Antihistamin Medikamentosa Alergi

11
Antihistamin Medikamentosa Alergi, Jenis dan Farmakokinetiknya Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam) Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar 1. Menghambat reseptor H1 H1-blockers (antihistaminika klasik) Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi Dahulu

description

alergi

Transcript of Antihistamin Medikamentosa Alergi

Page 1: Antihistamin Medikamentosa Alergi

Antihistamin Medikamentosa Alergi, Jenis dan Farmakokinetiknya

Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi

efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –

histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu

tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor

khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara

farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu

reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini, antihistamin

juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1

(sH1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-

blockers atau zat penghambat-asam)

Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar

1. Menghambat reseptor H1 H1-blockers (antihistaminika

klasik) Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1

di otot licin dari dinding pembuluh,bronchi dan saluran

cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek

histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya

adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan

timbulnya reaksi alergi Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi

dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2

kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi

ke-1 dan ke-2.

2. Menghambat reseptor H2. H2-blockers (Penghambat asma)

obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung

Page 2: Antihistamin Medikamentosa Alergi

yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan

terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya

hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan

tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada

terapi tukak lambug usus guna mengurangi sekresi HCl dan

pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan

kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator

motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat

asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin,

ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan

senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.

Antihistamin adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua

kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai histamin.

Berbagai Jenis AntihistaminH1-receptor antagonists

Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk

antagonis H1, juga dikenal sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan

bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar berlawanan

dengan reseptor histamin H1.  Secara klinis, H1 antagonis digunakan

untuk mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang

umum, dan antagonis H1 tertentu, seperti diphenhydramine dan

Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia. Namun,

antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-

otak, dan dengan demikian tidak menyebabkan kantuk.

Azelastine

Brompheniramine

Buclizine

Bromodiphenhydramine

Carbinoxamine

Cetirizine

Chlorpromazine (antipsychotic)

Cyclizine

Chlorpheniramine

Page 3: Antihistamin Medikamentosa Alergi

Chlorodiphenhydramine

Clemastine

Cyproheptadine

Desloratadine

Dexbrompheniramine

Deschlorpheniramine

Dexchlorpheniramine

Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)

Dimetindene

Diphenhydramine (Benadryl)

Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)

Ebastine

Embramine

Fexofenadine

Levocetirizine

Loratadine

Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)

Olopatadine

Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama

sebagai relaksan otot rangka dan anti-Parkinson)

Phenindamine

Pheniramine

Phenyltoloxamine

Promethazine

Pyrilamine

Quetiapine (antipsychotic)

Rupatadine

Tripelennamine

Triprolidine

H2-receptor antagonists

Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis

terbalik tidak benar. H2 reseptor histamin, ditemukan terutama di sel

parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk mengurangi sekresi

asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak

lambung dan penyakit gastroesophageal reflux.

Page 4: Antihistamin Medikamentosa Alergi

Cimetidine

Famotidine

Lafutidine

Nizatidine

Ranitidine

Roxatidine

Experimental: H3- and H4-receptor antagonists

Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki

penggunaan klinis, meskipun sejumlah obat ini sedang dalam

percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan efek

nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti

ADHD, penyakit Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis

tampaknya memiliki peran imunomodulator dan sedang diteliti

sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .

H3-receptor antagonists A-349,821

ABT-239

Ciproxifan

Clobenpropit

Conessine

Thioperamide

H4-receptor antagonists Thioperamide

JNJ 7777120

VUF-6002

Lainnya

Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas

enzimatik dekarboksilase histidin:

tritoqualine

catechin

Mast cell stabilizersMast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah

degranulasi dan pelepasan mediator. Obat ini tidak biasanya

digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki indikasi

serupa.

Page 5: Antihistamin Medikamentosa Alergi

Cromoglicate (cromolyn)

Nedocromil

Beta 2 (β2) adrenergic agonists

Obat Lain Dengan Khasiat Mirip AntihistaminBanyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas

antihistaminergicyang  tidak diinginkan

Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau

konvensional (generasi I), dan AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka

dibagi dalam beberapa subkelas.

Etilendiamin  Antazolin, tripelanamin, pirilamin.

Etanolamin  Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.

Alkilamin  Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden,

feniramin.

Piperazin  Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.

Piperidin  Siproheptadin.

Fenotiasin  Prometasin.

Lain-Lain  Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin,

levokobastin, loratadin, mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.

Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin,

akrivastin, astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.

Farmakokinetik

Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara

oral menyebabkan efek sistemik dalam waktu kurang dari 30

menit. Hepar merupakan tempat metabolisme utama (70-90%),

dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang

tidak berubah.

Penggunaan klinis

Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi

simtomatik untuk reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin

sangat mirip aktivitas farmakologinya. Pemilihan antihistamin

terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada

seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan

satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari

subkelas yang berbeda.

Page 6: Antihistamin Medikamentosa Alergi

Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat

baik reaksinya terhadap antihistamin. Hampir      70-90% pasien

rinitis alergik musiman mengalami pengurangan gejala      (bersin,

keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik didapat     

bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada

rinitis      vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek

antikolinergiknya dapat      mengurangi gejala pilek.

Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan

rasa gatal. Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada

keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek sel rendah dan

mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1

nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing

meningkatkan kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat

dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu  ditambah

simpatomimetik.

Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai

terapi tambahan setelah epinefrin. Preparat yang banyak dipakai

adalah difenhidramin. Pada serum sicknessantihistamin berfungsi

untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil

terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama

penyakitnya. Pada dermatitis kontak dan erupsi obat fikstum,

antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal. Hindari

penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan

sensititasi. Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi

tambahan pada reaksi alergi obat dan reaksi akibat transfusi.

Efek samping

Mengantuk  Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang

sangat aman pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi

adalah rasa mengantuk dan gangguan kesadaran yang ringan

(somnolen).

Efek antikolinergik  Pada pasien yang sensitif atau kalau

diberikan dalam dosis besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering,

palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien dengan

gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.

Diskrasia  Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-

kadang dapat menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.

Page 7: Antihistamin Medikamentosa Alergi

Sensitisasi  Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi

dan menimbulkan urtikaria, eksim dan petekie.

Chlorpheniramin maleat

Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan

CTM merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek

sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam

penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur

dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal

maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih

ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna

dapat beristirahat. CTM memiliki indeks terapetik (batas

keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif

rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM

sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh

manusia. Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan

salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu mengusir

histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan

dengan demikian mampu meniadakan kerja histamin.

Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat

menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar,

kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan

kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal pada

gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri

akibat pelebaran kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal

akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang peran

utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.

CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh

darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. AH1 juga

bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan

lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Dalam

Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa

histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen

usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.

Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem

saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya

kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini

Page 8: Antihistamin Medikamentosa Alergi

menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun

dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan

pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna

CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai

kendaraan.

Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM

merupakan efek samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi

CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan

histamin pada resaptor histamin.

Mekanisme kerja

Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin

untuk suatu reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir

semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama dalam memblok

histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan

dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai

pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan.

Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas

terhadap reseptor AH1 lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama.

Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat dengan

masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.

Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat

menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan

histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan

penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan

penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel

endotel. Oleh karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia

dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa jenis AH1 generasi

baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat

untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.

EFEK SAMPING

Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping

walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila

pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering ialah

sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS

atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu

Page 9: Antihistamin Medikamentosa Alergi

bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga

meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.

Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin

dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin

tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Efek samping yang

berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,

penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah,

insomnia dan tremor.

Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu

makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium,

konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1

diberikan sewaktu makan.

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut

kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan

lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek

antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat

antihistamin nonsedatif.

AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih

sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik.

Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi.

Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan

pada pasien yang mendapat ketokonazol, troleandomisin,

eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT

dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat

terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan

pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval

QT (seperti pasien hipokalemia).

Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan

antihistamin non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat

perlu dibuktikan lebih lanjut.

INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena

obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan dalam

rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan,

sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-

30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1

merupakan efek yang berbahaya.

Page 10: Antihistamin Medikamentosa Alergi

PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan

manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan

kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan

atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.

Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis,

kemerahan di muka dan sering pula timbul demam. Akhirnya

terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul

kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi

keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian

eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.

PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara

simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik.

Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh

barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang

berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila

terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini

lebih baik daripada memberikan analeptic yang justru akan

mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka

diberikan thiopental atau diazepam.

Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang

menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan

timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus

digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan

alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.