Bab II Antiinflamasi

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflamasi Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam tiga fase : inflamasi akut, respons imun, inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada umumnya didahului oleh pembentukan respons imun. Respons imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respons imun bagi tuan rumah mungkin menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat merusak bila menjurus kepada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses cedera yang mendasarinya. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam respons akut (Furst dan Munster, 2002). Salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediator-mediator ini adalah atritis teomatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit dan kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa menjurus kepada ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-

description

Antiinflamasi

Transcript of Bab II Antiinflamasi

Page 1: Bab II Antiinflamasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflamasi

Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam tiga fase : inflamasi akut,

respons imun, inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap

cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada

umumnya didahului oleh pembentukan respons imun. Respons imun terjadi bila

sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon

organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap

inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respons imun bagi tuan rumah mungkin

menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi

di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat

merusak bila menjurus kepada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses

cedera yang mendasarinya. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah

mediator yang tidak menonjol dalam respons akut (Furst dan Munster, 2002).

Salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediator-

mediator ini adalah atritis teomatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit

dan kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa menjurus kepada

ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-perubahan sistemik

yang bisa memperpendek umur (Furst dan Munster, 2002).

Kerusakan sel yang berkaitan dengan inflamasi berpengaruh terhadap

selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim

lisosomal; archidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan-persenyawaan

terdahulu, dan berbagai eicosanoid disintesis (Furst dan Munster, 2002).

Jalur cylooxigenase (COX) dari metabolisme arachidonate menghasilkan

prostaglandin-prostaglandin, yang mempunyai berbagai efek pada pembuluh

darah, ujung-ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi.

Penemuan isoform-isoform COX (COX-1 dan COX 2) menjurus kepada konsep

bahwa isoform COX-1 yang konstitusif (bersifat pokok, selalu ada) cenderung

menjadi homeostatis dalam fungsinya, sedangkan COX-2 diinduksi selama

inflamasi dan digunakan untuk memfasilitasi respons inflamasi. Atas dasar ini,

Page 2: Bab II Antiinflamasi

penghambat COX-2 yang sangat selektif telah dikembangkan dan dipasarkan

dengan asumsi bahwa penghambat-penghambat selektif semacam itu akan lebih

aman daripada penghambat-penghambat COX-1 yang non selektif tetapi tentunya

tanpa kehilangan kemanjurannya (efikasi). Jalur lipoygenase dari metabolisme

dari arachidonate menghasilkan leukotrin yang mempunyai efek kemotaksis yang

kuat pada eusinofil, neutrofil, dan makrofag serta meningkatkan bronkokonstriksi

dan perubahan-perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah (Furst dan

Munster, 2002).

Berbagai kinin, neuropeptida, dan histamine juga dikeluarkan ditempat

cedera jaringan sebagaimana juga komponen-komponen komplemen, cytokine,

dan produk-produk lain dari leukosit dan platelet. Rangsangan dari selaput

neutrofil menghasilkan radikal-radikal bebas yang berasal dari oksigen. Anion

superoksida dibentuk melalui reduksi dari oksigen molekuler yang bisa

merangsang produksi molekul-molekul lainnya seperti halnya hidrogen peroksida

dan radikal hidroksil. Interaksi dari bahan-bahan ini dengan arachidonic acid

menghasilkan pembentukan substansi-substansi kemotaksis, selanjutnya secara

berkesinambungan meneruskan proses inflamasi (Furst dan Munster, 2002).

2.1.1 Strategi Terapeutik

Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai dua tujuan utama:

pertama, meringankan rasa nyeri, merupakan gejala awal yang terlihat dan

keluhan utama yang terus menerus dari pasien. Dan kedua, memperlambat atau

(dalam teori) membatasi proses perusakan jaringan. Pengurangan inflamasi

dengan obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS; non steroidal anti-

inflammatory drugs= NSAIDs) seringkali berakibat meredanya rasa nyeri selama

periode yang bermakna. Lebh jauh lagi, sebagian besar dari non opiod analgesik

(aspirin, dll) juga mempunyai efek antiinflamasi, jadi mereka tepat digunakan

untuk pengobatan akut maupun kronis. Glukokortikoid juga memiliki efek

antiinflamasi dan ketika pertama kali diperkenalkan dianggap sebagai jawaban

terakhir untuk pengobatan artritis yang beradang. Tapi sayangnya, toksisitas yang

dihubungkan, dengan terapi cortikosteroid kronis menghambat pemakaian mereka

kecuali dalam pengendalian timbulnya gejolak akut penyakit sendi. Sehingga,

Page 3: Bab II Antiinflamasi

obat-obat antiinflamasi non-steroid memikul peran utama dalam pengobatan

artritis (Furst dan Munster, 2002).

Kelompok agen lain yang penting ditandai sebagai obat-obat antireumatik

kerja lambat (slow-antirheumatic drugs= SAARDs) atau obat-obat antireumatic

pemodifikasi-penyakit (desease-modic antirheumatisdrugs=DMARDs). Mereka

bisa memperlambat kerusakan tulang yang disebabkan artritis reumatoid dan

diperkirakan mempunyai efek pada mekanisme inflamasi yang lebih mendasar

dari pada AINS (NSAIDs). Tetapi sayangnya mereka bisa lebih toksik dari pada

agen-agen antiinflamasi nonsteroid(Furst dan Munster, 2002).

2.1.2 Obat Antiinflamasi Nonsteroid

Berbagai salicylate dan agen-agen lain yang mirip yang dipakai untuk

mengobatipenyakit reumatik sama-sama memiliki kemampuan untuk menekan

tanda-tanda dan gejala-gejala inflamasi. Obat-obat ini mempunyai efek antipiretik

dan analgesik, tetapi sifat-sifat antiinflamasi merekalah yang membuat mereka

paling baik dalam menangani gangguan-gangguan dengan rasa sakit yang

dihubungkan dengan intensitas proses antiinflamasi(Furst dan Munster, 2002).

2.1.2.1 Kimia Dan Farmakodinamika

Sekalipun ada banyak perbedaan dalam kinetika AINS, mereka

mempunyai beberapa karakteristi umum yang sama. Semua kecuali satu dari

AINS adalah asam organik lemak seperti yang disebutkan; perkecualiannya

nabumetone adalah suatu ketone prodrug yang dimetabolisme menjadi bat aktif

yang asam. Sebagian besar dari titik ini diserap dengan baik, dan makanan tidak

mempengaruhi bioavaibilitas mereka secara substansial. Sebagian besar dari

AINS sangat dimetabolisme, beberapa oleh mekanisme fase satu dan fase dua dan

lainnya hanya oleh glukuronidasi langsung (fase II) (Furst dan Munster, 2002).

Kenyataannya, tingkat iritasi saluran cerna bagian bawah berkolerasi dengan

jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian besar dari AINS sebagai berikatan

protein tinggi (> 98 %), biasanya dengan albumin. Beberapa AINS (misalnya

ibuprofen) adalah campuran rasemik, sementara, naproxen, tersedia sebagai

enansiomer tunggal dan beberapa tidak mempunyai pusat chirral (misalnya

diclofenac) (Furst dan Munster, 2002).

2.1.2.2 Farmakodinamika

Page 4: Bab II Antiinflamasi

Aktivitas antiinflamasi dari AINS terutama perantarai melalui hambatan

biosintetis prostaglandin. Berbagai AINS mungkin memiliki mekanisme kerja

tambahan, termasuk hambatan kemotaksis, regulasi-rendah (down-regulation)

produksi interleukin-1, penurunan radikal bebas dan superoksida, dan campur

tangan denga kejadian-kejadian intraseluler yang diperantarai kalsium (Furst dan

Munster, 2002).

Dalam tingkat yang berbeda-beda semua AINS yang lebih baru adalah

analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik, dan semua (kecuali agen-agen selektif

COX-2) menghambat agregasi platelet. Mereka semua adalah iritan-iritan

lambung, sekalipun sebagai kelompok mereka cenderung kurang menyebabkan

iritasi lambung daripada aspiri. Nefrotoksisitas telah teramati untuk semua obat

yang penggunaannya secara ekstensif telah dilaporkan, dan hepatoksisitas bisa

juga terjadi dengan setiap AINS (Furst dan Munster, 2002).

Sekalipun obat-obat ini menghambat inflamasi dengan efektif, tidak ada

bukti bahwa berlawanan dengan obat-obat seperti metrotrexate, mereka mengubah

perjalanan gangguan artritis(Furst dan Munster, 2002).

2.1.3 Mediator Dan Substansi Inflamasi

Kerusakan sel akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator

atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin,

prostaglandin, leukotrien dan sebagainya. Histamin terdapat pada semua jaringan

juga pada leukosit basofil. Dalam jaringan, histamin disimpan dalam sel mast dan

dibebaskan sebagai hasil interaksi antigen dengan antibodi IgE pada permukaan

sel mast, berperanan pada reaksi hipersensitif dan alergi. Substans tersebut

merupakan mediator utusan pertama dari sedemikian banyak mediator lain, segera

muncul dalam beberapa detik. Reseptorhistamin adalah H1 dan H2. Stimulasi

pada kedua reseptor ini menyebabkan vasodilatasi pada arterial dan pembuluh

darah koronaria, merendahkan resistensi kapiler dan menurunkan tekanan darah

sistemik. Pada reaksi radang permeabilitas kapiler meningkat karena

dibebaskannya histamin (Mansjoer, 2003).

2.1.4 Mekanisme Inflamasi

Respons kardiovaskular pada proses radang tergantung dari karakteristik

dan distribusi noksi. Dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar

Page 5: Bab II Antiinflamasi

jaringan yang mengalami pengaruh merusak pada fase akut berlangsung cepat

dimulai 1 sampai 30 menit sejak terjadi perubahan pada jaringan dan berakhir 15

sampai 30 menit dan kadang-kadang sampai 60 menit. Volume darah yang

membawa leukosit ke daerah radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar

jaringan berupa rasa panas dan warna kemerah-merahan (PGE2 dan PGI2). Aliran

darah menjadi lebih lambat, leukosit beragregasi di sepanjang dinding pembuluh

darah menyebabkan pembuluh darah kehilangan tekstur. Peningkatan

permeabilitas kapiler disebabkan kontraksi sel-sel endotel sehingga menirnbulkan

celah-celah bermembran. Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin,

serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan komplemen dibawah pengaruh faktor

Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat mencapai jaringan karena

meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa udem (Mansjoer,

2003).

Fase radang sub-akut berlangsung lambat, mulai dari beberapa jam sampai

beberapa hari misalnya karena pengaruh noksi bakteri. Vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler masih berlangsung. Karakteristik paling

menonjol adalah infiltrasi fagosit yaitu sel polimorfonuklir dan monosit ke

jaringan. Selain itu aliran darah lambat, pendarahan dan terjadi kerusakan jaringan

yang ekstensif. Proses fagosit mencapai daerah peradangan dinamakan

kemotaktik. Migrasi fagosit diaktivasi oleh salah satu fragmen dari komponen

komplemen, untuk leukosit polimorfonuklir yaitu C3 a. Selain itu LTB4 dan PAF

ikut berperanan. Fagosit bergerak pada permukaan sel endotel, pada ujung depan

mengecil dan memanjang sehingga dapat memasuki antar sel endotel kemudian

melarutkan membran (diapedesis). Fagosit melepaskan diri dari antar sel, masuk

ke jaringan dan berakumulasi. Fagosit yang mula-mula ke luar dari dinding

pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklir yang menyerang dan mencerna

bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai

petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel jaringan yang telah

mati akibat toksin bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut mencerna

bakteri (Mansjoer, 2003).

Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeable

sifatnya berubah disebut limfe radang. Leukosit dan limfe radang secara bersama

Page 6: Bab II Antiinflamasi

membentuk eksudat radang yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan.

Rasa sakit disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan.

Selain itu rasa sakit disebabkan bradikinin dan PG. Kerusakan jaringan

disebabkan fagositosis, enzim lisosomal clan radikal oksigen. Deman oleh pirogen

endogen yang dihasilkan adalah karena kerusakan sel (Khan dan Khan, 2010).

2.1.5 Mekanisme Kerja Obat Antiinflamasi

Asam arakidonat merupakan konstituen diet pada manusia, sebagai salah

satu senyawa yang kehadirannya bersama diet asarn linoleat. Asam arakidonat

sendiri oleh membran sel akan diesterifikasikan menjadi bentuk fosfolipid dan

lainnya berupa kompleks lipid. Dalam keadaan bebas tetapi dengan konsentrasi

yang sangat kecil asam ini berada di dalam sel. Pada biosintesis eikosanoid, asam

arakidonat akan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase. Besar

kecilnya pembebasan tergantung dari kebutuhan enzim pensintesis eikosanoid.

Kebutuhan ini ditentukan dari seberapa besar respons yang diberikan terhadap

stimuli penyebab radang (Mansjoer, 2003).

Page 7: Bab II Antiinflamasi

Obat Antiinflamasi Nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim

siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa

endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat

semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis prostaglandin akan

terhenti. Antiinflamasi Nonsteroid tidak menghambat metabolisme asam

arakidonat melalui alur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase

kemungkinan akan menambah pembentukan leukotrien pada alur lipoksigenase.

Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam

arakidonat dari yang seharusnya dibutuhkan enzim lipoksigenase. Selain sebagai

penghambat sintesis prostaglandin dari berbagai model eksperimen yang telah

dicoba kepada manusia untuk tujuan terapeutik, NSAID ternyata menunjukkan

berbagai kerja lain sebagai antiradang (Mansjoer, 2003).

Obat antiradang nonsteroid menurut struktur kimia dengan beberapa

pengecualian dapat dibagi dalarn delapan golongan. (1) Turunan asam salisilat:

asam asetilsalisilat, diflunisal. (2) Turunan pirazolon: fenilbutazon,

oksifenbutazon, antipirin, arninopirin, (3) Turunan para-aminofenol: fenasetin. (4)

Indometasin dan senyawa yang masih berhubungan: indometasin dan sulindak. (5)

Turunan asam propionat: ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen,

flurbiprofen. (6) Turunan asam antranilat : asam flufenamat, asam mafenamat. (7)

Obat antiradang yang tidak mempunyai penggolongan tertentu: tolmetin,

piroksikam, diklofenak, etodolak, nebumeton, senyawa emas. (8) Obat pirro

(gout), kolkisin, alopurinol(Mansjoer, 2003).

Glukokortikoid digunakan untuk menekan berbagai gejala klinis pada

proses radang yang disebabkan dilatasi kapiler, udem, migrasi leukosit, aktivitas

fagosit dan sebagainya. Selain itu glukokortikoid dapat mencegah terjadinya

perubahan-perubahan lanjutan seperti proliferasi kapiler, fibroblast dan kolagen.

Glukokortikoid juga dapat diberikan sebagai imunosupresan untuk menekan

gejala klinis pada reaksi imun. Pada penyakit yang disebabkan infeksi bakteri

glukokortikoid hanya diberikan bersama antibiotika atau khemoterapeutika.

Sebagai antiradang glukokortikoid digunakan pada penyakit reumatik (demam

reumatik akut dengan karditis, artritis reumatoid, poliartritis, osteoartritis serta

kolagenosis), reaksi alergi, udem otak, tumor ganas, radang pada kulit, mata,

Page 8: Bab II Antiinflamasi

telinga dan sebagainya. Termasuk obat antiradang golongan glukokortikoid antara

lain: kortison hidrokortison, prednison, prednisolon, triamsinolon, betametason,

deksametason dan sebagainya (Mansjoer, 2003).

2.2 Dexamethason (9 α-Fluoriertes Glucocorticoid)

2.2.1 Farmakokinetik BM: 393

- Ketersediaanbiologic: 80%

- Volume distribusi: 0,81/Kg (dalam LCS sekitar 20% darikadardalam

plasma).

- Ikatan protein plasma: 70% (padadosis yang lebihtinggilebihkecil),

terikatpadaTranscortin (affinitastinggi, kapasitasrendah ) danpada

Albumin (affinitasrendah, kapasitasbesar).

- Waktuparuhplasma: 3 jam.

- Lamanyaobatberefek: 36-72 jam (Corticosteroid-Receptor-complex

didalam inti sel).

- Eliminasi:sekitar 3% dieliminasi renal tanpadiubah,

sisanyadimetabolismedidalmahati, glucuronidasidansulfatisasi (Widodo,

dkk, 1993).

2.2.2 Dosis

- 0,75 mg Dexamethason sesuaidengan 5 mg Prednison.

- Untuksetiapindikasidanpenyakit yang berat 0,5 – 6 mg/harisebelum jam 8

pagi (ataualternatifsetiap 2 haripoatau 40-80 mg (sampaidengan 80 mg)

sebagai bolus iv).

- Setelahpenggunaan yang lama penghentianharusbertahapperlahan-lahan.

- Dosis yang dapatmenimbulkan Cushing-syndromsekitar0,5 mg (Widodo,

dkk, 1993).

2.2.3 Efek Yang Tak Diharapkan

(tergantung besarnya dosis dan lamanya terapi).

a. Penggunaanjangkapendek (< 2 minggu).

- Bahayaperdarahan gastrointestinal (seringberhubungandengan stress).

- Menurunnyatoleransiglukosa.

Page 9: Bab II Antiinflamasi

- Menurunnyaketahananterhadapinfeksi (misal Herpes Zoster)

(Widodo, dkk, 1993).

b. Pengggunaanjangkapanjangdansistemik (> 2 minggu )

- Atropikelenjarsuprarenalis.

- Cushing syndromdenganmukawajahbulan (Moonface), tengkuktebal,

penimbunanlemakpadabadan, nafsumakandanberatbadanmeningkat.

- Intoleransiglukosasamapidengan Diabetes steroid.

- MeningkatnyaaktifitaslipolitikdariGlukagondan Adrenalin.

- ResorpsiCalsiummenurundidalamlambung-usudanginjal,

ekskresiPhospatmeningkat.

- Lymphositdan Eosinophil berkurang,

kerentananterhadapinfeksimeningkatdenganbahayaeksaserbasidariinfe

ksi virus, jamuratauTuberkulosa.

- LeukositdanThrombositmeningkatdenganbahayaterjadinyaThrombose

dan Thrombophlebitis, fragilitaskapilermeninggi,

PetechiaedanEchymosis.

- KatarakdanGlaukomaberkembang.

- Acne vulgaris (“ Acene Steroid”), Atrofikulit, Hyperpigmentasi,

Striaerubrae, penyembuhanlukaterganggudandiperlambat, Ulcuscruris.

- Hirsutismus, Hypertrichosis, Hyperhydrosis, Amenorrhoe,

gangguanovulasi da siklusmenstruasi.

- BerkembangnyaUlcuspepticumdenganbahayaperforasi (seringtanpa

symptom klinik yang khas), Pancreatitis akut.

- Myopathiedengankelemahanotot, ototlemas (terutamaotot-

ototekstemitasbagianproksimal, bahudanpinggang), pemecahan

protein meningkat (akibatglukoneogenesis), pembentukan Fibroblast

dansintesaKollagenterhambat, hambatanpertumbuhanpadaanak-anak.

- Osteoporosis, nekrosetulang aseptic.

- Padakehamilanadabahayainsuffisiensi Placenta.

- Dalampercobaanbinatangterdapaefekteragonik(Widodo, dkk, 1993).

c. SyndromKetagihan:

- Insuffisiensikelenjarsuprarenalis.

Page 10: Bab II Antiinflamasi

- Malaise, demam, Myalgia, Arthralgia.

- Jarang: Pseudotumorcerebridengan Papilledema (Widodo, dkk, 1993).

2.2.4 Interaksi Obat

- EfekderivatCoumarinmelemah (karenajumlahThrombositmeninggi),

tetapikecenderunganperdarahanjugameningkat.

- Pemberian yang bersamaandenganAntropianatauAnticholinergica yang

lain meninggikantekanan intra okuler.

- Meningkatkankebutuhan insulin atauAntidiabetis oral

- DalamhubungannyadenganSalisilatdanantiradang/ Antirheumatica non

steroid meningkatkaninsidenUlcuspepticumdenganbahayaperdarahan

gastrointestinal.

- Efeknyamenurunpadapemberian Phenobarbital, Phenytoin, Rifampicin

dansebagainya (induksienzim).

- MetabolismeDexamethasondihambatoleh Estrogen danpada orang tua,

meningkatpadaHyperthyreosis.

- Resorpsimenurunpadapemberian yang bersamaandengan Antasida

(Widodo, dkk, 1993).

2.2.5 Merek Preparat

- Adrekon® (tab 0,5 mg)

- Bufadexon® (caps 0,5 mg)

- Cendomethason® (tetesmata mg/ml)

- Dexamethasone® (inj. 5 mg/ml) (Widodo, dkk, 1993).

2.3 Metamizol/Dipiron/Noramidopirin/Methansulfonat

2.3.1 Farmakokinetik BM : 311

- Ketersediaan biologik : 100% sebagai 4-Metil-aminoantipirin (4-MAA).

Dipiron adalah suatu “prodrug” dengan suatu absorpsi sebesar 100%

- Volume distribusi : 0,71/kg (4-MAA)

- Ikatan protein plasma : 60% (4-MAA)

- Waktu paruh plasma : 3 jam (4-MAA)

Page 11: Bab II Antiinflamasi

- Eliminasi : tidak ada yang dieliminasi renal tanpa diubah, semuanya

dimetabolisme di dalam hati menjadi metabolit utama 4-Metil-

aminoantipirin (4-MAA). Metamizol dapat didialisa. Memberiksn warna

merah pada urin yang tak mencurigakan, oleh karena terjadinya asam

Rubazonat (Widodo, dkk).

2.3.2 Dosis

Dosis untuk dipiron ialah 0,3-1 g tiga kali sehari. Dipiron tersedia dalam

bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/ml

(Zubaidi, dkk, 1980).

2.3.3 Efek Yang Tidak Diharapkan

- Jarangtapisangat berat : Agranulositosis dengan demam, menggigil,

keluhan menelan dan sakit pada leher, peradangan mukosa, jarang :

pembengkakan Limfonodi dan Lien.

- Exanthema, Uritcaria, demam, Leukopenia, Thrombopenia.

- Syok anafilaksi (juga masih bisa terjadi setelah 1 jam dari pemberian).

- Tekanan darah turun tanpa gejala hypersensitifitas selanjutnya, terutama

pada hiperpireksia dan/atau injeksi yang cepat.

- Peninggian transaminase.

- Terutama pada pasien tua, terjadi retensi Natrium dan air dengan edema.

- Provokasi suatu serangan Asthma pada pasien disposisi.

- Pada pemberian selama kehamilan (terutama trimester terakhir), ada

bahaya terjadinya tekanan tinggi pimer sirkulasi paru-paru karena

penutupan dini dari D. Arteriosus Botalli.

- Pada kelebihan dosis : Hypotensia, Takikardia, Cyanosis, nafas terengah-

engah, tonus otot meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran,

serangan kram/kejang cerebral (Widodo, dkk, 1993).

2.3.4 Interaksi Obat

- Eliminasi dipercepat pada adanya induksi enzim, diperlambat bila

diberikan bersamaan dengan simetidin.

- Pada pemberian yang bersamaan dengan klorpromazin ada bahaya

terjadinya hypothermia berat (Widodo, dkk, 1993).

2.3.5 Merk Preparat

Page 12: Bab II Antiinflamasi

- Kalpyron®(Tab 500 mg)

- Pyronal®(Tab 500 mg)

- Baralgin®(Tab 500 mg/tab ; 5 mg/ml inj) (Widodo, dkk, 1993)

Page 13: Bab II Antiinflamasi

DAFTAR PUSTAKA

Furst, D. E. Dan Tino M. (2002). Obat-Obat Antiinflamasi Nonsteroid, Obat-Obat Antireumatik Pemodifikasi Penyakit, Analgesk Nonopioid dan Obat-Obat Untuk Pirai. Dalam Buku Farmakologi Dasar dan Klinik. Editor : Bertram G. Katzung. Jakarta : Salemba Medika. Hal : 449-454.

Khan, F. A. dan Mohd F. K. (2010. Inflammation and Acute Phase Response. International Journal of Applied Biology And Pharmaceutical Technology. 1 (2) : 315.

Mansjoer, S. (2003). Mekanisme Kerja Obat Antiradang. USU Digital Library : 1-6.

Mutschler, Ernst. (2010). Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 194.

Widodo, dkk. (1993). Kumpulan Data Klinik Farmakologik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal : 177-179 ; 313-315.

Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan. (2009). Analgesik-Antipiretik, Analgesik

Anti-Inflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam

buku Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta:

Universitas Indonesia. Hal.230, 232

Zubaidi, J., dkk. (1980). Analgesik-Antipiretik, Antireumatik dan Obat Pirai. Dalam Buku Farmakologi dan Terapi. Editor : Sulistia Gan Gunawan. Jakarta : Universitas Indonesia. Hal : 168-169.

Page 14: Bab II Antiinflamasi

LAMPIRAN

Page 15: Bab II Antiinflamasi

Hewan Percobaan

Spuit 1 ml, 3 ml dan Oral Sonde

Alat Plestismometer (Tikus) Larutan Obat

Yang Digunakan