Anemia Penyakit Kronik (Autosaved)
-
Upload
nia-amanda-afriani -
Category
Documents
-
view
87 -
download
3
Transcript of Anemia Penyakit Kronik (Autosaved)
ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIK
A. Pendahuluan
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis
maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.
Anemia penyakit kronis ini merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai
sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit
neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan (1).
Anemia ini sangat mirip dengan anemia defisiensi besi yaitu ditandai dengan
kelainan metabolism besi tetapi pada anemia ini terjadi sekuestrasi besi di dalam
sistem RES karena inflamasi. Pada anemia jenis ini, terjadi sekuestrasi besi di
dalam makrofag. Sekuestrasi ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dependen besi atau untuk memperkuat aspek imunitas pejamu (2).
B. Etiologi
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia. Sebagian besar
anemia disebabkan oleh infeksi dan peradangan dan dapat menghambat
pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah
merah berkurang.
1. Anemia ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi seperti
infeksi ginjal, paru (bronkiektasis, abses, empiema, dll). Untuk
terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi
dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan
penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil (1). Laporan/data penyakit
tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan
infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua
infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Biasanya infeksi yang
berlangsung lebih dari 1 bulan, di antaranya TB, endocarditis,
osteomyelitis, dan abses. (3).
2. Anemia ini bisa disebabkan oleh neoplasma seperti limfoma malignum,
dan nekrosis jaringan. Ini terjadi bisa dikarenakan infiltrasi sel ganas ke
1
dalam sumsum tulang (myelophthisis), akibat dari terapi yang diberikan
seperti kemoterapi dan radioterapi, dan adanya defisiensi nutrisi,
perdarahan gastrointestinal, terjadinya anemia hemolitik, dan
hipersplenisme (3).
3. Anemia ini bisa juga disebabkan oleh penyakit jaringan ikat, di antaranya
systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis. Pada SLE
juga bisa sekunder karena AIHA atau karena gagal ginjal akibat lupus
nephritis (3).
4. Anemia ini bisa juga disebabkan oleh penyakit endokrin. Adrenal
insufficiency, hiperparatiroid, hipertiroid, hipopituitarisme, dan
hipotiroid (3).
5. Anemia ini bisa juga disebabkan oleh penyakit hati kronis (3).
C. Epidemiologi
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang paling umum pada pasien
rawat inap (4). Ini merupakan jenis anemia terbanyak kedua setelah anemia
defisiensi besi yang dapat ditemukan pada orang dewasa di Amerika Serikat.
Epidemiologinya tergantung penyakit yang mendasarinya (5).
D. Patogenesis
Yang mendasari patogenesis anemia pada penyakit kronik dititikberatkan
pada 3 abnormalitas utama yaitu ketahanan hidup eritrosit yang menurun akibat
terjadinya lisis eritrosit lebih dini, gagalnya sumsum tulang mengkompensasi
kekurangan dengan meningkatkan produksi sel darah merah karena respon
eritropoetin yang terganggu atau menurun, dan gangguan metabolisme berupa
gangguan reutilisasi besi yaitu sequestration besi pada sisitem retikuloendotelial
Semua proses diatas diduga karena adanya perubahan sitokin-sitokin pada pasien
yang menderita penyakit kronik (1).
1. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Anemia pada penyakit kronis diduga merupakan suatu sindrom stres
hematologik, yang terjadi karena diproduksinya sitokin secara berlebihan
karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker (5). Sitokin
yang berlebihan ini yang akan menyebabkan sekuestrasi makrofag
sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan detruksi eritrosit
di limpa, menekan produksi eritropoietin di ginjal, serta menyebabkan
perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang
Selain menyebabkan sekuestrasi makrofag, sitokin yang berlebihan
juga akan menyebabkan peningkatan aktivitas fagositosis makrofag dan
sebagai bagian dari filter limpa menjadi kurang toleran terhadap
kerusakan minor eritrosit. Pada keadaan malnutrisi, terjadi penurunan
transformasi T4 menjadi T3 yang mengakibatkan terjadinya hipotiroid
fungsional. Hipotiroid fungsional menyebabkan penurunan kebutuhan
terhadap hemoglobin yang mengangkut besi sehingga produksi
eritropoietin berkurang (5).
2. Gangguan fungsi sumsum tulang.
Yaitu respon eritropoietin terhadap anemia yang inadekuat. Hal ini
terkait dengan sitokin-sitokin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera yaitu
IL-1, TNF-α, dan IFN-gamma. Kadar IFN gamma berhubungan langsung
dengan beratnya anemia. TNF –α yang dihasilkan oleh makrofag aktif
akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. IL-1
akan menekan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia (5).
3. Gangguan metabolisme besi.
Pada anemia jenis ini cadangan besi normal tetapi kadar besi rendah.
Jadi, anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis
Hb. Dalam sitokin dan sel-sel sistem retikuloendotelial menyebabkan
perubahan dalam homeostasis besi, efek proliferasi sel progenitor
erythroid, produksi erythropoietin dan masa hidup sel darah merah.
Semua ini kemudian berkontribusi pada patogenesis anemia. Invasi
mikroorganisme, munculnya sel-sel ganas atau disregulasi autoimun
menyebabkan aktivasi sel T (CD3 +) dan monosit. Sel-sel ini
menyebabkan mekanisme efektor kekebalan tubuh, dengan memproduksi
sitokin ada seperti interferon - γ (dari sel T) dan tumor necrosis factor α
(TNF-α), interleukin -1. Interkeukin-6 dan lipolpolysaccharide
merangsang ekspresi hepcidin protei, yang menghambat penyerapan zat
besic di duodenum. Interferon - γ, lipoplysaccharide, atau keduanya
meningkatkan ekspresi transporter logam divalen I pada makrofag dan
merangsang penyerapan zat besi besi (Fe 2 +). Anti-inflamasi sitokin
interleukin -10 mengatur ekspresi reseptor transferin dan meningkatkan
reseptor transferin - serapan dimediasi besi transferin terikat dalam
monosit. Selain itu, makrofag diaktifkan phagocytose dan menurunkan
eritrosit pikun untuk daur ulang besi, sebuah proses yang lebih
disebabkan oleh TNF-α melalui merusak membran eritrosit dan stimulasi
fagositosis. Interferon - γ dan lipopolisakarida mengatur ekspresi dari
besi transporter makrofag ferroprotein 1, ekspor besi menyebabkan
penghambatan makrofag, sebuah proses yang juga dipengaruhi oleh
hepcidin. Pada saat yang sama, TNF-α, interleukin-1, interleukin-6 dan
interleukin-10 menginduksi ekspresi feritin dan merangsang
penyimpanan dan retensi besi dalam makrofag. Singkatnya, mekanisme
ini menyebabkan konsentrasi besi menurun dalam sirkulasi dan dengan
demikian untuk ketersediaan terbatas besi dari sel erythroid. TNF-α dan
interferon-γ menghambat produksi erythropoietin dalam ginjal. TNF-α,
interferon-γ, dan interleukin -1 langsung menghambat diferensiasi dan
proliferasi sel-sel progenitor erythroid. Selain itu, terbatasnya
ketersediaan besi dan aktivitas biologis penurunan erythropoietin
menyebabkan penghambatan eritropoiesis dan pengembangan anemia.
Pada umumnya terdapat gangguan absorpsi Fe walaupun ringan.
Ambilan Fe oleh sel –sel usus dan pengikatan apoferitin intrasel masih
normal sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa defek yang terjadi
pada anemia ini yaitu gangguan pembebasan Fe dari makrofag dan sel-
sel hepar pada pasien (5).
Gambar 1: Patogenesis Anemia karena Penyakit Kronik (5)
E. Diagnosis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb yang terjadinya adalah
sekitar 8-10 g/dL dan ini umumnya asimtomatik (6). Temuan klinik pada anemia
jenis ini bergantung pada penyebabnya Semakin berat penyakitnya, maka akan
semakin berat anemia yang terjadi. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan
memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat
tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini dan diagnosis biasanya tergantung
dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis yang harus dilakukan pada suspek yang menderita penyakit kronik
adalah mengkonfirmasi penurunan serum besi, penurunan TIBC, dan normal atau
meningkatnya serum ferritin.
Hemoglobin jarang sampai dibawah 8 gram/dL. Hematokrit biasanya berkisar
antara 25-30% (pada pria normal 45-52%, pada wanita normal 37-48%), biasanya
normositik atau kadang-kadang mikrositik (6). Apabila disertai dengan penurunan
kadar besi dalam serum atau saturasi transferin, anemia akan berbentuk hipokrom
mikrositik. Kadar feritin dalam serum normal atau meningkat. Leukosit dan
hitung jenisnya normal. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit
meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
dari penyakit dasarnya. Serum besi biasanya menurrun pada anemia penyakit
kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan
mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin)
menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi
besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan
transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel
eritroid imatur. Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat
daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin
lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi
metabolik yang berbeda (5).
normal Anemia penyakit kronis
TIBC 250-400 <200
Persen saturasi 30 15
Kandungan Fe di makrofag ++ +++
Feritin serum 20-200 150
Reseptor tramsferin serum 8-28 8-28
Fe plasma 70-90 30
Pemeriksaan sumsum tulang biasanya normal, kadang-kadang ditemukan
hipoplasia eritropoeisis dan defek dalam hemoglobinisasi. Yang sangat
karakteristik adalah berkurangnya sideroblas dalam sumsum tulang, sedangkan
deposit besi dalam sistem retikuloendotelial (RES) normal atau bertambah (5).
F. Tata Laksana
Tidak ada pengobatan khusus untuk anemia jenis ini, sehingga pengobatan
ditujukan kepada penyakit kronik penyebabnya. Mengkonsumsi tambahan zat
besi tidak banyak membantu. Jika anemia menjadi berat, mungkin diperlukan
transfusi atau Erythropoietin (6).
1. Transfusi
Merupakan pilhan pada kasus-kasus yang disertai ganguan hemodinamik.
Tranfusi diberikan jika kadar Hb < 8 mg/dl (6).
2. Eritropoietin
Data menunjukkan bahwa pemberian eritropoeitin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat kanker,gagal ginjal,
myeloma multiple, arthritis rheumathoid dan pasien HIV. Selain dapat
menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin
mempunyai beberapa keuntungan, yakni mempunyai efek anti inflamasi
dengan cara menekan produksi TNF-α dan IFN-γ (5).
3. Preparat Besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik masih terus dalam
perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan
alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-α. Alasan lain, pada
penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
Perlu diingat bahwa meskipun tingkat rendah serum
besi, “body iron stores” tidak berkurang. Dengan demikian, terapi besi
tidak memiliki manfaat. Pada kenyataannya, studi menunjukkan bahwa
terapi besi dapat membahayakan pada peradangan kronis dengan
berkontribusi terhadap disfungsi endotel dan kejadian vaskular. Satu-
satunya situasi di mana terapi besi harus digunakan untuk ACD adalah
ketika kekurangan zat besi yang besar atau pasien yang menerima obat
erythropoetin tetapi tidak mengalami perbaikan (6).
G. Penutup
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai
sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit
neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati,
ginjal dan endokrin. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia
berat atau moderat. Sebagian besar disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker dan
penyakit hati. Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang,
sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, selain itu pengobatan
yang dilakukan juga berdasarkan pengobatan penyakit dasarnya. Dengan
demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan hal yang
harus dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi
maupun eritropoietin.
DAFTAR PUSTAKA
x
1.Muhammad A, Sianipar O. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit
Kronis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
2005 November; 12(1).
2.Kumar, Cotran, Robbins. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. In Robbins.
Buku Ajar Patologi.Edisi 2. Jakart: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. p.
463.
3.Price EA, Schrier SL. Nonregenerative Anemia: Recent Advances in
Understanding Mechanisms of Disease. Department of Biomedical and
Diagnostic Sciences. 2011 Desember.
4.Theurl I, Aigner E, Theurl M, Nairz M, Seifert M, Schroll A,et all,. Regulation
of iron homeostasis in anemia of chronic disease and iron deficiency. The
American Society of Hematology. 2009 Mei; 113(21).
5. Ikram N, Hassan K. Anaemia of Chronic Disease. Haematology Updates.
2011.
6.Barry D, Weiss, MD. Anemia of Chronic Disease. Elder Care: A Resource for
Interprofessional Providers. 2010 Juni.