Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri,...

76
Laporan Penelitian Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas Plasma dan Brain Relaxation score pada Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor Dear Mohtar Wirawijaya, Ruli Herman Sitanggang, Tatang Bisri ...................................................... 1–10 Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .............................................................................. 11–16 Laporan Kasus Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle Dhania Anindita Santosa, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ............................. 17–27 Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C Asia Wahyu S. Basuki, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ..................... 28–35 Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial Endah Permatasari, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro .................................................................. 36–43 Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral Fitri Sepviyanti Sumardi, Rose Mafiana, Eri Surahman ...................................................................... 44–53 Tinjauan Pustaka Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif Endah Permatasari, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ................... 54–61 Tata Kelola Edem Paru Neurogenik Riyadh Firdaus, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Tatang Bisri ................................................... 62–70 Daftar Isi

Transcript of Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri,...

Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

Laporan Penelitian

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas Plasma dan Brain Relaxation score pada Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan TumorDear Mohtar Wirawijaya, Ruli Herman Sitanggang, Tatang Bisri ...................................................... 1–10

Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan BeratCindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .............................................................................. 11–16

Laporan Kasus

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine AngleDhania Anindita Santosa, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ............................. 17–27

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C AsiaWahyu S. Basuki, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ..................... 28–35

Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial Endah Permatasari, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro .................................................................. 36–43

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan IntraserebralFitri Sepviyanti Sumardi, Rose Mafiana, Eri Surahman ...................................................................... 44–53

Tinjauan Pustaka

Manajemen Anestesi Stroke PerioperatifEndah Permatasari, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ................... 54–61

Tata Kelola Edem Paru NeurogenikRiyadh Firdaus, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Tatang Bisri ................................................... 62–70

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

1

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi

Pengangkatan Tumor

Dear Mohtar Wirawijaya, Ruli Herman Sitanggang, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Mannitol membuat relaksasi otak, namun memiliki efek samping berkurangnya volume intravaskuler, peningkatan kembali tekanan intrakranial (rebound) dan gagal ginjal. Penggunaan NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik dapat memberikan relaksasi otak yang baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peningkatan osmolaritas dan brain relaxation score (BRS) pada pasien yang menjalani kraniotomi pengangkatan tumor dengan menggunakan mannitol 20%, NaCl 3%, dan matrium laktat hipertonik.Subjek dan Metode: Penelitian merupakan uji klinik terkontrol secara acak terhadap 39 pasien tumor otak yang masing-masing mendapatkan 2,5cc/kgBB mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik. Hasil: Tidak ada perbedaan peningkatan osmolaritas yang signifikan antara ketiga kelompok 1 jam setelah pemberian osmoterapi dan saat durameter dibuka (p>0,05). BRS pada ketiga kelompok memiliki nilai median yang sama besar (2,00), artinya tidak ada perbedaan BRS yang bermakna (p>0,05). Terdapat peningkatan diuresis yang signifikan pada pemberian mannitol 20%, peningkatan klorida pada NaCl 3% dan peningkatan glukosa signifikan pada natrium laktat hipertonik. Simpulan: Mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama dan tidak mengakibatkan perbedaan osmolaritas yang signifikan.

Kata kunci: Brain relaxation score, kraniotomi, mannitol, NaCl 3%, natrium laktat hipertonik, osmolaritas

JNI 2018;7 (1): 1‒10

Comparison Between 20% Mannitol, 3% NaCl and Hypertonic Sodium Lactate on Osmolarity and Brain Relaxation Score Brain Tumor Patient underwent Craniotomy

Tumor Removal

Abstract

Background and Objective: Mannitol produce brain relaxation but associated with several side effects such as reduced intravascular volume, rebound in intracranial pressure and kidney failure. The use of 3% NaCl and hypertonic sodium lactate (HSL) may provide brain relaxation. Aim of this study is to examine increased osmolarity and brain relaxation score (BRS) in patient underwent craniotomy using 20% mannitol, 3% NaCl, and hypertonic sodium lactate. Subject and Method: This is a randomized control study of 39 brain tumor patients divided into three groups each obtained 2.5cc/kg 20% mannitol, 3% NaCl, and HSL. Result: there is no significant difference of osmolarity between the three groups 1 hour after administration of osmotherapy and during the opening of durameter (p>0,05). BRS between the three groups have an equivalent median score (2,00), it means no significant difference in BRS (p>0,05). A significantly increased diuresis in the administration of 20% mannitol, increased chloride to 3% NaCl and significant glucose increase in HSL. Conclusion: Administration of 20% mannitol, 3% NaCl and HSL produce the same brain relaxation and resulted in insignificant osmolarity differences.

Key words: Brain relaxation score, craniotomy, hypertonic sodium lactate, 20% mannitol, 3% NaCl, osmolarity

JNI 2018;7 (1): 1‒10

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

2 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Otak yang relaks saat pembedahan merupakan hal penting untuk memudahkan manipulasi bedah, meminimalisir kerusakan jaringan otak yang sehat saat operasi serta meningkatkan luaran neurologik pasien. Peningkatan tekanan intrakranial dapat mengakibatkan otak yang tegang intraoperatif. Penatalaksanaan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial dengan osmoterapi merupakan komponen penting dalam manajemen perioperatif dalam bedah saraf.1

Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka adalah intervensi yang dilakukan untuk membuat relaksasi otak pada operasi intrakranial. Osmolaritas merupakan penentu utama perpindahan air melalui sawar darah otak yang intak. Bila kita meningkatkan osmolaritas serum, jaringan otak normal akan mengalami dehidrasi sehingga volume otak dan tekanan intrakranial (TIK) akan menurun.1,2 Mannitol telah menjadi pilihan utama osmoterapi pada peningkatan TIK. Mannitol bekerja dengan membuat perbedaan tekanan osmotik, autoregulasi, viskositas darah menjadi lebih encer sehingga pengeluaran CO2 menjadi lebih baik, dan mengurangi volume cairan serebrospinal. Walaupun demikian, mannitol dapat berhubungan dengan efek samping yang berat, seperti berkurangnya volume intravaskular (hingga syok), peningkatan kembali TIK (rebound), hipokalemia, hemolisis, hiperosmolaritas dan gagal ginjal.l-4 Selain mannitol, NaCl 3% dapat menurunkan TIK dan meningkatkan tekanan perfusi serebral dengan efektifitas yang sama seperti mannitol.5,6 NaCl 3% memiliki keuntungan dibanding dengan mannitol pada pasien yang hipovolemik atau hipotensif, atau pada situasi lain seperti gagal ginjal, osmolaritas serum >320 mOsm/l. Efek ini didapatkan bukan hanya karena efek osmotiknya yang menurunkan cairan intraserebral namun memiliki komponen hemodinamik yang menguntungkan (seperti pada pasien cedera otak traumatik dengan syok), yaitu meningkatkan cairan ekstraseluler, curah jantung, dan tekanan arteri rerata yang akan meningkatkan aliran

darah serebral dan oksigenasi serebral. Efek samping penggunaan NaCl 3% diantaranya adalah peningkatan kembali TIK (rebound), hipokalemia, myelinolisis pontin sentral, kelebihan cairan akut, gagal ginjal, gagal jantung atau edema paru.2 Adanya anion klorida yang tidak dimetabolisme pada penggunaan NaCl hipertonik dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti penurunan strong ion difference (SID) dan meningkatkan derajat disosiasi air dan menimbulkan asidosis metabolik.7

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan penggunaan mannitol dan NaCl 3%. Kedua osmoterapi tersebut telah dibuktikan efektif untuk mengontrol TIK melalui mekanisme yang berbeda; dehidrasi osmotik interstitium serebral, penurunan viskositas darah, peningkatan sel darah merah, dan perbaikan mikrosirkulasi. Penelitian prospektif dengan randomisasi buta ganda di India dan Amerika terhadap pasien yang menjalani operasi kraniotomi elektif menunjukkan NaCl 3% memberikan efek relaksasi otak yang sama dibanding dengan mannitol dan mempunyai efek diuresis yang lebih sedikit.8, 9

Penggunaan cairan hipertonis lain untuk osmoterapi yang digunakan saat ini adalah atrium laktat hipertonik. Laktat dikenal sebagai kunci metabolit interseluler atau interorgan antara glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang dapat diproduksi dan digunakan oleh otak dalam kondisi patologis. Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa laktat dapat mencegah efek neurologis hipoglikemia, mengindikasikan bahwa laktat sistemik dapat dimetabolisme oleh otak. Sebuah data eksperimental pada hipokampus tikus yang mengalami reperfusi iskemia menunjukkan bahwa laktat merupakan substrat yang lebih baik dari glukosa. Natrium laktat hipertonik juga memberikan fungsi kognitif yang lebih baik secara signifikan pada tikus 10–15 hari setelah cedera otak traumatik dibandingkan dengan NaCl hipertonik.7, 8

Sebuah penelitian yang dilakukan di Makasar terhadap pasien yang menjalani kraniotomi pada tahun 2012 membandingkan efektivitas Na laktat hipertonik dan mannitol terhadap

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

3

relaksasi otak dan kadar glukosa. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Na laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama dibanding dengan mannitol namun dengan profil hemodinamik yang lebih stabil tetapi disertai peningkatan kadar glukosa yang signifikan.7

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh mannitol 20%, NaCl 3%, dan Na laktat hipertonik terhadap peningkatan osmolaritas plasma dan Brain Relaxation Score (BRS)pada pasien tumor otak yang menjalani operasi kraniotomi pengangkatan tumor. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan ketiga osmoterapi tersebut secara bersamaan untuk meningkatkan osmolaritas plasma dan pada operasi kraniotomi pengangkatan tumor.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian randomized controlled trial (RCT) dengan randomisasi permutasi blok mengenai peningkatan osmolaritas plasma dan BRS pada kraniotomi pengangkatan tumor. Subjek penelitian adalah pasien tumor otak yang menjalani kraniotomi pengangkatan tumor di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2017 sampai dengan Mei 2017. Kriteria inklusi subjek penelitian ini adalah pasien dengan tumor intrakranial yang menjalani operasi kranotomi pengangkatan tumor, status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) dalam kategori I dan II, usia pasien antara 18 sampai dengan 65 tahun, Glasgow Coma Scale >13, pasien tidak memiliki gangguan ginjal dan kardiovaskular sebelumnya. Subjek penelitian dieksklusi pada pasien dengan riwayat alergi terhadap obat–obatan yang digunakan dalam penelitian, riwayat operasi intrakranial sebelumnya, hiponatremia atau hipernatremia sebelumnya, dan riwayat penggunaan terapi hiperosmolar kurang dari 24 jam. Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah analitis kategorik numerik tidak berpasangan. Penentuan besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan statistik, dengan menetapkan taraf kepercayaan 95% dan kuasa uji (power test) 80%; dianggap bermakna bila nilai p<0,05. Perhitungan jumlah

sampel minimal untuk masing-masing kelompok adalah 13 orang. Total sampel untuk 3 kelompok adalah 39 orang. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan consecutive sampling, yaitu urutan datang pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria ekslusi serta besar sampel minimal. Alokasi subjek ke dalam perlakuan berdasarkan permutasi blok.

Subjek penelitian sebanyak 39 subjek dibagi menjadi 3 kelompok yang dilakukan secara acak menggunakan blok permutasi, yaitu kelompok A mendapatkan mannitol 20% dosis 2,5 mL/kgBB intravena terdiri atas 13 subjek, kelompok B mendapatkan NaCl 3% dosis 2,5 mL/kgBB intravena terdiri atas 13 subjek dan kelompok C mendapatkan natrium laktat hipertonik dosis 2,5 mL/kgBB intravena terdiri atas 13 subjek. Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dilakukan informed consent kepada pasien mengenai pembedahan dan penelitian yang akan dilaksanakan. Pasien yang sesuai kriteria dan telah menandatangani informed consent dijadikan sebagai subjek penelitian. Semua pasien yang ikut serta dalam penelitian ini diinfus dengan Ringerfundin 2 mL/kg/jam sebelum masuk ke kamar operasi. Setelah masuk ke kamar operasi, dipasang alat–alat untuk memantau tekanan darah non invasif, elektrokardiogram, saturasi oksigen, dan suhu. Pemasangan akses vena sentral dan jalur arteri dilakukan sesuai dengan indikasi. Preoksigenasi dilakukan selama 5 menit dengan oksigen 100% sebelum induksi dimulai. Induksi dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB, fentanil 3 mcg/kgBB, thiopental 5 mg/kgBB, dan rokuronium 1 mg/kgBB, setelah itu volatil isofluran/sevofluran dibuka 1 MAC. Intubasi dilakukan dengan laringoskopi direk. Setelah intubasi, dipasang monitor EtCO2 dan dilakukan pengambilan sampel darah untuk menghitung osmolaritas plasma. Dengan menggunakan 3 amplop, pasien akan mendapatkan salah satu dari osmoterapi yang diberikan setelah induksi dengan dosis 2,5 mL/kgBB dalam waktu 15–30 mnt. Rumatan anestesi diberikan dengan volatil isofluran atau sevofluran 1 MAC dengan O2 dan udara, ditambah dengan thiopental

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan

Tumor

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

4 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kontinu dengan dosis 1–3 mg/kgBB/jam serta rokuronium kontinu 10 mcg/kgBB/menit. Pemantauan hemodinamik dilakukan setiap 5 menit. Setelah induksi dilakukan pemasangan kateter urine untuk memantau diuresis dan balans cairan. Rumatan cairan diberikan 1,5 cc/kgBB/jam. Selama operasi EtCO2 dipertahankan 25–30 mmHg dan Saturasi O2 dipertahankan 98–99%. Tekanan arteri rerata dipertahankan 20% dari nilai dasar. Episode hipotensi (penurunan tekanan arteri rerata 20% dari nilai dasar atau sistolik < 90 mmHg) diterapi dengan 5–10 mg ephedrine. Relaksasi otak dilihat oleh operator yang telah dilakukan evaluasi tentang tatacara penilaian BRS agar terdapat penilaian yang sama terhadap BRS. Penilaian BRS dengan skala 4 poin, yaitu: 1=Relaks sempurna (parenkim otak tidak melekat pada duramater); 2=Cukup relaks (parenkim otak melekat pada duramater namun masih relaks); 3=Tegang (parenkim otak sedikit menonjol);

4=Cembung (parenkim otak menonjol ke luar duramater). Bila ketegangan otak mengganggu manipulasi surgikal diberikan furosemid 20 mg intravena atau ekstra manitol 20% sebanyak 0,25 g/kgBB sebagai rescue. Pengambilan darah untuk pemeriksaan osmolaritas plasma dilakukan sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah pemberian osmoterapi, dan saat duramater dibuka. Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus dan dianalisis secara statistika.

Karakteristik umum, peningkatan osmolaritas plasma, BRS dan hasil temuan lain dideskripsikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang menampilkan jumlah (n), rerata, standar deviasi (SD), dan persentase (%). Untuk data numerik nilai p diuji dengan One Way Anova apabila data terdistribusi normal dan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak terdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji

Tabel 1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Variabel

Kelompok

Nilai pMannitol 20%

N=13NaCl 3%

N=13Natrium Laktat

HipertonikN=13

Umur (th)Mean±Std 39,53±9,896 44,61±9,421 42,30±8,547 0, 389Jenis kelamin Laki-laki 2/13 1/13 2/13 0, 795 Perempuan 11/13 12/13 11/13Lokasi Tumor Supratentorial 12/13 12/13 11/13 0, 757 Infratentorial 1/13 1/13 2/13Diagnosis Klinis Astrositoma 1/13 0/13 0/13 0,628 Glioma 3/13 2/13 2/13 Meningioma 9/13 10/13 9/13Schwannoma 0/13 1/13 2/13Rerata MAP (mmHg) Mean±Std 84,75±3,453 83,94±4,849 86,82±4,177 0, 213

Keterangan: MAP, Mean arterial pressure; untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

5

Osmolaritas

Kelompok

Nilai pMannitol 20%

N=13NaCl 3%

N=13Natrium Laktat

HipertonikN=13

Sebelum pemberian Osmoterapi (mOsm/L) Mean±Std 291,27±4,332 288,86±3,828 290,01±4,894 0,3811 Jam setelah pemberian Osmoterapi (mOsm/L) Mean±Std 291,73±4,879 293,876±4,151 293,33±6,302 0,556Saat Duramater Dibuka (mOsm/L) Mean±Std 295,34±6,944 297,77±3,895 296,40±7,752 0,629

Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Tabel 2. Perbandingan Osmolaritas Plasma pada Ketiga Kelompok Osmoterapi

Variabel

KelompokMannitol 20%

N=13NaCl 3%

N=13Natrium Laktat

HipertonikN=13

Nilai p

Brain Relaxation scoreMedian 2,00 2,00 2,00 0,224Range (min-max)

1,00-3,00 1,00-3,00 1,00-4,00

Tabel 3. Perbandingan Brain Relaxation Score pada Ketiga Kelompok Osmoterapi

Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik

Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah dengan program Stastitical Product and Service Solutions (SPSS) versi 21.0 for Windows.

II. Hasil

Penelitian dilakukan terhadap 39 pasien tumor otak yang menjalani kraniotomi pengangkatan tumor di Central Operating Theatre (COT) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Hasil analisis statistik (Tabel 1) menunjukkan bahwa karakteristik umum subjek penelitian, yaitu usia, jenis kelamin, lokasi tumor, diagnosis klinis dan rerata Mean arterial

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan

Tumor

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

6 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pressure (MAP) pada ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). Pada ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistika antara

osmolaritas plasma sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah pemberian osmoterapi, dan saat durameter dibuka (p>0,05; Tabel 2). Penilaian BRS pada mannitol 20%, NaCl 3%, dan

Tabel 5. Perbandingan Nilai Glukosa Darah pada Ketiga Kelompok OsmoterapiGlukosa Darah (mg/dL) Kelompok

Mannitol 20%N=13

NaCl 3%N=13

Natrium Laktat HipertonikN=13

Nilai p

sebelum pemberian OsmoterapiMean±Std 106,69±25,965 109,23±22,023 109,46±21,838 0, 9451 jam setelah pemberian osmoterapiMean±Std 116,92±17,380 123,46±18,025 131,15±26,981 0,269Saat Duramater DibukaMean±Std 134,00±29,586 126,23±21,506 166,53±30,231 0,001**

Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternative uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Tabel 4. Perbandingan Nilai Klorida pada Ketiga Kelompok Osmoterapi

Klorida

Kelompok

Nilai pMannitol 20%

N=13NaCl 3%

N=13Natrium Laktat

HipertonikN=13

Sebelum pemberian Osmoterapi (meq/L)Mean±Std 103,00±4,082 104,92±3,303 102,69±3,351 0, 1791 Jam setelah pemberian Osmoterapi (meq/L)Mean±Std 103,07±4,071 107,69±3,923 102,53±3,799 0,003**Saat Duramater Dibuka (meq/L)Mean±Std 102,38±2,328 109,07±3,904 103.07±3,662 0,000**

Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

7

Natrium laktat hipertonik memiliki nilai median yang sama besar (2,00; Tabel 3), menggambarkan tidak adanya perbedaan BRS yang signifikan antara ketiga kelompok perlakuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai klorida dari ketiga kelompok osmoterapi pada 1 jam setelah pemberian osmoterapi dan saat duramater dibuka (p<0,05). Pada hasil uji statistika dari kelompok NaCl 3% terdapat peningkatan nilai klorida yang berbeda secara signifikan disbanding dengan kelompok mannitol 20% dan natrium laktat hipertonik (p<0,05; Tabel 4). Berdasarkan analisis statistika terdapat perbedaan peningkatan nilai glukosa darah yang bermakna pada saat duramater dibuka antara ketiga kelompok. Peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan terjadi saat duramater dibuka pada kelompok natrium laktat hipertonik (p<0,05; Tabel 5).

Hasil uji statistika pada perbandingan rerata urin terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok osmoterapi (p<0,05). Urin terbanyak didapatkan pada kelompok mannitol 20% dibanding dengan NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik dengan rata-rata sebesar 1984,61±393,374 cc, 788,46±173,390 cc dan 800,00±156,790 cc (p=0,000).

III. Pembahasan

Otak yang relaks untuk pembedah merupakan salah satu tujuan penting pada manajemen anestesi pada pasien yang menjalani kraniotomi. Otak yang relaks memudahkan manipulasi surgikal sehingga kerusakan jaringan otak sehat lebih sedikit dan luaran neurologi pasien lebih baik. Peningkatan tekanan intrakranial dapat mengakibatkan otak yang tegang intraoperatif. Penatalaksanaan medikal edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial dengan osmoterapi merupakan komponen penting dalam manajemen perioperatif dalam bedah saraf. Tujuan osmoterapi adalah untuk menjaga normovolemia atau sedikit hipervolemia dengan osmolaritas antara 300 dan 320 mOsm/L sehingga membutuhkan monitoring selama terapi.1-3

Pada penelitian ini dilakukan pemberian cairan hiperosmolar, yaitu mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik pada 39 pasien

yang menjalani operasi kraniotomi pengangkatan tumor elektif di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin. Hasil penelitian didapatkan osmolaritas plasma sebelum osmoterapi, 1 jam setelah pemberian osmoterapi, dan saat duramater dibuka tidak didapatkan perbedaan peningkatan osmolaritas yang signifikan antara kelompok mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 2007 membandingkan efek serebral mannitol 20% dan NaCl 3% membuktikan bahwa terjadi peningkatan osmolaritas plasma yang sama pada kedua kelompok dan tidak didapatkan perbedaan pada penurunan TIK antara kedua kelompok. Perbedaan osmolaritas yang tidak bermakna disebabkan oleh osmolaritas yang tidak berbeda secara signifikan antara mannitol, NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik, yaitu 1100 mOsm/L, 1026 mOsm/L, dan 1020 mOsm/L.8,10

Hal lain yang dinilai pada penelitian ini adalah Brain relaxation score (BRS). BRS adalah penilaian relaksasi otak yang dilakukan oleh pembedah segera setelah membuka duramater yang memiliki 4 skor, yaitu: 1 (Relaks sempurna yang ditandai dengan parenkim otak tidak melekat pada duramater), 2 (Cukup relaks yaitu parenkim otak melekat pada duramater namun masih relaks, 3 (Tegang atau parenkim otak sedikit menonjol) dan 4 (Cembung di mana parenkim otak menonjol ke luar duramater). Nilai BRS pada ketiga kelompok penelitian ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menggambarkan relaksasi otak yang baik dengan pemberian ketiga jenis osmoterapi tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang membandingkan mannitol 20% dan NaCL 3% serta penelitian yang membandingkan mannitol 20% dan natrium laktat hipertonik.2,11-13

Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2007 pada 40 pasien di Amerika Serikat yang menjalani operasi kraniotomi karena berbagai penyebab neurologis membandingkan penggunaan mannitol dan NaCl hipertonik terhadap relaksasi otak dan balans elektrolit. Penelitian tersebut menyatakan bahwa mannitol dan NaCl hipertonik memberikan efek yang sama terhadap relaksasi otak yang dinyatakan dengan

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan

Tumor

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

8 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

BRS.10 Penelitian yang dilakukan di Makassar terhadap 42 pasien dengan COT sedang pada tahun 2012 membandingkan efektivitas Na laktat dan Mannitol terhadap relaksasi otak dan kadar glukosa, menunjukkan bahwa natrium laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama dibanding dengan mannitol 20% namun dengan profil hemodinamik yang lebih stabil. Walaupun demikian, peningkatan kadar glukosa yang signifikan juga terjadi pada kelompok pasien yang diberikan natrium laktat hipertonik.7

Namun pada beberapa penelitian lain, mengungkapkan bahwa NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang lebih baik, yaitu pada penelitian di India tahun 2014 terhadap 114 pasien yang menjalani kraniotomi tumor supratentorial elektif menyatakan bahwa NaCl 3% hipertonik memberikan relaksasi otak yang lebih baik dibanding dengan mannitol yang diukur dengan BRS dan penelitian prospektif dengan randomisasi dan buta ganda (double blind) di Taiwan terhadap 106 pasien yang menjalani operasi kraniotomi elektif karena tumor otak supratentorial membandingkan efek mannitol dan NaCl 3% terhadap relaksasi otak menunjukkan hal yang sama.1,14 Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah subjek penelitian yang lebih sedikit pada penelitian ini. Pada penelitian di India, penelitian dilakukan pada 114 pasien yang menjalani operasi tumor otak supratentorial, begitu juga pada penelitian di Taiwan dimana jumlah sampel penelitian berjumlah 106 pasien.1,9

Pemberian NaCl 3% dapat mengakibatkan peningkatan nilai klorida. Tingginya klorida dalam darah dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik dan dapat berpengaruh terhadap luaran pasien. Pengukuran nilai klorida dilakukan pada penelitian ini yaitu sebelum dan 1 jam setelah pemberian osmoterapi serta saat duramater dibuka. Nilai klorida sebelum osmoterapi tidak ada perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p>0,05). Setelah 1 jam pemberian osmoterapi perbandingan antara nilai klorida pada kelompok mannitol 20%, NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik yaitu 103,07 ± 4,071, 107,69 ± 3,923, 102,53 ± 3,799 (p=0,003). Saat duramater dibuka pada kelompok mannitol 20%, NaCl 3% dan

natrium laktat hipertonik rerata nilai klorida yaitu 102,38 ± 2,328, 109,07 ± 3,904, 103,07 ± 3,662 (p=0,000). Hal ini menggambarkan terjadinya peningkatan klorida yang signifikan pada kelompok NaCl 3% yaitu 107,69 ± 3,923 (1 jam setelah pemberian osmoterapi), dan 109,07 ± 3,904 (saat duramater dibuka). Sebuah studi prospektif di Brazil tahun 2009 yang dilakukan selama 5 bulan mengevaluasi kejadian hiperkloremia pascaoperasi pada 393 pasien yang dilakukan operasi dan pada kelompok pasien dengan kadar klorida>114 meq/L memiliki insidensi asidosis metabolik yang lebih tinggi dan angka mortalitas yang lebih tinggi dengan p=0,001. Pada penelitian ini meskipun terdapat peningkatan nilai klorida yang signifikan pada kelompok NaCl 3% (109,07 ± 3,904) namun tidak mengakibatkan gangguan klinis yang bermakna. Peningkatan nilai klorida yang signifikan pada kelompok pemberian NaCl 3% disebabkan pada larutan ini terapat jumlah klorida yang tinggi yaitu Cl- 513 mEq/L.7,13,15

Pemberian natrium laktat hipertonik sebagai osmoterapi dapat memberikan efek samping peningkatan glukosa darah. Hal ini ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Perancis dan Makasar sebelumnya dimana terjadi peningkatan gula darah yang signifikan setelah pemberian natrium laktat hipertonik disbanding dengan kadar gula darah pada pemberian mannitol 20%. Hiperglikemia dipercaya dapat memperburuk luaran neurologis pasien, namun mekanisme tersebut belum jelas. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa penumpukan glukosa di sistem saraf pusat mengakibatkan substrat tambahan untuk memproduksi asam laktat saat periode iskemik dan peningkatan laktat intraseluler memiliki efek neurotoksik yang menyebabkan kematian neuron. Pada studi klinis, hiperglikemia yang berhubungan dengan penurunan luaran neurologis setelah cedera otak traumatik, stroke iskemia akut, dan perdarahan subarakhnoid adalah bila glukosa <200mg/dl. 8-10

Glukosa darah pada penelitian ini diukur sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah pemberian osmoterapi, dan saat duramater dibuka. Glukosa darah sebelum pemberian osmoterapi didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05). Glukosa darah setelah 1 jam pemberian osmoterapi kelompok mannitol

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

9

20% memiliki rata-rata sebesar 116,92 ± 17,380, kelompok NaCl 3% sebesar 123,46 ± 18,025 dan kelompok Natrium laktat hipertonik sebesar 131,15 ± 26,981 (p=0,269). Glukosa Darah saat durameter dibuka pada kelompok Mannitol 20%, NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik, yaitu 134,00 ± 29,586, 126,23 ± 21,506, dan 166,53 ± 30,231 (p=0,001). Peningkatan glukosa darah secara signifikan pada pemberian Natrium laktat hipertonik dengan nilai rerata 166,53±30,231 mg/dL yaitu saat duramater dibuka. Meskipun terjadi peningkatan, nilai glukosa pada pasien yang diberikan natrium laktat hipertonik masih di bawah 200 mg/dL. natrium laktat hipertonik adalah larutan natrium dan laktat yang didesain secara spesifik agar memiliki osmolaritas yang sama dengan mannitol 20%. Peningkatan nilai glukosa darah yang signifikan pada kelompok dengan pemberian natrium laktat hipertonik dikarenakan larutan ini mempunyai kandungan laktat 504.1 mmol/L. Laktat dikenal sebagai kunci metabolit interseluler atau interorgan antara glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang dapat diproduksi dan digunakan oleh otak dalam kondisi patologis. Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa laktat dapat mencegah efek neurologis hipoglikemia, mengindikasikan bahwa laktat sistemik dapat dimetabolisme oleh otak.9,16,17 Pada penelitian sebelumnya yang membandingkan pemberian mannitol 20% dan NaCl 3% ataupun natrium laktat hipertonik mengemukakan bahwa pada kelompok mannitol didapatkan diuresis yang lebih banyak.1, 9,18 Diuresis yang banyak dapat mengakibatkan hipovolemia durante operasi dan menyebabkan gangguan elektrolit pascaoperasi. Perbandingan urin antara kelompok Mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik dengan rata-rata sebesar 1984,61 ± 393,374 cc, 788,46 ± 173,390 cc dan 800,00 ± 156,790 cc (p=0,000). Urin terbanyak didapatkan pada kelompok mannitol 20%.

IV. Simpulan

Pemberian osmoterapi mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik dengan dosis 2,5mL/kgBB memberikan peningkatan osmolaritas plasma dan relaksasi otak yang sama. Pemilihan

osmoterapi dapat disesuaikan dengan keadaan klinis pasien karena efek samping yang berbeda pada setiap pemberian osmoterapi (hiperkloremia pada pemberian NaCl 3%, hiperglikemia pada pemberian natrium laktat hipertonik, dan diuresis yang banyak pada pemberian mannitol 20%). mannitol 20% masih merupakan pilihan pertama dari pemberian terapi osmoterapi karena efek samping yang lebih ringan disbanding dengan NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik.

Daftar Pustaka

1. Malik ZA, Mir SA, Naqash IA, Sofi KP, Wani AA. A prospective, randomized, double blind study to compare the effects of equiosmolar solutions of 3% hypertonic saline and 20% mannitol on reduction of brain bulk during elective craniotomy for supratentorial brain tumor resection. Anesth Essays Res. 2014;8(3):388–92.

2. Sankhyan N, Raju KNV, Sharma S, Gulati S. Management of raised intracranial pressure. Indian J Pediatr. 2010;77:1409–16.

3. Forster N, Engelhard K. Managing elevated intracranial pressure. Curr Opin Anaesthesiol. 2004;17:371–6.

4. Bisri T. Pengelolaan hipertensi intrakranial. Seri Buku Literasi Anestesiologi Dasar - Dasar Neuroanestesi. Edisi. Bandung: Saga; 2011; 60.

5. Bisri T. Pengelolaan hipertensi intrakranial. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care Cedera Otak Traumatik. Edisi. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012;187.

6. Torre-Healy A, Marko NF, Weil RJ. Hyperosmolar therapy for intracranial hypertension. Neurocrit Care. 2012;17:117–30.

7. Silva JM, Neves EF, Santana TC, Ferreira UP, Marti YN, Silva JMC. The importance of intraoperative hyperchloremia. Rev Bras

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan

Tumor

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

10 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Anestesiol. 2009;59(3):304–13.

8. Rozet I, Tontisirin N, Muangman S, Vavilala MS, Souter MJ, Lee LA, dkk. Effect of equiosmolar solutions of mannitol versus hypertonic saline on intraoperative brain relaxation and electrolyte balance. Anesth. 2007;107:697–704.

9. Raghava A, Bidkar PU, Prakash S, Hemavathy B. Comparison of equiosmolar concentrations of hypertonic saline and mannitol for intraoperative lax brain in patients undergoing craniotomy. Surg Neurol Int. 2015;6:73–9.

10. Rusa R, Zornow MH. Fluid management during craniotomy. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010; 147–52.

11. Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Griessenauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS, dkk. Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with meta-analysis. J Neurosurg. 2012;116:210–21.

12. Bisri T. Dasar - Dasar Neuroanestesi. Seri Buku Literasi Anestesiologi Dasar - Dasar Neuroanestesi. Edisi. Bandung: Saga; 2011;1–11.

13. Lu Q, Xu M, Zhou JX. Correlation of

measured and calculated serum osmolality during mannitol or hypertonic saline infusion in patients after craniotomy: a study protocol and statistical analysis plan for a randomized controlled trial. BMJ open. 2014;4;e004921.

14. Matsumoto M, Sakabe T. Intracranial pressure monitoring. Dalam: Cottrell JE, Patel P, penyunting. Cottrell and Patel's Neuroanesthesia. Edisi ke-6: Mosby Elsevier; 2017;74–9.

15. Sharma RM, Setlur R, Swamy MN. Evaluation of mannitol as an osmotherapeutic agent in traumatic brain injuries by measuring serum osmolality. MJAFI. 2011; 67:230–33.

16. Ichai C, Armando G, Orban J-C, Berthier F, Rami L, Samat-Long C, dkk. Sodium lactate versus mannitol in the treatment of intracranial hypertensive episodes in severe traumatic brain-injured patients. Intensive Care Med. 2008;35(3):471–9.

17. Ahmad MR, Hanna. Effect of equiosmolar solutions of hypertonic sodium lactate versus mannitol in craniectomy patients with moderate traumatic brain injury. Med J Indonesian. 2014;23(1):30–6.

18. Llorente G, Mejia MCNd. Mannitol versus hypertonic saline solution in neuroanaesthesia. Rev Colomb Anestesiol. 2015;43(Suppl 1):29–39.

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

11

Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera Otak Traumatik (COT) berhubungan dengan disfungsi gastrointestinal berupa perlambatan pengosongan lambung. Belum jelas adakah hubungan antara skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan derajat gangguan pengosongan lambung yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan volume residu gaster pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT. Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross-sectional ini dilakukan pada 42 pasien COT sedang dan berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dari bulan Desember 2016 hingga Juni 2017. Pengukuran volume residu gaster, skor GCS, dan tanda vital dilakukan tiap 6 jam selama 48 jam. Data hasil penelitian diuji dengan uji t tidak berpasangan, Chi Square, dan uji korelasi Pearson. Hasil: Hasil penelitian menyatakan bahwa rerata volume residu gaster pada kelompok COT sedang dan berat adalah 10,83 ± 8,15 ml dan 50,59 ± 18,23 ml (p 0,000). Korelasi antara skor GCS dan volume residu gaster menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dan sangat kuat (r=-0,745 hingga -,974;p=0,000).Simpulan: Volume residu gaster pada COT berat lebih banyak dari COT sedang dan terdapat hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.

Kata kunci: cedera otak traumatik sedang, cedera otak traumatik berat, glasgow coma scale, volume residu gaster

JNI 2018;7 (1): 11‒6

Correlation between Gastric Residual Volume and Glasgow Coma Scale (GCS) Score in Patient with Moderate and Severe Traumatic Brain Injury

Abstract

Background and Objective: Traumatic Brain Injury (TBI) is associated with gastrointestinal dysfunction in the form of delayed gastric emptying. It is not clear whether there is a relationship between Glasgow Coma Scale (GCS) score and the degree of gastric emptying that occurs. This study aimed to compare gastric residual volume in moderate and severe TBI patients and to examine the relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.Subject and Methods: This cross-sectional analytical observational study was conducted on 42 moderate and severe TBI patients who were admitted to Dr. Hasan Sadikin from December 2016 to June 2017. Measurement of gastric residual volume, GCS score, and vital signs were performed every 6 hours for 48 hours. The result data were tested with unpaired t-test, Chi Square, and Pearson correlation test. Results: The results showed that the mean gastric residual volume in moderate and severe TBI groups was 10.83 ± 8.15 ml and 50.59 ± 18.23 ml (p 0.000). The correlation between GCS and gastric residual volume showed a very strong negative correlation (r=-0,745 to -,974;p=0,000).Conclusion: Gastric residual volume in patient with severe TBI is more than gastric residual volume in moderate TBI and there was a relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.

Key words: moderate traumatic brain injury, severe traumatic brain injury, glasgow coma scale, gastric residual volume

JNI 2018;7 (1): 11‒6

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

12 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera otak traumatik (COT) berhubungan dengan disfungsi gastrointestinal berupa perlambatan pengosongan lambung dan peningkatan refluks yang mengakibatkan intoleransi pemberian nutrisi enteral.1-4 Pada 50% pasien dengan COT derajat berat terjadi intoleransi pemberian nutrisi enteral hingga 15 hari setelah kejadian.5 Mekanisme disfungsi gastrointestinal pada pasien dengan COT berhubungan dengan peningkatan katekolamin yang menurunkan aliran darah ke gaster sehingga mengakibatkan iskemi mukosa gastrointestinal, gangguan motilitas gastrointestinal, gangguan integritas barier usus akibat peningkatan permeabilitas gastrointestinal, dan perubahan mukosa intestinal yang mengakibatkan penurunan fungsi absorpsi.3,6,7

Skor Glasgow Coma Scale (GCS) yang rendah berhubungan dengan makin meningkatnya kadar katekolamin yang dilepaskan. Pada beberapa penelitian, hiperaktivitas simpatis terjadi setelah COT berat.8,9 Semakin tinggi katekolamin yang dilepaskan, semakin rendah perfusi pada sistem gastrointestinal sehingga terjadi disfungsi gastrointestinal.10 Disfungsi gastrointestinal mengakibatkan peningkatan jumlah volume residu gaster.11,12 Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan volume residu gaster pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.

II. Subjek dan Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik cross-sectional. Subjek penelitian adalah 42 pasien COT yang dirawat konservatif di RSUP Dr. Hasan Sadikin. Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2016–Juni 2017. Kriteria inklusi meliputi GCS 3–12, usia 18–60 tahun, waktu makan terakhir minimal 6 jam sebelum dibawa ke rumah sakit, body mass index (BMI) 18,5–25 kg/m2. Kriteria eksklusi adalah trauma di tempat lain, riwayat penyakit gastrointestinal dan penyakit sistemik lain (diabetes mellitus, hipertensi, dan lain-lain), serta mendapatkan

pengobatan yang memengaruhi pengosongan lambung (metoklopramid, atropin, inhibitor pompa proton, kortikosteroid, opioid kontinu). Pasien dikeluarkan dari penelitian bila pasien meninggal dalam rentang waktu pengambilan data. Jumlah sampel dihitung sesuai dengan tujuan dan tipe penelitian dengan taraf kepercayaan 95% dan power test 90% dan didapatkan jumlah seluruh sampel adalah 42 orang. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan consecutive sampling, yaitu mengambil setiap subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berdasarkan urutan kedatangan pasien. Subjek penelitian dibagi berdasar atas GCS menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok COT sedang (GCS 9–12) dan berat (GCS 3 ̶8) masing-masing berjumlah 21 orang. Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung/Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipasang pipa nasogastrik, cairan lambung diaspirasi dengan spuit 50 ml (catheter tip), dan diukur secara berkala setiap 6 jam hingga 48 jam. Selain volume residu gaster, GCS dan tanda vital pasien juga dicatat. Semua pasien pada penelitian ini diberikan analgetik Paracetamol 3 x 1 gram intravena untuk analgetika.

Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah dengan program Statistical Product & Service Solution (SPSS) versi 21.0 for Windows. Uji kemaknaan untuk membandingkan karakteristik dua kelompok penelitian digunakan uji Mann Whitney. Analisis statistik untuk data kategorik diuji dengan uji chi-square. Uji korelasi dilakukan dengan uji Spearman dan Eta. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, arah korelasi, dan nilai p berdasarkan kriteria Guillford yaitu : 0,0–<0,2= sangat lemah; 0,2–<0,4= lemah; 0,4–<0,7= sedang; 0,7–<0,9= kuat; 0,9–1,0= sangat kuat.

III. Hasil

Kedua kelompok penelitian tidak memiliki perbedaan karakteristik usia, jenis kelamin, BMI, dan diagnosis yang bermakna berdasarkan statistika (p>0,05; Tabel 1). Volume residu gaster

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

13

pada pasien COT berat lebih banyak secara signifikan dari waktu ke waktu dan menunjukkan hubungan yang sangat kuat antara skor GCS dan volume residu gaster (Gambar 1 dan Tabel 2).

IV. Pembahasan Pemberian nutrisi pada pasien COT terutama COT berat memberikan tantangan tersendiri karena 44–100% pasien dengan COT berat mengalami disfungsi gastrointestinal yang ditandai dengan peningkatan volume residu gaster.13 Sampai saat ini belum ada penelitian yang secara langsung mengukur dan membandingkan volume residu gaster pada pasien COT namun beberapa penelitian menyatakan bahwa pada pasien dengan

COT sedang dan berat mengalami gangguan pengosongan lambung yang ditandai dengan peningkatan volume residu gaster.4,5

Penelitian pada tahun 1991 terhadap 12 pasien COT sedang dan berat (GCS 4–10) menyatakan bahwa dalam 2 minggu pertama terjadi gangguan pengosongan lambung dan intoleransi pemberian nutrisi enteral.5 Penelitian lain dilakukan dengan membandingkan waktu pengosongan lambung pada 35 pasien usia 25–52 tahun antara COT sedang dan berat (GCS 3–12) dan orang normal. Pengosongan lambung pada pasien dengan COT sedang dan berat memanjang secara signifikan.4

Volume residu gaster rerata pada pasien penelitian

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian

VariabelKelompok

COT SedangN=21

COT BeratN=21

Nilai P

Usia (tahun) Mean±Std 39,95±17,220 38,23±15,648 0, 772

Jenis kelamin Laki-laki 13(61,9%) 13(61,9%) 1,000 Perempuan 8(38,1%) 8(38,1%)

BMI Mean±Std 21.42±1.426 21.31±1.554 0,052 Median 21.069 21.093 Range (min-max) 18.55-23.88 18.37-24.22

Diagnosis Contusio serebri 12(57,1%) 10(47,6%) 1,000 SAB dan contusio serebri

5(23,8%) 6(28,6%)

SAH dan contusio serebri

4(19,0%) 5(23,8%)

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi.Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

14 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ini adalah 30,71+13,19 mL tanpa diberikan nutrisi. Secara normal, gaster memproduksi sekitar 2 liter sekret setiap hari, namun saat puasa (periode interdigestif), hanya sedikit (beberapa mililiter) atau bahkan tidak ada sekret yang diproduksi.14,15 Sebuah penelitian tentang volume residu gaster saat puasa dilakukan di Afrika Selatan terhadap 430 pasien usia 10–90 tahun dengan hasil volume residu gaster rerata pada pasien normal, esofagitis/gastritis, ulkus gaster, dan ulkus duodenum yaitu 55,2+3,2 cc, 53,2+8,2 ml, 70+7,4 ml, dan 78,5+4,0 ml.16

Penelitian kohort retrospektif di Belgia dilakukan pada 583 pasien yang akan dilakukan pembedahan elektif dan dipuasakan sesuai dengan panduan puasa didapatkan volume residu gaster 18,8+18,7 ml pada 351 orang, 65,3+30,2 ml pada 125 orang dan 138,1+33,6 ml pada 27 orang.17 Hasil volume residu gaster pada penelitian tersebut lebih banyak dibanding dengan penelitian ini. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor peneliti. Pada penelitian di Afrika, terdapat perbedaan populasi dengan usia 10–90 tahun tanpa memperhitungkan penyakit penyerta lain selain penyakit saluran pencernaan, sedangkan pasien di Belgia merupakan pasien operasi elektif dalam keadaan sadar, yang mungkin saja mengalami stress sebelum pembedahan sehingga mengakibatkan peningkatan volume residu gaster, selain itu obat-obatan yang didapatkan pada kedua penelitian tersebut tidak dicantumkan, karena

Gambar 1 Grafik Volume Residu Gaster pada Pasien COT Sedang dan Berat

H u b u n g a n antara GCS dan Volume Residu Gaster

Jam ke

R

COT Sedang

COT Berat

Nilai P

6 -0,974 -0,930 0,00012 -0,971 -0,923 0,00018 -0.977 -0,938 0,00024 -0,931 -0,918 0,00030 -0,919 -0,858 0,00036 -0,890 -0,823 0,00042 -0,777 -0,834 0,00048 -0,745 -0,955 0,000

Tabel 2 Hubungan antara GCS dan Volume Residu Gaster pada Pasien COT Sedang dan Berat

mungkin saja pasien mengkonsumsi obat-obatan yang meningkatkan sekresi lambung ataupun memperlambat pengosongan lambung. Perbedaan metode pengukuran volume residu gaster pada kedua penelitian sebelumnya berbeda dengan penelitian ini. Penelitian di Afrika menggunakan suction kontinu pada tekanan 200 mmH2O dan diaugmentasi tiap 5 menit dengan tangan hingga dirasa lambung kosong dan penelitian di Belgia menggunakan ultrasonografi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa volume residu gaster pada pasien COT berat lebih banyak dibanding dengan COT sedang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Cina pada 35 orang pasien dengan COT sedang dan berat yang menyatakan pemanjangan waktu pengosongan lambung lebih banyak terjadi pada pasien wanita, pasien dengan usia lebih tua, dan pasien dengan GCS lebih rendah.4 Perubahan volume residu gaster terjadi karena peningkatan sekresi dan perlambatan pengosongan lambung. Sekresi lambung dapat meningkat karena adanya stimulasi vagal, peningkatan histamin, distensi atau regangan pada lambung.14,15 Sedangkan faktor yang dapat memperlambat pengosongan lambung yaitu stimulasi simpatis, makanan yang banyak mengandung H+, lemak, dan protein,

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

15

nyeri, kecemasan, stress, penggunaan obat-obatan antimuskarinik, opioid, penggunaan alkohol sebelumnya, stenosis pilorik, obstruksi intestinal dan riwayat vagotomi sebelumnya.14

Subjek penelitian ini adalah pasien COT sedang dan berat yang tidak memiliki penyakit penyerta lain dan tidak mendapatkan obat-obatan yang memperlambat pengosongan lambung sehingga hal-hal yang memengaruhi volume residu gaster pada penelitian ini hanya pada sistem aksis otak–gastrointestinal beserta berbagai mediator inflamasi yang dilepaskan akibat terjadinya trauma. Peningkatan katekolamin mengakibatkan vasokonstriksi dan penurunan aliran darah saluran cerna.10,18 Semakin tinggi katekolamin yang dilepaskan, semakin rendah perfusi pada sistem gastrointestinal sehingga volume residu gaster akan meningkat. Hal ini mengakibatkan perubahan motilitas, mukosa, dan perlambatan pengosongan lambung yang lebih signifikan dibandingkan pada pasien COT sedang sehingga pada pasien dengan COT berat masih terdapat volume residu lambung hingga jam ke-48.

Berdasarkan uji Spearman antara variabel GCS dan volume residu lambung didapatkan koefisien korelasi (r) antara -0,754 sampai -0,974 dengan p < 0,05. Hal ini menunjukkan korelasi signifikan dengan arah negatif yang kuat antara GCS dengan volume residu gaster. Arah korelasi negatif menyatakan hubungan yang terbalik, yaitu makin rendah GCS maka semakin tinggi volume residu gaster yang didapatkan. Keterbatasan pada penelitian ini adalah metode pengukuran volume residu gaster. Beberapa faktor yang memengaruhi hasil penelitian yaitu posisi ujung pipa nasogastrik terhadap cairan lambung. Konfirmasi posisi ujung pipa nasogastrik dengan ultrasonografi diperlukan namun pada penelitian ini tidak memungkinkan karena keterbatasan alat dan kemampuan peneliti. Standar baku yang dilakukan untuk mengukur volume residu gaster adalah dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI). Namun, hal tersebut tidak dapat dilakukan karena keterbatasan biaya dan fasilitas.

V. Simpulan

Volume residu gaster pada pasien COT berat

lebih banyak dibandingkan dengan pasien COT sedang dan terdapat hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan volume residu lambung dan GCS pada pasien dengan COT serta dapat digunakan untuk data penelitian selanjutnya dengan metode pengukuran lain seperti USG pada antrum lambung. Daftar Pustaka

1. Stutz HR, Charchaflieh J. Postoperative and intensive care including head injury and multisystem sequelae. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. Edisi. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 407–8.

2. Olsen A, Heitz R, Xue H, Aroom K, Bhattarai D, Johnson E, dkk. Effects of traumatic brain injury on intestinal contractility. Neurogastroenterol Motil. 2013;25:593–e463.

3. Lucena AFd, Tiburcio RV, Vasconcelos GC, Ximenes JDA, Filho GC, Graca RVd. Influence of acute brain injuries on gut motility. Rev Bras Ter Intensiva. 2011;23(1):96–103.

4. Kao C-H, Lai S-PC, Chieng P-U, Yen T-C. Gastric emptying in head-injured patients. Am J Gastroenterol. 1991;93(7):1108–12.

5. Ott L, Young B, Phillips R, McClain MC, Adams L, Dempsey R, dkk. Altered gastric emptying in the head-injured patient: relationship to feeding intolerance. J Neurosurg. 1999;74:738–41.

6. Singh S. Neurogastroenterology: gastrointestinal dysfunction from the window of acute brain injury. Int J Stud Res. 2013;3:1–4.

7. Bansal V, Constantini T, Kroll L, Peterson C, Loomis W, Eliceiri B, dkk. Traumatic brain injury and intestinal dysfunction : uncovering

Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

16 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

the neuro-enteric axis. J Neurotrauma. 2009;26:1353–9.

8. Choi HA, Jeon S-B, Samuel S, Allison T, Lee K. Paroxysmal sympathetic hyperactivity after acute brain injury. Curr Neurol Neurosci Rep. 2013;13:370–80.

9. Fernandez-Ortega JF, Baguley IJ, Gates TA, Garcia-Caballero M, Quesada-Garcia JG, Prieto-Palomino MA. Catecholamines and paroxysmal sympathetic hyperactivity after traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2017;34:109–14.

10. Takala J. Determinants of splanchnic blood flow. Br J. Anaesth. 1997;77:50–8.

11. Blaser AR, Malbrain MLNG, Starkopf J, Fruhwald S, Jakob SM, Waele JD, dkk. Gastrointestinal function in intensive care patients: terminology, definition, and management. Recommendation of the ESICM Working Group on Abdominal Problems. J Intensive Care Med. 2012.

12. Hurt RT, McClave SA. Gastric residual volumes in critical illness: what do they really mean? Crit Care Clin. 2010;26:481–90.

13. Krakau K, Omne-Pontén M, Karlsson T, Borg J. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe traumatic brain injury: a systematic review. Brain Injury. 2006;20(4):345–67.

14. Jolliffe DM. Practical gastric physiology. Contin educ anaesth crit care pain. 2009;9(6):173–7.

15. Guyton AC, Hall JE. Secretory Function of Alimentary Tract. Textbook of Medical Physiology. Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006, 91–807.

16. Utne JB, Moshal M, Downing J, Spitaels J, Stiebel R. Fasting volume and acidity of stomach contents associated with gastrointestinal symptoms. Anaesth. 1977;32:749–52.

17. Putte PVd, Vernieuwe L, Jerjir A, Verschueren L, Tacken M, Perlas A. When fasted is not empty: a retrospective cohort study of gastric content in fasted surgical patient. Br. J. Anaesth. 2017;118(3):363–71.

18. Gelman S, Mushlin PS. Catecholamine-induced changes in the splanchnic circulation affecting systemic hemodynamics. Anesth. 2004;100:434–9.

19. Hang C-H, Shi J-X, Li J-S, Wu W, Li W-Q, Yin H-X. Levels of vasoactive intestinal peptide, cholecystokinin and calcitonin gene-related peptide in plasma and jejunum of rats following traumatic brain injury and underlying significance in gastrointestinal dysfunction. World J Gastroenterol. 2004;10(6):875–80.

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

17

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle

Dhania Anindita Santosa*), Syafruddin Gaus**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh*)

*)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin-RSUP

Dr. Wahidin Makassar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Jakarta

Abstrak

Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21, terutama karena obesitas, penuaan dan kurangnya aktivitas fisik. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan diperkirakan penderita DM menjadi 380 juta pada tahun 2025. Pasien dengan DM yang menjalani pembedahan mungkin sudah disertai dengan penyakit lain akibat DM. Episode hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas kadar gula darah yang tinggi perioperatif memberikan risiko tingginya komplikasi perioperatif pada pasien. Seorang ahli anestesi memegang peranan penting dalam pengelolaan perioperatif pasien-pasien seperti ini, terutama pasien bedah saraf di mana otak sangat bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar. Seorang wanita usia 46 tahun dengan DM dan tumor cerebellopontine angle (CPA) menjalani pembedahan elektif eksisi tumor. Pembedahan dilakukan dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan berjalan kurang lebih sembilan jam. Tantangan selama periode perioperatif adalah menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang target yang diinginkan untuk meminimalisir cedera sekunder pada otak yang dapat mempengaruhi luaran kognitif serta komplikasi perioperatif yang mungkin terjadi. Pascabedah pasien dirawat di ICU dengan bantuan ventilator dan dilakukan ekstubasi tiga jam pascabedah dengan kadar gula darah stabil dan tanpa sequelae.

Kata kunci: pengelolaan kadar gula darah, perioperatif, diabetes, tumorJNI 2018;7 (1): 17‒27

Perioperative Glucose Control in Diabetic Patients with Cerebellopontine Angle Tumor

Abstract

Prevalence of patients with diabetes mellitus (DM) increases rapidly in the 21st century, mainly due to obesity, aging and lack of physical activity. International Diabetes Federation (IDF) predicted that by the year of 2025, 380 million people will suffer from DM. Diabetic patients undergoing surgery might have other diseases caused by DM. Episodes of hypoglycemia, hyperglycemia and high perioperative glucose level put the patients into higher perioperative risks. Anesthesiologists play a key role in perioperative management in these patients, moreover in neurosurgery pastients, as brain is very glucose-dependent. A 46 year old diabetic woman with cerebellopontine angle (CPA) tumor underwent elective surgery of tumor removal. Surgery was done under general endotracheal anesthesia and lasted for nine hours. Challenges during perioperative period are to maintain glucose level within target range to minimize secondary injury to the brain which may influence cognitive outcome and other possible perioperative complications. Patient was taken care at the ICU post operatively with ventilator. Patient was weaned and extubated three hours later with stable glucose control and no sequelae.

Key words: perioperative glucose control, perioperative, diabetes, tumor

JNI 2018;7 (1): 17‒27

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21, terutama karena obesitas, penuaan dan kurangnya aktivitas fisik.1 International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa 246 juta orang dewasa menderita diabetes mellitus di seluruh dunia pada tahun 2008 dan diperkirakan menjadi 380 juta pada tahun 2025.1 Pasien dengan diabetes yang akan menjalani pembedahan, menghadapi banyak kesulitan. Pasien-pasien ini mungkin mempunyai penyakit pembuluh darah, ginjal atau saraf sebagai konsekuensi DM yang sudah ada dan lebih rentan terhadap infeksi luka. Tindakan mempertahankan kadar gula darah normal telah dibuktikan menurunkan mortalitas dan morbiditas perioperatif, meskipun data banyak didapatkan dari pembedahan jantung.1

Hiperglikemia dikaitkan dengan pemanjangan masa perawatan di rumah sakit, morbiditas, mortalitas setelah pembedahan non-jantung pada pasien diabetes dan non-diabetes. Dengan makin besarnya populasi pasien diabetes di seluruh dunia, ahli anestesi akan makin banyak terpapar dengan pasien DM pada penanganan periode perioperatif. Pasien non-diabetes dapat mengalami hiperglikemia sebagai akibat dari kombinasi resistensi insulin pada jaringan dan penurunan sekresi insulin pada periode perioperatif. Sedangkan pada pasien diabetes, pembedahan dan trauma dikaitkan dengan peningkatan sekresi hormon katabolik pada kondisi defisiensi insulin relatif. Oleh karenanya, tujuan dari penanganan metabolik perioperatif harus ditujukan pada menghindari hiperglikemia berlebih, hipoglikemia dan hilangnya elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat.1

Hanya sedikit yang diketahui mengenai hubungan antara anestesia dan kadar gula darah pra bedah pada pasien bedah saraf dengan diabetes. Keberhasilan penanganan bedah saraf, khususnya pada kasus ini adalah tumor, dengan diabetes melitus memerlukan pemahaman yang baik akan hubungan ini sehingga ahli anestesi dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi dan dengan demikian dapat menerapkan strategi penanganan pascabedah.

Ahli anestesi harus memberi perhatian bukan hanya pada efektivitas dan risiko terapi insulin selama periode perioperatif pada pasien bedah saraf yang diabetes, tetapi juga pada efek obat anestesi pada keseimbangan glukosa.1 Ahli anestesi memegang peran yang sangat penting selama periode perioperatif pada pasien bedah saraf dengan diabetes. Metabolisme glukosa sistemik dan otak pada pasien bedah saraf yang diabetes harus diukur selama pembedahan dan kemudian diikuti. Protokol kontrol gula darah yang baik harus dilakukan agar prognosis pasien lebih baik.1

II. Kasus

Seorang wanita berusia 46 tahun, berat badan 60 kg, tinggi badan 150 cm dengan tumor di cerebellopontine angle (CPA) kiri, diabetes mellitus dan hipertensi, dilakukan kraniotomi dan eksisi tumor.

AnamnesisPasien mengeluh nyeri kepala disertai dengan penurunan pendengaran sejak 4 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri pada wajah sebelah kiri. Pasien tidak mengalami kejang maupun mual dan muntah. Selain itu pasien juga menderita hipertensi dengan pengobatan di antaranya amlodipin 10 mg 1 kali sehari pagi hari dan valsartan 80 mg 1 kali sehari malam hari. Pasien juga menderita diabetes mellitus dengan terapi insulin novorapid 3 x 12 IU dan levemir 13 IU malam hari. Pasien juga mendapatkan terapi carbamazepine 2 x 200 mg.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan prabedah didapatkan pasien dengan kondisi jalan napas bebas, dengan pernapasan spontan 20 kali per menit, gerak dada simetris, suara napas vesikuler kanan dan kiri, tidak terdapat suara napas tambahan. Pulse oximetry terbaca 97% dengan O2 udara bebas (FiO2 21%). Pada perabaan didapatkan perfusi hangat, kering dan merah, dengan capillary refill time kurang dari 2 detik. Tekanan darah 140/80 dan MAP 100 mmHg dan nadi 108 kali per menit, nadi radialis teraba teratur dan kuat angkat. Skor GCS E4V5M6, pupil bulat

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

19

isokor dengan refleks cahaya positif kanan dan kiri. Selain dari penurunan pendengaran, tidak didapatkan defisit neurologis lainnya. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.

Pemeriksaan PenunjangHemoglobin 13,9 g/dL, Hematokrit 42,9%, Leukosit 10.500/mm3, Trombosit 379.500 μL. PPT 9,6 (kontrol 9-12), aPTT 27,1 (kontrol 23-33). Natrium 145 mEq/L, Kalium 3,9 mEq/L, Chlorida 102 mEq/L, gula darah puasa 121 mg/dL, gula darah 2 jam post prandial 178 mg/dL dan HbA1c 6,9%. BUN 5 mg/dL, kreatinin serum 0,82 mg/dL, SGOT 27 μ/L, SGPT 25 μ/L. Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan paru dan jantung dalam batas normal, dengan EKG irama sinus 100 kali per menit. Dari pemeriksaan MRI kepala dengan kontras didapatkan homogenous enhancing solid mass berukuran 2,7 x 1,9 x 2,2 cm dengan dural tail di cerebellopontine angle kiri, mendapat feeding dari dural arteries, mendesak nervus V, VII dan VIII yang tampak pada fast imaging employing steady state acquisition (FIESTA), merupakan meningioma di cerebellopontine angle kiri.

Pengelolaan AnestesiSelama persiapan untuk pembedahan elektif, pasien diberikan cairan infus berupa NaCl 0,9% 70 mL/jam. Insulin malam hari sebelum operasi tetap diberikan sedangkan insulin pada pagi hari operasi tidak diberikan. Obat anti hipertensi dan

carbamazepine tetap diberikan sesuai jadwal. Selain itu direncanakan untuk diperiksa gula darah basal. Selain persiapan darah, juga dipersiapkan cairan infus D5 dan insulin di kamar bedah. Pada pemeriksaan gula darah basal didapatkan hasil 131 mg/dL dan kemudian diberikan novorapid 12 IU subkutan dan direncanakan untuk periksa gula darah setelah induksi anestesi. Kondisi pasien sebelum induksi anestesi adalah: tekanan darah 146/91, MAP 109 mmHg dengan nadi 110 kali per menit reguler kuat angkat di arteri radialis. Skor GCS E4V5M6 dengan pupil bulat isokor diameter 3 mm mata kanan dan kiri. Pasien tanpa distress napas dengan pulse oximetry 99% tanpa suplemen oksigen. Induksi dilakukan dengan obat-obatan anestesi sebagai berikut: midazolam 2 mg, fentanyl 100 mcg, thiopental 250 mg dan rocuronium 50 mg. Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakea no. 7,0 dan dilakukan fiksasi pada 19 cm di tepi bibir. Dipasang kateter intra-arterial untuk monitor tekanan darah. Selama pembedahan dilakukan dengan rumatan anestesi inhalasi isoflurane, O2 dan air, kontrol ventilasi dengan FiO2 30 % dan diberikan fentanyl secara kontinu. Setelah induksi dilakukan pemeriksaan gula darah dan didapatkan hasil 108 mg/dL. Gula darah kemudian diperiksa tiap jam dengan target antara 70–160 mg/dL. Hasil analisa gas darah adalah sebagai berikut: pH 7,33 pCO2 36,7 pO2 91,4 HCO3 22,6 BE –3,6 SaO2 98,5% dengan ETCO2 terbaca 34 saat diambil sampel darah.

Gambar 1. MRI Kepala dengan Kontras menggambarkan Homogenous Enhancing Solid Mass Berukuran 2,7 x 1,9 x 2,2 cm di Cerebellopontine Angle Kiri

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Selama pembedahan ditemukan tumor pada CPA dan dilakukan eksisi tumor secara piece meal dan identifikasi n. V, VII dan VIII dengan bantuan Intraoperative Monitoring (IOM). Tumor tereksisi 99%. Tekanan darah berkisar 92–141/65–91 mmHg dengan MAP 57–110 mmHg selama pembedahan. Nadi berkisar antara 98-110 kali per menit dan pulse oximetry 99–100%.Pada pemeriksaan gula darah pk 17.00 (8 jam pembedahan berlangsung) didapatkan hasil 186 mg/dL sehingga diberikan insulin 4 IU iv dan dilanjutkan dengan pemberian secara kontinu sebesar 0,3 IU/jam. Satu jam kemudian didapatkan hasil gula darah 189 mg/dL sehingga pemberian insulin kontinu dinaikkan menjadi 0,4 IU/jam. Pembedahan berlangsung kurang lebih selama 9 jam dengan keseimbangan cairan yaitu input NaCl 0,9% 1000 mL, koloid gelatin 500 mL, whole blood 700 mL dan mannitol 20% 200 mL. Estimasi perdarahan 1100 mL dan produksi urine selama pembedahan 975mL.

PascabedahPascabedah pasien diobservasi di ICU dengan kondisi jalan napas bebas dengan pipa endotrakea dengan bantuan ventilator PSIMV rate 10 PC 8 PS 8 Trigger 2 I:E 1:2 PEEP 6 FiO2 30% dengan luaran rate 20 kali per menit, volume tidal 405–461 mL, ventilasi semenit 7,2–7,9, SpO2 100%, suara napas vesikuler pada kedua lapang paru tanpa suara napas tambahan. Perfusi hangat kering merah dengan tekanan darah 142/83, MAP 103 mmHg. Nadi 107 kali per menit suhu timpanik

Gambar 2. Kondisi Hemodinamik dan Kadar Gula Darah Pasien selama Pembedahan

Tabel 1. Penyebab Hipoglikemia pada Pasien Neurocritical Care6

(i) KelaparanPerawatan lamaKehamilan

(ii) Dipicu oleh obat Insulin (terapi insulin intensif) Obat hipoglikemia Alkohol Etomidate Beta Blocker Cyprofloxacin Salisilat Enalapril Warfarin Asetaminofen

(iii) Sepsis(iv) Gangguan ginjal(v) Gangguan liver(vi) Endokrin

Hipopituitarisme Insufisiensi adrenal Hipotiroidisme Hiperinsulinemia: nutrisi parenteral

(vii) Idiopatik(viii) Iatrogenik

Dikutip dari Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt R. Perioperative glucose control in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice 2012; 1-13.

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

21

36,7°C. Kesadaran masih dalam pengaruh obat anestesi yaitu propofol dan fentanyl kontinu. Produksi urine 70–100 mL/jam warna kuning jernih. Pasien direncanakan untuk weaning dan sementara itu diberikan terapi di antaranya posisi head up elevasi 30°, NaCl 0,9% 80 mL/jam, injeksi ceftriaxone 2 x 1 gram iv, ranitidine 2 x 50 mg iv, ondansetron 2 x 4 mg iv, fentanyl 30 mcg/jam iv kontinu, metamizol 3 x 1 gram iv, dexamethasone 3 x 5 mg iv dan insulin 0,4 IU/jam iv kontinu.

Tabel 8. Pemberian Insulin Kontinu Prabedah untuk Pembedahan Terencana11

Mulai infus insulin 0.5-1.0 IU/jamKadar Glukosa Algoritme infus<80 mg/dL Hentikan insulin selama 30

menit, berikan 25 mL D50Cek ulang kadar gula darah dalam 30 menit

81-120 mg/dL Turunkan infus insulin sebesar 0,3 IU/jam

120-180 mg/dL Tidak ada perubahan infus181-240 mg/dL Naikkan infus insulin sebesar

0,3 IU/jam> 240 mg/dL Naikkan infus insulin sebesar

0,5 IU/jamDikutip dari Hirsch IB, McGill JB, Cryer PE, White PF. Perioperative Management of Surgical Patients with Diabetes Mellitus. Anesthesiology 1991;74(2):346-359

Tiga jam pascabedah dilakukan pemeriksaan gula darah stik dan didapatkan hasil 176 mg/dL, pasien kemudian diekstubasi. Hasil pemeriksaan laboratorium pascabedah di antaranya Hb 12,9 g/dL, Hematokrit 39,2%, Leukosit 14.040/mm3, Trombosit 326.000 μL. Natrium 147 mEq/L, Kalium 3,6 mEq/L, Chlorida 110 mEq/L, gula darah acak 126 mg/dL, Albumin 3,46 g/dL.

Pemeriksaan gula darah dilakukan per 3 jam setelahnya dengan hasil berturut-turut 171, 167 dan 152 mg/dL pada pk. 06.00 hari pertama pascabedah, masih dengan insulin 0,4 IU/jam iv kontinu. Pada hari pertama pascabedah, kondisi pasien adalah sebagai berikut: jalan napas bebas dengan pernapasan spontan 18–20 kali per menit, suara nafas vesikuler kedua lapang paru tanpa suara napas tambahan, pulse oximetry terbaca 96–98% dengan suplementasi O2 21%. Tekanan darah 136/81 mmHg dengan MAP 99 mmHg. Nadi 98 kali per menit, teraba reguler dan kuat angkat pada arteri radialis. Suhu timpanik 36,8°C. Kondisi kesadaran pasien dengan GCS E4 V5 M6 dengan pupil bulat isokor 3 mm mata kanan dan kiri dan refleks cahaya positif. Produksi urine 80–110 mL per jam dengan warna kuning jernih. Pasien kemudian dipindahkan ke High Care Unit pada hari pertama pascabedah dengan tetap dilakukan observasi kadar gula darah per tiga jam.

Gambar 2. Target kadar gula darah pada pasien cedera otak akut/bedah saraf. Di mana L/P: Laktat/Piruvat dan BBB: Blood Brain Barrier. Dikutip dari Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt R. Perioperative glucose control in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice 2012; 1-13

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

III. Pembahasan

Seorang wanita berusia 46 tahun, berat badan 60 kg, tinggi badan 150 cm dengan tumor di cerebellopontine angle (CPA) kiri, diabetes mellitus dan hipertensi, dilakukan kraniotomi dan eksisi tumor. Prevalensi diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21 karena obesitas, penuaan dan kurangnya aktivitas. Pasien dengan diabetes yang akan menjalani pembedahan berhadapan dengan banyak kesulitan. Pasien-pasien ini mungkin mengalami penyakit pembuluh darah, ginjal atau saraf sebagai konsekuensi DM dan lebih rentan mengalami infeksi luka.

DM merupakan faktor risiko untuk luaran perioperatif yang kurang optimal pada pasien yang menjalani bedah saraf.1 Pasien dengan DM dikaitkan dengan komplikasi baik mayor (infeksi luka, lesi akar saraf perifer, aritmia jantung, gagal ginjal akut, kejadian serebrovaskular) dan minor (infeksi traktus urinarius, ileus paralitik, defisiensi elektrolit).1 Pengaturan kadar gula darah perioperatif yang tidak optimal berkontribusi terhadap kenaikan morbiditas, mortalitas dan memperparah sakit yang sudah ada sebelumnya. Tantangan bagi tim perawatan pasien bedah saraf dengan diabetes mellitus adalah meminimalisir efek gangguan metabolik pada luaran pembedahan, mengurangi gejolak kadar glukosa dan mencegah hipoglikemia. Paradigma kunci dalam perawatan pasien dengan cedera otak dan medulla spinalis akut adalah pencegahan abnormalitas fisiologi yang mungkin berkontribusi terhadap kerusakan neurologis sekunder, dalam hal ini adalah khususnya adalah menjaga stabilitas gula darah pasien. Memperbaiki pengendalian kadar glukosa darah pada masa perioperatif dapat mengurangi banyak konsekuensi merugikan dari hiperglikemia.2 Pada pasien diabetes, beberapa kondisi yang menyertai seperti hipertensi, gangguan ginjal dan penyakit jantung koroner dapat meningkatkan risiko perioperatif.3

Pembedahan adalah sebuah episode yang penuh stres yang dapat menyebabkan gangguan sementara pada asupan oral dan seringkali

memerlukan pengaturan terapi antidiabetik.3 Untuk meminimalisir komplikasi pembedahan karena perubahan metabolik dan efek pembedahan terhadap pengendalian kadar glukosa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya tingkat pengendalian kadar glukosa darah, regimen terapi sebelum perawatan, adanya komplikasi, prosedur pembedahan, respons glukosa selama perawatan dan jenis anestesia yang diberikan. Pasien dengan diabetes umumnya memiliki lebih banyak komorbiditas dibandingkan dengan populasi umum, seperti obesitas, hipertensi, aterosklerosis yang tidak terdeteksi (koroner, cerebral, perifer) dan gangguan fungsi ginjal. Neuropati otonom diabetik (neuropati otonom lanjut pada jantung, respirasi dan gastrointestinal) menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, motilitas usus dan kadar glukosa yang tidak normal. Sebagai tambahan, kontrol kadar glukosa yang tidak adekuat menyebabkan peningkatan risiko komplikasi infeksi.3

Di sisi lain, terdapat beberapa keuntungan dari kontrol kadar gula darah setelah pembedahan saraf di antaranya angka kejadian infeksi luka kraniotomi yang lebih kecil, memendeknya lama perawatan dan menurunnya biaya rumah sakit.3 Penurunan infeksi aliran darah dan nosokomial, gagal ginjal akut, dukungan ventilator, transfusi darah, polineuropati pada sakit kritis dan lama perawatan di neurocritical ICU juga merupakan keuntungan tambahan. Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar gula darah kurang dari 70 mg/dL.4 Hipoglikemia adalah kejadian yang sifatnya multifaktorial, sering terjadi namun sebenarnya dapat dihindari. Hipoglikemia dapat terjadi dalam banyak kondisi, meskipun populasi pasien dengan DM adalah yang paling rentan mengalami. Belum ada data spesifik mengenai angka kejadian hipoglikemia pada pasien bedah saraf, tetapi seperti yang sudah diketahui, kejadian hipoglikemia akan memperburuk prognosis.5 Risiko terkait hipoglikemia ini lebih besar selama periode perioperatif, di mana anestesi umum dapat mengaburkan gejala yang timbul. Tabel 1 menunjukkan penyebab paling sering hipoglikemia pada pasien-pasien ini.

Hipoglikemia saja tanpa kondisi yang lain

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

23

dapat menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel karena pasien saraf yang sakit kritis bergantung pada glukosa yang cukup sebagai sumber energi untuk sistem saraf pusat (SSP), sehingga perlu didagnosis dini dan diterapi dengan baik untuk mencegah kerusakan neuron yang ireversibel dan lebih jauh.7 Bahkan pengurangan sedang pada kadar gula darah dapat menyebabkan neuroglikopenia yang jelas.7 Di lain sisi, beberapa penelitian baik observasional maupun intervensional menunjukkan bahwa hiperglikemia pada pasien bedah saraf yang diabetes maupun tidak dikaitkan dengan luaran yang tidak diinginkan, seperti peningkatan terjadinya komplikasi, memanjangnya masa perawatan rumah sakit dan bahkan angka mortalitas yang tinggi.

Selain itu, ada efek merugikan dari defisit glukosa terhadap metabolisme otak. Pasien dengan hiperglikemia yang sebelumnya tidak diketahui, memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan pasien yang sebelumnya telah menderita diabetes mellitus (DM).4 Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa hiperglikemia memberikan konsekuensi negatif pada organ secara keseluruhan, termasuk otak. DM yang tidak terdiagnosa dan hiperglikemia yang terjadi di rumah sakit meningkatkan komplikasi pascabedah, biaya dan lama perawatan.3 Hiperglikemia terkait erat dengan prognosis pada skenario cedera otak yang berbeda-beda.2 Namun demikian, belum ada konsensus yang menjelaskan apakah hiperglikemia secara langsung bertanggungjawab terhadap luaran yang buruk ataukah sebenarnya hanya fenomena yang terjadi bersamaan dengan kerusakan otak.2 Oleh karena itu, telah dihipotesiskan bahwa pengendalian kadar glukosa darah yang ketat mungkin akan berdampak baik terhadap luaran pasien. Sebagai konsekuensinya, pengendalian kadar glukosa darah secara ketat menggunakan terapi insulin intensif (TII) banyak digunakan pada pasien neuro yang sakit kritis. Pengendalian glukosa darah ketat didefinisikan sebagai menjaga kadar glukosa dalam kisaran 80 sampai 110 mg/dL. Bagaimanapun, data terkini menunjukkan efek merugikan TII pada jaringan otak.Hiperglikemia menurut konsensus American

Diabetes Association adalah kadar glukosa darah yang lebih dari 140 mg/dL pada dua atau lebih sampel darah. Hiperglikemia bersama dengan iskemia otak dikaitkan dengan sequelae klinis yang buruk pada beberapa pasien bedah saraf. Di antaranya perawatan di ICU lebih lama, kepulihan fungsi neurologis yang kurang baik, vasospasme otak simtomatik dan pembesaran ukuran infark otak.1

Pada pasien bedah saraf, hiperglikemia pasca bedah secara umum terjadi karena stres, resistensi insulin dan hiperglikolisis. Selain itu juga sebagai konsekuensi dari pemberian kortikosteroid untuk mengendalikan edema otak.1

Untuk kondisi hiperglikemia selama prosedur bedah saraf paling baik ditangani dengan pemberian insulin iv kontinu. Pemberian insulin iv kontinu ini bisa diberikan dengan konsentrasi 1 U/mL. Insulin dapat dimulai secara empiris dengan kecepatan 0,02 U/kg/jam, dan dititrasi kemudian untuk mencapai target kadar gula darah yang diinginkan. Pemberian kontinu ini sebaiknya dimulai sebelum prosedur (2 sampai 3 jam sebelumnya) untuk memungkinkan dilakukannya titrasi. Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan tiap jam selama pembedahan dengan kecepatan insulin diatur untuk mencapai kadar gula sesuai rentang target.

Terapi Insulin Intensif memperbaiki luaran pasien ICU neurologis dan bedah saraf, berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS).8 Hiperglikemia sendiri menyebabkan cedera otak sekunder dan terkait dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Kerusakan neuron tampaknya tidak secara langsung berhubungan dengan tingkat hiperglikemia. Di lain pihak, TII berisiko menyebabkan pasien mengalami hipoglikemia yang terkadang menyebabkan deteriorasi neurologis yang halus yang mungkin sulit untuk dideteksi, khususnya dengan alat ukur yang relatif tumpul (misal GOS) yang digunakan pada pasien sakit kritis.8 Pada meta analisis oleh Ooi dkk8 ini efek merugikan hipoglikemia yang terdokumentasi jauh lebih ringan, hipoglikemia yang tidak terkontrol adalah komplikasi yang harus dihindari, karena pasien saraf dan bedah saraf yang sakit kritis berisiko mengalami perburukan luaran neurologis karena hipoglikemia. Sebuah keseimbangan yang baik

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

24 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

harus dicapai dalam menangani hiperglikemia dan menghindari hipoglikemia berat. Stimulus pembedahan merupakan penyebab poten yang mungkin mempengaruhi respons pasien terhadap stres dan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin, yang pada akhirnya mengarah pada ketidakseimbangan elektrolit dan penurunan kadar insulin dalam darah yang kemudian menyebabkan gangguan respons imun dan peningkatan kadar gula darah.1

Stres pembedahan mengaktifkan respons neuroendokrin yang mungkin berfungsi melawan kerja insulin. Stres juga menyebabkan terjadinya resistensi insulin yang dapat disebabkan karena sitokin proinflamasi dan faktor-faktor lain seperti beberapa obat. Hiperglikemia yang dipicu oleh stres dapat menyebabkan disfungsi endotel, defek pada fungsi imun, peningkatan stres oksidatif, perubahan protrombotik, efek kardiovaskuler dan cedera pada daerah otak spesifik atau kerusakan/iritasi hipotalamus langsung pada pusat regulasi gula.1 Respons stres dapat dicegah dengan kedalaman anestesia yang cukup. Maka dari itu, ahli anestesi mempunyai peran yang sangat penting dalam memanipulasi kadar gula darah pada pasien diabetes selama pembedahan saraf. Agar dapat mengatur kadar gula darah dengan lebih baik, ahli anestesi harus menguasai cara kerja setiap obat anestesi.

Evaluasi prabedah pada pasien dengan DM penting untuk mengetahui komplikasi yang mungkin dapat terjadi dan menangani komorbiditas.3 Untuk pembedahan elektif, penting untuk melakukan persiapan secara multidisiplin. Sebelum pembedahan yang direncanakan, kadar gula darah pasien harus sedekat mungkin dengan rekomendasi American Diabetes Association.3 Target yang ingin dicapai di antaranya HbA1C < 7%, rerata kadar gula darah puasa 90–130 mg/dL dan rerata kadar gula darah pasca prandial < 180 mg/dL.4 Prosedur pembedahan elektif sebaiknya dijadwalkan pada pagi hari pada pasien dengan DM.3 Pembedahan elektif dapat ditunda sampai dengan kadar glukosa yang diinginkan sudah tercapai. Pada pasien dengan DM, penyakit kardiovaskular dapat bermanifestasi secara tidak khas, terjadi pada usia relatif muda dan bahkan

tanpa gejala. Pasien dengan neuropati otonom perifer atau jantung berisiko terjadi hipotensi selama pembedahan, aritmia perioperatif, gastroparesis, tidak sadar akibat hipoglikemia dan hilangnya counterregulation glukosa.3 Adanya takikardia saat istirahat, hipotensi ortostatik dan hilangnya variabilitas nadi menandakan masalah yang potensial terjadi saat pembedahan. Kreatinin serum mungkin bukan merupakan indikator sensitif untuk fungsi ginjal sesungguhnya pada pasien tua dengan DM. Urin tampung 24 jam mungkin perlu dilakukan pada pasien dengan kreatinin serum meningkat, proteinuria atau hipertensi lama atau tidak terkontrol. Kerja insulin memanjang pada gangguan ginjal dan dapat menyebabkan kadar gula darah yang sulit diprediksi dan hipoglikemia. Hal yang harus diingat adalah pasien dengan DM tipe II rentan mengalami variabilitas kadar gula darah yang mungkin disebabkan resistensi insulin yang mungkin memberat karena stres pembedahan.

Pasien ini memiliki riwayat penyakit dahulu berupa diabetes mellitus dengan terapi insulin dengan dosis yang cukup besar. Walaupun demikian, dilihat dari hasil pemeriksaan kadar gula darah puasa, post prandial maupun HbA1C masih dalam batas yang dapat diterima, sesuai rekomendasi American Diabetes Association. Pada pemeriksaan pra bedah, pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda penyakit penyerta lainnya yang mungkin menyertai pasien dengan DM. Pada malam hari sebelum operasi pada pasien ini tetap diberikan insulin levemir sebesar 13 IU, sedangkan insulin pada pagi hari operasi tidak diberikan. Keputusan ini tepat mengingat insulin long acting yang diberikan malam sebelumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan insulin basal pasien tersebut, sedangkan insulin pagi harinya merupakan insulin yang diberikan bila pasien tersebut mendapatkan asupan makanan (tidak puasa). Hal ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan kadar gula darah yang sesuai dengan harapan, dalam hal ini 131 mg/dL. Belum ada penelitian spesifik mengenai penanganan kadar glukosa perioperatif pada pasien dengan massa intrakranial. Kebanyakan pasien yang akan menjalani reseksi tumor, menerima terapi kortikosteroid perioperatif.

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

25

Terapi ini berhubungan dengan peningkatan kadar gula dalam darah dan penurunan penggunaan glukosa oleh otak.9 Sebuah penelitian retrospektif menunjukkan hubungan antara hiperglikemia pasca bedah persisten dan mortalitas pada pasien yang menjalani reseksi tumor.

Obat anestesi mempengaruhi metabolisme sistemik dan otak. Walaupun kebanyakan obat ini memiliki efek menekan konsumsi oksigen dan glukosa oleh otak, mekanisme kerjanya berbeda satu dengan yang lainnya. Obat anestesi atau sedativa dapat mempengaruhi homeostasis glukosa pada periode perioperatif pada pasien yang menjalani pembedahan, dengan menurunkan sekresi hormon katabolik secara tidak langsung, atau dengan mengubah sekresi insulin secara langsung. Mekanisme yang kedua hanya relevan untuk pasien yang masih ada sisa sekresi insulin (pasien dengan diabetes tipe 2).1 Isoflurane mengurangi metabolisme otak, menghemat fosfat kaya energi dan menyebabkan kenaikan glukosa ekstraseluler.10 Lebih jauh lagi, isoflurane menurunkan sekresi insulin yang menyebabkan pasien berisiko terjadi hiperglikemia. Pada sebuah penelitian eksperimental obat anestesi berhalogen seperti halothane atau sevoflurane menyebabkan efek inotropik negatif yang lebih besar pada pasien diabetes dibanding dengan yang non-diabetes, kemungkinan karena diabetes memicu perubahan akibat anestesia pada aktivitas kompleks troponin-tropomiosin. Barbiturat menekan metabolisme global tanpa menyebabkan akumulasi laktat. Barbiturat tidak memberikan efek relevan terhadap pengaturan kadar gula sistemik.10 Propofol menyebabkan kenaikan minimal pada kadar gula ekstraseluler.10

Tidak seperti isoflurane, propofol merangsang sekresi insulin dan oleh karenanya lebih kecil kemungkinannya menyebabkan hiperglikemia. Ketamine menyebabkan peningkatan ringan sampai sedang pada konsumsi oksigen dan glukosa otak. Ketamine juga menyebabkan kenaikan sedang pada kadar laktat otak.10 Opioid tidak memberikan efek besar pada metabolisme glukosa. Etomidate menghambat sekresi ACTH dan oleh karenanya dapat menyebabkan penurunan pada respons glikemik terhadap pembedahan dan pada akhirnya menyebabkan

hipoglikemia.10 Benzodiazepine menurunkan konsumsi metabolik otak secara global, menjaganya seiring dengan CBF, sesuai dosis.10 Selain itu, pemberian midazolam kontinu menyebabkan penurunan sekresi kortisol dan insulin dan peningkatan sekresi Growth Hormone (GH).1 Obat-obat anestesi ini secara efektif menghambat seluruh sistem saraf simpatis dan aksis hipotalamus-hipofisis. Hambatan respons hormon katabolik terhadap pembedahan mungkin membawa keuntungan, terutama pada pasien diabetes. Sampai dengan saat ini, tetap tidak jelas obat anestesi mana yang memfasilitasi kontrol gula darah adekuat dan stabilitas hemodinamik selama periode perioperatif.1

Di ruang premedikasi, pasien diberikan insulin subkutan 12 IU dan kemudian dibawa masuk ke dalam kamar operasi. Tambahan insulin ini diberikan untuk mengantisipasi kenaikan kadar gula darah yang dapat terjadi selama induksi dan anestesia. Pada pasien ini dilakukan induksi dan rumatan anestesi sesuai dengan strategi anestesi pada pasien tumor yang akan dilakukan operasi. Sekalipun beberapa obat anestesi mungkin mempengaruhi kadar gula darah pasien, namun demikian kedalaman anestesi yang tepat, penting agar tidak memberikan stres tambahan terhadap tubuh pasien. Hal ini tercermin dari kadar gula darah pasca induksi yaitu 108 mg/dL. Selama pembedahan, tingkat kedalaman anestesi dipastikan tetap adekuat, dengan pemberian analgetik yang cukup serta terapi cairan rumatan dan pengganti perdarahan yang sesuai. Selain itu ventilasi selama pembedahan juga dijaga agar dalam kondisi hipokarbia ringan sampai dengan normokarbia untuk mendukung kondisi pembedahan yang baik. Kesemuanya ini ditujukan untuk memberikan kondisi optimal bagi tubuh pasien sehingga tidak memicu terjadinya peningkatan kadar gula darah selama pembedahan. Selama pembedahan, kadar gula darah dimonitor setiap 3 jam sekali dengan target kadar gula darah 70–160 mg/dL. Pemeriksaan kadar gula darah berkala dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi episode hipoglikemia, hiperglikemia maupun variabilitas kadar gula darah yang berlebihan.

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

26 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Selama pembedahan gula darah terpantau pada kadar 91–186 mg/dL. Kurang lebih setelah 8 jam pembedahan berjalan, kadar gula mulai tampak meningkat dengan hasil pengukuran 186 mg/dL. Pada saat ini diberikan terapi insulin 4 IU IV dan dilanjutkan dengan pemberian kontinu 0,3 IU/jam. Pemeriksaan kadar gula darah 1 jam sebelumnya menghasilkan 189 mg/dL sehingga pemberian kontinu dinaikkan menjadi 0,4 IU/jam sampai dengan akhir pembedahan. Bila gula darah teregulasi sampai dengan di bawah 180 mg/dL direncanakan dilakukan ekstubasi.

Tiga jam pascabedah di ICU pasien ini dengan kadar gula darah 176 mg/dL dengan terapi insulin 0,4 IU/jam. Pada saat ini pasien dilakukan penyapihan dan kemudian diekstubasi. Kadar gula darah kemudian direncanakan untuk diperiksa tiap 3 jam dengan target 140–180 mg/dL. Setelah penyapihan dan ekstubasi, kadar gula darah terkontrol dengan tiap 3 jamnya masing-masing sebesar 171, 167 dan 152 mg/dL, masih dengan insulin 0,4 IU/jam. Pasien kemudian dipindahkan ke ruangan perawatan biasa dengan kondisi sadar baik dan tanpa sequelae. Rentang optimal kadar gula darah pada pasien bedah saraf dan pasien saraf yang sakit kritis belum ditentukan dan masih merupakan kontroversi. Belum ada konsensus yang mengatur target kadar gula darah pada periode perioperatif. Pertanyaan berapa sebenarnya target kadar gula darah optimal belum dapat dijawab dengan pasti, terutama pada pasien saraf yang sakit kritis.5 Otak sangat rentan terhadap variasi kadar gula darah yang ekstrem. Krisis energi bahkan dapat terjadi pada kadar gula darah yang dalam rentang normal. Terdapat sedikit perbedaan pendapat mengenai rentang kadar gula darah optimal untuk pasien saraf yang sakit kritis, yaitu antara 80 dan 180 mg/dL.12 Namun demikian karena beberapa hasil penelitian acak menunjukkan relatif tingginya angka kejadian hipoglikemia ketika klinisi berusaha mempertahankan kadar gula darah antara 80–110 mg/dL, diusulkan pendekatan yang lebih konservatif, seperti misalnya antara 110-180 mg/dL.12 Kontrol gula darah ketat menurunkan kejadian empat kategori mayor infeksi yang sering terjadi pada ICU saraf/bedah saraf – pneumonia, sepsis, infeksi luka

dan infeksi traktus urinarius dan menurunkan risiko pasien mendapatkan 2 atau lebih infeksi.8 Pengurangan ini berkorelasi dengan batas target kontrol gula darah. Efek menguntungkan pada infeksi ini menghilang sepenuhnya bila kadar gula darah mencapai 170 mg/dL, yang pada akhirnya menyarankan konsentrasi gula darah yang lebih rendah lebih terpilih bahkan dengan target gula darah yang lebih longgar. Meskipun ada risiko hipoglikemia pada kontrol gula darah ketat dan TII, luaran neurologis pada 6 dan 12 bulan lebih baik pada pasien yang diterapi dengan kontrol gula darah ketat dibanding yang diterapi gula darahnya secara konvensional.8

Gambar 2 menunjukkan di rentang mana kadar gula darah harus dijaga pada pasien dengan cedera otak akut.

Pada akhirnya, kontrol gula darah pada pasien dengan cedera otak merupakan tantangan penanganan yang unik. Secara umum, terjadinya hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas gula darah relatif sering terjadi pada populasi pasien ini, dan tampaknya lebih tinggi kejadiannya pada pasien yang sudah punya riwayat DM sebelumnya dan penggunaan TII. Semakin sering episode ketiga kejadian ini, khususnya untuk variabilitas gula darah atau hiperglikemia, dikaitkan dengan risiko mortalitas lebih tinggi dan pemanjangan waktu perawatan. Ada berbagai macam regimen atau cara untuk memberikan insulin untuk mengelola kadar gula darah dengan baik. Pada pasien ini, hasil akhir daripada kadar gula darah per 3 jamnya dalam rentang target yang diinginkan. Penanganan kadar gula darah perioperatif pada pasien ini cukup berhasil dengan baik tanpa pernah didapatkan kondisi hipoglikemia maupun hiperglikemia yang ekstrem dan juga variabilitias kadar gula darah yang relatif tidak besar. Hal ini tidak hanya penting bagi luaran fungsional yang lebih baik bagi pasien namun juga penting untuk menghindarkan pasien dari komplilkasi perioperatif yang tidak diinginkan.

IV. Simpulan

Baik hipoglikemia dan hiperglikemia memiliki efek samping serius pada pasien dengan cedera

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

27

otak yang berlanjut dan menerima perawatan sakit kritis. Kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia dapat memperluas cedera saraf dan berkontribusi terhadap terjadinya infeksi dan perburukan luaran jangka panjang. Pada pasien-pasien seperti ini, bukti yang saat ini ada menggarisbawahi pentingnya monitor ketat kadar gula darah. Untuk meminimalisir risiko hipoglikemia dan mencegah perburukan kerusakan neuron terkait hiperglikemia, direkomendasikan untuk menjaga target gula darah antara 110–180 mg/dL. Daftar Pustaka

1. Tao J, Youtan L. Impact of anesteshesia on systemic and cerebral glucose metabolism in diabetes patients undergoing neurosurgery - updates of diabetes and neurosurgical anesthesia. J Diabetes Metab 2013;4(8):1–5.

2. Godoy DA, Di Napoli M, Rabinstein AA. Treating hyperglycemia in neurocritical patients: benefits and perils. Neurocritical Care 2010;13(3):425–38.

3. Girard M, Schricker T. Perioperative glucose control: living in uncertain times-continuiung professional development. Canadian Journal of Anesthesia 2011;58(3):312–29.

4. Moghissi ES, Korytkowski MT, DiNardo

M, Einhorn D, Hellman R, Hirsch IB dkk. American association of clinical endocrinologists and American diabetes association consensus statement on inpatient glycemic control. Diabetes Care 2009;32(6):1119–31.

5. Bilotta F, Rosa G. Glucose management in the neurosurgical patient: are we yet any

closer? Current Opinion in Anaesthesiology 2010;23(5):539–43.

6. Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt R. Perioperative glucose control in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice 2012; 1–13.

7. Bilotta F, Giovannini F, Caramia R, Rosa G.

Glycemia management in neurocritical care patients. J Neurosurg Anesthesiol 2009;21:2–9

8. Ooi YC, Dagi TF, Maltenfort M, Rincon F, Vibbert M, Jabbour P, dkk. Tight glycemic control reduces infection and improves neurological outcome in critically ill neurosurgical and neurological patients. Neurosurgery 2012;71(3):692–702.

9. Atkins JH, Smith DS. A review of perioperative glucose control in the neurosurgical population. Journal of Diabetes Science and Technology 2009;3(6):1352–64.

10. Horn T, Klein J. Lactate levels in the brain are elevated upon exposure to volatile anesthetics: a microdialysis study. Neurochemistry International 2010;57(8):940–47.

11. Hirsch IB, McGill JB, Cryer PE, White PF. Perioperative management of surgical patients with diabetes mellitus. Anesthesiology 1991;74(2):346–59.

12. Kramer AH, Roberts DJ, Zygun DA. Optimal glycemic control in neurocritical care patients: a systematic review and meta-analysis. Critical Care 2012;16:R203.

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

28

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C Asia

Wahyu Sunaryo Basuki*), Dewi Yulianti Bisri**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif RSAD Brawijaya Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung***)Departemen Anestesiologi dan

Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera medula spinalis akut relatif jarang namun menjadi salah satu kejadian trauma yang berakibat fatal. Kejadian ini sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama dari kejadian ini, disusul oleh kejadian trauma di rumah, industri dan olahraga. Tujuan utama dari pengelolaan cedera medula spinalis akut adalah mencegah medula spinalis dari cedera sekunder dan memperbaiki fungsi neurologis, mencegah perubahan alignment dan menjaga stabilitas columna vertebralis untuk mendapatkan hasil pemulihan neurologis dan rehabilitasi yang maksimal. Ahli anestesi berperan besar mulai awal pengelolaan secara optimal cedera medula spinalis akut ini. Seorang laki-laki, 57 tahun, dibawa kerumah sakit karena kecelakaan sepeda motor. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan laju nafas 24x/menit, nadi 70x/menit, tekanan darah 110/61 mmHg, perfusi baik, GCS 15, dan tetraparesis. Dalam perawatan selanjutnya, terjadi bradikardia (nadi 50-61 x/menit) dan hipotensi (tekanan darah 80-90/40-60 mmHg). Dilakukan laminoplasti dekompresi stabilisasi segera.

Kata kunci: Bradikardia, cedera medula spinalis akut, hipotensi, laminoplasti dekompresi stabilisasi

JNI 2018;7 (1): 28–35

Perioperative Management Traumatic Cervical Spinal Cord Injury with Tetraparesis Frankle C Asia

Abstract

Acute spinalis cord injury (SCI) is relatively rare but can be a fatal trauma event. Young adult men are most commonly affected. Traffic accident is a frequent cause, followed by accidents at homes, industries, and in sports. The primary goals of the management of acute SCI are to prevent secondary injury of the spinal cord, improve neurological functions, prevent disruption in alignment, and maintain the stability of the vertebral columns. These serve to achieve neurological recovery and maximal rehabilitation. Anesthesiologists play an important role in the optimal management of acute SCI. A 57-year-old man was brought to the hospital due to a motorcycle accident. Physical examination revealed respiratory rate 24 x/minutes, heart rate 70 x/minutes, blood pressure 110/61 mmHg, good perfusion, GCS 15, and tetraparesis. During hospitalization, the patient developed bradycardia (heart rate 50-61 x/minutes) and hypotension (blood pressure 80-90/40-60 mmHg). Immediate decompressive laminoplasty stabilisation was performed.

Key words: Acute medula spinalis injury, bradycardia, decompressive laminoplasty stabilisation, hypotension.

JNI 2018;7 (1): 28–35

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

29

I. Pendahuluan

Cedera medula spinalis akut menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan terhadap problem sosial dan ekonomi. Cedera ini menyebabkan problem kesehatan karena memerlukan perawatan jangka panjang dan biaya yang besar. Problem psikososial pasien dan keluarga juga merupakan beban terhadap masyarakat dan negara. Lebih dari 50% korban cedera ini tidak dapat kembali hidup secara normal, sedangkan mayoritas dari korban tersebut adalah usia 15–25 tahun yang sehat. Di Inggris angka kejadiannya 10–15 orang per satu juta populasi pertahun dan 40000 orang hidup dengan cedera medula spinalis. Di Amerika sekitar 50–55 orang per satu juta populasi per tahun dengan total biaya rata-rata berkisar empat-lima milyar dolar. Pada trauma servikal dengan cedera medula spinalis angka mortalitasnya pada 3 bulan adalah 20%–21 %. Sedangkan prediktor mortalitas independennya adalah level dari cederanya, CGS, usia dan gagal nafas. 1-4

Cedera medula spinalis akut menyebabkan gangguan yang komplet atau inkomplet dari fungsi motorik, sensorik, autonomik dan reflek. Mekanisme cederanya terdiri dari cedera primer dan cedera sekunder. Ahli anetesi berperan besar pada pengelolaan cedera medula spinalis akut mulai dari tahap awal resusitasi setelah kejadian sampai tahap pengelolaan jangka panjang.2,4 Cedera pada medula spinalis ini sering menyebabkan gangguan atau disfungsi sistim respirasi dan jantung, bahkan dua hal tersebut sering menyebabkan kematian.1, 5, 6

Oleh karena itu pada fase primer dilakukan resusitasi untuk mencegah hal tersebut yaitu melakukan resusitasi airway dengan imobilisasi servikal spinal, breathing dan circulation dengan kontrol perdarahan dan pengelolaan syok neurogenik.2 Selanjutnya dilakukan pengelolaan pada fase sekunder yang meliputi pemberian anestesi untuk stabilisasi dari kolumna spinalis serta tindakan pembedahan untuk dekompresi atau fusi. Hal ini untuk melindungi dan mencegah kerusakan Medula spinalis lebih lanjut, menjaga struktur tulang dan

stabilitasnya sehingga didapatkan pemulihan dan rehabilitasi yang maksimal. Pengelolaan anestesi meliputi pemilihan obat, memberikan oksigen yang adekuat, menjaga kondisi normokapneu, normoglikemia serta menjaga perfusi medula spinalis yang adekuat. Hipotensi sistemik akan menyebabkan cedera sekunder, sedang hipertensi, akan menyebabkan perdarahan dan edema. Pada fase sekunder dilakukan perawatan di intensive care unit karena seringkali cedera medula spinalis pada trauma terjadi sebagai multi trauma seperti cedera otak dan cedera abdomen serta yang lainnya.2,4 Pada cedera medula spinalis pada daerah servikal tinggi sering memerlukan perawatan dengan ventilator mekanik di ICU.

II. Kasus

Seorang laki-laki 58 tahun 60 kg dirujuk ke rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas sepeda motor dengan sepeda motor. Penderita mengeluh kedua tangan dan kedua kaki lemah, kesemutan dan rasa baal, tengkuk terasa nyeri. Dari anamnesa penderita sempat pingsan dan muntah. Kejadian 12 jam sebelum masuk rmah sakit. Kelemahan kedua tangan dan kaki tidak ada sebelum terjadinya kecelakaan.

Pemeriksaan FisikPenderita dibawa dengan stretcher dan memakai collar neck rigid. Jalan nafas bebas, frekwensi nafas 28x/ menit dengan oksigen kanul 3 liter/menit, SpO2 98%. Hemodinamik perfusi hangat kering merah. Nadi 70x/menit reguler, tekanan darah 125/70 mmhg. GCS E4 V5 M Tetraparesis pupil isokor, reflek cahaya +/+. Pada pemeriksaan neurologis motorik didapatkan sebagai berikut: sensorik hipoalgesia setinggi C3 – distal dermatom.

2 2 2 2 3 3 33 2 2 2 2 2 2 2 23 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2

Reflek BPR ↓│↓TPR ↓│↓ APR ↓│↓KPR ↓│↓ reflek patologis (–). RT tonus spingter ani (–). Bising usus + lemah. Ronkhi dan wheezing tidak ada.

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C Asia

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

30 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaaan PenunjangPemeriksaan laboratorium Hb 10,7 g/dl, L 15.290/ul, Ht 34,6 Vol %, Thr 338.000/ul, BT 2 menit, CT 10 menit, PPT 13,2 detik, kontrol 12,6 detik, APTT 32,20 detik, kontrol 30,80 detik golongan darah B Rh positif. SGOT 28 U/l SGPT 13 U/l. Ureum 37,2 mg/ dl, Sc 1,39 mg/dl. Albumin 3,50 g/dl, GDS 125 mg/dl, Natrium 134 mmol/L, Kalium 4,1 mmol/L, Klorida 107 mmol/L. Analisa gas darah pH 7,44 , PCO2 44,2 mmHg, PO2 140,6 mmHg, HCO3 28,6, O2 saturasi 99,0, BE 2,3, AADO2 42,8.

Thorax foto pre operasi

Gambar. 1 Thorax foto AP.Kesan: Foto Thorax dalam batas Normal

Gambar 2. CT kepalaHasil: Kesan brain parenkim dan intrakranial lainnya normal tak tampak kelainan

MRI Cervical Pre operasi

Gambar. 3.1 MRI:

Hematom

Gambaran Hematom

Gambaran penyempitan kanalis sentralis, bulging disc, stenosis

Secara umum terjadi penyempitan central canal mulai dari C4 s/d C6 dengan diameter rata-rata 6–7 mm. Posterior osteophytes terutama di level C4-5 (paramedian kanan dan kiri) dan C6–7 (Para median kanan dan kiri). Post trauma tampak hyperindense medula spinalis edema di level C4–5,6–7 yang secara biomekanik dapat dijelaskan akibat flexion injury dan trauma akibat posterior osteophytes di dua level di atas. discus intervertebralis: C2–3, C7–Th1: normal, C3–4:

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

31

bulging disc ke posterior mendesak anterior thecal sac serta menyebabkan moderate stenosis foraminal canal bilateral. C4–5, 5–6: protruded disc disertai osthepyte menyebabkan moderate stenosis central canal, severe stenosis foraminal canal kanan dan moderrate kiri. C6–7: Pasien dirawat di ruang terapi intensif setelah dilakukan MRI menunggu dilakukan operasi dekompresi laminoplasti stabilisasi. Di pasang monitoring non invasif untuk tanda vital; nadi, tensi, saturasi oksigen, suhu. Diberikan oksigen kanul 3 liter permenit, cairan infus balan cairan iso osmoler 100 cc/jam.

Selama di ICU terjadi nadi bradikardia 52–60x/menit, tekanan darah sistolik turun 80–85 mmHg dengan MAP 50–55 mmHg. Diberikan cairan infus balan isosmoler 500 cc cepat, sulfasatropin 0,5 mg IV sebanyak dua kali dan dopamin 3μg–5μg / kgBB. Selanjutnya penderita disiapkan ke kamar operasi dengan nadi diatas 60x/menit dan tekanan darah sistolik diatas 100mmHg, MAP mencapai 80–85 mmHg.

3333 3333 3333 22223333 3333 3333 3333

mempertahankan posisi secara manual, colar neck tidak dilepas. Laringoscope yang dipergunakan adalah McCintosh. Induksi dengan propofol 2mg/kg dosis titrasi, vecuronium, 0,10 mg/kg BB, fentanyl 2mg/kgBB. Selama proses intubasi tekanan darah terpasang stat, tidak ada gejolak nadi dan tekanan darah selama proses intubasi. Nadi berkisar 65–80x/menit dan tekanan darah 105–115/55–70 mmHg, Suhu rektal 36,9o C. Setelah dilakukan pemasangan nasogastrik tube dan pemasangan tampon hipofaring untuk fiksasi kemudian dilakukan pemasangan arteri line dan vena sentral. Kateter urine sudah terpasang Posisi pasien untuk operasi adalah posisi prone, diposisikan setelah dilakukan perlindungan terhadap daerah mata, wajah, serta setelah vital sign baik dan stabil. Dilakukan pemeriksaan

3333 3333 3333 33335555 5555 5555 5555

kondisi torak, perut apakah sudah bebas. Rumatan anestesi dilakukan dengan propofol 4mg/kg bb/jam, sevoflurane 0,8% -1,5% volume, vecuronium 0,03–0,05 mg/kgBB/jam, O2 50% dengan O2 / udara dan O2 murni. Fentanyl 1ug/kg bb diberikan sebanyak 3 kali selama operasi. Rumatan cairan yang dipergunakan adalah ringerfundin. Monitoring yang dilakukan selama operasi berlangsung adalah EKG, ABP, SpO2, EtCO2, suhu rektal, urine.

Operasi berlangsung selama 5 jam. Selama operasi dilakukan rumatan anestesi kontrol ventilasi dengan frekuensi 13x/menit, volume tidal 8cc/kg bb sehingga tercapai minute volume 6,2 liter, PEEP 3. Dengan memberikan Dopamin 3–5 microgram/kgBB didapatkan MAP 75–90 mmHg, tekanan darah sistolik 105–130 mmHg dan laju nadi 65–85x per menit. EtCO2 berkisar antara 32–36, serta suhu rektal 36,6–37,2. Cairan balans isosmoler yang masuk sebanyak 1200cc sedang produksi urin sebanyak 500cc dengan perdarahan 200cc, penderita dirawat di ruang ICU dengan ventilator. Obat pasca operasi yang diberikan adalah analgetik petidin 50mg 1.m; parasetamol 1gr, Omeprazole 20 mg, odansetron 4 mg, intravena.

Tanda Vital selama Operasi

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C Asia

Pengelolaan AnestesiTransportasi ke kamar operasi dengan tetap mempertahankan airway, breathing, circulation (ABC) kontrol spine. Monitor non invasif tetap terpasang. Intubasi dilakukan dengan tetap

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

32 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Perawatan di ICUHari 1 di ICUpenderita dirawat dengan ventilator mode PSIMV RR 13x, FlO2 40%, PC I2, TV 480-500 cc, I:E 1 : 2, triger 1, PEEP 3, EtCO2 30–35 dengan SpO2 97 – 99%, MAP 80 – 90 mmHg, CVP 8–11 dan suhu rektal 36,8–37,1, nadi 65–78x/menit irama sinus. Terapi yang diberikan balan cairan isosmoler 1500 cc dan NaCl 0,9% 500 cc selama 24 jam, serta sonde D5 % 6x50 cc, antibiotik, parasetamol 3x 1 gr, omeprazole 20 mg, dopamin 5–8 mikro/kgbb. Pemeriksaan laboratorium Hb 11,8 g/dl, Ht 35,6 vol%, Thr 18400/ul, Na 136mmol/L, K 3,4mmol/L, NaCl 104 mmol/L, GDS 113 mg/dl, analisa gas dalam pH 7,36, PCO2 44 mmHg, PO2 108 mmHg, HCO3 28,4 mmol /L, BE 2,1 mmol/L AADO2 80. Suara nafas tambahan tidak ada, GCS E4 VxM6 tetra paresis, bising usus positif perut tidak kembung. Status neurologi: sensoris hipoalgesi positif, reflek fisiologis menurun dan tonus spingter ani negatif. Hari II-IIISuport ventilator mulai diturunkan dari PSIMV RR 13 x/menit menjadi sampai RR 8 x/menit dengan PS 6, FiO2 menjadi 30%. Laju nafas yang keluar 16–20 x/menit, TV 480-590 cc, minute volume 7,6–8,6 tanda-tanda vital relatif sama, bising usus positif, tidak ada retensi lambung produksi urine cukup. Makanan cair personde diberikan 6x100 cc.

Gambaran Fungsi Vital di ICU

Parameter IndikasiEkspirasi maksimal <+20 cmH2OInspirasi Maksimal <–20 cmH2OKapasitas Vital < 15 mL/KgPaO2|FIO2 <250Thorax foto Atelectasis| Infiltrates

Tabel 1. Indikasi Ventilasi Mekanik

Hari IVTanda-tanda vital baik tidak panas. Mode ventilator CPAP PS 8, respon pernafasan RR 18-24x/menit. Volume Tidal 500 – 590 cc EtCO2 30 – 33 mmHg, SpO2 98–100%,dengan kemampuan batuk kuat dan status neurologis membaik.Kesemutan berkurang, baal membaik. Analisis gas darah pH 7,46, PCO2 34,8 mmHg, PO2 190 mmHg, HCO3 24,8 mmol, BE 2,9 mmol/L, AaDO2 98.

Hari VPenderita sadar baik, MAP 80–90 mmHg, tekanan darah 105–135/65–72 mmHg, EtCO2 32, SpO2 98%, suhu 36,8o C–37,1o C.Dilakukan ekstubasi, diberikan oksigen masker 6 Lt/menit.

Hari ke VIII Pasca operasi penderita pindah ke ruang perawatan, hari ke 30 pulang dengan GCS 15, status neurologis sensoris hipoalgesia negatif (normal), reflek fisiologis normal, tonus spingter ani baik.

III. Pembahasan

Cedera medula spinalis karena trauma banyak terjadi dan sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Hal ini terutama karena terjadi disfungsi sistim respirasi dan kardiologik. Cedera medula spinalis primer terjadi pada saat terjadinya trauma, sedangkan cedera sekunder berlangsung beberapa menit maupun beberapa hari setelahnya. Disfungsi respirasi pada akhirnya menyebabkan hipoksemia sedang disfungsi kardiologik yang berupa bradikardi, hipotensi sistemik karena syok

Sumber: G S Umamaheswara Rao: Indian Journal Of Anaesthesia, February 2008

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

33

spinal atau karena hipovolemi akan menyebabkan aliran darah spinal menurun sehingga tekanan perfusi spinal akan terganggu. Hal itu semua akan menyebabkan cedera sekunder.2,3,5-7 Cedera medula spinalis servikal tinggi menyebabkan gangguan sistem respirasi, kardiologik, dan fungsi autonom. Gangguan atau disfungsi ini sering memerlukan perawatan dengan ventilator mekanik dan terapi farmakologik.5-9 Penanganan pasien cedera medula spinalis pada fase awal atau inisial fase resusitasi adalah melakukan ABC control Spine. Mengamankan jalan nafas, memberikan oksigen yang adekuat serta menjaga tekanan darah sistolik dan MAP yang mencukupi sehingga tidak terjadi cedera sekunder.2,4,7

Pada pasien ini GCS 15, airway dan kontrol spinenya dijaga dengan memasang colar neck dan meletakkan pasien pada stretcher. Bila tidak ada colarneck bisa digunakan 2 bantal pasir kanan kiri kepala. Untuk oksigenasi diberikan oksigen kanul 2–3 liter/menit, sedang untuk mencegah hipovolema diberikan koreksi dengan cairan kristaloid balan cairan iso osmoler 500cc cepat dan diberikan pemberian sulfas atropin 0,5 mg intravena untuk mengatasi bradikardia, serta pemberian dopamin untuk mengatasi hipotensi karena syok spinal. Hipoksi dan hipofolemi pada pasien ini harus cepat diatasi karena untuk mencegah terjadinya cedera sekunder. Induksi dan intubasi pada pasien cedera medula spinalis servikal pada trauma memerlukan keterampilan dan kehati-hatian, karena trauma mekanik pada saat suction trakea, tindakan laringoskopi, intubasi endotrakea, dapat menyebabkan bradikardia sampai asistole.4,7,8

Menjaga alignment selama induksi intubasi akan mencegah cedera mekanik lanjutan, hal ini memerlukan tehnik dan keterampilan dari ahli anestesi. Colar neck tetap dipasang, dan manipulasi pada leher harus dilakukan seminimal mungkin. Dilakukannya posisi manual in line pada intubasi ini akan memperkecil terjadinya cedera pada saat intubasi.7 Untuk menjaga dan mencapai MAP 85–90 mmHg dan tekanan sistolik diatas 90 mmHg maka dilakukan pemberian propofol 2 mg/kgbb, fentanyl, secara titrasi serta dopamin tetap diberikan secara kontinyu. Obat relaksasi otot yang diberikan adalah vekuronium karena

mempunyai efek vagolitik dan histamin release yang minimal sehingga stabilitas kardiologi terjaga.7 Pada pasien ini sebelum dilakukan posisioning dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan arteri line, nasogastrik tube, dan tampon hipofaring untuk fiksasi pipa endotrakeal. Pelaksanaan pengaturan posisi prone pasien dilakukan dengan cara log roll menjaga posisi in line serta menjaga stabilitas hemodinamik karena disfungsi kardiologik yang terjadi seperti terjadinya hipotensi ortostatistik. Dilakukan perlindungan terhadap mata, mencegah distensi lambung dengan membuka NGT, menjaga abdomen yang bebas serta menjaga dari cedera syaraf perifer. Pada cedera medula spinalis yang tinggi seperti servikal 3, servikal 4 atau servikal 5 menyebabkan gangguan sistim respirasi yang terjadi karena kelumpuhan otot inspirasi, ekspirasi, juga diapragma, serta kemampuan batuk. Ventilasi mekanik untuk tindakan anestesi disesuaikan dengan disfungsi yang terjadi yaitu disfungsi respirasi, kardiologik dan autonom yang terjadi pada pasien ini. Frekuensi nafas yang diberikan 13x|menit dengan tidal volume 8cc/kg bb, sehingga minute volumenya 6,2 liter. FiO2 50% dengan oksigen air dan oksigen murni. Diberikan PEEP untuk menjaga alveoli, dengan tetap menjaga hemodinamik. Pemilihan obat anestesi adalah propofol 4mg/kg/BB/jam dan sevoflurane 1% volume - 1,5% volume, serta obat vekuronium 3mg/jam. Obat-obat anestesi tersebut dipilih untuk menjaga stabilitas hemodinamik serta mempertahankan tekanan medula spinalis perfusi dan menurunkan laju metabolisme.10,11 Dipilih kombinasi propofol dan sevoflurane untuk menjaga kedalaman anestesi dan menjaga gejolak hemodinamik. Dopamin diberikan sebanyak 3–8 mikro/kgBB selama berlangsungnya operasi tekanan darah pada MAP dipertahankan antara 80–90 mmHg. Pada setiap waktu operasi kondisi normoglikemi normotensi, dan normovolemi dijaga dengan memberikan cairan rumatan kristaloid iso osmoler ringerfundin 2cc/kg bb/jam. Kondisi normo kapni dipertahankan dengan mengatur ventilasi mekanik sehingga tercapai PaCO2 sekitar 35 mmHg dan pada operasi ini dipasang monitor EtCO2 30–35. Monitor suhu dipasang di rektal dengan mempertahankan suhu antara 36,6–37,1oC. Operasi berlangsung selama

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C Asia

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

34 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

lima jam, dilanjutkan perawatan di ICU dengan ventilator mekanik, karena pada pasien ini terjadi gangguan saraf motorik, sensorik serta autonom karena cederanya. Cedera medula spinalis pada daerah servikal yang tinggi memerlukan bantuan ventilasi mekanik. Berat ringannya disfungsi respirasi tergantung dari level lesi spinalnya. Lesi dibawah C4 masih ada pengaturan respirasi volunter. Gangguan fungsi otot intercostal menyebabkan gerakan paradoksal keatas dari thorak selama inspirasi; dan ekspansi yang kurang selama inspirasi serta tidak stabilnya rongga thorak selama ekspirasi menyebabkan retensi sekresi, infeksi paru, edema paru, dan gagalnya ventilasi alveolar. Indikasi untuk melakukan ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan beberapa parameter seperti pada tabel.12

Selama dirawat di ICU dengan ventilator dan dengan monitoring invasif maupun non invasif pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang baik dan ada perbaikan status neurologis. Fungsi autonom juga membaik dengan fungsi gaster dan peristaltik usus yang baik serta tonus sphingster ani yang mulai timbul meskipun lemah. Penderita mulai dilakukan weaning ventilator untuk mencegah terjadinya komplikasi dari ventilator seperti pneumonia, prolong ventilator. Dalam hal ini weaning perlu hati-hati karena bila terjadi prematur akstubasi maka harus dilakukan reintubasi. Ada beberapa kriteria untuk ekstubasi yaitu: tidak panas, tanda vital baik, VC 15 ml/kgBB, inspiratory force >–24 cmH2O, Respirasi stabil selama 24 jam, PaO2 >75, PCO2 35–45, pH 7.35–7,45, tidak menggunakan PEEP, FiO2 tidak lebih dari 25% dan sekret bisa dikeluarkan, kondisi umum baik selama 24 jam, thorax foto baik, secara psikologis baik dan bisa bekerja sama.12 Kriteria tersebut tidak semua dilakukan seperti pemeriksaan vital capacity. Kondisi pasien yang relatif baik selama pasca operasi dimungkinkan karena pengelolaan perioperatif dan tindakan pembedahan yang segera dilakukan. Resusitasi ABCs yang dilakukan adalah untuk mencegah hipoksia dan hipotensi yaitu dengan menjaga tensi sistolik diatas 90mmHg dan MAP mencapai 85–90 mmHg.

Hal itu akan menyebabkan tekanan perfusi spinal

tetap baik. Mengatasi disfungsi respirasi dilakukan dengan memberikan ventilasi mekanik dan farmakologik. Disfungsi kardiologik, gangguan autonom diberikan obat-obat farmakologik.13-15

Obat methyl prednisolon karena tidak diberikan karena tidak terbukti membeikan hasil yang baik tetapi menyebabkan infeksi dan gangguan lambung.16,17

IV. Simpulan

Pengelolaan perioperatif anestesi pada pasien laki-laki 57 Th dengan cedera traumatik medula spinalis servikal tinggi Frankle C Asia pada pasien ini dilakukan dengan cepat tepat dan baik yang sesuai dengan pedoman tahapan fase penanganan anestesi mulai fase primer sampai fase long term. Perawatan cedera medula spinalis servikal tinggi pada pasien ini memerlukan ventilator mekanik yang dapat dilakukan weaning relatif cepat dengn perbaikan status neurologis disfungsi respirasi, kardiologik dan perbaikan fungsi autonom yang cepat. Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan anestesi yang baik cepat dan tepat akan memberikan status neurologis bisa berjalan.

Daftar Pustaka

1. Van Middendorp J J, Goss B, Susan U, Atresh S, Williams RP, Schuetz M. Diagnosis and prognosis of traumatic spinal cord injury. Global Spine J 2011; 1: 1–8.

2. Wirasinghe V, Grover S Ma D, Vizcaychipi M. Anaesthetic management of patients with acute spinal injury. The Internet Journal of Anesthesiology. 2010;30 (1).

3. Yilmaz T, Turan Y, Keles A. Pathopysiology of the spinal cord njury. Review article. Journal of clinical and experimental Investigation.2014;5(1): 131–6.

4. Elif C, Copuroglu C, Sahin SH, Ciftdemir M. Anaesthesia management in spinal cord injury patients. The Journal of Turkish Spinal Surgery. 2015;26(2): 173–6.

5. Brown R, Anthony DF, Jeanette HD, Eric G.

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

35

Respiratory dysfunction and management in spinal cord injury. Respircar. 2006 August; 51 (8) : 835–87.

6. Grigorean VT, Sandu AM, Popescu M, Iacobini MA, Stoian R, Neascu C, Pop F. Cardiac dysfunctions following spinalcord injury. Journal of Medicine and Life.2009; 2(2): 133–45.

7. Stier R, Asgarzadief G, Cole DJ. Neurosurgical diseases and trauma of spine and spinal cord: anaesthetic considerations. Dalam: Cotrel JE, Patel, eds. Cottrel and Piyush Neuro anesthesia, 6th Ed. Philadelphia. 2017, 351–409.

8. Alexander F, Daniel HJ, Spinal cord injury: evidence based medicine, diagnosis, treatment, and complication. Dalam: Layon JA, Gabrielli A, William FA. eds. Texbook of Neuro Intensive Care. 2nd Edition. London: Springerve-Verlag 2013, 619–41.

9. Ryken TC, Hurlbert RJ, Hadley MN, Aarabi B, Dhail SS, Gelb DE. The acute cardio pulmonary management of patient with spinal cord injuries. Neuro surgery. 2013; 72(3):84–92.

10. Rao USG. Anaesthetic and intensive care management of traumatic cervical spine injury. Indian Journal of anaesthesia. 2008; 52 (1): 13–22.

11. Veale P, Lamb J. Anesthesia and acute spinal cord injury. Br J Anaesth. 2002; 5(2) 139–43.

12. Berlly M, Shem K. Respiratory management during the first five days after spinal cord injury. J spinal Cord Med 2007; 30: 309–18.

13. Neil D, Armagan D. Anesthetic consideration in acute spinal cord trauma. Int J Crit ill Inj Sci. 2011; 1 (1)

14. Berlowitz DJ, Wadsworth B, Ross J, Respiratory problems and management in people with spinal cord injury. Breathe 2016; 12(4):328–40.

15. Michelle D, Mckinlay J. Cervical cord injury and critical care. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care and Pain. 2009;9(3):82–6.

16. Botelho RV, Daniel RW, Boulosa JLR, Colli BO, de lucena Farias R, Moraes OJS, et al. Effectiveness of methyl prednisolone in acute spinal cord injury. A systemic review of randomized controlled trials. Rev Assoc Med Bras 2009; 2010; 56 (6): 729–37.

17. Hurlbert RJ. Strategies of medical intervention in the management of acute spinal cord injury. Spine 2006;31(2): 516–21.

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan Tetraparesis Frankle C Asia

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

36

Talaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial

Endah Permatasari*), Bambang Oetoro**), Syafrudin Gaus***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSU Kabupaten Tangerang, **) Departemen Anestesiologi dan terapi intensif Rumah Sakit Mayapada ,***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Hasanudin

Makassar

Abstrak

Tindakan pembedahan eksisi arteriovenous malformation (AVM) merupakan salah satu prosedur yang menantang di bidang neuroanestesia. Diagnosis AVM ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung pemeriksaan neuroradiologis. Untuk persiapan perioperatif pasien AVM yang optimal, ahli anestesi harus memahami patofisiologi AVM dan tatalaksananya. Terapi pada pasien AVM sangat tergantung pada ukuran diameter AVM dan lokasinya. Target utama dari operasi adalah memotong pasokan aliran darah ke AVM. Dengan tindakan reseksi AVM, bila AVM sudah dapat diidentifikasi maka pasokan aliran darah akan dihentikan dan dilakukan pengangkatan nidus. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 19 tahun dengan nilai GCS 15, BB 59 kg, datang dengan keluhan sering sakit kepala semenjak 1 tahun sebelum masuk RS. Hasil angiografi otak menunjukan adanya gambaran AVM di lobus parietal kanan. Dilakukan tindakan reseksi AVM dan pembedahan berhasil dengan baik. Tidak timbul defisit neurologis pascabedah. Pascabedah pasien dirawat di ICU dan pindah keperawatan keesokan harinya.

Kata kunci: AVM, tatalaksana perioperatif, reseksi AVMJNI 2018;7 (1): 36–43

Perioperative Management Patient with Intracranial Arteriovenous Malformation Resection

Abstract

Arteriovenous malformation (AVM) resection is one of the most challenging procedures in neuroanesthesia. Right now, cerebrovascular surgery is frequently done. The diagnosis of intracranial AVM is based on clinical symptoms and is supported by neuroradiological examination. For optimal perioperative management of patients with intracranial AVM abnormalities, anaesthetist should understand the pathophysiology of the AVM disorder and its management. Therapy in AVM patients is highly dependent on the size of the AVM diameter and its location. The main target of surgery is to cut the blood supply to the AVM. In AVM resection, as soon as AVM can be identified, the blood supply will be stop anf the nidus will be remove. In this case report: a 19 year old woman, score GCS 15, 59 kg in weight cames with frequent headache since the previous years before entered the hospital. Brain angiographic results showed intracranial AVM features in the right parietal lobe. The patient underwent the AVM resection action and the operation was done successfully. No neurological deficit was found. Postoperative patients were admitted to the ICU and moved to the ward the next day.

Key words: AVM, perioperative management, resection AVM

JNI 2018;7 (1): 36–43

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

37

I. Pendahuluan

Arteriovenous malformasi (AVM) adalah suatu kelainan pembuluh darah intrakranial yang menghubungkan antara arteri dan vena tanpa disertai adanya capillary bed di parenkim otak. Kelainan ini dapat menyebabkan defisit neurologis yang serius sampai dengan kematian. AVM bisa terdapat di area supratentorial (70– 97%), infratentorial (3–30%) atau dalam bagian otak yang lebih dalam (4–23%). Penyebab kelainan ini tidak diketahui. Malformasi ini diduga merupakan suatu kelainan kongenital karena pembentukan pembuluh darah yang abnormal pada masa embrionik. Bukan merupakan suatu kelainan herediter. Kelainan ini relatif jarang ditemukan namun komplikasi yang ditimbulkan dapat menimbulkan gejala kejang dan perdarahan hingga menimbulkan kematian. Sekitar 10% AVM terkait dengan aneurisma. Dengan kemajuan teknik pemeriksaan neuroradiologi ditemukan lebih banyak kasus AVM yang belum terjadi perdarahan (AVM pecah/rupture AVM). Standar baku diagnostik AVM adalah angiografi serebral.1-3

Arteriovenous malformation sebenarnya tidak terlalu banyak angka kejadiannya namun menyebabkan gangguan neurologis dan angka kematian yang tinggi. Angka kejadian dan prevalensi AVM sebenarnya tidak diketahui secara pasti. Insiden dari AVM diperkirakan 1: 100.000 pertahun dari populasi. Dari suatu data pemeriksaan otopsi dikatakan bahwa rata-rata terdapat sekitar 4,3% dari populasi. Penelitian di Belanda antara tahun 1980–1990, ditemukan insiden dari AVM yang bergejala adalah 1,1 per 100.000 penduduk. Arteriovenous malformation lebih sering ditemukan pada rentang usia 20–45 tahun dengan puncaknya pada dekade ke empat dan kasusnya tetap dapat ditemukan pada usia yang lebih lanjut. Walaupun AVM dianggap sebagai suatu kelainan kongenital hanya sekitar 18–20 % kasus yang bisa terdeteksi sebelum usia remaja. Tidak ada perbedaan bermakna angka kejadian AVM pada lelaki dan perempuan. Diduga AVM adalah penyebab terbanyak perdarahan intrakranial bukan akibat trauma pada rentang usia kasus dibawah 35 tahun.4,5

Seiring kemajuan teknologi kedokteran maka terapi AVM tidak hanya terbatas reseksi AVM tetapi meliputi embolisasi endovascular dan stereotactic radiosurgery. Segera setelah AVM terdeteksi sebaiknya segera langsung dilakukan tindakan. Tujuan utama terapi adalah menghilangkan secara total AVM intrakranial. Dikatakan bahwa terapi bedah yang parsial atau tidak sempurna menyebabkan risiko perdarahan yang lebih tinggi dibandingkan AVM yang tidak dioperasi.1,5,6

Tindakan pembedahan reseksi AVM intrakranial sebaiknya dilakukan secara terencana sebelum terjadi komplikasi perdarahan dan kecacatan. Persiapan operasi harus dipersiapkan secara seksama. Pemeriksaan untuk mencegah terjadinya risiko timbulnya kesulitan selama periode intraoperatif harus dilakukan. Apabila kondisi pasien belum optimal dan tindakan pembedahan direncanakan elektif sebaiknya dilakukan perbaikan kondisi umum terlebih dahulu. Dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya defisit neurologis praoperatif. Dilakukan pendokumentasian secara lengkap di rekam medik dan konsultasikan ke bagian terkait bila diperlukan. Pada kasus ini sebelumnya pasien berobat ke bagian neurologi, sudah mendapatkan terapi dan belum terjadi suatu defisit neurologis. 2,3

Grading system digunakan sebagai salah satu sarana untuk memprediksi tingkat kesulitan operasi. Spetzler dan Martin pada tahun 1986 memperkenalkan suatu skala penilaian risiko morbiditas dan mortalitas AVM intrakranial (Spetzler-Martin AVM grading system) yang akan direncanakan terapi surgical. Skala ini yang paling sering digunakan. Makin tinggi jumlah nilai keseluruhan maka akan makin tinggi risikonya. Dikatakan grade I dan II memiliki tingkat kemtian yang lebih rendah. Skala ini berdasarkan lokasi nidus, lokasi lesi terhadap cortex eloqouent dan drainase vena. Pada tabel 1 dibawah ini akan dijabarkan skala Spetzler – Martin Grading Scale untuk AVM intrakranial.2

II. Kasus

Seorang wanita berusia 19 tahun dengan berat badan 59 kg dengan AVM direncanakan untuk dilakukan kraniotomi reseksi AVM.

Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

38 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Anamnesis:Pasien dengan riwayat sering sakit kepala dan kejang berulang semenjak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Frekwensi kejang sekitar 2-3 kali per bulan. Kejang terakhir satu hari yang lalu setelah dirawat. Setelah kejang pasien tetap sadar. Sebelumnya pasien berobat ke dokter neurologi dan mendapatkan terapi fenitoin 3 x 100 mg. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 130/90 mmHg, frekwensi nadi 70 kali per menit, laju nafas 14 kali permenit, suhu 37oC. Auskultasi bunyi jantung I,II regular, tidak didapatkan bunyi rhonki dan wheezing di kedua lapang paru. Abdomen lunak, tidak ada nyeri tekan dan tidak distensi. Pasien dengan Mallampatti 1 dan buka mulut maksimal. Tidak ditemukan gangguan nervus kranialis.

Karakteristik NilaiUkuran AVM Kecil (< 3 cm) 1 Sedang (3-6 cm) 2 Besar ( > 6 cm) 3Lokasi Area non eloquent 0 Area eloquent 1Pola drainase vena Area superfisial 0 Lokasi non superfisial 1

Tabel 1. Skala Spetzler-Martin Grading untuk AVM Intrakranial

Dikutip dari: Sinha PK1

Tabel 2. Hasil LaboratoriumPemeriksaan Keterangan Pemeriksaan KeteranganHemoglobin 11 g/dl SGOT 16 µ/LHematokrit 33% SGPT 18 µ/LLeukosit 8000 /mm3 PT 13,9 dengan nilai kontrol 15,5Trombosit 220.000 /

mm3aPTT 27,8 dengan nilai kontrol 35,1

Natrium 140 mEq/L GDS 101 µ/LKalium 4,2 mEq/LClorida 107 mEq/L

Kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah baik.

Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan penunjang dan tambahan didapatkan data berikut:

Hasil analisis gas darah: pH 7,356. pCO2 56 mmHg. pO2 78 mmHg. Base excess 3,7. Pada foto toraks PA tidak ditemukan adanya kelainan. EKG didapatkan hasil irama sinus, laju jantung 70 x/menit, aksis normal, tidak ditemukan gangguan konduksi dan perubahan segmen ST. Dari hasil angiografi otak didapatkan gambaran sesuai arteriovenous malformasi di lokasi lobus parietal kanan dengan nidus berukuran kira kira 2,9 x 2,5 cm. Feeding arteri A. cerebri media kanan segmen 3 dan draining vein pada vena-vena kortikal lobus parietal kanan dan sinus sagitalis superior.

Penatalaksanaan AnestesiKesadaran pasien compos mentis saat masuk kamar operasi, E4M6V5. Tekanan darah 130/90 mmHg, laju nadi 70 x/menit, laju nafas 14 x/menit, suhu 37 oC. Jalur intravena terpasang di tangan kanan. Dilakukan pemasangan alat monitor tekanan darah non-invasif, denyut jantung dan saturasi O2. Dilakukan pemasangan akses CVP dan pipa nasogastrik. Belum ada fasilitas monitor end tidal CO2 dan alat pengukur tekanan darah invasif. Pasien diberikan premedikasi dengan midazolam 2,5 mg dan fentanyl 50 mcg intravena (iv). Dilakukan induksi yang lancar untuk proteksi otak menggunakan propofol 100 mg iv, fentanyl 150 µg iv, lidokain 80 mg iv dan rocuronium

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

39

Gambar 1. Angiografi Otak tampak AVM di lokasi Lobus Parietal Kanan

Gambar 2. Penampakan Langsung AVM sesudah Dura dibuka dan sebelum Dilakukan Reseksi

Gambar 3. Kondisi Pasien Pascaoperasi sebelum Dilakukan Ekstubasi

Tabel 3. Pemantauan Hemodinamik selama Operasi

30 mg. Diberikan preoksigenasi dengan O2 100% 5 menit sebelum intubasi. Dilakukan penambahan propofol kembali 50 mg iv 30 detik sebelum intubasi. Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakheal no 7.5 kedalaman 19 cm pada tepi bibir. Dilakukan kontrol ventilasi. Lima belas menit pasca induksi hemodinamik stabil, tekanan darah sistolik berkisar antara 115–125 mmHg dan diastolik berkisar antara 70–85 mmHg. Tekanan arteri rata-rata dipertahankan dalam rentang 85 –98 mmHg. Nadi berkisar sekitar 60–80 kali permenit. Kondisi hemodinamik ditampilkan dalam bentuk grafik di tabel 3. Setelah induksi dilanjutkan dengan pemberian fentanyl 1–2 µg/

Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

40 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kgBB/jam dan pelumpuh otot rocuronium 36 mg/jam. Posisi operasi terlentang. Dilakukan head up meja operasi sekitar 20o. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan gas O2: udara: sevofluran =1:1 dengan kombinasi kontinyu fentanyl dan pelumpuh otot rocuronium.

Dilakukan ventilasi kendali selama operasi. Pascainduksi diberikan manitol 20% sebanyak 100 cc. Pada saat membuka tulang tampak otak slack, duramater putih dan berdenyut. Pada gambar 2 tampak penampakan AVM secara makroskopis. Selama operasi hemodinamik (tekanan darah dan frekwensi nadi) dan saturasi O2 terpantau stabil. Pembedahan berjalan selama 6 jam 30 menit dengan perdarahan sekitar 200 cc. Cairan masuk intraoperasi, kristaloid 1000 cc dan koloid 500 c. Cairan keluar intraoperasi urin sebanyak 300 cc. Selama tindakan pembedahan rentang hemodinamik relatif stabil. Setelah tindakan pembedahan selesai, pasien tidak diekstubasi dan dipindahkan ke ICU. Ekstubasi dilakukan setelah 3 jam pascabedah dengan kondisi kesadaran pasien compos mentis dan hemodinamik stabil. Keesokan harinya pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Pada gambar 3 terlihat kondisi pasien pascaoperasi sebelum dilakukan ekstubasi

III. Pembahasan

Tidak semua AVM intrakranial dilakukan tindakan pembedahan maupun invasif. Arteriovenous malformation bisa ditemukan secara tidak sengaja pada saat skrining CT-scan penyakit lain. Tindakan reseksi pembedahan disertai dengan kombinasi dengan embolisasi intraoperatif masih merupakan pilihan tatalaksana utama pada AVM. Standar baku untuk menilai hasil tindakan pembedahan adalah angiografi otak pascaoperasi. Keputusan untuk melakukan jenis tindakan dilakukan berdasarkan pertimbangan faktor usia pasien, kondisi secara umum dan neurologis serta jenis AVM intrakranial yang terdapat. Pilihan tatalaksana AVM menjadi preferensi ahli bedah dan persetujuan pasien. Setelah tindakan embolisasi endovascular diharapkan AVM intrakranial dapat obliterasi sempurna. Embolisasi endovascular dilakukan sebagai tindakan awal sebelum terapi bedah

dan stereotactic radiosurgery (gamma knife) untuk mengurangi ukuran AVM dan pasokan aliran darah. Tindakan embolisasi endovascular sebelum tindakan pembedahan dapat mengurangi risiko perdarahan intraoperasi dan pascaoperasi. Dengan dilakukannya teknik microsurgical dikombinasi dengan embolisasi dan didukung dengan kemajuan teknik neuroanestesia telah membuat kasus-kasus yang sebelumnya mustahil untuk dilakukan tindakan pembedahan dapat dilakukan reseksi total. Pada kasus ini di rumah sakit kami belum tersedia fasilitas tindakan embolisasi endovascular dan stereotactic surgery. Apabila harus dilakukan maka pasien harus dirujuk ke rumah sakit tipe A dan pasien tidak bersedia untuk dirujuk. Pasien direncanakan untuk dilakukan terapi bedah. Manajemen anestesi perioperatif yang optimal dapat dicapai dengan pemahaman target tujuan tatalaksana AVM dengan patofisiologi yang mendasarinya.1,2,9

AVM intrakranial memiliki tiga komponen, feeding arteries, nidus dan draining veins. Gambaran makroskopik AVM akan tampak koneksi arterio-vena tanpa disertai adanya capillary bed. Akibatnya akan terjadi high flow shunt-low resistance yang dapat menimbulkan perubahan struktur feeding arteries dan draining veins timbulah hiperplasia otot polos pembuluh darah dan jaringan ikat di sekitarnya. Pembuluh darah akan menjadi abnormal dan melemah. Seiring waktu dapat terjadi pecah AVM intrakranial karena peningkatan tekanan intralumen pembuluh darah. Risiko pecah AVM intrakranial sekitar 1–3 % per tahun. Apabila belum terjadi obliterasi AVM sempurna maka risiko perdarahan tetap ada. Risiko perdarahan juga tetap ada pada embolisasi endovascular yang hanya parsial. Pada saat dilaksanakan tindakan reseksi AVM, dilakukan eksisi feeding arteri terlebih dahulu, kemudian nidus dan terakhir eksisi draining vein. Target utamanya adalah obliterasi total AVM intrakranial. Apabila memungkinkan dilakukan angiografi intraoperasi atau dilakukan pascaoperasi. Stereotaktic radiosurgery menjadi alternatif terapi selanjutnya apabila tidak dapat dilakukan obliterasi total. Pada kondisi ini risiko perdarahan tetap ada. Alasan utama untuk melakukan tindakan pembedahan pasien

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

41

dengan AVM adalah untuk mencegah terjadinya perdarahan intrakranial spontan, sebagai tatalaksana kejang yang refrakter terhadap terapi farmakologis dan mencegah terjadinya defisit neurologis akibat AVM. Tindakan reseksi AVM dilakukan pada AVM yang letaknya superficial dan tidak dilakukan pada AVM yang letaknya dangat dalam. Pada kasus ini pasien dengan keluhan sering sakit kepala dan kejang sesuai dengan manifestasi klinis AVM. Kejang tetap terjadi hingga satu hari menjelang operasi meskipun terapi fenitoin sudah diberikan. Tindakan reseksi pembedahan dianjurkan pada kasus dimana AVM terletak pada area otak non-eloquent. Menurut American Stroke Association rekomendasi waktu operasi adalah elektif. Pada kasus ini operasi dilakukan sesuai dengan rekomendasi. Tindakan dilakukan sebelum timbul suatu defisit neurologis dan perdarahan intrakranial spontan. Apabila sudah terjadi suatu hematoma intracerebral atau jika timbul tanda-tanda yang mengancam nyawa dan juga bila diperlukan pemasangan drainase eksternal maka harus segera dilakukan operasi segera/emergensi untuk mencegah terjadinya herniasi otak.8,9

Pasien dengan AVM bisa datang dengan keluhan sakit kepala, kejang, hidrosefalus dan perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial terjadi pada 42–72% penderita AVM intrakranial. Kejang terjadi pada sekitar 20–25% kasus AVM intrakranial. Kejang bisa merupakan suatu kejang fokal atau kejang yang menyeluruh. Sakit kepala timbul pada 15% kasus. Kelainan ini banyak ditemukan pada rentang usia 20 sampai dengan 40 tahun. Paling sering pasien datang dengan perdarahan intrakranial spontan (ICH spontan-spontaneous intracranial hemorrhage). Kejang terjadi akibat dari AVM. Pada AVM intrakranial terjadi malformasi vascular terkait stealing phenomena yang menyebabkan gangguan perfusi di area AVM sehingga timbullah disfungsi neurologis. Defisit neurologis juga dapat timbul sebagai akibat penekanan efek massa dari AVM. Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa untreated AVM intrakranial memiliki risiko jangka panjang untuk terjadinya perdarahan, stroke dan kematian.2,3,8

Pasien dengan AVM memerlukan pengelolaan

anestesi pada saat dilakukan pemeriksaan neuroradiologis (CT atau angiografi), embolisasi endovascular, untuk stereotactic radiosurgery atau untuk terapi pembedahan pengangkatan lesi AVM. Pemilihan obat maupun teknik anestesi harus menganut prinsip dasar neuroanestesi. Pada dasarnya manajemen anestesi pada reseksi AVM intrakranial sesuai dengan prinsip proteksi otak pada lesi/tumor yang lain. Autoregulasi otak tetap harus dipertahankan sepanjang operasi. Dengan pilihan regimen anesthesia yang tepat harus dicapai brain relaxation, kendali hemodinamik dan pemulihan segera pascaanestesi.1,5

Target utama saat induksi anestesi adalah induksi yang mulus dan menghindari terjadinya lonjakan hemodinamik yang berlebihan. Risiko pecahnya AVM pada saat induksi umumnya sedikit. Namun harus diingat bahwa sebagian pasien dengan AVM juga dapat memiliki aneurisma intrakranial sehingga harus dicegah terjadinya lonjakan kardiovaskular pada saat induksi. Rentang hemodinamik dipertahankan sama dengan kondisi pasien sebelum operasi. Dosis opioid yang cukup untuk mencegah respon kardiovaskular yang berlebihan pada saat laringoskopi dan intubasi. Digunakan fentanyl misalnya dengan dosis 3–7 mcg/kgBB dan lidokain 1–1,5 mg/kgBB. Obat golongan penghambat beta (esmolol) juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya lonjakan kardiovaskular. Pada kasus ini digunakan fentanyl dengan dosis 3 mcg/kg BB dan lidokain untuk mengurangi respon berlebihan pada saat intubasi. Di rumah sakit kami belum tersedia sediaan obat golongan penghambat beta intravena.1,5,8,9

Pilihan regimen anestesi yang digunakan akan mempengaruhi keberhasilan operasi. Rumatan anestesi dapat menggunakan teknik inhalasi atau TIVA. Obat-obatan yang digunakan harus yang bersifat stabil terhadap fungsi kardiovaskuler dan pulih sadar anestesi yang cepat. Dengan proses pulih sadar yang cepat maka dapat segera dilakukan pemeriksaan neurologis. Kebanyakan obat anestesi intravena akan menurunkan tingkat metabolisme otak. Penurunan ini disertai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah dan penurunan aliran darah otak. Sebaliknya kebanyakan anestesi inhalasi akan meningkatkan

Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

42 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

aliran darah otak (efek vasodilator) dan menurunkan tingkat metabolisme otak.

Peningkatan aliran darah otak akan dapat menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. 1,2,8

Terdapat beberapa komplikasi pada masa perioperatif yang harus dihindari dan wajib dicegah. Perdarahan intrakranial dapat terjadi sebelum dilakukan terapi definitif AVM pada unsecured vascular malformation. Stroke iskemik dapat terjadi apabila timbul gangguan perfusi otak intraoperatif. Komplikasi ini baru dapat disingkirkan apabila pasien sudah tidak dalam pengaruh obat-obatan anestesi dan dapat dilakukan pemeriksaan neurologis. Perburukan dapat terjadi akibat kenaikan dan penurunan cepat tekanan intrakranial. Keadaan ini dapat terjadi karena ketidakstabilan hemodinamik kardiovaskular yang terlalu cepat (turun-naik tekanan darah). Diketahui tekanan perfusi otak adalah selisih dari tekanan arteri rerata dan tekanan intrakranial. Risiko ini dapat dihindari dengan dilakukannya tatalaksana prinsip proteksi otak.8,10,11

Berdasarkan analisa diatas dapat disarikan tujuan utama untuk mencegah terjadinya komplikasi pada bedah serebrovaskular adalah mencegah terjadinya pecah AVM/aneurisma, mempertahankan tekanan perfusi otak dan aliran darah otak serta mengendalikan tekanan intrakranial dan mengurangi volume otak (brain relaxation) untuk visualisasi lapangan operasi yang optimal. Apabila terjadi pecah AVM intraoperasi pasien bisa jatuh dalam kondisi shock hemoraghik sedangkan manipulasi jaringan otak selama tindakan akan meningkatkan risiko edema otak pasca operasi. Sebelum operasi dilakukan persiapan darah dan akses intravena yang memadai. Operasi sebaiknya dijadwalkan terencana/elektif dan dapat dilakukan tindakan embolisasi endovascular terlebih dahulu. Dengan tindakan bedah sebaiknya dapat dilakukan pengangkatan keseluruhan feeding artery, nidus dan draining veins secara total.10,11

Kondisi neurologi sebelumnya, lama operasi dan manipulasi selama operasi menentukan pasien akan diekstubasi atau tidak. Pascabedah pasien

sebaiknya di rawat di ruang ICU selama minimal 24 jam. Karena lama operasi yang panjang pada kasus ini pasien tidak segera dilakukan ekstubasi. Ekstubasi dilakukan setelah sekitar 3 jam di ICU. Pascabedah kesadaran compos mentis dan hemodinamik stabil. Tidak timbul kejang dan tidak diketemukan defisit neurologis baru selama perawatan di ICU. Bila dapat dilakukan pemulihan segera pascabedah (rapid emergence) maka dapat secepatnya dilakukan pemeriksaan neurologis. Apabila pascaoperasi ditemukan perubahan tingkat kesadaran atau defisit neurologis baru maka pikirkan kemungkinan timbulnya perdarahan. Dilakukan pemeriksaan neuroradiologis segera dan dikonsultasi teman sejawat terkait dan bila memang perlu pasien harus dipersiapkan untuk dilakukan tindakan bedah kembali. Pada kasus ini pasien di rawat di ICU selama 1 hari sebelum dipindahkan ke ruangan. Pascabedah tidak dilakukan pemeriksaan angiografi ulang yang seharusnya secara teori dilakukan untuk menilai keberhasilan tindakan reseksi dan tatalaksana selanjutnya. Pascaoperasi risiko yang mungkin terjadi adalah sindroma Normal Perfusion Pressure Breakthrough (NPPB) serta komplikasi hyperemia. Insidennya hanya kurang dari 5%. Kelainan ini dapat terjadi intraoperasi ataupun pascaoperasi. Berupa perdarahan otak multifocal dengan edema otak yang berat. Peningkatan aliran darah pasca reseksi AVM dan hilangnya kemampuan autoregulasi diduga berkaitan dengan terjadinya komplikasi NPPB. Diagnosis NPPB merupakan diagnosis eksklusi setelah penyebab edema otak yang dapat dikoreksi/diterapi telah dapat disingkirkan.5,8,11

Pada periode perioperatif anestesi memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya kecacatan dan komplikasi. Harus dilakukan prinsip proteksi otak. Untuk mencegah terjadinya komplikasi perioperatif selama tindakan pembedahan serebrovaskular harus dicegah terjadinya pecahnya AVM dan mempertahankan tekanan perfusi otak dan aliran darah otak. Sementara tekanan intrakranial harus tetap dapat dikendalikan dan brain relaxation harus dapat dicapai untuk memberikan lapang pandang yang optimal bagi ahli bedah. Pada periode pascabedah juga harus dicegah terjadinya lonjakan tekanan

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

43

darah. Tekanan darah yang tidak stabil akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan pascaoperasi. Pengendalian tekanan darah yang agresif akan mengurangi risiko hematoma pascaoperasi dan edema otak. Risiko hematoma terjadi terutamaa pada periode pulih bangun dari anestesi sampai dengan 48 jam sesudahnya.5,8,9,10

IV. Simpulan

Telah dilakukan tindakan reseksi pengangkatan AVM intrakranial pada seorang wanita usia 19 tahun dengan keluhan utama sakit kepala dan kejang. Tindakan pembedahan dan anestesi berhasil dengan baik. Pascaoperasi tidak timbul defisit neurologis baru dan tidak terjadi komplikasi. Anestesi memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya kecacatan dan komplikasi pada tindakan pembedahan pengangkatan AVM intrakranial.

Daftar Pustaka

1. Sinha PK, Neema PK, Rathod SC. Anesthesia and intracranial arteriovenous malformation.Neurol India. 2004;52(2): 163–170.

2. Ajiboye N, Chalouhi N, Starke RM, Zanaty M, Bell R. Cerebral arteriovenous malformations: evaluation and management. http://dx.doi.org/10.1155/2014/649036. Diakses pada tanggal 24 Maret 2017.

3. Hamid RKA, Hamid NA, Newfield P, Bendo AA. Anesthetic management of cerebral aneurysms and arteriovenous malformations. Dalam : Newfield P, Cottrell JE, Giannotta S (Eds). Handbook of neuroanesthesia. USA: Lippincot Williams & Wilkins ; 2012: 148–77.

4. Barreau X, Marnat G, Gariel F, Dousset V. Intracranial arteriovenous malformations. Diagnostic and interventional imaging.

2014;95: 1175–86.

5. Lee CZ, Talke PO, Lawton MT. Anesthetic considerations for surgical resection of brain arteriovenous malformations. Dalam: Cottrell JE, Young WL (Eds). Cottrell and Young’s Neuoanesthesia. USA: Mosby Elsevier; 2017: 263–73.

6. Starke RM, Komotar RC. Hwang BY, Fischer LE, Garret MC, Otten ML, Connolly ES. Treatment guidelines for cerebral arteriovenous malformation microsurgery. British Journal of Neurosurg. 2009; 23(4): 376–86.

7. Hashimoto T, Young WL. Anesthesia related considerations for cerebral arteriovenous malformations. Neurosurg.Focus. 2001;5: 1–5.

8. Fields JD, Liu KC, Brambrink AM. Perioperative challenges during cerebrovascular surgery. Dalam: Brambrink AM, Kirch JR (Eds). Essentials of Neurosurgical Anesthesia and Critical Care. London: Springer; 235–45.

9. Arteriovenous malformations and AV istulas. http://www.med.nyu.edu/neurosurgery. Diakses pada 12 Maret 2017.

10. Crawford PM, West CR. Anesthesiaa-related consideration for cerebral malformations. www.aiimsnets.org>specialities>vaskular. Diakses pada 12 Maret 2017.

11. Saleh O, Baluch A, Kaye AJ, Kaye A. Arteriovenous malformation, complications and perioperative anesthetic management. M.E.J.Anesth. 2008; 19(4) : 737–52.

Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

44

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral

Fitri Sepviyanti S*), Rose Mafiana**), Eri Surahman***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Nobel Medical Collage Teaching Hospital, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya-Rumah Sakit M. Hoesin Palembang, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP. Dr. Hasan

Sadikin Bandung

Abstrak

Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) adalah suatu sindrom seperti stroke, angka kejadiannya sangat jarang, sehingga dapat menjadi dilema bagi dokter di instalasi gawat darurat dalam menegakkan diagnosis. Seorang lelaki 25 tahun, 50 kg, tinggi badan 165 cm, mengeluh lemah anggota badan sebelah kanan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan sukar berbicara. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mabuk-mabukan dan mengalami muntah-muntah ± 3–5 x/hari. Riwayat kejang, konsumsi obat-obatan dan trauma sebelumnya disangkal. Tidak ada riwayat demam, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit penyerta lainnya. Dilakukan dekompresi evakuasi perdarahan sebagai tindakan penyelamatan jiwa setelah pasien terehidrasi, operasi dilakukan dalam anestesi umum. Lama operasi selama 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 15 menit. Pasien dirawat di ICU selama 2 hari, lalu dipindahkan ke ruang HCU. Pada hari ke-5 pascabedah mulai diberikan enoxaparin sodium 50 mg subcutan selama 6 hari. Lalu pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-15 perawatan. Target pencapaian utama pada pasien CVST adalah untuk rekanalisasi penyumbatan, menjaga venous return, mengurangi risiko hipertensi vena, infark serebral dan emboli paru. Algoritma tatalaksana pasien CVST terkadang harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Pemberian low-weight-moleculer heparin (LWMH) tetap diberikan selama tidak terjadi peningkatan tekanan darah yang bermakna.

Kata kunci: alkoholik, CVST, dekompresi evakuasi perdarahan, LWMH JNI 2018;7 (1): 44–53

Cerebral Venous Sinus Thrombosis Management with Alkoholic and Intracerebral

Hemorrhage

Abstract

Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) is a syndrome similar a stroke, the incidence is very rare, so it can be a dilemma for doctors at emergency departments to make the diagnosis. A 25 year old male weighing 50 kg and height 165 cm. Patients complained of right limb wekness since 12 hours before admission. Complaints are accompanied by difficulty speaking. One day before entering the hospital, the patient got drunk and experienced vomiting ± 3–5 times a day. History of seizures, previous consumption of drugs and trauma was denied. No history of fever, hypertension, diabetes mellitus and other comorbidities. Decompression by hematoma evacuation was performed as a life-saving action after the patient was hydrated, surgery was performed under general anesthesia. Operation duration was 2 hours and anesthesia duration was 2 hours 15 minutes. The patient was admitted to the ICU for 2 days, then transferred to the HCU room. On the 5th day post-surgery patient got 50 mg subcutaneous enoxaparin for 6 days. Then the patient was transferred to the ward and returned home on the 15th day of treatment. The main achievement targets in CVST patients were for clotting recanalization, maintaining venous return, reducing the risk of venous hypertension, cerebral infarction and pulmonary embolism. The CVST patient management algorithm sometimes has to be adjusted to the patient's clinical condition upon arrival at the hospital. Provision of LWMH is still given as long as the blood pressure does not increase significantly.

Key words: alcoholic,CVST, decompressive evacuation hematoma, LWMHJNI 2018;7 (1): 44–53

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

45

I. Pendahuluan

Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) adalah kelainan pembuluh darah otak yang jarang dan mempunyai gejala klinis yang sangat bervariasi.1 Terjadi pada 0,5%–3% dari seluruh kasus stroke, dengan angka kejadian sekitar 0,00035%, terutama mempengaruhi orang muda dan anak-anak tertentu sekitar 0,0007%.2 Infark perdarahan tampak pada 40% pasien yang menjalani CT-scan dan transformasi perdarahan kadang-kadang menyebabkan perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage/SAH),4 namun SAH adalah presentasi klinis yang jarang terjadi. Keragaman manifestasi klinis meningkatkan kesulitan diagnosis CVST dan menyebabkan tatalaksana yang buruk pada pasien CVST dengan SAH akut. Hal ini disebabkan karena kurangnya penelitian tentang hubungan antara SAH akut dengan CVST di masa lalu.5-6 Sampai sekarang, hanya penelitian yang dipublikasikan tahun 2016 yang melaporkan 22 pasien CVST dengan SAH, di mana mereka mengevaluasi kejadian dan karakteristik radiologis SAH terkait CVST.7 Penelitian retrospektif lanjutan yang dilakukan telah dipublikasikan tahun 2017 melibatkan 11 pasien CVST dengan SAH akut dari bulan Maret 2008 sampai Maret 2015 mengenai gejala klinis yang sesuai karakteristik, strategi terapi dan prognosis.8

Pecandu alkohol cenderung mengalami gangguan pembuluh darah otak. Hubungan antara pengaruh alkohol dengan stroke belum diketahui secara pasti.9 Gejala seperti sakit kepala, mual dan mengantuk setelah minum minuman keras biasanya disebabkan oleh veisalgia.10 Diagnosis CVST mungkin terlewatkan dalam kasus seperti itu karena gejala yang tidak spesifik, kecuali seorang dokter mempunyai kecurigaan yang tinggi dan pengalaman akan hal ini. Peranan CT-scan sangat penting dalam diagnosis awal CVST dan membantu mencegah komplikasi neurologis lebih lanjut. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dilakukan pemeriksaan CT-scan pada pasien-pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau kelainan neurologis lain setelah mabuk.9-10 Heparin adalah terapi

andalan untuk CVST dan direkomendasikan oleh pedoman internasional. Rekomendasi ini didasarkan pada data dua penelitian secara acak dalam skala kecil. Pasien yang diterapi dengan heparin memiliki hasil klinis yang lebih baik, walaupun perbedaannya tidak signifikan secara statistik dalam meta-analisis (risiko kematian relatif 0,33, 95% CI 0,08–1,21).11 Hal terpenting, tidak ada hubungan antara pemberian heparin dengan komplikasi perdarahan, yang merupakan kontraindikasi antikoagulan. Sebuah penelitian menunjukkan justru pasien yang diberi heparin dibandingkan dengan plasebo, tidak terjadi emboli paru, yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan CVST.11-12

Biasanya heparin dengan berat molekul rendah/low-weight-moleculer heparin (LWMH) yang digunakan sebagai terapi, karena pertimbangan faktor keamanan, lebih sering digunakan dalam tatalaksana konservatif daripada heparin yang tidak terfragmentasi, kecuali pada pasien yang dilakukan tindakan neurointervensi.13

II. Kasus

Anamnesis Seorang lelaki 25 tahun dengan diagnosis cerebral venous sinus thrombosis haemorrhagic conversion, berat badan 50 Kg dan tinggi badan 167 cm datang ke Nobel Medical Collage and Teaching Hospital. Pasien mengeluh lemah anggota badan sebelah kanan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan sukar berbicara dan menjadi rero. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mabuk-mabukan dan mengalami muntah-muntah ± 3–5 kali/hari. Riwayat kejang, konsumsi obat-obatan dan trauma sebelumnya disangkal. Tidak ada riwayat demam, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit penyerta lainnya.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien: glassglow coma scale (GCS) 9–10 (E3V2M4-5), pupil bulat isokor, reflex cahaya +/+, hemiparesis anggota badan kanan motorik 4/5, tekanan darah 123/78 mmHg, laju nadi 109 x/menit, laju napas 20–22 x/menit, suhu 36,5o C. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

46 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium darah menunjukkan Hb 12,9 g/dL; Ht 41,2 %; Leukosit 10300 /µL; Trombosit 210 ribu/µL; BUN 39 mg/dL; Kreatinin 1,2 mg/dL; GDS 139 mg/dL; Natrium 142 mmol/L; Kalium 4,0 mmol/L; PT 13,6 detik; INR 0,76; APTT 31,9 detik; BT 3,3 menit; CT 7,3 menit; D-Dimer 0,1. Pada pemeriksaan CT-scan: Transversus sinus, vein of labbe thombosis. Tampak edema lokal disertai daerah infark di sekitar perdarahan. Tampak sedikit pergeseran midline shift.

Penatalaksanaan AnestesiPasien dibawa ke kamar operasi, pasien diposisikan head up 30o dan diberi O2 3 L/menit melalui nasal kanul, kemudian dipasang tensimeter, chest piece EKG, pulse oxymetri dan IoC. Dilakukan induksi anestesi umum dengan pasien dilakukan induksi dengan prinsip proteksi otak melalui kombinasi pemberian fentanyl 100 µg titrasi, propofol 100

Gambar 1. Foto CT-scan Kepala

mg titrasi, vecuronium 7 mg, satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan tambahan propofol 30 mg. Preoksigenasi selama 5 menit sebelum intubasi tanpa hiperventilasi. Intubasi sleep apneu dilakukan menggunakan laryngoscope macintosh dengan endotracheal tube (ETT) non kinking nomor 7,5, kedalaman ETT 19 cm pada tepi bibir. Pemeliharaan anestesi: diberikan isoflurane 0,8–1 vol% dengan aliran oksigen dan udara (50:50) kombinasi syringe kontinyu

Gambar 2. Keadaan Hemodinamik Pasien saat Operasi

campuran: fentanyl 300 µg + midazolam 20 mg + vecurronium 20 mg dijalankan 6 ml/jam. Dilakukan operasi evakuasi perdarahan, sebelum dura dibuka diberikan manitol 20% 0,5 gr/KgBB. Untuk analgetik pascabedah diberikan morfin 9 mg dan paracetamol 1 gr intravena. Total cairan yang masuk NS 0,9% 2500 cc dan ringerasetat 500 cc, perdarahan ± 300 cc, jumlah urin yang keluar 600 cc. Lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 15 menit. Tekanan darah selama operasi 99/65–135/9 mmHg dan laju nadi 78–108 x/menit. Penilaian status neurologis pascabedah menunjukkan peningkatan dibanding sebelum pembedahan. Penatalaksanaan Pascabedah di ICU Pasien dipindahkan ke ruangan intensive care unit (ICU) dengan menggunakan O2 10 L/menit melalui simple mask non-rebreathing (SMRN), setelah dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Skor GCS 12, tekanan darah 138/91 mmHg, laju nadi 95 x/menit, laju napas 12–16 x/menit, SaO2 100%. Laboratorium pascabedah menunjukkan: 10,1 g/dL; Ht 34 g/dL; Leukosit 10500/µL; Trombosit 158 ribu/µL; BUN 32 mg/dL; Kreatinin 0,8 mg/dL; GDS 107 mg/dL; Natrium 143 mmol/L; Kalium 3,9 mmol/L. Pasien dirawat di ICU selama 2 hari, lalu dipindahkan ke ruang HCU. Pada hari ke-5 pascabedah mulai diberikan enoxaparin sodium 50 mg Sub cutan selama 6 hari. Lalu pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-15 perawatan.

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

47

III. Pembahasan

Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) adalah suatu kelainan pembuluh darah otak yang sangat jarang, dengan angka kejadian <1% dari semua kasus stroke.12 Angka kejadiaan pasti pada orang dewasa belum diketahui secara pasti, karena kurangnya laporan penelitian berbasis populasi. Namun berdasarkan data yang ada diperkirakan angka kejadian CVST sekitar 5–8 kasus/tahun di beberapa pusat pelayanan tersier. Sebuah penelitian di Kanada melaporkan angka kejadian CVST sekitar 0,67 kasus per 100.000 anak di bawah 18 tahun dan 43% kasus yang dilaporkan terlihat pada neonatus.13-14 Puncak usia berdasarkan angka kejadian pada orang dewasa adalah pada dekade ketiga mereka dengan rasio pria:wanita 1,5–5 per tahun. Faktor risiko utama CVST pada orang dewasa dapat dikelompokkan dalam dua kelas: sementara atau permanen (Gambar 3).14 Secara topografi, kejadian CVST paling sering terjadi pada sinus sagitalis superior

(62%) diikuti oleh sinus melintang (41–45%) (Gambar 3).12

Diagnosis CVST masih sering terabaikan atau tertunda karena spektrum gejala klinis yang luas dan waktu kejadian sering akut. Sakit kepala adalah gejala CVST yang paling sering terjadi dan terjadi pada hampir 90% dari semua kasus. Sakit kepala mungkin timbul secara akut dan secara klinis tidak dapat dibedakan dari sakit kepala pada pasien dengan perdarahan subarachnoid. Gejala neurologis fokal (termasuk kejang fokal atau umum) jauh lebih sering terlihat pada CVST daripada pada stroke perdarahan akibat pecahnya aneurisma otak dan terjadi sekitar 40% dari semua pasien dengan angka kejadian yang lebih tinggi (76%) pada CVST pasca melahirkan. Gejala neurologis fokal lainnya: defisit motor sentral dan sensorik, aphasia atau hemianopsia terjadi pada 40–60% dari semua kasus. Diagnosis CVST harus selalu dipertimbangkan pada pasien dengan defisit fokal yang disertai sakit kepala, kejang atau penurunan kesadaran perubahan.15

Transient Risk Factors Permanent Risk FactorsInfection Inflammatory DiseasesCentral nervous system Systemic lupus erytheatosusEar, sinus, mouth, face, and neck Behoet diseaseSystemic infectious disease Granulomatosis with polyangiitis (Wegener's)Pregnancy and puerperium Tromboangiitis obliteransOthers disorders Inflammatory bowel diseaseDehydration SarcoidosisMechanical precipitants MalignancyHead injury Central nervous systemLumbar puncture Solid tumuor outside central nervous systemNeurosurgical procedures Hematologic

Jugular catheter occlusion Hematologic conditionDrugs Polycythemia, thrombocythemiaOral contraoeptives Anemia, including paroxymal nocturnal

hemoglobinuriaHormone replacement therapy Central nervous system disordersAndrogens Dural fistulaeAsparaginase Other disordersTamoxifen Congenital heart diseaseGlucocoticoids Thyroid disease

Gambar 3. Klasifikasi Kondisi sementara dan Permanen meningkatkan Risiko Vena Serebral Thrombosis

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

48 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Sindrom tekanan tinggi intrakranial seperti sakit kepala, muntah dan penglihatan kabur karena papilloedema adalah keluhan klinis tersering pada 20–40% kasus CVST. Keadaan kesadaran stupor sampai koma ditemukan pada 15–19% pasien dan biasanya terlihat pada kasus dengan trombosis ekstensif atau terjadi di sistem vena dalam yang melibatkan thalamic bilateral. Pasien CVST dengan keadaan seperti ini mempunyai prognosis dan hasil luaran yang sangat buruk. Oleh karena itu, pengetahuan akan patofisiologi terjadinya CVST sangatlah penting.12-15

Patogenesis Cerebral Venous Sinus ThrombosisPatogenesis CVST tetap tidak sepenuhnya dipahami karena variabilitas yang tinggi dalam anatomi sistem vena dan kurangnya penelitian pada model hewan CVST. Namun, setidaknya ada dua mekanisme yang berbeda yang dapat berkontribusi pada gambaran klinis dari CVST: a) trombosis vena serebral atau sinus dural yang mengarah ke lesi parenkim serebral atau disfungsi; b) oklusi sinus dural yang mengakibatkan penurunan penyerapan cairan serebrospinal dan peningkatan tekanan intrakranial. (Gambar 5).14

Obstruksi struktur vena dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan perfusi kapiler dan peningkatan volume darah otak. Dilatasi vena otak dan peranan sistem

Gambar 4. Gambaran Magnetic Resonance Venography (MRV) Sistem Vena Otak dan Lokasi CVST yang paling sering.12 Gambar 5. Patogenesis CVST14

Gambar 5. Algoritma tatalaksana pasien CVST; † Perdarahan intraserebral yang terjadi sebagai konsekuensi CVST bukanlah kontraindikasi untuk antikoagulan ‡ Terapi endovaskular dapat dipertimbangkan pada pasien dengan absolute kontraindikasi untuk terapi antikoagulan atau kegagalan dosis terapeutik awal terapi antikoagulan.14

Dikutip dari Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD Jr, dkk.14

Dikutip dari: Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD Jr, dkk.14

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

49

vena kolateral memainkan peran penting dalam fase awal CVST, karena dapat mengkompensasi perubahan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan vena dan kapiler menyebabkan gangguan pada sawar darah otak sehingga menyebabkan edema vasogenik, karena kebocoran plasma darah ke dalam ruang interstisial.15

Karena tekanan intravena yang terus meningkat, perubahan parenkim ringan, edema otak berat dan perdarahan vena dapat terjadi karena ruptur vena atau kapiler. Tekanan intravena yang meningkat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intravaskular dan penurunan tekanan perfusi otak. Hal ini mengakibatkan penurunan aliran darah otak dan kegagalan metabolisme energi. Hal ini mengakibatkan masuknya air intraselular kerena kegagalan pompa Na + / K + ATP-ase, sehingga terjadi edema sitotoksik.14-15

Alkoholik dan Cerebral Venous Sinus ThrombosisHubungan antara konsumsi alkohol berat dengan peningkatan risiko stroke sangat erat. Hasil dari 35 penelitian meta-analisis tahun publikasi 2003 menunjukkan risiko stroke yang lebih rendah pada peminum yang mengkonsumsi alkohol ≤ 12 g alkohol per hari dibandingkan dengan orang yang bukan pecandu alkohol. Pecandu alkohol ringan memiliki risiko stroke perdarahan sebesar 17% lebih rendah dan 20% resiko stroke iskemik lebih rendah dibandingkan dengan bukan pecandu alkohol. Peminum moderat (12–23 g/ hari) juga memiliki risiko stroke iskemik 25% lebih rendah dibandingkan dengan bukan pecandu alkohol.9

Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kejadian kecacatan dan kematian meningkat pada pecandu alkohol. Penelitian ini mempunyai ‘benang merah’/hubungan dengan penelitian yang dipublikasikan tahun 2003 tersebut bahwa terdapat korelasi antara pecandu alkohol dengan stroke perdarahan.9-10 Penelitian yang dipublikasikan tahun 2013 masih belum bisa membuktikan secara pasti mengenai hubungan antara konsumsi alkohol ringan dengan stroke perdarahan, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut dalam skala besar.10 Patofisiologi konsumsi alkohol yang menyebabkan stroke belum jelas,

diduga berbagai mekanisme seperti gangguan induksi irama jantung dan kelainan gerak dinding jantung, hipertensi, peningkatan agregasi platelet serta aktivasi kaskade pembekuan. Hal-hal ini yang menyebabkan aliran darah otak menurun kerena gangguan stimulasi kontraksi otot polos otak.9-10 Pada pasien dengan konsumsi alkohol berat tanpa disertai faktor predisposisi lain, mekanisme CVST mungkin dapat dijelaskan lebih spesifik. Beberapa menelitian menunjukkan bahwa hal ini terjadi karena dehidrasi dan hiperviskositas darah, sehingga terjadi trombus.9-10

Kondisi predisposisi yang biasa untuk CVST adalah penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan, pasca melahirkan, gangguan pada faktor waktu prothrombotin, penyakit infeksi (khususnya telinga-hidung-tenggorokan, susunan saraf pusat), gangguan sistem saraf pusat, kanker, vaskulitis dan penyakit sistemik lainnya.1-14

Manifestasi klinis CVST pada pasien dengan konsumsi alkohol berat yang tidak spesifik merupakan tantangan diagnostik untuk para ahli penyakit saraf dan bedah saraf. Gejala seperti sakit kepala, mual, muntah dan kantuk sering terjadi pada veisalgia (istilah medis untuk mabuk) dan CVST.9-10 Hal ini menyebabkan diagnosis CVST sering terlewatkan pada pasien alkoholik. Para ahli harus lebih meningkatkan kecurigaan pada pasien pecandu alkohol ke arah diagnosis CVST, bila timbulnya tanda dan gejala klinis baru, seperti: penurunan kesadaran, kejang, gangguan sensorik, defisit neurologis fokal, atau paresis.9-10

Pemeriksaan Penunjang pada Pasien CVSTPasien dengan dugaan CVST, pemeriksaan darah rutin terdiri dari pemeriksaan darah lengkap, panel kimia, prothrombin time (PT), dan activated partial thromboplastin time (APTT) harus dilakukan. Skrining untuk kondisi kelainan hematolgik pada pasien dengan resiko tinggi permanen CVST (Tabel 1) dianjurkan dilakukan sejak pemeriksaan klinis awal.14 Nilai normal D-dimer sesuai dengan immunoassay sensitif atau enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menunjukkan kemungkinan probabilitas CVST sangat kecil. Jika ada kecurigaan secara gejala klinis CVST yang kuat, nilai D-dimer normal seharusnya tidak menjadi tolak ukur untuk

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

50 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dilakukan pemerikan pencitraan otak.14-15

Computed tomography scan (CT-scan) dan MRI adalah pemeriksaan penunjang yang sangat berguna dalam membuat diagnosis CVST awal dan spesifik. Pemeriksaan CT-scan menunjukkan hiperdensitas, sedangkan pada MRI tampak hiperintensitas pada urutan T1W pada sinus trombosis akut.4,7 Magnetic resonance venography (MRV) adalah pemeriksaan penunjang non-invasive pilihan untuk mendiagnosis CVST. Pada keadaan gejala klinis akut, MRV non-kontras cukup akurat untuk diagnosis CVST. Kontras MRV diperlukan untuk mengatasi beberapa keterbatasan diagnostic MRV non-kontras yang mungkin timbul pada kasus varian anatomis, variabilitas sinyal trombus dan artefak pencitraan.4,5,8,11-14

Tatalaksana Pasien CVSTTarget pencapaian utama pada pasien CVST adalah untuk rekanalisasi penyumbatan, menjaga venous return, mengurangi risiko hipertensi vena, infark serebral dan emboli paru.15 Tatalaksana CVST (Gambar 5). Algoritma ini tidak komprehensif, atau berlaku untuk semua skenario klinis dan pengelolaan pasien harus disesuaikan dengan keadaan klinis. Terapi antikoagulan awal (TA) memiliki 3 tujuan dalam CVST: a) untuk mencegah pertumbuhan trombus, b) untuk memfasilitasi rekanalisasi, dan c) mencegah deep vein thrombosis (DVT) atau emboli paru.14

Ada kontroversi dalam pertimbangan untuk rekomendasi mengenai terapi antikoagulan, karena infark serebral yang disertai perdarahan intrakranial biasanya ada pada saat diagnosis CVST, sehingga hal ini menjadi dilemma dalam pengelolaan pasien.11-16

Sejumlah penelitian observasional baik prospektif maupun retrospektif telah banyak dilakukan. Tidak semua penelitian dilaporkan secara khusus mengenai hasil pengelolaan pasien dengan antikoagulan, karena sebagian besar pasien di kebanyakan penelitian diterapi dengan unfractionated heparin (UFH) intravena atau heparin dengan berat molekul rendah (low-molecular-wieght-heparin/LMWH) pada saat diagnosis dan menggunakan antagonis vitamin K

pada akhirnya.14-16 Angka kematian pada CVST < 10%, tetapi seringnya penyebab kematian pasien adalah penyakit yang mendasarinya, bukan kerena perdarahan intrakranial atau CVST. Hasil luaran fungsi neurologis pasien pada umumnya bagus, angka kecacatan pada kasus CVST juga kecil. Sebuah penelitian retrospektif terhadap 102 pasien dengan CVST dan 43 pasien disertai perdarahan intrakranial. Di antara 27 pasien CVST yang disertai perdarahan intrakranial (63%) yang diterapi dengan heparin intravena dosis anjuran, 4 pasien meninggal (15%), dan 14 pasien (52%) sembuh total. Dari 13 pasien yang tidak diterapi heparin, angka kematian lebih tinggi (69%) dengan perbaikan hasil luaran fungsi neurologis yang lebih rendah (hanya 3 pasien yang sembuh total).12-14

Studi terbesar sejauh ini adalah International Study on Cerebral Vein and Dural Sinus Thrombosis (ISCVST), yang melibatkan 624 pasien di 89 pusat di 21 negara. Hampir semua pasien diterapi dengan antikoagulan sejak awal. Hasil dari ISCVST melaporkan bahwa angka kematian 8,3% selama 16 bulan; 79% mengalami pemulihan yang sempurna (dinilai dengan modified-Rankin Scale (mRS) 0 sampai 1), 10,4% memiliki kecacatan ringan sampai sedang (skor mRS 2–3) dan 2,2% tetap sangat cacat (skor mRS 4–5).10

Data dari penelitian observasional menunjukkan resiko terjadinya komplikasi perdarahan intrakranial setelah terapi antikoagulan < 5,4%.14

Penelitian lain melibatkan 57 wanita (dengan CVST pasca melahirkan yang dikonfirmasi hanya dengan CT-scan) dengan kriteria eksklusi pasien yang mengalami pendarahan intrakranial di CT-scan. Tatalaksana pasien dengan heparin 5000 IU per 6 jam, dosis disesuaikan dengan pemeriksaan PT yang tidak meningkat 1,5 dari baseline setidaknya 30 hari setelah persalinan. Tiga pasien dalam kelompok kontrol meninggal atau mengalami kecacatan dibandingkan dengan kelompok terapi heparin. Dalam situasi khusus CVST dengan pendarahan intrakranial dihubungkan dengan hasil luaran yang buruk dengan atau tanpa terapi heparin.12-16 Pada kasus yang kami tangani juga tidak sepenuhnya sesuai dengan algoritma tatalaksana yang sudah direkomendasikan. Hal ini disesuaikan dengan

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

51

kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Pasien datang dengan GCS 9–10 disertai perdarahan intrakranial, ada riwayat muntah sebelumnya dan defisit neurologis. Pada pemeriksaan CT-scan terdapat perdarahan intrakranial disertai dengan edema lokal dan sedikit pergeseran midline shift.Hal ini menunjukkan bahwa sudah kemungkinan sudah terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Ahli bedah saraf memutuskan untuk melakukan dekompresi evakuasi perdarahan terlebih dahulu sebagai tindakan penyelamatan jiwa.

Tatalaksana anestesi pada prinsipnya sama dengan dasar-dasar neuroanestesi dan pengelolaan pasien yang dilakukan tindakan operasi dekompresi evakuasi perdarahan. Untuk induksi kami menggunakan fentanyl, propofol dan vecuronium. Obat-obatan anestesi rumatan yang digunakan: fentanyl, midazolam dan vecuronium yang dicampur dalam satu syringe pump. Selain itu, kami menggunakan isoflurane, O2 dan udara. Pemberian fentanyl pada aliran darah otak sulit dijelaskan dengan tepat kerena data eksperimen yang berbeda.17 Fentanyl termasuk golongan opioid, yang dapat memberikan efek sedasi, analgesia dan menyebabkan terjadinya penurunan pelepasan neurotransmitter otak, sehingga autoregulasi, reaktivitas terhadap CO2 dan hemodinamik tetap stabil. Akan tetapi, dosis kecil narkotik memberikan sedikit pengaruh pada aliran darah otak dan CMRO2, sedangkan dosis besar menurunkan aliran darah otak dan CMRO2.

17-19

Propofol mempunyai efek terhadap tekanan perfusi otak disebabkan oleh menurunnya tekanan darah, tetapi efek hemodinamik yang tidak menguntungkan ini dapat dicegah dengan menghindari efek konsentrasi puncak, hal ini yang menjadi pertimbangan kami untuk menggunakan midazolam. Midazolam menyebabkan penurunan aliran darah otak dan CMRO2 secara paralel sampai 40%. Dibandingkan dengan pentotal, efek penekanan metabolisme otak lebih sedikit. Pemberian midazolam dosis kecil pun tidak terlalu mempengaruhi tekanan intrakranial. Keuntungan vecuronium adalah dapat menjaga hemodinamik tetap stabil, walaupun dalam jumlah dosis besar. Bradikardia pada saat

induksi anestesi dapat terjadi ketika vecuronium dikombinasi dengan golongan narkotik dalam dosis besar. Vecuronium tidak mengubah tekanan intrakranial atau aliran cairan serebrospinal. Hal-hal inilah yang menjadikan vecuronium sangat popular digunakan dalam neuroanestesi.17-19

Sebagai analgetik pascabedah kami mengunakan morfin dan paracetamol. Morfin merupakan analgetik kuat dan tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Morfin biasa digunakan sebagai analgetik pascabedah saraf. Hipotensi yang terjadi setelah pemberian morfin disebabkan karena pelepasan dari histamin. Paracetamol digunakan sebagai analgetik perifer, karena tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu paracetamol mempunyai efek antipiretik dan antiinflamasi yang sangat bermanfaat pada pasien pascabedah saraf.19

Pemberian cairan rehidrasi dan rumatan selama pembedahan sesuai dengan aturan umum pada pasien bedah saraf lainnya yaitu menghindari penggunaan cairan yang hiperosmolar dan cairan yang mengandung glukosa. Pemberian NaCL 0,9%: RL, setiap pemberian NaCL 0,9% sebanyak 3 botol, diberikan RL 1 botol (3:1). Jumlah cairan pemeliharaan 1–1,5 ml/KgBB/jam atau diganti 2/3 dari jumlah diuresis. Pemberian manitol dosis kecil 0,25–0,5 mg/KgBB pada kasus ini dinilai masih dalam batas aman sebagai terapi edema lokal dengan memperhatikan secara ketat volume intravaskular.18 Untuk pemberian terapi antikoagulan, kami tetap memberikan pascabedah. Hal ini dengan pertimbangan untuk mecegah terjadinya komplikasi CVST lainnya. Kami menggunakan UFH 50 mg subcutan selama 6 hari, dengan target pemeriksaan PT dan INR tidak terjadi kenaikan > 1,5–2 x dari baseline.16 Pada pemeriksaan akhir PT 18,4 detik dan INR 1,5.

IV. Simpulan

Angka kejadian CVST pada seorang pasien alkoholik cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena terjadinya dehidrasi yang merubah aliran darah, struktur dinding vena dan komposisi dari darah. Algoritma tatalaksana pasien CVST terkadang harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Operasi

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

52 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dekompresi evakuasi perdarahan dilakukan bila keadaan kondisi klinis pasien mengancam jiwanya. Pemberian LWMH tetap diberikan selama pada pemeriksaan penunjang darah tidak terjadi peningkatan yang bermakna. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan heparin pada pasien CVST bersamaan dengan perdarahan intrakranial belum terbukti dapat meningkatkan ukuran perdarahan. CVST berhubungan dengan perdarahan intracranial bukan karena pecahnya pembuluh darah.

Daftar Pustaka

1. Algahtani HA, Aldarmahi AA. Cerebral venous sinus thrombosis. Neurosciences (Riyadh) 2014; 19: 11–16.

2. Bousser MG, Ferro JM. Cerebral venous thrombosis: an update. Lancet Neurol 2007; 6: 162–170.

3. Stam J. Thrombosis of the cerebral veins and sinuses. N Engl J Med 2005; 352: 1791–1798.

4. Fischer C, Goldstein J, Edlow J. Cerebral venous sinus thrombosis in the emergency department: retrospective analysis of 17 cases and review of the literature. J Emerg Med 2010; 38: 140–147.

5. Guenther G, Arauz A. Cerebral venous thrombosis: a diagnostic and treatment update. Neurologia 2011; 26: 488–498.

6. Oppenheim C, Domigo V, Gauvrit JY, Lamy C, Mackowiak-Cordoliani MA, Pruvo JP, et al. Subarachnoid hemorrhage as the initial presentation of dural sinus thrombosis. AJNR Am J Neuroradiol 2005; 26: 614–617.

7. Boukobza M, Crassard I, Bousser MG, Chabriat H. Radiological findings in cerebral venous thrombosis presenting as subarachnoid hemorrhage: a series of 22 cases. Neuroradiology 2016; 58: 11–16.

8. Gu J, Li B, Chen J, Hong J, Liu H, Wang S. Cerebral venous thrombosis and acute

subarachnoid hemorrhage: a retrospective study on diagnosis, treatment prognosis of 11 patients. Biomedres 2017; 28 (19): 8496–50.

9. Singh H, Paulomi T, Ray S, Gupta V. A rare presentation of acute alcohol intoxication, subarachnoid haemorrhage and cortical venous thrombosis. J Neurol Res 2012;2:62–4.

10. Canhao P, Bousseur MG, Barinagarrementeria F, Stam J, Ferro JM; The ISCVT Collaborators. Predisposing conditions for cerebral vein and dural sinus thrombosis. Available from: http://www.iscvt.com/index.htm. [Last cited on 2013 Dec 20].

11. Ntaios G, Bornstein NM, Caso V, Christensen H, De Keyser D, Diener HC, et al. The European Stroke Organisation Guidelines: a standard operating procedure. Int J Stroke 2015; 10: 128–135.

12. Ferro JM, BousserM.-G., Canhão P, Coutinho JM, Cassard I, Dentali F, et al. European Stroke Organization guideline for the diagnosis and treatment of cerebral venous thrombosis - endorsed by the European Academy of Neurology. European Stroke Journal 2017; 2 (3): 195–221.

13. Einhäupl K, Stam J, Bousser MG, De Bruijn SF, Ferro JM, Martineli I, Mashur F. EFNS guideline on the treatment of cerebral venous and sinus thrombosis in adult patients. Eur J Neurol 2010; 17: 1229–1235.

14. Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD Jr, Busnell CD, Cucchiara B, Cushman M, et al. Diagnosis and management of cerebral venous thrombosis: a statement for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011; 42: 1158–92.

15. Coutinho JM. Cerebral venous Thrombosis. J Thromb Haemost 2015; 13 (1): S238–S44.

16. Coutinho JM, Middeldrop S, Stam J. Advaces in the treatment of cerebral venous

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

53

thrombosis. Curr Treat Options Neuro I 2014; 16: 299–310.

17. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012.

18. Saleh SC. Cairan untuk tindakan bedah otak. Dalam: Saleh SC, editor. Sinopsis

Neuroanestesia Klinik, edisi ke-2, Surabaya: Zifatama; 2013, 49–60.

19. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, Philadelphia: Mosby; 2010, 416–24.

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan Intraserebral

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

54

Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif

Endah Permatasari*), Dewi Yulianti Bisri**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSU Kabupaten Tangerang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr.Hasan Sadikin-Bandung, ***)Departemen

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Stroke perioperatif merupakan suatu kejadian katastropik yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas, terutama pada usia di atas 65 tahun. Stroke perioperatif merupakan suatu momok (kejadian yang tidak diharapkan) bagi keluarga dan rekan sejawat yang merawat. Stroke perioperatif dapat bersifat iskemik atau hemoragik yang terjadi selama masa intraoperatif hingga 30 hari pascaoperasi. Faktor risiko terjadinya stroke perioperatif diantaranya adalah: usia lanjut, riwayat stroke dan Transient Ischemic Attack (TIA) sebelumnya, atrial fibrilasi, kelainan pembuluh darah dan metabolik. Umumnya stroke perioperatif tidak terjadi selama masa pembedahan atau saat pulih sadar, tetapi terjadi dalam 24 jam pertama pascabedah. Penanganan stroke perioperatif membutuhkan manajemen yang menyeluruh dan suatu kerjasama tim yang baik. Walaupun kejadiannya tidak banyak namun membutuhkan penanganan tepat karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta mengakibatkan lama perawatan memanjang. Identifikasi awal pasien dan manajemen terpadu lintas keilmuan harus dilakukan untuk mencegah luaran yang buruk setelah terjadinya stroke perioperatif.

Kata kunci: faktor risiko, stroke perioperatif, anestesi

JNI 2018;7 (1): 54–61

Anesthetic Management of Perioperative Stroke

Abstract

Perioperative stroke can be a catastrophic outcome for surgical patients and is associated with increased morbidity and mortality, especially in the age above 65. A perioperative stroke is an unexpected event for families and caring colleagues. A perioperative stroke may be an ischemic or haemorrhagic disorder that occurs intraoperatively or up to 30 days postoperatively. Risk factors for perioperative stroke include elderly, history of previous stroke and transient ischemic attack (TIA), atrial fibrillation, vascular and metabolic disorder. Most perioperative stroke generally does not occur during the intraoperative period or soon after recovering period but within the first 24 hours. Handling perioperative stroke requires a thorough management and a good teamwork. Perioperative stroke can be devastating, as they not only result in death but also prolong the length of hospital stay, increasing cost and greater likelihood of discharge to long term care facilities. Although the incidence is not much but this requires appropriate treatment because of high morbidity and mortality and also result in prolong length of hospital stay. Early identification and expeditious management involving a multidisciplinary approach is the key to avoid a poor outcome following perioperative stroke.

Key words: perioperative stroke, risk factor, anesthesia

JNI 2018;7 (1): 54–61

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

55

I. Pendahuluan

Stroke perioperatif adalah salah satu komplikasi pembedahan yang paling ditakutkan. Stroke perioperatif terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Walaupun angka kejadian stroke perioperatif ini jarang, namun amat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien selanjutnya, keluarganya dan bagi dokter anestesi. Terkait aspek medikolegal apabila terjadi stroke perioperatif maka dokter anestesi harus siap agar tidak dianggap sebagai suatu kelalaian medik. 1

Di Australia stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak, begitu juga di benua Amerika. Definisi stroke dari WHO adalah suatu kelainan yang ditandai dengan gejala fokal atau global gangguan perfusi serebral dengan gejala yang menetap dan lebih lama dari 24 jam sampai dapat menimbulkan kematian dengan penyebab utamanya kelainan pembuluh darah otak. Sedangkan Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu kelainan yang ditandai timbulnya defisit neurologis fokal secara tiba-tiba dan hilang dalam rentang waktu yang tidak lebih dari 24 jam. Sedangkan stroke perioperatif adalah stroke yang terjadi pada masa perioperatif, bisa selama pembedahan atau sampai dengan 30 hari pascabedah.1,2

II. Faktor Risiko

Untuk dapat melakukan tindakan pencegahan dan tatalaksana, dokter harus memahami berbagai faktor risiko selama masa perioperatif. Risiko untuk terkena stroke perioperatif berbanding lurus dengan dengan usia lanjut dan risiko tertinggi dijumpai pada pasien dengan usia lebih dari 84 tahun. Pada rentang usia di bawah 65 tahun, angka kejadian stroke perioperatif adalah 0,2-0,3%. Risiko naik menjadi 0,5% pada rentang usia 65-80 tahun. Di atas usia 80 tahun angka kejadian stroke perioperatif meningkat sampai dengan 3,4%. Data ini menunjukkan komplikasi kardiovaskular yang berkaitan langsung dengan faktor umur. Riwayat hipertensi dan aritmia menjadi salah satu faktor penentu utama stroke perioperatif pada usia lanjut. Aritmia yang terbanyak adalah atrial fibrilasi. Hal ini menggambarkan penurunan cardiovascular reserve seiring dengan

pertambahan usia. Perpaduan atrial fibrilasi dan kondisi hiperkoagulasi pascabedah menjadi faktor predisposisi timbulnya stroke perioperatif. Namun belum banyak informasi seputar stroke perioperatif yang sudah ada. Penelitian yang ada umumnya bersifat retrospektif sehingga angka kejadian yang sesungguhnya sebenarnya bisa lebih tinggi. Di masa depan, stroke perioperatif harus lebih diwaspadai karena meningkatnya usia harapan hidup dan meningkatnya populasi usia lanjut.1,3,4 Perpaduan faktor operasi dan anestesi merupakan suatu faktor penyebab stroke perioperatif. Risiko terkena stroke dapat meningkat sampai dengan enam kali lipat pada pasien yang dilakukan pembedahan dibandingkan populasi pada umumnya. Risiko lain yang penyebab terjadinya stroke perioperatif antara lain usia lanjut, riwayat stroke dan Transient Ischemic Attack (TIA) sebelumnya, atrial fibrilasi, kelainan pembuluh darah dan metabolik. Mortalitas stroke perioperatif meningkat sampai dengan dua kali lipat pada pasien dengan riwayat stroke dan TIA sebelumnya. Hal ini diduga karena diagnosis stroke perioperatif yang rancu akibat efek obat-obatan anestesi dan akibat proses inflamasi pascaoperasi. Dalam tabel 1 dan diagram 1 berikut akan dijabarkan faktor risiko stroke perioperatif. 5,6,7 Meskipun teknik pembedahan dan perbaikan kondisi pasien pada masa perioperatif sudah berkembang maju, insiden stroke perioperatif tidak mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan adanya peningkatan jumlah populasi penderita usia lanjut dengan berbagai komorbid yang membutuhkan tindakan pembedahan. Sekitar 85% penderita akan mampu melewati serangan pertamanya. Risiko terjadinya stroke perioperatif lebih tinggi pada kelompok masyarakat ini. Stroke perioperatif akan menyebabkan lama perawatan di rumah sakit memanjang, angka kecacatan, fase rehabilitasi yang lama dan peningkatan mortalitas pascabedah. 3,4,7,8

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal (kreatinin lebih dari 2 mg/dl), merokok, PPOK, penyakit serebrovaskular, Berdasarkan konsensus dari Society for Neuroscience in Anesthesiology and Critical Care (SNACC), stroke perioperatif dapat didefinisikan

Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

56 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 1. Faktor risiko stroke perioperatif

Faktor risiko praoperasi (patient related)Usia lanjut(> 70 tahun)Jenis kelamin (perempuan)Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal (kreatinin lebih dari 2 mg/dl), merokok, PPOK, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung (aritmia, CAD, gagal jantung)Riwayat stroke atau transient ischemic attackStenosis karotisAterosklerosis aorta asendenPenghentian tiba-tiba obat antikoagulan sebelum operasiFaktor risiko intraoperasi (procedure related)Prosedur operasi yang akan dilakukanTeknik anestesi yang dilakukanWaktu operasi yang dibutuhkanAdanya aritmia, hiperglikemia, hipotensi dan hipertensi intraoperasiFaktor risiko pascaoperasiTimbulnya infarct miokard dan aritmia(atrial fibrilasi)Kondisi dehidrasi dan kehilangan darahHiperglikemia

sebagai suatu infark otak yang terjadi karena iskemia atau hemorragik yang terjadi selama pembedahan sampai dengan 30 hari pascabedah. Tidak seperti etiologi stroke pada komunitas, terdapat suatu mekanisme pencetus yang pasti pada kejadian stroke perioperatif yaitu intervensi pembedahan. Mekanisme stroke perioperatif antara lain atherothrombosis otak, emboli jantung karena atrial fibrilasi dan hipotensi.4,5,9

Angka kejadian stroke perioperatif pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan jantung dan pembuluh darah serta neurologi lebih tinggi karena adanya penggunaan mesin bypass jantung-paru, manipulasi langsung jantung, otak dan pembuluh darah. Angkakejadian stroke perioperatif dapat dipengaruhi jenis dan kesulitan dari tindakan pembedahan. Risiko terjadinya stroke perioperatif lebih rendah pada anestesi umum dan bedah non kardiak, tetapi menjadi lebih tinggi pada bedah jantung dan pembuluh darah. Selain itu dikatakan stroke perioperatif lebih banyak terjadi pada kasus bedah gawat darurat dibandingkan pada kasus elektif. Bukti terakhir menunjukkan bahwa setiap satu pasien

dari 1000 pasien yang dilakukan pembedahan dengan risiko yang minimal pun dapat mengalami stroke perioperatif dengan komplikasi mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Angka kejadian stroke perioperatif berkisar antara 0,08% sampai dengan 2.9% namun tindakan pembedahan jantung, pembuluh darah dan otak memiliki angka kejadian stroke yang lebih tinggi, berkisar antara 2.2 % sampai dengan 5.2%. Pada pasien dengan riwayat gejala keluhan otak dan pembuluh darah (serebrovaskular) angka kejadian meningkat mencapai 13%. Apabila terjadi stroke perioperatif tingkat kematian mencapai 26%.4,7,10,11

Sebelum dilakukan pembedahan harus dieveluasi ada tidaknya faktor risiko sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan dan dilakukan pertimbangan matang untuk evaluasi antara risiko yang mungkin terjadi dengan manfaat yang bisa dicapai (risk-benefit ratio). Selain persiapan perioperatif yang rutin dilakukan, pasien dapat dikonsultasikan ke teman sejawat neurologi bila diperlukan. Penanganan stroke perioperatif membutuhkan manajemen yang menyeluruh dan suatu kerjasama tim yang baik.5,12,13

Dikutip dari: Selim M.7

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

57 Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif

Diagram 1. Faktor Risiko Stroke Perioperatif

III. Patofisiologi Stroke Perioperatif

Setiap tahunnya sekitar 6 juta orang meninggal karena stroke di seluruh dunia. Diperkirakan pada tahun 2030 penyakit serebrovaskular menjadi penyebab kematian no.2 di dunia. Sebagian besar stroke perioperatif adalah stroke iskemik. Angka kejadian stroke hemoragik berkisar hanya 1% dari total keseluruhan stroke perioperatif. Sebagian besar stroke perioperatif terjadi pada hari kedua setelah operasi. Dari berbagai penelitian yang melaporkan kejadian stroke perioperatif hanya 5,8% dilaporkan terjadi selama pembedahan. Hal ini menggambarkan kemungkinan bahwa pascabedah terjadi mekanisme yang lebih penting dibandingkan pada saat selama pembedahan Faktor lain yang dianggap terkait dengan risiko terjadinya stroke perioperatif adalah kondisi hipotensi dan dehidrasi serta status hiperkaoagulasi pascabedah. Tirah baring pascabedah dan penghentian terapi antikoagulan juga mempengaruhi risiko timbulnya stroke perioperatif. Pembedahan darurat juga terkait dengan peningkatan risiko terjadinya stroke perioperatif.3,9,13 Diperkirakan lebih dari 60% stroke perioperatif pada kasus pembedahan

jantung-paru (cardiothoracic) disebabkan karena adanya emboli. Sementara patofisiologi stroke perioperatif pada pembedahan non kardiak dan syaraf lebih sulit untuk diketahui penyebabnya multifaktor.3,12 Faktor risiko yang lazim ditemui pada stroke perioperatif antara lain usia lanjut, riwayat penyakit serebrovaskular, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium dan gangguan ginjal. Pada sekitar 30% kasus dengan stroke perioperatif dijumpai adanya atrial fibrilasi. Penyebab stroke yang jarang (tidak lazim) termasuk di antaranya adalah emboli udara, emboli lemak, thrombus dan infark medulla spinalis. Dalam tabel 2 dijabarkan angka kejadian stroke setelah berbagai tindakan pembedahan.1 Gejala klinis stroke dapat tidak tampak pada pasien dalam kondisi anestesi umum. Akan tetapi kebanyakan stroke terjadi pascabedah dimana pasien sudah tidak sedang dalam kondisi pembiusan. Sedasi yang berlebihan pada masa perioperatif dapat menutupi gejala stroke oleh karena itu sebaiknya dihindari. Stroke perioperatif yang terjadi sebagian besar adalah stroke iskemik, hanya sebagian kecil saja stroke hemorrhagik dan umumnya terjadi pascabedah. Pada pembedahan non kardiak dan bedah syaraf,

Dikutip dari: Lakshmanan RV et al. 2016.6

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

58 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

stroke perioperatif dapat lebih lambat diketahui karena pasien sudah pindah rawat ke bangsal perawatan dan bukan di ICU. Berbeda dengan pasien pembedahan jantung, bedah syaraf dan vaskular yang bisa lebih awal diketahui karena pasien masih dalam perawatan di ICU dan dilakukan pengawasan ketat.3 Pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan pasien dengan riwayat terapi obat antikoagulan termasuk kelompok pasien risiko tinggi terjadinya stroke perioperatif. Etiologi stroke perioperatif termasuk diantaranya adalah adanya aneurisma intrakranial dan malformasi arteriovena. Pada aneurisma intrakranial dan malformasi arteriovena terjadi perubahan struktur pembuluh darah otak yang rentan pecah pada saat terjadinya fluktuasi tekanan darah mendadak terutama pada saat induksi dan ekstubasi anestesi.1,4

IV. Strategi Pencegahan Terjadinya Stroke Perioperatif

Langkah awal untuk mencegah terjadinya stroke perioperatif adalah identifikasi pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami stroke perioperatif dan melakukan optimalisasi kondisi sebelum dilakukan pembedahan untuk mengurangi komplikasi neurologis. Pada kelompok pasien yang sebelumnya memiliki riwayat kelainan serebovaskular harus dianggap memiliki risiko tinggi mengalami stroke perioperatif. Selama periode anestesi dan

Tabel 2. Angka Kejadian Stroke Pasca Berbagai Tindakan Pembedahan

Prosedur Risiko terjadinya stroke(%)

Pembedahan minor 0,08-0,7Pembedahan vascular perifer 0,8-3,0Reseksi tumor kepala-leher 4,8Karotis endarterektomi 5,5-6,1CABG 1,4-3,8Kombinasi CABG dan pembedahan katup jantung

4,8-8,8

Pembedahan 2/3 katup jantung 9,7Pembedahan repair aorta 8,7

Diambil dari: Selim M.7

pembedahan harus dilakukan tindakan proteksi otak. Dokter anestesi memegang peran penting untuk melakukan proteksi otak dan mencegah terjadinya komplikasi neurologis. Komplikasi neurologis dari iskemia serebral selama pembedahan dapat berupa koma, kejang, stroke, delirium dan gangguan neurokognitif.1,4,6,13

Anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan perubahan aliran darah otak dan autoregulasi otak. Ditambah dengan kondisi hiperkoagualasi pascabedah sehingga rentan terjadi iskemia otak pascabedah. Berdasar prinsip tersebut harus dilakukan langkah-langkah pencegahan terjadinya stroke perioperatif.4,13

PrabedahPada fase prabedah lakukan identifikasi faktor risiko dan optimalisasi penyakit penyerta (komorbiditas). Pasien dengan atrial fibrilasi, penyakit jantung koroner (CAD) dan hipertensi wajib dioptimalisasi terlebih dahulu sebelum tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya stroke perioperatif. Apabila terdapat kelainan atrial fibrilasi maka sebaiknya irama diupayakan menjadi sinus kembali dengan frekwensi yang normal. Pasien dengan diabetes mellitus sebelum tindakan pembedahan harus terkendali gula darahnya. Pasien dengan hipertensi yang tidak terkendali dan pasien dengan riwayat terapi obat antikoagulan termasuk kelompok pasien risiko tinggi mengalami stroke perioperatif. Kelompok pasien dengan terapi antikoagulan harus dilakukan pertimbangan matang untuk tetap melanjutkan terapi antikoagulan atau menunda sementara tindakan pembedahan. Pada masa pembedahan proses koagulasi dapat dipengaruhi oleh manipulasi tindakan pembedahan, pemberian cairan dan kehilangan darah. Trauma pembedahan dan cedera jaringan akan dapat menyebabkan proses inflamasi dan hiperkoagulasi. Kondisi hiperkoagulasi pascabedah merupakan kontributor utama stroke perioperatif. Obat-obat antikoagulan banyak diberikan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi terkena stroke perioperatif untuk mengurangi risiko tromboemboli. Pada dekade sebelumnya ahli bedah akan langsung menghentikan terapi aspirin, clopidogrel dan warfarin untuk menghindari perdarahan selama pembedahan.

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

59 Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif

Namun penghentian obat-obatan ini dapat memicu kondisi hiperkoagulasi dan meningkatkan risiko terjadinya miokard infarct dan stroke iskemik. Obat antikoagulan harus segera diberikan apabila sudah diperbolehkan.4,5,6,7

Menjadi suatu pertimbangan khusus berapa lama pembedahan harus ditunda pada pasien yang baru mengalami stroke. Pada kondisi infark miokard sudah banyak kepustakaan yang menyebutkan bahwa sebaiknya pembedahan ditunda paling tidak 3 sampai 6 bulan. Namun tidak demikian pada pasien dengan riwayat stroke sebelumnya. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa tidak ada kaitan bermakna rentang waktu antara riwayat stroke sebelumnya dengan kemungkinan terjadinya stroke perioperatif. Berdasarkan konsensus dari SNSCC direkomendasikan untuk menunda operasi sampai dengan tiga bulan sesudah kejadian stroke sebelumnya untuk mencegah terjadinya stroke berulang. Apa peran anestesi dan pembedahan pada mekanisme stroke perioperatif? Anestesi umum dan pembedahan dapat menyebabkan gangguan autoregulasi otak, perubahan aliran darah otak, dan proses koagulasi pascabedah sehingga meningkatkan risiko terjadinya stroke perioperatif. Pada keadaan ini rentan untuk terjadi hipoperfusi otak terutama pada pasien-pasien dengan pembiusan umum. Dinamika selama pembedahan dapat terjadi perdarahan, anemia dan hipotensi. Diketahui stroke dapat mempengaruhi perubahan mekanisme autoregulasi otak yang dapat berlangsung sampai dengan berbulan-bulan sehingga meningkatkan risiko terjadinya iskemia otak. Selain meningkatkan risiko terjadinya stroke berulang juga akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular. Namun tetap harus dipertimbangkan secara matang manfaat dan risikonya antara penundaan tindakan pembedahan dan risiko terjadinya stroke perioperatif bila dilaksanakan.1,3-6

IntrabedahTindakan proteksi otak pada masa intrabedah dilakukan dengan pengendalian tekanan darah dan memastikan penghantaran oksigen yang cukup (optimal oxygen delivery). Rentang tekanan darah yang optimal selama pembedahan

masih banyak diperdebatkan. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa pemantauan tekanan darah selama pembedahan harus diupayakan mendekati tekanan darah sebelum pembedahan. Perubahan tekanan darah yang melebihi dari 20 mmHg atau lebih dari 20% dari nilai normal prabedah dapat meningkatkan komplikasi perioperatif. Pengendalian tekanan darah selama pembedahan dan pascabedah untuk mendekati rentang nilai prabedah dapat mengurangi risiko stroke perioperatif dan kematian.4,7,9,13,14

Pemantauan ketat kadar gula darah pada masa perioperatif sangat penting Baik hiperglikemia ataupun hipoglikemia sama-sama dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan operasi. Pencegahan hiperglikemia dan hipoglikemia wajib dilakukan pada pasien dengan riwayat diabetes mellitus. Meskipun pengendalian kadar gula darah secara ketat belum dapat dibuktikan memiliki efek perlindungan terhadap pencegahan terjadinya stroke perioperatif, hiperglikemia diketahui dapat memperburuk cedera otak (brain injury) dan menyebabkan peningkatan mortalitas pada kondisi iskemia serebral.

Kondisi hiperglikemia sebaiknya ditatalaksana apabila sudah lebih dari 150 mg/dl dan kadar gula darah yang tertinggi adalah 180 mg/dl. Dengan target kadar gula darah antara 60–150 mg/dl. Untuk mencegah terjadinya hipoglikemia, dosis insulin harus dikurangi bila kadar gula darah mencapai 100 mg/dl. Pada semua kasus dengan risiko tinggi terjadi stroke periopertif maka kadar gula darah harus selalu dipantau dan lakukan koreksi bila diperlukan.5,13

Obat anestesi inhalasi diketahui memiliki efek neuroproteksi terhadap iskemia otak pada penelitian binatang percobaan. Namun belum ada penelitian efek neuroproteksi obat anestesi inhalasi pada manusia. Gas anestesi inhalasi secara langsung memiliki efek dilatasi terhadap pembuluh darah otak sehingga mungkin dapat memperbaiki perfusi serebral. Kebalikannya obat-obat anestesi intravena seperti propofol dan thiopental dapat mengurangi aliran darah otak karena efeknya terhadap penurunan metabolisme otak. Pada pasien-pasien yang sudah dengan autoregulasi terganggu, kondisi

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

60 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ini dapat menyebabkan ketidaksesuaian aliran oksigen ke otak. Belum dapat dibuktikan apakah anestesi regional lebih baik daripada anestesi umum untuk mencegah stroke perioperatif. Namun pada tindakan pembedahan ortopedi esktremitas bawah (total knee replacement dan total hip replacement) anestesi regional lebih sedikit menyebabkan komplikasi stroke perioperatif dibandingkan anestesi umum.5,7,13

Saat ini masih terbatas data yang menunjukkan hubungan PaCO2 selama pembedahan dengan insiden stroke perioperatif. Meskipun belum ada bukti langsung yang menunjukkan teknik ventilasi selama pembedahan dengan risiko terjadinya stroke, hiperventilasi akan menyebabkan hipokapni yang berujung pada penurunan aliran darah otak hingga dapat timbul iskemia otak. Hiperventilasi dapat menyebabkan inverse steal phenomenon yang malahan akan meredistribusikan aliran darah dari area otak yang mengalami iskemia. Teknik hiperventilasi selama pembedahan memiliki efek yang merugikan seperti penurunan oksigenasi, peningkatan kebutuhan oksigen jantung, disritmia dan penurunan aliran darah otak. Sehingga sebaiknya tidak dilakukan hiperventilasi pada pasien yang dengan riwayat stroke sebelumnya karena risiko penurunan aliran darah otak dan pertahankan kondisi normokapni bila memungkinkan.5,8,9,13 Semakin singkat lama pembedahan akan makin baik luaran hasil pembedahan dikaitkan dengan timbulnya risiko stroke perioperatif. Makin lama waktu pembedahan makin tinggi risiko timbulnya stroke perioperatif dan morbiditas lain. Manajemen anestesi yang baik berperan penting untuk mencegah terjadinya komplikasi serebral.8,9

PascabedahKebanyakan stroke perioperatif terjadi pada masa pascabedah. Obat-obatan anestesi dan teknik anestesi dapat mempengaruhi insiden stroke perioperatif. Namun hingga kini belum ada penelitian prospektif yang ada. Lebih lanjut masih dibutuhkan penelitian berbagai faktor yang dapat menyebabkan stroke perioperatif. Hipotensi di masa pascabedah merupakan salah satu penanda stroke perioperatif dan harus dicegah agar tidak terjadi. Hiperkoagulasi pascabedah merupakan

faktor potensial penyebab kejadian komplikasi serebrovaskular. Terapi antikoagulan harus segera diberikan apabila sudah diperbolehkan terutama pada pasien dengan atrial fibrilasi.3,4,6

Apabila terjadi lambat pulih sadar dari anestesi, perubahan status mental dan timbul defisit neurologis baru harus diwaspadai terjadinya suatu stroke perioperatif. Segera dilakukan langkah evaluasi untuk menyingkirkan terjadinya stroke perioperatif dan dilakukan pemeriksaan neuroradiologis bila diperlukan. Bila terjadi stroke perioperatif maka pasien harus dipantau dan diawasi di ruangan neuro critical care atau di unit perawatan stroke.

Pasien dikonsultasikan dan dirawat bersama dengan teman sejawat neurologi. Jalan nafas harus tetap dapat dipertahankan. Apabila nilai GCS dibawah 8 maka dilakukan intubasi untuk proteksi jalan nafas sekaligus untuk pencegahan terjadinya aspirasi lambung. Apabila diperlukan maka pemeriksaan neuroradiologis harus dilakukan. Hypercapnia harus di cegah, tekanan intrakranial harus dapat dikendalikan dan tatalaksana bila ada edema serebri. SpO2 harus dipertahankan di atas 94% dengan pemberian oksigen dan ventilasi mekanik bila diperlukan. Irama jantung dipantau dengan monitor EKG kontinyu karena pasien stroke rentan untuk mengalami gangguan irama jantung. Analgesia diberikan bila dianggap ada rangsang nyeri karena nyeri dapat menimbulkan respon stress dan harus dicegah.2,5,6,13

V. Simpulan

Stroke perioperatif walaupun jarang ditemukan merupakan komplikasi perioperatif yang berat yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Mengenali faktor risiko sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya stroke perioperatif. Karena kebanyakan faktor risiko umumnya tidak dapat dihindari, tindakan pembedahan elektif pada pasien yang pernah mengalami stroke sebaiknya minimal ditunda hingga 3 bulan sambil menunggu membaiknya autoregulasi serebral. Pertimbangan antara melanjutkan atau menunda tindakan pembedahan dilakukan dengan seksama.

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

61 Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif

Daftar Pustaka

1. Chiao SS, Zuo ZY. Approach to risk management of perioperative stroke. J Anesth Perioper Med 2015, 2:268–76.

2. Ng JL, Chan MT, Gelb WB. Perioperative stroke in noncardiac, nonneurosurg surgery. Anesthesiol 2011;115(4):879–90.

3. Kim Jarmila, Gelb AW. Predicting perioperative stroke. Journal of Neurosurgical Anesthesiology 1995;3:211–15.

4. Kam PCA, Calcroft RM. Peri-operative stroke in general surgical patients. Anaesthesia 1997: 52:879–83.

5. Mashour GA, Moore LE, Lele AV, Robicsek SA, Gelb AW. Perioperative care of patients at high risk for stroke during or after non-cardiac, non-neurologic surgery: Consensus statement from the Society for Neuroscience in Anesthesiology and Critical Care. J Neurosurg Anesthesiol.2014;26:273–85.

6. Lakshmanan RV, Rajala B, Moore LE. Perioperative stroke. Curr Anesthesiol Rep 2016; 6: 202–13.

7. Selim M. Current concepts perioperative stroke. N Engl J Med 2007;356:706–13.

8. Gelb AB, Cowie DA. Perioperative stroke prevention. Anes & Analg 2011;92:46–53.

9. Engelhard K. Anaesthetic techniques to prevent perioperative stroke. Curr Opin Anesthesiol 2013;26:368–74.

10. Szeder V, Torbey MT. Prevention and treatment of perioperative stroke. The Neurologist 2008;14(1):30–36.

11. Brooks DC, Schindler JL. Perioperative stroke: Risk assessment, prevention and treatment. Curr Treat Option Cardiovasc Med 2014;16(2):282–98.

12. Morales-Vidal S, Schneck M, Golombieski E. commonly asked questions in the management of perioperative stroke. Expert Rev Neurother 2013;13(2):167–75.

13. Abraham M. Protecting the anaesthetised brain. J Neuroanaesthesiol Crit Care 2014; 1:20–39.

14. Vlisides P, Mashour GA. Perioperative stroke. Can J Anaesth 2016;63(2):193–204.

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

62

Tata Kelola Edem Paru Neurogenik

Riyadh Firdaus*), Bambang J. Oetoro**), Syafruddin Gaus***), Tatang Bisri****)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia–RS. Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Khatolik Atmajaya-Rumah Sakit Mayapada-Tangerang, ***)Departemen Anestesiologi,Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin-Makassar, ****)Departemen Anestesiologi dan

Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak

Edem paru neurogenik merupakan salah satu komplikasi pernafasan yang dapat muncul setelah cedera/trauma susunan saraf pusat. Bervariasinya laporan epidemiologi dan patofisiologi edem paru neurogenik dapat menyebabkan misdiagnosis yang dapat memperburuk prognosis pada pasien yang mengalami edem paru neurogenik. Patofisiologi edem paru neurogenik diduga dimulai dari kerusakan pada persarafan autonom pembuluh darah pulmonal dan stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor susunan saraf pusat, yang kemudian menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi pada pembuluh darah pulmonal hingga disfungsi jantung. Investigasi klinis harus dilakukan hati-hati karena manifestasi klinis yang dapat menyerupai edem paru kardiogenik dan non-kardiogenik lainnya, hasil pemeriksaan yang tidak spesifik, dan tidak adanya kriteria diagnosis. Saat ini belum ada pedoman tata kelola edem paru neurogenik yang dapat diterima secara luas, namun berbagai studi dan literatur menyebutkan tata kelola edem paru neurogenik berupa tata kelola suportif airway, breathing, circulation, di samping tata kelola penyebab cedera/trauma susunan saraf pusat memiliki prognosis yang baik, oleh karena itu identifikasi, investigasi, dan tata kelola edem paru neurogenik harus dilakukan secepatnya. Edem paru neurogenik dapat beresolusi dengan baik dalam 48–72 jam setelah mendapatkan tata kelola yang adekuat.

Kata kunci: edem paru neurogenik, kerusakan susunan saraf pusat, tata kelola

JNI 2018;7 (1): 62–70

Management of Neurogenic Pulmonary EdemaAbstract

Neurogenic pulmonary edema is one of respiration complication caused by injury of central nervous system. Due to the vary of neurogenic pulmonary edema epidemiology and pathophysiology leads to misdiagnosed of neurogenic pulmonary edema, which could worsen the clinical condition patients. The pathophysiology of neurogenic pulmonary edema is believed caused by lesion on the autonomic central of vascular pulmonary bed and overactivation of central vasomotor system, which leads to alteration of vascular pulmonary conditions and cardiac dysfunction. Clinical investigation should be done carefully, because the clinical manifestations of neurogenic pulmonary edema mimicking the cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary edema, non-spesific diagnostic modalities, and none diagnostic criteria in neurogenic pulmonary edema. Although nowadays none of management guidelines of neurogenic pulmonary edema accepted widely, many study reported the good outcome of supportive management of airway, breathing, and circulation besides the primary management of central nervous system injury. Hence, clinical identifications, investigations, and management of neurogenic pulmonary edema should be done immediately, because of good clinical outcome in 48 – 72 hours with adequate management.

Key words: neurogenic pulmonary edema, central nervous system damage, management

JNI 2018;7 (1): 62–70

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

63

I. Pendahuluan

Edem paru neurogenik adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan peningkatan cairan interstitial dan alveolus paru secara mendadak yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor atau kelainan pada sistem kardiovaskular dan/atau paru setelah terjadinya cedera atau trauma pada susunan saraf pusat. Insidensi edem paru neurogenik di instalasi gawat darurat mencapai 25%, dengan angka morbiditas mencapai 40 – 50% dan mortalitas mencapai 7–10%.1 Beberapa teori yang menjelaskan patofisiologi edem paru neurogenik adalah peningkatan tekanan hidrostatik kapiler pulmonal, peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal, dan disfungsi jantung.2-3 Belum ada metode yang digunakan secara luas dan khusus untuk menegakkan diagnosis edem paru neurogenik. Pada umumnya penegakkan diagnosis edem paru neurogenik dilakukan berdasarkan penilaian gejala klinis dan eksklusi terhadap penyebab edem paru lainnya pada pasien dengan cedera atau trauma susunan saraf pusat.4,5

Tata laksana utama edem paru neurogenik adalah tatalaksana cedera atau trauma susunan saraf pusat. Tatalaksana suportif edem paru terletak pada tata kelola hemodinamik, termasuk di antaranya adalah penggunaan obat vasoaktif, diuretik, dan terapi cairan. Tata kelola respirasi pada edem paru neurogenik memiliki tujuan memperbaiki ventilasi paru untuk mencegah hipoksemi dan hiperkapni. Tata kelola neurologi terutama terletak pada reduksi tekanan intrakranial. Tata kelola anestesi, walaupun saat ini masih belum dilaporkan secara luas, namun bertujuan untuk menghambat pusat persarafan simpatik pada hipotalamus, batang otak, dan pusat simpatis vasoaktif.4 Identifikasi dan tata kelola edem paru neurogenik perlu mendapatkan perhatian khusus karena data epidemiologi dan tata kelola edem paru neurogenik masih kurang dan secara klinis bersifat akut dan sangat mengancam nyawa.4,6 II. Tinjauan PustakaII. Definisi dan Epidemiologi

Edem paru neurogenik adalah suatu sindrom klinis yang bersifat akut dan mengancam

nyawa yang ditandai dengan peningkatan cairan interstitial dan alveolus paru secara mendadak yang berkaitan dengan cedera/trauma berat pada susunan saraf pusat. Pada praktik klinis, edem paru neurogenik sering mengalami misdiagnosis karena kurangnya perhatian terhadap masalah paru yang muncul dibandingkan dengan cedera/trauma pada susunan saraf pusat dan pada edem paru neurogenik berat kebanyakan pasien akan meninggal sebelum dilakukan intervensi kegawatdaruratan.2,4

Data epidemiologi secara pasti mengenai edem paru neurogenik jarang dilaporkan. Studi literatur yang ditemukan umumnya berupa laporan kasus dan hasil autopsi pasien yang sedikit dan tidak memiliki relevansi secara statistik. Pada pasien dengan perdarahan subaraknoid angka insidensi edem paru neurogenik dilaporkan bervariasi antara 2–42% dengan angka mortalitas mencapai 10%. Angka kejadian edem paru neurogenik pada cedera kepala berat diperkirakan mencapai 20–25% dan mencapai 50% pada pasien cedera kepala traumatik dalam 96 jam setelah kejadian. Insidensi edem paru neurogenik sangat berkaitan dengan usia, keterlambatan operasi, dan presentasi klinis dan radiologi. Pada epilepsi diperkirakan kejadian edem paru neurogenik memiliki insidensi mencapai 30% dengan angka mortalitas mencapai 80–100%. Walaupun pada laporan insidensi edem paru neurogenik relatif tinggi pada kasus tertentu, secara umum, insidensi kejadian edem paru neurogenik masih relatif rendah, berkisar antara 2–8%.1

EtiologiEdem paru neurogenik sering terjadi terutama pada perdarahan subaraknoid, cedera kepala traumatik, kejang epilepsi, stroke non-perdarahan, tumor, meningoensefalitis, hidrosefalus, sklerosis multipel, prosedur endovaskular neurologi, dan peningkatan tekanan intrakranial karena blokade VP-shunt tanpa kelainan jantung atau paru yang mendasarinya dengan lonjakan kadar katekolamin diperkirakan sebagai etio-patogenesis pada edem paru neurogenik.6-8 Kejang pada epilepsi merupakan penyebab paling banyak edem paru neurogenik, umumnya edem terjadi pada periode postictal. Edem paru neurogenik sebagai

Tata Kelola Edem Paru Neurogenik

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

64 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

komplikasi dari perdarahan subaraknoid atau intraserebral dapat terjadi dalam beberapa hari setelah perdarahan dan dapat berulang. Pada sebuah studi terhadap 78 kasus kematian akibat perdarahan subaraknoid, didapatkan kejadian edem paru sebanyak 71% dan bukti klinis antemortem edem paru pada 31% pasien. Penyebab lainnya adalah sindrom Guillain-Barre, sklerosis multipel dengan keterlibatan medula, stroke non-perdarahan, poliomielitis bulbar, emboli udara, tumor otak, terapi elektrokonvulsif, meningitis bakteri, cedera medula spinalis servikal, blokade nervus trigeminus, ligasi arteri vertebra, ruptur malformasi av medula spinalis, general anesthesia, kista kolloidal, hidrosephalus, dan sindrom Reye’s.7,8

Anatomi Susunan Saraf Pusat Terkait Edem ParuDari sudut pandang anatomi, medula oblongata dan hipotalamus memilki peranan penting terhadap kejadian edem paru melalui respon autonom. Medula oblongata posterior adalah suatu struktur pada susunan saraf pusat yang membentuk struktur inferior dasar ventrikel keempat, mencakup area adrenergik 1 dan 5 dan nukleus traktus solitarius. Serabut saraf yang berasal dari area adrenergik 5 akan menuju kolumna intermediolateral medula spinalis torakolumbal, yang merupakan area persarafan simpatis, sedangkan serabut saraf yang melalui area adrenergik 1 akan menuju ke hipotalamus. Serabut saraf pada area adrenergik 1 memiliki peranan penting dalam inhibisi aktivitas sekresi neuroendokrin vasopressin di nukleus supraoptikus dan paraventrikel melalui proyeksi hipotalamus.7,9 Cedera/trauma area hipotalamus preoptik lateral dapat menyebabkan vasokonstriksi viseral berat melalui serabut eferen simpatis, yang berakibat pada akumulasi darah ke sirkulasi pulmonal. Lesi pada area hipotalamus anterior berkaitan dengan kejadian edem paru neurogenik berat yang didasari oleh proses peningkatan tekanan arterial sistemik. Lesi atau stimulasi pada area spesifik dapat merangsang pelepasan katekolamin yang kemudian mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler pulmonal dan ekstravasasi cairan.10,11

Patofisiologi Edem Paru NeurogenikPada paru normal, kebocoran cairan dan protein terjadi melalui celah antar sel endotelial pembuluh kapiler. Cairan dan komponen yang difiltrasi melalui rongga interstitial alveolar berasal dari sirkulasi menuju rongga interstitial alveolar dan peribronkovaskular dan tidak dapat menembus alveolus karena pada lapisan epitelium alveolar memiliki tight junction yang sangat rapat. Gaya hidrostatik yang mengakibatkan perpindahan cairan menembus mikrosirkulasi paru memiliki gaya yang sama besar dengan tekanan hidrostatik kapiler paru, yang dipengaruhi oleh perbedaan tekanan osmotik protein. Melalui aliran pembuluh limfatik, cairan yang berasal dari interstitial tersebut akan diresorpsi menuju aliran sistemik. Pembuluh limfatik merupakan suatu pembuluh kecil yang dapat berkontraksi saat pergerakan pernafasan, aliran limfatik yang berasal dari alveolus akan menuju ke hilum dan kelenjar getah bening regional. Aliran limfatik akan mengalir keluar dari toraks melalui pembuluh yang terdapat pada mediastinum, kemudian menuju ke pembuluh vena besar yang terdapat di daerah leher bawah.

Kecepatan filtrasi resorpsi oleh sistem limfatik ini dapat meningkat sampai beberapa kali, namun hanya sampai batasan tertentu. Edem paru akan terjadi saat laju filtrasi cairan ke dalam paru melebihi laju filtrasi resorpsi sistem limfatik. Patofisiologi edem paru neurogenik merupakan salah satu atau kombinasi mekanisme (1) peningkatan tekanan hidrostatik kapiler pulmonal, (2) perubahan permeabilitas kapiler pulmonal, dan (3) disfungsi jantung.2,10,12

Pada cedera/trauma kepala yang disertai/tanpa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan perfusi otak akan menyebabkan pelepasan rangsang simpatis dari beberapa area spesifik susunan saraf pusat. Pelepasan rangsang simpatis ini terutama berasal dari hipotalamus, medula oblongata dan medula spinalis. Pelepasan rangsang simpatis ini dapat mengakibatkan edem paru neurogenik melalui dua mekanisme, yaitu: peningkatan tekanan hidrostatik paru (teori blast) dan peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal (teori gangguan permeabiilitas).12 Katekolamin, sebuah mediator vasoaktif yang

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

65

beredar di sirkulasi vena akan dilepaskan secara signifikan setelah cedera/trauma susunan saraf pusat memiliki peranan penting dalam kejadian hipertensi pulmonal. Lebih lanjut katekolamin akan menyebabkan vasokontriksi sistemik berat, perpindahan darah dari aliran sistemik menuju aliran paru, yang akan meningkatkan volume cairan darah darah pulmonal. Akibat peningkatan volume cairan darah pada paru, aliran balik pembuluh vena dan tahanan pembuluh sistemik akan meningkat namun, tekanan diastolik ventrikel kiri jantung dan komplians tekanan sistolik akan menurun disertai peningkatan volume ventrikel kiri. Peningkatan volume ventrikel akan meningkatkan tekanan pada fase akhir pengisian ventrikel kiri dan atrium kiri. Lebih lanjut, akan mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler pulmonal yang disertai dengan kerusakan lapisan endotelial dan kebocoran cairan menuju interstitial dan alveolus.12

Kerusakan neuronal baik secara langsung maupun tidak langsung pada pusat persarafan autonom pembuluh darah pulmonal dan stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor susunan saraf pusat menurut literatur dapat menjelaskan kejadian edem paru neurogenik dengan peningkatan tekanan intrakranial. Refleks Hering-Breuer dapat mengakibatkan bradikardi, bronkokonstriksi, gangguan ritme pernafasan, hingga episode henti nafas. Gangguan persarafan autonom, yang dapat diakibatkan oleh aktifitas berlebihan pada persarafan simpatis atau gangguan saraf vagal yang diakibatkan oleh vagotomi atau kerusakan nukleus vagal di medula oblongata dapat menyebabkan edem paru neurogenik yang merupakan komplikasi dari berbagai mekanisme cedera/trauma susunan saraf pusat.13

Peningkatan Tekanan Hidrostatik Kapiler Pulmonal (Teori Blast)Edem paru neurogenik sering berkaitan dengan kejadian hipertensi pulmonal dan sistemik yang dapat diakibatkan secara sekunder oleh peningkatan tekanan intrakranial ataupun adanya pelepasan katekolamin dalam jumlah besar. Hipertensi pulmonal dan sistemik akan menyebabkan peningkatan volume darah pulmonal akibat perpindahan aliran darah

sistemik menuju aliran darah arteri dan vena pulmonal. Akibat dari peningkatan volume darah pulmonal, tekanan hidrostatik pulmonal akan meningkat. Semakin tingginya tekanan hidrostatik intravaskular pulmonal akan menyebabkan kerusakan barotrauma terhadap membran kapiler-alveolar pulmonal. Keadaan edem paru ini akan ditambah melalui edem paru transudatif yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan vena pulmonal. Edem paru menurut teori blast menjelaskan bahwa kejadian edem paru sebagai hasil akibat dari dua mekanisme yang saling bersinergi, yaitu peningkatan tekanan hidrostatik kapiler pulmonal dan kerusakan pada membran endotelial pulmonal.1,5

Pelepasan katekolamin dalam jumlah besar dapat menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri. Peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri dan atrium kiri secara teori dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena pulmonal dan tekanan hidrostatik pulmonal. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18–25 mmHg) akan menyebabkan edem pada rongga interstitial perimikrovaskular dan peribronkovaskular, dan jika peningkatan tekanan atrium kiri meningkat lebih dari 25 mmHg maka cairan edem akan menembus epitel pulmonal, dan memenuhi alveolus dengan cairan edem rendah-protein.14

Peningkatan Permeabilitas Kapiler Pulmonal (Teori Gangguan Permeabilitas)Peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal dapat disebabkan oleh aktivasi mekanisme persarafan tertentu atau akibat tekanan hidrostatik kapiler pulmonal. Secara teori mekanisme ini lebih dapat menjelaskan kejadian edem paru neurogenik yang memiliki kandungan cairan kaya-protein namun kurang menjelaskan keterkaitan perubahan hemodinamik yang terjadi pada edem paru neurogenik. Dalam hubungannya dengan teori blast, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kerusakan endotelial pulmonal lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan pada permeabilitas kapiler pulmonal yang akan berakibat pada kebocoran protein plasma menuju rongga interstitial dan alveolus. Edem paru akibat mediasi persarafan dapat terjadi tanpa disertai peningkatan tekanan arterial pulmonal.7,10

Tata Kelola Edem Paru Neurogenik

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

66 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Disfungsi JantungBeberapa studi menunjukkan bahwa edem paru dan cedera miokardium dapat terjadi setelah cedera/trauma pada susunan saraf pusat. Pada kardiomiopati Takotsubo akibat cedera/trauma susunan saraf pusat yang berat, dapat menyebabkan edem paru kardiogenik akibat disfungsi diastolik, lusitrofi, dan hipokinetik global yang terjadi secara transien.15 Sindrom neurogenic stunned myocardium terjadi akibat aktivasi persarafan simpatis, terutama pelepasan katekolamin, ditandai dengan disfungsi ventrikel kiri, bradikardi, disertai perubahan EKG pada komplek QRS, segmen-ST, gelombang-T, dan pemanjangan interval Qtc dapat terjadi hingga hingga hari ke-14 setelah cedera/trauma pada susunan saraf pusat. Perubahan pola EKG yang terjadi menyerupai gambaran iskemi miokardium, namun tanpa gambaran penyakit koroner akut. Walaupun demikian kardiomiopati Takotsubo dan neurogenic stunned myocardium dapat memiliki gambaran klinis yang sama.5,16

Manifestasi KlinisManifestasi klinis edem paru neurogenik dapat menyerupai acute respiratory distress sindrome (ARDS) dan edem paru kardiogenik, bergantung pada beratnya cedera/trauma susunan saraf pusat yang terjadi. Gambaran klinis yang sering terjadi adalah episode dispnea akut, takipnea, sianosis, hipoksi, dan pucat. Pada pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan ronki bilateral terutama pada kedua basal paru. Pada pipa endotrakeal dapat ditemukan sputum berbusa dengan warna kemerahan.2,14 Beberapa studi dilakukan untuk melakukan investigasi terhadap penyebab edem paru, hidrostatik atau permeabilitas, Merenkov, dkk melaporkan bahwa pemeriksaan bedside lung ultrasound dapat mengidentifikasi edem paru yang terjadi, mengeksklusi keterlibatan kardiak, dan sebagai panduan pada tata kelola cairan. Namun penggunaan bedside lung ultrasound tidak dapat menentukan secara kuantitatif extravascular lung water (EVLWI), yang merupakan parameter paling akurat dan sensitif dalam penilaian terhadap edem paru. Pulse index continous cardiac output (PiCCO) adalah sebuah metode yang dikembangkan untuk mendeteksi global end diastolic volume index

(GEDVI), intrathoracic blood volume index (ITBVI) dan EVLWI melalui teknik termodilusi transpulmonal. PiCCO dapat menjadi metode pemantauan curah jantung yang lebih baik dibandingkan kateterisasi arteri pulmonal pada berbagai kelompok pasien. Penggunaan PiCCO yang dikombinasikan dengan metode lain dapat membedakan tipe edem pulmonal yang terjadi pada pasien dengan perdarahan subaraknoid. Penulis lain mengajukan klasifikasi bukti edem paru berdasarkan termodilusi transpulmonal, yaitu: peningkatan volume hidrostatik yang diakibatkan oleh reduksi curah jantung akibat disfungsi jantung (edem paru kardiogenik), dan hipovolemik intravaskular yang diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas mikrovaskular pulmonal (edem paru nonkardiogenik).9,17

Diagnosis dan Diagnosis BandingBelum adanya perangkat yang dapat menegakan diagnosis edem paru neurogenik secara akurat menyebabkan penegakan diagnosis edem paru neurogenik saat ini hanya berdasarkan eksklusi terhadap penyebab edem paru lainnya. Sebuah kriteria diagnosis yang dapat digunakan untuk penegakan diagnosis edem paru neurogenik:5 gambaran infiltrat paru bilateral pada radiologi toraks, rasio Pa02 / FiO2 < 200, tidak ada bukti hipertensi atrium kiri, cedera/trauma susunan saraf pusat cukup berat (dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial), tidak ada penyebab gangguan pernafasan akut atau ARDS.

Investigasi klinis pada edem paru neurogenik dapat dilakukan dengan pemeriksaan toraks, EKG, ekokardiografi transtoraks dan kateterisasi arteri pulmonal. Kondisi klinis lainnya yang dapat menyerupai edem paru neurogenik diantaranya adalah gagal jantung kongestif, pneumonia, ARDS, ventilation-induced lung injury, dan kontusio paru.4,14

Tata Kelola Edem Paru NeurogenikTata kelola edem paru neurogenik memiliki strategi tata kelola cedera/trauma susunan saraf pusat yang mendasari dengan salah satu tujuan untuk mengakhiri aktivitas persarafan simpatis yang memicu kejadian pada paru, dan mencegah cedera susunan saraf pusat sekunder yang

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

67

diakibatkan oleh hipoksi dan hipotensi.1,2

Tata Kelola HemodinamikTerapi farmakologi dalam hemodinamik edem paru neurogenik sangat bergantung pada kondisi klinis, cedera penyerta, dan cedera yang mendasari. Status volume cairan pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat sebaiknya berada pada status euvolemia. Pada pasien dengan instabilitas hemodinamik penilaian fungsi jantung dengan kateterisasi arteri pulmonal, ekokardiografi, atau Doppler esofagus dapat membantu dalam menentukan terapi. Kejadian hipotensi memiliki hubungan dengan buruknya prognosis pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat. Oleh karena itu menjaga tekanan darah berada di atas autoregulasi aliran darah otak terendah sangatlah penting. Salah satu target dalam tata kelola tekanan darah harus mencapai nilai MAP yang berkisar 70 mmHg atau tekanan perfusi otak 60 mmHg, jika tekanan intrakranial berada dalam batas normal. Hantaran oksigenasi susunan saraf pusat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan tekanan perfusi otak dan aliran darah otak yang memiliki efek menguntungkan juga terhadap peningkatan SjO2 dan PbrO2. Normalisasi kadar PCO2 dalam darah dan meningkatkan tekanan perfusi otak melalui reduksi volume intrakranial (tanpa menggunakan hiperventilasi), ekspansi volume pembuluh darah, atau vasopressor merupakan manuver untuk meningkatkan aliran darah otak yang sering digunakan.4

Dobutamine dapat memperbaiki cardiac index, left ventricular stroke work index, tekanan pulmonal, dan rasio PaO2/FiO2. Rekomendasikan penggunaan inotropik dengan kombinasi vasodilator perifer sebagai terapi lini pertama dengan kateterisasi arteri pulmonal sebagai monitor terapi.4,6

Tata Kelola RespirasiKarena edem paru neurogenik terjadi akibat cedera/trauma susunan saraf pusat berat dan sering terjadi bersamaan dengan penurunan kesadaran akibat cedera/trauma susunan saraf pusat, proteksi jalan nafas harus dilakukan dengan segera untuk menjamin oksigenasi yang adekuat, mencegah pneumonia aspirasi dan

hipoksi susunan saraf pusat dan organ lainnya lebih lanjut. Tindakan intubasi harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah spasme jalan nafas dan peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut. Intubasi endotrakeal dapat meningkatkan kejadian iskemi otak terutama pada pasien kritis dengan gangguan perfusi otak, seperti pada stroke iskemi atau iskemi otak pada stroke perdarahan. Mean arterial pressure (MAP) yang rendah dapat menyebabkan penurunan pada tekanan perfusi otak sehingga terjadi iskemi otak. Tindakan intubasi endotrakeal sebaiknya dilakukan ketika tekanan perfusi otak > 50–60 mmHg, apabila tidak memungkinkan maka vasopressor dapat digunakan untuk mencapai target tekanan perfusi otak. Penggunaan ketamine sangat dianjurkan sebagai premedikasi intubasi endotrakeal pada pasien dengan instabilitas hemodinamik. Penggunaan ETCO2 setelah intubasi dapat berguna untuk mencegah hiperventilasi.18

Cedera paru akut dan ARDS dapat terjadi bersamaan pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat dan memiliki hubungan dengan prognosis yang buruk. Ventilasi dengan strategi lung-protective dilakukan untuk mencegah cedera paru iatrogenik. Restriksi volume tidal dapat digunakan sebagai tata kelola dalam edem paru neurogenik, dengan penggunaan PEEP untuk menjaga pengembangan rongga alveolus. Volume tidal yang rendah ≤ 6 mL/KgBB dan tekanan jalan nafas statik ≤ 30 cmH20 dapat menurunkan angka kejadian mortalitas pada berbagai gangguan pernafasan akut maupun ARDS.2,5,19 Ekstubasi pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat dan edem paru neurogenik dapat dipertimbangkan sesuai dengan kondisi gagal nafas, setelah tata kelola fase akut teratasi dan peningkatan tekanan intrakranial tidak lagi menjadi masalah. Penilaian kemampuan bernafas secara spontan dapat dilakukan dengan protokol respiratory-care dan masalah pada jalan nafas yang diakibatkan oleh perubahan tingkat kesadaran dan refleks jalan nafas terkait cedera/trauma susunan saraf pusat.19

Tata Kelola AnestesiBeberapa pendapat menyatakan bahwa anestesi dengan level yang dalam dapat menginhibisi

Tata Kelola Edem Paru Neurogenik

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

68 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hipotalamus, batang otak, dan pusat simpatis vasoaktif sehingga dapat menghambat perkembangan edem paru neurogenik. Propofol dan midazolam sering digunakan sebagai sedatif pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat akut. Kedua obat ini dapat menurunkan aliran darah otak dengan menurunkan laju metabolik otak, yang kemudian akan menurunkan tekanan intrakranial. Namun penggunaan infus propofol dosis tinggi memiliki hubungan dengan kolaps sistem kardiovaskular dan kematian pada pasien dengan kerusakan susunan saraf pusat akut.12

Tata Kelola NeurologiTata kelola neurologi harus dapat menjaga aliran darah susunan saraf pusat untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Tekanan perfusi susunan saraf pusat yang adekuat dapat dilakukan dengan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial dan mencegah hipotensi. Selain itu keadaan hipoksemi, hiperglikemi, kejang, atau demam harus diatasi dengan baik. Hiperventilasi pada cedera/trauma susunan saraf pusat memilki banyak perdebatan.19 Menurunkan volume intrakranial dapat dilakukan dengan terapi cairan osmotik. Penggunaan manitol atau saline hipertonik dalam beberapa laporan dapat menunjukkan hasil yang baik dalam cedera/trauma susunan saraf pusat. Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh perdarahan, prosedur pembedahan dengan evakuasi bekuan perdarahan atau perdarahan harus dilakukan dengan tujuan mengurangi tekanan intra kranial.19

Tata Kelola FarmakologiTerapi farmakologi tidak selalu rutin digunakan pada tata kelola edem paru neurogenik. Beberapa literatur mengatakan beberapa terapi farmakologi dapat digunakan pada edem paru neurogenik, namun, studi efikasi terapi tersebut jarang dilaporkan karena kebanyakan edem paru neurogenik bersifat self-limiting. Beberapa terapi farmakologi yang dapat digunakan pada edem paru neurogenik adalah antagonis adrenergik-α (phentolamine), dobutamine, dan klorpromazine. Penggunaan kortikosteroid dapat digunakan pada beberapa kondisi susunan saraf pusat seperti, tumor otak dan sklerosis multipel, namun

pada trauma otak tidak memiliki efek yang menguntungkan. Secara spesifik beberapa studi telah melaporkan penggunaan phentolamine pada kasus edem paru neurogenik dengan luaran klinis baik yang ditandai dengan peningkatan oksigenasi dan perbaikan hemodinamik.5,7,10

PrognosisEdem paru neurogenik harus segera dipikirkan pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat yang mengalami kejadian sesak nafas. Pasien dengan edem paru neurogenik memiliki angka mortalitas yang tinggi, namun perbaikan dapat terjadi secara cepat pada pasien dengan prognosis baik. Prognosis pada edem paru neurogenik secara umum sangat bergantung pada cedera/trauma susunan saraf pusat yang mendasari dan cedera miokardium yang terjadi. Angka mortalitas pada edem paru neurogenik dilaporkan antara 7–10%. Pada beberapa studi melaporkan mortalitas edem paru neurogenik mencapai 50% dan lebih tinggi terutama pada kasus edem paru neurogenik fatal. Berbagai studi dilakukan untuk menilai baik outcome dan prognosis edem paru neurogenik. Kerusakan area hipotalamus pada pasien dengan edem paru neurogenik memiliki prognosis yang lebih buruk.5 Peningkatan serum laktat yang terjadi dalam 1 jam setelah onset perdarahan subaraknoid non-traumatik merupakan faktor independen yang yang berkaitan dengan edem paru neurogenik onset dini.7,20

III. Simpulan

Edem paru neurogenik merupakan suatu sindrom klinis bersifat akut dan mengancam nyawa sangat membutuhkan perhatian khusus, karena secara klinis menurut studi dan literatur sering mengalami misdiagnosis. Di samping kondisi klinis dapat menyerupai kondisi klinis edem paru kardiogenik, hingga saat ini belum ada tools yang dapat digunakan secara luas dalam melakukan investigasi klinis ataupun menegakkan diagnosis edem paru neurogenik. Berbagai teori patofisiologi yang diajukan dalam edem paru neurogenik dapat digunakan sebagai dasar dalam investigasi klinis dan pemilihan terapi yang akan digunakan. Tata kelola edem paru neurogenik harus mencakup

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

69 Tata Kelola Edem Paru Neurogenik

tata kelola cedera/trauma susunan saraf pusat yang mendasari dengan salah satu tujuan untuk mengakhiri aktivitas persarafan simpatis yang memicu kejadian pada paru dan tata kelola suportif hemodinamik, respirasi, anestesi dan neurologi. Pada umumnya dengan tata kelola yang adekuat respon yang baik dapat dicapai dalam 48–72 jam dengan tata kelola yang adekuat. Walaupun demikian penulis berpendapat bahwa, hingga saat ini masih dibutuhkan studi lebih lanjut dalam hal epidemiologi, patofisiologi, diagnosis dan tatakelola edem paru neurogenik karena data studi dan literatur mengenai edem paru neurogenik masih belum dapat digunakan secara luas.

Daftar Pustaka

1. Ridenti FAS. Neurogenic pulmonary edema: a current literature review. Rev Bras Ter Intensiva. 2012 Mar;24(1):91–6.

2. Busl KM, Bleck TP. Neurogenic pulmonary edema. Critical Care Medicine. 2015 Aug;43(8):1710–5.

3. Šedý J, Urdzíková L, Likavčanová K, Hejcl A, Jendelová P, Syková E. A new model of severe neurogenic pulmonary edema in spinal cord injured rat. Neuroscience Letters. 2007 Aug;423(2):167–71.

4. O'Leary R, McKinlay J. Neurogenic pulmonary oedema. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2011 May 17;11(3):87–92.

5. Davison DL, Terek M, Chawla LS. Neurogenic pulmonary edema. Crit Care. 2012 Dec 12;16(2):212.

6. Baumann A, Audibert G, McDonnell J, Mertes PM. Neurogenic pulmonary edema. Acta Anaesthesiol Scand. 2007 Apr;51(4):447–55.

7. Šerić V, Roje-Bedeković M, Demarin V. Neurogenic pulmonary edema. Acta Clin Croat. 2004;43:389–95.

8. Zhao H, Lin G, Shi M, Gao J, Wang Y, Wang

H, et al. The mechanism of neurogenic pulmonary edema in epilepsy. J Physiol Sci. 2013 Dec 31;64(1):65–72.

9. Mutoh T, Kazumata K, Mutoh TU, Taki Y, Ishikawa T. Transpulmonary thermodilution-based management of neurogenic pulmonary edema after subarachnoid hemorrhage. The American Journal of the Medical Sciences. Elsevier Masson SAS; 2015 Nov 1;350:415–9.

10. Toma G, Amcheslavsky V, Zelman V, DeWitt DS, Prough DS. Neurogenic pulmonary edema: pathogenesis, clinical picture, and clinical management. Semin Anesth. 2003 Dec 31;23(3):221–9.

11. Darragh TM, Simon RP. Nucleus tractus solitarius lesions elevate pulmonary arterial pressure and lymph flow. Ann Neurol. 1985 Jun;17(6):565–9.

12. Šedý J, Kuneš J, Zicha J. Pathogenetic mechanisms of neurogenic pulmonary edema. Journal of Neurotrauma. 2015;32(15):1135–45.

13. Onen MR, Yilmaz I, Ramazanoglu L, Tanrıverdi O, Aydin MD, Kanat A, et al. Rational roots of sympathetic overactivity by neurogenic pulmonary edema modeling arising from sympathyco-vagal imbalance in subarachnoid hemorrhage: an experimental study. World Neurosurgery. Elsevier Ltd; 2016 Apr 27;:1–24.

14. Ware LB, Matthay MA. Clinical practice. acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005 Dec 29;353(26):2788–96.

15. Lee VH, Connolly HM, Fulgham JR, Manno EM, Brown RD, Wijdicks EFM. Tako-tsubo cardiomyopathy in aneurysmal subarachnoid hemorrhage: an underappreciated ventricular dysfunction. J Neurosurg. 2006 Aug;105(2):264–70.

16. Bahloul M, Chaari AN, Kallel H, Khabir A, Ayadi A, Charfeddine H, et al. Neurogenic

Page 71: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

70 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pulmonary edema due to traumatic brain injury: evidence of cardiac dysfunction. Am J Crit Care. 2006 Sep;15(5):462–70.

17. Lin X, Xu Z, Wang P, Xu Y, Zhang G. Role of PiCCO monitoring for the integrated management of neurogenic pulmonary edema following traumatic brain injury: A case report and literature review. Exp Ther Med. 2016 Oct;12(4):2341–7.

18. Fontes RBV, Aguiar PH, Zanetti MV, Andrade F, Mandel M, Teixeira MJ. Acute neurogenic

pulmonary edema: case reports and literature review. J Neurosurg Anesthesiol. 2003 Apr;15(2):144–50.

19. Deem S. Management of acute brain injury and associated respiratory issues. Respir Care. 2006 Apr;51(4):357–67.

20. Šedý J, Zicha J, Kuneš J, Jendelová P, Syková E. Mechanisms of neurogenic pulmonary edema development. Physiol Res. 2008;57(4):499–506.

Page 72: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

BBambang J. Oetoro, 17, 36, 62

CCindy Giovanni, 11

DDhania Anindita Santosa, 17Dewi Yulianti Bisri, 11, 28, 54Dear Mohtar Wirajaya, 1

EEndah Permatasari, 36, 54Eri Surahman, 44

FFitri Sepviyanti Sumardi, 44

HHimendra Wargahadibrata, 28, 54

RRiyadh Firdaus, 62Rose Mafiana, 44Ruli Herman Sitanggang, 1

SSiti Chasnak Saleh, 17, 28, 54Syafruddin Gaus, 17, 36, 62

TTatang Bisri, 1, 11, 62

WWahyu S. Basuki, 28

Indeks Penulis

Page 73: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

AAnestesi, 58Alkoholik, 44AVM, 36

BBrain relaxation score, 1Bradikardia, 28

C Cedera otak traumatik sedang, 11Cedera otak traumatik berat, 11Cedera medula spinalis akut, 28CVST, 44

DDiabetes, 17Dekompresi evakuasi perdarahan, 44

EEdem paru neurogenik, 62

FFaktor risiko, 54

GGlasgow coma scale, 11

HHipotensi, 28

KKraniotomi, 1

Kerusakan susunan saraf pusat, 62

LLaminoplasti dekompresi stabilisasi, 28LWMH, 44

MMannitol, 1

NNaCl 3%, 1Natrium laktat hipertonik, 1

OOsmolaritas, 1

PPengelolaan kadar gula darah, 17Perioperatif, 17

RReseksi AVM, 36

SStroke perioperatif, 54

TTumor, 17Tatalaksana periperatif, 36Tata kelola, 54

Indeks Subjek

Page 74: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.

3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Page 75: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 76: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasus - inasnacc.org · Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, ... bedah saraf.1 Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum duramater dibuka

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Padjadjaran – Bandung)

Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta)Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA

(Universitas Khatolik Atmajaya‒ Jakarta)Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)

Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA(Universitas Gadjah Mada –Yogyakarta)

Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMN, M.Kes(Universitas Udayana – Bali)

Dr. Zafrullah Kany Jasa, dr., SpAnKNA(Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh)Dr. Iwan Fuadi, dr., SpAnKNA, M.Kes(Universitas Padjadjaran – Bandung)

Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.SiUniversitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Dr. Kenanga Marwan, dr., SpAnKNA(Universitas Lambung Mangkurat – Banjarmasin)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi