ANESTESI UMUM

download ANESTESI  UMUM

of 29

description

n

Transcript of ANESTESI UMUM

ANESTESI UMUM

Definisi

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.

Metode pemberian anestesi umum dapat dIlihat dari cara pemberian obat, terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum:

1. Parenteral

Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering digunakan adalah:

Pentothal

Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6 mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.

Penggunaan:

Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.

Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi abses.

Cara Pemberian:

Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita tidur, pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi, operasi dapat dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1 gram.

Kontra Indikasi:

1.Anak-anak di bawah 4 tahun

2.Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah

3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas

4.Penyakit jantung

5.Penyakit hati

6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang baik.

Ketalar (Ketamine)

Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV 1-3 mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.

Penggunaan:

1. Operasi-operasi yang singkat

2. Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah

Kontra Indikasi:

Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi.

Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah menekan pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan peralatan dan tindakan pernafasan buatan terutama bila ada sianosis.2. Perektal

Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak. Syaratnya adalah:

1.Rectum betul-betul kosong

2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.

Obat-obat yang digunakan:

- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB

- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

3. Perinhalasi

Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.

Obat-obat yang dipakai:

1. Induksi halotan

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.

2. Induksi sevofluran

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.

Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain. Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paruparu. Ekskresi bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:

- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).- Faktor sirkulasi

- Faktor jaringan.

- Faktor obat anestesi.

Faktor respirasi

Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan. Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:

Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.

Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.

Faktor sirkulasi

Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.

Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena

Factor-faktor yang mempengaruhi:

1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.

2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.

3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.

Faktor jaringan

Yang menentukan antara lain:

- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan.

- Kecepatan metabolisme obat.

- Tissue/blood partition coefisien- Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika, kecuali halotan.- Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.c) Lemak : jaringan lemakd) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah : ligament dan tendon..Faktor zat anestesi

Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut. Stadium anestesi

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether.

1. Stadium I

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.

2. Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi.

3. Stadium III

Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:

Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.

Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.

Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.

Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.

4. Stadium IV

Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.

Tahapan Tindakan Anestesi Umum

I. Penilaian dan persiapan pra anestesia

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. I.1 Penilaian pra bedah

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

Kebugaran untuk anestesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.

Kelas I: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.

Kelas IV: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

PremedikasiSebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:

i. Kunjungan pre anestesi

ii. Pengertian masalah yang dihadapi

iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi

b. Memberikan ketenangan (sedative)

c. Membuat amnesia

d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)

e. Mencegah mual dan muntah

2. Memudahkan atau memperlancar induksi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)

5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis

6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Analgesik narkotik

a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB

2. Analgesik non narkotik

a. Ponstan

b. Tramol

c. Toradon

3. Hipnotik

a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4. Sedatif

a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB

b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB

c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB

d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5. Anti emetic

a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB

b. DBP

c. Narfoz, rantin, primperan.

II. Induksi AnastesiMerupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:

S : Scope ( Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube( Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway( Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape( Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer ( Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector ( Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction ( penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

Induksi intravena

Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Obat-obat induksi intravena:

Tiopental (pentotal, tiopenton)( amp 500 mg atau 1000 mg

sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.

Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi inhalasi

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)( berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.

Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.

Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

Induksi per rectal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

Induksi mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.

Pelumpuh otot nondepolarisasi ( Tracurium 20 mg (Antracurium)

Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.

Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.

Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:

Cegukan (hiccup)

Dinding perut kaku

Ada tahanan pada inflasi paruIII. Rumatan Anestesi (Maintainance)Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.

Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.IV. Tatalaksana Jalan NapasHubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

1. Hidung

Menuju nasofaring

2. Mulut

Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.

Persyarafan :

1. N. Trigeminus (V), mensarafi mukosa hidung, palatum (V-1), daerah maksila (V-2), lidah dan daerah mandibular (V-3).

2. N. Fasialis (VII), mensarafi palatum.

3. N. Glossofaringeus (IX), mensarafi lidah, faring, palatum molle dan tonsil

4. N. Vagus (X), mensarafi daerah sekitar epiglottis dan pita suara

A. Tanda-tanda obstruksi jalan napas

1. Stridor (mendengkur, snoring)

2. Napas cuping hidung (flaring of the nostril)

3. Retraksi trakea

4. Retraksi torak

5. Tak terasa ada udara ekspirasi

B. Manuver tripel jalan napas

Terdiri dari:

1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.

2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

C. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).

D. Sungkup muka

Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

E. Sungkup laring (Laryngeal mask)

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

Dikenal 2 macam sungkup laring:

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.

Tabel 1. Ukuran LMA dan peruntukannya

UkuranUsiaBerat

1.0Neonatus60

F. Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

G. Laringoskopi dan intubasi

Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:

1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa

2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.

Tabel 2. Tampakkan rongga mulut saat mulut terbuka lebar dan lidah menjulur maksimalGradasi Pilar faringUvulaPalatum Molle

1+++

2-++

3--+

4---

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasiKesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakeaEkstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.

Cara memberikan anestesiPemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.

Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat. Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi.

Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana anestesi, karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration. Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa keuntungan antara lain:

- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang tidak sadar.

- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak. Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:

- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.

- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi: pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.

- Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita berikan sedikit bantuan.

Berdasar sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan semi closed.

1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali.

2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding system open.

3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi.

4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed juga disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga disebut system nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 3 kali menit volume respirasi penderita.

System Rebreathing Reservoir bag Sodalime Tingkat polusi kamar operasiTingkat keborosan obat

Open ---+++++++

Semi open-+++++++

Semi closed++++++

Closed ++++-

Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut anestesi intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance Anesthesia)

Pemulihan anestesi

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.

Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah. Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun. Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan. Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase. Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.

Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrettes score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Hal yang dinilaiNilai

1. Kesadaran:

Sadar penuh

Bangun bila dipanggil

Tidak ada respon2

1

0

2. Respirasi:

Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk

Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan

Apnoe 2

1

0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi

Perbedaan +- 20

Perbedaan +- 50

Perbedaan lebih dari 502

1

0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:

4 ekstremitas

2 ekstremitas

Tidak dapat2

1

0

5. Warna kulit

Normal

Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik

Cyanotic 2

1

0

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: FKUI.20112. Desai AM, General Anesthesia. Accessed on April 23 2015. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.3. General Anesthesia. Accessed on April 23 2015. Available at http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100 4. Muhiman M, Latief SA, Basuki G. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.28