artikel
description
Transcript of artikel
Nyeri Kepala Klaster
A. Definisi
Nyeri kepala tipe klaster adalah jenis nyeri kepala yang berat, unilateral yang timbul
dalam serangan-serangan mendadak, sering disertai dengan rasa hidung tersumbat, rinore,
lakrimasi dan injeksi konjungtiva di sisi nyeri. Dalam klinik dikenal dua tipe yaitu tipe
episodik orang yang menderita tipe ini mengalami masa serangan nyeri selama waktu
tertentu (periode klaster), kemudian diseling dengan masa bebas nyeri (remisi) yang
lamanya bervariasi; sedangkan tipe khronik ialah bila serangan-serangan nyeri tersebut
masih tetap timbul selama sedikitnya 12 bulan.
Jenis nyeri kepala ini pertama-tama dideskripsikan oleh Romberg (1840) dan
Eulenberg (1874) secara sendiri-sendiri; disebut sebagai migrainous neuralgia oleh Harris
(1936) dan rnulai dikenal sebagai sindrom tersendiri oleh Horton dkk. (1939). Sifat
periodiknya dikenali oleh Ekbom (1947) dan sifat clustering (serangan dalam
kelompok/periode tertentu) dideskrip- sikan oleh Kunkle dkk. (1954) sejak saat itu nyeri
kepala ini dikenal sebagai nyeri kepala kiaster (cluster headache). Istilah nyeri kepala kiaster
ini telah dikenal dan dideskrip- sikan sejak tahun 1962 dan terakhir disempurnakan dalam
klasifikasi menurut International Headache Society (1988)
B. Prevalensi
Secara pasti tidak diketahui; dan catatan beberapa klinik nyeri kepala, diperkirakan
sebesar 0,04% sampai 1,5%. Diderita terutama oleh pria; perbandingan antara pria: wanita
antara 4,5: 1 sampai 6,7: 1. Mulai diderita umumnya pada usia 2730 tahun, meskipun ada
beberapa laporan yang menemukan kasus nyeri kepala tipe kiaster pada anak usia 1 tahun
sampai pada dewasa usia sekitar 60 tahun. Dibandingkan dengan migren, prevalensinya
berkisar an- tara 1: 5,6 sampai 1:47,1. Pada nyeri tipe episodik, 70% pasien menderita
serangan 12 kali setahun; dan pada penelitian lain diketahui bahwa lamaperiode nyeri
antara 24 bulan (rata-rata 3 bulan) pada 84% pasien. Lamanya remisi rata-rata kurang dari 2
tahun; dan catatan 428 pasien nyeri kepala tipe klaster, 19,2% masa remisinya 16 bulan,
47,7% antara 712 bulan, 14,3% selama 2 tahun dan sisanya mengalami remisi lebih dari 2
tahun.
C. Etiologi
D. Patogenesis
1. Perubahan vaskuler dan hemodinamik
Horton salah satu ahli yang banyak meneliti penyakit ini beranggapan bahwa gejala
klinis disebabkan oleh dilatasi arteri karotis eksterna yang dicetuskan oleh kenaikan
kadar histamin dalam darah. Dia mengamati adanya kemerahan wajah bersamaan
dengan kenaikan suhu kulit 12°C; meskipun demikian, peneliti lain menganggap bahwa
kemerahan wajah bukanlah gejala yang karakteristik untuk nyeri kepala kiaster.
Perubahan-perubahan pada arteri karotis interna juga diteliti, tetapi temyata tidak
dijumpai perubahan aliran darah pada saat serangan. Penelitian menggunakan
angiografi karotis dan Doppler juga tidak menghasilkan kesimpulan yang bermakna.
Pengukuran aliran darah serebral (cerebral blood flow CBF) menunjukkan adanya
peningkatan selama serangan, mungkin disebabkan gangguan autoregulasi, hiperemi
reaktif atau akibat reaksi terhadap nyeri; ada juga yang mengaitkannya dengan reaksi
terhadap perubahan kadar gas darah.
2. Gangguan aktivitas saraf simpatis
Beberapa peneliti mengaitkan perubahan vaskuier dengan aktifitas susunan saraf
otonom; Fanciullaci dkk (1982) mendemonstrasikan gangguan sistim simpatis yang
terbukti dari perbedaan respons pupil terhadap penetesan larutan tiramin 2%; peneliti
lain juga mendapatkan perubahan EKG yang juga dikaitkan dengan perubahan aktifitas
sistim sataf simpatis. Aktifitas tersebut juga dapat diduga dari berkeringatnya sebagian
wajah selama serangan.
3. Perubahan biokimiawi dan hormonal
Dugaan Horton atas peranan histamin diperkuat oleh Sjaastad (1970) yang mendapatkan
peningkatan kadar histamin dalam urine selama serangan nyeri; peningkatan
kadarhistamin ini juga telah dibuktikan oleh beberapa peneliti lain. Pengukuran kadar
histamin darahjuga menunjukkan adanya perbedaan antara pada saat remisi dengan
pada saat nyeri; kenaikan kadarnya dapat mencapai 20,5%. Meskipun demikian,
pemberian antagonis H2 ataupun H1 tidak mengurangi serangan nyeri. Kadar
testosteron dan LH plasma juga dilaporkan menurun selama periode klaster; tetapi
penurunan serupa juga terjadi di kalangan penderita neuralgia trigeminal dan di
kalangan penderita migren dengan aura; oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa
perubahan tersebut lebih berkaitan dengan rasa nyeri, bukan pada sindrom tertentu.
Teori lain mengaitkan perubahan kadar testosteron dengan irama sirkadian; ada yang
berpendapat bahwa siklus nyeri pada nyeri kepala kiaster berkaitan dengan gangguan
irama sirkadian dan zat-zat neurohormonal.
4. Perubahan sistim saraf
Kunkle (1959) menganggap bahwa serangan-serangan nyeri kepala klaster disebabkan
oleh gangguan parasimpatis n. Fasialis dan n. glosofaringeus, yang ditandai dengan
ditemukannya zat mirip asetilkolin di cairan serebrospinal; peneliti lain menganggap
adanya peranan n. petrosus superfisialis magnus karena reseksi saraf ini menyembuhkan
25% pasiennya dan 50% lainnya mengalami pengurangan serangan. Peranan n.
trigeminus juga diteliti; Moskowitz (1984) menganggap ada reaksi inflamasi n.
trigeminus, mungkin di daerah sinus kavernosus. Dari hasil-hasil pengamatan di atas,
muncul pendapat bahwa asetilkolin yang berasal dari sistim parasimpatis merangsang
pelepasan histamin dan sel mast, menyebabkan respons antidromik n. trigeminus
dengan pelepasan substance P yang menyebabkan degranulasi sel mast lebih lanjut,
dengan akibat timbulnya reaksi inflamasi dan nyeri.
E. Manifestasi Klinis
Nyeri umumnya didahului oleh rasa penuh di telinga yang kadang-kadang meluas ke
seluruh kepala, disusul beberapa menit kemudian dengan serangan-serangan mendadak
berupa rasa seperti tertusuk, biasanya unilateral di daerah okulofrontal atau okulotemporal;
serangan tersebut sangat hebat (excruciating) dan menetap, tidak berdenyut, hilang timbul
secara tiba-tiba, dapat berpindah-pindah tempat. Serangan-serangan nyeri tersebut
membuat penderitanya gelisah, mondar-mandir dan kadang-kadang memukuli kepalanya
sendiri; beberapa penderita bahkan merasa ingin bunuh diri untuk mengakhiri nyeninya.
Perilaku yang demikian jelas berbeda dengan penderita migren yang justru menghindani
aktivitaslkeramaian. Nyeri disertai dengan rinore, laknimasi dan pelebaran pembuluh darah
konjungtiva; kadang-kadang disertai rasa bengkak di wajah dan sekitar mata di sisi nyeri,
dapat disertai sindrom Homer di sisi sama. Selama serangan wajah menjadi pucat,
sebaliknya konjungtiva tampak kemerahan dan berair. Nyeri dapat dirasakan di 'belakang
mata', seolah-olah mendorong mata ke luar. Umumnya dimulai saat bangun tidur siang atau
di malam hari, biasanya dalam 90 menit setelah tertidur. Serangan nycri dapat dicetuskàn
oleh nitrogliserin, histamin atau alkohol.
Sifat periodisitas
Sifat peniodisitas ini khas pada nyeri kepala klaster; terdapat periode tertentu
(periode kiaster) saat penderitanya mengalami serangan-serangan nyeri dan rentan
terhadap pencetus tertentu; kemudian disusul dengan periode remisi saat penderitanya
bebas nyeri sama sekali meskipun terpapar pada hal-hal yang biasanya mencetuskan nyeri di
saat periode klaster. Periode klaster umumnya berkisar antara 24 bulan, kemudian disusul
dengan masa remisi yang Iamanya antara 12 tahun pada 70% pasien. Periode kiaster
cenderung berulang pada selang waktu yang teratur.
F. Diagnosis
Tabel. Diagnostic Criteria
Cluster headache and chronic paroxysmal hemicrania
3.1. Cluster headache
A. At least 5 attacks fulfilling B-D.
B. Severe unilateral orbital. supraorbital and/or temporal pain lasting 15 to 180
minutes untreated.
C. Headache is associated with at least one of the following signs which have to
be present on the pain-side:
1. Conjunctival injection
2. Lacrimation
3. Nasal congestion
4. Rhinorrhea
5. Forehead and facial sweating
6. Miosis
7. Ptosis
8. Eyelid edema
D. Frequency of attacks: from 1 every other day to 8 per day.
3.1.1 Cluster headache periodicily undetermined
A. Criteria for 3.1 fulfilled
B. Tooearlytocla.ssify as 3
3.1.2 Episodic cluster headache
A. All the letter headings of 3.1.
B. At least 2 periods of headaches (cluster periods) lasting (untreated patients)
from 7 days to one year, separated by remissions of at least 14 days.
3.1.3 Chronic cluster headache
A. All letter headings of 3.1
B. Absence of remission phases for one year or more or with remissions
lasting less than 14 days.
3.2. Chronic paroxysmal hemicrania
A. At least 50 attacks fulfilling B-E.
B. Attacks of severe unilateral orbital, supraorbital and/or temporal pain
always on the same side lasting 2 to 45 minutes.
C. Attack frequency above 5 a day for more than half of the time.
D. Pain is associated with at least one of the following signs/symptoms on the
pain side:
1. Conjunctival injection
2. Lacrimation
3. Nasal congestion
4. Rhinorrhea
5. Ptosis
6. Eyelid edema
E. Absolute effectiveness of indomethacin (150 mg/day or less).
3.3. Cluster headache-like disorder not fulfilling above criteria
G. Diagnosis Banding
Bila serangan nyeri kepalanya khas, umumnya diagnosis hampir dapat dipastikan.
Beberapa keadaan yang mungkin mirip gainbaran klinisnya ialah chronic paroxysmal
hemicrania, migren, neuralgia trigeminal, arteritis temporalis, faeokhromo- sitoma dan
sindrom Raeder.
1. Chronic paroxysmal hemicrania
Pertama dilaporkan oleh Sjaastad dan Dale (1974). Berbeda dari nyeri kepala tipe
kiaster dalam hal serangan nyeri yang lebih sering, tetapi lebih singkat dan kurang
menyebabkan kegelisahan. Jenis nyeri kepala ini tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
yang biasanya efektif untuk nyeri kepala kiaster, sebaliknya responsif terhadap
indometasin.
2. Migren
Serangan migren umumnya 13 kali sebulan, berlangsung selama 13 hari dan rasa nyeni
memberat secara berangsur-angsur; : terutama di satu sisi kepala di daerah temporal.
Nyeri bersifat berdenyut disertai mual, muntah, fotofobi dan fonofobi. Serangan migren
yang khas didahului oleh aura.
3. Neuralgia trigeminal
Penyakit ini dijumpai baik pada pria maupun wanita, umumnya pada usia yang lebih
lanjut. Nyeri bersifat tajam, seperti teriris.dan mendadak; dirasakan berat. Dapat
dicetuskan oleh sentuhan, bahkan kadang-kadang oleh tiupan angin, di daerah wajah
tertentu; umumnya di dekat lipatan nasolabial. Kadang-kadangjugadicetuskan oleh
gerakan mengunyah.
4. Arteritis temporalis
Umumnya dijumpai pada kelompok usia yang lebih lanjut; mengenai terutama anteri
temporalis, arteri vertebralis dan/atau arteri oftaimika. Pada 50% kasus didahului
dengan rasa kaku leher dan bahu, atau di daerah panggul (polimialgia reumatika). Nyeri
kepala pada kasus ini bersifat persisten, berfluktuasi sepanjang hari, unilateral dan
berkaitan dengan daerah arteri temporalis superfisialis. Pada awalnya terasa berdenyut,
rasa terbakar yang hebat, kemudian berangsur-angsur rasa berdenyutnya mereda.
Diagnosis pasti ditetapkan melalui biopsi arteri temporalis.
5. Faeokromositoma
Pada penyakit ini terjadi pelepasan katekolaniin berlebihan yang menyebabkan episode
hipertensi yang mendadak, disertai nyeni kepala, pucat, takikardi dan keringat
berlebihan; nyeri bersifat mendadak, berat dan panoksismal, sering menyebabkan
pasien terbangun dari tidurnya. Nyeri dirasakan berdenyut, bilateral dan di oksipital;
diperberat bila batuk, bersin, mengejan atau membungkuk. Serangan-serangan nyeri
dapat dirasakan setiap hari, umumnya singkat, kurang dari satu jam.
6. Sindrom paratrigeminal Raeder
Nyeri pada sindrom ini bersifat menetap (persisten), dapat berlangsung sampai
beberapa bulan. Pada minggu-niinggu awal, pasien sering terbangun dari tidur akibat
nyeri unilateral yang bersifat membakan(burning), berdenyut atau menetap yang
sangat berat; berangsur-angsur nyeri makin berat dan menetap terasa terus sampai
beberapa saat lamanya. Sering disertai dengan ptosis dan miosis di sisi nyeri, sehingga
sering dianggap sebagai nyeri kepala tipe klaster; perbedaannya ialah pada sindrom ini
nyeri bersifat menetap, dibandingkan dengan nyeri kepala tipe kiaster yang sifatnya
paroksismal.
H. Penatalaksanaan
1. Penjelasan kepada pasien
Pada kebanyakan pasien, ditemukan anxietas dan rasa kuatir akan timbulnya
periode nyeri berikut, anxietas juga sering ditemukan pada periode klaster yang
berkepanjangan. Perlu dipahami bahwa kebanyakan serangan nyeri dapat dihindari
atau diperpendek/diperingan, meskipun lamanya periode nyeri sampai saat ini belum
dapat dipersingkat atau dihilangkan. Para pasien dianjurkan untuk menghindari tidur
siang, minuman alkohol, zat mudah menguap, terutama pada periode klaster;
sedangkan pengaruh diet sangat kecil. Gangguan emosional seperti rasa marah,
frustrasi ataupun aktifitas fisik yang berat dapat mencetuskan serangan atau memulai
periode nyeri. Pengaruh ketinggian juga disebut-sebut dapat mencetuskan serangan,
sehingga harus diwaspadai bila berada di ketinggian/pegunungan atau naik pesawat
terbang; ada yang menganjurkan penggunaan asetazolamid 2 dd 250 mg. dimulai 2 hari
sebelum nya untuk mencegah serangan tersebut. Perubahan siklus tidur juga dapat
mencetuskan serangan, misalnya akibat perubahan shift kerja, atau perubahan cara
hidup.
2. Pengobatan pencegahan
Serangan saat tidur dapat dicegah dengan 2 mg. Ergotamin tartrat 12 jam
sebelum tidur; penggunaan ergotamin ini harus hati-hati padapasien-pasien dengan
gangguan vaskuler,jantung, serebral, atau pada kehamilan, adanya penyakit ginjal atau
hati, infeksi dan masa pasca bedah. Serangan di saat lain dapat diatasi dengan
metisergid 34 dd 40 mg., verapamil 4 dd 80 mg., lithium 2 dd 300 mg. Atau prednison
40 mg./hari selama 3 minggu. Metisergid terutama efektif bila digunakan sejak awal,
efektivitasnya kira-kira 65%; obat ini mempunyai efek samping gastrointestinal,
parestesi dan nyeri ekstremitas bawah dan kemungkinan fibrosis retroperitoneal,
endomiokardial atau pulmonal yang berbahaya; obat ini tidak tersedia di Indonesia.
Verapamil cukup efektif untuk kebanyakan pasien, digunakan selama periode nyeri.
Penggunaan lithium hams disertai dengan pengamatan efek samping seperti tremor
karena obat ini mempunyai rentang dosis terapeutik yang relatif sempit. Kombinasi
empat obat di atas dapat mengatasi kira-kira 90% kasus episodik; dalam hal resistensi,
dapat dicoba penambahan prednison 40 mg./hari selama 5 hari, kemudian diturunkan
dosisnya selama 3 minggu (tapering off); penggunaan prednison harus hati-hati pada
pasien dengan ulkus peptikum, hipertensi atau diabetes melitus. Pasien-pasien khronik
dapat resisten terhadap pengobatan, mungkin berkaitan dengan sifatlkepribadian
tertentu; ada peneliti yang mencoba Na valproat 6002000 mgihari sebagai profilaktik.
Pengobatan eksperimental berupa gangliolisis trigeminal, atau penggunaan cahaya
terang untuk mengubah siklus sirkadian.
3. Pengobatan saat serangan
Serangan klaster akut dapat diatasi dengan inhalasi oksigen; untuk memperoleh
manfaat maksimum, oksigen diberikan segera di awal serangan sebanyak 7-ll menit
menggunakan facial mask; pasien duduk, dianjurkan bemapas biasa selama 15 menit.
Alternatif lain ialah menggunakan 1 tablet (1 mg.) ergota mm sublingual, dapat diulang
sampai dua kali setelah 15 menit; dosis maksimum 2 mg./24 jam. Ergotaniin juga dapat
diberikan secara intramuskuler dalani bentuk dihidroergotamin 1 mg. Atau ergotamin
tartrat 0,5 mg.; atau secara inhalasi sebanyak 2 kali dengan interval 5 menit. Dosis
maksimum 4 mg./24 jam. Obat simtomatik lain ialah kokain HCI 5% atau lidokain HCI 4%
intranasal.
I. Prognosis
Suatu studi longitudinal menunjukkan bahwa setelah 20 tahun, 1/3 pasien akan
mengalami remisi total, 1/3 pasien serangannya makin ringan dan pada 1/3 lainnya sifat
serangannya menetap. Serangan-serangan nyeri dapat diperingan atau dihindari dengan
meniperhatikan faktor-faktor pencetus.
Tension Type Headache (TTH)
A. Definisi
Tension type headache disebut pula muscle contraction headache merupakan nyeri
tegang otot yang timbul karena kontraksi terus menerus otot-otot kepala dan tengkuk
(m.Splenius kapitis, m.Temporalis, m.Maseter, m.Sternokleidomastoideus, m.Trapezius,
m.Servikalis posterior, dan m.Levator skapule). Sakit kepala tipe ini banyak terdapat pada
wanita masa menopause dan premenstrual.
TTH didefinisikan sebagai serangan nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam
hitungan menit sampai hari, dengan sifat nyeri yang biasanya berupa rasa tertekan atau
diikat, dari ringan sampai berat, dirasakan di seluruh kepala, tidak dipicu oleh aktifitas fisik
dan gejala penyerta nya tidak menonjol.
B. Prevalensi
Penelitian yang dilakukan di Surabaya (1984) menunjukkan bahwa di antara 6488
pasien baru, 1227 (18,9%) datang karena keluhan nyeri kepala; 180 di antaranya didiagnosis
sebagai migren. Sedangkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta(1986)
didapatkan 273 (17,4%) pasien baru dengan nyeri kepala di antara 1298 pasien baru yang
berkunjung selama Januari sd. Mei 1986. Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari
70% penduduknya (pernah) mengalami nyeri kepala, lebih dari 5% mencari/mengusahakan
pengobatan, tetapi hanya ± 1% yang datang ke dokter/rumah sakit khusus untuk keluhan
nyeri kepalanya.
C. Klasifikasi
1. Episodik , jika serangan yang terjadi kurang dari 1 hari perbulan (12 hari dalam 1 tahun).
2. Kronik, jika serangan minimal 15 hari perbulan selama paling sedikit 3 bulan (180 hari
dalam 1 tahun).
Tension headache kronik dibagi 2 macam, yaitu:
a) Short-duration, jika Serangan terjadi kurang dari 4 jam.
b) Long-duration, jika Serangan berlangsung lebih dari 4 jam.
D. Etiologi
Faktor-faktor penyebab dari TTH bukan merupakan infeksi virus ataupun bakteri
melainkan tetapi keadaan-keadaan seperti Stres, Kecemasan, Depresi, Konflik emosional,
Kelelahan.
Nyeri kepala yang timbul adalah manifestasi dari reaksi tubuh terhadap stres,
kecemasan, depresi, konflik emosional atau kelelahan. Respon fisiologis yang terjadi meliputi
refleks vasodilatasi pembuluh darah ekstrakranial serta kontraksi otot-otot skelet kulit
kepala (scalp), wajah, leher dan bahu secara terus menerus.
E. Patofisiologi
Meskipun nyeri kepala tegang otot ini sangat umum ditemukan,
patofisiologinya masih tetap tidak jelas. Penelitian menunjukkan bahwa mekanisme
nyeri kepala ini tergantung terhadap otot yang terlibat yakni otot wajah,leher dan
bahu. Patomekanisme nyeri kepala tegang otot ini masih menjadi bahan penilitian
tetapi telah ada beebrapa teori-teori yang diduga menyebabkan nyeri kepala jenis
ini.
Salah satu teori yang paling populer mengenai penyebab nyeri kepala ini
adalah kontraksi otot wajah, leher, dan bahu. Otot-otot yang biasanya terlibat
antara lain m. splenius capitis, m. temporalis, m. masseter, m.
sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis posterior, dan m. levator
scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita nyeri kepala ini mungkin
mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar daripada orang lain
yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang sakit kepala setelah adanya
kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi tubuh yang dipertahankan
lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot ataupun posisi tidur yang salah.
Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan sakit kepala kronis bisa sangat
sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi peningkatan nyeri terhadap
kontraksi otot.
Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan
kontraksi otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen
dan menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri.
Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul
akibat perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan
beberapa zat kimia lain - yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa
dengan perubahan biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum
diketahui bagaimana zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini
mengaktifkan jalur nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk
menekan nyeri. Pada satu sisi, ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa
menyebabkan sakit kepala pada orang dengan gangguan zat kimia. Di sisi lain,
ketegangan otot bisa merupakan hasil dari perubahan zat kimia ini.
Karena nyeri kepala tipe ini dan migren melibatkan perubahan yang mirip
pada otak, beberapa peneliti percaya bahwa kedua tipe sakit kepala ini
berhubungan. Beberapa ahli berpendapat bahwa migren bisa disebabkan oleh nyeri
kepala tegang otot yang berulang. Migren bisa dibedakan saat nyeri yang terasa
menjadi sangat hebat. Ada juga yang beranggapan migren yang ringan adalah suatu
jenis nyeri kepala tegang otot yang ringan.
F. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang bisa digolongkan dalam nyeri kepala tipe tegang adalah :
Nyeri kepala bersifat konstan dan terus menerus.
Terasa berat seperti tertekan atau seperti terikat, diperas, mau meledak.
Tempat sakitnya tidak dapat ditentukan
Frekuensi, fluktuasi, dan intensitas nyeri sangat bervariasi. Biasanya akan bertambah
pd masa2 penuh tekanan seperti pubertas, pindah sekolah, masalah pekerjaan atau
perkawinan.
Biasanya nyeri kepala tipe tegang dikaitkan dgn kelainan yg disebut spasmohilia.
Kelainan ini adalah kecenderungan seseorang yg otot2nya lebih mudah utk kontraksi
(tegang). Spasmohilia memiliki kemungkinan diturunkan atau ada faktor keluarga. Selain itu
juga akan ditanyakan mengenai kemungkinan adanya stres fisik maupun psikis.
G. Diagnosis
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang-kurangnya dua dari
berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan ± sedang, (3) lokasi
bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada
salah satu dari fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang ± berat, tumpul seperti ditekan atau
diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital,
dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis,
iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian leher,
rahang serta temporomandibular.
Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa
neurologik tidak ditemukan kelainan apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan
darah, rontgen, CTsc an kepala maupun MRI.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis deformans,
sakit kepala pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal, migren klasik, migren
komplikata, cluster headache, sakit kepala pada arteritis temporalis, sakit kepala pada
desakan intrakranial, sakit kepala pada penyakit kardiovasikular, dan sakit kepala pada
anemia.
I. Penatalaksanaan
Tindakan umum
Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.
Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik
dalam rongga kepal atau dalam otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan
adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
Penilaian adanya kecemasan atau depresi harus segera dilakukan. Sebagian pasien
menerima bahwa nyeri kepalanya berkaitan berkaitan dengan penyakit depresinya
dan bersedia ikut program pengobatan sedangkan sebagian pasien lain berusaha
menyangkalnya. Oleh sebab itu pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang
mendasari dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola hidup
yang salah, disamping pengobatan nyeri kepala. Bila depresi berat dengan
kemungkinan bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke ahli jiwa.
Farmakoterapi nyeri kepala tipe tegang
Analgesik
Pemakaian tablet analgetik harian dapat memacu timbulnya rebound headache
sebagai efek wears off dan akan menjadi predisposisi timbulnya nyeri kepala harian
yang kronis (Lance & Goadsby, 1988)
Amitriptilin
Digunakan juga pada pasien migren, terutama yang berhubungan dengan nyeri
kepala tipe tegang. Mekanismenya tidak berhubungan dengan aktivitasnya sebagai
antidepresan. Amitriptilin bekerja memodulasi neurotransmiter, menghambat
pengambilan kembali (reuptake) noradrenalin dan serotonin serta mengurangi
fungsi β-adrenergik dan reseptor serotonin sentral (Pryse-Phillips, 1997). Dosisnya
dimulai dengan 10 mg atau setengah dari tablet amitriptilin 25 mg pada malam hari,
kemudian ditanyakan pada pasien jika akan menaikkan dosisnya secara perlahan
sampai mencapai dosis 75 mg tiap malam jika pasien dapat mentolerir tanpa
mengantuk pada pagi harinya (Lance & Goadsby, 1998).
Sodium valproat
Sebuah studi melaporkan bahwa sodium valproat dalam dosis 1000-2000 mg per
hari yang diberikan selama 3 bulan menurunkan indeks nyeri kepala harian yang
kronis sampai setengahnya tau menurun pada 18 pasien (dari 30 pasien) dengan
rata-rata bebas nyeri kepala hariannya tiap bulan meningkat 5,5 sampai 17,7 (Lance
& Goadsby, 1998).
Bezodiazepin
Pemakaian benzodiazepin juga banyak menolong tetapi mempunyai resiko tinggi
untuk kebiasaan untuk meneruskan penggunaannya (adiktif) (Lance & Goadsby,
1998).
Tizanidin
Aslan (1996) telah melakukan studi terhadap tizanidin secara acak ganda tersamar
untuk nyeri kepala tipe tegang. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa tizanidin
ternyata efektif untuk nyeri kepala tipe tegang. Pada studi lainnya, Saper et. al.
(2001) dengan open-label study pemberian tinzanidin ternyata efikasius, aman dan
dapat ditoleransi pada terapi profilaksis nyeri kepala harian.
Botulin toksin
Botulin toksin A adalah obat yang poten untuk beberapa penyakit berat yang
berhubungan dengan kenaikan tonus otot, seperti tortikolis spasmodik,
blefarospasm, distoni anggota gerak, hemispasm facial dan spastisitas. Botulinum
toksin juga dapat digunakan pada terapi nyeri spasme otot dan miofacial pain
syndrome. Beberapa studi juga menyarankan bahwa botulinum toksin dapat dipakai
untuk terapi tension headache (Zwart et. al. 1994; Rejla, 1997; Wheeler, 1998 cit.
Rolnik, 2000). Sebuah studi acak buta ganda terkendali pada terapi botulinum toksik
A telah dilakukan Rollink et. al. (2000) untuk terapi nyeri kepala tension headache.
Kelompok terapi diberi obat (injeksi intrakranial 10x20 mu botulin toksin A) dan
hasilnya adalah tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok plasebo dan
kelompok terapi.
SINDROM TEROWONGAN KARPAL
(CARPAL TUNNEL SYNDROME)
PENGERTIAN
Carpal Tunnel Syndrome (STK) merupakan Sindroma terjadi akibat adanya tekanan terhadap
nervus medianus pada saat melalui terowongan karpal di pergelangan tangan. Beberapa
penyebabnya telah diketahui seperti trauma, infeksi, gangguan endokrin dan lain-lain, tetapi
sebagian tetap tidak diketahui penyebabnya.
.
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan
ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan
nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras
dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan
palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut.
Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada
struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.
PATOGENESIS
Ada beberapa hipotesa mengenai patogenese dari STK. Sebagian besar penulis berpendapat bahwa
faktor mekanik clan vaskular memegang peranan penting dalam terjadinya STK. Umumnya STK
terjadi secara kronis di mana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan
terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian
tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini
akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel.
Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural.
Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada
malam/pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerak-gerakkan atau diurut. Apabila
kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan
safar menjadi atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus
terganggu secara menyeluruh .
Pada STK akut biasanya terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler sehingga terjadi
gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh
peninggian tekanan intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu.
Akibatnya terjadi kerusakan pada saraf tersebut. Tekanan langsung pada safar perifer dapat pula
menimbulkan invaginasi Nodus Ranvier dan demielinisasi lokal sehingga konduksi saraf terganggu.
ETIOLOGI
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga dilalui oleh beberapa
tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat
menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga timbul STK. Pada sebagian
kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita lanjut usia.
Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan tangan dengan
bertambahnya resiko menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk STK .Pada kasus yang
lain etiologinya adalah :
1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,
misalnya HMSN ( hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan
tangan dan tangan .Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan
tangan. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang
berulang-ulang.
3. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
4. Metabolik: amiloidosis, gout.
5. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,
hipotiroidi, kehamilan.
6. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
7. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
8. Degeneratif: osteoartritis.
9. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
GEJALA
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja .Gangguan motorik hanya terjadi
pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau
rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1,2,3 dan setengah sisi radial jari 4 walaupun
kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari. Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di
malam hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari
sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang
bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya
pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak
mengistirahatkan tangannya. Bila penyakit berlanjut, rasa nyeri dapat bertambah berat dengan
frekuensi serangan yang semakin sering bahkan dapat menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat
terasa sampai ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah distal
pergelangan tangan. Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari, tangan dan
pergelangan tangan terutama di pagi hari. Gejala ini akan berkurang setelah penderita mulai
mempergunakan tangannya. Hipesetesia dapat dijumpai pada
daerah yang impuls sensoriknya diinervasi oleh nervus medianus. Pada tahap yang lebih lanjut
penderita mengeluh jari-jarinya menjadi kurang trampil misalnya saat menyulam atau memungut
benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga dapat dijumpai, sering dinyatakan dengan keluhan
adanya kesulitan yang dialami penderita sewaktu mencoba memutar tutup botol atau
menggenggam 1,4,12. Pada penderita STK pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar
dan otot-otot lainnya yang diinnervasi oleh nervus melanus.
DIAGNOSA
Diagnosa STK ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga
didukung oleh beberapa pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi,
motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa STK adalah :
a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa
STK. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.
b. Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat
dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari
dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari
tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan
yang rumit seperti menulis atau menyulam.
d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya
dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik
timbul gejala-gejala seperti STK, maka tes ini menyokong diagnosa STK.
e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60
detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat
bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa STK.
f. Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan
tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit
timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa.
g. Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi
tangan sedikit dorsofleksi.
h. Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu
jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong
diagnosa.
i. Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya
dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosa.
j. Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif
dan menyokong diagnosa.
k. Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang
kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan
mendukung diagnosa STK.
2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)
a. Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan
berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai
kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 % kasus STK.
b. Kecepatan Hantar Saraf(KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS
akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan
pada konduksi safar di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten
motorik.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada
penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher berguna untuk menyingkirkan
adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan pada kasus yang
selektif terutama yang akan dioperasi.
4. Pemeriksaan laboratorium
Bila etiologi STK belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan
tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah ,
kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap.
TERAPI
Selain ditujukan langsung terhadap STK, terapi juga harus diberikan terhadap keadaan atau
penyakit lain yang mendasari terjadinya STK. Oleh karena itu sebaiknya terapi STK dibagi
atas 2 kelompok, yaitu :
1. Terapi langsung terhadap STK
a. Terapi konservatif.
1. Istirahatkan pergelangan tangan.
2. Obat anti inflamasi non steroid.
3. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat
dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.
4. lnjeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison
10-25 mg 8 atau metilprednisolon 20 mg 14 atau 40 mg 12 diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah
proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus palmaris longus. Bila
belum berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat
dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
5. Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.
6. Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab STK
adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian piridoksin 100-300
mg/hari selama 3 bulan 1. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian
piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan dalam
dosis besar.
7. Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi
pergelangan tangan. Modalitas yang digunakan yaitu dengan ultra sonic dan terapi latihan
berupa latihan penguatan otot–otot pada tangan berupa latihan resisted exercise.
1. Ultra Sonic . Gelombang ultra sonic adalah gelombang suara yang tidak dapat didengar oleh
manusia. Merupakan gelombang longitudinal yang gerakan partikelnya yang perambatanya
memerlukan media penghantar. Media penghantar harus elastis agar partikel bisa berubah bentuk.
Dari sini dijumpai daerah padat atau Compression dan daerah renggang atau refraction (Sujatno
dkk, 2002).
Dalam penggunaaan modalitas ultra sonic beberapa ahli membuktikan bahwa ultra sonic efektif
untuk mengurangi nyeri karena ultra sonic dapat meningkatkan ambang rangsang, mekanisme dari
efek termal panas. Selain itu pembebasan histamin, efek fibrasi dari ultra sonic terhadap gerbang
nyeri dan suatu percobaan ditemukan bahwa pemakaian ultra sonic dengan pulsa rendah dapat
merangsang pengeluaran dan pelepasan histamine. Histamine menyebabkan pelebaran pembuluh
darah lokal sehingga terjadi percepatan pembersihan zat atau bahan kimia yang menyebabkan nyeri.
2. Terapi Latihan. Terapi latihan merupakan salah satu pengobatan dalam fisioterapi yang dalam
pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara aktif maupun pasif. Atau
pula dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mempercepat proses penyembuhan dari suatu
cidera yang telah merubah cara hidupnya yang normal. Hilangnya suatu fungsi atau adanya
hambatan dalam melakanakan suatu fungsi dapat menghambat kemampuan dirinya untuk hidup
secara independent yaitu dalam melaksanakan aktifitas kerja (Priyatna, 1985). Tujuan dari terapi
latihan adalah (1) Memajukan aktifitas penderita, (2) Memajukan kemampuan penderita yang telah
ada untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat
beraktifitas normal (Priyatna, 1985). Terapi latihan pada carpal tunnel syndrom adalah resisted
active exercise merupakan latihan yang dilakukan dengan memberikan tahanan dari luar terhadap
kerja otot yang membentuk suatu gerakan. Tahanan dari luar tersebut bisa berasal dari tahanan
manual ataupun mekanik (Kisner,1996). Apabila otot itu berkontaksi dengan melawan suatu
tahanan, maka ketegangan dalam otot itu akan naik. Karena ketegangan otot bertambah ( bila
melawan melawan suatu tahanan) maka untuk memperkuat otot- otot dengan menggunakan
resistance. Tahanan yang dilaksanakan bisa menggunakan tahanan manual, kantong pasir, per, dan
karet. Efek penggunaan resisted exercise adalah: (1) Menaikkan kekuatan dan daya tahan otot, (2)
Memperbaiki ketidakseimbangan otot, (3) Memperkembang koordinasi gerakan, (4) Memperbaiki
kemampuan fungsional, (5) Memperbaiki kondisi umum penderita.
b. Terapi operatif.
Tindakan operasi pacta STK disebut neurolisis nervus medianus pada pergelangan tangan. Operasi
hanya dilakukan pacta kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi konservatif atau hila
terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada STK bilateral
biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus
dilakukan operasi bilateral. Penulis lain 16 menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan
hila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan
operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten. Biasanya tindakan operasi STK dilakukan secara
terbuka dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara
endoskopik. Beberapa penyebab STK seperti adanya massa atau anomali maupun tenosinovitis pacta
terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka.
2. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari STK.
Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya STK harus ditanggulangi, sebab bila tidak dapat
menimbulkan kekambuhan STK kembali. Pada keadaan
di mana STK terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan
penyesuaian ataupun pencegahan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya STK atau mencegah
kekambuhannya antara lain 3:
Usahakan agar pergelangan tangan selalu dalam posisi netral
Perbaiki cara memegang atau menggenggam alat benda. Gunakanlah seluruh tangan dan jari-jari
untuk menggenggam sebuah benda, jangan hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk.
Batasi gerakan tangan yang repetitif.
Istirahatkan tangan secara periodik.
Kurangi kecepatan dan kekuatan tangan agar pergelangan tangan memiliki waktu untuk
beristirahat.
Latih otot-otot tangan dan lengan bawah dengan melakukan peregangan secara teratur.
PROGNOSA
Pada kasus STK ringan, dengan terapi konservatif pada umumnya prognosa baik. Secara umum
prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya melakukan pada penderita yang sudah lama
menderita STK penyembuhan post ratifnya bertahap. Perbaikan yang paling cepat dirasakan adalah
hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan sensorik. Biasanya perbaikan motorik dan otot-
otot yang mengalami atrofi baru diperoleh kemudian. Keseluruhan proses perbaikan STK setelah
operasi ada yang sampai memakan waktu 18 bulan.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus medianus
terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi STK yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema, perlengketan,
infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang persisten di
daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi yang paling berat adalahreflek sympathetic
dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia,disestesia dan ganggaun trofik.
Sekalipun prognosa STK dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik ,tetapi resiko
untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
POLIOMYELITIS
Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis secara fokal yang onsetnya
akut dan mengenai anak kelompok < 15 tahun termasuk didalamnya poliomielitis. Acute Flaccid
Paralysis disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau adenovirus.
Poliomelitis atau infantile paralysis, lebih dikenal dengan sebutan polio, adalah kelainan yang
disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk otot dan
saraf. Kasus yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian.1,2,3,4
Populasi beresiko polio terutama menyerang kelompok umur anakanak berusia di bawah
lima tahun (balita). Di banyak negara dengan tingkat polio yang tinggi, 70%80% penderita di bawah
usia 3 tahun dan 80% - 90% dari kasus terjadi pada balita. Setelah pemberian vaksin polio telah
terjadi penurunan infeksi polio yang drastis. Meskipun program eradikasi polio secara global telah
dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika
Subsahara dan Asia, di mana kasus-kasusnya masih terus ditemukan. Di Indonesia masih ditemukan
kasus polio baru, hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus polio liar di Indonesia belum
berhenti.
World Health Organization memperkirakan sampai saat ini total kasus virus polio liar
secara kumulatif berjumlah 304 kasus, tersebar di 10 provinsi diantaranya Jawa Barat, Banten,
Lampung dan Jawa Tengah.4,5,6,7
Polio adalah virus gastrointestinal yang menyebabkan demam, muntah dan kekejangan otot,
serta dapat merusak sistem saaraf dan menyebabkan kelumpuhan permanen. Polio juga dapat
menyebabkan kelumpuhan pada sistem pernapasan dan otot-otot untuk menelan, sehingga dapat
berakhir pada kematian. 1,8
Ada dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio vaccine
(OPV). Apabila mulai dengan jadwal OPV, IPV dapat digunakan dengan a Virus poliomielitis
tergolong dalam genus enterovirus dan famili picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1
(Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon)man untuk menyelesaikan jadwal tersebut tanpa efek
buruk. Diperlukan tiga dosis untuk memberikan proteksi yang baik dalam masa kanak-kanak dengan
booster pada usia 4 tahun. Inactivated polio vaccine (IPV) mengandung sejumlah kecil virus polio
yang telah dimatikan.
Etiologi
Virus poliomielitis tergolong dalam genus enterovirus dan famili picornaviridae, mempunyai
3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau
lebih dari tipe virus tersebut. Pada sebagian besar kasus dan ganas biasanya disebabkan oleh virus
tipe 1. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunisasi bersifat seumur hidup dari
spesifik untuk satu tipe.1
Penyebaran infeksi virus polio terjadi secara fekal oral dan pernafasan. Transmisi perinatal
bisa terjadi dari ibu kepada bayinya. Faktor predisposisi virus polio tergantung pada status imunitas,
neurovirulensi virus dan faktor host.1,2
Epidemiologi
Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadik, dimana tingkat kejadian
polio yang tinggi pertama kali dilaporkan dari daerah Eropa Barat, kemudian Amerika Serikat. Pada
akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950 tingkat kejadian yang tinggi poliomielitis secara teratur
ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000-21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun
1920, 90 % kasus pada anak <5 tahun, sedangkan di awal tahun 1950 kejadian tertinggi adalah usia
5-9 tahun, bahkan belakangan ini lebih dari sepertiga kasus yang terjadi pada usia >15 tahun.1,3,4,5
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi penurunan
jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat, angka kejadian turun dari 17,6 kasus poliomielitis
per 10.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972
kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun.1,2,6,7
Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk menghapus
polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia.
Meskipun pada tahun 2000 polio belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di
bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa.6,8,9
Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi polio meningkat
menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003. Sebagian penderita berada
di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763 penderita, India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada
tahun 2006 ditemukan kasus liar poliovirus tipe I di Kenya, pada saat itu ditemukan 216 kasus yang
dibawa oleh pendatang dari Somalia yang merupakan negara tetangga dari Kenya.10
Di Indonesia perkembangan polio sejak ditemukannya kasus polio pertama Maret 2005 lalu
setelah 10 tahun (1995-2005) tidak ditemukannya lagi kasus polio. Namun penyakit polio ini kembali
mewabah di Indonesia tahun 2005. Hingga tanggal 21 november 2005, ditemukan 295 kasus polio
yang terdapat di 40 kabupaten dari 10 propinsi yakni Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah,
sumut, Jawa Timur, Sumatera Selatan, DKI, Riau, dan Aceh.5
Patogenesis
Polio dapat menyebar melalui kontak dengan kotoran yang terkontaminasi
(misalnya, dengan mengganti popok bayi yang terinfeksi) atau melalui
udara, dalam makanan, atau dalam air. Virus masuk melalui mulut dan hidung (portal of entry),
berkembang biak di dalam tenggorokan dan mukosa saluran cerna (Peyer’s patches), lalu diserap
dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Virus biasanya
memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembangbiak dalam traktus digestivus, kelenjar
getah bening regional dan sistem retikuloendotelial. Masa inkubasi ini berlangsung antara 7-14 hari,
tetapi dapat pula merentang dari 2 sampai 35 hari. Setelah 3-5 hari sejak terjadinya paparan, virus
dapat ditemukan dari tenggorok, darah dan tinja. Dalam keadaan ini timbul perkembangan virus,
tubuh bereaksi dengan membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat antibodi mencukupi dan
cepat maka virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat
sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Dalam kebanyakan kasus, hal ini dapat
mengakibatkan terhentinya perkembangan virus dan keuntungan individu memiliki kekebalan
permanen terhadap polio. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti maka
akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa
minggu lamanya. Apabila manusia yang rentan terpapar dengan poliovirus maka satu dari beberapa
respons berikut ini akan terjadi, yaitu: infeksi tidak nyata dan tanpa gejala-gejala, timbul sakit ringan
(abortive poliomyelitis, nonparalytic poliomyelitis, paralyticpoliomyelitis.1,2,16
Berbeda dengan virus lain yang menyerang susunan saraf, maka neuropatologi poliomeilitis
biasanya patognomonik dan virus hanya menyerang sel-sel dan daerah tertentu susunan saraf, tidak
semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan, dapat terjadi
penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala.
Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis :1,2,11
Medulla spinalis terutama kornu anterior
Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta formasio retikularis
yang mengandung pusat vital
Serebelum terutama inti-inti pada vermis
Mid brain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-kadang nukleus rubra.
Talamus dan hipotalamus
Korteks serebri, hanya daerah motorik
Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla spinalis dan
batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan Leon yang menyebabkan
penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami
infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut.1,2
Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi penyebaran termasuk ke susunan
saraf pusat. Penyebaran virus polio melalui saraf belum jelas diketahui. Penyakit yang ringan (minor
illness) terjadi pada saat viremia yaitu kira-kira hari ketujuh, sedangkan major illness ditemukan bila
konsentrasi virus di susunan saraf pusat mencapai puncaknya yaitu pada hari ke 12 sampai 14.1,11
Gambaran klinis
Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh polio ada beberapa gejala khas. Namun hampir
95 persen dari semua orang yang terkena virus polio tidak akan menunjukkan gejala apapun. Sekitar
5 persen orang yang terinfeksi akan mengalami gejala ringan, seperti sakit tenggorokan, leher kaku,
sakit kepala, dan demam, dan seringkali terdiagnosis sebagai pilek atau flu. Kelumpuhan otot telah
diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari setiap 1.000 orang yang terkena.1
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadang-kadang 3-35 hari.
Gambaran klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang
paling berat, yaitu antara lain :2,3,11
Infeksi tanpa gejala
Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup tinggi terutama di
daerah yang standar kebersihannya jelek. Pada suatu endemik polio diperkirakan terdapat pada
9-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap penyakit polio. Bayi baru lahir mula-
mula terlindungi karena adanya antibodi maternal yang kemudian akan menghilang setelah
usia 6 bulan. Penyakit ini hanya diketahui dengan menemukan virus di tinja atau meningginya
titer antibodi.
Infeksi abortif
Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu daerah yang tingkat
kejadiannya cukup tinggi. Tidak dijumpai gejala khas poliomielitis. Timbul mendadak dan
berlangsung 1-3 hari dengan gejala “minor illness” seperti demam bisa mencapai 39,5 oC,
malaise, nyeri kepala, sakit tenggorokan, anoreksia, muntah, nyeri otot dan nyeri perut serta
kadang-kadang diare. Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit virus lainnya, hanya dapat
diduga bila terjadi di daerah yang epidemik polio. Diagnosis pasti hanya dengan menemukan
virus pada biakan jaringan. Diagnosis banding adalah influenza atau infeksi tenggorokannya
lainnya.
Poliomielitis non paralitik
Penyakit ini terjadi 1 % dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan infeksi abortif yang
berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi kemudian naik kembali (dromary
chart), diserta dengan gejala nyeri kepala, mual dan muntah lebih berat, dan ditemukan
kekakuan pada otot belakang leher, punggung serta tungkai. Tanda kernig dan brudzinsky
positif. Tanda lain adalah bila anak berusaha duduk dengan sikap tidur, maka ia akan
menekukkan kedua lututnya ke atas, sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada
tempat tidur. Head drop yaitu bila tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua
ketiak, akan menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya normal. Bila
refleks tendon berubah maka kemungkinan akan terjadi poliomielitis paralitik. Diagnosis
banding adalah meningitis serosa dan meningismus.
Poliomielitis paralitik
Gambaran klinis sama dengan poliomielitis non paralitik disertai dengan kelemahan satu atau
beberapa kumpulan otot skelet atau kranial. Gejala ini bisa menghilang selama beberapa hari
dan kemudian timbul kembali diserta dengan kelumpuhan (paralitik) yaitu berupa “flaccid
paralysis” yang biasanya unilateral dan simetris yaitu paling sering terkena adalah tungkai.
Keadaan ini bisa disertai kelumpuhan vesika urinaria, atonia usus dan kadang-kadang ileus
paralitik. Pada keadaan yang berat dapat terjadi kelumpuhan otot pernafasan.
Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf
pusat yaitu:1,2,11
a. Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung, diafragma, ada
ekstremitas dimana yang terbanyak adalah ekstremitas bawah. Tersering yaitu otot-otot
besar, pada tungkai bawah kuadriseps femoralis, pada lengan deltoid. Sifat kelumpuhannya
ini adalah asimetris. Refleks tendon menurun sampai menghilang dan tidak ada gangguan
sensibilitas.
b. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bulbar.
c. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial dengan
atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi dan temperatur tubuh. Bila
kelemahan meliputi saraf kranial IX, X dan XII maka akan menyebabkan paralisis faring, lidah
dan taring dengan konsekuensi terjadi sumbatan jalan nafas.
d. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-kadang
kejang.
Gambaran secara umum penderita poliomielitis
Gambar 2.1 Gambaran secara umum pasien polio
\
Gambar 2.2 Penderita polio
Banyak penyakit dari Acute Flaccid Paralysis yang hampir menyerupai poliomielitis dengan
gejala yang sama, sehingga penentuan diagnosis poliomielitis harus benar-benar teliti bertujuan
untuk menentukan manajemen pengobatan, prognosis dan pencegahan lebih awal.
Berikut adalah diagnosis banding dari Acute Flaccid Paralysis3
KONTRAINDIKASI VAKSIN POLIO
Bayi dengan riwayat :
hipersensitif terhadap salah satu komponen vaksin termasukk phenoxyethanol,
formaldehid 0,02% neomycin, streptomycin, polymyxin B.
Bayi yang terinfeksi immunodeficiency virus (HIV) baik simptomatik maupun
asimptomatik bukan kontraindikasi IPV, harus diimunisasi dengan IPV menurut
jadwal standar. Tidak ada gejala klinis dengan vaksin polio yang dimatikan telah
dilakukan pada hamil perempuan. Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan
melaporkakan dampak buruk dari vaksin polio yang dimatikan pada wanita hamil
atau janin yang sedang berkembang, tetapi pemberian polio pada ibu hamil tetap
tidak diberikan
Obat Antimigrain Spesifik
Alkaloid ergot.
Alkaloid ergot digunakan dalam pengobatan migrain sejak tahun 1926. Ergot merupakan
vasokonstriktor kuat yang juga memberikan efek pada migrain. Tidak seperti triptan, ergot bekerja
pada berbagai reseptor termasuk 5HT1A, 5HT1D, 5HT2, adrenoseptor D2, alfa dan beta. Ergot yang
digunakan dalam terapi migrain adalah ergotamin dan dihidroergotamin. Ergot penggunaannya
mulai tergeser oleh triptan. Hal ini karena efek samping yang merugikan, rendahnya bioavailabilitas,
dan tingginya potensi penyalahgunaan. Mual adalah efek samping yang paling umum (10-20%).
Sebagai vasokonstriksi kuat, dosis tunggal ergotamin tidak harus diberikan setiap hari. Hal ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi kronis dan habituasi. Pasien tidak boleh mempergunakan lebih dari dua
dosis dalam seminggu. Dihidroergotamin juga memiliki bioavailabilitas rendah. Setelah pemberian
injeksi dihidroergotamin didistribusikan secara cepat.
Efek samping yang umum dari ergot diantaranya:
1. Mual, muntah
2. Perasaan tidak nyaman pada perut
3. Akroparestia
4. Kaki kram
5. Vasospasme dan vasokontriksi koroner dan serebral
6. Lesi anorektal juga dapat terjadi setelah pemberian ergotamine oral maupun rektal dalam
jangka panjang
7. Penyakit fibrosing yang melibatkan pleura, perikardium, katup jantung, retroperitoneum,
neuropati perifer juga dapat disebabkan akibat penggunaan ergotamine kronis
8. Dihidroergotamine perenteral sering menimbulkan efek samping berupa hidung tersumbat,
mual, dan ketidaknyamanan pada tenggorokan.
Ergot kontraindikasi pada:
1. Penyakit kardiovaskular
2. Kehamilan
3. Ibu menyusui
4. Penyakit hati dan ginjal
5. Sepsis berat
6. Hipertensi yang tak terkontrol
Triptan tidak boleh dikombinasikan dengan ergot.
Dosis dan cara penggunaan ergot:
1. Tablet ergotamine tatrat 1 mg dikombinasikan dengan 100 mg kafein untuk meningkatkan
absorpsinya. Dosis awal 2 mg ergotamine dan dapat ditingkatkan hingga 6 mg.
2. Injeksi dihidroergotamin 1 mg secara intramuskular atau subkutan atau 0,5-1 mg intravena.
Maksimum dosis harian yang diizinkan adalah 3 mg.
Triptan
Berdasarkan studi biokimia dan farmakologi pada pasien migrain, senyawa yang menyerupai 5-HT
pada reseptor pembuluh darah karotid mungkin berkhasiat membatalkan serangan migrain. Derivat
triptamine atau triptan disintesis untuk menghasilkan selektivitas pada pembuluh darah karotid
pada reseptor 5-HT 1B/1D. Sumatriptan adalah senyawa triptan yang pertama kali dikembangkan.
Namun sumatriptan memiliki sejumlah keterbatasan diantaranya ketersediaan hayati oral yang
rendah, kekambuhan sakit kepala karena waktu paruhnya yang pendek dan kontraindikasi pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular. Sehingga dikembangkan generasi-generasi terbaru triptan.
Kini ada 6 obat dalam golongan triptan yaitu zolmitriptan, rizatriptan, naratriptan, eletriptan,
almotriptan dan frovatriptan yang tersedia untuk penggunaan klinis. Pengenalan triptan pada tahun
1991 telah merevolusi pengobatan migrain.
Mekanisme Kerja
Triptan membatalkan serangan migrain melalui berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme yang
diusulkan adalah dengan kontraksi langsung dari dilatasi jaringan darah ekstra kranial, supresi
neuropeptida (seperti gen kalsitonin terkait peptida) rilis dari ujung syaraf perifer sekitar pembuluh
darah, penghambatan transmisi pada inti trigeminal caudalis, dan blokade presinaptik dari transmisi
sinaptik antara terminal akson dari trigeminovaskular neuron dan sel tubuh dari pusat.
Efek Samping
Trptan dapat menyebabkan beberapa efek samping, namun umumnya segera dapat teratasi, ringan
dan relatif tidak signifikan secara klinis. Beberapa efek samping tersebut diantaranya kesemutan,
mati rasa, sensasi hangat, berat, tekanan yang sesak pada berbagai bagian tubuh yang berbeda
termasuk leher dan dada. Pusing dan sedasi juga dapat terjadi sehingga harus menghindari aktivitas
yang memerlukan konsentrasi tinggi seperti mengemudi atau menjalankan mesin.
Interaksi Obat
1. Pasien yang menggunakan propanolol sebagai pencegahan migrain, maka dosis rizatriptan
harus dikurangi sampai 5 mg
2. Penggunaan bersama triptan dan ergot adalah kontraindikasi
Pemilihan Triptan
1. Berdasarkan onset kerjanya. Sumatriptan subkutan memiliki onset kerja 10 menit,
Sumatriptan intranasal dan rizatriptan oral memiliki onset 15 menit, sumatriptan oral 50-100 mg
onsetnya 30 menit, sumatriptan rektal onsetnya 30-60 menit, dan naratriptan onsetnya 60 menit
atau lebih. Pengetahuan akan onset kerja triptan dan puncak sakit kepala sangat penting dalam
menentukan agen triptan yang tepat.
2. Berdasarkan gejala. Jika migrain disertai mual dan muntah maka pemberian agen triptan oral
tidaklah tepat. Sumatriptan subkutan menjadi pilihan terbaik dalam kondisi ini diikuti dengan
pemberian secara rektal atau intranasal.
3. Berdasarkan kambuhnya sakit kepala. Dalam praktek klinis, sekitar 40% pasien yang diobati
sumatriptan akan mengalami kekambuhan. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami
kekambuhan setelah penggunaan sumatriptan, maka sebaiknya mencoba menggunakan frovatriptan
atau naratriptan, dan jika kekambuhan berulang maka sebaiknya mencoba menggunakan triptan
yang lain.