Asma for Children Ind

download Asma for Children Ind

of 16

description

asma

Transcript of Asma for Children Ind

  • 1

    INHALASI STEROID PADA PENATALAKSANAAN ASMA ANAK (INHALED STEROID IN THE MANAGEMENT OF ASHMA IN

    CHILDREN) Landia Setiawati, Makmuri MS, Gunadi Santosa

    Divisi Pulmonologi Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo

    ABSTRAK Proses inflamasi merupakan dasar patogenesa asma yang utama, sehingga steroid direkomendasikan untuk diberikan sedini mungkin pada asma persisten sebagai obat pengendali (controller). Obat pengendali asma ditujukan untuk pencegahan, untuk mencegah terjadinya akibat inflamasi kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini dalam waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan.. Preparat steroid inhalasi mempunyai keuntungan dapat memberikan efek topikal yang maksimal pada saluran pernapasan dengan efek samping sistemik yang minimal. Beberapa preparat steroid inhalasi yang pernah dikenal antara lain: Flunisolid, Triamsinolon Asetonid, Beklometason dipropionat, Budesonid dan Flutikason propionat. Flutikason propionat merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid. Oleh karena hanya sebagian kecil saja yang diabsorpsi di lambung dan mengalami metabolisme sempurna di hepar, maka diharapkan efek sistemik yang timbul juga sangat minimal. ABSTRACT Inflammation process is the major componen of asthmatic pathogenesa, therefore steroid is highly recommended to be given for persistent asthma in early age as an asthmatic controller. Asthma controller in preventing chronic inflammation may be used in long term administration depending on the degree and response to the treatment. Steroid inhalation is effectively used with topical effect in respiratoric tract and it only give minimal systemic effect. Steroid inhalation known such as Flunisolid, Triamsinolon Asetonid, Beklometason dipropionat, Budesonid and Flutikason propionat. Flutikason propionat is one of steroid inhalation with high affinity to the steroid receptor, which only small amount of it being absorbed in gaster and mostly metabolized in the liver, therefore systemic effect can be minimized.

  • 2

    I. PENDAHULUAN Kortikosteroid atau steroid merupakan obat yang sangat efektif untuk terapi

    gangguan pernafasan sebagai anti inflamasi. Pada awalnya steroid inhalasi dirancang

    sebagai preparat alternatif untuk menghindari efek sistemik yang terjadi pada

    pemberian steroid oral dan parenteral. (1,2) Setelah akhirnya diketahui bahwa proses

    inflamasi merupakan dasar patogenesa asma yang utama , maka steroid inhalasi

    direkomendasikan untuk diberikan sedini mungkin pada asma persisten untuk

    mencegah terjadinya airway remodelling.(3, 4)

    Preparat steroid inhalasi dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki efek anti

    inflamasi topikal yang maksimal dan efek sistemik seminimal mungkin. Termasuk

    dalam golongan obat inhalasi steroid antara lain Beclometasone Dipropionate

    (BDP), Budesonide (BUD), Triamcinolone Acetonite (TA), Flunisonide, Fluticasone

    Dipropionate (FDP). (2,5)

    II. DEFINISI ASMA

    Menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2002, batasan asma

    menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanismenya. Asma didefinisikan

    sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan,

    khususnya sel eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini

    menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk,

    terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan

    penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, biasanya bersifat reversibel

    baik secara spontan maupun dengan pengobatan. (6)

    Batasan diatas memang sangat lengkap namun tidak praktis. Konsensus

    Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi bertulang dan

    / atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut ; timbul secara episodik,

    cenderung malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta

    adanya riwayat asma atau atopi pada pasien / keluarganya.(7)

    III. PATOGENESIS ASMA Ada dua faktor utama berperan dalam timbulnya serangan asma. Pertama

    faktor genetik dan yang kedua faktor lingkungan. Faktor lingkungan termasuk:

    alergen, polusi (indoor polutants maupun outdoor polutans) dan infeksi (virus,

    bakteri). Interaksi kedua faktor tersebut akan mengakibatkan proses inflamasi,

  • 3

    berupa terbentuknya mediator-mediator inflamasi termasuk sitokin. Semuanya akan

    mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan perubahan fungsi saluran nafas

    (kerusakan epitel saluran nafas, hipersekresi, kongesti / pembuluh darah, edema,

    bronkokonstriksi, airway remodelling) yang akan memberikan gejala-gejala klinis

    asma.(1,4,8)

    Reaksi bronkial terhadap alergen menunjukkan reaksi asma segera

    (immediate phase response) dan reaksi asma fase lanjut (late-phase response).

    Apabila ada suatu rangsangan atau paparan alergen pada permukaan mukosa saluran

    nafas, primary effector cells (pro inflammatory cells) yang terdapat pada saluran

    nafas seperti : sel mas, makrofag dan sel epitel akan mengeluarkan mediator

    inflamasi (termasuk sitokin) yang merangsang terjadinya proses inflamasi pada

    saluran nafas. Reaksi asma segera (RAS) berupa konstriksi bronkus, peningkatan

    permeabilitas pembuluh darah, edema dan migrasi sel. Ternyata, disamping itu

    mediator inflamasi tersebut juga akan menarik dan mengaktifkan secondary effector

    cells (sel inflamasi yang berasal dari sirkulasi seperti eosinofil, netrofil, makrofag dan

    limfosit) dan sel-sel inipun akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan

    memperberat inflamasi yang sudah terjadi sebelumnya. Pelepasan mediator inflamasi

    akibat infiltrasi sel-sel tersebut akan menimbulkan peningkatan kepekaan bronkus

    terhadap rangsangan (bronchial hyperreactivity). Reaksi asma fase lanjut (RAL)

    terjadi dalam waktu dua sampai empat jam setelah RAS. Fase lanjut ini mencapai

    puncaknya setelah 24 jam dan menurun secara bertahap. (1,4,8)

  • 4

    Gambar 1.Hubungan antara sel inflamasi, inflamasi dan munculnya

    gejala asma (dikutip dari Holgate 1996). (4) Pada reaksi asma segera (RAS) tidak terjadi hipereaktivitas bronkus. Pada

    reaksi asma fase lanjut (RAL), sel eosinofil dan netrofil berinteraksi dengan

    mediator lain menyebabkan kerusakan dan deskuanasi sel epitel bronkus dengan

    cara meningkatkan fragilitas epitel dan melemahkan daya lekat sel epitel pada sel

    basal. Mekanisme migrasi sel radang ke saluran nafas sangat kompleks,

    mengikutsertakan adhesion molecule substance (ICAM-1,2,3, intergrin, selectin) serta

    peran limfosit dan lain-lain sel yang memproduksi limfokin dan sitokin yang

    berperan penting terjadinya inflamasi akut maupun kronik. (1, 4)

    IV. PENATALAKSANAAN ASMA Tujuan tatalaksana asma secara umum adalah untuk menjamin tercapainya

    proses tumbuh kembang secara optimal.(7) Penatalaksanaan asma secara global yang

    dianjurkan oleh WHO,(6) meliputi pencegahan dan kontrol lingkungan hidup, terapi

    farmakologi, pemakaian tes obyektif faal paru untuk menilai dan monitor perjalanan

    asma, edukasi asma pada penderita.

    Pengobatan asma didasarkan keadaan penderita asma, artinya saat eksaserbasi

    atau saat di luar serangan. Pada saat serangan, asma dapat digolongkan dalam

  • 5

    keadaan asma ringan, asma sedang dan asma berat. Diluar serangan pembagian

    asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, asma persisten

    (asma berat dan asma sangat berat).(6) Pembagian derajat penyakit asma pada anak

    dapat dilihat pada tabel 1.

    Tabel 1 :Pembagian derajat penyakit asma pada anak. (6)

    Parameter klinis, kebutuhan obat, dan

    faal paru

    Asma episodik jarang

    (Asma ringan)

    Asma episodik sering (Asma sedang)

    Asma persitan (Asma berat)

    1. Frekuensi serangan 1x / bulan Sering 2. Lama serangan < 1 minggu 1 minggu Hampir sepanjang

    tahun, tidak ada remisi 3. Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat 4. Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan

    malam 5. Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu 6. Pemeriksaan fisis di luar serangan

    Normal (tidak ditemukan kelainan)

    Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)

    Tidak pernah normal

    7. Obat pengendali (anti inflamasi)

    Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid

    8. Uji faal paru (di luar serangan)

    PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%

    Obat asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (Reliever) dan

    obat pengendali (Controller). Obat pereda digunakan pada saat eksasertasi atau

    saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini

    dihentikan. Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis 2 aksi cepat (terbutalin, salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison,

    prednisolon, metil prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid,

    oksitropium bromid), xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis 2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol). Obat pengendali

    asma digunakan untuk pencegahan, untuk mengatasi masalah inflamasi kronik

    saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka

    waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap

    pengobatan. Termasuk obat ini adalah : inhalasi anti inflamasi non steroid

    (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid,

    triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis beta

  • 6

    2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), golongan obat oral

    lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin

    (zafirlukas). (6, 9)

    Tatalaksana asma anak jangka panjang masih mengikuti hasil konsensus

    Nasional tahun 2000 (lampiran 1).(7) Steroid inhalasi biasanya efektif pada dosis

    rendah. Pemberian Beklometason dan Budesonid dosis 200 ug/hari belum

    menunjukkan efek samping jangka panjang. Pada anak, dosis yang masih dianggap

    aman adalah 400 ug /hari.(2,6,7) Steroid inhalasi sebaiknya diberikan lebih dari 6

    minggu walaupun efek klinisnya sudah terlihat, karena apabila langsung dihentikan

    maka hiperreaktivitas bronkus akan timbul seperti keadaan sebelum terapi dalam

    kurun waktu seminggu sesudah obat dihentikan. Dalam alur tatalaksana asma

    tampak bahwa apabila tatalaksana suatu derajat asma sudah adekuat namun belum

    menunjukkan respon dalam 6 - 8 minggu, maka derajatnya berpindah ke derajat

    yang lebih berat dan sebaliknya. Jika dengan steroid inhalasi dosis 400 600 ug/hari

    asma belum terkendali, perlu dipertimbangkan pemberian beta agonis kerja lambat,

    beta agonis lepas terkendali,teofilin lepas lambat atau antileukotrin. Jika asma masih

    belum terkendali juga, mungkin perlu diberi steroid oral. (7)

    V. TERAPI INHALASI

    Pemberian obat inhalasi pada anak harus disesuaikan dengan umur. Lebih dari

    50% anak dengan asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (metered dose

    inhaler).Tabel berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan

    dengan usianya.

  • 7

    Tabel 2. Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur(7)

    Umur Alat Inhalasi

    < 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler

    2 - 4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler MDI dengan alat peregang (spacer)

    5 - 8 tahun Nebuliser, MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,

    Turbuhaler)

    > 8 tahun Nebuliser, MDI Alat hirupan bubuk (DPI) Autohaler

    Alat inhalasi akan berfungsi baik apabila obat yang dikeluarkan cukup, droplet

    yang disalurkan berukuran kecil dan waktu nebulasi pendek. Droplet berukuran

    lebih besar dari 5 um akan dideposit di orofaring, ukuran kurang dari 5 um akan

    sampai pada saluran napas kecil dan alveoli. (5,10)

    VI. STEROID INHALASI VI.1. Mekanisme Kerja Kortikosteroid

    Kortikosteroid menembus membran sel dan akan berikatan dengan reseptor

    glukokortikoid yang banyak terdpat pada sitoplasma sel target. Selanjutnya

    kompleks tersebut akan masuk ke dalam nukleus dan berikatan dengan elemen

    respon glukokortikoid yang spesifik (specific glucocorticoid response element)

    untuk dapat mengatur transkripsi gen. Jadi kortikosteroid mengendalikan inflamasi

    melalui proses transkripsi gen , suatu proses yang rumit, memerlukan waktu 6 - 12

    jam. Mekanisme utama steroid pada asma diduga melalui inhibisi pembentukan

    sitokin tertentu. Seperti IL1, TNF, GM-CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6, dan IL-8.(9,11) Disisi lain steroid juga meningkatkan pembentukan reseptor 2 sehingga mampu mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat 2 agonis jangka panjang. Steroid juga mempercepat regenerasi sel epitel, dan jangka panjang juga

    mengurangi jumlah sel mas. (9, 11)

  • 8

    VI.2. Preparat steroid inhalasi

    Preparat steroid inhalasi dirancang dengan tujuan untuk mendapatkan

    efek topikal pada saluran pernapasan yang maksimal dan efek samping sistemik

    yang minimal. Pada awal perkembangannya diketahui bahwa dengan

    menambahkan fluoro 6 alfa, metil 6 alfa atau fluoro 9 alfa akan diperoleh efek

    antiinflamasi yang lebih tinggi, namun ternyata efek mineralokortikoidnya juga

    meningkat. Selanjutnya ditemukan bahwa dengan esterifikasi pada gugus 16 alfa,

    17 alfa atau 21 alfa, akan diperoleh efek antiinflamasi yang tinggi dan efek

    sistemik yang rendah, misalnya pada betametason 17-valerat, triamsinolon 16,17

    asetonid, beklometason 17,21 dipropionat. (2,11,12)

    Gambar 2. Modifikasi Kortisol : Deksametason, Triamisinolon Asetonid,

    Beklometason Dipropionat dan Fluktikason Propionat. (12)

  • 9

    Sekitar 70% - 90% dari dosis obat yang diinhalasi akan terdeposisi di

    orofaring, sebagian tertelan masuk ke lambung, hanya 10% - 30% yang akan

    mencapai paru. Obat yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan kemudian akan

    mengalami proses inaktivasi di hepar. Selanjutnya, baik obat yang tertelan

    maupun obat yang terdeposisi di paru akan diabsorpsi masuk sirkulasi sistemik.

    (13)

    Gambar 3. Distribusi Kortikosteroid Inhalasi. (13)

    Bioavaibilitas sistemik preparat inhalasi steroid adalah jumlah obat yang

    diabsorpsi melalui paru-paru dan jumlah obat yang diabsorpsi melalui saluran

    pencernaan (obat yang tertelan dan obat yang lolos dari proses inaktivasi di

    hepar). Obat steroid inhalasi yang mencapai paru-paru hampir seluruhnya

    diabsorpsi, sehingga keseimbangan antara efek terapi dan efek samping sistemik

    sepenuhnya tergantung pada bioavaibilitas obat yang tertelan. Hal ini penting

    dipertimbangkan, karena pada anak kecil sangat besar kemungkinan obat tertelan.

    (2,14,15)

  • 10

    Tabel 3. Rasio bioavaibilitas paru dibanding bioavaibilitas sistemik

    berbagai steroid inhalasi. (15)

    Product % Dose Deposited

    in the Lungs % Dose Reaching the

    Systemic Circulation after Absorption from the

    Gastrointestinal Tract

    Lung/Systemic Bioavailability

    Ratio

    BDP via CFC propellant 5.5 14.7 0.27 BDP via non-CFC propellant

    56.1 5.5 0.92

    Budesonide via MDI 15 7.7 0.66 Budesonide via DPI 30 5.3 0.85 Fluticasone propionate via DPI

    12 0.6 0.95

    Perbedaaan preparat steroid inhalasi terletak pada: afinitasnya terhadap

    reseptor glukokortikoid, lipofilisitasnya dan bioavaibilitas sistemik. Obat steroid

    inhalasi yang ideal adalah yang memiliki efek topikal tinggi, bioavaibilitas

    sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna. (13,14,15)

    Tabel 4. Potensi berbagai steroid inhalasi berdasarkan efek topikal dan

    afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid. (15)

    Beclomethasone

    Dipropionate

    Budesonide Flunisolide Fluticasone

    Propionate

    Triamicinolone

    Acetonide

    MacKenzie skin

    blanching test

    600 980 330 1,200 390

    Receptor binding

    affinity

    0.4 9.4 1.8 18.0 3.6

    Receptor binding

    half-life (hours)

    Not known 5.1 3.5 10.5 3.9

    Penggunaan preparat steroid inhalasi yang diinaktivasi sempurna di hepar,

    misalnya flutikason dan mometason, akan mengurangi efek supresi terhadap

    pertumbuhan. Suatu penelitian yang membandingkan pemberian flutikason 100

    ug dan placebo membuktikan adanye efek supresi pertumbuhan, tetapi sangat

  • 11

    minimal dan hanya seperempat kali efek beklometason (Allen 2002).(16)

    Budesonid juga mengalami inaktivasi sempurna di hepar. Efek sistemik baru

    muncul bila menggunakan flutikason atau budesonid diatas dosis 400 ug

    perhari.(13)

    Tabel 5. Preparat Steroid Inhalasi yang tersedia (15).

    Generic name Beclomethasone Dipropionate

    Budesonide Flunisolide Fluticasone Propionate

    Fluticasone Propionate

    Triamcinolone Acetonide

    Brand name (manufacturer)

    Beclovent (Glaxo welcome) Vanceril and Vanceril DS (Schering Plough)

    Pulmicort Turbuhaler (Astra Zeneca)

    Aerobid and Aerobid-M (Forest)

    Flovent (Glaxo welcome)

    Flovent Rotadisk (Glaxo welcome)

    Azmacort (Rhone-Paulenc Rorer)

    Dosage form MDI, 42g/puff ex-actuator (84g/puff for the double-strength product)

    DPI 200g/dose

    MDI 250g/puff ex-actuator

    MDI 44,10, or 220 g/puff ex-actuator

    DPI 50, 100, or 250 g/dose

    MDI with built-in spacer, 100 g/puff ex-spacer

    Recommended adult daily dose

    252-840g , 2 puffs tid-10 puffs bid (half th enumber of puffs for the double-strength product)

    400-1,600g 1 dose bid-4 doses bid (stable patient can be maintained in 1 dose of 200 g/d

    1,000-2,000g, 2 puffs bid-4 puffs bid

    176-1,760g 2 puffs bid (44)-4 puffs bid (220)

    200-2,000g 2 doses bid (50)-4 doses bid (250)

    600-1,6000g, 2 puffs tid-8 puffs bid

    Recommended pediatric daily dose

    Age 6-12, 132-420g 1 puffs tid-5 puffs bid

    Age 6-12, 400-800g 1 dose bid-2 doses bid (stable patient can be maintained on 1 dose of 200g/d)

    Age 6-15 1,000 g 2 puffs bid

    Not approved for this age group

    Age 4-11, 100-200 g 1 dose bid (50)-2 doses bid (50)

    Age 6-12, 300-1,200 g 1 puff tid-6 puffs bid

  • 12

    Tabel 6. Dosis berbagai Steroid Inhalasi menurut GINA 2002(6)

    Adults Drug Low dose Medium dose High dose Beclomethasone dipropionate

    200-500 g 500-1,000 g >1,000 g

    Budesonide 200-400 g 400-800 g >800 g Flunisolide 500-1,000 g 1,000-2,000 g >2,000 g Fluticasone 100-250 g 250-500 g >500 g Triamcinolone acetonide

    400-1,000 g 1,000-2,000 g >2,000 g

    Children

    Drug Low dose Medium dose High dose Beclomethasone dipropionate

    100-400 g 400-800 g >800 g

    Budesonide 100-200 g 200-400 g >400 g Flunisolide 500-750 g 1,000-2,250 g >1,250 g Fluticasone 100-200 g 200-500 g >500 g Triamcinolone acetonide

    400-800 g 800-1,200 g >1,200 g

    Penghantaran obat ke paru-paru dan bioavaibilitas sistemik juga

    ditentukan dari alat/tehnik yang dipakai. Apabila menggunakan pMDI

    (Pressured Metered Dose Inhaler), obat yang mencapai paru-paru sebesar 5

    25%, dengan sistim DPI (Dry Powder Inhaler) mencapai 10-35%. Penggunaan

    spacer / holding chamber akan mengurangi deposisi obat diorofaring dan

    meningkatkan deposisi obat di paru-paru. Berkumur setelah menggunakan obat

    inhalasi juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah obat yang

    tertelan. (5,10,13)

    Flunisolid dan Triamsinolon Asetonid (TA) sudah ditinggalkan dan

    jarang dipakai karena efektifitasnya yang rendah dan efek samping yang besar. (11

    Beklometason dipropionat(BDP) merupakan steroid inhalasi yang

    pertama kali digunakan secara klinis. Setelah inhalasi, kadar puncak tercapai

    setelah 5 jam. Di jaringan paru akan segera mengalami pemecahan menjadi

    beklometason monopropionat (BMP) yang mempunyai potensi lebih kuat

    dibanding BDP. Pemecahan BMP di hepar lebih lambat dibanding Budesonid

    ,sehingga efek sistemiknya lebih besar. Dosis inhalasi pada anak usia dibawah 8

    tahun :100-200 ug/hari , usia lebih dari 8 tahun 150-500ug/ hari ,diberikan 2 4

    kali/ hari. (1,11,15) Steroid inhalasi yang memiliki bioavaibilitas di jaringan paru

    tertinggi adalah Budesonid, namun suatu preparat baru BDP yang diformulasikan

  • 13

    tanpa propelan chlorofluorocarbon (CFC) atau dikenal dengan BDP dengan

    propelan hydrofluoroalkene (HFA) terdeposisi 55-60% di jaringan paru.(15)

    Budesonid(BUD) nerupakan steroid inhalasi yang paling banyak diteliti.

    Kadar puncak tercapai setelah 15 30 menit inhalasi, terdeposisi 25%-30% di

    jaringan paru. Dimetabolisme secara cepat dan sempurna di hepar, bentuk

    metabolitnya diekskresi melalui urin dan feses dan hanya memiliki potensi

    seperseratus dari Budesonid. Budesonid mempunyai kemampuan berikatan

    (afinitas) dengan reseptor glukokortikoid 7 kali lebih besar dibanding

    deksametason.(11) Dosis anak 200 800 ug/hari diberikan melalui MDI, turbuhaler

    atau jet nebulizer. Suatu penelitian tentang pemberian budesonid secara inhalasi

    dosis sedang pada penderita asma anak, tidak dapat membuktikan adanya proses

    demineralisasi tulang, baik berupa perubahan masa maupun densitas tulang. (16)

    Flutikason Propionat (FP) merupakan steroid inhalasi yang memiliki

    afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid, sebagian kecil diabsorpsi di

    lambung dan dimetabolisme sempurna oleh hepar. Dosis harian harus dititrasi

    sesuai dengan respon klinis dan uji faal paru. Lipofilisitasnya 3, 300, dan 1000

    kali lebih tinggi dibanding BDP, BUD dan TA. Flutikason propionat memiliki

    afinitas terhadap reseptor steroid 1,5 kali lebih tinggi dibanding BMP dan

    mometason furoat, 3 kali lebih tinggi dibanding BUD dan 20 kali lebih tinggi

    dibanding Flunisolid dan TA. Waktu paruh afinitas FP pada reseptor steroid

    lebih dari 10 jam, BUD 5 jam, BMP 7,5 jam dan TA 4 jam. (12)

    Gustafsson dkk .1993 meneliti efikasi dan keamanan FP dosis 200

    ug/hari dibandingkan dengan BUD dosis 400 ug/hari melalui MDI dengan

    spacer. Ada 397 anak berusia 4 19 tahun dengan asma ringan dan asma

    sedang yang mengikuti penelitian selama 6 minggu.Hasil penelitian menujukkan

    bahwa FP 200 ug/hari secara bermakna lebih efektif apabila dibandingkan

    dengan BUD 400 ug/hari. Pada kelompok dengan FP ternyata lebih sedikit yang

    terkena serangan asma akut selama penelitian berlangsung. (17) Hasil yang serupa

    juga didapatkan pada penelitian oleh Hoekx dkk 1996(18) dan Ferguson dkk(19).

    Hoekx dkk melakukan penelitian terhadap 229 anak berusia 4 13 tahun dengan

    asma ringan dan sedang. Penelitian dilaksanakanselama 8 minggu, 110 anak

    mendapat BUD dosis 400 ug/ hari melalui turbuhaler dan 119 anak mendapat FP

    dosis 400 ug/ hari melalui diskhaler (18). Ferguson dkk melakukan penelitian

    terhadap 303 anak berusia 4 12 tahun dengan asma sedang dan asma berat.

  • 14

    Dosis steroid yang dipakai lebih tinggi yaitu 800 ug/ hari pada kelompok BUD

    dan 400 ug/ hari pada FP. (19)

    Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah

    disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi karena miopati pada otot

    laring, namun efek samping ini bersifat reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah

    dengan cara berkumur atau cuci mulut setelah pemakaian steroid inhalasi.(13,16,17)

    Beberapa efek samping sistemik akibat steroid inhalasi yang pernah dilaporkan

    adalah efek pengurangan masa tulang, hambatan pertumbuhan melalui penekanan

    aksis Hypothalamic-pituitary-adrenal(HPA) dan katarak. Masih terjadi

    kontroversi tentang hambatan pertumbuhan akibat steroid inhalasi, mengingat

    asma sendiri juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Ada bukti

    bahwa efek supresi pertumbuhan pada masa anak akibat pemberian steroid tidak

    bersifat permanen.(2,6,17,18)

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Spahn JD, Covar RA, Gleason MC, Tinkelman DG, Szefler SJ. Pharmacologic management of asthma in infants and small children. In: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG, Warner JO. Eds.Textbook of Pediatric Asthma,1st ed,Lon don :Martin Dunitz Ltd,2001, 121-47. 2. Toogood JH, Jennings BH, Baskerville JC, Lefcoe NM. Aerosol Corticosteroid In : Weiss EB, Stein M. Eds. Bronchial Asthma, 3 rd ed, Boston, Little Brown and Co, 1993,818-41. 3. Kabat.Konsep baru imunopatogenese asma bronkhiale dan penatalaksanaannya.

    Perkembangan Alergi di tahun 2000. Surabaya, 2000. 4. Boediman HI. Peranan inflamasi pada asma dan implikasinya pada pengobat

    an. Simposium respirologi anak masa kini. Bandung, 1998,0 1-9. 5. Winariani K. Terapi inhalasi. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V, Sura

    Baya, 2002, 126-32. 6. National Heart, Lung and Blood Institute, World Health Organization. Global

    Initiative For Asthma : Global Strategy for asthma management and preventi on. Maryland, 2002.

    7. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi. Konsensus Nasional Penanganan Asma pada Anak, Jakarta, 2000. 8. Fraenkel DJ, Holgate ST. Etiology of Asthma: Pathology and mediators. In:

    Bierman CW,Pearlman DS, Shapiro GG, Busse WW. Eds. Allergy, Asthma and Immunology From Infancy to Adulthood, 3rd ed, Philadelphia, WB Saunders Co,1996,443-68.

    9. Kabat.Penatalaksanaan Asma Jangka Pendek dan Jangka Panjang. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V, Surabaya, 2002, 99-109.

    10. Muer MF. The rational use of nebulizer in clinical practice. Eur Respir Rev 1997; 44: 189-97.

  • 15

    11. Price JF. Corticosteroid and other antiinflammatory agent in the treatment of Children. Eur Respir Rev 1994; 17: 27-32.

    12. Johnson M. Development of fluticasone propionate and comparison with other Inhaled corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 1998;4: s434-9.

    13. Barnes PJ. Inhaled Glucocorticoids for Asthma. N Engl J Med 1995; 332: 868-75. 14. Spahn J, Covar R, Stempel DA. Asthma: Addressing consistency in result

    from basic science , clinical trials, and observational experience.J Allergy Clin Immunol 2002;109: 409-502. 15. Colice Gl. Comparing Inhaled Corticosteroids. Respiratory Care 2000;7:846-

    53. 16. Allen DB. Inhaled corticosteroid therapy for asthma in preschool children :

    Growth Issues. Pediatrics 2002;109:373-80. 17. Gustafsson P, Tsanakas J, Gold M, Primhak R, Radford M, Gillies E. Compa

    rison of the efficacy and safety on inhaled fluticasone propionate 200 ug/day with inhaled beclomethasonr dipropionate 400 ug/day in mild and moderate asthma. Arch Dis Child 1993;69: 206-11. 18. Hoekx JCM, HedlinG, Pedersen W, Sorva R, Hollingworth K ,Efthimiou J. Fluticasone propionate compared with budesonide : a double blind trial in Asthmatic children using powder devices at a dosage of 400 ug/ day. Eur Respir J 1996;9: 2263-72. 19.Ferguson AC, Spier S, Manjra A, Versteegh FGA, Mark S, Zhang P. Effi

    cacy and safety of high dose inhaled steroids in children with asthma : A comparison of fluticasone propionate with budesonide.J Pediatr 1999;4: 422-7.

  • 16

    Lampiran 1. Flow Chart of Long Term Asthma Management in Children

    6-8 weeks respons

    6-8 weeks respons (-)

    (+) (-)

    Rare Episodic Asthma (mild asthma)

    Frequent Episodic Asthma (moderate asthma)

    Persistent Asthma (severe asthma)

    Reliever : agonist or theophyllin (inhalation or oral) as needed

    Add controller drug : Chomoglycate/nedrocromil inhalation)

    Controller drug change with inhalated steroid Reliever agonist : continued

    Consider to add one of : - long acting agonist - controlled release agonist - slow release theophyllin

    Increase the dose of inhaled steroid

    Add oral steroid

    Need of drug per week (evaluation in 6-8 week)

    6-8 weeks respons

    6-8 weeks respons

    >3x 3x

    (-)

    (-)

    (+)

    (+)

    (+)