Anti VEGF Pada DM ti

download Anti VEGF Pada DM ti

of 11

Transcript of Anti VEGF Pada DM ti

Referat

PEMAKAIAN ANTI-VEGF PADA RETINOPATI DIABETIK

Oleh: Raja Ahmad Anzali

Pembimbing : dr. Nofri Suriadi, SP.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2011

0

PENDAHULUAN

Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab berkurangnya tajam pengelihatan pada penderita diabetes melitus (DM). DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin (tipe 1), kerja insulin (tipe 2), atau kedua-duanya. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Setiap tahun terjadi peningkatan insidensi DM di seluruh dunia. Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikroangiopati kronik dari diabetes, ditandai dengan adanya kerusakan dan sumbatan pada pembuluh darah kapiler retina. Retinopati diabetik meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pengobatan retinopati diabetik meliputi pengendalian glukosa darah, tekanan darah, steroid intravitreus, serta fotokoagulasi laser. Baru-baru ini berkembang penggunaan anti VEGF (vascular endothelial growth factor) pada terapi retinopati diabetik setelah anti VEGF dipublikasi memberi hasil yang baik pada ARMD (age-related macular degeneration). Referat ini bertujuan untuk memahami retinopati diabetik serta pemakaian anti VEGF pada retinopati diabetik.

1

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1 Secara epidemiologi terjadi peningkatan jumlah kasus diabetes di seluruh dunia. Penyakit ini seringkali tidak terdeteksi, dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan.1 DM yang tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun

makroangiopati. Perubahan/disfungsi dasar pada DM terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Patologi dimulai dari keadaan hiperglisolia, yaitu suatu keadaan dimana sel kebanjiran masuknya glukosa akibat hiperglikemia kronik.

Hiperglisolia akan mengubah homeostasis biokimiawi sel melalui beberapa jalur biokimiawi seperti jalur aldosa reduktase, stres oksidatif sitoplasmik, jalur protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi lanjut intrasel. Salah satu komplikasi mikroangiopati dari DM yaitu retinopati diabetik.2 Retinopati diabetik (RD) adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pumbuluh halus, meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.3 Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20-74 tahun di negara maju. Di Amerika terdapat 5000 kebutaan akibat retinopati diabetik. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, RD hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita RD. Pada DM tipe 2 ketika2

diagnosis DM ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita RD nonproliferatif. Setelah 20 tahun, prevalensi RD meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat.4,5 Kelaian dasar dari retinopati diabetik terletak pada kapiler retina yang terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis, dan sel endotel. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler, serta mengendalikan proliferasi endotel. Dalam kedaan normal perbandingan sel perisit dengan endotel kapiler retina adalah 1:1. Membrana basalis berfungsi sebagai barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Perubahan histopatologis kapiler retina pada RD dimulai dari penebalan membran basalis, hilangnya perisit, dan proliferasi endotel dimana pada keaadaan lanjut perbandingan antara endotel dan perisit dapat mencapai 10:1. Patofisiologi RD melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu: 1) Pembentukan mikroaneurisme, 2) Peningkatan permeabilitas pembuluh darah, 3) Penyumbatan pembuluh darah, 4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskularisasi sebagai respons VEGF) dan jaringan fibrosa di retina, 5) Kontraksi dari jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus. 5

Gambar 1. Sel Perisit pada kapiler (dari kepustakaan 6) Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut: 1) Edema makula atau nonperfusi kapiler, 2) Pembentukan pembuluh darah baru pada RD proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan3

ablasio retina, 3) Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitereus, 4) Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma. 5 Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling diercaya. Namun dalam klinik, pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan untuk skrining.5 Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Reasearch Group (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif. Pertemuan Airlie House membagi RD atas 3 stadium yaitu stadium nonproliferatif, preproliferatif, dan proliferatif. Klasifikasi RD menurut Ilyas S yaitu: Derajat 1, terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli. Derajat 2, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli. Derajat 3, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak, serta terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli. 4,5

Gambar 2. Funduskopi pada Retinopati Diabetik (dari kepustakaan 7) Retinopati diabetik nonproliferatif (NPDR) merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang

4

paling baik adalah dengan menggunakan foto fundus dan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada NPDR. Mikroaneurisma diduga berhubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intraluminal kapiler. Kelainan morfologi lain ialah penebalan membrana basalis, perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat terjadi akibat kebocoran dan deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi akibat kebocoran cairan plasma. NPDR berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetik iskemik, obstruktif atau preproliferatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot , yaitu gambaran bercak berwarna putih pucat karena kapiler mengalami sumbatan. Dalam waktu 1-3 tahun, NPDR berat sering berkembang menjadi RD proliferatif.5 Retinopati diabetik proliferatif (PDR) ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru, yang hanya terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena tumbuh secara abnormal keluar dari retina meluas sampai ke vitreus, menyebabkan perdarahan dan dapat menimbulkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatrik pada retina. Sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi dapat menarik retina sampai terlepas sehingga terjadi ablasio retina. Pembuluh darah baru dapat juga terbentuk di dalam stroma dari iris dan bersama dengan jaringan fibrosis yang terjadi dapat meluas sampai ke sudut dari kamera okuli anterior sehingga menyebabkan galukoma neovaskular.5 Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik. Makulopati retinopatik cenderung berhubungan dengan DM tipe 2 usia lanjut, sedangkan retinopati proliferatif cenderung ditemukan pada usia muda. Makulopati diabetik dibedakan menjadi makulopati iskemik, makulopati eksudatif, dan edema makula. Makulopati iskemik terjadi akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina. Makulopati eksudatif terjadi karena

5

kebocoran setempat sehingga terbentuk eksudat keras seperti pada NPDR. Edema makula terjadi akibat kebocoran yang difus. Apabila keadaan tersebut menetap, maka akan terbentuk kista berisi cairan yang dikenal sebagai edema makula kistoid (CME). Optical coherence tomography (OCT) merupakan metode yang paling baik untuk mendiagnosis makulopati diabetik.5 Penatalaksanaan dari retinopati diabetik meliputi pengendalian glukosa darah, tekanan darah optimal, steroid intravitreus, serta fotokoagulasi laser. Baru-baru ini berkembang penggunaan anti VEGF pada retinopati diabetik setelah anti VEGF dipublikasi memberi hasil yang baik dan pada age-related macular degeneration (ARMD) oleh Cunningham dkk (2005) dan Brown dkk (2006).4,5,8 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) adalah molekul kimiawi yang dihasilkan oleh sel untuk menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah baru untuk mengembalikan suplai oksigen pada sirkulasi yang inadekuat. Produksi VEGF dibutuhkan pada banyak proses fisiologis normal seperti pada keadaan perkembangan embrionik, pembentukan pembuluh darah baru pada jaringan yang mengalami trauma (termasuk penyembuhan luka), dan kolateral pada pembuluh darah yang tersumbat. VEGF juga dihasilkan pada proses patologis, antara lain pada pertumbuhan pembuluh darah tumor dan pertumbuhan pembuluh darah baru pada penyakit retina yang juga dikenal dengan wet macular degenration. Terapi anti-VEGF ditujukan untuk mencegah pembentukan pembuluh darah baru pada kasus tersebut dengan memblok aksi VEGF.9 Sejarah awal penggunaan anti-VEGF berawal dari teori Judah Folkman, seorang ahli bedah anak Harvard. Dia berpendapat angiogenesis berperan penting pada pertumbuhan tumor, dan berhipotesis penghentian angiogenesis dapat bermanfaat pada terapi kanker. Berdasaran teori tersebut para peneliti mengembangkan Bevacizumab sebagai terapi kanker. Hal ini telah diterima US FDA pada tahun 2004 untuk terapi kanker kolorektal dan juga telah digunak untuk terapi kanker lainnya seperti kanker paru, payudara dan ginjal. Kemudian berkembang bahwa terapi ini juga dapat dimanfaatkan menekan neovaskularisasi koroid retina pada ARMD melalui injeksi intravitreal.10

6

Ranibizumab (Lucentis) dan bevacizumab (Avastin) adalah anti VEGF yang paling luas digunakan. Ranibizumab adalah rekombinan antibodi monoklonal anti VEGF-A yang dibuat khusus untuk kasus oftalmologi (injeksi intravireal). Ranibizumab memiliki rumus struktur C2158H3282N562O681S12 dengan berat molekul 4800 dalton, dan masa paruh 9 hari. Protokol ranibizumab yang direkomendasikan yaitu 0,5 mg/0,05 mL diinjeksikan secara intravitreal dengan prosedur steril satu kali setiap bulan (4 minggu) selama 3-6 bulan. Infeksi okular/periokular dan hipersensitivitas adalah kontraindikasi pemberian obat ini.11-14 Bevacizumab adalah full-length antibodi anti VEGF-A yang pada awalnya diformulasikan untuk terapi kanker kolon dengan pemberian secara intravena. Bevacizumab memiliki rumus struktur C6638H10160N1720O2108S44 dengan berat molekul 149 kDa dan masa paruh lebih kurang 20 hari. Protokol bevacizumab pada oftalmologi yaitu 1,25 mg diinjeksikan intravitreal dengan prosedur steril 1 kali setiap bulan (4 minggu) selama 3 bulan pertama. Pengobatan lanjutan dapat diberikan bila terjadi penurunan ketajaman pengelihatan dan atau edema makula kembali setelah terapi. 11,12,14,15 Perbandingan efektivitas ranibizumab dan bevacizumab masih menjadi

perdebatan para ahli. Namun karena perbandingan biaya, lebih banyak klinisi menggunakan bevacizumab dibanding ranibizumab.11,12 Komplikasi injeksi intravitreal anti VEGF sangat jarang, antara lain peningkatan tekanan intraokular pascainjeksi, endoftalmitis dan lepasnya retina. Waisbourd tahun 2007 melaporkan insidensi endoftalmitis pada injeksi anti VEGF intravitreal sebesar 0,08%, dan terdapat 1 kasus lepasnya retina pada pasien PDR.12 Anti VEGF pada Diabetic Macular Edema (DME). Nguyen dkk pada tahun 2009 meneliti 126 pasien dengan DME. 126 pasien DME secara acak menerima ranibizumab, laser fotokoagulasi dan sebagian lain kombinasi ranibizumab dan laser. Mereka mendapatkan rata-rata visual aquity (VA) setelah bulan ke 6 kelompok ranibizumab lebih tinggi dibanding kelompok laser, sedangkan kelompok kombinasi laser dan ranibizumab tidak terlalu berbeda secara

7

signifikan.

Sebelumnya,

pada

tahun

2006

penelitian

Chun

dkk

juga

menyimpulkan efektivitas ranibizumab pada DME. Michaelides dkk tahun 2010 meneliti manfaat bevacizumab pada DME. Secara prospektif 80 pasien secara acak dkelompokkan mendapat bevacizumab dan terapi laser fotokoagulasi makula. Pada bulan ke 12 rata-rata central macular thickness (CMT) pada kelompok bevacizumab berkurang dari 507um menjadi 378um (p