Askep Pada Bph
-
Upload
eekal-skeptis-fatturakhman -
Category
Documents
-
view
55 -
download
4
description
Transcript of Askep Pada Bph
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN
A. Pengertian Sistem Urinaria
Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya
proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih).
Sistem perkemihan atau biasa juga disebut Urinary System adalah suatu
system kerjasama tubuh yang memiliki tujuan utama mempertahankan keseimbangan
internal atau Homeostatis. Fungsi lainnya adalah untuk membuang produk-produk
yang tidak dibutuhkan oleh tubuh dan bayak fungsi lainnya yang akan dijelaskan
kemudian.
B. Susunan Sistem Perkemihan
Keterangan gambar :
1. Kemih sistem
Manusia
2. Ginjal
3. Pelvis ginjal
4. Ureter
5. Kandung kemih
6. Uretra
7. Kelenjar adrenal
8. Renal artery and
vein
9. Inferior vena cava
10. Abdominal aorta
11. Renal arteri dan
vena
12. Hati
13. usus besar
14. Pelvis
1. Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium, di
depan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar transversus abdominalis,
kuadratus lumborum dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut
oleh bantalan lemak yang tebal. Disebelah posterior dilindungi oleh kosta dan
otot-otot yang meliputi kosta, sedangkan dianterior dilindungi oleh bantaan usus
yang tebal.
Pada orang dewasa ginjal panjangnya 12-13 cm, lebarnya 6 cm dan beratnya
antara 120-150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.
95 % orang dewasa memiliki jarak antara katup ginjal antara 11-15 cm.
Perbedaan panjang dari kedua ginjal lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk
merupakan tanda yang penting karena kebanyakan penyakit ginjal
dimanifestasikan dengan perubahan struktur. Permukaan anterior dan posterior
katup atas dan bawah serta pinggir lateral ginjal berbentuk konveks sedangkan
pinggir medialnya berbentuk konkaf karena adanya hilus.
Ada beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus
antara lain arteri dan vena renalis, saraf dan pembuluh getah bening. Ginjal diliputi
oleh suatu kapsula tribosa tipis mengkilat, yang beriktan longgar dengan jaringan
dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.
a. Bagian – Bagian Ginjal
Bila sebuh ginjal kita iris memanjang, maka aka tampak bahwa ginjal terdiri
dari tiga bagian, yaitu bagian kulit (korteks), sumsum ginjal (medula), dan
bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
1. Kulit Ginjal (Korteks)
Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan
darah yang disebut nefron. Pada tempat penyarinagn darah ini banyak
mengandung kapiler – kapiler darah yang tersusun bergumpal – gumpal
disebut glomerolus. Tiap glomerolus dikelilingi oleh simpai bownman, dan
gabungan antara glomerolus dengan simpai bownman disebut badan
malphigi
Penyaringan darah terjadi pada badan malphigi, yaitu diantara glomerolus
dan simpai bownman. Zat – zat yang terlarut dalam darah akan masuk
kedalam simpai bownman. Dari sini maka zat – zat tersebut akan menuju
ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai bownman yang terdapat
di dalam sumsum ginjal.
2. Sumsum Ginjal (Medula)
Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut
piramid renal. Dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut
apeks atau papila renis, mengarah ke bagian dalam ginjal. Satu piramid
dengan jaringan korteks di dalamnya disebut lobus ginjal.
Piramid antara 8 hingga 18 buah tampak bergaris – garis karena terdiri atas
berkas saluran paralel (tubuli dan duktus koligentes). Diantara pyramid
terdapat jaringan korteks yang disebut dengan kolumna renal. Pada bagian
ini berkumpul ribuan pembuluh halus yang merupakan lanjutan dari simpai
bownman. Di dalam pembuluh halus ini terangkut urine yang merupakan
hasil penyaringan darah dalam badan malphigi, setelah mengalami berbagai
proses.
3. Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis Renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk
corong lebar. Sabelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis
bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor, yang masing – masing
bercabang membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi
papila renis dari piramid. Kliks minor ini menampung urine yang terus
kleuar dari papila. Dari Kaliks minor, urine masuk ke kaliks mayor, ke
pelvis renis ke ureter, hingga di tampung dalam kandung kemih (vesikula
urinaria).
b. Fungsi Ginjal:
Ginjal berfungsi sebagai berikut :
1. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh .Kelebihan air dalam tubuh akan
dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah
besar, kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang di
eksresi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan
volume cairan tubuh dapat dipertahankan relative normal.
2. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion
yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan / pengeluaran yang abnormal ion –ion akibat pemasukan garam
yang berlebihan / penyakit perdarahan (diare , muntah) ginjal akan
meningkatkan eksresi ion – ion yangpenting (mis. Na , K , Cl , Ca dan
fosfat)
3. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang
dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak
asam , pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein .
Apabila banyak makan sayur – sayuran , urine akan bersifat basa. pH
urine bervariasi antara 4 , 8 – 8,2 . Ginjal menyekreksi urine sesuai dengan
perubahan pH darah.
4. Eksresi sisa hasil metabolisme (ureum , asam urat , kreatinin) zat – zat
toksik , obat – obatan , hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia
asing (pestisida).
5. Fungsi hormonal dan metabolisme . Ginjal menyekresi hormone renin
yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system renin
angiotensin aldesteron ) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan
penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis ).
c. Peredaran Darah dan Persyarafan Ginjal
Peredaran Darah
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai
percabangan arteria renalis, yang berpasangan kiri dan kanan dan bercabang
menjadi arteria interlobaris kemudian menjadi arteri akuata, arteria
interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk
gumpalan yang disebut dengan glomerolus dan dikelilingi leh alat yang
disebut dengan simpai bowman, didalamnya terjadi penyadangan pertama dan
kapilerdarah yang meninggalkan simpai bowman kemudian menjadi vena
renalis masuk ke vena kava inferior.
Aorta abdominalis → ginjal
↓
Arteria renalis
↓ Arteri arkuata
↓ ↑
Arteria interlobaris → glomerulus → simpai bowmen → vena renalis → vena
kava inferior
Persyarafan Ginjal
Ginjal mendapat persyarafan dari fleksus renalis (vasomotor) saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf
inibarjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. Anak
ginjal (kelenjar suprarenal) terdapat di atas ginjal yang merupakan senuah
kelenjar buntu yang menghasilkan 2(dua) macam hormon yaitu hormone
adrenalin dan hormn kortison.
Persarafan ginjal : Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis
(vasomotor).
d. Suplai Darah
- Arteri Renalis ð Percabangan Aorta Abdomen yang mensuplai masing-
masing ginjal dan masuk ke Hilus melalui cabang Anterior dan Posterior.
- Cabang Anterior dan Posterior Arteri Renalis membentuk Arteri-arteri
Interiobaris yang mengalir diantara Piramida Ginjal.
- Arteri Arkuarta ð Berasal dari Arteri Interlobaris pada area pertemuan
antara Korteks dan Medula.
- Arteri Interlobaris ð Merupakan percabangan arteri arkuarta di sudut kanan
dan melewati Korteks.
- Arteriol Aferen ð Berasal dari Arteri Interlobaris yang membentuk
Glomerulus.
- Kapiler Peritubular ð Yang mengelilingi Tubulus Proksimal dan Distal
untuk memberi Nutrien pada Tubulus.
- Kapiler Peritubuler mengalir kedalam Vena Korteks yang kemudian
membentuk Vena Interlobaris.
e. Nefron
Unit fungsional ginjal adalah nefron. Pada manusia setiap ginjal mengandung
1-1,5 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang
sama.
Dapat dibedakan dua jenis nefron:
1. Nefron kortikalis yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada bagian luar
dari korteks dengan lingkungan henle yang pendek dan tetap berada pada
korteks atau mengadakan penetrasi hanya sampai ke zona luar dari medula.
2. Nefron juxtamedullaris yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada
bagian dalam dari korteks dekat dengan cortex-medulla dengan lengkung
henle yang panjang dan turun jauh ke dalam zona dalam dari medula,
sebelum berbalik dan kembali ke cortex.
Bagian-bagian nefron:
a. Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent
yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat
filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya.
b. Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk mengumpulkan
cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
c. Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
1.Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan dari
cairan tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.
2.Lengkung Henle
Lengkung henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari
pars descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari korteks ke
medula, dan pars ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks.
Bagian bawah dari lengkung henle mempunyai dinding yang sangat tipis
sehingga disebut segmen tipis, sedangkan bagian atas yang lebih tebal
disebut segmen tebal.
Lengkung henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus
dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan
penting dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi urin.
3.Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
d. Duktus pengumpul (duktus kolektifus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron
yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula
untuk mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.
Ada 3 hormon utama yang diproduksi oleh ginjal, yaitu :
1. Renin – yaitu hormon yang terkait dengan tekanan darah.
2. Erythropoetin – yaitu hormon yang membantu pembuatan sel darah merah.
Penderita gagal ginjal biasanya kekurangan sel darah merah (anemia) yang
menyebabkan keletihan serta dapat merusak hati, sehingga penderita biasanya
membutuhkan injeksi erythropoetin.
3. Calcitriol – yaitu hormon yang membantu tubuh menyerap kalsium pada
makanan. Tanpa bantuan hormon tersebut, tubuh akan mengambil kalsium dari
tulang yang mana untuk jangka panjang hal tersebut dapat menyebabkan penyakit
tulang.
2. Ureter
Ureter adalah tabung/saluran yang menghubungkan ginjal dengan
kandung kemih. Ureter merupakan lanjutan pelvis renis, menuju distal & bermuara
pada vesica urinaria. Panjangnya 25 – 30 cm. Persarafan ureter oleh plexus
hypogastricus inferior T11- L2 melalui neuron² simpatis.
Terdiri dari dua bagian :
- pars abdominalis
- pars pelvina
Tiga tempat penyempitan pada ureter :
- uretero- pelvic junction
- tempat penyilangan ureter dengan vassa iliaca sama dengan flexura marginalis
- muara ureter ke dalam vesica urinaria
Terdiri dari 2 saluran pipa masing – masing bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25 – 30 cm dengan penampang ±
0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak
dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan – gerakan peristaltik tiap 5 menit
sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria).
Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang dieskresikan oleh ginjal
dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke
dalam kandung kemih.
Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan
dilapisi oleh pedtodinium. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter terjadi
pada tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf dan
pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.
Ureter pada laki – laki dan perempuan
Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh
duktus deferens dan dikelilingi oleh leksus vesikalis. Selanjutnya ureter berjalan
oblique sepanjang 2 cm di dalam dinding vesika urinarai pada sudut lateral dari
trigonum vesika. Sewaktu menembus vesika urineria, dinding atas dan dinding
bawah ureter akan tertutup dan pada waktu vesika urinaria penuh akan membentuk
katup (valvula) dan mencegah pengambilan urine dan vesika urinaria.
Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan berjalan ke
bagian medial ddan ke dapan bagian lateral serviks uteri bagian atas , vagina untuk
mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya, ureter didampingi oleh
arteri iterina sepanjang 2,5 cm dan sellanjutnya arteri ini menyilang ureter dan
mmenuju ke atas di antara lapisan ligamentum. Ureter mempuunyai 2 cm dari sisi.
Pembuluh darah ureter:
a. Arteri renalis
b. Arteri spermatika interna
c. Arteri hipogastrika
d. Arteri vesikalis inferior
Persarafan Ureter
Persarafan ureter merupakan cabang dari pleksus mesenterikus inferior, fleksus
spermatikus, dan pleksus pelvis sepertiga dari nervus vagus rantai eferens dan
nervus vagus rantai eferens dari nervus torakali ke-11 dan ke-12, nervus lumbalis
ke-1,dan nervuus vagus mempunyai rantai eferens untuk ureter .
3. Vesica Urinaria
Disebut juga bladder/ kandung kemih. Vesica urinaria merupakan kantung
berongga yang dapat diregangkan dasn volumenya dapat disesuaikan dengan
mengubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala urin
dikososngkan dari kandung kemih ke luar tubuh melalui ureter. Organ ini
mempunyai fungsi sebagai reservoir urine (200 - 400 cc). Dindingnya mempunyai
lapisan otot yang kuat. Letaknya di belakang os pubis. Bentuk bila penuh seperti
telur ( ovoid ). Apabila kosong seperti limas. Apex ( puncak ) vesica urinaria
terletak di belakang symphysis pubis.
Bagian Vesica Urinaria :
Apex
Dihubungkan ke cranial oleh urachus (sisa kantong allantois ) sampai ke
umbilicus membentuk ligamentum vesico umbilicale mediale. Bagian ini
tertutup peritoneum dan berbatasan dengan ileum & colon sigmoideum
Corpus
Fundus
Vesica urinaria dipersarafi oleh cabang-cabang plexus hypogastricus inferior yaitu:
Serabut-serabut post ganglioner simpatis glandula para vertebralis L1-2.
Serabut-serabut preganglioner parasimpatis N. S2,3,4 melalui N. splancnicus &
plexus hypogastricus inferior mencapai dinding vesica urinaria. Disini terjadi
sinapsis dengan serabut-serabut post ganglioner.
Serabut-serabut sensoris visceral afferent: N. splancnicus menuju SSP
Serabut-serabut afferen mengikuti serabut simpatis pada plexus hypogastricus
menuju medulla spinalis L1-2.
Fungsi vesica urinaria:
(1) Sebagai tempat penyimpanan urine, dan
(2) mendorong urine keluar dari tubuh.
4. Urethra
Merupakan saluran keluar dari urin yang diekskresikan oleh tubuh melalui
ginjal, ureter, vesica urinaria.
Uretra adalah saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih keluar.
Pada laki- laki uretra bewrjalan berkelok – kelok melalui tengah – tengah
prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagia
penis panjangnya ± 20 cm.
Uretra pada laki – laki terdiri dari :
1. Uretra Prostaria
2. Uretra membranosa
3. Uretra kavernosa
Lapisan uretra laki – laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling
dalam), dan lapisan submukosa.
Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubisberjalan miring sedikit kearah
atas, panjangnya ± 3 – 4 cm. Lapisan uretra pada wanita terdiri dari Tunika
muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa merupakan pleksus dari vena – vena,
dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam).Muara uretra pada wanita terletak di
sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di sini hanya sebagai
saluran ekskresi.
C. Persarafan Kandung Kemih
Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan
dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhunbungan dengan
medulla spinalis segmen S2 dan S3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat
saraf motoik. Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung
kemih. Tanda – tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama
bertanggung jawab untuk mencetuskan refleks yang menyebabkan kandung kemih.
Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat para
simpatis. Serat ini berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding kandung
kemih, saraf postganglion pendek kemudian mempersarafi otot detrusor.
Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk
fungsi kandumg kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui
nervus pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih, yang mempersarafi dan
mengontrol otot lurik pada sfingter. Selain itu kandung kemih juga menerima saraf
simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama hubungan
dengan segmen L2 medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang
pembuluh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat
saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam
menimbulkan sensai rasa penuh dan pada beberapa keadaan rasa nyeri.
D. Transpor urin dari ginjal melalui ureter dan masuk ke dalam kandungan kemih
Urin yang keluar dari kandungan kemih mempunyai komposisi utama yang
sama dengan cairan yang keluar dari duktus koligentes; tidak ada perubahan yang
berarti pada komposisi urin tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter
sampai kandung kemih.
Urin mengalir dari duktus koligentes masuk ke kaliks renalis, meregangkan
kaliks renalis dan meningkatkan aktivitas pacemakernya, yang kemudian
mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis renalis dan kemudian
turun sepanjang ureter dangan demikian mendorong urin dari pelvis renalis ke arah
kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersafari oleh saraf
simpatis dan parasimpatis seperti juga neuron-neuron pada pleksus intramular dan
serat-saraf yang meluas diseluruh panjang ureter. Seperti hanya otot polos pada organ
viscera yang lain, kontraksi perislaltik pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan
parasimpatis dan dihambat oleh perangsangan simpatis.
Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum
kandung kemih. Normalnya ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa
sentimeter menembus kandung kemih. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding
kandung kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik
urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung kemih. Setiap gelombang
peristaltic yang terjadi sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter
sehingga bagian yang menembus kandung kemih membuka dan memberi kesempatan
kandung urin mengalir ke dalam kandung kemih.
Panjang ureter yang menembus kandung kemih kurang dari normal, sehingga
kontraksi kandung kemih tidak selalu menimbulkan penutupan ureter secara
sempurna. Akibatnya, sejumlah urin dalam kandung kemih terdorong kembali ke
dalam ureter ini disebut refluks vesikoureteral. Refluks semacam ini dapat
menyebabkan pembesaran ureter dan jika parah dapat meningkatkan tekanan kaliks
renalis dan struktur – struktur dan di medula renalis, mengakibatkan kerusakan daerah
ini.
E. Pengisian kandung kemih dan tonus dinding kandung kemih : Sistometrogram
Perubahan tekanan intravesikular sewaktu kandung kemih terisi dengan
urin.pada saat tidak ada urin di dalam kandung kemih ,tekanan intravesikuler,sekitar
0,tetapi setela terisi urin sebanyak 30 sampai 50 mililiter,tekanan meningkat menjadi
5sampai 10 sentimeter air.tambahan urin sebanyak 200 sampai 300 mililiter hanya
sedikit menambah peningkatan tekanan,nilai tekanan yang konstan ini di sebabkan
oleh tonus intrinsic pada dinding kandung kemih sendii.bila urin yang terkumpul di
dalam kandung kemih lebih banyak dari 300 sampai 400 mililiter,akan menyebabkan
peningkatan tekanan secara cepat.
Punak tekanan dapat meningkat hanya beberapa sentimeter air,atau mungkin
meningkat hingga lebih dari 100 sentimeter air.puncak tekanan ini disebut gelombang
mikturisi
F. Proses Miksi (Rangsangan Berkemih)
Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang stres reseptor yang
terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk
merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan terjadi reflek kontraksi dinding
kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spinser internus, diikuti
oleh relaksasi spinter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi
spinter interus dihantarkan melalui serabut – serabut para simpatis. Kontraksi sfinger
eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi.
kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf – saraf yang menangani kandung
kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh.
Bila terjadi kerusakan pada saraf – saraf tersebut maka akan terjadi
inkontinensia urin (kencing keluar terus – menerus tanpa disadari) dan retensi urine
(kencing tertahan).
Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako lumbar dan
kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk relaksasi
lapisan otot dan kontraksi spinter interna.
Peritonium melapis kandung kemih sampai kira – kira perbatasan ureter
masuk kandung kemih. Peritoneum dapat digerakkan membentuk lapisan dan menjadi
lurus apabila kandung kemih terisi penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior
berpangkal dari umbilikalis bagian distal, vena membentuk anyaman dibawah
kandung kemih. Pembuluh limfe berjalan menuju duktus limfatilis sepanjang arteri
umbilikalis.
Jadi,reflex mikturisi merupakan sebuah sikus yang lengkap yang terdiri dari:
1. Kenaikan tekanan secara cepat dan progresif
2. Periode tekanan menetap
3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal.
G. Perangsangan atau penghambatan berkemih oleh otak.
Pusat – pusat ini antara lain:
1. Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak, terutama terletak di
ponds, dan
2. beberapa pusat yang terletak korteks serebral yang terutama bekerja penghambat
tetapi dapat menjadi perangsang.
Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat
yang lebih tinggi normalnya memegang peranan sebagai pengendali akhir dari
berkenmih sebangai berikut:
1. Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial penghambatan refleks berkemih
kecuali jika peristiwa berkemih dikehendaki.
2. apusat yang lebih tinggi dapat mecegah berkemih, bahkan jika refleks berkemih
timbul, dengan membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus
kandung kemih sampai mendapatkan waktu yang baik untuk berkemih.
3. Jika tiba waktu berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pusat berkemih sacral
untuk membantu untuk mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu bersamaan
menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat
terjadi.
Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara berikut: Pertama,
seseorang secara sadar mengkontraksikan otot – otot abdomennya, yang
meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan mengakibatkan urin ekstra
memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior di bawah tekanan, sehingga
meregangkan dindingnya.
H. Urine (Air Kemih)
Mikturisi ( berkemih ) merupakan refleks yang dapat dikendalikan dan dapat
ditahan oleh pusat persarafan yang lebih tinggi dari manusia. Gerakannya oleh
kontraksi otot abdominal yang menambah tekanan di dalam rongga dan berbagai
organ yang menekan kandung kemih membantu mengosongkannya. Rata-rata dalam
satu hari 1-2 liter, tetapi berbeda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk. Warnanya
bening oranye, pucat tanpa endapan, baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap
lakmus dengan pH rata-rata 6.
1. Sifat – sifat air kemih
- Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari masuknya (intake)
cairan serta faktor lainnya.
- Warna bening muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
- Warna kuning terantung dari kepekatan, diet obat – obatan dan sebagainya.
- Bau khas air kemih bila dibiarkan terlalu lama maka akan berbau amoniak.
- Baerat jenis 1.015 – 1.020.
- Reaksi asam bila terlalu lama akan menjadi alkalis, tergantung pada diet (sayur
menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam)
2. Komposisi air kemih
Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal
yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi
urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring
oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun, ada juga
beberapa spesies yang menggunakan urin sebagai sarana komunikasi olfaktori.
Urin disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih,
akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra.
Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme (seperti urea),
garam terlarut, dan materi organik. Cairan dan materi pembentuk urin berasal dari
darah atau cairan interstisial. Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorpsi
ketika molekul yang penting bagi tubuh, misal glukosa, diserap kembali ke dalam
tubuh melalui molekul pembawa. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam
kadar yang tinggi dan berbagai senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang
akan dibuang keluar tubuh. Materi yang terkandung di dalam urin dapat diketahui
melalui urinalisis. Urea yang dikandung oleh urin dapat menjadi sumber nitrogen
yang baik untuk tumbuhan dan dapat digunakan untuk mempercepat pembentukan
kompos. Diabetes adalah suatu penyakit yang dapat dideteksi melalui urin. Urin
seorang penderita diabetes akan mengandung gula yang tidak akan ditemukan
dalam urin orang yang sehat.
Komposisi air kemih:
- Air kemih terdiri dari kira – kira 95 % air
- Zat – zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam urea, amoniak dan
kreatinin
- Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat
- Pigmen (bilirubin, urobilin)
- Toksin
- Hormon
3. Mekanisme Pembentukan Urine
Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit terbentuk 120 –
125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah filtrasi). Setiap harinyadapat
terbentuk 150 – 180L filtart. Namun dari jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L) yang
akhirnya keluar sebagai kemih, dan sebagian diserap kembali.
4. Tahap – tahap Pembentukan Urine
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar
dari permukaan aferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan sebagian
yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring
ditampung oleh simpai bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida,
sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke seluruh ginja.
b. Proses reabsorpsi
Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat
dan beberapa ion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan
obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal
bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan sodium dan ion karbonat, bila
diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya
terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan
pada pupila renalis.
c. Augmentasi (Pengumpulan)
Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus
pengumpul. Pada tubulus pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl-,
dan urea sehingga terbentuklah urine sesungguhnya.
Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu di bawa ke
ureter. Dari ureter, urine dialirkan menuju vesika urinaria (kandung kemih)
yang merupakan tempat penyimpanan urine sementara. Ketika kandung kemih
sudah penuh, urine dikeluarkan dari tubuh melalui uretra.
I. Ciri-Ciri Urin Normal
1. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan
yang masuk.
2. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
3. Baunya tajam
4. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata
BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI (BPH)
A. Pengertian
Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) adalah kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis
pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 1999).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2000).
Dahulu disebut juga sebagai hipertrofi prostat jinak (Benign Prostat
Hipertropy = BPH), istilah hipertrofi karena yang terjadi adalah hiperplasia kelenjar
periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke periper dan menjadi simpai
bedah (Mansjoer, Arief, 2000).
B. Anatomi dan fisiologi
a. Anatomi Prostat
Merupakan kelenjar yang berada dibawah vesika urinaria melekat pada dinding
bawah vesika urinaria disekitar uretra bagian atas.
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari, berat prostat pada orang dewasa
normal kira-kira 20 gram, yang letaknya retroperitonial, melingkari leher kandung
kemih dan uretral dan terdiri dari kelenjar majemuk, saluran-saluran dan otot
polos.
Kelenjar prostat, merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30 – 50 kelenjar, yang
terbagi atas lima lobus, yaitu lobus posterior, medius, anterior dan dua lobus
lateral, tetapi selama perkembangan selanjutnya ketiga lobus posterior bersatu dan
disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tidak
tampak karena terlalu kecil dan lobus-lobus lain tampak homogen berwarna keabu-
abuan, dengan kista kecil-kecil berisi cairan seperti susu. Kista-kista ini ialah
kelenjar-kelenjar postat.
b. Fisiologi
Prostat ialah suatu alat tubuh yang bergantung pengaruh endokrin dan dapat
dianggap imbangan (counterpart) dari pada payudara pada wanita. Fungsi kelenjar
prostat, menambah cairan alkalis pada cairan seminalis, yang berguna melindungi
spermatozoa terhadap tekanan yang terdapat pada uretra.
C. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas, namun terdapat faktor risiko umur dan hormon
androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30 – 40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik
anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun keatas (Mansjoer Arief, 2000).
D. Patogenesis
Menurut Mansjoer Arif (2000), ialah:
a. Teori Dehidrostetosteron (DHT)
Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT
kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim
5-a-reduktase.
b. Teori Hormon
Estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.
c. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth Factor
(b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih besar pada klien dengan pembesaran prostat jinak. b-FGF dapat dicetuskan
oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
d. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan
mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan prostat.
E. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta
otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi lagi sehingga terjadi retensio urine, yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing–masing gejala awal BPH adalah:
a. Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH.
b. Hesitancy terjadi karena destrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
melawan resistensi uretra.
c. Intermittency terjadi karena destrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra
sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi
karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
d. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap
miksi sehingga interval pada tiap miksi lebih pendek.
e. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal
dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
f. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan
destrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
g. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit
urine keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai
compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan
sfingter.
Skema Patofisiologi (Mansjoer, Arief (2000)
Bertambahnya Usia
Reaksi enzim 5-a-reduktase Produksi testosteron Reaksi enzim
Menuurun aromatase
DHT Konversi testosteron menjadi estrogen
DHT reseptor kompleks Tidak seimbang
dalam sitoplasma sel prostat
Inti sel Testosteron menurun Estrogen meningkat
RNA
Sintesis protein
Proliferasi sel
Pembesaran prostat
Perubahan pada Traktus urinarius Rangsangan pada vesika
akibat resistensi
Uretra Tonus trigonum kekuatan kontraksi
dan leher vesika destrusor
Fase kompensasi (penebalan destrusor ) Kontraksi vesika meningkat
walaupun belum penuh
Dekompensasi otot destrusor
Iritasi mukosa
Nyeri akut
Kekuatan kontraksi destrusor menurun
Dekompensasi otot destrusor menurun/gagal
Dengan gejala obstruksi :
1) Hesitency
2) Intermittency
3) Terminal dribbling
4) Pancaran lemah
5) Rasa belum puas sehabis miksi
Urine sisa
1) Nokturia, Urgency, Disuria
2) Frekuensi meningkat
Prostatektomi
Post operasi
Terpasang kateter irigasi bladder luka operasi konsumsi minum
Tekanan dan Kurang 2500 ml/24 jam 2500-3000 ml/24 jam
iritasi kateter urine sedikit banyak terbentuk urine
/ balon terbentuk aliran urine lancar
Nyeri akut aliran urine tidak lancar bekuan darah tidak
bekuan darah terbentuk terbentuk
Retensi urine
Distensi bladder perdarahan nyeri bladder perembesan urine
F. Manifestasi klinis
Biasanya pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urineary Tract
Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif (Mansjoer Arief,
2000).
a. Gejala iritatif :
1) Sering miksi (frekuensi).
2) Terbangun untuk miksi pada malam hari (nocturia).
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency).
4) Nyeri pada saat miksi (disuria).
b. Gejala obstruktif :
1) Pancaran melemah.
2) Rasa tidak lampias sehabis miksi.
3) Kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitency).
4) Harus mengedan (straining).
5) Miksi terputus-putus (intermittency).
6) Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urine dan
inkontinensia urine karena overflow.
Selain gejala diatas, gejala generalisata mungkin juga tampak termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Gejala dan tanda pada klien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal,
yang dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi,
foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental
serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba
dan ada nyeri di Costo Vertebrae Angularis (CVA). Buli-buli yang distensi dapat
dideteksi dengan palpasi dan perkusi.
Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan
menyingkirkan diagnosis banding seperti sriktur, karsinoma, stenosis meatus atau
fimosis. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine
setelah miksi spontan, sisa urine diukur dengan cara mengukur sisa urine yang masih
dapat dikeluarkan dengan kateterisasi. Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan inter vensi pada hipertropi prostat (Mansjoer
Arief, 2000 : 332).
G. Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH,
meliputi:
a. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya
sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih.
Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk memperkirakan volume
BPH.
H. Diagnosis Banding
Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung
kemih neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah
radikal yang mengorbankan persarafan didaerah pelvis, dan penggunaan obat-obatan
(penenang, penghambat reseptor ganglion dan parasimpatik).
Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan oleh proses fibrosis. Resistensi
uretra dapat disebabkan oleh pembesaran prostat (jinak atau ganas), tumor dileher
buli-buli, batu uretra dan striktur uretra.
I. Penatalaksanaan
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan
kondisi klien (Mansjoer Arief, 2000).
a. Observasi
Dilakukan pada klien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan ialah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), dan mengurangi minum
kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
b. Terapi Medikamentosa
1) Penghambat adrenergik a
Obat yang biasa dipakai ialah prazosin, yang berfungsi untuk mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas destrusor.
2) Penghambat 5-a-reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride. Golongan obat ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
3) Fitoterapi
c. Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung berat ringannya gejala
dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah, yaitu :
1) Retensio urine berulang.
2) Hematuri.
3) Tanda penurunan fungsi ginjal.
4) Infeksi saluran kemih berulang.
5) Tanda-tanda obstruksi berat, yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis.
6) Ada batu saluran kemih.
Engram, Barbara (1999) menyebutkan ada empat cara pembedahan prostatektomi,
masing-masing dengan hasil yang berbeda, yaitu:
1).Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
a). Jaringan abnormal diangkat melalui rektoskop yang dimasukan melalui
uretra.
b).Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
c). Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
2).Prostatektomi suprapubik
a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
b) Diperlukan verban luka drainase, kateter foley dan kateter suprapubik setelah
operasi.
3).Prostatektomi retropubis
a). Penyayatan dilakukan pada perut bagian bawah.
b).Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c). Diperlukan balutan luka, foley kateter, dan drainase.
4).Prostatektomi perineal
a). Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b).Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c). Vasektomi dilakukan sebagai pencegahan epididimistis.
d).Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut,
enema, diet rendah sisa dan antibiotik).
e). Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) dilekatkan
pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
d. Terapi Invasif Minimal
1) Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT).
2) Dilatasi Balon Transurethral (TUBD).
3) High-instensity Focused Ultrasound.
4) Ablasi jarum Transuretra.
5) Stent Prostat.
ASUHAN KEPERAWATANPADA BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI (BPH)
Proses Keperawatan adalah proses yang terdiri dari lima tahap, yaitu pengkaji,
diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Doenges, 2000).
A. Pengkajian
Menurut Doenges, (2000), pengkajian pada klien dengan Hiperplasia Prostat Benigna,
meliputi :
a. Sirkulasi darah
Tanda: Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).
b. Eliminasi
Gejala: Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-raguan pada
berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih, nokturia, disuria, hematuri, duduk
untuk berkemih, inpeksi saluran kemih berulang, riwayat batu (stasis urinaria),
konstipasi (protrusi prostat kedalam rektum).
c. Makanan / cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
d. Nyeri / kenyamanan
Gejala: Nyeri Suprapubis, panggul, atau punggung; tajam, kuat, nyeri punggung
bawah.
e. Keamanan
Gejala: Demam.
f. Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi
ejakulasi.
g. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal, penggunaan
antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinarius atau agen antibiotik, obat yang
diual bebas untuk flu/alergi obat mengandung simpatomimetik.
Pertimbangan pemulangan: Memerlukan bantuan dengan manajemen terapi,
contoh cateter.
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, atau terang (berdarah); penampilan
keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi); bakteri.
2) Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella,
Pseudomonas atau Escherchia coli.
3) Sitologi urine : Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
4) BUN / Kreatinin : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
5) Asam fosfat serum / antigen khusus prostatik : Peningkatan karena
pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat
mengidentifikasikan metastase tulang).
6) Sel Darah Putih (SDP) : Mungkin lebih besar dari 11.000 mm3,
mengidentifikasikan infeksi bila klien tidak imunosupresi.
7) Penentuan kecepatan aliran Urine : Mengkaji derajat obstruksi kandung
kemih.
8) IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan perlambatan pengosongan
kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih.
9) Sistouretrografi berkemih : Digunakan sebagai ganti IVP untuk
memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan
kontras lokal.
10) Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
11) Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan dan
perubahan dinding kandung kemih (kontra indikasi pada adanya infeksi
saluran kemih (ISK) akut sehubungan dengan risiko sepsis gram negatif).
12) Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot destrusor dan tonusnya.
13) Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine;
melokalisasi lessi yang tak berhubungan dengan BPH.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinik mengenai respon individu,
keluarga, dan komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual
dan potensial (Doenges, 2000).
Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien
dengan BPH, yaitu:
a. Diagnosa keperawatan Pra operasi
1) Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik;
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidak mampuan kandung
kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik
ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
3) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi urine dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara
kronis, Endokrin: ketidak seimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
4) Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan;
kemungkinan prosedur bedah, malu / hilang martabat sehubungan dengan
pemajanan genital sebelum, selama dan sesudah tindakkan; masalah tentang
kemampuan seksualitas.
5) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat; salah
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, masalah tentang area
sensitive.
b. Diagnosa keperawatan Pasca operasi
1) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan
darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter/balon.
2) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area
bedah vascular, kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukkan
praoperatif.
3) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasive: alat
selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan,
insisi bedah (contoh perineal).
4) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih, refleks
spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan/atau tekanan dari balon
kandung kemih (traksi).
5) Risiko disfungsi seksual sehubungan dengan situasi krisis (inkontinensia,
kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital).
6) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat; salah
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
C. Perencanaan keperawatan
Perencanaan merupakan petunjuk untuk penanganan, aktivitas dan tindakan
yang membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan (Doenges, 2000).
Menurut Doenges, (2000), rencana tindakan keperawatan pada klien dengan
Benigna Prostat Hiperplasia, adalah:
a. Pra operasi
DX I: Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena
kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengeluaran urine
lancar.
NOC: Inkontinensi urine
Kriteria Hasil:
1. Bebas dari kebocoran urine diantara berkemih.
2. Kandung kemih kosong sempurna
3. Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200cc.
4. Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan.
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Katerisasi urine
1) Pantau asupan dalam haluaran urine.
2) Pantau derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi.
3) Instrusikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluran urine bila diperlukan..
4) Rujuk pada spesialis kontinensia urine jika diperlukan.
DX II: Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung kemih,
spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung
kemih)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau
hilang.
a. NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Laporkan frekuensi nyeri
2. Kaji frekuensi nyeri
3. Lamanya nyeri berlangsung
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri
5. Perubahan TTV
b. NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Mengenal faktor penyebab
2. Gunakan tindakan pencegahan
3. Gunakan tindakan non analgetik
4. Gunakan analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
5) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi,
intensitas, dan faktor penyebab.
6) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat
berkomunikasi secara efektif.
7) Berikan analgetik dengan tepat.
8) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan
berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
9) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi
musik,distraksi)
DX II: Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan
lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi.
a. NOC 1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko
b. NOC 2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko
Ket Skala:
1 = Selalu menunjukkan
2 = Sering menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Jarang menunjukkan
5 = Tidak pernah menunjukkan
NIC: Teaching diases proses
1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
4) Gambaran tanda dan gejala penyakit
5) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan
tentang tanda dan gejala yang dirasakan.
DX IV: Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dan keluarga
tidak mengalami kecemasan.
NOC: Control Cemas
Kriteria Hasil:
1. Monitor Intensitas kecemasan
2. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemas
3. Menggunakan strategi koping efektif
4. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
5. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
Ket Skala:
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC: Penurunan Kecemasan
1) Tenangkan Klien
2) Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang mungkin
muncul pada saat melakukan tindakan
3) Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis, dan tindakan.
4) Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa sakit.
5) Instruksikan pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.
DX V: Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi
mengenai pengobatan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan pasien
dan keluarga bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses penyakit.
Kriteria Hasil:
1. Mengenal tentang penyakit
2. Menjelaskan proses penyakit
3. Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungan
4. Menjelaskan faktor resiko
5. Menjelaskan komplikasi dari penyakit
6. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC:
a. NIC 1: Health Care Information exchange
1) Identifikasi pemberi pelayanan keperawatan yang lain
2) Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga dalam mengimplementasikan
keperawatan setelah penjelasan
3) Jelaskan peran keluarga dalam perawatan yang berkesinambungan
4) Jelaskan program perawatan medik meliputi; diet, pengobatan, dan latihan.
5) Jelaskan rencana tindakan keperawatan sebelum mengimplementasikan
b. NIC 2: Health Education
1) Jelaskan faktor internal dan eksternal yang dapat menambah atau
mengurangi dalam perilaku kesehatan.
2) Jelaskan pengaruh kesehatan danperilaku gaya hidup
individu,keluarga/lingkungan.
3) Identifikasi lingkungan yang dibutuhkan dalam program perawatan.
4) Anjurkan pemberian dukungan dari keluarga dan keluarga untuk membuat
perilaku kondusif.
b. Pascaoperasi
DX I: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.
NOC: Fluid balance
Kriteria Hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik.
4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Keterangan skala:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC: Fluid manajement
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
2. Monitor status hidrasi (kelemahan membran mukosa, nadi adekuat)
3. Monitor vital sign
4. Monitor cairan/makanan dan hitung intake kalon harian
5. Kolaborasikan pemberian cairan IV
6. Masukkan oral
7. Keluarga untuk membantu pasien maka
DX II: Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya
kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau
hilang.
a. NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Laporkan frekuensi nyeri
2. Kaji frekuensi nyeri
3. Lamanya nyeri berlangsung
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri
5. Perubahan TTV
b. NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Mengenal faktor penyebab
2. Gunakan tindakan pencegahan
3. Gunakan tindakan non analgetik
4. Gunakan analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi,
intensitas, dan faktor penyebab.
2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak
dapat berkomunikasi secara efektif.
3) Berikan analgetik dengan tepat.
4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan
berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi
musik,distraksi)
DX III: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (nyeri).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat
meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang paling tinggi
NOC: Mobility level
Kriteria Hasil:
1. Keseimbangan penampilan
2. Memposisikan tubuh
3. Gerakan otot
4. Gerakan sendi
5. Ambulansi jalan
6. Ambulansi kursi roda
Ket Skala:
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat
5 = Mandiri
NIC: Exercise Therapy: Ambulation
1) Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah
kecelakaan atau jatuh
2) Tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/diraih pasien.
3) Konsultasikan dengan fisioterapi tentang rencana ambulansi sesuai kebutuhan
4) Monitor pasien dalam menggunakan alatbantujalan yang lain
5) Instruksikan pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik ambulansi.
DX IV: Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi
fisik.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas
kulit tidak terjadi.
NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa
Kriteria Hasil:
1. Sensasi normal
2. Elastisitas normal
3. Warna
4. Tekstur
5. Jaringan bebas lesi
6. Adanya pertumbuhan rambut dikulit
7. Kulit utuh
Ket Skala:
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
NIC: Skin Surveilance
1) Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban
2) Monitor warna kulit
3) Monitor temperatur kulit
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa
5) Inspeksi kondisi insisi bedah
6) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan
7) Monitor infeksi dan oedema
DX V: Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan
terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi.
NOC 1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko
NOC 2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko
Ket Skala:
1 = Selalu menunjukkan
2 = Sering menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Jarang menunjukkan
5 = Tidak pernah menunjukkan
NIC: Teaching diases proses
1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
4) Gambaran tanda dan gejala penyakit
5) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan
tentang tanda dan gejala yang dirasakan.
D. Implementasi (Pelaksanaan)
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien post operasi prostat mengacu
pada rencana keperawatan yang sesuai dengan teori Doenges, M.E. (2000), meliputi:
mempertahankan homeostasis/stabilitas hemodinamik, meningkatkan kenyamanan,
mencegah komplikasi dan memberikan informasi tentang prosedur bedah/prognosis,
pengobatan dan kebutuhan rehabilitasi.
Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan-
tindakan keperawatan yang telah direncanakan dan melakukan pendokumentasian
semua tindakan yang telah dilakukan.
E. EVALUASI
a. Pre operasi
DX KRITERIA HASIL KETERANGAN SKALA
I NOC: Inkontinensi urine
1. Bebas dari kebocoran urine diantara berkemih. (4 )
2. Kandung kemih kosong sempurna. (4)
3. Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200cc. (4)
4. Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan.(4 )
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
II NOC 1: Level Nyeri
1. Laporkan frekuensi nyeri (4)
2. Kaji frekuensi nyeri. (4)
3. Lamanya nyeri berlangsung (4)
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri (4)
5. Perubahan TTV (4)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1. Mengenal faktor penyebab (4)
2. Gunakan tindakan pencegahan(4)
3. Gunakan tindakan non analgetik(4)
4. Gunakan analgetik yang tepat(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
III NOC 1: Deteksi Infeksi
1. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan
infeksi (4)
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan (4)
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko(4)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi(4)
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan
Membuat strategi untuk mengendalikan resiko
infeksi. (4)
3. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko (4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
IV NOC: Control Cemas
1. Monitor Intensitas kecemasan (4)
2. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemas (4)
3. Menggunakan strategi koping efektif (4)
4. Mencari informasi untuk menurunkan cemas (4)
5. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan
cemas (4)
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
V NOC: Pengetahuan: proses penyakit.
1. Mengenal tentang penyakit (4)
2. Menjelaskan proses penyakit(4)
3. Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungan 4
4. Menjelaskan faktor resiko(4)
5. Menjelaskan komplikasi dari penyakit(4)
6. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
b. Pasca operasi
DX KRITERIA HASIL KETERANGAN SKALA
I NOC : Fluid balance
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia 4
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas
normal(4)
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor
kulit baik. (4)
4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus
yang berlebihan. (4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
II NOC 1: Level Nyeri
1. Laporkan frekuensi nyeri (4)
2. Kaji frekuensi nyeri(4)
3. Lamanya nyeri berlangsung(4)
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri(4)
5. Perubahan TTV(4)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1. Mengenal faktor penyebab(4)
2. Gunakan tindakan pencegahan(4)
3. Gunakan tindakan non analgetik(4)
4. Gunakan analgetik yang tepat(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
III NOC: Mobility level
1. Keseimbangan penampilan (5)
2. Memposisikan tubuh(5)
3. Gerakan otot(5)
4. Gerakan sendi(5)
5. Ambulansi jalan(5)
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang
lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri
dengan bantuan alat
5 = Mandiri
IV NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa
1. Sensasi normal(4)
2. Elastisitas normal(4)
3. Warna(4)
4. Tekstur(4)
5. Jaringan bebas lesi(4)
6. Adanya pertumbuhan rambut dikulit(4)
7. Kulit utuh(4)
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
V NOC 1: Deteksi Infeksi
1. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan
Infeksi(4)
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan(4)
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko(4)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi(4)
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan.4
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko
infeksi. (4)
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
DAFTAR PUSTAKA
Pearce , Evelyn C.2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sander , Mochamad Aleq . 2004. Patologi Anatomi . Jakarta : Rajawali Pers.
Sobotta.Atlas Anatomi Manusia Ed.1.Jakarta : EGC.
Syaifuddin . 2003 . Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Wibowo , Daniel S . 2005 . Anatomi Tubuh Manusia . Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
http://totonrofiunsri.wordpress.com/2009/01/28/anatomi-dan-fisiologi-sistem-perkemihan/
http://nurad1k.blogspot.com/2010/02/anatomi-fisiologi-sistem-perkemihan.html
Carpenito, L. J., 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Alih Bahasa Monica Ester, EGC, Jakarta.
Corwin, E. J., 2000, Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P., EGC, Jakarta.
Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Alih Bahasa I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati, EGC, Jakarta.
Engram, B, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Jhonson, Marion, dkk. 2000. NOC. Jakarta: Morsby.
Mansjoer, A., dkk, 2000, Kapita SelektaKedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
McCloskey, Cjoane, dkk. 1995.NIC. Jakarta: Morsby.
NANDA, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan. Nanda 2005-2006, Editor Budi Santoso, Prima Medika, Jakarta.
Potter, P. A., & Perry, A. G., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Prose.c, dan Praktik, EGC, Jakarta.
Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Purnomo, B. B., 2000, Dasar-dasar Urologi, CV Info Medika, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8, EGC, Jakarta