Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

43
LAPORAN PRAKTIKUM PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TERPADU FK4142 PERCOBAAN 04 ANTIPIRETIK – ANALGESIK - ANTIINFLAMASI Kelompok 5 NIM Nama Kontribusi 116110 06 Sharfina Ariefa Ardana Analgesik-Metode Pelat Panas 116110 15 Putri Charisma Analgesik-Metode Jentik Ekor 116110 25 Erba Rahmatina Antipiretik 116110 35 Gilang Sumiarsih Pramanik Editor, Antipiretik 116110 45 Trianti Kartikasari Analgesik-Metode Siegmund 116110 54 Nur Laily Purnamasari Antiinflamasi Tanggal Praktikum : 03 November 2014 Tanggal Pengumpulan : 10 November 2014

description

laporan

Transcript of Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Page 1: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

LAPORAN PRAKTIKUMPRAKTIKUM FARMAKOLOGI TERPADU

FK4142

PERCOBAAN 04

ANTIPIRETIK – ANALGESIK - ANTIINFLAMASIKelompok 5

NIM Nama Kontribusi11611006

Sharfina Ariefa Ardana Analgesik-Metode Pelat Panas

11611015

Putri Charisma Analgesik-Metode Jentik Ekor

11611025

Erba Rahmatina Antipiretik

11611035

Gilang Sumiarsih Pramanik Editor, Antipiretik

11611045

Trianti Kartikasari Analgesik-Metode Siegmund

11611054

Nur Laily Purnamasari Antiinflamasi

Tanggal Praktikum : 03 November 2014Tanggal Pengumpulan : 10 November 2014

Page 2: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

LABORATORIUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGIPROGRAM STUDI FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS

SEKOLAH FARMASIINSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2014

PERCOBAAN 04

ANTIPIRETIK – ANALGESIK – ANTIINFLAMASI

I. TUJUAN PERCOBAAN

1. Menentukan ada tidaknya perbedaan efek antipiretik Paracetamol 9mg/200gr, Ibuprofen 9mg/200gr,

dan kontrol (CMCNa) secara statistika dengan one-way ANOVA dan LSD, berdasarkan hasil

uji antipiretik terhadap tikus.

2. Menentukan kebermaknaan secara statistika dengan one-way ANOVA dan LSD, terhadap

kemampuan Morfin, Aspirin, dan NaCl 0.9% sebagai analgesik dengan metode jentik ekor.

3. Menentukan pengaruh pemberian obat analgetik terhadap waktu respon nyeri mencit yang diuji

menggunakan plat panas.

4. siegmund

5. Menentukan efek antiinflamasi dari obat morfin, diklofenak, dan larutan NaCl

pada tikus yang diinduksi dengan karagen- dengan menghitung persen udem

dan persen inhibisi udem secara statistika dengan one-way ANOVA dan LSD.

II. PRINSIP PERCOBAAN

NSAID adalah obat-obat yang mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan pada dosis yang lebih

tinggi, bersifat antiinflamasi. NSAID membentuk kelompok yang berbeda-beda secara kimia, tetapi

semuanya secara garis besar mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase dan inhibisi

sintesis prostaglandin. Pada praktikum kali ini, akan diuji efek terapetik dari beberapa obat golongan

NSAID, yaitu antipiretik, analgesik dan antiinflamasi.

Demam merupakan kondisi tubuh dimana terjadi peningkatan suhu tubuh diatas normal. Zat atau

agen yang dapat menyebabkan demam yaitu pirogen. Demam sebenarnya merupakan suatu respon tubuh

untuk menghilangkan stimulus-stimulus merugikan, contohnya pada kasus infeksi. Penanganan demam

dapat dilakukan dengan menghilangkan stimulus penyebab demam dan penggunaan obat antipiretik.

Sensasi nyeri dapat terjadi diantaranya karena pembebasan senyawa-senyawa kimia tertentu oleh

stimulus nyeri. Senyawa kimia yang dibebaskan tersebut ada yang menyerupai bradikinin, yang

menimbulkan nyeri karena mengeksitasi ujung-ujung saraf nyeri, menyebabkan zat-zat lain menimbulkan

Praktikum Farmakologi Terpadu | 1

Page 3: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

nyeri, seperti vasodilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan migrain, atau menimbulkan kejang otot-

otot viseral, atau iritasi maupun kerusakan jaringan setempat. Obat-obat yang dapat mengatasi rasa nyeri

digolongkan dalam kelompok analgesik. Pengujian untuk obat analgesik dapat dilakukan dengan metode

jentik ekor, metode pelat panas, dan metode siegmund.

Inflamasi didefinisikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu

iritasi atau keadaan non-fisiologis. Suntikan subkutan karagen pada telapak kaki

belakang tikus menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi

yang diberikan sebelumnya. Volume udem diukur dengan alat plethysmometer dan

dibandingkan terhadap udem yang tidak diberikan obat. Prinsip alat

plethysmometer berdasarkan hukum Archimedes dimana penambahan air raksa

sebanding dengan volume kaki tikus yang dimasukkan. Aktivitas obat antiinflamasi

dinilai dari persentase proteksi yang diberikan terhadap pembentukan udem.

III. METODOLOGI

A. Antipiretik

Sembilan ekor tikus dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol dan 2 kelompok

uji. Semua tikus diukur suhu rektal awal, kemudian diinduksi demam dengan pemberian pepton

9mg/200gr secara subkutan. Setelah pemberian pepton, suhu rektal tikus diukur satu jam sekali

selama empat jam. Setelah empat jam, kelompok pertama diberikan CMCNa sebagai kontrol,

kelompok kedua diberikan Paracetamol 9mg/200gr secara oral, dan kelompok ketiga diberikan

Ibuprofen 9mg/200gr secara oral. Kemudian, suhu rektal seluruh tikus diukur pada menit ke-20, 40,

60, 90, 120, 150, dan 180 setelah pemberian obat.

B. Analgesik

1. Metode Jentik Ekor

Digunakan sembilan tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok dengan masing-masing kelompok

terdiri dari 3 tikus. Kelompok pertama diberikan morfin, kelompok kedua diberikan aspirin dan

kelompok ketiga diberikan NaCl 0.9%. Pertama, kesembilan tikus tersebut ditimbang bobot

badannya untuk menentukan volume yang akan disuntikkan pada tiap tikus. Lalu, kesembilan

tikus diuji nilai normal kemampuan tikus dalam menahan rasa sakit dengan memasukkan ekor

tikus ke dalam air bersuhu 70°C. Percobaan diulang sebanyak tiga kali dengan jarak setiap

percobaan adalah 2 menit, dan nilai yang diambil adalah rata-rata dari hasil percobaan kedua dan

ketiga. Setelah itu, masing-masing kelompok tikus yaitu kelompok tikus I dan III disuntikkan

secara IP masing-masing senyawa yang telah ditentukan dengan volume yang disesuaikan dengan

bobot badan, yaitu kelompok I disuntikkan morfin dan kelompok III disuntikkan NaCl 0.9%.

Sementara kelompok II diberikan suspense oral aspirin, 10 menit setelah pemberian, diuji

kembali kemampuan tikus dalam menahan rasa sakit dengan menggunakan metode yang sama

Praktikum Farmakologi Terpadu | 2

Page 4: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

dan dihitung waktu yang dibutuhkan tikus untuk menjentikkan ekornya, namun apabila telah

melebihi sepuluh detik, ekor tikus harus segera diangkat. Dicatat waktu saat mulai ekor tikus

dimasukkan hingga ekor tikus dijentikkan. Percobaan diulang dengan selang 20, 30, 60 dan 90

menit.

2. Metode Pelat Panas

Sembilan ekor mencit disiapkan untuk pengujian. Tiga mencit menjadi kelompok kontrol yang

diinduksi dengan CMCNa secara oral, tiga mencit lainnya diberikan piroxicam, dan tiga mencit

selanjutnya diberikan morfin. Mencit diukur respon normalnya terhadap plat panas sebelum

diberikan apa-apa dan dilihat dalam detik. Selanjutnya setelah di berikan obat, didiamkan 10

menit kemudian dilakukan pengukuran lagi pada plat panas, dan dilakukan pengujian selanjutnya

pada menit ke 20, 30, 45,60,90,120. Dilihat perubahan ketahanan mencit terhadap panas setelah

diberikan obat, dan dibandingkan antara piroxicam, morfin, dan CMCNa.

3. Metode Siegmund

C. Antiinflamasi

Dibentuk 3 kelompok tikus dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3

tikus. Masing-masing tikus diberi nomor di bagian ekornya dan ditimbang berat

badannya. Diberi tanda batas dengan spidol pada kaki belakang kiri untuk setiap

tikus agar pemasukan kaki ke dalam air raksa selalu sama pada setiap kali

pengukuran. Pada tahap awal, volume awal kaki diukur dan dinyatakan sebagai

volume dasar (V0) untuk setiap tikus. Dilakukan penyuntikan obat secara

intraperitoneal untuk kelompok tikus 1, 2, dan 3 berturut-turut obat morfin

(1,4mg/200g), diklofenak (0,9mg/200g), dan larutan NaCl fisiologis

(0,25mL/200g). Setelah 30 menit dari penyuntikan obat, masing-masing tikus

disuntik larutan karagen- (1%, 0,05mL) secara intraplantar pada telapak kaki

kiri tikus. Dilakukan pengukuran volume kaki kiri tikus pada menit ke-30,

60,90,120,150,180,dan 210 sejak penyuntikan karagen-. Dicatat perbedaan

volume kaki tikus untuk setiap pengukuran. Hasil pengamatan dibuat tabel dan

diplotkan dalam grafik (%udem dan %inhibisi terhadap waktu).

IV. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGANA. DATA PENGAMATAN

1. Antipiretik

Kelompok BB tikus T-4 T-3 T-2 T-1 T0 T20 T40 T60 T90 T120

Kontrol 127.1 38.7 37.9 37.5 37.6 39.5 39.3 39.3 39.2 39.2 39.3

Praktikum Farmakologi Terpadu | 3

Page 5: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

113 37.7 36.1 38.1 38.9 39.7 39.6 39.4 39.7 39.5 39.8

119.5 38.1 37.8 37.6 39 39.6 39.8 39.4 39.1 39.7 38.6

Parasetamol

130.2 37.9 37 37.8 37.8 38.5 38.4 38.2 38.5 38.8 38.5

90.3 37.9 35.5 35.5 36.7 38.2 38.8 39.1 39.8 mati mati

132.9 37.8 36.2 36.9 37.5 38.7 39 38.7 38.7 40 mati

Ibuprofen

120 37.4 37.6 38 38.7 39.1 38.6 38.6 37.9 37.8 37.5

114.9 37.2 37.7 38.2 39.2 39.3 38.8 38.5 38.1 37.8 37.9

113.4 38.2 37.3 37.3 39 39 38.9 38.1 36.7 37.6 37.3 Tabel 1. Perubahan Suhu Rektal Tikus

kelompok T-4 T-3 T-2 T-1 T0 T20 T40 T60 T90 T120kontrol 38.2 37.3 37.7 38.5 39.6 39.6 39.4 39.3 39.5 39.2

paracetamol 37.9 36.2 36.7 37.3 38.5 38.7 38.7 39.0 39.4 38.5iibuprofen 37.6 37.5 37.8 39.0 39.1 38.8 38.4 37.6 37.7 37.6

Tabel 2. Perubahan Rata-rata Suhu Rektal TikusKeterangan : T -4 : 240 menit sebelum bemberian obat uji T20 : 20 menit setelah pemberian obat ujiT -3 : 180 menit sebelum pemberian obat uji T40 : 40 menit setelah pemberian obat ujiT -2 : 120 menit sebelum pemberian obat uji T60 : 60 menit setelah pemberian obat ujiT -1 : 60 menit sebelum pemberian obat uji T90 : 90 menit setelah pemberian obat ujiT 0 : waktu ketika pemberian obat uji T120 : 120 menit setelah pemberian obat uji

2. Analgesika. Metode Jentik ekor

Kelompok Hewan

Waktu menjetik pada t ke -

Sebelum diberi obat (detik) Setelah diberi obat (detik)

Normal menit ke-20 menit ke-30 menit ke-60 menit ke-90

I0.058 4.37 4.77 5.3 2.771.12 2.78 1.27 1.6 1.92.41 2.96 3.16 1.9 2.2

II

1.55 7 4.3 4.1 3.1

1.36 6.3 2.3 5.6 51.76 2.6 6.2 2.8 0.8

III1.58 2.05 1.28 1.29 1.274.58 No Respon No Respon No Respon No Respon1.08 0.85 0.56 0.48 0.82

Tabel 3. Data Waktu Jentikan Ekor Tikus

Keterangan:Kelompok Hewan I: Morfin 0.4mg/mlKelompok

Hewan II : Aspirin 10mg/mlKelompok Hewan III : NaCl 0.5ml/200g

Praktikum Farmakologi Terpadu | 4

Rata-Rata waktu menjentik pada t ke-Waktu Morfin Aspirin Kontrol

0 1.196 1.557 2.41320 3.37 5.3 1.4530 3.067 4.267 0.92

60 2.933 4.167 0.88590 2.29 2.967 1.045

Page 6: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Tabel 4. Data Waktu Rata-rata Jentikan Ekor Tikus

b. Metode Pelat Panas

Tabel

5. Waktu Respon

Tikus Terhadap Panas

c. Metode Siegmund

3. Antiinflamasi

Perlakuan

Tikus ke-

∆V0 ∆V30 ∆V60 ∆V90 ∆V120 ∆V150 ∆V180 ∆V210

Morfin

10,021 0,025 0,025 0,025 0,025 0,028

0,028 0,028

20,025 0,026 0,025 0,026 0,029 0,031

0,032 0,029

30,019 0,022 0,025 0,026 0,03 0,032

0,035 0,034

rata-rata

0,0217

0,0243 0,025

0,0257 0,028

0,0303

0,0317

0,0303

SD 0,0031

0,0021 0

0,0006

0,0026

0,0021

0,0035

0,0032

Diklofenak

10,015 0,021 0,019 0,021 0,025 0,029

0,029 0,023

2 0,013 0,025 0,026 0,027 0,031 0,034 0,035

0,037

Praktikum Farmakologi Terpadu | 5

Obat Uji Mencit 0' 10' 20' 30' 45' 60' 90' 120'

Morphin

1 5 5 8 13 9 5 4 7

2 4 7 10 14 10 7 4 6

3 2 2 3 4 2 2 1 9

rata-rata 3,667 4,667 7 10,333 7 4,667 3 7,333

Piroksikam

4 6 1 1 1 1 1 1 3

5 6 2 1 1 1 1 1 8

6 4 2 1 2 1 2 3 4

rata-rata 5,333 1,667 1 1,3333 1 1,3331,66

75

CMC-Na

7 4 3 4 1 1 1 1 18

8 5 2 1 1 1 1 1 12

9 1 2 2 3 2 1 3 13

rata-rata 3,333 2,333 2,333 1,6667 1,333 11,66

714,33

Page 7: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

30,025 0,025 0,024 0,03 0,023 0,024

0,023 0,039

rata-rata

0,0177

0,0237 0,023 0,026

0,0263 0,029

0,029 0,033

SD 0,0064

0,0023

0,0036

0,0046

0,0042 0,005

0,006

0,0087

Kontrol

10,02 0,026 0,033 0,036 0,038 0,039

0,037 0,035

20,025 0,025 0,031 0,036 0,038 0,035

0,039 0,038

30,022 0,025 0,027 0,031 0,036

0,0375

0,038 0,036

rata-rata

0,0223

0,0253

0,0303

0,0343

0,0373

0,0372

0,038

0,0363

SD 0,0025

0,0006

0,0031

0,0029

0,0012 0,002

0,001

0,0015

Tabel 6. Data pengamatan volume kaki tikus setelah diberi obat

dan karagen

Perlakuan

Tikus ke-

%V30 %V60 %V90 %V120 %V150 %V180 %V210

morfin

1 19,048

19,048

19,048

19,048 33,333 33,333 33,333

2 4 0 4 16 24 28 16

3 15,789

31,579

36,842

57,895 68,421 84,211 78,947

rata-rata

12,946

16,876

19,963

30,981 41,918 48,515 42,760

SD 7,917 15,901

16,440

23,358 23,422 31,028 32,515

diklofenak

1 40 26,667

40 66,667 93,333 93,333 53,333

2 92,308

100 107,692

138,462

161,539

169,231

184,615

3 0 -4 20 -8 -4 -8 56rata-rata

44,103

40,889

55,897

65,709 83,624 84,855 97,983

SD 46,290

53,439

45,957

73,235 83,195 88,919 75,038

kontrol

1 30 65 80 90 95 85 75

2 0 24 44 52 40 56 52

3 13,636

22,727

40,909

63,636 70,455 72,727 63,636

rata-rata

14,545

37,242

54,970

68,545 68,485 71,242 63,545

SD 15,021

24,047

21,732

19,470 27,553 14,557 11,500

Tabel 7. Persen udem yang terjadi pada kaki tikus

t 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

morfin 012,94

616,87

619,96

330,98

141,91

848,51

542,76

0diklofenak 0

44,103

40,889

55,897

65,709

83,624

84,855

97,983

kontrol 014,54

537,24

254,97

068,54

568,48

571,24

263,54

5Tabel 8. Rata-rata persen udem tiap perlakuan

Praktikum Farmakologi Terpadu | 6

Page 8: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Perlakuan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Morfin 0 3,947

17,582

25,243

25 18,386

16,667

16,514

Diklofenak

0 6,579

24,176

24,272

29,464

21,973

23,684

9,174

Tabel 9. Persen inhibisi dari masing-masing obat uji

B. GRAFIK

Grafik 1. Perubahan Suhu Rektal Tikus (Sebelum dan Sesudah Pemeberian Antipiretik)

Praktikum Farmakologi Terpadu | 7

-300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 15034

35

36

37

38

39

40

Grafik Perubahan Suhu Rektal Tikus

kontrolparasetamolibuprofen

Page 9: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Grafik 2. Waktu Uji Jentik Ekor Tikus saat dimasukan pada 50°C

Grafik 3. Respon Nyeri Pelat Panas terhadap Waktu

Praktikum Farmakologi Terpadu | 8

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000

1

2

3

4

5

6Jentik Ekor

MorfinAspirinKontrol

Waktu Uji Jentik Ekor

Rat

a-R

ata

Wak

tu T

ikus

Men

jen-

tik

Eko

r

-10 10 30 50 70 90 110 130 1500246810121416

Grafik Respon Nyeri terhadap Waktu

mofinpiroksikamCMC-Na

Waktu (menit)

Resp

on n

yeri

(ban

yak

jilat

an)

Page 10: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Grafik 4. Persentase Edema Kaki Tikus terhadap Waktu

Grafik 5. Persentase Inhibisi Edema Kaki Tikus dibandingkan dengan Kontrol

C. PERHITUNGAN DAN PENGOLAHAN DATA1. Antipiretik

I JMean

Difference(I-J)

Std. Error

Sig.

95% Confidence Interval Interpretasi

dataLower bound

Upper bound

kontrolParasetamol -0.82528 0.15198 0.002 0.4534 1.1972

Berbeda Bermakna

Ibuprofen -0.71333 0.15198 0.003 0.3414 1.0852Berbeda

Bermakna

parasetamol

kontrol -0.82528 0.15198 0.002 -1.1972 -0.4534Berbeda

Bermakna

ibuprofen -0.11194 0.15198 0.489 -0.4838 -0.2599Tidak

Berbeda Bermakna

Praktikum Farmakologi Terpadu | 9

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 40

5

10

15

20

25

30

35

Grafik % Inhibisi Edema terhadap Waktu dibandingkan dengan Kontrol

MorfinDiklofenak

Waktu (jam)

%In

hibi

si

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 40

20

40

60

80

100

120

Grafik % Edema terhadap Waktu

MorfinDiklofenakKontrol

Waktu (Jam)

% E

dem

a

Page 11: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

ibuprofen

kontrol -0.71333 0.15198 0.003 -1.0852 -0.3414Berbeda

Bermakna

parasetomol 0.11194 0.15198 0.489 -0.2599 0.4838Tidak

Berbeda Bermakna

The mean difference is significant at the 0.05 level Tabel 10. Hasil Pengolahan Data Percobaan Menggunakan Metode LSD (antipiretik)

Sum of squares df Mean square F Sig. Interpretasi hasilBetween groups 1.202 2 0.601 17.352 0.003 Berbeda

BermaknaWithin groups 0.208 6 0.035Total 1.410 8

The mean difference is significant at the 0.05 levelTabel 11. Hasil Pengolahan Data Percobaan Menggunakan Metode One Way Annova (Antipiretik)

2. Analgesika. Metode Jentik Ekor

Tabel 12. Hasil Pengolahan Data Percobaan Menggunakan Metode Annova (Jentik Ekor)

Dependent VariableMean

Difference (I-J)

Std. Error

Sig.

95% Confidence Interval Interpretasi

DataLower Bound

Upper Bound

Normal

MorfinAspirin -.36000 1.05498 0.745 -2.9414 2.2214 Tidak berbeda

bermaknaNaCl -1.21667 1.05498 0.293 -3.7981 1.3648

AspirinMorfin .36000 1.05498 0.745 -2.2214 2.9414 Tidak berbeda

bermaknaNaCl -.85667 1.05498 0.448 -3.4381 1.7248

NaClMorfin 1.21667 1.05498 0.293 -1.3648 3.7981 Tidak berbeda

bermaknaAspirin .85667 1.05498 0.448 -1.7248 3.4381

T20Morfin

Aspirin -1.93000 1.28313 0.183 -5.0697 1.2097 Tidak berbeda bermaknaNaCl 2.40333 1.28313 0.110 -.7364 5.5430

Aspirin Morfin 1.93000 1.28313 0.183 -1.2097 5.0697 Tidak berbeda bermakna

Praktikum Farmakologi Terpadu | 10

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Normal

Between Groups 2.344 2 1.172 0.702 0.532

Within Groups 10.017 6 1.669

Total 12.361 8

T20

Between Groups 28.279 2 14.139 5.725 0.041

Within Groups 14.818 6 2.470

Total 43.097 8

T30

Between Groups 20.806 2 10.403 4.284 0.070

Within Groups 14.568 6 2.428

Total 35.374 8

T60

Between Groups 19.805 2 9.902 4.493 0.064

Within Groups 13.224 6 2.204

Total 33.028 8

T90

Between Groups 8.149 2 4.075 2.429 0.169

Within Groups 10.067 6 1.678

Total 18.216 8

Page 12: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

NaCl 4.33333* 1.28313 0.015 1.1936 7.4730Berbeda

bermakna

NaClMorfin -2.40333 1.28313 0.110 -5.5430 0.7364

Tidak berbeda bermakna

Aspirin -4.33333* 1.28313 0.015 -7.4730 -1.1936`Berbeda bermakna

T30

MorfinAspirin -1.20000 1.27228 0.382 -4.3131 1.9131 Tidak berbeda

bermaknaNaCl 2.45333 1.27228 0.102 -.6598 5.5665

AspirinMorfin 1.20000 1.27228 0.382 -1.9131 4.3131

Tidak berbeda bermakna

NaCl 3.65333* 1.27228 0.028 .5402 6.7665Berbeda

bermakna

NaClMorfin -2.45333 1.27228 0.102 -5.5665 0.6598

Tidak berbeda bermakna

Aspirin -3.65333* 1.27228 0.028 -6.7665 -.5402Berbeda

bermakna

T60

MorfinAspirin -1.23333 1.21214 0.348 -4.1993 1.7327 Tidak berbeda

bermaknaNaCl 2.34333 1.21214 0.101 -.6227 5.3093

AspirinMorfin 1.23333 1.21214 0.348 -1.7327 4.1993

Tidak berbeda bermakna

NaCl 3.57667* 1.21214 0.026 .6107 6.5427Berbeda

bermakna

NaClMorfin -2.34333 1.21214 0.101 -5.3093 0.6227

Tidak berbeda bermakna

Aspirin -3.57667* 1.21214 0.026 -6.5427 -.6107Berbeda

bermakna

T90

MorfinAspirin -.67667 1.05759 0.546 -3.2645 1.9112 Tidak Berbeda

bermaknaNaCl 1.59333 1.05759 0.183 -.9945 4.1812

AspirinMorfin .67667 1.05759 0.546 -1.9112 3.2645 Tidak berbeda

bermaknaNaCl 2.27000 1.05759 0.075 -.3178 4.8578

NaClMorfin -1.59333 1.05759 0.183 -4.1812 0.9945 Tidak berbeda

bermaknaAspirin -2.27000 1.05759 0.075 -4.8578 0.3178

*The mean difference is significant at the 0.05 level.

Tabel 13. Hasil Pengolahan Data Percobaan Menggunakan Metode LSD (jentik ekor)

b. Metode Pelat Panas

Multiple Comparisons

Dependent Variable: WaktuRespon

LSD

(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

MorfinPiroksikam 3.667* 1.001 .000 1.67 5.66

CMC-Na 2.458* 1.001 .017 .46 4.46

PiroksikamMorfin -3.667* 1.001 .000 -5.66 -1.67

CMC-Na -1.208 1.001 .232 -3.21 .79

CMC-Na Morfin -2.458* 1.001 .017 -4.46 -.46

Praktikum Farmakologi Terpadu | 11

Page 13: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Piroksikam 1.208 1.001 .232 -.79 3.21

*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Tabel 14. Hasil Pengolahan Data Percobaan Menggunakan Metode LSD (pelat panas)

Dependent Variable ; Waktu Respon

Perbandingan antar waktu

Multiple Comparisons

LSD

Dependent

Variable

(I)

Kelompok

(J)

Kelompok

Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Normal

CMCNaMorfin -,33333 1,33333 ,811 -3,5959 2,9292

Piroksikam -2,00000 1,33333 ,184 -5,2625 1,2625

MorfinCMCNa ,33333 1,33333 ,811 -2,9292 3,5959

Piroksikam -1,66667 1,33333 ,258 -4,9292 1,5959

Piroksika

m

CMCNa 2,00000 1,33333 ,184 -1,2625 5,2625

Morfin 1,66667 1,33333 ,258 -1,5959 4,9292

T10

CMCNaMorfin -2,33333 1,24722 ,111 -5,3852 ,7185

Piroksikam ,66667 1,24722 ,612 -2,3852 3,7185

MorfinCMCNa 2,33333 1,24722 ,111 -,7185 5,3852

Piroksikam 3,00000 1,24722 ,053 -,0518 6,0518

Piroksika

m

CMCNa -,66667 1,24722 ,612 -3,7185 2,3852

Morfin -3,00000 1,24722 ,053 -6,0518 ,0518

T20CMCNa

Morfin -4,66667* 1,84592 ,045 -9,1835 -,1499

Piroksikam 1,33333 1,84592 ,497 -3,1835 5,8501

Morfin CMCNa 4,66667* 1,84592 ,045 ,1499 9,1835

Piroksikam 6,00000* 1,84592 ,017 1,4832 10,5168

Piroksika

m

CMCNa -1,33333 1,84592 ,497 -5,8501 3,1835

Morfin -6,00000* 1,84592 ,017 -10,5168 -1,4832

T30

CMCNaMorfin -8,66667* 2,66667 ,017 -15,1918 -2,1416

Piroksikam ,33333 2,66667 ,905 -6,1918 6,8584

MorfinCMCNa 8,66667* 2,66667 ,017 2,1416 15,1918

Piroksikam 9,00000* 2,66667 ,015 2,4749 15,5251

Piroksika

m

CMCNa -,33333 2,66667 ,905 -6,8584 6,1918

Morfin -9,00000* 2,66667 ,015 -15,5251 -2,4749

T45

CMCNaMorfin -5,66667* 2,07275 ,034 -10,7385 -,5948

Piroksikam ,33333 2,07275 ,878 -4,7385 5,4052

MorfinCMCNa 5,66667* 2,07275 ,034 ,5948 10,7385

Piroksikam 6,00000* 2,07275 ,028 ,9282 11,0718

Piroksika

m

CMCNa -,33333 2,07275 ,878 -5,4052 4,7385

Morfin -6,00000* 2,07275 ,028 -11,0718 -,9282

T60CMCNa

Morfin -3,66667* 1,21716 ,024 -6,6450 -,6884

Piroksikam -,33333 1,21716 ,793 -3,3116 2,6450

Morfin CMCNa 3,66667* 1,21716 ,024 ,6884 6,6450

Praktikum Farmakologi Terpadu | 12

Page 14: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Piroksikam 3,33333* 1,21716 ,034 ,3550 6,3116

Piroksika

m

CMCNa ,33333 1,21716 ,793 -2,6450 3,3116

Morfin -3,33333* 1,21716 ,034 -6,3116 -,3550

T90

CMCNaMorfin -1,33333 1,12217 ,280 -4,0792 1,4125

Piroksikam ,00000 1,12217 1,000 -2,7458 2,7458

MorfinCMCNa 1,33333 1,12217 ,280 -1,4125 4,0792

Piroksikam 1,33333 1,12217 ,280 -1,4125 4,0792

Piroksika

m

CMCNa ,00000 1,12217 1,000 -2,7458 2,7458

Morfin -1,33333 1,12217 ,280 -4,0792 1,4125

T120

CMCNaMorfin 7,00000* 2,09054 ,015 1,8846 12,1154

Piroksikam 9,33333* 2,09054 ,004 4,2180 14,4487

MorfinCMCNa -7,00000* 2,09054 ,015 -12,1154 -1,8846

Piroksikam 2,33333 2,09054 ,307 -2,7820 7,4487

Piroksika

m

CMCNa -9,33333* 2,09054 ,004 -14,4487 -4,2180

Morfin -2,33333 2,09054 ,307 -7,4487 2,7820

*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Tabel 15. Hasil Pengolahan Data Percobaan Menggunakan Metode LSD (pelat panas)

Perbandingan Antar Waktu

c. Metode Siegmund

3. AntiinflamasiPengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16

untuk uji Anova dan perhitungan manual untuk LSD.

A. Persentase Udem

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1,423 2 21 0,263 Tabel 16. Test of Homogeneity of Variances Udem

Terlihat bahwa hasil uji menunjukkan bahwa variansi ketiga kelompok sama (P-value = 0,263) karena nilai sig. > 0,05, sehingga uji ANOVA valid untuk menguji hubungan ini.

Tabel 17. Presentase udem kaki tikus dengan perhitungan Anova

Praktikum Farmakologi Terpadu | 13

ANOVA Persentase Udem

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2258,244 2 1129,122 1,906 0,174

Within Groups 12442,579 21 592,504

Total 14700,823 23

Page 15: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Dari tabel di atas, diperoleh nilai F > Sig. yang artinya H0 ditolak, sehingga kesimpulan yang didapatkan adalah ada perbedaan yang bermakna pada persentase udem berdasarkan ketiga kelompok perlakuan. Karena hasil uji Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna, maka uji selanjutnya adalah melihat kelompok mana saja yang berbeda.Untuk menentukan kelompok mana saja yang berbeda, digunakan uji lanjutan (Post-Hoc Test) yaitu LSD (Least Significance Differences).

LSD =t √ 2x MS within groupn per perlakuan

LSD =2,080√ 2 x592,5048

= 24,3414

Tabel 18. Kesimpulan selisih perlakuan (obat) pengan perhitungan

LSD

B. Persentase Inhibisi Udem

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

0,969 1 14 0,342

Tabel 19. Test of Homogeneity of Variances inhibisi udem

Terlihat bahwa hasil uji menunjukkan bahwa variansi kedua kelompok sama (P-value = 0,342) karena nilai sig. > 0,05, sehingga uji ANOVA valid untuk menguji hubungan ini.

ANOVA Persentase Inhibisi Udem

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 15,968 1 15,968 0,164 0,691

Within Groups 1360,482 14 97,177

Total 1376,450 15Tabel 20. Persentase Inhibisi Udem menggunakan Anova

Dari tabel di atas, diperoleh nilai F < Sig. yang artinya H0 diterima, sehingga kesimpulan yang didapatkan adalah tidak ada perbedaan yang bermakna pada persentase inhibisi udem berdasarkan kedua kelompok perlakuan.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN NSAIDs merupakan obat-obatan memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja

menghambat biosintesis prostaglandin dari asam arakhidonat melalui penghambatan aktivitas enzim

siklooksigenase. Mekanisme NSAIDs; antiinflamasi-analgesik-antipiretiknya yaitu melalui penghambatan

biosintesis enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida, sehingga menurunkan atau bahkan

Praktikum Farmakologi Terpadu | 14

Selisih perlakuanSelisih rata-

rata perlakuan

LSD Signifikan Kesimpulan

Diklofenak - Morfin 37,0145 24,3414 Berbeda bermaknaDiklofenak - Kontrol 54,0823 24,3414 Berbeda bermaknaMorfin - Kontrol 13,4977 24,3414 Tidak berbeda

bermakna

Page 16: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

menghambat sintesis prostaglandin (PG), tromboxan A2 (TX-A2), tetapi tidak menurunkan leukotrien.

Dan mekanisme efek analgetiknya yaitu melalui penghambatan PG secara perifer dan juga menekan

rangsang nyeri di level sub-korteks; efektif untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang seperti nyeri

otot, pembuluh darah, gigi, post persalinan, dan artritis. Sedangkan mekanisme sebagai antipiretik adalah

melalui penghambatan keduanya sehingga dapat mengatur kembali termoregulator di hipotalamus,

sehingga terjadi pelepasan panas secara vasodilatasi dan disertai pembentukan banyak keringat. Karena

demam yg menyertai infeksi peradangan akibat dua hal yaitu :

a. Pembentukan PG di dalam SSP sbg respon terhadap bakteri pirogen.

b.Efek interleukin-1 (IL-1) di hipotalamus; IL-1 dihasilkan makrofag untuk aktivasi limfosit &

dilepaskan selama peradangan.

Dan mekanisme efek antiinflamasi yaitu akibat gagalnya produksi PGE2 atau PGF2 sebagai mediator

radang. Sementara mekanisme antitrombotisnya yaitu melaui pemblokiran iso-enzim syclooxygenase

(COX-1) secara sementara (seumur hidupnya trombosit) sehingga sintesa tromboxan A-2 (TX A-2) tidak

terjadi. TX A-2 bersifat trombotis dan vasokonstriktif. Dengan demikian beberapa NSAIDs, seperti

aspirin dapat menghambat agregasi trombosit sehingga banyak digunakan sebagai alternatif pada

antikoagulansia untuk obat pencegah serangan infark miokard dan TIA.

Berikut merupakan mekanisme kerja NSAIDs secara umum :

Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan dalam proses timbulnya nyeri,

demam dan reaksi-reaksi peradangan. Selain itu, prostaglandin juga berperanan penting pada proses-

proses fisiologis normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada selaput lendir saluran

pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi

Praktikum Farmakologi Terpadu | 15

Page 17: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

mekanis, osmotis, termis atau kimiawi. Karena prostaglandin berperan dalam proses timbulnya nyeri,

demam, dan reaksi peradangan.

Obat-obatan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah :

- Antipiretik

Yang digunakan pada praktikum ini, yaitu Paracetamol dan Ibuprofen. Baik Paracetamol dan

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) secara non-selektif.

Inhibisi enzim COX menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Penurunan kadar

prostaglandin pada SSP menyebabkan penurunan set-point hipotalamus sehingga suhu tubuh

menurun. Berdasarkan pustaka, Parasetamol dan Ibuprofen memiliki potensi yang sama sebagai

antipiretik karena mekanisme kerja yang sama.

- Analgesik

Yang digunakan untuk percobaan analgesik adalah, morfin, aspirin, piroxicam dan paracetamol.

Morfin sendiri didapatkan dari opium, yang merupakan getah kering tanaman Papaver

somniferum. Opium mengandung sekitar 25 alkaloida, diantaranya yaitu morfin, noskapin,

papaverin, tebain, dan narcein. Morfin dapat menyebabkan euphoria sehingga sering

disalahgunakan.

Morfin merupakan golongan analgetik opioid atau analgetik narkotika. Mekanisme

kerja morfin sebagai analgesik adalah dengan adanya pengikatan obat

dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan

ini juga menimbulkan efek euphoria dan perasaan mengantuk. Menurut

Beckett dan Casy, reseptor turunan morfin mempunyai 3 sisi untuk

menimbulkan aktivitas analgesik, yaitu :

a. Struktur bidang datar yang mengikat cincin aromatik obat melalui ikatan

van der Waals.

b. Tempat anionik yang mampu berinteraksi dengan pusat muatan positif

obat

c. Lubang dengan orientasi yang sesuai untuk menampung bagian –CH2 dari

proyeksi cincin piperidin yang terletak di depan bidang yang

mengandung cincin aromatik dan pusat dasar.

Aspirin merupakan obat antiradang golongan Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs

(NSAIDs) atau anti inflamasi non steroid (NSAIDS). NSAIDs bekerja terutama di perifer yang

berfungsi sebagai analgesik atau pereda nyeri, antipiretik atau penurun panas, dan antiinflamasi

atau antiradang.

Aspirin memiliki beberapa efek samping, diantaranya yaitu kerusakan yang terjadi pada sel

dan jaringan karena adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator substansi radang. Asam

Praktikum Farmakologi Terpadu | 16

Page 18: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

arakhidonat mulanya merupakan komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk

fosfolipid dan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh hasil hidrosilase sebagai respon adanya

noksi. Asam arakidonat kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur

siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan. Alur lipoksigenase

yang membebaskan leukotrien dan berbagai substansi seperti HPETE. Timbulnya mual,

dispepsia, anoreksia, rasa sakit di lambung, flatulen, diare terjadi pada 10-60% pasien, karena

aspirin dapat mengiritasi lambung dan menghambat pertahanan lambung.

Sedangkan piroxicam merupakan obat golongan NSAIDs yang termasuk ke dalam

analgetik lemah.

- Antiinflamasi

Yang digunakan untuk uji antiinflamsi adalah morfin (sudah dijelaskan di atas, dalam penjelasan

obat analgesik) dan natrium diklofenak.

Natrium diklofenak adalah obat antiinflamasi nonsteroid yang

mengandung garam kalium dari diklofenak. Obat ini memiliki efek analgesik

dan antiinflamasi. Diklofenak merupakan derivat fenilasetat dan termasuk

NSAIDS yang terkuat antiradangnya dengan efek samping yang kurang

keras dibandingkan dengan obat lainnya seperti piroxicam dan indometazin.

Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan

encok. Secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi nyeri kolik

hebat (kandung kemih dan kandung empedu).

Mekanisme kerja natrium diklofenak adalah dengan menghambat

sintesis prostaglandin, yaitu mediator yang berperan penting dalam proses

terjadinya inflamasi, nyeri dan demam. Diklofenak akan diabsorbsi dengan

cepat dan lengkap dan jumlah yang diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan

bersama dengan makanan. Kadar  puncak obat dicapai dalam 0,5-1 jam.

Ikatan protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam, dan pemberian dosis berulang

tidak menyebabkan akumulasi, serta eliminasi terutama melalui urin. 

AntipiretikDemam merupakan suatu kondisi tubuh yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh diatas normal.

Suhu tubuh normal manusia, yaitu sekitar 37°C (36,5°C-36,9°C). Manusia memiliki suatu mekanisme

yang sangat efisien dalam mempertahankan suhu tubuh optimum. Pusat regulasi suhu tubuh pada manusia

terletak pada bagian hipotalamus. Zat atau agen yang dapat menyebabkan demam disebut pirogen.

Pirogen dibedakan menjadi pirogen endogen dan pirogen eksogen. Pirogen endogen merupakan pirogen

yang berasal dari dalam tubuh. Contoh dari pirogen endogen, antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.

Sumber dari pirogen endogen pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit. Sel lain juga dapat

menghasilkan pirogen endogen jika terstimulasi. Sedangkan pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal

dari luar tubuh, contohnya adalah mikroorganisme utuh seperti bakteri, virus ataupun produk dari

Praktikum Farmakologi Terpadu | 17

Page 19: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

mikroorganisme seperti toksin. Salah satu pirogen eksogen yang umum adalah endotoksin

lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif.

Demam merupakan suatu respon tubuh untuk menghilangkan stimulus-stimulus merugikan,

contohnya pada kasus infeksi. Namun, kondisi demam ini juga perlu diatasi karena peningkatan suhu

tubuh diatas normal dapat menyebabkan proses metabolisme tubuh terganggu. Beberapa komplikasi yang

dapat terjadi pada kondisi demam yang sangat tinggi antara lain dehidrasi dan kejang. Penanganan

terhadap demam yaitu dengan menghilangkan stimulus merugikan yang menyebabkan demam dan

penggunaan antipiretik.

Pada praktikum ini, sembilan tikus dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol,

kelompok uji Parasetamol 9mg/200gr dan kelompok uji Ibuprofen 9mg/200gr Mula-mula, seluruh tikus

diukur suhu rektalnya. Pengukuran suhu tubuh pada rektal lebih akurat dan lebih mudah untuk dilakukan

pada hewan uji. Setelah itu, seluruh tikus diinjeksikan pepton 0,5 ml secara subkutan. Dalam hal ini,

pepton berperan sebagai pirogen eksogen. Pepton adalah senyawa protein yang sebagian dicerna dalam

tubuh. Pepton dapat menginduksi sistem fagositosis oleh sel-sel fagosit seperti makrofag. Makrofag

mengeluarkan sitokin-sitokin yang merupakan pirogen endogen, seperti IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.

Pirogen endogen akan dibawa oleh aliran darah menuju otak. Di hipotalamus, sitokin-sitokin tersebut

menginduksi sintesis prostaglandin yang menyebabkan suhu tubuh meningkat. Empat jam setelah induksi

pepton, tikus kelompok kedua dan kelompok ketiga diberikan obat antipiretik secara oral. Suhu rektal

kemudian diukur kembali pada menit ke 20, 40, 60, 90, 120, 150, dan 180 setelah pemberian obat.

Pemberian obat dilakukan secara oral sehingga pengukuran suhu rektal ditunggu hingga diperkiran obat

tersebut sudah diabsorpsi dan mulai bekerja sebagai antipiretik.

Dari percobaan kali ini dilakukan perhitungan statistic dengan one way anova dan LSD. Pada hasil

yang ditunjukan dengan perhitungan one way anova, diperoleh nilai F (17.352) yang lebih besar dari Sig.

(0.003), yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna pada suhu yang diukur dari ketiga kelompok

perlakuan (parasetamol, ibuprofen, dan kontrol). Oleh karena itu, dilakukan perhilungan LSD (Least

Significance Differences) , untuk menentukan kelompok mana yang menyebabkan berbeda bermakana.

Pada hasil perhitungan LSD, diketahui bahwa kelompok yang menunjukan hasil berbeda bermakna

dalam efeknya menurunkan suhu tikus uji adalah kelompok antara kontrol dan parasetamol, juga

kelompok kontrol dan ibuprofen. Sedangkan untuk kelompok perbandingan antara parasetamol dan

ibuprofen menunjukan hasil tidak berbeda bermakna. Hasil ini sesuai dengan literatur yang di peroleh,

bahwa parasetamol dan ibuprofen akan menunjukan hasil tidak berbeda bermakna, karena memiliki

potensi yang sama sebagai antipiretik (mekanisme kerja yang sama).

Grafik yang diperoleh dari percobaan kali menunjukan suhu rektal tikus pada saat waktu pemberian

pepton hingga awal pemberian obat uji, terdapat pada sumbu X negatif, dan waktu pada saat pemberian

obat uji hingga 120 menit setelah pemberian obat uji, terdapat dalam sumbu X positif. Jadi dapat

dikatakan pada saat X=0 adalah waktu saat pemeberian obat uji, yaitu parasetamol, ibuprofen dan control.

Dari grafik yang diperoleh, dapat dilihat bahwa control dan ibuprofen, secara langsung dapat menurunkan

Praktikum Farmakologi Terpadu | 18

Page 20: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

suhu tikus dalam waktu 20 menit (pengukuran utama) setelah pemberian obat, walaupun ada peningkatan

suhu pada waktu ke 90 menit, tetapi tidak terlalu signifikan peningkatannya, dengan demikian dapat

dikatan secara garis besar kedua obat tersebut dapat berfungsi sebagai obat antipetik. Berbeda dengan

parasetamol, pada obat ini terjadi peningkatan suhu tikus setelah pemberian parasetamol. Hal ini dapat

disebabkan karena obat tersebut mungkin saja belum mencapai reseptornya pada saat pengikuran pertama

hingga pengukuran ke menit 90. Tetapi, setelah menit ke 90, paracetamol juga menunjukan efek

antipiretik secara cepat dengan penurunan suhu yang besar dari 39°C menjadi 38.5°C pada pengukuran

menit ke 120.

Analgesik

Nyeri merupakan salah satu gejala dari penyakit ataupun kerusakan jaringan atau organ tubuh yang

paling sering terjadi. Kerusakan jaringan ataupun terjadinya gangguan pada jaringan dapat menimbulkan

rasa nyeri . Impuls nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan yang menyebabkan sel-sel melepaskan

enzim proteolitik, yatu enzim yang menguraikan protein dan polipeptida yang merangsang ujung saraf.

Reseptor nyeri atau nociceptor merupakan ujung saraf bebas yang tersebar di kulit, otot, tulang, dan

sendi.

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh.

Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya terhadap gangguan yang terjadi di jaringan seperti inflamasi,

infeksi, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisik dapat

menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan mediator

nyeri. Mediator nyeri seperti histamin, bradikin, leukotrien, prostaglandin merangsang reseptor nyeri atau

nociceptor di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain yang menimbulkan reaksi

radang dan kejang-kejang.

Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh kecuali di SSP. Nociceptor tersebut

bereaksi dengan senyawa kimia untuk membuat ujung saraf menjadi sensitif terhadap rangsangan nyeri

oleh polipeptida. Dari tempat tersebut, rangsangan disalurkan ke otak melalui neuron melalui sinaps di

sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus, impuls kemudian diteruskan

ke pusat nyeri di otak besar di mana impuls dirasakan sebagai nyeri.

Tubuh memiliki sistem analgesik endogen yang mencegah kelebihan rasa sakit atau nyeri dari

gangguan fungsi normal tubuh. Penurunan sensasi sakit atau nyeri terjadi dalam dorsal horn pada

sumsum tulang belakang tempat dimana saraf nyeri primer berada, yang menyalurkan sensasi nyeri dari

periperal, sinaps dengan neuron yang menyalurkan rasa nyeri ke saraf pusat. Terdapat dua mekanisme

untuk menurunkan transmisi sensasi nyeri yang termasuk di dalamnya adalah hiperpolarisasi dari

interneuron dalam dorsal cord dan menurunkan pelepasan neurotransmitter yang berkaitan dengan

transmisi rasa nyeri.

Aktivasi mekanisme analgesik dihasilkan dari interaksi antar neurotransmitter spesifik seperti

enkephalin, serotonin, atau norepinephrine, dan reseptor spesifik yang berlokasi pada neuron yang

menyalurkan rasa nyeri. Mekanisme analgesik spinal dapat diaktivasi baik oleh sensasi nyeri maupun

Praktikum Farmakologi Terpadu | 19

Page 21: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

bukan sensasi nyeri yang diterima dari perifer atau dari mekanisme supraspinal. Mekanisme supraspinal

dimulai pada struktur spesifik dalam batang otak yaitu periaqueductal gray matter, locus ceruleus, dan

nuclei pada medulla. Sistem ini diaktivasi baik melalui ascending pain impulses atau melalui higher

centers seperti korteks atau hipotalamus yang kemudian akan mengaktifkan sistem analgesik spinal.

Terdapat tiga sistem yang berkaitan dengan aktivasi mekanisme supraspinal. Termasuk di dalamnya

adalah sistem opioid yang berkaitan dengan pelepasan endorphins, sistem adrenergik yang berkaitan

dengan pelepasan norepinephrine, dan sistem serotonergik yang berkaitan dengan pelepasan serotonin.

Interaksi antara sistem ini mengaktifkan sistem analgesik spinal. Ketika sistem analgesik endogen tidak

dapat mengkontrol rasa sakit atau rasa nyeri, obat golongan analgesik dapat digunakan untuk

meningkatkan kerja sistem endogen tersebut.

Dalam nyeri, ada istilah Indeks Nyeri yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat nyeri seseorang

karena rasa nyeri sangat personal dan tidak sama setiap orang walaupun dalam keadaan yang sama,

terkadang indeks nyeri ini digunakan pada saat mengukur nyeri persalinan Indeks nyeri berdasarkan

McGill Pain Indeks (MPI) dengan skala indeks 0-50, yaitu primipara 38, Multipara 30, Amputasi 25, dan

Kanker 28 (Melzack and Wall, 1991). Ada juga penggolongan nyeri secara international sebagai berikut :

Obat-obatan golongan analgesik merupakan obat-obatan yang mempunyai efek mengurangi atau

menghilangkan rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat

analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, memepengaruhi persepsi sehingga mempengaruhi

Praktikum Farmakologi Terpadu | 20

Page 22: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

persepsi nyeri, menimbulkan sedasi atau sopor sehingga nilai ambang nyeri akan meningkat, atau

mengubah persepsi nyeri. Obat-batan golongan analgesik dapat merubah persepsi dan interpretasi nyeri

dengan jalan mendepresi sistem saraf pusat pada thalamus dan korteks selebri.

Berdasarkan prinsip kerjanya, analgesik dibagi menjadi dua yaitu

a. Analgesik opioid atau analgesik narkotika

Merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat

ini digunakan unuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada fraktura dan kanker. Contoh obat

golongan ini adalah metadon, fentanil, kodein.

b. Analgesik non narkotik

Golongan obat ini sering disebut sebagai analgesik perifer, yang terdiri dari obat-obatan

yang tidak bekerja secara sentral. Penggunaan obat-obatan non narkotik atau obat analgesik

perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa nyeri atau sakit tanpa

berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat

kesadaran. Conoh obat-obatan golongan ini adalah ibuprofen, paracetamol, asam mefenamat.

Untuk mengevaluasi kerja dari suatu analgesik dalam mempengaruhi persepsi nyeri atau dalam

menurunkan ambang rasa nyeri, dapat digunakan tiga metode berikut, yaitu

a. Metode jentik ekor

Rangsang nyeri yang digunakan dalam metode ini berupa air panas 70°C di mana ekor tikus

dimasukkan ke dalam air panas dan akan merasakan nyeri panas dan ekor dijentikkan dari air panas

tersebut.

b. Metode plat panas

Rangsang nyeri yang digunakan berupa lantai kandang yang panas sekitar 55°C-65°C. Rasa nyeri

pada kaki mencit akan menyebabkan respon mengangkat kaki depan dan dijilat. Rata-rata hewan

mencit memberikan respon dengan metode ini dalam waktu 3-6 detik.

c. Metode siegmund

Rangsang nyeri yang digunakan adalah zat kimia yaitu asam asetat secara intraperitoneal. Respon

nyeri berupa geliatan yaitu reaksi abdomen. Mencit dengan rangsang nyeri ini akan memberikan

respon minimal satu kali geliatan dalam lima menit.

Metode Jentik Ekor

Digunakan morfin dan aspirin sebagai analgesik uji dan NaCl 0.9% sebagai kontrol dengan

menggunakan metode jentik ekor untuk mengevaluasi kemampuan analgesik dalam menurunkan ambang

nyeri pada tikus, dan menggunakan metode analisis annova untuk melihat kebermaknaan dari data dan

digunakan pula metode statistik SPSS untuk menentukan senyawa yang memiliki kebermaknaan

dibandingan dengan sebyawa yang lain.

Pada percobaan ini dilakukan metode jentik ekor untuk mengevaluasi kerja obat golongan analgesik

dalam menurunkan ambang nyeri atau meredakan rasa nyeri dan diberikan perlakuan berupa pemberian

analgetik morfin dan aspirin, kemudian data yang diperoleh diolah menggunakan annova untuk

Praktikum Farmakologi Terpadu | 21

Page 23: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

mengetahui apakah hasil percobaan dengan beberapa perlakuan tersebut adalah berbeda bermakna atau

tidak berbeda bermakna, kemudian untuk mendapatkan data yang berbeda bermakna dilakukan

pengolahan data menggunakan metode LSD, dan didapatkan bahwa aspirin berbeda bermakna terhadap

NaCl dan morfin dalam kemampuannya untuk mengurangi rasa nyeri atau menurunkan ambang rasa

nyeri. Dapat dilihat juga pada rata-rata waktu yang didapatkan pada hasil percobaan, rata-rata waktu pada

kelompok yang diberikan aspirin memberikan respon lebih lama daripada kelompok yang lain dalam

merespon induksi sakit secara fisik yang dilakukan.

Jika dianalisis dari data hasil percobaan yang dilakukan, efek analgesik yang ditunjukkan oleh

aspirin terhadap NaCl maupun NaCl terhadap aspirin pada menit ke-20, 30, dan 60 adalah berbeda

bermakna. Namun pada menit ke-90 baik aspirin terhadap NaCl maupun NaCl terhadap aspirin tidak

menunjukkan kebermaknaan atau dengan kata lain tidak berbeda bermakna, Hasil tersebut sesuai karena

Aspirin memiliki daya analgesic atau daya penurunan ambang rasa nyeri dibandingkan dengan NaCl yang

hanya merupakan larutan fisiologis yang bersifat isotonis terhadap cairan tubuh, sehingga tidak

menimbulkan efek apapun termasuk efek analgesic atau penurunan ambang rasa nyeri. Namun

seharusnya pada menit ke-90 masih terdapat perbedaan yang bermakna antar Aspirin dan NaCl karena

waktu paruh Aspirin berkisar antara 2-3 jam.

Sementara data yang lain yaitu Aspirin terhadap Morfin, Morfin terhadap Aspirin, Morfin terhadap

NaCl, dan NaCl terhadap Morfin tidak menunjukkan kebermaknaan atau tidak berbeda bermakna, yang

artinya adalah tidak terdapat efek yang berbeda dan berarti antar keduanya. Padahal jika dilihat dari

mekanisme kerjanya, seharusnya morfin memiliki efek analgesik yang lebih kuat dibandingkan dengan

aspirin dikarenakan kerjanya yang langsung mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu juga karena

morfin dapat mempengaruhi dan mengaktifkan sistem supraspinal. Terdapat tiga sistem yang berkaitan

dengan aktivasi mekanisme supraspinal. Termasuk di dalamnya adalah sistem opioid yang berkaitan

dengan pelepasan endorphins, sistem adrenergik yang berkaitan dengan pelepasan norepinephrine, dan

sistem serotonergik yang berkaitan dengan pelepasan serotonin. Interaksi antara sistem ini mengaktifkan

sistem analgesik spinal yang kerjanya akan lebih cepat untuk mengeliminasi rasa nyeri dan lebih kuat

efeknya sebagai analgesik. Namun karena metode ini tidak cukup akurat untuk dapat digunakan untuk

membandingkan kekuatan efek antar obat, maka adalah sesuai jika tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara morfin dengan aspirin karena efek keduanya yang sama-sama sebagai analgesic hanya

kecepatan efeknya yang relative lebih cepat dan lebih kuat morfin dibandingkan aspirin. Namun

seharusnya terdapat perbedaan yang bermakna antara Morfin dan NaCl dan sebaliknya. Hal tersebut

dikarenakan NaCl hanya larutan yang bersifat isotonis terhadap tubuh namun tidak memiliki efek

analgesic atau penurun ambang nyeri.

Beberapa hasil yang tidak sesuai tersebut dapat terjadi dimungkinkan karena terdapat kesalahan

dalam penyuntikan, yaitu yang seharusnya intraperitoneal namun tidak tepat pada rongga abdomen

sehingga memperlambat absorbsi obat atau justru obat tersebut tidak diabsorbsi sempurna dan terdapat

beberapa dosis obat yang terbuang melalui jalur lain dikarenakan ketidaktepatan dalam penyuntikan.

Praktikum Farmakologi Terpadu | 22

Page 24: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Dapat pula terjadi ketidaktepatan dalam pengamatan dan pengukuran waktu menjentik tikus dikarenakan

respon yang cepat dari tikus dibutuhkan kecepatan dalam mengoperasikan stopwatch dan kejelian dalam

pengamatan, sehingga snagat mungkin terjadinya bias dalam percobaan ini.

Metode Pelat Panas

Pada percobaan kali ini diamati efektivitas penggunaan morfin maupun piroxicam untuk mengatasi

rasa nyeri akibat panas. Nyeri akibat panas termasuk nyeri pusat yang reseptornya berada di pusat,

pengobatan yang sesuai menurut teori adalah kelompok analgetika kuat, yaitu obat-obat golongan opiat,

salah satu contohnya yang dipakai dalam praktikum kali ini adalah morfin. Obat lain yang digunakan

sebagai pembanding adalah piroxicam yang merupakan obat golongan NSAIDs yang termasuk ke dalam

analgetik lemah. Respon normal rata-rata mencit bertahan dalam plat panas adalah sekitar 4,1 detik.

Kemudian diberikan morfin kepada mencit 1-3, ditunggu 10 menit dan dilakukan pengujian lagi, dapat

dilihat terjadi kenaikan ketahanan mencit terhadap plat panas menjadi 4,6 detik, dan berangsur-angsur

naik hingga puncaknya pada menit ke 30 mencit dapat bertahan selama 10 detik. Sedangkan untuk mencit

yang diberikan piroxicam tidak terjadi kenaikan detik secara signifikan, pada 10 menit setelah pemberian

piroxicam mencit hanya bertahan selama 1,6 detik, dan tidak mengalami peningkatan sampai 120 menit

setelah pemberian piroxicam mencit dapat bertahan selama 5 detik. Menurut teori, piroxicam tidak bisa

menangani nyeri akibat panas atau nyeri yang sifatnya nyeri pusat, maka hasil yang didapatkan sudah

cukup baik, walaupun seharusnya piroxicam bisa menurunkan nyeri walaupun tidak seefektif penggunaan

morfin. Pada menit ke 120 setelah pemberian piroxicam terjadi peningkatan detik dikarenakan suhu plat

panas yang sudah tidak cukup panas, dilihat dari mencit yang diberikan CMC-Na yang juga mengalami

kenaikan ketahanan terhadap panas. Mencit yang diberikan CMC-Na mirip dengan mencit yang diberikan

piroxicam yaitu tidak mengalami peningkatan ketahanan terhadap panas.

Hasil percobaan dalam detik dilakukan pengukuran dengan statistik, One-Way ANOVA LSD untuk

melihat apakah terdapat perbedaan bermakna atau tidak antara obat satu dengan yang lainnya. Hasilnya

menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara Morfin-Piroxicam dan Morfin-CMCNa sedangkan

Piroxicam-CMCNa tidak terdapat perbedaan bermakna. Menurut teori, Morfin dapat bersifat analgetik

untuk nyeri yang sifatnya nyeri pusat seperti nyeri karena induksi panas, sedangkan piroxicam tidak untuk

nyeri pusat, begitu juga dengan pemberian CMC-Na yang hanya bersifat pembawa, tidak mempunyai

efek analgetik.

Apabila dilakukan perbandingan dilihat dari waktu yang diberikan dan dibandingkan per obat, maka

dapat dilihat pada waktu normal (belum diberikan obat) respon nyeri terhadap panas antar mencit tidak

ada perbedaan bermakna. Pada menit ke 10 setelah pemberian obat terdapat perbedaan bermakna antara

mencit yang diberikan CMC-Na dengan yang diberikan Morfin, pada menit ke 20 terdapat perbedaan

bermakna antara morfin-cmcNa dan morfin-piroxicam, dan begitu seterusnya hingga menit ke 90. Pada

menit ke 120 terjadi perbedaan bermakna antara piroxicam dengan cmc-Na. Jika dilihat dari waktu, obat

analgetik membutuhkan waktu untuk teradministrasi dalam tubuh mencit, sehingga ketika menit ke 10

baru terlihat perbedaan antara cmc-na dengan morfin, kemudian pada menit ke 20, respon nyeri mencit

Praktikum Farmakologi Terpadu | 23

Page 25: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

semakin lama pada mencit yang diberikan morfin, dan pada mencit yang diberikan cmc-na dan piroxicam

tidak berpengaruh apa-apa sehingga terjadi perbedaan bermakna hingga menit ke 90. Pada menit ke 120,

mencit yang diberikan cmc-Na mempunyai waktu respon nyeri terhadap plat panas nya cukup lama, hal

ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana mencit yang diberikan cmc-Na seharusnya waktu respon

nyerinya terhadap panas sangat cepat, hal ini bisa disebabkan karena plat nya yang sudah tidak terlalu

panas, atau mencitnya yang sudah menjadi terbiasa dengan plat panas tersebut sehingga hasil tidak sesuai

dengan yang diharapkan.

Metode Siegmund

Antiinflamasi

Inflamasi merupakan suatu respon protektif yang normal terhadap luka

jaringan, bisa disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat

mikrobiologis. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh

untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat luka

dan mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan misalnya antigen, virus,

bakteri, maupun protozoa.

Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam 2 fase, yaitu inflamasi akut dan

inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cidera jaringan.

Pada umumnya, didahului oleh pembentukan respon imun yang merupakan suatu

reaksi yang terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan

diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas

selama respon terhadap inflamasi, baik akut maupun kronis. Inflamasi kronis

melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam respon akut.

Inflamasi kronis dapat menyebabkan sakit dan kerusakan pada tulang dan tulang

rawan yang dapat menyebabkan ketidakmampuan serta terjadi perubahan-

perubahan sistemik yang bisa memperpendek umur.

Ciri-ciri terjadinya inflamasi sudah dikenal ialah rubor (eritema/kemerahan),

tumor (udem), kolor (panas), dolor (nyeri), dan function laesa.

1. Rubor (eritema/kemerahan) terjadi pada tahap pertama dari inflamasi dimana

darah berkumpul pada daerah luka akibat pelepasan mediator kimia tubuh

berupa kinin, prostaglandin, dan histamin.

2. Tumor (udem/pembengkakan) merupakan tahapan kedua dari infalamasi.

Plasma merembes ke dalam jaringan intestinal pada tempat luka. Kinin

mendilatasi asteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler.

Praktikum Farmakologi Terpadu | 24

Page 26: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

3. Kolor (panas) dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah. Bisa

juga disebabkan oleh pirogen, yaitu substansi penimbul demam yang

mengganggu pusat pengaturan panas pada hipotalamus.

4. Dolor (nyeri) dapat disebabkan oleh pembengkakan pada pelepasan mediator-

mediator kimia.

5. Function laesa (hilangnya fungsi) dapat disebabkan oleh penumpukan cairan

pada tempat luka karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada

daerah yang terkena inflamasi.

Secara in vitro, terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2)

dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritema, vasodilatasi dan peningkatan aliran

darah lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskular,

tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek

eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke

jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak

bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakhidonat yakni leukotrien B4

merupakan zat kemotaktik yang sangat poten.

Secara skematis, gejala inflamasi dibedakan menjadi 4 tahap. Masing-masing

tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor humoral seperti leukotrien, histamin,

serotonin, bradikinin, dan prostaglandin. Empat fase gejala inflamasi tersebut,

yaitu:

1. Eritema: vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh

perubahan permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding

pembuluh.

2. Ekstravasasi: keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan

menyebabkan udem.

3. Suppurasi dan nekrosis: pembentukan nanah dan kematian jaringan yang

disebabkan oleh penimbunan leukosit-leukosit di daerah inflamasi.

4. Degenerasi jaringan: tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk

pembentukan pembuluh darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen

yang tidak berfungsi.

Mekanisme kerja dari obat antiinflamasi ini adalah dengan penghambatan

biosintesis prostaglandin (PG) yang akan berpengaruh pada efek terapi dan efek

samping yang ditimbulkan.

Karagen adalah sulfat polisakarida bermolekul sebagai induktor inflamasi.

Penggunaan karagen sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan,

Praktikum Farmakologi Terpadu | 25

Page 27: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan, dan

memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi dibanding

senyawa iritan lainnya. Zat yang digunakan untuk memicu terbentuknya udem,

antara lain mustard oil 5%, dextran 1%, egg white fresh undiluted, serotonin

kreatinin sulfat, karagen- 1% yang diinduksikan secara intraplantar pada telapak

kaki tikus. Karagen ada beberapa tipe, yaitu lamda karagen, iotakaragen, dan

kappa karagen. Lamda karagen ini paling bagus efek inflamasinya dibandingkan

dengan jenis karagen yang lain karena lamda karagen paling cepat menyebabkan

inflamasi dan memiliki bentuk gel yang baik dan tidak keras.

Percobaan ini menggunakan alat yang bernama Plethysmometer air raksa

untuk mengindikasikan terjadinya inflamasi pada kaki bawah sebelah kiri tikus,

dengan pengukuran persentase besarnya radang pembengkakan. Caranya, tikus

yang belum diberi obat diberi tanda yang melingkari pergelangan kakinya sampai

batas bulu, lalu kaki tersebut dicelupkan dalam air raksa sampai batas lingkaran

tadi dan diamati tinggi air raksa sebagai konversi volume kaki tikus yang tercelup

dalam air raksa tersebut. Kaki kiri tikus dipakai karena kaki tikus tidak terdapat

bulu, sehingga efek inflamasinya secara fisik dapat diamati lebih jelas karena bulu

pada tikus dapat menghambat pengamatan volume inflamasi yang terbentuk.

Untuk memudahkan pengamatan, karagen diinjeksikan secara subkutan pada kaki

tikus tersebut agar efeknya lebih cepat. Selain itu, kaki kiri bawah digunakan agar

memudahkan pada saat pencelupan dalam air raksa dan memperhitungkan bahwa

kaki bawah ukurannya lebih besar daripada kaki atas.

Hasil-hasil pengamatan dicantumkan dalam tabel untuk setiap kelompok.

Kemudian perhitungan persentase udem (kenaikan volume kaki) dilakukan dengan

membandingkannya terhadap volume dasar sebelum menyuntikkan karagen

dengan rumus:

Persenudem=Vt−V 0V 0

x100 %

Perhitungan persentase peradangan dilakukan setiap 30 menit agar dapat

diketahui seberapa besar proses peradangan pada kaki tikus telah terjadi tiap 30

menit. Selanjutnya untuk setiap kelompok, dihitung persentase rata-rata dan

bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap

kelompok kontrol pada jam yang sama. Perhitungan persentase inhibisi peradangan

dilakukan dengan rumus:

Perseninhibi si=%average kontrol−%average uji%average kontrol

Praktikum Farmakologi Terpadu | 26

Page 28: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Perhitungan persentase inhibisi peradangan dilakukan agar dapat diketahui

seberapa besar penghambatan obat uji (morfin dan diklofenak) terhadap

peradangan pada kaki tikus. Lalu grafik persentase udem dan grafik persentase

inhibisi peradangan terhadap waktu dibuat.

Tikus yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah tiga ekor dengan tiga

perlakuan yang masing-masing berbeda. Perlakuan yang diberikan pada tikus III,

sebagai kontrol, adalah pemberian larutan NaCl fisiologis secara intraperitoneal,

lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagen secara intraplantar. Diamati

pembengkakan yang terjadi setiap 30 menit selama 210 menit. Larutan NaCl

fisiologis berfungsi sebagai injeksi untuk kontrol positif, yakni sebagai blanko

sehingga tikus mengalami pembengkakan kaki maksimal tanpa adanya inhibisi dari

obat. Larutan NaCl fisiologis diberikan secara intraperitoneal untuk memperoleh

efek sistemik yang cepat. Karagen berfungsi sebagai inflamator dan disuntikkan

secara intraplantar pada telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek lokal

yang cepat. Pengamatan setiap 30 menit selama 210 menit dilakukan dengan

tujuan mengukur besarnya inflamasi yang terjadi pada kaki tikus akibat injeksi

karagen. Dari hasil pengamatan dan perhitungan persen udem, diperoleh bahwa

udem sudah mulai muncul pada menit ke 30 setelah penyuntikan karagen sebesar

15,545% dan terus meningkat sampai menit ke 180 sebesar 71,242%. Persen udem

mulai mengalami penurunan pada menit ke 210 dengan nilai persen udemnya

sebesar 63,545%. Namun, pada menit ke 150 sempat terjadi penurunan persen

udem dan penurunannya sangat kecil, yaitu kurang dari 1% dari persen udem

sebelumnya, sehingga penurunan itu bisa diabaikan.

Peningkatan besarnya udem terjadi mulai dari menit ke 30 secara bertahap, hal

ini menunjukkan pembentukan inflamasi pada kaki tikus. Lalu penurunan besarnya

udem pada menit ke 210 menit menunjukkan bahwa efek injeksi karagen sudah

mulai berkurang sehingga inflamasi yang terbentuk mulai mereda yang ditunjukkan

dengan ukuran telapak kaki yang mengecil dan kemudian lama kelamaan udem

akan menghilang. Tikus kontrol ini berguna untuk membandingkan antara volume

inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang tidak diberi obat antiinflamasi dengan

volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang diberi obat antiinflamasi. Inflamasi

yang terbentuk diamati, dan terbukti bahwa volume tikus kontrol lebih besar

daripada volume inflamasi pada tikus uji. Dalam hal ini, karagen yang dinjeksi

secara intraplantar berhasil menimbulkan efek inflamasi sebagaimana fungsinya

yaitu untuk membentuk udem. Pembentukan udem oleh karagen tidak

Praktikum Farmakologi Terpadu | 27

Page 29: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun udem dapat bertahan selama 6 jam

dan berangsur-angsur akan berkurang setelah 24 jam tanpa meninggalkan bekas.

Tikus I sebagai tikus uji, mendapat perlakuan berupa pemberian morfin secara

intraperitoneal. 30 menit kemudian disuntikkan karagen secara intraplantar dan

diamati setiap 30 menit selama 210 menit. Percobaan ini dilakukan untuk menguji

efektivitas morfin pada pembentukan antiinflamasi. Setelah penyuntikan karagen,

pengamatan dilakukan dengan cara yang sama pada tikus III, yaitu setiap 30 menit,

kaki tikus dicelupkan ke dalam air raksa dan diamati tinggi air raksa yang terjadi

untuk mengindikasikan volume inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan

dan perhitungan persen udem, diperoleh bahwa udem sudah mulai muncul pada

menit ke 30 setelah penyuntikan karagen sebesar 12,946% dan terus meningkat

sampai menit ke 180 sebesar 48,515 %. Persen udem mengalami penurunan pada

menit ke 210 dengan nilai persen udem sebesar 42,76%. Persen inhibisi morfin

meningkat mulai dari menit ke 30 sebesar 3,947% dan terus mengalami

peningkatan sampai menit ke 90 sebesar 25,243%. Kekuatan inhibisi mulai

menurun pada menit ke 120 sampai 210, dari 25% sampai 16,514%.

Dari hasil percobaan, terlihat bahwa morfin dapat menginhibisi terbentuknya

udem. Hal ini ditunjukkan dengan persen udem morfin lebih rendah daripada

persen udem kontrol (larutan NaCl fisiologis). Hal ini tidak sesuai dengan teori

karena morfin memiliki efek terkuat sebagai analgesik, bukan sebagai efek

antiinflamasi.

Pada tikus II sebagai tikus uji, mendapat perlakuan berupa pemberian

diklofenak secara intraperitoneal. 30 menit kemudian disuntikkan karagen secara

intraplantar dan diamati setiap 30 menit selama 210 menit. Percobaan ini dilakukan

untuk menguji efektivitas diklofenak pada pembentukan inflamasi. Setelah

penyuntikan karagen, pengamatan dilakukan dengan cara yang sama pada tikus III,

yaitu setiap 30 menit, kaki tikus dicelupkan ke dalam air raksa dan diamati tinggi

air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume inflamasi yang terbentuk. Dari

hasil pengamatan dan perhitungan persen udem, diperoleh bahwa udem sudah

mulai muncul pada menit ke 30 setelah penyuntikan karagen sebesar 44,103% dan

terus meningkat sampai menit ke 210 sebesar 97,983%. Namun, sempat

mengalami penurunan persen udem pada menit ke 60 sebesar 40,889%. Persen

inhibisi diklofenak meningkat mulai dari menit ke 30 sebesar 6,58% dan terus

mengalami peningkatan sampai menit ke 120 sebesar 29,46%. Kekuatan inhibisi

mulai menurun pada menit ke 150 sampai 210, dari 21,97% sampai 9,17%.

Praktikum Farmakologi Terpadu | 28

Page 30: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

Dari hasil percobaan, terlihat bahwa diklofenak dapat menginhibisi

terbentuknya udem. Hal ini ditunjukkan dengan persen inhibisi diklofenak yang

mencapai 29,46%. Hal ini sudah sesuai dengan teori bahwa diklofenak merupakan

obat NSAIDS yang memiliki efek antiinflamasi sehingga dapat menginhibisi udem

yang terjadi.

Nilai persen udem rata-rata pada morfin adalah sebesar 30,565%, diklofenak

memiliki nilai persen udem rata-rata adalah sebesar 67,58%, sedangkan larutan

NaCl fisiologis memiliki nilai persen udem rata-rata adalah sebesar 54,08%. Nilai

persen udem adalah nilai yang menunjukkan terbentuknya radang yang

dipengaruhi oleh ada tidaknya obat antiinflamasi yang menghambatnya.

Seharusnya, peradangan pada kelompok kontrol (larutan NaCl fisiologis) adalah

yang terbesar diantara kelompok obat uji. Pada percobaan, didapatkan bahwa nilai

persen udem kontrol lebih besar dibandingkan dengan nilai persen udem morfin

dan ini sudah sesuai dengan teori. Sedangkan nilai persen udem diklofenak lebih

besar dibandingkan dengan nilai persen udem kontrol. Hal ini tidak sesuai dengan

teori karena beberapa sebab, antara lain variasi biologis tikus, teknik penyuntikan

yang kurang tepat, atau pengukuran volume kaki tikus yang tidak tepat karena

memang tikus tidak mau mendiamkan kakinya ketika akan dicelupkan ke dalam air

raksa sehingga mungkin saja pencelupan kaki tikus ke dalam air raksa tidak sesuai

tanda batas. Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan karena pembacaan tinggi

air raksa yang tidak tepat oleh praktikan. Seharusnya tidak ada nilai negatif pada

hasil perhitungan persentase udem karena ini menandakan bahwa volume awal (V0)

yang dipakai bukanlah volume yang sebenarnya yang kemungkinan disebabkan

oleh tidak tepatnya pengukuran tinggi air raksa volume kaki tikus.

Setelah dihitung secara statistik dengan one-way ANOVA, diperoleh kesimpulan

bahwa terdapat perbedaan bermakna antara persen udem antara kelompok kontrol,

diklofenak dan morfin. Jika ditelusuri lebih jauh dengan metode LSD, diperoleh hasil

bahwa yang terdapat perbedaan yang signifikan adalah kelompok diklofenak

dengan kontrol dan kelompok diklofenak dengan morfin. Sedangkan kelompok

morfin dengan kontrol, tidak ada perbedaan secara signifikan.

Nilai inhibisi udem rata-rata pada morfin adalah sebesar 15,417%, sedangkan

diklofenak memiliki nilai inhibisi udem rata-rata adalah sebesar 17,415%. Nilai

inhibisi udem adalah nilai yang menunjukkan kemampuan obat uji untuk menekan

radang (aktivitas inflamasi) dimana peradangan pada kelompok kontrol adalah

100%. Pada percobaan, didapatkan bahwa nilai inhibisi udem diklofenak lebih besar

dibandingkan dengan nilai inhibisi udem morfin. Namun, setelah dihitung secara

Praktikum Farmakologi Terpadu | 29

Page 31: Laporan Antipiretik – Analgesik – Antiinflamasi

statistik dengan one-way ANOVA, diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan

bermakna antara persen inhibisi udem antara diklofenak dan morfin.

VI. KESIMPULAN 1. Perbedaan yang bermakna diperoleh dari hasil percobaan antara control dengan parasetamol, dan

control dengan ibuprofen. Sedangakan untuk perbandingan antara parasetamol dan ibuprofen,

menghasilkan data yang tidak berbeda bermakna, sebagai obat antipiretik.

2. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara Aspirin terhadap

NaCl dan NaCl terhadap Aspirin, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara Morfin

terhadap Aspirin dan Aspirin terhadap Morfin, ataupun Morfin terhadap NaCl dan NaCl terhadap

Morfin.

3. Rata-rata waktu respon nyeri mencit terhadap panas setelah pemberian morfin adalah 5,95 detik ;

piroxicam sebesar 2,3 detik, dan CMC-Na sebesar 3,5 detik.

4.

5. Morfin dan diklofenak memiliki efek antiinflamasi dimana persen inhibisi kedua

obat tersebut tidak berbeda secara signifikan berdasarkan perhitungan one-way

ANOVA, sedangkan persen udem antara ketiga kelompok perlakuan terdapat

perbedaan yang signifikan pada kelompok diklofenak dengan kontrol dan

kelompok diklofenak dengan morfin berdasarkan perhitungan one-way ANOVA

dan LSD.

VII. DAFTAR PUSTAKAMutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung : penerbit ITB. Hal 177-199.

Neal, M.J. 2006. Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT

Erlangga. Halaman 70-71.

http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/SMP/Biologi/Zat%20Adiktif%20dan%20 Fiskotropika/PRODUK/materi3h.html (diakses pada 6 November 2014 pukul 13.00)http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1849794http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6254551http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38265/4/Chapter%20II.pdfhttp://www.medscape.com/viewarticle/742445_2 (diakses 11 November 2014 pukul 09.15)http://www.drugbank.ca/drugs/DB01050 (diakses 11 November 2014 pukul 09.54)

Praktikum Farmakologi Terpadu | 30