Askep Halusinasi
-
Upload
retnafadhilah -
Category
Documents
-
view
10 -
download
0
description
Transcript of Askep Halusinasi
KONSEP DASAR GANGGUAN JIWA BERAT
A. PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI
1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian Menurut Cook dan fontaine (1987), halusinasi adalah salah satu gejala gangguan
jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu pada indra peraba,penglihatan, pengecapan, penghiduan, dan pendengaran yang sebenarnya tidak ada.
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan (Depkes RI, 2000)
b. Teori yang menjelaskan halusinasi (stuart dan sundeen, 1995) Teori Biokimia
Terjadi sebagai respons metabolisme terhadap stres yang mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neuroik (buffofenon dan dimethytransferase)
Teori PsikoanalisisMerupakan respons pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.
c. Jenis Halusinasi dan data penunjangnya
Jenis halusinasi
Data objektif Data subjektif
Halusinasi dengar
- Bicara atau tertawa sendiri
- Marah-marah tanpa sebab
- Menyedengkan telinga kearahtertentu
- Menutup telinga
- Mendengar suara atau kegaduhan- Mendengar suara yang bercakap-
cakap- Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya
Halusinasi Penglihatan
- Menunjuk-nunjuk kearah tertentu
- Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
- Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartoon, melihat hantu atau monster
Halusinasi penghidu
- Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
- Menutup hidung
- Membaui bau-bauan sperti bau darah, urin, feces, kadang-kadang bau itu menyenangkan
Halusinasi pengecapan
- Sering meludah- Muntah
- Merasakan rasa seprti darah, urin atau feces
HalusinasiPerabaan
- Menggaruk-garuk permukaan kulit
- Mengatakan ada serangga dipermukaan kulit
- Merasa seperti tersengat listrik
Halusinasi kinestetik
- Memegang kainya yang diangganya bergerak sendiri
- Mengatakan badannya melayang diudara
Halusinasi Viseral
- Memegang badannya yang dianggapnya berubah bentuk dan tidak normal seperti biasanya
- Mengatakan perutnya menjadi mengecil setelah minum softdrink
Sumber : (Stuart dan Sundeen, 1998)
d. Faktor PredisposisiFaktor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Factor predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetic. (Fitria, 2009)1. Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.2. Faktor sosiokultural
Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang membesarkannya.3. Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytrenferase 4. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada ketidakmampuanklien dalam mengambil keputusan demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.5. Faktor genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
e. Faktor PresipitasiFaktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya, adanya
rangsangan dari lingkungan seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek yang adadi lingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi bisa menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubh mengeluarkan zat halusinogeik
f. perilaku Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, penasaran, tidak
aman, gelisah, bingung, dan lainnya.Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :1. Dimensi fisik
Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan.3. Dimensi intelektual
Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang menekan merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien.4. Dimensi sosial
Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahyakan. Klien asyik dengan halusinasinya seolah merupakan temapat memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di dapatkan di dunia nyata.5. Dimensi spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.
g. Sumber KopingSumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang.sumber koping individu bisa didapatkan dari lingkungan sekitarnya dan dijadikan modal untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi strategi kopng yang efektif dan positif.
h. Mekanisme KopingMekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan melindungi diri. Mekanisme koping menurut Yosep, 2009 meliputi cerita dengan orang lain (asertif), diam (represi/supresi), menyalahkan orang lain (sublimasi), mengamuk (displacement), mengalihkan kegiatan yang bermanfaat (konversi), memberikan alasan yang logis (rasionalisme), mundur ke tahap perkembangan
sebelumnya (regresi), dialihkan ke objek lain, memarahi tanaman atau binatang (proyeksi).
i. Tahapan Halusinasi Tahap 1 (non –psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum, pada tahap ini, halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.Karakteristik:a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutanb. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasanc. Pikiran dan pengalaman sensorik masih dalam kontrol kesadaran
Perilaku yang muncul:
a. Tersenyum dan tertawa sendiri,b. Menggerakkan bibir tanpa suarac. Pergerakan ata yang cepatd. Respons verbal lambat, diam, konsentrasi
Tahap 2 (non- pikotik)Pada tahap ini, biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipati.Karakteristik:a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkanb. Mulai merasa kehilangan kontrolc. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul:
a. Peningkatan tanda- tanda vitalb. Perhatian terhadap lingkungan menurunc. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurund. Sulit membedakan halusinasi dan realita
Tahap 3 (psikotik)Pada tahap ini, klien biasanya tidak dapat mengontrol diri sendiri, kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak.Karakteristik:a. Klien menyerah dan meerima pengalaman sensorinyab. Isi halusinasi menjadi atraktifc. Klien kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul:
a. Klien menuruti keinginan halusinasib. Sulit berhubungan dengan orang lainc. Perhatian terhadap lingkungan sedikit
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyatae. Klien tampak tremor dan berkeringat
Tahap 4 (psikotik)Pada tahap ini, klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panikPerilaku yang muncul:a. Risiko tinggi mencederai b. Agitasi/ katatonc. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
2. Pohon Masalah
Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan
Core Problem Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
Causa Isolasi Sosial
Harga Diri Rendah Kronis
3. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
Risiko tinggi perilaku kekerasan Perubahan persepsi sensori : halusinasi Isolasi sosial Harga diri rendah kronis
4. Data Yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data yang Perlu DikajiPerubahan Persepsi senori : Halusinasi a. Data Subjektif
- Klien mengatakan mendengar sesuatu
- Klien mengatakan melihat bayangan putih
- Klien mengatakan merasakan dirinya seperti tersengat listrik
- Klien mengatakan mencium bau tidak sedap
- Klien mengatakan kepalanya melayang di udara
- Klien mengatakan merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya
b. Data Objektif- Klien terlihat berbicara atau tertawa
sendiri saat diuji- Bersikap seperti mendengarkan
sesuatu- Berhenti tiba- tiba ditengah kalimat
seolah- olah mendengarkan sesuatu- Disorientasi- Konsentrasi rendah- Pikiran cepat berubah- Kacau dalam alur pikiran
5. Rencana Tindakan Keperawatana. Rencana tindakan untuk klien
- Tujuan Tindakan pada klien Klien bisa mengenali halusinasinya Klien bisa mengontrol halusinasinya Klien mengikuti proses pengobatan secara optimal
- Tindakan Keperawatan Membantu klien mengenali halusinasi
Perawat dapat berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasinya, frekuensi, situasi yang menyebabkan halusinasi , dan perasaan klien saat halusinasi muncul
Membantu Klien mengontrol halusinasiPerawat bisa mengajarkan klien 4 cara mengontrol halusinasi yaitu menghardik halusinasi, berbicara dengan orang lain, melakukan akivitas yang terjadwal dan konsumsi obat secara teratur.
b. Rencana Tindakan Untuk keluarga- Tujuan tindakan pada keluarga
Keluarga dapat merawat klien dirumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif bagi klien
- Tindakan KeperawatanPendidikan kesehatan pada keluarga yang dilakukan dalam tiga tahap yaitu
tahap pertama menjelaskan tentang masalah yang dialami klien dan pentingnya peran keluarga dalam perawatan klien, tahap kedua dengan melatih keluarga untuk mendukung klien dan tahap ketiga yaitu melatih keluarga merawat klien secara langsung.
Informasi yang perlu disampaikan pada keluarga yaitu pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami klien tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat klien (cara komunikasi, pemberian obat, pemberian aktivitas kepada klien), serta akses pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.
B. PERILAKU KEKERASAN1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian Perilaku Kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sudeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam Harnawati, 1993).
Setiap aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan Sundeen, 1998).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan, termasuk orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik (Ketner et al., 1995).
b. Tanda dan Gejala Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, dan ketus. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.
Sosial : menarik diri, pegasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sandaran. Perhatian : bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.
2. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
Keterangan:
Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.
Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami.
Agresif : memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain.
Kekerasan : sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman-ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah melukai/ merusak secara serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri.
3. Faktor PredisposisiMenurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut: Teori Biologik . Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorag melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut:a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townstein (1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norefineprin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal (narapidana).
d. Gangguan otak sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsy (epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Teori Psikologika. Teori psikoanalitik , menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberi arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresifdan tindakan kekeasanmerupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan,
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perlaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik
c. Teori Sosiokultural , kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
4. Faktor Presipitasi Faktor Internal: Semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya
percaya diri, rasa taku sakit, hilang kontrol, dll. Eksternal: Penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dll.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sbb:
Kesulitan kondisi sosial ekonomi Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosialm seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
5. Mekanisme KopingPerawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila hal ini tidak tidak diatasi, maka memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak terhadap keselamatan dirinya dan orang lain (resikko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan).Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping klg tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif).
6. PENGKAJIANData yang perlu dikaji :
Diagnosa keperawatan Data yang perlu dikaji
Perilaku kekerasan Subjektif1. Klien mengancam2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor3. Klien mengatakan dendam dan jengkel4. Klien mengatakan ingin berkelahi5. Klien menyalahkan dan menuntut6. Klien meremehkan
Objektif1. Mata melotot/pandangan tajam2. Tangan mengepal3. Rahang mengatup4. Wajah memerah dan tegang5. Postur tubuh kaku6. Suara keras
7. Rencana TindakanNo.
Diagnosis Tujuan PerencanaanKriteria Evaluasi Intervensi
1. Perilaku kekerasan
Pasien mampu:- mengidentifikas
i penyebab dan tanda perilaku kekerasan
- menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukan
- menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan
- menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
- mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, sosial/verbal, spiritual, dan
Setelah...pertemuan pasien mampu:
- menyebutkan penyebab, tanda, gejala, dan akibat perilaku kekerasan
- memperagakan cara fisik 1 untuk mengontrol perilaku kekerasan
SP 1:- identifikasi penyebab,
tanda, dan gejala serta akiat perilaku kekerasan
- Latih cara fisik 1: tarik napas dalam
- Masukkan dalam jadwal harian pasien
terapi psikofarmaka
Setelah...pertemuan pasien mampu:
- menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- memperagakan cara fisik untuk mengontrol perilaku kekerasan
SP 2:- evaluasi kegiatan yang
lalu (SP1)- Latih Cara fisik 2 :
pukul kasur/bantal- Masukkan dalam
jadwal harian pasien
Setelah...pertemuan pasien mampu:
- menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- mempergakan cara sosial/verbal untuk mengontrol perilaku kekerasan
SP 3:- evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1 dan SP 2)- Latih secara
sosial/verbal: menolak dengan baik meminta dengan baik mengungkapkan
dengan baik- Masukkan dalam
jadwal harian pasienSetelah...pertemuan pasien mampu:
- menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- memperagakan cara spiritual
SP 4:- evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1, 2, 3)- Latih secara spiritual: Berdoa Shalat- Masukkan dalam
jadwal harian pasien
Setelah...pertemuan pasien mampu:
- menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- mempergakan cara patuh obat
SP 5:- evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1, 2, 3,4)- Latih patuh obat: minum obat secara
teratur susun jadwal minum
obat secara teratur- Masukkan dalam
jadwal harian pasienKeluarga mampu:merawat pasien di rumah
Setelah...pertemuan keluarga mampu:
- menjelaskan penyebab, tanda dan gejala, akibat, serta mampu memperagakan cara merawat
SP 1:- Identifikasi masalah
yang dirasakan klg dalam merawat pasien
jelaskan tentang PK: penyebab, , akibat, cara merawat
latih 2 cara merawat- susun RTL
keluarga/jadwal untuk merawat pasien
Setelah...pertemuan keluarga mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu merawat serta dapat membuat RTL
SP 2:- Evaluasi SP 1- Latih (simulasi) 2 cara
lain intuk merawat pasien
- latih langsung ke pasien
- susun RTL keluarga/jadwal klg untuk merawat pasien
Setelah...pertemuan keluarga mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu merawat serta dapat membuat RTL
SP 3:- Evaluasi SP 1 dan 2- latih langsung ke
pasien- susun RTL
keluarga/jadwal klg untuk merawat pasien
Setelah...pertemuan keluarga mampu melaksanakan follow up dan rujukan serta mampu menyebutkan kegiata yang sudah dilakukan
SP 4:- Evaluasi SP 1,2, 3- latih langsung ke
pasien- susun RTL keluarga follow up dan rujukan
C. Perubahan Pola Pikir : Waham1. Proses Terjadinya Masalah
a. PengertianWaham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000). Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi secara akurat (Keliat, 1999).
b. Tanda dan GejalaTanda dan gejala pada klien yang mengalami perubahan proses pikir : waham adalah sebagai berikut : Menolak makan Tidak ada perhatian pada perawatan diri Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan Gerakan tidak terkontrol Mudah tersinggung
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan Menghindar dari orang lain Mendominasi pembicaraan Berbicara kasar Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan
2. Rentang Respons
Respon Adaptif Respons Maladaptif
Rentang respons perubahan proses pikir waham.Sumber: Keliat (1999, dalam Fitria 2012)
3. Faktor Predisposisia. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
b. Faktor Sosial dan Budaya Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham. Waham juga bisa muncul karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti/dicintai.
c. Faktor Psikologis Hubungan tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan. Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
d. Faktor Biologis Waham diyakinii terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik. Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya juga diduga menjadi penyebab waham pada seseorang.
4. Macam-Macam Wahama. Waham Agama
Pikiran logis Persepsi kuat Emosi konsisten dengan
pengalaman Perilaku sesuai Hubungan sosial harmonis
Kadang proses pikir terganggu
Ilusi Emosi berlebihan Berperilaku yang tidak
biasa Menarik diri
Gangguan isi pikir halusinasi
Perubahan proses emosi Perilaku tidak terorganisasi Isolasi sosial
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.Contoh :Klien mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan yang dapat mengendalikan alam semesta.
b. Waham Kebesaran Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.Contoh:“Saya ini pemilik tambang batu bara di Kalimantan!”“Saya ini artis papan atas loh”
c. Waham curiga Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.Contoh:“Kalian pasti ingin menjahati saya karena saya kaya.”
d. Waham Somatik Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.Contoh:Klien mengatakan bahwa hidungnya tersumbat tetapi saat diperiksa tidak ada apa-apa dan saluran pernapasannya lancar.
5. Pohon MasalahResiko tinggi perilaku kekerasan
Perubahan sensori waham
Isolasi sosial; Menarik diri
Harga diri rendah kronis6. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Resiko tinggi perilaku kekerasanb. Perubahan proses pikir: wahamc. Isolasi sosiald. Harga diri rendah
7. Data yang Perlu DikajiMasalah Keperawatan Data yang Perlu DikajiPerubahan proses pikir :
waham kebesaranSubjektif:1. Klien mengatakan bahwa klien adalah orang
yang paling hebat.2. Klien mengatakan bahwa ia memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus.Objektif:1. Klien terus berbicara tentang kemampuan
yang dimilikinya.2. Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.3. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan.
8. Diagnosis KeperawatanPerubahan Proses Pikir : Waham Kebesaran
9. Rencana Tindakan Keperawatana. Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
Membantu orientasi realitas. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Membantu klien memenuhi kebutuhannya. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
b. Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki. Melatih kemampuan yang dimiliki.
c. Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
D. Isolasi Sosial1. Proses Terjadinya Masalah
a. PengertianIsolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa bahwaia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).b. Tanda dan Gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien sering ditemukan pada isolasi sosial: - Kurang spontan, - Apatis (acuh terhadap lingkungan), - Ekspresi wajah tidak berseri, - Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri, - Tidak ada atau kurang komunikasi verbal, - Mengisolasi diri, - Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya, - Asupan makanan dan minuman terganggu,- Retensi urine dan feses,- Aktivitas menurun, - Kurang energi (tenaga),- Rendah diri - Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khusus pada posisi tubuh).
-2. Rentang Respon
Bagan rentang respon pada pasien dengan isolasi sosial dapat dilihat pada skema dibawah ini:
Respon Adaptif Respon Maladaptif
MenyendiriOtonomi
BekerjasamaInterdependen
Merasa sendiriDependensi
Curiga
Menarik diriKetergantungan
ManipulasiCuriga
a. Respon AdaptifRespon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Menurut Fitria (2009, hlm. 32) yang termasuk respon adaptif adalah sebagai berikut:- Menyendiri, merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi dilingkungan sosialnya.- Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dab menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan social- Bekerja sama, merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan orang
lain.- Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.b. Respon Maladaptif
Respon yang diberikan individu menyimpang dari norma sosial. Yang termasuk kedalam rentang respon maladaptif adalah sebagai berikut:- Menarik Diri : Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.- Ketergantungan : Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.- Manipulasi : Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat menerima hubungan sosial secara mendalam.- Curiga : Seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
3. Faktor PredisposisiMenurut Fitria (2009, hlm. 33-35) ada empat faktor predisposisi yang
menyebabkan Isolasi Sosial, diantaranya: - Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tuga perkembangan yang harus terpenuhi agar tidka terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinyaa akan dapat menimbulkan masalah.Dibawah ini akan dijelaskan tahap perkembangan serta tugas perkembangan :
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya.Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiriMasa Prasekolah Belajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung jawab,
dan hati nuraniMasa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromiMasa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
kelaminMasa Dewasa Muda
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai
anakMasa Tengah Baya Belajar menerima hasilkehidupan yang sudah dilaluiMasa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
perasaan keterkaitan dengan budayaTabel Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal (Erik Erikson dalam Stuart, 2007, hlm. 346).
- Faktor Sosial BudayaIsolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga di mana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, penyakit kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
- Faktor BiologisFaktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel sel dalam limbik dan daerah kortikal.
- Faktor Komunikasi dan KeluargaGangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk dalam masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
4. FAKTOR PRESIPITASIMenurut Stuart (2007, hlm. 280) faktor presipitasi atau stresor pencetus pada
umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres seperti kehilangan, yang memenuhi kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu sebagai berikut:- Stresor Sosiokultural. Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit
keluarga dan berpisah dari orang yang berarti.- Stresor Psikologi. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan.Faktor presipitasi terjadinya Isolasi Sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: - Faktor Eksternal : Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stres yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya yang antara lain adalah keluarga.- Faktor Internal : Contohnya adalah stresor psikologik yaitu stres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan ketergantungan individu.
5. PENATALAKSANAAN MEDISa. Metode Biologik
Metode biologik yang digunakan pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:Terapi Psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain skizofrenia dapat diobati (Hawari,2006, hlm. 96). Obat antipsikotik terpilih untuk skizofrenia terbagi dalam dua golongan (Hawari, 2006, hlm. 97-99) yaitu antipsikotik tipikal (Klorpromazim, Trifluferazin, Haloperidol) dan antipsikotik atipikal (Klozapin, Risperidon). Antipsikotik golongan tipikal tersebut bekerja dengan memblokir reseptor dopamin terpilih, baik diarea striatal maupun limbik di otak dan antipsikoti atipikal menghasilkan reseptor dopamin dan serotonin selektif yang menghambat sistem limbik. Memberikan efek antipsikotik (gejala positif) dan mengurangi gejala negatif.
Menurut Doenges (2007, hlm.253) prosedur diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fungsi otak pada penderita gangguan jiwa adalah sebagai berikut:- Coputerized Tomografi (CT Scan) : Induvidu dengan gejala negatif seringkali
menunjukkan abnormalitas struktur otak dalam sebuah hasil CT scan. (Townsend, 2003, hlm. 318)
- Magnetik Resonance Imaging (MRI) : Mengukur anatomi dan status biokimia dari berbagai segmen otak.
- Positron Emission Tomography : Mengukur fungsi otak secara spesifik seperti metabolisme glukosa, aliran darah terutama yang terkait dengan psikiatri.
- Elektroconvulsif Therapy (ECT) : Digunakan untuk pasien yang mengalami depresi. Pengobatan dengan ECT dilakukan 2 sampai 3 kali per minggu dengan total 6 sampai 12 kali pengobatan. (Townsend, 2003, hlm.316).
b. Metode PsikososialMenurut Hawari (2006, hlm. 105-111) ada beberapa terapi untuk pasien
skizofrenia, diantaranya adalah sebagai berikut: Psikoterapi
Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. (Hawari, 2006, hlm. 105)
Terapi Psikososial Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. (Hawari, 2006, hlm. 108-109)
c. Terapi PsikoreligiusTerapi keagamaan terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat.
Diantaranya yaitu gejala-gejala klinis gangguan jiwa lebih cepat hilang, lamanya perawatan lebih pendek, hendaya lebih cepat teratasi, dan lebih cepat dalam beradaptasi dengan lingkungan. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, shalat, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2006, hlm. 110-111)
6. PengkajianPengkajian merupakan tahap awal dari dasar utama dari proses keperawatan, tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. (Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien. (Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Menurut Keliat (2010, hlm.93) untuk melakukan pengkajian pada pasien dengan isolasi sosial dapat menggunakan teknik wawancara dan observasi.a. Pengkajian yang ditemukan pada teknik wawancara adalah sebagai berikut:
Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain. Pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk
sendirian. Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain. Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain. Pasien merasa tidak aman dengan orang lain. Pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup. Pasien mengatakan merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b. Pengkajian yang ditemukan dari hasil observasi adalah sebagai berikut: Ekspresi wajah kurang berseri Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri Mengisolasi diri Tidak ada/kurang kontak mata Aktivitas menurun Asupan makanan dan minuman terganggu Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan. Tampak sedih, afek tumpul
7. Diagnosa keperawatana. Diagnosa utama : Isolasi sosialb. Diagnosa lain yang menyertai diagnosa isolasi sosial menurut Keliat, 2006, hlm. 20
adalah sebagi berikut: Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri Gangguan konsep diri: harga diri rendah Ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupetik Defisit perawatan diri Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat pasien
dirumah. Gangguan pemeliharaan kesehatan
c. Tujuan KeperawatanTujuan
Pasien mampu :1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya2. Pasien dapat menyadari penyebab interaksi sosial3. Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.4. Pasien menunjukkan keterlibatan sosialKeluarga mampu :Merawat pasien di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien
E. Risiko Bunuh DIri
1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),
bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
Bunuh diri dilakukan dengan intensi
Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
b. Tanda dan gejala :
Sedih
Marah
Putus asa
Tidak berdaya
Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal
c. Penyebab
Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah. Terbagi
menjadi:
Faktor genetik (berdasarkan penelitian):
1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang
menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan
mood/depresi/ yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.
Faktor Biologis lain:
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
Stroke
Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
DiabetesPenyakit arteri koronaria
Kanker
HIV / AIDS
Faktor Psikososial & Lingkungan:
Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan
objek berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan
terakhir depresi.
Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang
berkembang, memandang rendah diri sendiri
Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya
sistem pendukung sosial
d. Akibat
Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :
Keputusasaan
Menyalahkan diri sendiri
Perasaan gagal dan tidak berharga
Perasaan tertekan
Insomnia yang menetap
Penurunan berat badan
Berbicara lamban, keletihan
Menarik diri dari lingkungan social
Pikiran dan rencana bunuh diri
Percobaan atau ancaman verbal
2. POHON MASALAH
Resiko bunuh diri
Harga diri rendah
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
a. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri
Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria
Usia: lebih tua, masalah semakin banyak
Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri merupakan
masalah.
Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan bunuh diri /
penyalahgunaan zat.
Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang dicintai,
pengangguran, mendapat malu di lingkungan social.
Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup diri.
Lain – lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih beresiko mengalami
perilaku bunuh diri.
b. Masalah keperawatan
Resiko Perilaku bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.
Koping maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan.
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Diagnosa 1 : Resiko bunuh diri
b. Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
c. Tujuan khusus :
Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
Perkenalkan diri dengan klien
Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.
Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.
Bersifat hangat dan bersahabat.
Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.
Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
Tindakan :
Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau,
silet, gunting, tali, kaca, dan lain lain).
Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh
perawat.
Awasi klien secara ketat setiap saat.
Klien dapat mengekspresikan perasaannya
Tindakan:
Dengarkan keluhan yang dirasakan.
Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan
dan keputusasaan.
Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapannya.
Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,
kematian, dan lain lain.
Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan
keinginan untuk hidup.
Klien dapat meningkatkan harga diri
Tindakan:
Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.
Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan antar
sesama, keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).
Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
Tindakan:
Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang
menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku
favorit, menulis surat dll.)
Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan
pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan.
Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang
mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut
dengan koping yang efektif
a. Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: harga diri rendah
b. Tujuan umum : Klien tidak melakukan kekerasan
c. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Tindakan:
2.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.2 Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
2.3 Utamakan pemberian pujian yang realitas
3. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri sendiri dan
keluarga
Tindakan:
3.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.2 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai kemampuan yang
dimiliki
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan.
4.2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
4.3. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
5.1. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
6.2 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
6.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
6.4 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
1. Diagnosa 3 : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Tujuan umum :
- Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Tujuan khusus :
- Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya
- Pasien mampu meningkatkan harga dirinya
- Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang baik
4. Tindakan :
- Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
- Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
o Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
o Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang positif
o Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
o Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
o Merencanakan yang dapat pasien lakukan
- Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
o Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara penyelesian
masalah
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik
5. RENCANA TINDAKAN KPERAWATAN
a. Ancaman atau percobaan bunuh diri
1. Intervensi pada pasien
a) Tujuan keperawatan
Pasien tetap aman dan selamat.
b) Tindakan keperawatan
Melindubgi pasien dengan cara:
Temani pasien terus-menerus sampai pasein dapat dipindahkan ke tempat yang
aman
Jauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet, gelas, dan tali
pinggang)
Periksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya jika pasien
mendapatkan obatnya.
Dengan lembut, jelaskan pada pasien bahwa anda akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
F. Harga Diri Rendah Kronis1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang engatif dan dapat
secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998) Penialian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung (Schult dan Videbeck, 1998) Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998)b. Tanda dan Gejala
- Mengkritik diri sendiri- Perasaan tidak mampu- Pandangan hidup yang pesimistis- Tidak menerima pujian- Penurunan produktivitas- Penolakan terhadap kemampuan diri- Kurang memperhatikan perawatan diri- Berpakaian tidak rapi- Selera makan berkurang- Tidak berani menatap lawan bicara- Lebih banyak menunduk- Bicara lambat dengan nada suara lemah
2. Faktor Predisposisi
Penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berualng kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideaql diri yang tidak realistis.
3. Faktor Presipitasi
Hilangnya anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh,mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas.
4. HDR Situasional
Trauma yang muncul secara tiba2 seperti operasi, mengalami kecelakaan, korban pemerkosaan, menjadi narapidana, dirawat di rumah sakit, pemasangan alat bantu, harapan yang tidak sesuai dengan struktur, fungsi, dan bentuk tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dajn keluarga.
5. HDR Kronik
Biasanya berlangsung sejak lama, sebelum sakit atau dirawat di rumah sakit. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan meningkat saat dirawat.
6. Pohon Masalah
Koping individu tidak efektif ( Causa)
Harga diri rendah kronik ( Care Problem)
Isolasi sosial
Perubahan persepsi sensori . Halusinasi (Effect)
Risiko Tinggi Perilaku kekerasan
7. Data yang perlu dikaji
Masalah Keperawatan Data yang perlu dikajiHarga diri Rendah Kronis Subjektif
- Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna
- Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
- Mengungkapkan dirinya tidak semangat
untuk beraktivitas atau bekerja- Mengungkapkan dirinya malas
melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan, atau toileting).
Objektif- Mengkritik diri sendiri- Perasaan tidak mampu- Pandangangan hidup yang pesimistis- Tidak menerima pujian- Penurunan produktivitas- Penolakan terhadap kemampuan diri- Kurang memperhatikan perawatan diri- Berpakaian tidak rapi- Berkurang selera makan- Tidak berani menatap lawan bicara- Lebih banyak menunduk- Bicara lambat dengn nada bicara lemah
8. Rencana tindakan keperawatan1. Tindakan keperawatan pada klien
a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimilikib. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakanc. Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai kemampuand. Klien mampu melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai kemampuannyae. Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
2. Tindakan keperawatan pada keluargaa. Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klienb. Keluarga memfasilitasi aktivitas klien yang sesuai kemampuanc. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan latihan yang
dilakukand. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan klien
G. Defisit Perawatan Diri1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000).
b. Tanda dan Gejala :
Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor,
kulit berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakain kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien
laki-laki bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan.
Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makana tidak pada tempatnya
Ketidakmampuan eliminasi sevara mandiri, ditandai dengan buang air
besar atau buang air kecil tidak pada tempatnya, dan tidak
membersihakan diri dengan baik setelah BAB/BAK
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah:
a) Fisik
Badan bau, pakaian kotor.
Rambut dan kulit kotor.
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau
Penampilan tidak rapi
b) Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif.
Menarik diri, isolasi diri.
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
Interaksi kurang
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
Cara makan tidak teratur
BAK dan BAB di sembarang tempat
2. Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri adalah
sebagai berikut : kelelahan fisik dan penurunan kesadaran.
3. Pohon masalah
4. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
a) Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Data subyektif
a. Klien mengatakan saya tidak mampu mandi, tidak bisa melakukan apa-apa,
Data obyektif
a. Klien terlihat lebih kurang memperhatikan kebersihan, halitosis, badan bau,
kulit kotor
b) Isolasi Sosial
Data subyektif
a. Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
Data obyektif
b. Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi
Defisit perawatan diri
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Kebersihan diri tidak adekuat (BAB/BAK, Makan minum dan
Isolasi sosial
sedih, Komunikasi verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat
tidur, Menolak berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
c) Defisit Perawatan Diri
Data subyektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Merasa tidak berdaya.
Data obyektif
a. Rambut kotor, acak – acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau.
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawat
5. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
b. Isolasi Sosial
c. Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK
6. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1 : Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Tujuan Umum : Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri
Tujuan Khusus :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Intervensi
a. Berikan salam setiap berinteraksi.
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
c. Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
d. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Buat kontrak interaksi yang jelas.
g. Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
h. Penuhi kebutuhan dasar klien.
TUK II : klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.
b. Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
c. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
d. Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien
terhadap hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
e. Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
f. Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti
kebersihan diri.
g. Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur),
keramas dan menyisir rambut, gunting kuku jika panjang.
TUK III : Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi
a. Motivasi klien untuk mandi.
b. Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk
mendemonstrasikan cara memelihara kebersihan diri yang benar.
c. Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d. Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e. Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f. Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri
seperti odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.
TUK IV : Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.
Intervensi
a. Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk
mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.
TUK V : Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.
Intervensi
a. Beri reinforcement positif jika berhasil melakukan kebersihan diri.
TUK VI : Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.
Intervensi
a. Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang tindakanyang telah dilakukan klien
selama di RS dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami di
RS.
c. Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan
yang telah dialami di RS.
d. Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga
kebersihan diri klien.
e. Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
f. Diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan
diri.
g. Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya:
mengingatkan pada waktu mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dan lain-lain.
Diagnosa 2 : Isolasi sosial
Tujuan Umum : klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi
Tujuan Khusus :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri,
jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan
dengan jelas tentang topik, tempat dan waktu.
b. Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
c. Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru,
tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.
TUK II : Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Intervensi
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
b. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
c. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi
A. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
B. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
TUK IV : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Intervensi
a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
TUK IV : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan
dengan orang lain
Intervensi
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan
orang lain
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain
Diagnosa 3 : Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK
Tujuan Umum :
Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus :
Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
Pasien mampu melakukan makan dengan baik
Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2) Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
Referensi
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis
Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 – 2006. Jakarta :
Prima Medika.
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan
Psikiatri. Edisi 3. Jakarta. EGC