ANTIINFLAMASI
-
Upload
nana-kembangkempis -
Category
Documents
-
view
139 -
download
5
Transcript of ANTIINFLAMASI
ANTI INFLAMASI
I. TUJUAN
Mempelajari daya antiinflamasi obat pada binatang dengan radang buatan.
II. DASAR TEORI
Inflamasi merupakan reaksi lokal terhadap cedera yang dilakukan oleh mikrosirkular.
Inflamasi dipandang sebagai respon protektif yang sangat diperlukan dimana tubuh
berupaya mengembalikan ke keadaan sebelum cedera atau untuk memperbaiki diri
sendiri sesudah cedera. Cedera paling lazim disebabkan oleh infeksi bakteri, panas atau
dingin berlebn, trauma, zat kimia iritan, dan reaksi antigen atau antibodi. Mikrosirkulasi
yang dimaksud adalah artiriola, venula, kapiler, dan pembuluh limfa. Fenomena
inflamasi meliputi kerusakan pada mikrovaskular, meningkatkan permeabilitas kapiler,
dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Ketika inflamasi berlangsung terjadi reaksi
vaskular dimana cairan elemen-elemen darah, sel darah putih leukosit dan medoiator
kimiawi berkumpul pada tempat terjadinya cedera atau infeksi. Gejala proses inflamasi
yang sudah dikenal adalah panas, kemerahan, pembengkakan, nyeri, dan fungsi
terganggu (Wilmana, 1987).
Inflamasi biasanya dibagi ke dalam tiga fase, yaitu:
a. Inflamasi akut
Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan. Hal ini terjadi
melalui rilis autokoat serta pada umumnya didahului oleh pembentukan respon
imun. Reaksi inflamasi akut dinyatakan dengan dilatasi pembuluh darah dan
pengeluaran leukosit dan cairan. Segera sesudah masuknya rangsang iritan,
terdapat konstriksi singkat arteriola yang diikuti dilatasi vaskuler berkepanjangan.
Hal ini menjururs kepada merahnya anyaman kapiler dengan darah. Sel- sel
tersebut mengelompok di bagian permukaan sel yang melapisi lumen pembuluh
darah yaitu sel endotel pembuluh. Pengelompokan ini disebut sebagai marginasi.
b. Respon imun
Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan
diaktifkan untuk merespon inflamasi akut serta kronis.
c. Inflamasi kronis (Katzung, 1998).
Setelah cedera terjadi, berlaku perbahan krisis dalam dinding venula dan kapiler.
Pembuluh ini secara normal permeabel terhadapa protein plasma yakni albumin,
globulin, dan fibrinogen menjadi lebih permeabel sehingga mengganggu keseimbangan
dan menyebabkan banyak air meninggalkan darah memasuki jaringan. Akibatnya,
albumin, fglobulin, dan fibrinogen tercurah melalui dinding kapilr menuju jaringan.
Pembengkakan ini dikenal dengan istilah edema, cairannya disebut eksudat. Leukosit
yang terlibat adalah neutrofil bergranuler, bagian yang merupakan pertahanan pertama
melawan mikroorganisme yang masuk. Fungsi utama neutrofil adalah mencerna dan
menghancurkan secara potensial agen berbahaya seperti bakteri. Selama
berlangsungnya poses tersebut, dilepaskan mediator kimiawi yang diidentifikasi sebagai
mediator penyebab vasodilatasi, permeabilitas pembuluh, dan kemotaksis. Mediator
vasodilatasi tersebut misalnya histamin, bradikinin, dan prostagalandin. Keadaan panas,
merah, dan bengkak diakibatkan aoleh dilatasi pembuluh darah dan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah. Rasa nyeri sebagian besar karena tekanan pada akhirn
saraf sensorik oleh cairan eksudat. Sebagai contoh, kinin (bradikinin) memegang peran
penting dalam proses inflamasi. Kallikrein dan kinin dapat menyebabkan kemerahan,
rasa panas, bengkak, dan nyeri. Produksi kinin ini meningkat selama inflamasi terjadi.
Reseptor bradikinin adalah B1 dan B2 (Katzung, 2004).
Reaksi inflamasi sub akut, didefinisikan sebagai fase reaksi inflamasi akut yang agak
lambat dan dikarakterisasi oleh pengelompokan limfosit dan monosit, serta
pembentukan jaringan granulasi. Jika reaksi inflamasi tidak berhasil memperbaiki
granulasi tersebut, proses akan berlanjut pada inflamasi kronis (Wilmana, 1987).
Prostaglandin sebagai mediator inflamasi dihasilkan dari metabolisme asam
arakidonat. Asam arakidonat berasal dari fosfatidil inositol dan fisfatidol kolin yang
diubah oleh fosfolipase. Asam arakidonat ini kemudian mengalami dua jalur yaitu
siklooksigenase dan lipoksigenase. Dari jalur siklooksigenase akan dihasilkan
prostaglandin dan tromboksan, sedangkan dari jalur lipoksigenase akan dihasilkan
leukotrien. Siklooksigenase memiliki 2 isoenzim yaitu COX-1, bentuk konstitutif yang ada
di lambung dan ginjal dan COX-2 yang merupakan penginduksi inflamasi. Untuk
mengatas inflamasi, digunakan obat- obatan yang mencegah terbentuknya
prostaglandin. Obat antiinflamsi dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu:
1. Obat anti inflamasi steroid
Obat- obat golongan ini merupakan kelompok obat kortikosteroid yang
menghambat pengeluaran prostaglandin, tetapi cara kerjanya melalui
penghambatan pembentukan asam arakidonat (induk penghasil prostaglandin).
Golongan ini ada dua jenis yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Obat ini
sangat potensial dalam menghambat pembentukan prostaglandin, tetapi
memunculkan efek samping yaitu terganggunya system agregasi platelet karena
kekurangan tromboksan. Sintesis tromboksan juga ikut terhambat karena asam
arakidonat yang tersedia sedikit.
Contoh obat: prednison.
2. Obat anti inflamasi non streoid
Obat ini bekerjanya dengan menghambat sisntesis prostaglandin melalui jalur
siklooksigenase. Obat ini akan menghambat jalur siklooksigenase sehingga
asam arakidonat akan teralihkan ke jalur lipoksigenase.
Contoh: asetosal. (Lullman, et al., 2000)
III. CARA PERCOBAAN
1. Alat dan Bahan
Alat:
a. Spuit injeksi
b. Jarum berujung tumpul
c. Timbangan
d. Stop watch
e. Pletismograph
Bahan:
a. Karagenin 1% dalam tilosa 1%
b. Indometasin 1%
c. Prednison 1%
d. Larutan tilosa 0,5%
Hewan Uji
a. tikus jantan galur Wistar
2. Cara Kerja
Tikus I sebagai control, diberi tilosa 0,05% per oral 1ml.
Satu kelompok mendapat 3 tikus, timbang beratnya.
Tikus II diberi indometasin dosis 10mg/kgBB per oral.
Tikus III diberi prednison dosis 10mg/kgBB per oral.
Timbang volume kaki kanannya dengan pletismograph, tandai batas penimbangan pada kaki tikus
Beri tanda pada kaki tikus, di atas lututnya.
Ukur dan catat volume kaki dengan pletismograph
Tunggu 30 menit lalu ukur dan catat lagi volume kakinya, lakukan setiap 30 menit sampai 90 menit.
Hitung persen pnghambatan inflamasi untuk tiap obat pada tiap dosis uji.
IV. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
Data volume udem
Kelompok PerlakuanVolume udem pada menit ke-
0 30 60 90
I
Kontrol 0,08 0,12 0,14 0,14
Indometasin 0,14 0,10 0,14 0,12
Prednison 0,03 0,04 0,09 0,02
II
Kontrol 0,16 0,12 0 0,02
Indometasin -0,03 -0,10 -0,10 -0,13
Prednison 0,12 0,12 0,06 0,14
Perlakuan :
Tikus I (kontrol) : diberi tilosa
Tikus II : diberi indometasin 2mg/mL, dosis 10 mg/kg BB
Tikus III : diberi prednison 2 mg/mL, dosis 10 md/kg BB
Volume pemberian obat :
Volume pemberian =
1. Tikus I (145,5 g)
2. Tikus II (137,9 g)
3. Tikus III (127,5 g)
Perhitungan AUC (Area Under Curve)
X1 = Volume udem awal
X2 = volume udem akhir
Δt = selisih waktu
Hasil perhitungan AUC
Kelompok Perlakuan AUC(0-30) AUC(30-60) AUC(60-90) Total AUC
I
kontrol 3 3.9 4.2 11.1
indometasin 3.6 3.6 3.9 11.1
prednison 1.05 1.95 1.65 4.65
II
kontrol 4.2 1.8 0.3 6.3
indometasin 0* 0* 0* 0*
prednison 3.6 2.7 3 9.3
*= AUC indometasin pada kelompok II dianggap nol karena bernilai negative
Perhitungan daya antiinflamasi obat :
Daya antiinflamasi indometasin :
Kelompok I :
Kekompok II : - (tidak dapat dihitung karena AUC dianggap nol)
Daya antiinflamasi prednisone :
Kelompok I :
Kelompok II :
V. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini bertujuan untuk mempelajari daya antiinflamasi obat pada
binatang dengan radang buatan. Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal
imunologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organism
yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan.
Meskipun kejadiannya merupakan gabungan proses yang kompleks, inflamasi
mempunyai tanda-tanda dan gejala yang bersifat umum yaitu bengkak (udema),
kemerahan (rubor), nyeri (dolor), dan panas meningkat (kalor). (Rukmono, 1997)
Obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi mungkin diperlikan untuk memodulasi
proses peradangan. Inflamasi diinisiasikan oleh pelepasan mediator kimiawi dari
jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe
proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamine dan 5-hidroksitriptamin; lipid
seperti prostaglandin; peptide kecil seperti bradikinin; dan peptide besar seperti
interleukin-1. (Katzung, 1997)
Dari keempat tanda-tanda peradangan yang ada, pada praktikum kali ini yang
diamati adalah pembengkakan pada telapak kaki tikus dengan mengukur volume udem
menggunakan pletismograf. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan Wistar
(Rattus norvegicus) dengan berat antara 200-300 gram. Tikus akan diberi karagenin
sebagai inducer inflamasi yang akan diinjeksikan secara sub planar yaitu injeksi secara
subcutan di telapak kaki tikus. Obat yang akan diuji daya antiinflamasinya adalah
indometasin dan prednison dan sebagai kontrol digunakan tilosa. Pemberian obat
diberikan sebelum pemberian karagenin agar obat dapat langsung bekerja
menghentikan peradangan saat radang muncul.
Indometasin merupakan derivate indol-asam asetat yang memiliki daya analgetik
dan antiinflamasi yang sama kuatnya dengan aspirin (Katzung, 2004). Beberapa jalur
utama metabolism yang di lalui indometasin yaitu O-Demetilasi, N-Demetilasi gugus p-
klorobenzoil, O-dealkilasi, dan N-Dealkilasi serta konjugasi produk fenolat dengan asam
glukoronat. Metabolit utama pada binatang adalah debenzoilisasi pada N1 dan dimetilasi
pada C5. Jadi, spesies indometasin yang aktif adalah molekul utuhnya, bukan
metabolitnya.
Indometasin mempunyai aktivitas antiradang yangkuat terhadap udema pada
telapak kaki tikus akibat karagenin. Gugus karbonil pada struktur indometasin berfungsi
sebagai antiradang, karena itu jika diganti gugus lain maka aktivitasnya akan menurun.
Penggantian gugus 1-arasil dengan beberapa gugus fungsi 1-arasil, substansi asil
alifatik atau alkil alifatik atau alkil pada posisi nomor 1 dapat menyebabkan penurunan
aktivitas indometasin, sedangkan substitusi halogen para atau yang setara dengan
halogen seperti CF3 / SCH3 pada gugus klorida akan menyebabkan aktivitas paling
besar (struktur optimum). Indometasin menghambat aktivitas enzim siklooksigenase
secara reversible.
Indometasin cepat dan hampir sempurna diabsorbsi dari saluran cerna bagian
atas setelah pemberian per oral. Metabolisme dilakukan oleh hati lalu diekskresikan ke
dalam empedu dan urin dalam bentuk tidak berubah dan dalam bentuk metabolit. Kadar
maksimum dalam darah dapat dicapai setelah obat diberikan secara per oral.
Sebelum disuntik karagenin, kaki tikus ditandai sampai dibawah lutut dan diukur
volumenya pada pletismograf. Kenaikan volume raksa menunjukkan volume kaki tikus,
sehingga nantinya akan diketahui pertambahan volume kaki karena adanya udema.
Pletismograf adalah alat berupa tabung berisi air raksa dan berskala untuk membantu
mengetahui volume udema berdasarkan hukum Archimedes. Digunakan air raksa
karena selain tidak membasahi kaki tikus (volume air raksa tidak berubah), juga karena
air raksa berwarna sehingga mudah diamati. Namun dalam menggunakan air raksa
harus hati-hati karena dapat memadat dan menyumbat pori, jadi setelah kaki tikus
dimasukkan ke dalam pletismograf, sisa air raksa pada kaki tikus harus segera
dikeringkan dengan tisu.
30 menit setelah masing-masing tikus disuntik dengan prednisone dan
indometasin, karagenin sebanyak 0,1 mL diinjeksikan secara sub planar pada telapak
kaki tikus. Selang waktu diberikan agar saat terjadi radang obat sudah siap bekerja.
Karagenin adalah campuran polisakarida yang disusun oleh unit galaktosa sulfat dan
diperoleh dari irish mosh daondus crispus yang merupakan agen iritan. Karagenin yang
dimasukkan ke dalam tubuh akan menyebabkan reaksi inflamasi. Hal ini terjadi karena
karagenin dianggap sebagai benda asing sehingga tubuh menghasilkan mediator-
mediator inflamasi. Akibatnya terjadi radang pada tempat dimasukannya karagenin
sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan homeostasis.
Radang atau udema adalah penambahan volume pada bagian tubuh yang
disebut rat hind pahl, merupakan salah satu symptom atau tanda terjadinya inflamasi.
Perubahan pada udema kaki tikus dapat dilihat secara semi kuantitatif. Aturan utama
teknik udema kaki tikus dengan karagenin ini menghasilkan tiga karakteristik penting
hewan yaitu :
1. Obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS) menghambat udema dalam karakteristik
dosis respon
2. Meski beberapa agen obat-obat AINS tanpa diketahui aktivitas antiinflamasinya
dalam manusia menghambat reaksi, beberapa (positif palsu) dapat dimasukkan
untuk penambahan tes urin
3. Potensial inhibitor obat-obat AINS dalam tes ini dapat paralel aktivitasnya terhadap
manusia.
Pengukuran volume udema dengan pletismograf dilakukan dalam jangka waktu
tertentu yaitu setiap 30 menit, dihitung dari menit ke-nol sampai menit ke-90.
Dari data dapat dihitung prosentase daya antiinflamasi dengan rumus :
Dari hasil perhitungan diperoleh daya antiinflamasi dari indometasin pada
kelompok I sebesar 0%, sedangkan daya antiinflamasi indometasin pada kelompok II
tidak dapat dihitung karena nilai AUC dianggap nol. Sebab volume udem yang terukur
bernilai negative yang artinya volume kaki hewan uji sebelum diberi perlakuan lebih
besar dari setelah diberi perlakuan. Hal ini menyimpang dari teori, sebab udem timbul
setelah telapak kaki hewan uji diinjeksi dengan karagenin. Sehingga seharusnya volume
kaki sebelum perlakuan lebih kecil dari volume kaki setelah diberi perlakuan. Namun
pada percobaan ini keadaan berbalik.
Sementara daya antiinflamasi untuk prednisone pada kelompok I sebesar
58,108% sedangkan pada kelompok II sebesar -47,619%. Kembali terjadi
penyimpangan, yaitu daya antiinflamasi bernilai negative.
Praktikan menganalisis kemungkinan penyebab terjadinya berbagai
penyimpangan sebagai berikut :
1. Factor fisiologis dari tikus seperti kemampuan adsorpsi yang berbeda, keaktifan
mencit dan berat badan mencit.
2. Factor praktikan dimana seharusnya pemberian obat maupun mengambilan obat
dilakukan oleh satu orang saja untuk mencegah terjadinya kesubyektifan.
3. Pada saat mengukur volume kaki tikus juga seharusnya dilakukan oleh satu
orang yang sama. Tidak hanya itu, pengukuran juga kurang meyakinkan karena
sulit mengamati apakah kaki tikus sudah tercelup dalam pletismograf sampai
tanda yang ditentukan.
Dari perhitungan secara sepintas dapat diketahui bahwa daya antiinflamasi
prednisone lebih tinggi dari indometasin. Hal ini sudah sesuai teori, daya antiinflamasi
dari prednisone lebih tinggi dari indometasin. Prednisone bekerja lebih efektif dari
indometasin karena prednisone bekerja dengan menghambat sintesis asam arakidonat
sehingga prostaglandin secara otomatis juga terhambat.
Sedangkan dari hasil perhitungan berupa Area Under Curve (AUC) dilakukan
analisis secara statistika dengan menggunakan uji T-test pada taraf kepercayaan 95%.
Dari hasil analisis tersebut didapat nilai signifikansi 0,739. Dari nilai ini dapat dikatakan
bahwa kedua perlakuan tidak memberikan perbedaan yang signifikan.
VI. KESIMPULAN
1. Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat mikrobiologik.
2. Pada percobaan ini dibuat radang buatan dengan menginjeksikan karagenin
subplanar di telapak kaki hewan uji.
3. Indometasin memberikan efek antiinflamasi dengan cara menghambat COX,
sedangkan prednisone bekerja dengan menghambat enzim fosfolipase.
4. Dari hasil perhitungan % daya antiinflamasi diketahui bahwa daya antiinflamasi
presnison lebih inggi dari indometasin, hal ini sudah sesuai dengan teori.
5. Dari hasil uji statistic dengan ujiT-test daoat diketahui bahwa kedua obat tidak
memberikan efek yang berbeda secara signifikan
VII. DAFTAR PUSTAKA
Anief, Mohammad, 2000, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, cetakan kedua, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta
Anonym, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Katzung, B.G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi II, EGC, Jakarta
Mursyidi, Ahmad, 1984, Statistika Farmasi Biologi, Ghalia Indonesia, Jakarta
Tjai, Tan Hoan, 2002, Daftar Obat-obat Penting, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta