan atas kondisinya, dan klien dapat memahami tentang kondisi dan cara pengobatannya. 6. Dokumentasi Keperawatan

Dokumentasi keperawatan merupakan aspek penting dari praktik keperawatan yaitu sebagai segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dapat diandalkan sebagai catatan tentang bukti bagi individu yang berwenang. Dokumentasi keperawatan juga mendeskripsikan tentang status dan kebutuhan klien yang komprehensif, juga layanan yang diberikan untuk perawatan klien (Potter & Perry, 2005).

Format dukumentasi keperawatan:

a. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi keperawatan merupakan cara menggunakan dokumentasi keperawatan dalam penerapan proses keperawatan. Ada tiga teknik dokumentasi yang sering digunakan:

1) SOR (Source Oriented Record)

Teknik dokumentasi yang dibuat oleh setiap anggota tim kesehatan.Dalam melaksanakan tindakan mereka tidak tergantung dengan tim lainnya. Catatan ini cocok untuk pasien rawat inap.

2) Kardex

Teknik dokumentasi ini menggunakan serangkaian kartu dan membuat data penting tentang klien dengan menggunakan ringkasan problem dan terapi klien yang digunakan pada pasien rawat jalan.

3) POR (Problem Oriented Record)

POR merupakan teknik efektif untuk mendokumentasikan system pelayanan keperawatan yang berorientasi pada masalah klien. Teknik ini dapat digunakan untuk mengaplikasikan pendekatan pemecahan masalah, mengarahkan ide pemikiran anggota tim mengenai problem klien secara jelas.

b. Format Dokumentasi

Aziz Alimul (2001) mengemukakan ada lima bentuk format yang lazim digunakan:

1) Format naratif

Format yang dipakai untuk mencatat perkembangan pasien dari hari ke hari dalam bentuk narasi.2) Format Soapier

Format ini dapat digunakan pada catatan medic yang berorientasi pada masalah (problem oriented medical record) yang mencerminkan masalah yang di identifikasi oleh semua anggota tim perawat. Format soapier terdiri dari:

a) S = Data Subjektif

Masalah yang dikemukakan dan dikeluhkan atau yang dirasakan sendiri oleh pasien.

b) O = Data Objektif

Tanda-tanda klinik dan fakta yang berhubungan dengan diagnose keperawatan meliputi data fisiologis dan informasi dari pemeriksaan. Data info dapat diperoleh melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostic laboratorium.

c) A = Pengkajian (Assesment)

Analisis data subjektif dan objektif dalam menentukan masalah pasien.

d) P = Perencanaan

Pengembangan rencana segera atau untuk yang akan dating dari intervensi tindakan untuk mencapai status kesehatan optimal.

e) I = Intervensi

Tindakan yang dilakukan oleh perawat.

f) E = Evaluasi

Merupakan analisis respon pasien terhadap intervensi yang diberikan.

g) R = Revisi

Data pasien yang mengalami perubahan berdasarkan adanya respon pasien terhadap tindakan keperawatan merupakan acuan perawat dalam melakukan revisi atau modifikasi rencana asuhan kepeawatan.

3) Format fokus/DAR

Semua masalah pasien diidentifikasi dalam catatan keperawatan dan terlihat pada rencana keperawatan. Kolom focus dapat berisi : masalah pasien (data), tindakan (action) dan respon (R)

4) Format DAE

Sistem dokumentasi dengan konstruksi data tindakan dan evaluasi dimana setiap diagnose keperawatan diidentifikasi dalam catatan perawatan, terkait pada rencana keprawatan atau setiap daftar masalah dari setiap catatan perawat dengan suau diagnosa keperawatan.

5) Catatan perkembangan ringkas

Dalam menuliskan catatan perkembangan diperlukan beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adanya perubahan kondisi pasien, berkembangnya masalah baru, pemecahan masalah lama, respon pasien terhadap tindakan, kesediaan pasien terhadap tindakan, kesediaan pasien untuk belajar, perubahan rencana keperawatan, adanya abnormalitas atau kejadian yang tidak diharapkan (Harnawatiaj, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta: EGC.

Doenges. M.E; Moorhouse. M.F; Geissler. A.C. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3. Jakarta: EGC. Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Hudak C.M.,Gallo B.M. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.

Harnawatiaj. (2008). Format Dokumentasi Keperawatan (http://harnawatiaj.wordpress.com//) di akses 16 Juli 2010.

Mansjoer, A,.Suprohaita, Wardhani WI,.& Setiowulan, (2000). Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.

Potter & Perry. (2006). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 vol 1. Jakarta: EGCPrice S.A., Wilson L.M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.

Price, S.A & Wilson. L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

Wanhari, M.A. (2008). Asuhan Keperawatan Stroke (http://askepsolok.blogspot.com/2008/08/stroke.html) di akses 19 Juli 2010.

Winarni, S. (2008). Karya Tulis Ilmiah Stroke (http://etd.eprints.ums.ac.id/2926/1/J200050072.pdf, di akses 19 Juli 2010.

Profesi Ners STIKES Yarsi Mataram