Artikel Bid’Ah

38
Bid’ah Dalam Tasawuf Posted Juni 8, 2007 Filed under: Uncategorized | Pertama : Pengertian Bid’ahBid’ah menurut bahasa memiliki dua makna :1. Sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya dari orang yang membuat dan memulai, seperti yang terdapat dalam Lisnul Arab : ba-da-‘a asy-syai’ wa yabda’uhu wa ibtada’ahu mempunyai makna ansya-ahu (membuat sesuatu) dan bada- ahu ( memulainya ).Termasuk pengertian di atas, firman Allah swt: د ب ع ي وات ما س ل ا لارض وا[ 1 ] “Allah Pencipta langit dan bumi.”2. Bermakna letih dan lelah. Dikatakan: “abda’at an-naaqatu` “ (unta itu letih) jika berhenti dalam perjalanan karena dari kurus atau sakit atau lelah. Kata abda’at berarti letih atau lesu. Makna ini kembali ke makna yang pertama, seakan-akan letih membuat unta itu berhenti dari kebiasaannya berjalan atau membuat sesuatu yang keluar dari kebiasaan[2] . Bid’ah adalah isim hay`ah ( nama bentuk ) dari al-Ibtida’ (penciptaan) yaitu segala sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Bid’ah menurut istilah agamaUlama berbeda pendapat dalam membatasi makna bid’ah menurut istilah. Sebagian ulama dari mereka meluaskan dalam pembatasannya sehingga maksudnya dan apa yang terkandung dalam kata bid’ah menjadi meluas. Metode ini digunakan oleh beberapa ulama yang memiliki kedudukan keilmuan yang tinggi seperti:: Imam asy- Syafi’i, Ibn al- Atsir, Imam al-Ghozali, al-’Izz Ibn ‘Abd As-Salam, Al-qurofii dan an-Nawawi. Mereka berkata: “Semua yang dibuat setelah zaman Rasulullah Saw adalah bid’ah, baik itu bid’ah yang terpuji atau tercela.1. Imam asy-Syafi’i : Membagi bid’ah menjadi baik dan tidak baik, terpuji dan tercela, dan ini menurut Imam asy-Syafi’I meliputi semua yang dibuat setelah zaman Rasulullah Saw dan zaman Al-Khulafa’

description

bid'ah

Transcript of Artikel Bid’Ah

Page 1: Artikel Bid’Ah

Bid’ah Dalam TasawufPosted Juni 8, 2007Filed under: Uncategorized |Pertama : Pengertian Bid’ahBid’ah menurut bahasa memiliki dua makna :1. Sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya dari orang yang membuat dan memulai, seperti yang terdapat dalam Lisnul Arab : ba-da-‘a asy-syai’ wa yabda’uhu wa ibtada’ahu mempunyai makna ansya-ahu (membuat sesuatu) dan bada-ahu ( memulainya ).Termasuk pengertian di atas, firman Allah swt: [ 1 ]واالرض السماوات يع بد“Allah Pencipta langit dan bumi.”2. Bermakna letih dan lelah. Dikatakan: “abda’at an-naaqatu` “ (unta itu letih) jika berhenti dalam perjalanan karena dari kurus atau sakit atau lelah. Kata abda’at berarti letih atau lesu. Makna ini kembali ke makna yang pertama, seakan-akan letih membuat unta itu berhenti dari kebiasaannya berjalan atau membuat sesuatu yang keluar dari kebiasaan]2[. Bid’ah adalah isim hay`ah ( nama bentuk ) dari al-Ibtida’ (penciptaan) yaitu segala sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya.

Bid’ah menurut istilah agamaUlama berbeda pendapat dalam membatasi makna bid’ah menurut istilah. Sebagian ulama dari mereka meluaskan dalam pembatasannya sehingga maksudnya dan apa yang terkandung dalam kata bid’ah menjadi meluas. Metode ini digunakan oleh beberapa ulama yang memiliki kedudukan keilmuan yang tinggi seperti:: Imam asy-Syafi’i, Ibn al- Atsir, Imam al-Ghozali, al-’Izz Ibn ‘Abd As-Salam, Al-qurofii dan an-Nawawi. Mereka berkata: “Semua yang dibuat setelah zaman Rasulullah Saw adalah bid’ah, baik itu bid’ah yang terpuji atau tercela.1. Imam asy-Syafi’i : Membagi bid’ah menjadi baik dan tidak baik, terpuji dan tercela, dan ini menurut Imam asy-Syafi’I meliputi semua yang dibuat setelah zaman Rasulullah Saw dan zaman Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin. Harmalah ibn Yahya berkata: “Saya mendengar Asy-Syafi’I Rahimullah berkata : “ Bid’ah itu ada dua : bid’ah mahmudah ( terpuji ) dan madzmumah (tercela ). Apa yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah mahmudah, dan yang bertentangan dengan Sunnah adalah bid’ah madzmumah.”]3[

2. Ibnul Atsir juga berkata: ” Bid’ah itu ada dua: bid’ah Huda ( petunjuk ) dan Bid’ah Dholalah ( kesesatan ). Bid’ah Huda adalah segala yang disunatkan dan dianjurkan oleh Allah swt atau Rasul-Nya Saw. Sedangkan bid’ah dholalah adalah segala yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah swt dan Rasul-Nya Saw dan sesuatu yang belum ada contohnya.”

Page 2: Artikel Bid’Ah

3.Imam Al-Ghozali berkata: “Apa yang dikatakan dibuat setelah masa Rasulullah Saw dan tidak semua yang dibuat setelah masa Rasulullah saw dilarang. Namun yang dilarang adalah bid’ah bertentangan dengan sunnah yang telah tetap, dan mengangkat perkara dari syara’ sedangkan perkara itu telah tetap. Bahkan membuat bid’ah itu wajib pada beberapa keadaan jika sebab-sebabnya berubah.]4[

4. Al-‘Izz bin ‘Abdussalam : Bid’ah adalah suatu fi’il (perbuatan ) yang tidak ada pada masa Rasulullah Saw.]5[

Berdasarkan semua pendapat di atas, maka dapat dibuat satu definisi sebagai berikut bid’ah adalah tambahan dalam agama, atau pengurangan darinya yang keduanya terjadi setelah zaman Nabi saw tanpa adanya izin dari syara’ baik berupa ucapan, perbuatan, penjelasasan maupun isyarat bagi orang yang bukan mujtahid.Pengertian ini mencakup seluruh perkara-perkara agama dan tidak mencakup adat kebiasaan karena bid’ah hanya terjadi dalam masalah agama. Dalilnya adalah:Sayyidah ‘Aisyah Ummul Mu`minin dari Rasululullah Saw berkata: “Barang siapa yang membuat-buat di dalam perkara kami ini (agama) yang bagian darinya maka dia ditolak.” Dalam lafadz lain : “Barang siapa berbuat suatu perbuatan yang bukan atas perkara kami maka dia ditolak.”]6[Sebagian ulama ada yang menyempitkan maksud bid’ah dan gambaran-gambaran serta hukum-hukum yang termasuk dibawahnya. Mereka berkata: “Bid’ah hanya ditujukan pada sesuatu yang berlawanan dengan sunnah.Sudut pandang ini dibagi menjadi dua bagian:Bagian Pertama : Bid’ah hanya berkaitan dengan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah dimana bid’ah ada tanpa contoh terdahulu dalam masalah syara’ baik dijadikan agama atau tidak. Di antara mereka yang menggunakaan sudut pandang ini adalah:1.Ibnu Rajab Al-Hanbaly : Beliau berkata: “Bid’ah adalah sesuatu yang dibuat yang tidak ada dasarnya dalam syari’at, sedangkan jika memiliki dalil dari syar’i maka bukan bid’ah dalam agama.2. Ibnu Hajar Al-‘Asqolany berkata: “Bid’ah itu asalnya apa yang terjadi tanpa ada contoh terdahulu dan dilekatkan pada syara’ ( agama ) dan bertentangan dengan sunnah dan menjadi ( bid’ah ) tercela.”3.Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: “Bid’ah itu adalah semua yang dibuat yang bertentangan dengan perintah agama dan dalilnya khusus dan umum.”4.Al-Imam Az-Zarkasy berkata: “Bid’ah dalam agama dibuat untuk peristiwa yang tercela.”

Bagian Kedua, seperti:1. Imam As-Syathiby : mendefinisikan

Page 3: Artikel Bid’Ah

bid’ah menjadi dua definisi :Pertama: Bid’ah adalah metode dalam agama yang dibuat menyerupai syar’iah yang bertujuan agar mengikuti metode tersebut secara berlebihan dalam beribadah kepada Allah swt, dan pengertian ini dikhususkan dalam hal ibadah saja. Kedua : Definisi yang kedua memperhatikan masuknya adat disamping ibadah. Jadi bid’ah adalah metode dalam agama yang diciptakan menyerupai syari’ah dengan tujuan agar mengikuti metode tersebut sesuai dengan metode agama.]7[Dan Imam As-Syathibi mengatakan dalam definisinya tentang bid’ah : “metode dalam agama” bukan metode dalam dunia seperti membuat industri dan membangun negeri dan mengatakan mukhtari’ah ( yang diciptakan ) atau yang tidak memiliki asal dalam agama dan tidak berhubungan dengannya, dan Yuqshodu Bissuluk ‘alaiha ( yang bertujuan agar mengikutinya ), agar adat keluar dari definisi bid’ah.Al-Ikhtiro’ ( penemuan ) : memberikan sesuatu dengan yang baru, suatu hal yang tidak diketahui oleh masyarakat. Para Ilmuwan Barat yang sampai pada pembuatan pesawat, kereta api dan radio, mereka adalah pencipta, karena mereka datang dengan apa yang tidak diketahui oleh orang-orang sebelumnya. Penemuan mereka dalam bidang ini baik.Sedangkan mereka yang membuat-buat perbuatan atau perkatakan, lalu mereka menghiasnya untuk masyarakat sampai mereka mengira itu adalah bagian dari agama, mereka itulah Al-Mubtadi’un ( pembuat-buat ) yang datang dari diri mereka sendiri dan bukan dari apa yang diturunkan Allah swt dan tidak juga apa yang diajarkan oleh Nabi-Nya saw.Dalam hal itu mereka menggunakan dalil-dalil dari Hadist dan Atsar. Dari Sunnah :Dari Al-‘Urbadh bin Sariyah Radiallahu ‘anhu berkata: “Suatu hari Rasulullah Saw sholat bersama kami. Kemudian beliau saw menghadap dan menasihati kami dengan suatu nasehat yang sangat indah hingga air mata kami mengalir dan hati kami bergetar. Lalu seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan nasihat ini adalah nasehat terakhirmu maka apa yang kau amanahkan untuk kami?” maka Rasulullah saw berkata: “Aku mewasiatkan pada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at. Jika seorang budak dari bangsa Habsy memerintah kalian, maka orang yang hidup di antara kalian akan melihat banyak perselisihan, maka berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin. Peganglah dengan kuat dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru dan setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”]8[Rasulullah Saw bersabda: “Enam golongan yang aku dan Allah swt laknat dan setiap nabi akan diterima doanya. Orang yang menambah kitab Allah, orang yang mendustakan ketetapan

Page 4: Artikel Bid’Ah

Allah, diktator yang memuliakan orang yang dihinakan oleh Allah swt dan menghinakan orang yang dimuliakan oleh Allah swt, orang yang menghalalkan apa yang telah Allah swt haramkan, memberikan keturunanku apa yang telah Allah swt haramkan dan orang yang meninggalkan sunnahku.”]9[

Dan dari Sunnah :

]A[ Dari Hafsh bin ‘Umar dari Bilal, bahwa Bilal mendatangi Rasulullah saw sambil beradzan untuk sholat subuh dan Bilal menemukan Rasulullah saw masih tertidur. Lalu Bilal berkata: “Sholat itu lebih baik dari tidur”, sebanyak dua kali. Lalu Rasulullah saw berkata : “Betapa indahnya kalimat ini. Jadikan itu dalam azdanmu.”]10[

]B[ Diriwayatkan dari Rofi’ Az-Zarroqi, dia berkata : “ Suatu hari kami sholat dibelakang Nabi Saw. Ketika Rasulullah saw mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau saw berkata: الله سمع

حمده لمن , Lalu lelaki dibelakang Rasulullah saw menjawab : ربنافيه مباركا طيبا كثيرا حمدا الحمد ولك Setelah selesai, Rasulullah saw

bertanya: “Siapa yang tadi berkata?” Lelaki itu menjawab: “Saya “, lalu Rasulullah saw berkata: “ Saya melihat sebanyak tiga puluh-an malaikat berlomba agar bisa paling awal menulisnya.”]11[

]C[ Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’anul Karim, yang mana belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw.]12[

]D[ ‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk mengerjakan Sholat Tarawih dan ‘Umar berkata mengenai sholat tarawih “ Alangkah bagusnya bid’ah ini.”]13[

Kedua : Pembagian Bid’ahUlama membagi bid’ah menjadi beberapa bagian dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Ada yang membaginya kepada haqiqiyah ( sebenar-benarnya ) dan idhofiyah ( tambahan ). Ada yang membaginya kepada wajib, haram, mandub ( sunnah ), makruh dan mubah. Ada juga yang membaginya menjadi ‘amaliyah ( perbuatan ), i’tiqadiyah ( akidah ) dan qauliyah ( perkataan ). Ada yang membaginya kepada tarkiyah ( yang ditinggalkan ) dan fi’liyah ( yang dikerjakan ). Ada yang membaginya kepada ‘Ibadiyah ( ibadah ) dan ‘Adiyah ( adat-kebiasaan ) dan ada yang membaginya berdasarkan waktu atau tempat seperti bid’ah Ramadhaniyah ( bid’ah pada bulan Ramadhan ) dan bid’ah Masjidil Haram dan lain sebagainya.

Page 5: Artikel Bid’Ah

Pembagian Bid’ah kepada Haqiqiyah dan IdhofiyahAs-Syathibi membagi Bid’ah menjadi Haqiqiyah dan Idhofiyah.]14[1. Bid’ah haqiqiyah adalah bid’ah yang tidak mempunyai dalil syar’i baik dari al-Quran, hadits Nabi, ijma’ ulama, dalil yang biasa digunakan oleh ulama, tidak secara global atau secara terperinci. Seperti: mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dengan bersandar pada kemiripan yang lemah seperti berinovasi dalam ibadah yang telah ditetapkan Allah swt seperti shalat zhuhur dengan dua ruku’ dalam satu raka’ah atau contoh lainnya.2. Bid’ah idhofiyah; memiliki dua cacat. Pertama: memiliki dalil-dalil yang berhubungan dengannya dan dari segi ini tidak termasuk bid’ah. Yang kedua: tidak mempunyai dalil seperti pada bid’ah haqiqiyah. Dari salah satu sisi, bid’ah idhofiyah ini sunnah karena bersandar pada dalil tapi dari sisi lain bid’ah karena bersandar pada penyerupaan, bukan pada dalil, atau tidak bersandar pada apapun juga. Dinamakan idhofiyah karena tidak lepas dari dua sisi sesuai atau bertentangan.Kemudian beliau berkata: “Perbedaan antara keduanya dari segi makna adalah bahwa dalilnya berdiri di atas keaslian, dari segi tata cara, keadaan atau perincian tidak ada, sedangkan semuanya amat diperlukan karena biasanya jatuh pada ibadah, bukan murni pada adat. Seperti berpuasa pada hari Jum’at disunatkan sedangkan syari’at tidak mengkhususkan satu waktu untuk berpuasa sunat kecuali larangan untuk tidak berpuasa pada dua hari raya atau menganjurkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura’. Jika hari Jum’at atau hari lainnya dikhususkan bukan dari segi yang telah dikhususkan syara’ serupa dengan dengan seorang pembuat hukum yang mengkhususkan beberapa hari saja. Maka pengkhususan dari mukallaf termasuk bid’ah karena dia membuat syari’at tanpa sndaran. Contoh lainnya seseorang mengkhususkan hari tertentu untuk sholat, mengkhususkan berzikir dengan kalimat Laa ilaaha illallaah pada waktu ashar di hari Jum’at secara berjama’ah sebanyak seribu kali dan mengkhususkan qiyamullail pada beberapa malam saja. Pengkhususan ini bida’h, tetapi ada yang melihatnya sebagai bid’ah yang bisa diterima.

Pembagian bid’ah kepada bid’ah wajib, mandub, haram, makruh dan mubahImam an-Nawawi dalam syarah Muslim berkata: “Ulama berkata: “Bid’ah itu ada lima bagian: 1. wajib, 2. mandub, 3. haram, 4. makruh dan 5, haram. Bid’ah yang wajib seperti mengajarkan dalil-dalil mutakallimin untuk menolak paham atheis. Bid’ah yang mandub seperti mengarang kitab keilmuan dan membangun sekolah. Bid’ah

Page 6: Artikel Bid’Ah

yang mubah seperti berkreasi dalam membuat makanan. Bid’ah yang haram dan makruh sudah cukup jelas.Pembagian bid’ah kepada ‘amaliyah dan i’tiqadiyyah1. Bid’ah ‘amaliyyah; terjadi pada aktivitas anggota tubuh seperti bid’ah-bid’ah dalam shalat, puasa dan sebagainya.2. Bid’ah i’tiqadiyyah; terjadi pada masalah akidah seperti mujassimah, qadariyah, wihdatul wujud atau seorang syekh bertindak sebagai wakil Allah swt di alam ini dan lain sebagainya.

Ketiga: Sebab-sebab munculnya bid’ah dan penyebarannyaSebab-sebab munculnya bid’ahSebab-sebab munculnya bid’ah banyak sekali. Namun dapat kita kembalikan pada dua sebab pokok, yaitu:1. Penambahan dalam agama2. Pengurangan dalam agamaPenambahan dalam agama terjadi dalam bidang akidah, syari’ah dan hakikat, demikian juga pengurangan terjadi pada semua bidang tersebut. Dua sebab pokok ini memiliki cabang-cabang, antara lain:1. Berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu dan ucapan ini diterima atau karena bodoh dalam masalah fatwa dan pengajaran. Ini adalah hasil dari kebodohan yang memiliki banyak bentuk. Antara lain:a. Bodoh terhadap al-Quranb. Bodoh terhadap as-Sunnahc. Bodoh terhadap perkataan para sahabat dan tabi’ind. Bodoh terdahap perkataan para ulama dan orang-orang shalih dari ahli sunnah wal jama’ahe. Bodoh terhadap gaya bahasa arab dan kebodohan lain yang membawa pada munculnya bid’ah dalam agama.2. Mengikuti ayat-ayat mustasyabihat3. Mengikuti hawa nafsu4. Tunduk pada orang yang tidak ma’shum (bukan Nabi saw) dan mengambil metode yang tidak diakui oleh syari’ah untuk menetapkan hukum.

Sebab-sebab tersebarnya bid’ah1. Orang ‘alim mengerjakan bid’ah dan diikuti oleh orang awam karena mereka yakin bahwa dia hanya melakukan sesuatu yang benar.2. Ulama berdiam diri untuk menjelaskan munculnya bid’ah sehingga orang awam menganggap diamnya itu sebagai satu persetujuan.3. Para penguasa mengadopsi bid’ah dan menyebarkannya karena hawa nafsu mereka menyetujuinya atau mereka diam dan tidak mengingkarinya.4. Tersebarnya bid’ah dan berubah menjadi adat membuat bid’ah sulit dihapus dan sulit berpaling darinya kecuali dengan upaya yang sangat keras.5. Bid’ah cocok dengan hawa nafsu dan naluri manusia.]15[

Keempat: bid’ah dalam tasawufBid’ah terbagi kepada 3 macam:1. Bid’ah dalam akidah, seperti munculnya kelompok-kelompok yang sesat dan menyesatkan dalam masyarakat

Page 7: Artikel Bid’Ah

Islam seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan mu’tazilah.2. Bid’ah dalam syari’at, yaitu dari segi halal dan haram dimana menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.3. Bid’ah dalam tasawuf (hakikat). Bid’ah yang dibicarakan dalam pasal ini adalah bid’ah dalam tasawuf. Banyak ulama yang menaruh perhatian besar kepada bid’ah yang dibuat oleh orang-oang yang mengaku sufi. Di antara mereka adalah: Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin dan al-Kasyf fii ghuruur al-khalq ajma’in. Sebelumnya Abu an-Nashr as-Siraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’ menyebutkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sufi. Di antara ulama yang menulis tentang bid’ah dalam tasawuf adalah Imam Ibn al-Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis yang agak berlebihan dalam kritiknya terhadap beberapa tema. Di antara ulama kontemporer yang mengangkat masalah ini adalah Dr. Muhammad Ahmad al-Baltaji dalam kitabnya Allahu Tauhiid dan Laisa Wihdah serta Dr. Thal’at Ghanam dalam kitabnya Adhwaa’ ‘ala at-Tashawwuf.Berikut ini adalah beberapa contoh bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sufi baik dalam masalah amal atau dalam masalah akidah]16[:1. Meninggalkan nikah untuk beribadah. Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa beberapa sufi terdahulu meninggalkan nikah karena sibuk beribadah dan mereka melihat nikah akan menyibukkan mereka dari berbuat taat kepada Allah ‘azza wa jalla]17[. Tidak diragukan lagi, bahwa ini dilakukan oleh sufi bodoh saja, karena para ulama sufi berpegang pada sunnah Rasul saw. Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata]18[: “Siapa yang tidak hafal al-Quran dan tidak menulis hadits, maka tidak boleh diikuti dalam masalah agama karena ilmu kami bersandar pada al-Quran dan sunnah.” Bid’ah-bid’ah yang muncul di kalangan sufi karena kebodohan mereka. Hal ini bertentangan dengan sunnah Nabi saw yang berkata: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa pada Allah swt. Tetapi aku tidur dan menikahi wanita, maka siapa yang membenci sunnahku maka tidak termasuk dari umatku.”]19[2. Tidak memakan makanan yang lezat-lezat seperti daging, minum air yang segar dan dingin serta tidak tidur.]20[ Tidak dapat disangkal lagi bahwa perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah saw hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh saja. Rasulullah saw memakan daging dan makanan lezat lainnya serta meminum air dingin dan beliau saw juga tidur.3. Tidak sibuk mencari ilmu. Ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah yang secara tegas memerintahkan untuk mencari ilmu dan benganjurkan untuk mencarinya. Terdapat banyak al-Quran dan hadits Nabi saw dalam masalah ilmu dan

Page 8: Artikel Bid’Ah

mencarinya dan hanya orang-orang bodoh yang tidak sibuk mencari ilmu.4. Membawa orang awam untuk memikirkan zat Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat-Nya dan ini membuat ragu. Memikirkan zat Allah itu dilarang berdasarkan sabda Nabi saw: “Pikirkanlah apa saja dan jangan memikirkan zat Allah karena antara langit yang ketujuh dan kursi Allah swt terdapat tujuh ribu cahaya dan Allah di atas semua itu.”]21[5. Meninggalkan usaha karena tawakal dan menyangka bahwa tawakal itu menafikan usaha. Perkara ini terjadi pada sebagian sufi dan Imam al-Ghazali menolak pendapat mereka. Beliau berkata: “Efek tawakal muncul dalam gerak hamba dan usahanya dalam meraih tujuan-tujuannya dengan ilmunya. Seorang hamba berusaha dengan ikhtiarnya, bisa karena mencari sesuatu yang bermanfaat yang tidak dimilikinya seperti usaha atau untuk menjaga sesuatu yang bermanfaat yang telah dimiliki seperti menabung atau menolak bahaya seperti perampok, maling dan binatang buas atau untuk menghilangkan bahaya yng telah ada seperti berobat dari sakit. Semua itu tidak menafikan tawakal.]22[6. Lebih mengutamakan wilayah (kewalian) dari nubuwwah (kenabian). Abu Nashr as-Siraj ath-Thusi menyebutkan bahwa kelompok sufi terjebak dalam kesalahan karena kisah Musa dan Khidir ‘alaihimassalaam dan akal mereka memikirkannya. Allah swt berfirman: لدنا من وعلمناه عندنا من رحمة ءاتيناه عبادنا من عبدا فوجدا

)65: الكهف (علما “dan mereka berdua menjumpai seorang dari hamba-hamba Kami yng telah Kami beri rahmat dan telah Kami ajarkan ilmu dari sisi Kami” (Q.S. Al-Kahfi: 65). Lalu Allahy swt berkata tentang nabi Musa as dengan pengkhususannya dalam berbicara pada Allah swt, kearsulan dan kitab untuknya. شيء لكل وتفصيال موعظة شيء كل من األلواح فى

)145: األعراف( “Dan telah kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagi pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu.” (Q.S. Al-A’raf: 145). Nabi Khidir as berkata kepada Nabi Musa as: :الكهف (صبرا معي تستطيع لن انك قال 67( “Khidir berkata: “Sesungguhnya kamu tidak akan bisa

sabar bersamaku.” (Q.S.Al-Kahfi:67). Lalu Musa as berkata pada Khidir as: :الكهف (عسرا أمري من ترهقني وال نسيت بما التؤاخذني 73( “Musa berkata: Jangan engkau hukum aku karena

kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.” (Q.S.Al-Kahfi: 73) sampai akhir cerita. Kelompok sesat ini menyangka bahwa ini adalah satu kekurangan dalam kenabian Musa as dan kelebihan Khidir as daripada Musa as dalam keutamaan dan hal ini membuat mereka mengutamakan para wali dari para Nabi as.]23[7. Pendapat mereka tentang suci dan jernih secara sempurna dan langgeng dan mereka selalu dalam keadaan itu. Mereka

Page 9: Artikel Bid’Ah

menyangka bahwa hamba akan bersih dari semua kotoran dan penyakit.]24[Dalam hal ini mereka salah karena tidak pernah diserukan oleh Rasulullah saw, para sahabatnya yang mulia, para tabi’in dan para ulama yang memilii pengetahuan yang benar tentang Islam. Seorang hamba tidak bisa terus menerus bersih dari semua penyakit. Jika satu waktu dia suci, maka tetap tidak luput dari penyakit. Kesucian berada dalam hati hamba, suci dari rasa sombong, dengki, syirik dan tuduhan-tuduhan, sedangkan shafa’ tidak menanggung penykit dan suci dari semua sifat kemanusiaan secara terus menerus tanpa berubah. Itu bukan sifat makhluk, karena Allah swt saja yang tidak terkena penyakit dan tidak pernah berubah.]25[8. Pendapat yang mengatakan adanya paksaan (ijbar) dalam bergerak. Mereka mengatakan bahwa mereka dipaksa dalam gerakan mereka sehingga diri mereka jatuh dalam keburukan saat melampaui batas-batas Allah dan berselisih dengan orang. Di antara mereka ada yang terbawa pada permusuhan dan kesia-siaan dan diri mereka sangat mengharapkan bahwa hal itu dimaafkan karena mereka terpaksa melakukannya.]26[9. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah swt memilih beberapa tubuh untuk mengisinya dengan makna-makna Rububiyyah dan menghilangkan makna-makna kemanusiaan.]27[10. Pendapat yang mengatakan bahwa saat mereka fana’ dari sifat-sfat mereka, mereka akan masuk dalam sifat-sifat Allah swt.]28[ Dua pendapat di atas membawa pada paham huluul (emanasi) dan hulul membawa kepada kekafiran.11. Pendapat mereka tentang intiqal, ittihad, huluul dan ittishaf. Semua kata atau istilah yang beredar di kalangan sufi ini dipahami oleh sebagian orang bahwa mereka ingin segera menjelaskan kata-kata ini kepada orang awam. Jika ini motifnya, maka secara gamblang akan membawa pada kekafiran. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa di antara kebiasaan kaum sufi adalah menggunakan kata-kata dengan makna luas, melamapaui dan menggunakan isti’arah untuk membaguskan ucapan dan ini merupakan ciri ucapan mereka. ]29[12. Celotehan. Imam al-Ghazali membagi celotehan menjadi dua bagian. Yang pertama: Pengakuan-pengakuan yang panjang yang muncul dalam cinta pada Allah swt dan tidak memerlukan perbuatn zahir sehingga sekelompok orang mengaku telah bersatu dengan Allah swt, hijab telah terangkat, melihat Allah swt dengan mata dan berbicara dengan Allah swt lewat kata-kata.Yang kedua: Termasuk dalam celotehan adalah kata-kata yang tidak dapat dipahami yang memiliki penampilan yang jelas dan di dalamnya ada kata-kata yang luar biasa dan di belakangnya tidak ada gunanya. Hal itu bisa dengan tidak dipahami dari penuturnya

Page 10: Artikel Bid’Ah

bahkan muncul dari kesemrawutan akalnya dan kekacauan dalam imaginasinya karena kurangnya pengetahuan akan makna pembicaraan yang mengetuk pendengarannya dn inilah yang paling banyak, atau dengan kata-kata yang dipahaminya tetapi dia tidak bisa membuat orang lain paham. Dia menyebutnya dengan ungkapan yang menunjukkan pada dhamirnya karena kurang mempraktekkan ilmu dan tidak mempelajari cara membuat kalimat dengan kata-kata yang padat. Pembicaraan seperti ini tidak ada manfaatnya karena akan mengacaukan hati dan akal serta membuat otak menjadi bingung atau membawa pada pengertian yang salah dan semua dipahami berdasarkan tujuan hawa nafsu dan tabiatnya.]30[13. Klaim bahwa mereka memiliki ilmu kasyaf, dapat melihat Allah swt, melampaui maqam-maqam, washl (sampai), selalu berada dalam pandangan syuhud dan sampai pada kedekatan dengan Allah swt. Sampai pada Allah swt (al-wushul ila Allah) hanya diketahui dengan lafaz dan nama.]31[14. Memberi Allah swt nama yang tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, seperti: as-Sakhi (Pemurah), Abu al-Makaarim]32[ (Penderma) dan nama lain yang mereka buat.

Kesimpulan]33[1. Yang dinamakan bid’ah hanyalah perkara amal, peristiwa baru yang tidak terjadi pada masa Nabi saw dan para sahabatnya karena inilah makna kata “ahdatsa”. Adapun meninggalkan satu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya tidak dinamakan bid’ah, tetapi dinamakan pelanggaran, baik sampai pada derajat pengharaman atau sebatas makruh. Tetapi, jika meninggalkan suatu perkara agama, maka menjadi bid’ah seperti orang yang mengharamkan dirinya memakan daging, bukan karena alasan alami, tetapi karena keyakinan dan meninggalkan sesuatu yang halal. Maka pengharaman memakan daging, dari sisi ini adalah bid’ah. Adapun zuhud, bersusah payah dan mementingkan akhirat tidak mengapa dilakukan.2. Bid’ah agama terjadi pada masalah-masalah pokok yang telah disepakati. Adapun dalam masalah furu’ (cabang) yang merupakan tempat ijtihad dan di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama, maka tidak layak disebut bid’ah. Para ulama berkata: “Pekerjaan yang baru jika bersandar pada ssebuah hadits, walaupun hadits itu dha’if, maka keluar dari konteks bid’ah.3. Sesuatu yang baru yang baik untuk individu atau masyarakat, tidak layak untuk segera kita cap sebagai bid’ah dan menghukumnya sebagai sebuah kesesatan yang akan membawa ke api neraka. Tetapi, kita harus melihat terlebih dahulu kepada tidak adanya nash yang melarangnya dan kepada tidak adanya bahaya di dalamnya,

Page 11: Artikel Bid’Ah

lalu menghukumnya kepada hukum asal, yaitu halal dan dengan kesepakatan bahwa jika terdapat kebaikan, maka itu adalah syari’at Allah. Jika nama dari sesuatu yang baru itu menyerupai nama yang bersifat agamis, maka hendaklah kita melihat pada isi, bukan pada bungkus yang kadang masuk dalam tasybih yang bermakna majazi, bukan hakiki.]1[ Q.S. Al-Baqarah: 117]2[ Lihat Lisaan al-‘arab, an-Nihaayah fii ghariib al-hadits wa al-atsar 1/106.]3[ Al-bid’ah wa mauqif al-islaam minhaa, Dr. ‘Izzat ‘Athiyyah, hal. 195 dan lihat hilyah al-auliyaa’ 9/113.]4[ Qawaa’id al-hukkam jilid 2 hal 204]5[ Ihayaa’ uluumuddin, al-Ghazali, jilid 2, hal. 2]6[ H.R.Muslim]7[ Al-I’tisham, Asy-syathibi, hal. 73]8[ H.R. Abu Dawud dan lainnya]9[ H.R. At-Turmudzi, al-?Hakim dan dia menshahihkannya]10[ H.R. Ath-Thabrani]11[ H.R. Bukhari]12[ H.R.Bukhari]13[H.R.Bukhari]14[ Al-I’tisham, asy-Syathibi, jilid 2, hal 13]15[ Lihat al-bid’ah tahdiiduhaa wa mauqif al-islaam minhaa, karangan Dr. Ali ‘Izzat ‘Athiyyah hal 493-497]16[ Lihat: naqd al-‘ilm wa-al-‘ulama’ atau talbiis ibliis karangan Imam Ibnu al-Jauzi, lhyaa’ uluumuddin dan al-maqshad al-asna karangan al-Ghazali dan al-luma’ karangan Abu Nashr as-siraj ath-thusi]17[naqd al-‘ilm wa-al-‘ulama’ , hal 285]18[ Ar-risaalah al-qusyairiyyah, jilid 1, hal 134]19[ H.R.Bukhari dan Muslim]20[ naqd al-‘ilm wa-al-‘ulama’ atau talbiis ibliis karangan Imam Ibnu al-Jauzi, hal 203]21[ Al-jaami’ ash-shagiir, karangan Imam as-Suyuthi, jilid 1, hal 132]22[ Ihyaa’ uluumuddin, karangan al-Ghazali jilid 4 hal 258-257]23[ al-luma’ karangan Abu Nashr as-siraj ath-thusi, hal 535]24[ Ibid, hal 547]25[ ibid]26[ Ibid, hal. 549]27[ Al-Luma’, hal 541]28[ Ibid, hal 552]29[ Al-maqshad al-asna, karangan imam al-Ghazali, hal 245 dan 252]30[ Ibid, jilid 1, hal 36,37]31[ Al-kasyf wa at-tabyiin fii ghuruur al-khalq ajma’in dalam majmu’ rasaail Imam al-Ghazali hal 181, 182]32[ Al-ibda’ fii madhaar al-ibtida’ karangan Syekh Ali Mahfuzh, hal 313]33[ Haadzaa bayyan li an-naas, lajnah dari al-azhar, jilid 1.

Page 12: Artikel Bid’Ah

1.   Bid‘ah Secara Etimologi (Bahasa) Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u, artinya sesuatu yang menjadi awal permulaan. Dalam al-Qur-an disebutkan: س�ل� � م�ن� الر� �د�عا �نت� ب ق�ل� م�ا ك “Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al-Ahqaaf: 9) Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam) bukanlah Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang telah diutus pula. Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang artinya Fulan yang pertama kali melakukan perkara ini, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a, maupun tabadda‘a bermakna melakukan perbuatan bid‘ah. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala : �د�ع�وه�ا �ت �ة� اب �ي �ان ه�ب و�ر�  ‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS. Al-Hadiid: 27) Ru’bah berkata dalam sya‘irnya:                andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada Allah       maka tidaklah benar engkau ada-adakan perbuatan bid‘ah 

Page 13: Artikel Bid’Ah

Lafazh badda‘ahu berarti menjatuhkan vonis bid‘ah atas seseorang. Adapun Abda’ta syai-a, kalimat ini berarti kamu membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Al-Badii’ adalah salah satu asma (nama) Allah, yang bermakna Yang menciptakan dan mengadakan sesuatu dari ketiadaannya. Dialah pencipta pertama sebelum segala sesuatu ada. Boleh juga dimaknai dengan mubdi’ (yang mengadakan); atau, makna asal dari kata bad‘al khalqa artinya yang memulai penciptaan makhluk. Allah Ta'ala adalah Al-Badii’ (Yang Maha Mencipta), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: 

ر�ض�� م�او�ات� و�األ �د�يع� الس� ب

  ‘Allah pencipta langit dan bumi.’ (QS. Al-Baqarah: 117) Yakni, yang menciptakan dan yang mengadakan keduanya dari ketiadaan. Dengan demikian, Allah adalah Yang Maha Mencipta lagi Maha Mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Kata siqaa‘u badii‘un, artinya tempat air yang baru. Kalimat Abda‘atil ibilu berarti unta itu berlutut di tengah jalan karena lemah, sakit, atau letih. Abda‘at hiya, artinya dia (perempuan) letih dan lemah. Menurut satu pendapat, arti lafazh al-ibdaa’ adalah kelemahan yang disebabkan oleh kepincangan atau cacat. Terdapat pernyataan: ‘Ubdi‘a ubdi‘a bihi wa abda‘a,’ yang artinya hewan tunggangan seseorang keletihan atau mogok (tidak dapat berjalan lagi), sehingga menyebabkan orang itu tidak bisa melanjutkan perjalanan karena punggung tunggangannya lelah atau tiba-tiba mendekam, yakni berhenti. Dalam sebuah hadits disebutkan: �ي �ن �ي� ف�اح�م�ل �د�ع� ب �ب �ي أ �ن و�ل� الله�، إ س� �ا ر� : ي �ي� ف�ق�ال� �ب �ى الن �ت � أ ج�ال �ن� ر� أ  “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hewan tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ ]HR. Muslim dalam Shahiih-nya (III/1506, Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)[ 

Page 14: Artikel Bid’Ah

Maksudnya, perjalanan orang itu terputus karena hewan tunggangannya keletihan. Seolah-olah, ia menganggap mogoknya hewan tunggangan yang seharusnya terus berjalan itu sebagai sesuatu yang baru. Dengan kata lain, terjadinya sesuatu di luar dugaan atau ia mengalami sesuatu di luar kebiasaan.” ]Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur (VIII/6-8)[. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata bada‘a adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, secara umum. Ibdaa‘ul ibil, yang berarti keletihan dan kelesuan unta, juga merupakan sesuatu yang baru mengingat kebiasaan unta adalah terus-menerus berjalan. Dengan demikian, kata bid‘ah adalah kata benda turunan dari kata al-ibtida’, seperti halnya kata rif‘ah yang merupakan kata benda turunan dari kata al-irtifa’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya. [Lihat al-Bid‘ah karya Dr. Izzat Athiyyah (hlm. 157)]. 2.   Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i) Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini. Pendapat pertama:Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang tercela. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim. ]Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155) Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan dengan

Page 15: Artikel Bid’Ah

sunnah Nabi itulah yang tercela.” ]Lihat Hilyatul Auliyaa’ karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)[ Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah: “Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” ]Lihat Qawaa-idul Ahkaam (II/172)[.  Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang shalat Tarawih: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).” ]HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari ]IV/250[, Kitab “ash-Shalaatut Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (I/114), dengan redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”[ Pendapat kedua:Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang bertentangan dengan sunnah Nabi. Inilah pendapat asy-Syathibi ]Lihat al-I’tisham (I/37)[, Ibnu Hajar al-Asqalani ]Lihat Fat-hul Baari (XIII/253)[, Ibnu Hajar al-Haitami ]Lihat al-Fataawa al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)[, Ibnu Rajab al-Hanbali ]Lihat Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)[, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ]Lihat catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah (I/144-160), Dzail Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat (I/74-80), dan al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi ]Lihat al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)[. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah yang tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu pernah dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam maupun belum. Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang murtad dan kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi, mengeluarkan bangsa Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang semisalnya, maka

Page 16: Artikel Bid’Ah

semua itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.” ]Lihat Majmuu’ Fataawa (IV/107-108)[. Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut: “Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala.” Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah. Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke dalam bid‘ah, mereka berkata:“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.”  [Lihat al-I’tishaam (I/37)] 3.   Beberapa Dalil Pendapat Kedua a.     Dalil dari as-Sunnah1. Hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah  ia berkata: “Apabila

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak, hingga seolah-olah beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang. Beliau bersabda: ‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu, beliau bersabda: ‘(Antara) aku diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti kedua (tangan) ini,” seraya memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.’ Beliau meneruskan: ن�� �ع�د�: ف�إ م�ا ب

� أ�ه�ا �ات �م�و�ر� م�ح�د�ث ر� األ� �ه�د�ى ه�د�ى م�ح�م�د¦ و�ش� �ر� ال ي �اب� الله� و�خ� �ت �ث� ك �ح�د�ي �ر� ال ي خ�ªة� ل �د�ع�ة¦ ض�ال� �ل� ب Amma ba’du, sesungguhnya perkataan‘و�كyang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, dan perkara yang terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah adalah sesat.’ ]HR. Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi VI/153-154, Kitab “al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189, Kitab “ash-Shalaatul ‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17, muqaddimah)[.

2. Hadits riwayat al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada

Page 17: Artikel Bid’Ah

suatu hari, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam shalat mengimami kami. Setelah selesai, beliau menghadap ke arah kami dan menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hingga membuat air mata kami berlinang dan hati tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang akan engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau menjawab:

�م� �ك �ع�ش� م�ن �ه� م�ن� ي �ن ®ا ف�إ ي �ش� ب �د�ا ح� �ان� ع�ب �ن� ك م�ع� و�الط�اع�ة� و�إ �ق�و�ى الله� و�الس� �ت �م� ب �ك و�ص�ي� أ

�ن� �ي �م�ه�د�ي �ن� ال د�ي اش� �ف�اء� الر� ل �خ� �ة� ال ن �ي� و�س� �ت ن �س� �م� ب �ك �ي ا ف�ع�ل �ر� �ي �ث ف�ا ك �ال� ت ى اخ� �ر� ي �ع�د�ي� ف�س� بªد�ع�ة� �ة¦ ب �ل� م�ح�د�ث �ن� ك �م�و�ر� ف�إ �ات� األ� �م� و�م�ح�د�ث �اك �ي �و�اج�ذ� و�إ �الن �ه�ا ب �ي �ه�ا و�ع�ض�و�ا ع�ل �و�ا ب ك �م�س� ف�تªة� ل �د�ع�ة¦ ض�ال� �ل� ب و�ك‘Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka dari itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.’”] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi ]VII/438-442[), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)[. b.    Dalil dari atsar1. Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu

masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.” ]Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ibnu Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)[.

2. Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena

Page 18: Artikel Bid’Ah

sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela. ]Al-Haitsami berkata dalam kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”[. Pendapat yang kuat:Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau baik. Wallaahu a’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa kaidah ini, yaitu kaidah menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh, merupakan kaidah umum yang sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna atas pendapat yang bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan bid‘ah qabiihah (buruk). Mereka beralasan dengan ucapan ‘Umar: ‘Bid‘ah yang terbaik adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’” Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini (yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan: “Tidak semua bid‘ah itu sesat.” Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah: ‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah. Jika demikian, tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang penentang as-Sunnah.” Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah itu sesat,’ dengan mementahkan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan mengatakan bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih tepat disebut penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil. ]Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/582-588)[.

Page 19: Artikel Bid’Ah

 Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam syari’at (Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan pelaksanaan beliau atas shalat ini secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah, melainkan sunnah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam keempat, beliau bersabda:�ه�ا و�ا ع�ن �ع�ج�ز� �م� ف�ت �ك �ي �ف�ر�ض� ع�ل �ن� ت �ت� أ ي �ي� خ�ش� �ك�ن �م� و�ل �ك �ان �خ�ف� ع�ل�ي� م�ك �م� ي �ه� ل �ن ف�إ“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya.” ]HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari ]IV/251[, Kitab “ash-Shalaatut Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim ]I/524[, Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178)[. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka. Pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab, ia me-ngumpulkan kaum Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan diimami seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan ini—yakni berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan menerangi masjid—merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam bahasa Arab, perbuatan itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan sebelumnya) memang dinamai demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya bukanlah bid‘ah dalam syari‘at. Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu termasuk bagian amal shalih, seandainya tidak ada kekhawatiran akan diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat Islam.Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah wafat, sehingga tidak akan

Page 20: Artikel Bid’Ah

ada wahyu yang turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah. ]Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia Ubayy bin Ka’ab. Lihat al-Muwaththa’ (I/114)[. Mengenai perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas orang yang berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan menetapkan suatu hukum syari‘at dengan perkataan ‘Umar —yang notabene merupakan perkataan Sahabat—yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan berkata: “Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)!” Jika demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah? Padahal, orang-orang yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi! Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat Tarawih yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara bahasa (etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab, menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab (dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat lainnya di jazirah Arab.

Page 21: Artikel Bid’Ah

]Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)[.

Bid’ah Menurut Imam Syafi’i

24SEP

Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghuluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dhalalah) dalam terminologi syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Page 22: Artikel Bid’Ah

Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.Allah ta’ala berfirman :

�ا د�ين اإلس�الم� �م� �ك ل ض�يت� و�ر� �ي �ع�م�ت ن �م� �ك �ي ع�ل �م�م�ت� ت� و�أ �م� �ك د�ين �م� �ك ل �م�ل�ت� ك

� أ �و�م� �ي ال“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].

�ه� �ع�ث ب �ي· �ب ن م�ن� م�ا ق�ال� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� �ن� أ ع�ود¦ م�س� �ن� ب �ه� الل �د� ع�ب ع�ن��د�ون� �ق�ت و�ي �ه� �ت ن �س� ب �خ�ذ�ون� �أ ي ªص�ح�اب

� و�أ �ون� ح�و�ار�ي �ه� م�ت� أ م�ن� �ه� ل �ان� ك �ال� إ �ل�ي ق�ب م�ة¦

� أ ف�ي �ه� اللون� �ؤ�م�ر� ي ال� م�ا �ف�ع�ل�ون� و�ي �ف�ع�ل�ون� ي ال� م�ا �ون� �ق�ول ي ªل�وف خ� �ع�د�ه�م� ب م�ن� �خ�ل�ف� ت �ه�ا �ن إ �م� ث م�ر�ه�

� �أ باه�د�ه�م� ج� و�م�ن� ªم�ؤ�م�ن ف�ه�و� �ه� ان �ل�س� ب اه�د�ه�م� ج� و�م�ن� ªم�ؤ�م�ن ف�ه�و� �د�ه� �ي ب اه�د�ه�م� ج� ف�م�ن�

د�ل¦ خ�ر� �ة� ب ح� �يم�ان� اإل� م�ن� �ك� ذ�ل اء� و�ر� �س� �ي و�ل ªم�ؤ�م�ن ف�ه�و� �ه� �ب �ق�ل بDari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :

: ، ان� �ق�ر� ال �ه�ا ف�ي �ح� �ف�ت و�ي ، �م�ال� ال �ه�ا ف�ي �ر� �ث �ك ي �ا، �ن ف�ت �م� �ك ائ و�ر� م�ن� �ن� إ �و�م��ا ي �ل¦� ب ج� �ن� ب م�ع�اذ� ف�ق�ال� ، �ح�ر� و�ال �د� �ع�ب و�ال ، �ر� �ي �ب �ك و�ال �ر� و�الص�غ�ي �ة�، أ �م�ر� و�ال ج�ل� و�الر� �اف�ق�، �م�ن و�ال �م�ؤ�م�ن� ال �خ�ذ�ه� �أ ي �ى ت ح��ع�ي� : �ب �م�ت ب ه�م� م�ا ؟ ان� �ق�ر� ال ت�

� أ ق�ر� و�ق�د� �ي، �ع�و�ن �ب �ت ي � ال �اس� �لن ل م�ا �ق�و�ل� ي �ن� أ �ªل� ق�ائ �و�ش�ك� ف�ي�غ�ة� ! ي ز� �م� ك �ح�ذ��ر� و�أ ،�ªة� �ل ض�ال �د�ع� �ت اب م�ا �ن� ف�إ �د�ع�، �ت اب و�م�ا �م� �ك �ي ف�إ ه� �ر� غ�ي �ه�م� ل �د�ع� �ت �ب أ �ى ت ح�

�ق�و�ل� ي و�ق�د� ،� �م �ح�ك�ي ال ان� ل�س� ع�ل�ى �ة� �ل الض�ال �م�ة� �ل ك �ق�و�ل� ي ق�د� �ط�ان� ي الش� �ن� ف�إ ،� �م �ح�ك�ي ال�ح�ق� ال �م�ة� �ل ك �اف�ق� �م�ن .ال

Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata: ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka

Page 23: Artikel Bid’Ah

dari selain Al-Qur’an!’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].

: ( �د�ع�ة� ( �ب ال ف�ي �ه�اد� ت االج� م�ن� ªر� ي خ� �ة� ن الس� ف�ي �ق�ص�د� ال ق�ال� ع�و�د م�س� �ن� ب الله� �د� ع�ب ع�ن�

Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : “Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].

الغالي بين بينهما هو إال إله ال الذي والله سننكم ق�ال� الح�س�ن ع�ن �ار�ك المب ع�نمضى فيما الناس أقل كانوا السنة أهل فإن الله رحمكم عليها فاصبروا والجافيمع وال أترافهم في األتراف أهل مع يذهبوا لم الذين بقي فيما الناس أقل وهمالله شاء إن فكذلك ربهم لقوا حتى سنتهم على وصبروا بدعهم في البدع أهل

فكونوا

Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].

: – – Åال� إ ، ªع�ام �اس� الن ع�ل�ى �ى �ت أ م�ا ق�ال� �ه� ن� أ �ه�م�ا ع�ن الله� ض�ي� ر� �اس �ع�ب ال �ن� اب ع�ن�

�ن� ن الس� �م�و�ت� و�ت �د�ع� �ب ال �ا ي �ح� ت �ى ت ح� �ة�، ن س� �ه� ف�ي �و�ا م�ات� و�أ ، �د�ع�ة� ب �ه� ف�ي �و�ا د�ث �ح� .أ

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-

Page 24: Artikel Bid’Ah

buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].

Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anha:

ف�ق�د� �ه�، �ي ع�ل الله� ل� �ز� �ن أ م�م�ا ��ا �ئ ي ش� �م� �ت ك �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى م�ح�م�د��ا �ن� أ ع�م� ز� و�م�ن��م� : ( ل �ن� و�إ �ك� ب ر� م�ن� �ك� �ي �ل إ �نز�ل� أ م�ا �غ� �ل ب و�ل� س� الر� �ه�ا ي

� أ �ا ي �ق�و�ل� ي والله� �ة��، ي �ف�ر� ال �ه� �ي ع�ل �ع�ظ�م� أ( �ه �ت ال ر�س� �غ�ت� �ل ب ف�م�ا �ف�ع�ل� ت

“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].

Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma:

�ة�� ن ح�س� �اس� الن آه�ا ر� �ن� و�إ �ªة� �ل ض�ال �د�ع�ة¦� ب �ل� ك

”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].

Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.

Page 25: Artikel Bid’Ah

رسول على والسالم لله الحمد فقال عمر بن جنب إلى عطس رجال أن نافع عنعلمنا هكذا وليس الله رسول على والسالم لله الحمد أقول وأنا عمر بن قال الله

حال كل على لله الحمد نقول أن علمنا وسلم عليه الله صلى الله رسول

Dari Nafi’: Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan: “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].

Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan:

أن : “ زعم فقد ، حسنة يراها بدعة اإلسالم في ابتدع من يقول مالكا سمعت {: - لكم – أكملت اليوم يقول الله ألن ، الرسالة خان وسلم عليه الله صلى محمدا

دينا{ اليوم يكون فال دينا يومئذ يكن لم فما ، ”دينكم

“Aku mendengar Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].

Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :

Page 26: Artikel Bid’Ah

ع� ر� ش� ف�ق�د� ن� �ح�س� ت اس� م�ن

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas:

الشرع غير شرع�ا نفسه جهة من ينصب أنه معناه

“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].

Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan:

ªتلذ�ن االستحسان� �م�ا �ن إ

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).

Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :

الشرائع� : من عنه� �سأل� ي وما الوقائع من عليه �ر�د� ي فيما العالم على فالواجبس�ل، الم�ر� الصادق Åه نبي عن صح� وما ، ل� المنز� الله� كتاب� عليه� دل� ما إلى الرجوع�

فيه أذ�ن� ذلك؛ وافق فما األول، الصدر م�ن بعد�هم وم�ن أصحابه� عليه كان ومافإن� ؛ �ح�س�ن� يست وال �ع�، �ب وات آم�ن� قد بذلك فيكون ، ج�ر� وز� عنه نهى خالفه؛ وما ، م�ر�

� وأ( ع�( ر� ش� فقد استحسن م�ن .

Page 27: Artikel Bid’Ah

“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].

Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?

Harmalah bin Yahya meriwayatkan :

محمود – – : ( : بدعة بدعتان البدعة يقول الله رحمه الشافعي اإلمام سمعتمذموم ) فهو السنة خالف وما ، محمود فهو السنة وافق فما ، مذمومة وبدعة

”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].

Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417]

Definisi Bid’ah Menurut UlamaPara ulama memberikan beberapa definisi bid’ah, redaksinya berbeda-beda, namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.

3. Ibnu Taimiyah: bid’ah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah, namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan.

4. Imam Syathibi: bid’ah adalah satu jalan dalam agama yang

Page 28: Artikel Bid’Ah

diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.

5. Ibnu Rajab: bid’ah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat, maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bid’ah secara bahasa.

Imam as-Suyuthi: bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.