Askep Kraniotomi
-
Upload
vianna-queen -
Category
Documents
-
view
74 -
download
0
Transcript of Askep Kraniotomi
Askep Kraniotomi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi dan adanya perbaikan prosedur pencitraan dan teknik pembedahan
memungkinkan ahli bedah neuro melokalisasi dan mengatasi lesi intrakranial dengan ketepatan
lebih besar dari pada sebelumnya. Meningkatnya teknik pencitraan, pencahayaan dan
pembesaran yang telah di buat memungkinkan mendapat gambaran tiga dimensi daerah yang di
operasi. Alat-alat bedah mikro diperkenankan digunakan untuk memisahkan jaringan yang sulit
tanpa trauma. Sistem diseksi ultrasonik memungkinkan otak tertentu dan tumor medula spinalis
diangkat dengan cepat dan tepat. Probe ditempatkan di dalam jaringan otak untuk radiasi
interstisial, hipertermia atau kemoterapi. Bahan penjahit lebih kecil dari sehelai rambut, yang
digunakan untuk menjahit syaraf-syaraf kecil dan pembuluh darah dan anastomosis.
Terdapat beberapa gejala / kumpulan gejala yang karakteristik pada penyakit intrakranial
yang sering merupakan masalah utama bagi pasien untuk memperoleh pertolongan medis. Gejala
/ kumpulan gejala tersebut tidak jarang menimbulkan persepsi atau interpretasi yang berbeda di
antara yang mengeluh (Pasien). Dengan yang mendengarkannya dalam hal ini tenaga kesehatan.
Tidak jarang pula suatu gejala medis tertentu diekspresikan secara berbeda – beda, bergantung
latar belakang pendidikan / sosial budaya pasien sehingga diperlukan teknik anamnesis yang
spesifik untuk menyamakan persepsi. Tindakan bedah Intrakranial atau disebut juga kraniotomi,
merupakan suatu intervensi dalam kaitannya dengan masalah-masalah pada Intrakranial. Artinya
kraniotomi dilakukan dengan maksud pengambilan sel atau jaringan intrakranial yang dapat
terganggunya fungsi neorologik dan fisiologis manusia atau dapat juga dilakukan dengan
pembedahan yang dimasudkan pembenahan letak anatomi intrakranial..
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu :
1. Mampu mengetahui pengertian kraniotomi.
2. Mampu menjelaskan indikasi penggunaan kraniotomi.
3. Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk perawatan pasien pre, intra dan
pasca kraniotomi.
4. Mengidentifikasi beberapa tindakan pada proses penatalaksanaan pasien bedah.
5. Mengidentifikasi tindakan – tindakan keperawatan praoperatif yang dapat menurunkan resiko
terjadinya infeksi dan komplikasi pascaoperatif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
o Kraniotomi adalah setiap operasi terhadap cranium. (Dorland,1998 )
o Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi
TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. (Hinchliff, Sue. 1999).
o Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses
pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2002)
o Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang tengkorak untuk,
untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan
perdarahan.
2.2 INDIKASI
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut :
o Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
o Mengurangi tekanan intrakranial.
o Mengevakuasi bekuan darah .
o Mengontrol bekuan darah, dan
o Pembenahan organ-organ intrakranial.
o Tumor otak
o Perdarahan (hemorrage)
o Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
o Peradangan dalam otak
o Trauma pada tengkorak.
2.3 PATHWAy
2.4 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel,
dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.
Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain.
Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan trauma
Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah
(karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak
Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK
Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan
TIK/perubahan mental
Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran
Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang.
(Doenges, Marilynn.E, 1999)
2.5 PENATALAKSANAAN MEDIS
2.5.1 PRAOPERASI
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan medikasi
antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi. Sebelum pembedahan,
steroid (deksametason) dapat diberikan untuk mengurangai edema serebral. Cairan dapat
dibatasi. Agens hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena
segera sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air, yang terjadi
pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter urinarius menetap di pasang
sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan kandung kemih selama pemberian
diuretik dan untuk memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik
bila serebral sempat terkontaminasi atau deazepam pada praoperasi untuk menghilangkan
ansietas.
Kulit kepala di cukur segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga
adanya abrasi superfisial tidak semua mengalami infeksi.
2.5.2 PASCAOPERASI
Jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP) dapat dipasang untuk memantau tekanan
darah dan mengukur CVP. Pasien mungkin atau tidak diintubasi dan mendapat terapi oksigen
tambahan.
Mengurangi Edema Serebral : Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral
meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari
area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian dieksresikan malalui diuresis
osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72
jam ; selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.
Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang : Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu
di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah
kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama
pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit
kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, deazepam) diresepkan untuk pasien yang telah
menjalani kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro
supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
Memantau Tekanan Intrakranial : Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering
dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter
disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi
cairan dalam selang. TIK dapat di kaji dengan menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke
selang bertekanan dan tranduser. TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan
diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa
stopkok ada pada posisi yang tepat untuk menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat
mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika
tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tanpak
tersumbat.
Pirau ventrikel kadang dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol
hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior
2.6 KOMPLIKASI PASCABEDAH
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah intrakranial atau
kraniotomi adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
3. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
4. Infeksi
5. Kejang
(Brunner & Suddarth. 2002).
2.7 PENGKAJIAN
a) Primery survey (ABCDE) meliputi :
1. Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi memberi
kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis
menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan
melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot
napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway. Airway
(jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal, pasang
servikal kollar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal, bersihkan
jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang patah
dan lain-lain. Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale) < 8,
pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90%.
Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara napas
tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
Feel (raba)
2. Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat.
Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang
dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi
terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke dalam paru.
Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak
terdengarnya suara napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada.
Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin menunjukkan
kekurangan oksigen
Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan
perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
3. Circulation dengan kontrol perdarahan
a. Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan cardiac output
walaupun stroke volum menurun
b. Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan diastolik)
c. Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah hipotensi
d. Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan balut tekan pada daerah
tersebut
e. Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal MAE (Meatus Akustikus
Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau darah mengalir keluar, karena hal ini
membantu mengurangi TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial)
f. Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya koagulopati dan
gangguan irama jantung.
4. Disability.
a. GCS setelah resusitasi
b. Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c. Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5. Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh penderita
harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian
punggung harus dilakukan secara log-rolling dengan harus menghindari terjadinya hipotermi
(America College of Surgeons ; ATLS)
b) Secondary survey
1. Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi rambut kulit kepala),
palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan, nyeri tekan, fontanela
(pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa), tiroid), palpasi
(kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2. Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan kesimetrisan ekspansi serta
keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada dinding dada, nyeri tekan,
massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang
dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang berbicara)
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara (pneumotorak) atau
cairan (hemotorak) yang terdapatb pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang trakeobronkeal dan untuk
mengetahui adanya sumbatan aliran udara. Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi
paru-paru dan rongga pleura.
3. Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultan untuk mengetahui
adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan (heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis
mengikuti struktur anatomi jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area
apikal dan area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan tetapi dengan adanya
foto rontgen, maka perkusi pada area jantung jarang dilakukan karena gambaran jantung dapat
dilihat pada hasil foto torak anteroposterior. (Priharjo, 1996)
4. Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas bersangkutan, antara lain yaitu ;
a. Cedera pembuluh darah
b. Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku
c. Crush injury
d. Sindroma kompartemen
e. Dislokasi sendi panggul
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a. Pusasi arteri tidak teraba
b. Pucat (pallor)
c. Dingin (coolness)
d. Hilangnya fungsi sensorik dan motorik
e. Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala sedapat mungkin
dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda dapat meningkatkan resiko ARDS (Adult
Respiratory Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang
menyertai cedera kepala dapat menurunkan insidensi ARDS.
2.8 FOKUS INTERVENSI
NO Diagnosa
KeperawatanTujuan / Kriteria hasil Rencana Intervensi
1. Gangguan perfusi
jaringan perifer
Meningkatkan tingkat
kesadaran biasa /
perbaikan, ognisi dan
fungsi motorik-sensori.
Mendemonstrasikan
tanda vital stabil dan
tanda-tanda peningkatan
TIK
Mandiri
1. Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan keadaan tertentu
atau yang menyebabkan
koma/penurunana perfusi jaringan otak
dan potensial peningkatan TIK.
2. Pantau/catat status neurologis secara
teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (misalnya skala koma Glascow).
3. Evaluasi kemampuan membuka mata,
seperti spontan (sadar penuh) membuka
hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau
tetap tertutup (koma).
4. Kaji respon verbal ; catat apakah pasien
sadar, orientasi terhadap orang, tempat
dan waktu baik atau malah bingung;
menggunakan kata-kata/ frase yang tidak
sesuai.
o Menentukan pilihan intervensi. Penurunan
tanda dan gejala neurologis atau kegagalan
dalam pemulihannya setelah serangan awal
mungkin menunjukkan bahwa pasien itu
perlu dipindahkan ke perawatan intensif
untuk memantau tekanan TIK dan atau
pembedahan
o Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan potensial peninkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.
o Menentukan tingkat kesadaran.
o Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan
menunjukkan tingkat kesadaran. Jika
kerusakan (dari pembedahan/insisi) yang
terjadi sangat kecil pada korteks serebral,
pasien mungkin akan bereaksi dengan baik
terhadap rangsangan verbal yang diberikan
tetapi mungkin juga memperlihatkan seperti
ngantuk berat atau tidak kooperatif.
Kerusakan yang lebih luas pada korteks
5. Kaji respon motorik terhadap perintah
yang sederhana, gerakan yang bertujuan
(patuh terhadap perintah, berusaha untuk
menghilangkan rangsang nyeri yang
diberikan) dan gerakan yang tidak
bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat
gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri
dan kanan secara terpisah.
6. Pantau TD ; catat adanya hipertensi
sistolik secara menerus dan tekanan nadi
yang semakin berat.
serebral mungkin akan berespon lambat
pada perintah atau tetap tertidur ketika tidak
ada perintah, mengalami disorientasi dan
stupor. Kerusakan pada batang otak, pons
dan medulla ditandai dengan adanya respon
yang tidak sesuai terhadap rangsang.
o Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan
kemampuan untuk berespon pada
rangsangan eksternal dan merupakan
petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada
pasien yang metanya tertutup sebagai akibat
dari trauma atau pasien yang afasia. Pasien
dikatakan sadar apabila paien dapat
meremas atau melepaskan tangan pemeriksa
ata dapat menggerakkan tangan sesuai
dengan perintah. Gerakan yang bertujuan
dapat meliputi mimik kesakitan atau gerakan
menarik/menjauhi rangsangan nyeri atau
gerakan yang disadari paien (seperti duduk,
fleksi abnormal dari ekstremitas tubuh).
Tidak adanya gerakan spontan pada salah
satu sisi tubuh menandakan kerusakan pada
jalan motorik pada himisfes otak yang
berlawanan.
o Peningkatan tekanan darah sistemik yang
diikuti oleh penurunan tekanan darah
diastolik (nadi yang membesar) merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK, jika
diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Hipovelemia atau hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemia serebral.
7. Frekuensi jantung; catat adanya
bradikardi, takikardia, atau bentuk
disritmia lainnya.
8. Pantau pernafasan meliputi pola dan
iramanya, seperti adanya periode apnea
setelah hiperventilasi yang disebut
pernafasan Cheyne Sroke.
9. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti
adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang pandang menyempit dan
kedalaman persepsi.
10. Catat ada/tidaknya refleks-refleks
tertentu seperti menelan, batuk dan
babinskidan sebagainya.
11. Pantau suhudan atur lingkungan sesuai
indikasi. Batasi penggunaan selimut,
berikan kompres hangat saat demam
timbul. Tutup ekstremitas dengan
selimut jika menggunakan selimut
hipotermia (selimut dingin).
12. Pantau pemasukan dan pengeluaran.
Ukur berat badan sesuai indikasi. Catat
turgor kulit dan keadaan membran
mukosa.
o Perubahan pada ritme (paling serig
bradikardi) dan disritmia dapat timbul yang
mencermikan adanya depresi atau trauma
pada batang otak pasien (berhubungan
dengan luasnya insisi) yang tidak
mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
o Nafas yang tidak teratur dapat menunjukkan
lokasi adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK dan memerlukan
intervensi yang lebih lanjut termasuk
kemungkinan dukungan nafas buatan.
o Gangguan penglihatan yang dapat
diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik
pada otak, mempunyai konsekuensi terhadap
keamanan dan juga akam mempengaruhi
pilihan intervensi.
o Penurunan refleks menandakan adanya
kerusakan pada tingkat otak tengah atau
batang otak dan sangat berpengaruh
langsung terhadap keamanan pasien.
o Demam dapat mencerminkan kerusakan
hipothalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi
(terutama saat demam dan menggigil) yang
selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan
TIK.
o Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total
tubuh terintegrasi dengan pefusi jaringan.
13. Pertahankan kepala/leher pada posisi
yang benar, sokong dengan gulungan
handuk kecil atau bantal pada kepala.
o Kepala yang miring pada salah satu sisi akan
menekan daerah insisi dan menekan vena
jugularis dan menghambat aliran darah
vena, yang selanjutnya akan meningkatkan
TIK.
2. Resiko tinggi
terhadap infeksi
berhubungan
dengan invasi MO
o Mempertahankan
nonmotermia, bebas
tanda-tanda infeksi
o Mencapai penyembuhan
luka (craniotomi) tepat
pada waktunya.
Mandiri
1. Berikan perawatan aseptik dan
antiseptik, pertahankan teknik cuci
tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami
kerusakan (seperti luka, garis jahitan),
daerah yang terpasang alat invasi
(terpasang infus dan sebagainya), catat
karakteristik dari drainase dan adanya
inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat
adanya demam, menggigil, diaforesis
dan perubahan fungsi mental (penurunan
kesadaran).
4. Batasi pengunjung yang dapat
menularkan infeksi atau cegah
pengunjung yang mengalami infeksi
saluran napas bagian atas.
Kolaborasi
1. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
o Cara pertama untuk menghidari infeksi
nosokomial.
o Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melekukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
o Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis
yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan dengan segera.
o Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa
kuman penyebab infeksi”.
o Terapi profilaktik dapat digunakan pada
pasien yang mengalami trauma (luka,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan risiko
2. Ambil bahan pemeriksaan (spesimen)
sesuai indikasi.
terjasdinya infeksi nasokomial).
o Kultur/sensivitas. Pewarnaan Gram dapat
dilakukan untuk memastikan adanya infeksi
dan mengidentifikasi organisme penyebab
dan untuk menentukan obat pilihan yang
sesuai.
3. Gangguan rasa
nyaman Nyeri
o Melaporkan nyeri
hilang/terkontrol.
o Mengungkapkan metode
yang memberikan
penghilangan.
o Mendemontrasikan
penggunaan keterampilan
relaksasi dan aktivias
hiburan.
Mandiri
1. Kaji intensitas, gambaran dan
lokasi/penyebaran nyeri, atau adanya
perubahan sensasi.
2. Kaji kembali manifestasi yang
timbul/perubahan dalam intensitas nyeri.
3. Izinkan pasien untuk mendapatkan posis
yang nyaman jika diperlukan. Gunakan
rogroll selama melakukan perubahan
posisi.
4. Demonstrasikan penggunaan
keterampilan relaksasi, seperti bernapas
dalam atau visualisasi.
o Mungkin sedang sampai berat dengan
penyebaran ke daerah seluruh kepala atau
intrakranial, daerah oksipital. Kesemutan
yang tidak nyaman mungkin merupakan
cerminan kembalinya sensasi setelah
dekompresi saraf atau sebagai akibat dari
perkembangan edema dari penekanan
saraf/daerah operasi.
o Perkembangan/resolusi edema dan inflamasi
pada fase awal pascaoperasi dapat
mempengaruhi penekanan pada berbagai
saraf dan menyebabkan perubahan pada
derajat nyeri (terutama 3 hari setelah
operasi), ketika spasme otot/perbaikan
sensasi saraf mengintesifkan nyeri.
o Posisi disesuaikan dengan kebutuhan
fisiologis tipe operasinya. Posisi yang sesuai
membantu dalam menghilangkan
menurunkan kelemahan otot dan rasa tidak
nyaman (nyeri).
o Dengan menfokuskan kepala perhatian
tertentu, menurunkan ketegangan otot,
meningkatkan rasa memiliki dan kontrol /
5. Berikan diet makanan lunak, pelembab
ruangan, anjurkan untuk tdak berbicara
setelah dilakukan bedah.
6. Teliti keluhan pasien mengenai
munculnya kembali nyeri.
Kolaborasi
1. Berikan obat analgesik, sesuai
kebutuhan.
Narkotik, seperti morfin, kodein,
meperidin (demerol) :oksikodom
(Tylox :hidrokondon (vieodine):
asetamenofen (tylenol) dengan kodein.
Relaksan otot, seperti siklobenzaprin
(flexeril): diazepam (valium).
2. Bantu dengan ADP.
3. Pasang unit TENS sesuai kebutuhan.
menurunkan rasa kurang
o Menurunkan rasa tidak nyaman yang
berhubungan dengan sakit pada daerah
kranial dan kesulitan menelan.
o Sebagai tanda adanya komplikasi kolaps
intrakranial.
o Diberikan untuk menghilangkan /
menurunkan nyeri.
Narkotik digunakan selama beberapa hari
pertama pascaoperasi, kemudian diberikan
obat bukan dari jenis narkotik sesuai dengan
penurunan intensitas nyeri.
Dapat digunakan untuk menghilangkan
spasme otot sebagai akibat iritasi saraf
intraoperasi.
o Memberikan kontrol terhadap pengobatan
(biasanya narkotik) untuk mendapatkan
tingkat kenyamana yang lebih konstan yang
selanjutnya dapat meningkatkan proses
penyembuhan.
o Dapat digunakan untuk nyeri insisi atau
ketika saraf tetap terkena setelah
penyembuhan.
4. Syok hivopolemik
berhubungan
dengan resiko
Setelah dilakukan
tindakan asuhan
keperawatan selama 1 X
24 jam diharapkan tidak
1. Auskultasi nadi apical. Awasi kecepatan
jantung atau irama bila EKG kontinue
ada.
o Perubahan disritmia dan iskemia dapat terjadi
sbagai akibat hipotensi, hipoksia, asidosis,
ketidakseimbangan elektrolit atau
pendinginan dekat area jantung bila laase air
perdarahan terjadi syok
2. Kaji kulit terhadap dingin, pucat,
berkeringat, pengisian kapiler lambat
dan nadi perifer lemah.
3. Catat keluaran urin dan berat jenis.
4. Catat laporan nyeri abdomen khususnya
tiba-tiba, nyeri hebat menyebar ke bahu.
5. Observasi kulit untuk pucat, kemerahan.
Pijat dengan minyak, ubah posisi dengan
sering..
6. Beri oksigen tambahan sesuai indikasi.
7. Awasi GDA atau nadi oksimetri.
8. Berikan cairan IV sesuai indikasi.
dingin digunakan untuk mengontrol
perdarahan.
o Asokonstriksi adalah respon simpatis
terhadap penurunan volume sirkulasi dan
atau dapat terjadi sebagai efek vasopressin.
o Penurunan perfusi sistemik dapat
menyebabkan iskemia atau gagal ginjal
dimanifestasikan dengan penurunan
keluaran urin, ATN dapat terjadi jika
hipovolemik memanjang.
o Nyeri disebabkan ulkus gaster sering hilang
setelah perdarahan akut karena efek buffer
darah. Nyeri berat berlanjut atau tiba-tiba
dapat menunjukkan iskemia sehubungan
dengan terapi asokonstriksi, perdarahan
kedalam traktus bilier (hematobilia), atau
perforasi atau timbulnya peritonitis.
o Gangguan pada sirkulasi perifer
meningkatkan resiko kerusakan kulit.
o Mengobati hipoksia dan asidosis laktat
selama perdarahan akut.
o Mengidentifikasi hipoksemia, keefektifan
atau kebutuhan untuk terapi.
o Mempertahankan volume sirkulasi dan
perfusi.
5. Gangguan pola
napas
Menunjukkn perbaikan
ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan
GDA dalam rentang
Mandiri
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan. Catat napas sesuai indikasi.
o Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmunal (umumnya mengikuti
cedera otak postoperasi) atau menandakan
normal dan bebas gejala
distres pernafasan.
2. Catat kompetensi refleks gangguan
menelan dan kemampuan pasien untuk
melindungi jalan napas sendiri. Pasang
jalan napas sesuai indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai
aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
4. Anjurkan pasien untuk melakuakan
napas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
5. Lakukan perhisapan dengan ekstra hati-
hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat
karakter, warna dan kekeruhan dari
sekret.
6. Auskultasi suara napas, perhatikan
daerah hipoventilasi dan adanya suara-
suara tambahan yang tidak normal
(seperti adanya suara tambahan yang
tidak normal seperti krekels, ronki dan
lokasi/luasna keterlibatan otak. Pernapasan
lambat, periode apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanis.
o Kemampuan memobilisasi atau
membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan nafas. Kehilangan
refleks menelan atau batuk menandakan
perlunya jalan napas buatan atau intubasi.
o Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi
paru dan menurunkan adanya kemungkinan
lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
o Mencegah dan menurunkan atelektasis.
o Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien
koma atau dalam keadaan imobilisasi dan
tidak dapat membersihkan jalan napasnya
sendiri. Penghisapan pada trakea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-
hati karena hal tersebut dapat menyebabkan
atau meningkatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokonstriksi yang padda
akhirnya akan berpengaruh cukup besar
pada perfusi serebral.
o Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru
seperti atelektasis kongesti atau obstruksi
jalan napas yang membahayakan oksigenasi
serebral dan menandakan terjadinya infeksi
paru (umumnya merupakan koplikasi dari
craniotomi postoperasi).
o Dapat meningkatkan gangguan/
mengi).
7. Pantau penggunaan obat-obat depresan
pernapasn, seperti sedatif.
Kolaborasi
1. Pantau atau gambarkan analisan gas
darah, tekanan oksimetri.
2. Lakukan rotgen toraks ulang.
3. Berikan oksigen.
4. Lakukan fisioterapi dada jika ada
indikasi.
pernapasan.
o Menentukan kecukupan pernapasan,
keseimbangan asam-basa dan kebutuhan
akan terapi.
o Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
tanda komplikasi yang berkembang (seperti
atelektasis atau bronkopneumonia)
o Memaksimalkan oksigen pada darah arteri
dan membantu dalam pencegahan hipoksia.
Jika pusat pernapasan tertekan mungkin
diperlukan ventilasi mekanik.
o Walaupun merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan peningkatan TIK fase akut
namun tindakan ini seringkali berguna pada
fase akut rehabilisasi untuk memobilisasi
dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan risiko atelektasis atau
komplikasi paru lainnya.
6. Gangguan integritas
kulit berhubungan
dengan kerusakan
jaringan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 1 x
24 jam diharapakan klien
dapat mempertahankan
integritas kulit dengan
kriteria hasil :
1. kulit klien tidak
menunjukkan kemerahan
atau iritasi.
2. Mengidentifikasi faktor
resiko individual
1. Inspeksi seluruh area kulit, catat
pengisian kapiler, adanya kemerahan,
pembengkakan.
2. Lakukan massase dan lubrikasi pada
kulit dengan losion/minyak
3. Hindari pakaian ketat
o Kulit biasanya cenderung rusak karena
perubahan sirkulasi perifer,
ketidakmampuan untuk merasakan tekanan.
o Meningkatkan sirkulasi dan melindungi
permukaan kulit, mengurangi terjadinya
ulserasi.
o Karena dapat menyebabkan area tertekan
o Untuk mencegah kerusakan kulit
3. Mengungkapkan
pemahaman tentang
kebutuhan tindakan.
4. Berpartisipasi pada
tingkat kemampuan
untuk mencegah
kerusakan kulit
5. Menunjukkan perilaku
peningkatan
penyembuhan.
4. Bersihkan dan bedaki permukaan kulit
beberapa kali per hari
5. Pisahkan permukaan kulit dengan kapas
halus
6. Gunakan penghilang tekanan atau
matras atau tempat tidur penurun
tekanan sesuai kebutuhan.
7. Beri salep seperti seng oksida
8. Hindari menggunakan tissue basah yang
dijual bebas yang mengandung alkohol.
o Untuk mencegah kerusakan kulit
o Untuk mencegah ulkus.
o Untuk melindungi kulit dari iritasi (tipe salep
dapat bervariasi untuk setiap klien dan
memerlukan periode percobaan.
o Karena akan menyebabkan rasa menyengat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kraniotomi adalah setiap operasi terhadap kranium. Kraniotomi mencakup operasi atau
pembukaan tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan dan serta untuk meningkatkan akses pada struktur
intrakranial.
Proses keperawatan sebagai kerangka kerja pada pasien kraniotomi meliputi
pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, evaluasi. Adapun Indikasi penggunaan
kraniotomi yaitu : Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker, mengurangi
tekanan intrakranial, mengevakuasi bekuan darah, mengontrol bekuan darah, dan pembenahan
organ-organ intrakranial.
Beberapa tujuan perawatan postoperasi pasien kraniotomi, yaitu diantaranya
menghindari komplikasi insisi kranial, menghilangkan nyeri akibat proses pembedahan,
mempertahankan fungsi fisiologis dan neorologik.
Kraniotomi atau sering lebih disebut sebagai bedah kranial merupakan salah satu
tindakan operasi untuk penanganan pengambilan jaringan abnormal (kanker, tumor dan lain
sejenisnya), memperbarui struktur anatomi atau fisiologis pada intrakranial. Pembedahan
dilakukan untuk menghilangkan gejala atau manifestasi tersebut yang tidak mungkin diatasi
dengan obat-obatan biasa. Selain itu hal yang perlu dilakukan sebelum dilakukannya bedah
kranial ini tentunya pelaksanaan pemeriksaan penunjang yaitu foto roentgen, angiografi serebral,
brain auditory evoked respons (BAER) CT-scan serta gas darah arteri, untuk mengetahui
masalah intrakranial perlu dilakukan pembedahan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. 3. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E., Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
Poppy Kumala dkk. 1996. Kamus Kedokteran Dorland. Copy editor, edisi Bahasa Indonesia;
Dyah Nuswantari. Ed.25. EGC: Jakarta