Asfiksia Neonatorum

9
ASFIKSIA NEONATORUM Definisi Suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia , hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia pada asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Etiologi Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudia disusul dengan pernafasan teratur . Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin , akan terjadi asfiksia janin atau neonates. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan , persalianan atau segera setelah lahir . Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir merupakan kelanjutan dari asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama kehamilan , persalinan memegang peranan penting untuk keselamatan bayi. Selain itu perlunya melakukan pengawasan antenatal yang adekuat dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi. Penghentian kehamilan pun bisa dipikirkan bila kelainan yang timbul tidak dapat teratasi . Gangguan yang timbul pada akhir kehmilan atau persalianan hampir selalu disertai anoksia/ hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonates. Keadaan ini perlu mendapat perhatian utama agar persiapan dapat dilakukan dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir. Dengan demikian dapat diharapkan kelangsungan hidup sempurna untuk bayi tanpa gejala sisa. Penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari : 1. Faktor Ibu Hipoksia ibu . Hal ini menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan kurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan: a. Gangguan kontraksi uterus (hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat )

description

Asfiksia Neonatorum

Transcript of Asfiksia Neonatorum

ASFIKSIA NEONATORUM

Definisi

Suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini

disertai hipoksia , hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia pada asfiksia ini merupakan faktor

terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin.

Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudia disusul

dengan pernafasan teratur . Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu

ke janin , akan terjadi asfiksia janin atau neonates. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan ,

persalianan atau segera setelah lahir . Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir merupakan

kelanjutan dari asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama kehamilan , persalinan memegang

peranan penting untuk keselamatan bayi. Selain itu perlunya melakukan pengawasan antenatal yang

adekuat dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi. Penghentian

kehamilan pun bisa dipikirkan bila kelainan yang timbul tidak dapat teratasi . Gangguan yang timbul

pada akhir kehmilan atau persalianan hampir selalu disertai anoksia/ hipoksia janin dan berakhir dengan

asfiksia neonates. Keadaan ini perlu mendapat perhatian utama agar persiapan dapat dilakukan dan bayi

mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir. Dengan demikian dapat diharapkan

kelangsungan hidup sempurna untuk bayi tanpa gejala sisa.

Penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari :

1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu . Hal ini menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu dapat

terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam

Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan

kurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada

keadaan:

a. Gangguan kontraksi uterus (hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat )

b. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan

c. Hipertensi pada penyakit eklampsia da lain-lain

2. Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi palsenta. Asfiksia janin akan

terjadi apabila terdapat gangguan mendadak pada plasenta , misalnya solusio plasenta, perdarahan

plasenta dan lain-lain.

3. Faktor Fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah

umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin . Gangguan aliran darah ini dapat

ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung , tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara

janin dan jalan lahir dan lain-lain.

4. Faktor Neonatus

Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu :

a. Pemakaian obat anastesi yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi

pusat pernafasan.

b. Trauma yang terjadi pada persalinan misalnya perdarahan intrakranial.

c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran nafas,

hipoplasia paru dll.

Patofisiologi

Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung pada kondisi janin pada masa kehamlan dan persalinan .

Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkaan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia

transien) . Proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar

terjadi primary gasping yang kemudian akan berlanjut menjadi pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak

memiliki pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.

Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan atau persalinan ,

akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan apabila tidak

teratasi maka akan menimbulakan kematian . Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversible .

Asfikia yang terjdi dimulai dengan suatu periode apnue ( primary apnue) disertai dengan penuruna

frekuensi jantung . Selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian

diikuti dangan pernafasan teratur . Pada penderita asfiksia berat , usaha bernafas ini tidak tampak dan

bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (secondary apnu). Pada tingkat ini disamping

bardikardia ditemukan pula pnurunan tekanan darah .

Selain itu terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi.

Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya menimbulakan asidosis respiratorik . Bila

gangguan berlanjut , dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolism anaerobik yang berupa glikolisis

glikogen tubuh , sehingga sumber glikogen tubuh, terutama jantung dan hati akan berkurang . Asam

organik yang terjadi akibat metabolism ini akan menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Pada

tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan

diantranya:

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.

b. Terjadi asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan , termasuk otot jantung ,

sehingga menimbulkan kelemahan jantung.

c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi

pembuluh darah ke paru dan kemudian pula ke sistem sirkulasi tubuh lainnya akan mengalami

gangguan.

Asidosis dan gangguan krdiovaskular yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak.

Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi

selanjutnya.

Respons sirkulasi fetal terhadap hipoksemia (penurunan PO2 arteri) akut atau asfiksia (penurunan PO2

dan peningkatan PCO2 arteri) telah dipahami dengan baik pada percobaan pada manusia dan hewan.

Aliran darah ke ginjal, traktus gastrointestinal, hepar, otot, dan paru berkurang, namun dalam waktu

yang sama aliran darah ke jantung, otak, dan kelenjar adrenal, serta sedikit ke plasenta mengalami

peningkatan. Aliran darah melalui vena umbilikalis di redistribusi ke atrium kiri untuk membantu perfusi

jantung dan otak. Tujuannya adalah menjaga aliran oksigen ke jantung dan otak dengan mengorbankan

perfusi ke organ-organ lain, hingga hipoksemia cukup berat sehingga menyebabkan sirkulasi kolaps. Pola

kerusakan organ pada asfiksia akut merupakan sebuah konsekuensi dari kekurangan oksigen pada organ

yang terjadi.

Aliran oksigen ke otak dijaga dengan baik pada asfiksia, tetapi kebutuhan akan oksigen juga tinggi.

Sekitar 70% bayi dengan asfiksia lahir (didefinisikan dengan Apgar Skor pada 5 menit setelah kelahiran

bernilai 5 atau kurang, atau fetal asidosis dengan pemeriksaan pH darah arteri scalp atau umbilikalis

<7,2) memiliki tanda disfungsi pada susunan saraf pusat. Pada kebanyakan bayi keabnormalan ini terjadi

secara transien, dengan tidak terdapat gejala sisa. Sekitar 15% jatuh pada kategori berat dan memiliki

prognosis yang kurang baik.

Beberapa derajat disfungsi miokardial terjadi pada sekitar 25% bayi yang mengalami asfiksia, seperti

yang telah didefinisikan di atas. Murmur holosistolik terdengar paling jelas pada daerah xiphoid,

mengindikasikan insufisiensi katup tricuspid. Gejala ini menggambarkan sebuah kombinasi dari

hipertensi pulmonal dan dilatasi ventrikel dextra, dengan dilatasi dari annulus katup tricuspid dan

disfungsi musculus papillaris. Kondisi ini biasanya dapat kembali normal secara spontan. Bayi yang

terkena asfiksia berat ini akan mengalami hipotensi dengan gambaran echocardiographic poor

ventricular function dan dengan gambaran electrocardiographic menunjukkan terjadinya iskemia

miokardial. Terapi untuk hipotensi yang terjadi adalah dengan pemberian IV volume dan vasopressor.

Oliguria yang bertahan selama 24 jam telah dilaporkan pada 40% bayi yang mengalami asfiksia. Oliguria

berlangsung 36-48 jam terlihat pada 5-10% kasus. Hematuria umum terjadi, dan peningkatan kadar β2-

mikroglobulin terjadi pada jejas tubulus proximal. Pada sejumlah kecil bayi, pemanjangan waktu oliguria

diikuti dengan volume urin yang besar, ekskresi sodium transien, dan asidosis tubulus ginjal transien.

Pengelolaan terhadap gejala ini adalah dengan memperhatikan keseimbanagan cairan da elektrolit.

Gagal ginjal ireversibel jarang terjadi.

Meskipun aliran darah ke traktus gastrointestinal berkurang selama terjadinya asfiksia, konsumsi

oksigen pada intestinal rendah tidak makan, dan kerusakan gastrointestinal berat jarang terjadi.

Meskipun transien ileus terjadi pada 25% bayi, namun perdarahan gastrointestinal berat jarang terjadi.

Sebaiknya tidak memberi makan secara oral hingga ileus sembuh.

Disfungsi pulmonal terjadi kira-kira 25% pada bayi cukup bulan yang mengalami asfiksia pada derajat ini.

Hal ini disebabkan oleh meconium aspiration syndrome, perdarahan pulmonal, atau hipertensi pulmonal

persisten. Hipoksemia yang berhubungan dengan hipertensi pulmonal persisten hanya membutuhkan

pemberian suplemen oksigen selama 24-48 jam.

Konsekuensi metabolic dari asfiksia meliputi hipoglikemia dan hipokalsemia. Kerusakan otot skelet,

diindikasikan oleh peningkatan konsentrasi serum kreatinin fosfokinase dan mioglobinuria, umumnya

terjadi pada asfiksia berat. Bayi yang mengalami asfiksia kemungkinan mengalami hiperkoagulasi,

dengan thrombosis pada vena besar.

Penatalaksnaan

Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan mebatasi

gejala sisa yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan yang lazim dikerjakan pada bayi disebut

resusitasi bayi baru lahir.

Sebelum resusitasi dikerjakan , perlu diperhatikan bahwa :

1. faktor waktu sangat penting , makin lama bayi menderita asfiksia , perubahan homeostasis yang

timbul makin berat , resusitasi akan lebih sulit dan kemungkinan timbulnya gejala sisa akan

meningkat

2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia atau pioksia antenatal tidak dapat diperbaiki , tetapi

kerusakan yang terjadi karena anoksia atau hipoksia pascanatal harus dicegah dan diatasi.

3. Riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang factor penybab

terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir .

4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan

ditentukan secara adekuat.

Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah.:

1. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas

serta merangsang timbulnya pernafasan yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancer

2. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukan uasaha pernafasan

lemah.

3. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi.

4. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik

Cara Resusitasi

A. Tindakan umum

1. Pengawasan suhu

Bayi yang baru lahir banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh.

Penurunan suhu tubuh ini akan mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan

oksigen meningkat. Hal ini akan mempersulit keadaan bayi, apalagi kalau bayi menderita asfiksia

berat. Oleh karena itu perlu diperhatikan lingkungan yang baik segera bagi bayi yang baru lahir.

Pemakaian sinar lampu yang cukup kuat dan inkubator untuk pemanasan luar dapat dianjurkan

dan pengeringan tubuh bayi perlu dikerjakan untuk mengurangi evaporasi.

2. Pembersihan jalan napas

Saluran napas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion. Bila terdapat lendir

yang kental yang melekat di trakea dan sulit dikeluarkan dengan pengisapan biasa, dapat

digunakan laringoskop neonatus sehingga pengisapan dapat dilakukan dengan melihat

semaksimalnya, terutama pada bayi dengan kemungkinan infeksi. Pengisapan yang dilakukan

ceroboh akan menimbulkan penyakit seperti spasme laring, kolaps paru atau kerusakan sel

mukosa jalan napas.

3. Rangsangan untuk menimbulkan pernapasan

bayi yang tidak menimbulkan usaha pernapasan selama 20 detik setelah lahir dianggap sedikit

banyak telah menderita depresi pusat pernapasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi

harus segera dikerjakan. Pada sebagian bayi pengisapan lendirndan cairan amnion yang

dilakukan melalui nasofaring akan segera menimbulkan rangsangan pernapasan.

B. Tindakan khusus

a. Asfiksia berat (apgar skor 0-3)

Cara terbaik adalah dengan melakukan intubasi endotrakeal. Setelah kateter di letakkan dalam

trakea, O2 diberikan dengan tekanan tak lebih dari 30 cm H2O. Hal ini untuk mencegah

terjadinya inflasi paru berlebihan sehingga dapat menyebabkan ruptur alveolus. Bila diragukan

akan terjadinya infeksi terhadap bayi yang mendapat tindakan ini dapat diberikan antibiotika

profilaksis. Keadaan asfiksia berat hampir selalu disertai asidosis yang membutuhkan koreksi

segera, karena itu bikarbonat natrikus diberikan dengan dosis 2-4 mEq/kg BB. Di samping itu

juga diberikan glukosa 15-20% dengan dosis 2-4 mL/kg BB. Kedua obat ini disuntikkan secara

intravena dengan perlahan-lahan melalui vena umbilikalis. Perlu diperhatikan bahwa reaksi

optimal obat-obatan ini akan tampak jelas apabila pertukaran gas (ventilasi) paru sedikit banyak

telah berlangsung.

Usaha pernapasan (gasping) biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali. Bila

setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, masase

jantung eksternal harus segera dikerjakan dengan frekuensi 80-100 kali/menit. Tindakan ini

dilakukan dengan diselingi ventilasi tekanan dengan perbandingan 1:3, yaitu setiap 1 kali

ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks.

b. Asfiksia sedang (apgar skor 4-6)

Dalam hal ini di coba lakukan stimulasi agar timbul refleks pernapasan terlebih dahulu. Bila

dalam waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai.

Ventilasi aktif sederhana dapat dilakukan secara ”frog breathing”. Cara ini dikerjakan dengan

meletakkan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan dengan aliran 1-2 liter/menit. Agar saluran

napas bebas, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala.

C. Tindakan lain dalam resusitasi

1. Pengisapan cairan lambung

Tindakan ini untuk menghindari adanya regurgitasi dan aspirasi. Sebaiknya dilakukan pada bayi

yang sebelumnya menderita gawat janin, prematuritas, bayi dari ibu penderita diabetes

mellitus, dan pada bayi yang pada waktu persalinan secara tidak langsung dipengaruhi obat.

Manfaat lainnya:

a. Mengenal secara dini adanya atresia/stenosis esofagus

b. Bila ditemukan cairan lambung yang berlebihan (> 30 ml), manandakan letak obstruksi usus

tinggi

c. Bila ditemukan jumlah sel darah puti yang tinggi pada sediaan langsung cairan lambung,

bayi sudah pasti telah kontak dengan infeksi cairan amnion (amniositis). Pengisapan cairan

lambung mungkin pula menimbulkan efek yang kurang baik, seperti bradikardi atau

serangan apnu, spasme laring. Oleh karena itu, tindakan ini dapat kita lakukan jika keadaan

bayi sudah memungkinkan.

2. Penggunaan obat

3. Profilaksis terhadap blenorea

Tindakan tetap harus dilakukan setelah memberi nitras argenti 1 %. Setelah pemberian, mata

dibilas dengan garam fisologis untuk mnegurangi bahaya iritasi.

4. faktor septik dan antiseptik

Pada setiap tindakan yang dilakukan pada bayi baru lahir, harus di perhatikan faktor septik dan

antiseptik. Bila sterilisasi tindakan diragukan segera diberikan antibiotik profilaksis.

5. beberapa klinik menganjurkan cara lain dalam mengatasi bayi dengan asfiksia berat. Cara

tersebut ialah:

a. Hipotermi

Asfiksia berat dapat diatasi dengan hipotermi yang dalam yaitu untuk

mengurangi/membatasi kerusakan sel jaringan (terutama otak). Tindakan ini dianggap

bermanfaat karena dapat mengurangi kebutuhan sel jaringan akan oksigen.

b. Oksigen hiperbarik

Cara ini dianut oleh beberapa klinik di Inggris. Bayi diletakkan dalam ruangan tertutup yang

berisi oksigen dengan tekanan atmosfir yang tinggi. Cara ini dianggap memperlihatkan hasil

yang sama dengan ventilasi tekanan positif. Di samping itu beberapa sarjana menganggap

bahwa tindakan ini tidak ada menfaatnya.

Source:

Rudolph, Abraham M, Rudolph, Colin D. 2003. Rudolph’s Pediatrics. 21st Edition. McGraw-Hill.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.