MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)
-
Upload
ahmad-syahirul-alim -
Category
Documents
-
view
1.263 -
download
6
Transcript of MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Makalah disusun sebagai Tugas Presentasi Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
DR. Ending Bahruddin
Oleh :
Ahmad Syahirul Alim, Lc.
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKKAN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN
1431 H/2010 M
2
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Ahmad Syahirul Alim, Lc
I. PENDAHULUAN
Pendidikan sejatinya merupakan proses yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan juga telah dimulai semenjak lahirnya manusia ke muka bumi, oleh
karena itu banyak sekali konsep dan pandangan berbagai filsafat dan ideologi tentang
bagaimana pendidikan yang ideal itu seharusnya.
Keseluruhan konsep pendidikan yang diajukan baik oleh para filusuf ataupun pakar-
pakar pendidikan, pada dasarnya bergantung pada pandangan mereka terhadap manusia
itu sendiri.
Menurut Muhammad Quthb keunggulan pendidikan islam terdapat pada model manusia
yang ingin dicapainya. Menurutnya sistem pendidikan lainnya, hanya berusaha untuk
mencetak “seorang warga negara yang baik” dengan berbagai prespektif yang sangat
historikal regional, sehingga gambaran “warga negara yang baik” ini akan berbeda-
beda. Bagi sebuah negara ia bisa digambarkan sebagai seorang tentara yang gagah
berani, bagi lainnya mungkin ia seorang politikus yang kharismatik, atau ekonom yang
cerdas atau bahkan pekerja buruh murahan. Namun dalam islam, model manusia yang
diharapkan ialah manusia bertauhid yang menjadikan dunia sebagai negrinya, tempat ia
mengabdikan diri, tidak dibatasi oleh beban sejarah atau batasan regional, ia tidak
terikat oleh ras dan kelompok.1 Singkat kata ia adalah manusia global; atau dalam
istilah Al-Qur‟an; Rahmatan Lil‟alamin. Fungsi rahmat yang dibawanya berasal dari
dua tugas besar ia, sebagai Abdan Lillah (Hamba bagi Allah) dan sebagai Khalifatullah
(Khalifah Allah).
Islam juga memandang manusia secara utuh dari berbagai dimensi, baik akal, ruh dan
jasad. Oleh karena itu pendidikan dalam islam memberikan perhatian yang seimbang
terhadap ketiga faktor tersebut sehingga tumbuhlah manusia yang menjadi “khairu
ummah”.
1 Muhammad Quthb, Manhaj at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar Shorouk, cet-16, 2004. hlm. 13
3
Makalah ini berusaha menggali lebih dalam mengenai kedudukan, serta tugas dan peran
manusia dalam pendidikan islam, agar umat islam lebih jauh mengenal dan memahami
keunggulan pendidikan islam atas sistem-sistem pendidikan lainnya.
II. MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Allah Swt telah menjadikan manusia dengan berbagai kesempurnaan dan kemampuan.
Dan kemampuan manusia untuk belajar, memahami dan mendapatkan pengetahuan
merupakan kemampuan luar biasa yang membuatnya lebih mulia dari makhluk-
makhluk lainnya. Bahkan diawal penciptaan manusia, Allah SWT menunjukkan
keunggulan ini dihadapan para malaikat dengan mengajarkan kepada Adam AS nama-
nama yang malaikat sendiri tidak mampu untuk melakukannya. Dalam Al-Qur‟an
disebutkan:
"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS.
Al-Baqarah : 33)
Pakar pendidikan islam Umar At-Thoumy As-Syibani menjelaskan tentang hal ini
dalam bukunya Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah mengatakan:
“Insan bisa mempelajari ilmu pengetahuan, kemahiran dan kecenderungan baru. Ia bisa
beriman dengan yang ghaib, membedakan antara baik dan buruk dan menahan nafsu
syahwatnya yang liar. Ia punya kudrat mencari cara untuk mencapai cita-cita ini. Ia
menembus realitas untuk membawanya mencapai cita-cita ideal ia mampu membina
hubungan sosial dengan orang lain … Ia berdaya untuk bekerja memproduksi, membina
peradaban dan menempa kemajuan. Ia bisa menyingkapkan rahasia fenomena alam dan
membentuk fenomena itu sesuai dengan idealismenya. Lebih jauh ia bisa menguasai
sumber kekuasaan alam.”2
2 Umar At-Thoumy As-Syibani , Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung ke Falsafah Pendidikan Islamm, Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1984. hlm. 115
4
Padangan Islam terhadap manusia ini, berbeda dengan pandangan filsafat-filsafat
pendidikan lainnya. Manusia dalam pendidikan islam ditempatkan sebagai hamba dan
khalifah sekaligus. Dr. Abdurrahman Umaira menjelaskan:
“Manusia dalam pandangan islam, berbeda dengan aliran eksperimen yang
memasukannya dalam sebuah laboratorium, meletakkannya dalam wadah eksperimen,
diteliti bagian-bagiannya secara terpisah, kemudian keluar dengan hasil: bahwa manusia
itu hanya jasad, an sich.
Mungkin hal itu bisa kita maklumi, karena peralatan yang ada tak mampu untuk
menangkap berbagai sisi (dari manusia).
Manusia dalam pandangan islam, juga bukanlah hewan seperti dalam aliran
behaviorisme. Yang menafsirkan bahwa manusia hanyalah kumpulan dari kebiasaan-
kebiasaan, beserta aksi reaktif yang ditimbulkan dari umpan balik atau kondisi yang
tercipta secara terus menerus. Karena hal itu hanya berlaku bagi hewan namun tidak
untuk manusia.”3
Manusia dalam pendidikan islam ialah makhluk Allah Swt yang unik dan istimewa,
diciptakan dengan tujuan dan amanah yang jelas. Dengan kemampuannya, manusia
mempunyai kewajiban yang lebih dalam pendidikan islam. Manusia diperintahkan
untuk mempelajari dan mengajarkan kebenaran. Manusia juga dilarang untuk
melakukan pekerjaan tanpa berdasarkan ilmu. Oleh karenanya, manusia dalam islam
dituntut untuk selalu berada dalam proses pendidikan; menjadi subyek ataupun obyek
pendidikan itu sendiri.
A. Urgensi Ilmu Bagi Manusia
Imam Ar-Raghib dalam “Mufradat al-Qur‟an” nya mendefinisikan ilmu sebagai:
“Mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya.”4 Di dalam Al-Qur‟an kata-kata “‟ilm”
diulang sebanyak 70 kali, sedangkan fi‟il (kata kerja) yang terdiri dari huruf “ain-lam-
mim” terulang sebanyak 207 kali, dengan rincian kata “ta‟lamun” 56 kali,
“fasata‟lamun” 3 kali, “ta‟lamuu” 9 kali, “ya‟lamun” 85 kali, “ya‟lamuu” 7 kali, dan 47
kali berasal dari kata “allama”.5 Banyaknya pengulangan kata-kata ilmu ini tentunya
menunjukkan kedudukan yang penting dalam islam.
3 Abdurrahman Umairah, Manhaj Al-Qur’an fit-Tarbiyah, Kairo: Maktabat Ukadz, 1981. hlm. 17
4 Yusuf Al-Qardhawi, Al-‘Aqlu wal-Ilm fil-Qur’an al-Karim, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996. hlm. 71 5 Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 71
5
Ilmu merupakan kunci kebahagiaan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Manusia yang tidak berilmu akan mendapatkan kerugian yang sangat besar. Diantara
keutamaan-keutamaan ilmu ialah:
1. Ilmu merupakan jalan menuju surga. Sebagaimana dijelaskan oleh
Rasulullah Saw dalam sebuah hadits:
ف ت طه يقب ي ش ط ك ه س ي ة انج ق ش ط يقب ي ش ط ث للا ك ه ب س ه ع ي ع ض ت ن ة ك ئ ل ـان إ ،
ى ه انع ت بن ط ضب ن ب س ت ح ج أ ض س ي ال ف ي ات ي انس ف ي ن ش ف غ ست ي ن ى ـ بنانع إ ،
يت انح بء ـان ف ي ج ف ب ش بئ ى س ه ع س ذ انج ة ه ي ن ش انق م ض ف ك ذ بث ى انع ه ع ى بن انع م ض ف إ ،
ت اك انك بء ي ج ال ة ث س بء ه انع إ ، ي ا د ث س ي ى ن بء ي ج ال إ ، س د ل بسا ا ث س ب،
ح ث ز خ أ ز خ أ ف ؛ ى ه انع ش اف ظ
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan
tunjukkan dengannya satu jalan diantara jalan-jalan surga, Dan
sesungguhnya para Malaikat merendahkan sayapnya kepada penuntut ilmu
karena ridha padanya. Dan sesungguhnya seorang alim itu dimohon
ampunkan untuknya oleh seluruh yang berada di langit dan bumi, sampai
ikan paus di lautan. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas
seorang abid seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang. Sesunggunya
para ulama itu pewaris para nabi, karena para nabi tidak mewariskan dinar
ataupun dirham, (melainkan) mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa
yang menginginkannya hendaklah mengambil sebanyak-banyaknya. (HR.
Abu Daud)
2. Allah SWT memberikan kedudukan yang tinggi terhadap orang-orang
yang berilmu. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
6
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah:
11)
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT meninggikan kedudukan
orang-orang yang berilmu beberapa derajat lebih tinggi daripada mereka yang
tidak memiliki ilmu.
3. Ilmu akan membuat manusia menjadi takut kepada Allah SWT, jika
tidak demikian maka ilmu tersebut tidak bermanfaat. Karena Allah SWT
berfirman:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
(QS. Fathiir: 28)
Maka setiap bertambah ilmu seseorang, maka akan bertambah pula
ketakwaannya kepada Allah SWT. Ia akan semakin jauh dari kemaksiatan
dan banyak melakukan ketaatan karena ilmu yang membawanya kepada
hakikat akan membuatnya semakin meyadari keagungan Allah SWT.
Dengan demikian pentingnya ilmu dalam Al-Qur‟an, maka islam memerintahkan
umatnya agar senantiasa mencari ilmu. Rasulullah SAW bersabda:
ى ه س ي م ي ك ه ع ة يض ش ف ى ه انع ت ه ط
Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. (HR. Bukhari Muslim)
Islam mendorong umatnya untuk selalu dalam proses pendidikan sehingga mereka
dihindarkan dari kebodohan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ع ه ي , ة ع ه ب ي ي انذ ي , للا كش ر ل ب إ ي ب ف ي ب ه ع ت ي ب أ ه ع ي أ , ل ب
“Dunia itu terlaknat, dan terlaknat pula apa yang ada padanya kecuali dzikrullah, dan
apa-apa yang menggantikannya, atau orang yang mengajarkan ilmu atau orang yang
menuntut ilmu” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dar Abu Hurairah Ra)6
6 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, Jami’ bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Tahqiq: Abul-Asybal Az-Zuhairy, Kairo: Dar Ibnu Jauzy. Jilid. 1 hlm. 136
7
B. Sasaran Pendidikan Islam
Manusia pada dasarnya terbagi kepada tiga dimensi; akal, ruh dan jasad. Jika falsafah-
falsafah pendidikan lainnya hanya membidik salah satu dari dimensi dari ketiga dimensi
tersebut dan mengutamakannya dari lainnya. Islam justru memandang manusia sebagai
satu kesatuan yang utuh, antara akal, jiwa dan jasad.
Falsafah pendidikan yang berkembang saat ini berusaha mengkotak-kotakkan antara
akal, jiwa dan jasad manusia, hingga mereka memberikan jam-jam tertentu untuk akal,
jam lainnya untuk jasad dan waktu lain untuk jiwa. Mereka tertipu dengan pembagian
teoritis tentang bagian-bagian dari kehidupan manusia yang sebenarnya satu kesatuan
ini. Muhammad Quthb berkata:
“Dan penelitian-penelitian teoritis ilmiah telah tertipu dengan tabiat ini. Maka membagi
manusia seperti tubuh tanpa akal, ruh tanpa tubuh, atau akal tanpa ruh… Mereka lalu
sibuk meneliti satu persatu secara tersendiri sedang mereka memperdaya diri mereka
bahwa itulah (hakikat) manusia.”7
Pembagian manusia kepada akal, jasad dan jiwa sebenarnya hanyalah pembagian
teoritis belaka, karena tidak mungkin kita membayangkan manusia berakal tanpa jasad
dan jiwa, atau manusia berupa jasad tanpa jiwa dan akal. Oleh karenanya pendidikan
yang diberikan pun harus selalu menyentuh ketiga aspek tersebut. Lihatlah bagaimana
Al-Qur‟an menggambarkan puncak aktivitas kejiwaan manusia, yaitu saat Rasulullah
Saw menerima wahyu dari Allah Swt:
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-
cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS. Al-Qiyaamah: 16-18)
Muhammad Quthb mengomentari ayat ini: “Bahkan pada masa “kemurnian ruh”, lidah
ikut bergerak, dan terdengarlah seruan dari dasar jiwa, karena keinginan yang kuat
untuk menghafal Al-Qur‟an sebelum ia beranjak pergi dari ingatan. Maka bergeraklah
tubuh dan bergeraklah akal pada saat-saat teragung dan terluhur bagi ruh yang paling
Agung (Muhammad SAW).”8
7 Muhammad Quthb, hlm. 21 8 Muhammad Quthb, hlm. 22
8
Dalam contoh yang lebih nyata kita bisa melihat aktivitas shalat, dimana seorang hamba
melakukan aktivitas kejiwaan yang sangat mulia… menyembah Allah Swt. Dalam
shalat, tidak hanya jiwa yang dituntut untuk khusyu, namun akal ikut berpikir,
mengingat bacaan shalat dan mentadabburinya, jasad pun ikut bergerak ruku dan sujud
dan tak henti-hentinya lidah berdzikir. Cobalah perhatikan bagaimana Allah Swt
menggambarkan orang-orang yang berilmu:
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi
Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al
Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud. Dan mereka berkata: "Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan
Kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyu'.(QS. Al-Israa: 107-109)
Memang terkadang manusia tertipu dengan penampakan lahiriyyah saat melihat akal,
jiwa dan jasad terpisahkan. Perasaan seperti ini sebenarnya hanya penampakkan
lahiriyyah saja, karena pada hakikatnya jiwa, akal dan jasad tak pernah bisa dipisahkan
walau terkadang ketika salah satunya muncul dengan kuat akan membuat sisi lainnya
tidak terlihat. Demikian adalah fitrah manusia yang harus diasah, dilatih dan
dikembangkan setiap sisinya dan islam memberikan perhatian kepada ketiganya secara
seimbang.
Maka dalam pendidikan islam, sejatinya tidak boleh ada dikotomi antara pendidikan
yang melibatkan akal, ruh, dan jasad, semua harus mendapatkan porsi yang seimbang
dan terkait satu sama lain dalam pelaksanaannya.
C. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Dalam islam, ruang lingkup pendidikan meliputi seluruh aktifitas manusia dan tidak
terbatas dari satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Karena tidak ada satu aktifitas pun
yang dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan, dan jika terkait dengan ilmu pengetahuan
maka sudah tentu pendidikan menjadi keniscayaan. Maka Imam Al-Bukhari menuliskan
9
sebuah Bab dalam Shahih-nya yang namakan: Bab al-„ilm qobla al-ikhlash wal-„amal
(Bab ilmu sebelum ikhlas dan amal).
Imam Ibnul Qoyyim bahkan menjelaskan dalam bukunya “Tuhfatul Wadud” bahwa
seorang anak semenjak dalam kandungan sudah dikenakan hukum-hukum syar‟i yang
dibebankan kepada orang tua anak tersebut untuk mendidik dan membesarkannya sesuai
apa yang diperintahkan Allah.9 Dengan demikian maka pendidikan dalam islam dimulai
semenjak bayi dalam kandungan sampai manusia kembali kepada Allah SWT.
Maka membatasi pendidikan dengan sebatas pendidikan formal saja adalah sebuah
kekeliruan dalam pendidikan islam. Inilah yang dikritik oleh DR. Said Ismail Ali
tentang beberapa kalangan yang menyempitkan arti pendidikan:
“Maka arti kata pendidik menurut mereka adalah kumpulan dari para “guru” yang
berdiri di depan kelas, berhadapan dengan para “murid” dan membelakangi papan tulis.
Yang tujuan mereka hanyalah untuk mentransfer “pengetahuan” yang mereka bawa, dan
biasanya hanya berupa pengetahuan sederhana yang kosong dari inovasi dan kreativitas.
Kemudian, seluruh usaha “pendidikan” mereka hanya terfokus kepada “bagaimanakah
cara mengajar?”.”10
Walaupun demikian, tidak berarti pendidikan islam mengecilkan peran dari pendidikan
formal. Hanya saja kesadaran untuk membentuk sebuah masyarakat yang mencintai dan
menghargai ilmu harus muncul dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga semua
orang merasa bertanggung jawab atas pendidikan diri, keluarga, masyarakat dan umat
manusia secara keseluruhan.
D. Peran Manusia dalam Pendidikan Islam
Karena memegang tanggung jawab yang besar terhadap pendidikan maka peran
manusia dalam pendidikan islam menjadi sentral. Seorang muslim dituntut untuk
mencari ilmu sekaligus juga untuk mengajarkannya. DR.Yusuf Al-Qardhawi
menjelaskan:
9 Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul Wadud biahkamil-Maulud, Bombay: Mathba’ah Al-Hindiyyah, 1961. hlm. 47 10 Said Ismail Ali, Falsafat at-Tarbiyah al-Mu’ashirah, Kuwait: Majlis Al-Wathani li Ats-Tsaqofah, 1978. hlm.15
10
“Adalah sebuah kewajiban bagi manusia yang telah ia belajar untuk mengajarkannya
kepada orang lain, supaya mereka termasuk kelompok (manusia) robbani, sebagaimana
disebutkan oleh Allah SWT:
Akan tetapi : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran :79)
Dan telah banyak penjelasan dari banyak kalangan salaf yang menyebutkan: Bahwa arti
robbani ialah orang yang mengetahui, mengamalkan dan mengajarkannya.”11
Kewajiban untuk belajar dan mengajarkan ilmu ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat
yang mendorong umat islam untuk mencari ilmu sekaligus menyampaikannya. Bahkan
seorang yang memiliki ilmu diharamkan untuk menyimpannya sendiri dan tidak
menyampaikannya. Rasulullah SAW bersabda:
ان بس بو ي ب ث ه ج هج ة ي و انق يبي بء ي ج ت ف ك ه ب ع ه ئ م ع ي س
Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang ia ketahui kemudian menyembunyikannya,
maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan belenggu yang terbuat dari Api
Neraka. (HR. Abu Daud)
Maka dalam pendidikan islam, seseorang tidak mungkin bisa terlepas dari peran dia
sebagai seorang pelajar atau seorang pendidik atau bahkan keduanya sekaligus. Umar
bin Abdul Aziz berkata: “Apabila kau mampu jadilah seorang alim, apabila tidak maka
jadilah engkau penuntut ilmu, apabila tidak maka cintailah mereka, dan apabila kau tak
mampu maka janganlah kau membenci mereka.”12
III. MANUSIA SEBAGAI SUBYEK PENDIDIKAN
Manusia sebagai subyek pendidikan berarti ia menjalankan perannya sebagai seorang
pendidik atau guru. Seorang pendidik dalam islam bukanlah hanya sembarang orang,
namun harus mememenuhi syarat-syarat tertentu agar ia dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Oleh karenanya seorang pendidik dalam islam mempunyai kedudukan
yang tinggi.
11 Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 237 12 Abu Umar Yusuf Ibnu Abdil Barr, Jilid. 1, hlm.142
11
A. Kedudukan dan Fungsi Pendidik dalam Pendidikan Islam
Seorang pendidik mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam, karena
pendidik merupakan perwakilan dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam mengajarkan
kepada manusia syariat dan nilai-nilai islam. DR Yusuf Al-Qardhawi berkata:
“Para ulama ialah pewaris nabi, mereka mewarisi ilmu nubuwwah sebagaimana juga
menggantikan peran mereka untuk mengajar manusia, membimbing orang-orang yang
tersesat, menjelaskan kebenaran kepada orang-orang yang tak mengetahuinya, serta
mengingatkan orang-orang yang lalai atas kebenaran tersebut. Mereka tidak boleh sama
sekali menyembunyikan sedikitpun dari keterangan dan petunjuk yang mereka
miliki.”13
Seorang pendidik ibarat seorang ayah yang mau mendengar keluhan dari peserta
didiknya dan mengarahkan mereka dengan penuh kasih sayang. Ia juga ibarat seorang
syaikh yang mampu menguasai berbagai persoalan agama sehingga menasehati
muridnya dengan bijak. Ia ibaratkan seorang guru yang mengajarkan berbagai hal
dengan baik dan juga seorang pemimpin yang mampu mengambil keputusan yang tepat
diwaktu yang tepat. Imam Al-Ghazali mewajibkan kepada setiap pendidik untuk
mengasihi anak didiknya seperti tergambar dalam sebuah hadits:
ن ذ ان ذ ن ث م ان ى ي ب أ ب ن ك إ
“Sesungguhnya (kedudukan) aku kepada kalian seperti seorang ayah kepada anaknya.”
(Al-Hadits)
Maka kedudukan seorang pendidik sangatlah mulia didalam islam. Bahkan didalam
riwayat seorang Atha bin Rabah menolak untuk mengajar anak khalifah jika mereka
tidak mau datang sendiri ke tempatnya. Thawus berkata: “Dan adalah termasuk sunnah,
penghormatan terhadap orang yang berilmu.”14
B. Karakteristik Pendidik
Seorang pendidik dalam islam memiliki tanggung jawab yang besar terhadap anak
didiknya. Ia harus mampu membina dan mendidik mereka menjadi seorang muslim
yang baik. Tanggung jawab ini tentunya tidak bisa dipikul oleh sembarang orang, maka
menurut Khalid bin Said bin Ahmad Al-Harbi seorang pendidik dituntut untuk memiliki
13 Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 241 14 Abdurrahman An-Nahlawy, Yusuf bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Damaskus: Dar el-Fikr, 1986. hlm. 95
12
karakteristik yang istimewa baik yang berkenaan dari sisi keimanan, akhlak ataupun
pendidikan.
Diantara karakteristik yang berkaitan dengan keimanan ialah:
1. Seorang pendidik hendaknya memiliki akidah yang lurus dan mengakar di
jiwanya. Sehingga akidah tersebut terlihat dalam perilakunya dan caranya
mengajarkan berbagai bidang ilmu.
2. Memiliki sikap takwa dan hati yang bersih yang dengannya ia merasa selalu
diawasi oleh Allah SWT dalam segala perbuatannya.
3. Ikhlas dalam mengajar dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT dari apa
yang dikerjakannya. Bahkan Imam Al-Ghazali melarang seorang guru
mengharapkan imbalan duniawi, karena untuk meneladani Rasululullah Saw
yang tidak meminta imbalan duniawi,15
sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur‟an:
"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah)
bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan
bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang
tidak Mengetahui". (QS. Hud : 29)
4. Selalu berupaya untuk mengamalkan apa-apa yang diajarkan dan
diketahuinya. Karena perilaku seorang pendidik menjadi cerminan bagi
keberhasilan proses pendidikan peserta didiknya. Ketika Imam Syafi‟i
berkesempatan untuk menasehati guru dari putra-putra khalifah, ia berkata:
“Ketika engkau hendak mendidik anak-anak Amirul Mu‟minin, maka yang
paling pertama engkau perbaiki ialah dirimu sendiri. Karena mata mereka
15 Hasan Asy-Syarqowi, Nahwa Tarbiyah Islamiyyah, Alexanderia: Muasasah Syabab Al-Jami’ah, 1983. hlm. 138
13
tertuju padamu. Yang baik bagi mereka ialah apa yang engkau anggap baik,
dan yang buruk ialah apa yang kau benci…”16
5. Seorang pendidik juga harus menyadari tanggung jawab yang besar yang ia
emban sebagai pendidik dan berusaha menunaikan kewajibannya sebaik
mungkin, serta tidak mengkambing hitamkan orang lain atau lingkungan atas
kegagalan dalam proses pendidikan.17
Selain karakteristik diatas, ada beberapa karakteristik yang berkaitan dengan akhlak
yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, diantaranya:
1. Bersikap tawadhu terhadap orang lain terlebih lagi dihadapan anak didiknya.
Ali Rasyid menyebutkan: “Dan Janganlah seorang guru merasa sombong
dihadapan murid-muridnya, baik dengan ilmu, harta, jabatan atau
keturunannya, dan hendaklah ia meniru Rasulullah Saw dalam hal ini juga
dalam sifat-sifat lainnya.”18
2. Hendaknya ia bersabar dalam berinteraksi dengan anak-anak didiknya dan
dalam memperbaiki dan membina mereka jika ia berhadapan dengan
kenakalan dan kebodohan mereka.
3. Bersikap adil dalam bergaul, tidak membeda-bedakan antara satu dengan
lainnya berdasarkan hawa nafsu. Ibnu Sahnun meriwayatkan sebuah hadits
dari Anas bin Malik: Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
ج ث ة ص ن ى ث ل د ة ؤ ب ي ى ي غ , ى ي غ ع ي ى ش ي ق ف , ة ي بنس ث ى ه ع ي ى ه ف ة ي ال ز ي ة ي أ ي
ي بئ انخ ع ي ة بي ي انق و ي ش ش خ , ى يش ق ف ع ي
“Jika seorang guru (dipercaya untuk) mendidik tiga anak dari umat ini, dan
tidak mendidik mereka dengan adil, yang miskin bersama yang kaya, yang
kaya bersama yang miskin, maka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat
beserta para pengkhianat.”19
4. Menjaga kasih sayang dan lemah lembut terhadap anak didiknya, karena
hanya dengan rasa kasihlah manusia menjadi mudah untuk taat dan
16 Yusuf Abdul Mu’thi, Tarbiyatul Muslim fi ‘Alam Mu’ashir, Kuwait: Shunduq Waqafi Lits-Tsaqofah wal-Fikr, 1998. hlm. 71 17 Khalid Said bin Ahmad Al-Harby, Usus al-Jaudah at-Ta’limiyyah fii I’dad wa tadrib al-Mu’allim min mandzur al-Islamy, Tesis Magister pada Umm al-Qura University; tidak diterbitkan. hlm. 90-92 18
Ali Rasyid, Syakhsiyyah al-Mu’allim wa ada’uhu fii Dhaui Taujihat al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1419 H. hlm. 29 19 Ahmad Fuad Al-Ahwani, at-Tarbiyah fil-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif bimishr, 1968. hlm. 355
14
mendengar.20
Maka Ibnu Sahnun melarang seorang pendidik untuk memukul
anak didiknya lebih dari tiga pukulan, ia berkata: “ Dan tidak boleh
mengajarkan adab (dengan) melebihi tiga pukulan, kecuali jika ayahnya
mengizinkan untuk itu disaat ia menyakiti orang lain. (Seorang pendidik
hendaknya) menghukum mereka atas senda gurau dan kemalasan dan tidak
boleh menghukumnya melebihi seupuluh pukulan, sedang atas membaca al-
Qur‟an tidak boleh melebihi tiga pukulan.”21
Seorang pendidik juga harus memperhatikan hal-hal berikut jika ia ingin berhasil untuk
mendidik murid-muridnya:
1. Hendaklah ia menjaga penampilannya agar terlihat baik dan rapi dihadapan
anak-anak didiknya, karena manusia umumnya menyukai hal-hal yang
indah dan membenci sebaliknya.
2. Mengajak anak didik untuk berfikir dan mengunakan akalnya dalam
berbagai kesempatan sehingga mereka terbiasa dengan cara berfikir yang
baik dalam kehidupannya. DR. Yusuf Al-A‟shar mengatakan: “Apabila
guru memberikan tanggung jawab kepada para murid akan apa yang akan
mereka pelajari, bagaimana mereka mempelajarinya dan bagaimana mereka
meraih kesuksesan padanya, sehingga akan lahir banyak kesempatan dalam
belajar. Maka para murid akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam
memecahkan masalah, kreatifitas dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan
kepercayaan diri. Mereka juga akan menghasilkan lebih baik daripada cara
belajar yang berdasarkan pada ujian-ujian yang sangat terbatas
kemampuannya sebagai alat evaluasi.”22
3. Ia juga dianjurkan untuk terus menambah ilmunya dan memperluas
wawasannya baik berkenaan dengan pendidikan atau lainnya. Bahkan ketika
Suyfan bin Uyainah ditanya: “Siapakah yang paling perlu untuk mencari
ilmu?”, ia menjawab: “Orang yang paling alim, karena kebodohan menjadi
aib baginya.”23
20 Khalid Said bin Ahmad Al-harby, hlm. 93-95 21
Ahmad Fuad Al-Ahwany, hlm. 356 22 Shafa Yusuf Al-A’sar, Ta’lim min Ajli Tafkir, Kairo: Dar al-Quba, 1998. hlm. 13 23 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 407
15
4. Ia harus menguasai bidang yang ia ajarkan sebaik mungkin sehingga
menguasai seluk beluknya dan dapat mengajarkannya dengan cara yang
paling mudah untuk dipahami.
5. Memperhatikan dan mengetahui perbedaan karakter tiap peserta didiknya
dan mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap mereka.24
Imam Al-
Ghazali menjelaskan: “ Dan hendaknya seorang guru membatasi muridnya
sesuai pemahamannya, maka janganlah ia memberikan apa yang tidak
terjangkau oleh akalnya atau yang membuat bingung pikirannya.”25
Setiap pendidik hendaknya menjaga dan mengembangkan karakter-karakter yang
dibutuhkan olehnya agar proses pendidikan berjalan dengan baik. Demikian itu
merupakan nilai-nilai asasi dalam pendidikan islam.
IV. MANUSIA SEBAGAI OBYEK PENDIDIKAN
Pada dasarnya, islam tidak mengenal manusia sebagai obyek dalam pendidikan karena
pada hakikatnya manusia sebagai pendidik ataupun peserta didik dituntut untuk aktif
mencari ilmu dan kebenaran. Dalam artian bahwa kewajiban mencari ilmu dipikul oleh
seluruh manusia, dan bukan hanya kewajiban pendidik saja untuk menyampaikannya.
Imam Ibnu Abdil Barr menjelaskan hal ini:
“Para ulama bersepakat (ijma‟) bahwa diantara ilmu itu ada yang fardhu „ain atas setiap
orang secara individu. Yaitu apa-apa yang tidak boleh tidak diketahui oleh manusia dari
sejumlah kewajiban agama atas mereka, seperti bersyahadat dengan lisan dan meyakini
dengan hati bahwa Allah itu Esa tiada sekutu baginya, dan bersaksi akan kebenaran
bahwa Muhammad ialah hamba dan rasul-Nya juga penutup para nabi. Dan bahwa
kebangkitan setelah kematian untuk pembalasan amal, keabadian di akhirat bagi mereka
yang bahagia dengan keimanan dan ketaatan di surga, dan bagi mereka yang sengsara
dengan kekafiran dan keingkaran di neraka adalah benar adanya…”26
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akidah dan syariat yang berkaitan dengan manusia,
haruslah diketahui oleh manusia dengan ilmu yang benar. Jika tidak, maka setiap
individu menanggung akibatnya.
Namun yang dimaksudkan dengan obyek pendidikan disini ialah manusia yang ikut
menjadi peserta dalam proses pendidikan islam. Karena dalam mencari ilmu, seorang
24
Khalid Said bin Ahmad Al-Harby, hlm. 95-97 25 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar Asy-Sya’b. Jilid.1, hlm. 96 26 Abdurrahman an-Nahlawy, hlm. 29
16
muslim tidak hanya diwajibkan untuk membaca melainkan untuk bertanya dan
menuntut ilmu dengan orang-orang yang lebih mengetahui. Dalam Al-Qur‟an
disebutkan:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)
Dr. Yusuf Al-Qardawi menjelaskan tentang kewajiban untuk menuntut ilmu dari orang-
orang yang berilmu, ia mengatakan:
“Dan setiap manusia mesti belajar dari siapapun yang memiliki ilmu yang bermanfaat
bagi agama dan dunianya, walaupun orang itu lebih muda darinya, atau lebih rendah
derajat (sosial) nya, atau lebih miskin dalam harta dan kehormatannya….
Dikisahkan bahwa beberapa ulama; pernah ditanya mengenai suatu masalah kemudian
berkata: “aku tidak tahu”, kemudian salah seorang muridnya berkata: aku tahu
mengenai persoalan itu. Maka sang guru pun marah dan tersinggung, tetapi murid
tersebut berkata: Engkau tidaklah lebih alim dari (Nabi) Sulaiman bin Daud walaupun
telah mencapai ketinggian ilmumu saat ini, dan aku tidak lebih bodoh dari (burung)
Hudhud. Dan sungguh Hudhud telah berkata pada Nabi Allah Sulaiman: “Aku telah
mengetahui apa tidak engkau ketahui,” namun Nabi Sulaiman tidak menghukumnya,
dan memanfaatkan ilmunya.” Mendengar itu, maka Sang Guru menjadi tenang dan
berbahagia mendengar perkataan muridnya.”27
A. Peserta Didik dalam Islam
Rasulullah Saw memerintahkan kepada umat islam terutama para pendidik untuk
memuliakan peserta didik, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Qurthubi dari
Yusuf bin Harun dan Syahr bin Khausab, mereka berkata: “Kami apabila mendatangi
Abu Said Al-Khudry maka ia akan berkata: “Selamat datang para pewasiat Rasulullah
SAW! (sungguh) Rasulullah SAW bersabda: “Akan dibukakan (dunia) kepada kalian
dan kalian akan didatangi kaum -dalam riwayat lain anak-anak muda- mereka masih
muda, (ingin) mencari ilmu dan memahami agama dan mereka menuntut ilmu dari
kalian. Maka apabila mereka mendatangi kalian, maka ajarilah mereka dan bersikap
27 Yusuf Al-Qordhawi, hlm. 225-226
17
lembutlah pada mereka, luaskan-lah majlis bagi mereka dan pahamkanlah hadits (ajaran
islam).”28
Dalam pendidikan islam, terdapat sebutan-sebutan khusus bagi para peserta didik,
diantaranya:
1. Thalibul-„ilm -atau disingkat Thalib- yang berarti seseorang yang sedang
mencari ilmu. Dalam Al-Wasith disebutkan: “Ath-Thalib yaitu penuntut ilmu,
biasanya disebutkan kepada siswa tingkat menengah dan perguruan tinggi.”29
Penamaan ini diambil dari hadits-hadits Rasul Saw mengenai kewajiban dan
keutamaan penuntut ilmu.
2. Murid yang berarti seseorang yang ingin belajar dan siap menerima
pengajaran dari guru atau syaikhnya.
3. Tilmidz yang berarti seseorang yang mencari-cari ilmu pengetahuan dengan
bertanya pada orang yang lebih alim.
4. Muta‟allim yaitu orang yang diajarkan kepadanya ilmu pengetahuan.
5. Mutarobbi yaitu seseorang yang dikembangkan dan dididik dengan nilai-nilai
yang bermanfaat.
Nama-nama tersebut terkadang digunakan dalan beberapa kondisi yang berbeda
walaupun secara keseluruhan mempunyai makna yang sama yaitu peserta didik.
B. Syarat-syarat Peserta Didik
Meskipun menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh umat islam, tetapi tidak
berarti dalam prosesnya berjalan begitu saja. Seorang penuntut ilmu haruslah memenuhi
beberapa syarat-syarat agar proses pendidikan yang ia ikuti berhasil. Imam Syafii
mengungkapkan hal tersebut dalam syairnya:
ــي ج ب ث ه ــيص ف ت أ ك ــــــيج أ س ة ــت ـس ث ل ا ى ـه انع بل ـــــ ت ــــــي ن خ ا ب
ث هـــــجت ا ص ش ح بء ك ر ج ـــ بد ح ص ة ـــغ ب ي ل انض ط ت بر س ة أ
Wahai Saudaraku, engkau tak akan meraih ilmu kecuali dengan enam perkara
Aku akan jelaskan kepadamu rinciannya dengan gamblang
28 Abdurrahman An-Nahlawy, hlm. 94 29
Ibrahim Musthafa dkk, Mu’jam Al-Wasith, Kairo: Dar ad-Da’wah. Jilid. 2, hlm. 561 30 Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Diwan al-Imam Asy-Syafii, Beirut: Dar Al-Arqam bin Abil-Arqam. hlm. 113
18
Kecerdasan, Kesungguhan, Kegigihan dan Kecukupan (harta)
Juga didikan seorang guru dan masa yang panjang
Keenam perkara yang telah disebutkan oleh Imam Syafi‟i ini merupakan syarat-syarat
yang harus dimiliki dan dijalani oleh seorang pencari ilmu atau peserta didik. Adapun
penjelasannya dalam pendidikan islam adalah sebagai berikut:
1. Kecerdasan. Yang dimaksudkan dengan kecerdasan dalam pendidikan islam
ialah kemampuan seseorang untuk memahami dan mempelajari berbagai
masalah. Dalam dunia pendidikan syarat ini sering disebut, kesiapan
intelektual.
2. Kesungguhan. Kesungguhan berasal dari motivasi yang kuat untuk
memperoleh pengetahuan. Kesungguhan juga sering dikaitkan dengan
dorongan luar yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu kegiatan
seperti untuk mencari kebahagiaan.
3. Kegigihan. Kegigihan atau ijtihad dalam mencari ilmu mutlak diperlukan.
Para ulama terdahulu mencontohkan kegigihan dengan melakukan perjalan
jauh demi mendapatkan satu atau dua hadits.
4. Kecukupan harta. Maksud dari kecukupan harti disini ialah kecukupan dalam
kehidupan yang digunakan untuk keseharian seperti kebutuhan pokok
sandang, papan dan pangan. Dengan demikian seorang penuntut ilmu tidak
mengemis kepada orang-orang yang akan merendahkan kedudukannya, maka
Abu Darda berkata: “Penghidupan yang layak merupakan kebaikan agama,
(sedang) kebaikan agama merupakan kebaikan akal.”31
Namun para ulama
mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan terhadap harta, Sofyan Ats-Tsaury
berkata: “Ilmu itu ibarat tabib umat ini dan harta ialah penyakitnya, dan
apabila seorang tabib memberikan penyakit pada dirinya, bagaimanakah ia
bisa mengobati lainnya??.32
5. Guru. Seorang penuntut ilmu dalam islam harus memiliki guru agar apa yang
ia pelajarinya tidak keliru. Dalam kitab Asy-Syakwa disebutkan:
“Barangsiapa yang tidak memiliki syaikh maka ia tidak memiliki agama, dan
barangsiapa yang tidak mempunyai guru maka syaithan akan menjadi imam
baginya.”33
31
Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid.1, hlm. 724 32 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid.1, hlm. 711 33 Said Isma’il Ali, Ittijahat al-Fikru at-Tarbawi al-Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1991. hlm. 53
19
6. Waktu. Panjangnya waktu menunjukkan kegigihan dan keuletan seseorang
dalam mencari ilmu.
Keenam persyaratan ini merupakan hal-hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh
seorang pencari ilmu, walaupun pada hakikatnya seseorang dituntut untuk selalu belajar
dan tidak dibatasi oleh kecerdasan ataupun usia. Maka para ulama pun tidak membatasi
sampai kapan seseorang harus mencari ilmu, Abu Mudzir berkata: “Saya bertanya
kepada Abu Amru bin „Ala : “Sampai kapan seseorang sebaiknya mencari ilmu?”, ia
menjawab: selama hidupnya masih baik”.34
Dengan demikian maka keenam hal ini
harus terus dimiliki oleh seorang muslim apapun kedudukan dan berapapun usianya.
C. Adab-adab sebagai Peserta Didik
Berdasarkan penghargaan terhadap ilmu dan penghormatan terhadap kemuliaan
pendidik, maka peserta didik dalam islam harus memahami adab-adab dalam menuntut
ilmu. Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian yang asasi yang tidak bisa
dipisahkan dari pendidikan islam, Abdullah bin Mubarak berkata: “Tidaklah seseorang
menguasai satu cabang ilmu, selagi ia tidak mengiasi ilmunya dengan adab.”35
Diantara adab-adab tersebut ada yang berkaitan dengan dirinya, gurunya dan
pelajarannya. Adapun adab-adab yang berkaitan dengan diri, yaitu:
1. Menjadikan seluruh proses pendidikan sebagai sarana untuk beribadah
kepada Allah SWT.
2. Mengikhlaskan niat dalam mencari ilmu untuk berkhidmah kepada islam dan
bukan karena kepentingan duniawi. Dalam sebuah hadits disebutkan:
بء هى ا انع ه ع ت ت ل ه انع ا ث ف بء , ن ت ج ب انس ا ث بس ل ن ت بن س , انـ ج ا ث ل ن ت حت بص ,
ان ك ف ب بس ان بس م ر ف ع ف
“Janganlah kalian mencari ilmu supaya menyombongkan diri denganya
dihadapan para ulama, dan (jangan pula) supaya mendebat dengannya pada
masyarakat bodoh, dan (jangan pula) untuk mendapatkan tempat pada majlis-
34
Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 407 35 Abdul Hakim Al-Anis, Adab al-Muta’allim tijaha al-Mu’allim, Dubai: Da’irah Asy-Syu’un Al-Islamiyyah wa Al-Amal Al-Khairi, 2008. hlm. 14
20
majilis. Maka barangsiapa yang melakukannya (baginya) neraka..neraka!!.”
(H.R Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)36
3. Menghiasi diri dengan sifat takwa.
4. Konsisten dalam menjaga kesungguhan dan kesabaran saat menghadapi
berbagai masalah dalam menuntut ilmu.
5. Membersihkan hati dari rasa dengki, iri dan akhlak yang buruk. Karena
akhlak yang buruk akan menghalagi ilmu yang hakiki. Imam Al-Ghazali
berkata: “Apabila engkau berkata: betapa banyak murid yang buruk
akhlaknya mendapatkan banyak ilmu?, Maka alangkah celakanya ia karena
telah dijauhkan dari ilmu hakiki yang bermanfaat, karena awal dari ilmu
tersebut ialah tampaknya maksiat sebagai racun yang berbahaya.”37
6. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan tidak menyia-nyiakannya.
7. Bersikap zuhud terhadap berbagai kehidupan duniawi.
8. Mengamalkan setiap ilmu yang sudah ia pelajari.
9. Mempelajari ilmu dari para ahli dibidangnya.
10. Mempersiapkan diri dengan peralatan untuk menyimak dan menulis.
Diantara adab-adab yang berkaitan dengan guru ialah:
1. Meminta bimbingan dari Allah SWT agar mendapatkan guru yang terbaik.
2. Patuh terhadap gurunya, seabagaimana orang sakit yang sedang ditangan
dokternya.
3. Menghormati guru dan tidak melupakan jasa-jasanya. Bahkan para ulama
lebih mengutamakan guru-guru mereka dibanding orang tua mereka sendiri.
Al-Asfahany meriwayatkan: Suatu kali, Iskandar ditanya: “Mengapa ia lebih
menghargai gurunya daripada kedua orang tuanya?”, ia menjawab: “Karena
ayahku adalah sebab kehidupanku di kehidupan yang fana (dunia) sedang
guruku sebab kehidupanku yang kekal (akhirat).”38
4. Bersabar atas sikap yang tidak berkenan dari guru.
5. Bersikap dengan sopan saat berada di majlisnya. Hamdan bin Al-Asfahany
mengisahkan: “Saya bersama Syarik bin Abdullah, lalu datangnya beberapa
putra (khalifah) al-Mahdi. Mereka duduk bersandar ke tembok lalu bertanya
tentang hadits, namun ia tidak menoleh kepada mereka. Mereka pun
36
Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 648 37 Abu Hamid Al-Ghazali, Jilid.1, hlm. 83 38 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 52
21
mengulang pertanyaan, tapi ia tetap tidak menoleh. Maka aku bertanya:
“Engkau seperti meremehkan putra-putra khalifah?”, ia menjawab: “Bukan,
tetapi ilmu itu lebih indah ditangan orang yang berhak daripada (mereka)
yang menyia-nyiakannya.” Mereka pun duduk bersimpuh, kemudian
bertanya. Ia lalu berkata: : “Seperti inilah seharusnya menuntut ilmu itu.”39
6. Mengajukan pertanyaan dengan sopan dan mendahuluinya dengan doa,
seperti; Ghafarallahu laka.
7. Mengagungkan guru tanpa berlebih-lebihan. Diriwayatkan bahwa para ulama
selalu menghormati gurunya dengan sebaik-baik penghormatan, sampai-
sampai Imam Asy-Syafi‟i merobek kertas dengan sangat perlahan karena
merasa segan dengan kehadiran Imam Malik.40
8. Dilarang memotong pembicaraan guru ketika ia menjelaskan sesuatu. Begitu
juga jika gurunya melakukan kesalahan dalam menjelaskan pelajaran, tidak
boleh menegurnya didepan khalayak ramai. Syaikh Thasyakbury berkata:
“Dan janganlah ia (murid) menelisiki kesalahan dan kekeliruan gurunya, dan
menakwilkan kesalahan-kesalahan gurunya kepada kemungkinan yang
terbaik.”41
9. Apabila guru menjelaskan permasalahan yang sudah ia ketahui, hendaknya
mendengarkannya seakan-akan ia belum pernah mendengarkan hal itu
sebelumnya.
10. Tidak terburu-buru untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
atau orang lain kepadanya.
Sedangkan adab-adab yang berkaitan dengan pelajaran, ialah:
1. Mempunyai obsesi yang tinggi terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
2. Bertahap dalam mempelajari sesuatu. Dan hendaknya dimulai dari
mempelajari Al-Qur‟an lalu hadits dan seterusnya.
3. Tidak memulai pelajaran dari perbedaan pendapat dikalangan ulama atau
manusia secara umum.
4. Menjaga sopan santun terhadap kawan sejawatnya.
5. Rajin mengulang-ulang pelajaran yang telah ia pelajari disetiap kesempatan.
39
Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 33 40 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 71 41 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 48
22
6. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Adab-adab ini, walaupun terlihat sangat sederhana tetapi merupakan kunci bagi seorang
penuntut ilmu untuk mendapatkan keberkahan dari ilmu yang ia pelajari. Jabir bin
Hayyan menegaskan akan pentingnya menjaga adab terhadap guru sekaligus terhadap
ilmu itu sendiri:
“Menurutnya seorang anak didik harus bersikap lemah lembut menerima perkataan
gurunya dari segara sisi. Janganlah ia menentangnya dalam suatu perkara. Alasannya
ialah karena pundi-pundi ilmu seorang guru tidak akan tampak bagi murid kecuali jika
ia merasa tenang bersamanya dan memujinya dengan pujian yang luhur. Itu karena
kedudukan seorang guru ialah kedudukan ilmu itu sendiri. Orang yang menyelisihi ilmu
akan menyelisihi kebenaran, sedang menyelisihi kebenaran akan jatuh pada kesalahan
dan kekeliruan, dan hal itu tidak diinginkan orang yang berakal. Dan jika seorang murid
belum mampu mampu mentaati gurunya sejauh itu, maka sang guru hanya akan
mengajarkan ilmu yang terbatas.”42
IV. PENUTUP
Manusia dalam pandangan islam, mempunyai keunggulan dan kelebihan daripada
makhluk Allah lainnya, oleh karena itu ia berperan sebagai hamba sekaligus khalifah
Allah di muka bumi. Untuk mengemban amanah itulah, pendidikan menjadi kunci bagi
kemuliaan manusia.
Pendidikan dalam islam bukan hanya sebatas proses transfer ilmu, melainkan sebuah
kerja besar dalam membentuk sebuah peradaban yang menerapkan nilai-nilai suci yang
luhur. Maka setiap manusia diwajibkan untuk terlibat dalam proses pendidikan, baik
sebagai subyek ataupun obyek. Dalam islam, seseorang yang diluar proses belajar
berada dalam bahaya karena ia bersama kebodohan.
Manusia sebagai subyek pendidikan adalah sebagai pendidik. Pada dasarnya, Allah
SWT memberikan tanggung jawab kepada setiap orang tua untuk memberikan
pendidikan yang terbaik untuk mengajarkan hukum-hukum Allah. Kemudian kewajiban
itu dibebankan kepada setiap orang berilmu untuk mengajarkan apa yang ia ketahui
42 Said Isma’il Ali, hlm. 332
23
kepada orang lain. Di sisi lain, setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu kepada
mereka yang lebih mengetahui.
Islam telah menetapkan adab-adab kepada semua yang terlibat dalam dunia pendidikan,
baik pendidik ataupun peserta didik. Adab-adab ini menunjukkan bahwa islam
menghargai ilmu sebagai nilai-nilai yang sangat penting untuk dimiliki sekaligus
diamalkan agar bermanfaat di dunia dan akhirat. Adab-adab ini juga menunjukkan
keunggulan pendidikan islam yang lebih mengedepankan terbentuknya karakter
manusia bertakwa dengan ilmu pengetahuan daripada manusia yang pengetahuannya
tidak berdampak pada kepribadian dan perilakunya.
Keunggulan pendidikan islam juga terlihat jelas dalam peran manusia dalam pendidikan
-baik sebagi pendidik atau peserta didik- yang dinilai sebagai ibadah dan ditujukan
untuk meraih ridha Allah SWT semata. Begitupun dengan adab-adab yang dikaitkan
dalam proses pendidikan ialah agar dalam mencari ilmu manusia semakin dekat kepada
kebenaran, yaitu jalan Allah SWT. Wallahu „alam bishowab.
24
V. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu‟thi, Yusuf, Tarbiyatul Muslim fi „Alam Mu‟ashir, Kuwait: Shunduq
Waqafi Lits-Tsaqofah wal-Fikr, 1998.
Al-A‟sar, Shafa Yusuf, Ta‟lim min Ajli Tafkir, Kairo: Dar al-Quba, 1998.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, at-Tarbiyah fil-Islam, Kairo: Dar al-Ma‟arif bimishr,
1968.
Al-Anis, Abdul Hakim, Adab al-Muta‟allim tijaha al-Mu‟allim, Dubai: Da‟irah
Asy-Syu‟un Al-Islamiyyah wa Al-Amal Al-Khairi, 2008.
Ali, Said Isma‟il, Ittijahat al-Fikru at-Tarbawi al-Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1991.
Ali, Said Ismail, Falsafat at-Tarbiyah al-Mu‟ashirah, Kuwait: Majlis Al-Wathani
li Ats-Tsaqofah, 1978.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar Asy-Sya‟b.
Al-Harby, Khalid Said bin Ahmad, Usus al-Jaudah at-Ta‟limiyyah fii I‟dad wa
tadrib al-Mu‟allim min mandzur al-Islamy, Tesis Magister pada Umm al-Qura
University; tidak diterbitkan.
Ibnu Abdil Barr, Abu Umar Yusuf, Jami‟ bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Tahqiq:
Abul-Asybal Az-Zuhairy, Kairo: Dar Ibnu Jauzy.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, Tuhfatul Wadud biahkamil-Maulud, Bombay:
Mathba‟ah Al-Hindiyyah, 1961.
Musthafa, Ibrahim, Mu‟jam Al-Wasith, Kairo: Dar ad-Da‟wah.
An-Nahlawy , Abdurrahman, Yusuf bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Damaskus:
Dar el-Fikr, 1986.
Quthb, Muhammad, Manhaj at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar Shorouk,
cet-16, 2004.
Al-Qardhawi ,Yusuf, Al-„Aqlu wal-Ilm fil-Qur‟an al-Karim, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1996.
Rasyid, Ali, Syakhsiyyah al-Mu‟allim wa ada‟uhu fii Dhaui Taujihat al-
Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1419 H.
Asy-Syafi‟i, Abu Abdillah Muhammad bin Idris, Diwan al-Imam Asy-Syafii,
Beirut: Dar Al-Arqam bin Abil-Arqam.
Asy-Syarqowi, Hasan, Nahwa Tarbiyah Islamiyyah, Alexanderia: Muasasah
Syabab Al-Jami‟ah, 1983.
Umairah, Abdurrahman, Manhaj Al-Qur‟an fit-Tarbiyah, Kairo: Maktabat
Ukadz, 1981.
Umar At-Thoumy As-Syibani , Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah,
diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung menjadi; Falsafah Pendidikan Islam,
Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1984.