Anemia Pada Ibu

24
ANEMIA PADA IBU HAMIL 24 Jan Oleh: Sohimah * Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr% (Wiknjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II (Saifuddin, 2002). Anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena kekurangan zat besi, jenis pengobatannya relatif mudah, bahkan murah. Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu (Wiknjosastro, 2002). Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi (Safuddin, 2002). Menurut Mochtar (1998) penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1. Kurang gizi (malnutrisi) 2. Kurang zat besi dalam diit 3. Malabsorpsi 4. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lain-lain 5. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-lain GEJALA ANEMIA PADA IBU HAMIL Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, malaise, lidah luka,

description

anamia pd ibu

Transcript of Anemia Pada Ibu

ANEMIA PADA IBU HAMIL

ANEMIA PADA IBUHAMIL

24 Jan

Oleh: Sohimah *

Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr% (Wiknjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar 110 g/L Anemia hipokromik mikrositer Terapi : Pencegahan : 100 mg Zat Besi dan Asam Folat 400 mcg/hari Bila asupan per oral dalam dosis besar tidak dapat dilaksanakan alternatif pemberian zat besi parenteral

ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT :

ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT Asam folat dibutuhkan dalam pembentukan asam nukleat dan defisiensi asam folat menyebabkan gangguan proliferasi sel ( antara lain prilferasi sel sumsum tulang ) Asam Folat Asam Folinat Reaksi Enzymatic Asam Amino NUKLEOTID DNA RNA

ETIOLOGI :

ETIOLOGI Diet yang buruk Sakit berkepanjangan Gangguan Traktus Gastrointestinal Antibiotika oral Defisiensi vitamin C Penyakit hepar Analgesik Antibiotik Multiparitas Kehamilan kembar Penyakit hemolitik maternal Inkompatibilitas Rhesus hemolisis fetus Infeksi Asupan Berkurang Perubahan lingkungan GI Absorbsi Terbatas Cadangan Berkurang Gangguan Utilisasi KEBUTUHAN MENINGKAT

TEMUAN KLINIK DEFISIENSI ASAM FOLAT :

Tergantung pada derajat defisiensi yang terjadi Dapat tanpa gejala atau kadar Hb yang agak rendah Defisiensi asam folat dan zat besi sering terdapat bersamaan Terapi anemia dengan zat besi saja seringkali hanya meningkatkan sedikit kadar hemoglobin TEMUAN KLINIK DEFISIENSI ASAM FOLAT

SAAT INI DEFISIENSI ASAM FOLAT JARANG DITEMUKAN AKIBAT PENGGUNAAN PROFILAKTIK UNTUK KASUS NTD ; NAMUN KELOMPOK TERSEBUT BUKAN POPULASI YANG MEMILIKI RESIKO TINGGI MENGALAMI DEFISIENSI NUTRISI :

SAAT INI DEFISIENSI ASAM FOLAT JARANG DITEMUKAN AKIBAT PENGGUNAAN PROFILAKTIK UNTUK KASUS NTD ; NAMUN KELOMPOK TERSEBUT BUKAN POPULASI YANG MEMILIKI RESIKO TINGGI MENGALAMI DEFISIENSI NUTRISI Defisiensi asam folat diatasi dengan pemberian 5 mg asam folat 3 dd 1 selama kehamilan Defisiensi vit. B12 menyebabkan ANEMIA PERNICIOSA Defisiensi Zat Besi Moderate Defisiensi As.Folat Moderate Penurunan Aktivitas Sumsum Tulang Anemia sedang Kebutuhan Sumsum tulang di atasi dengan pemberian asam folat Terapi Zat Besi Stimulasi Sumsum Tulang meningkat

ANEMIA APLASTIK :

Kegagalan sumsung tulang yang menyebabkan anemia jarang terjadi selama kehamilan. Kejadian ini dapat berlangsung secara sekunder akibat bahan-bahan : kloramfenikol, fenilbutazone, mepheyntoin , kemoterapeutika atau insektisida. Pada kehamilan biasanya sembuh spontan dan diperkirakan merupakan reaksi imunologis yang terjadi selama kehamilan. ANEMIA APLASTIK

ANEMIA APLASTIK :

ANEMIA APLASTIK Gambaran Klinik Pucat, lesu ,takikardia, ulkus tenggorokan yang nyeri dan demam. Kriteria diagnostik : pansitopenia dan sumsum tulang yang kosong. Komplikasi IUFD, persalinan prematur atau abortus. Morbiditas ibu dan anak tinggi.

ANEMIA APLASTIK :

ANEMIA APLASTIK Terapi : Hindari faktor faktor penyebab Prednisolone 10 20 mg qid Tranfusi PRC-packed red cell dan trombosit (terminasi kehamilan) Transplantasi sumsum tulang

DRUG INDUCED HEMOLYTIC ANEMIA :

Kadang terjadi pada pasien dengan inborn error of metabolisme Di US sering terjadi pada kasus defisiensi G6PD (glucosa 6 phosphat dehydrogenase) dalam eritrosit DRUG INDUCED HEMOLYTIC ANEMIA

Gambaran Klinik :

Gambaran Klinik Terjadi penurunan aktivitas G6PD pada 1/3 pasien kehamilan trimester III sehingga mengalami episode hemolisis. 2/3 pasien memilki hematokrit < 30% Sering terjadi komplikasi UTI urinary tract infection Pemakaian sulfonamide sering merupakan pencetus hemolisis Janin yang mengalami defisiensi G6PD bila terpapar dengan ibu yang menggunakan sulfonamide dapat mengalami hemolisis, hidrop fetalis dan IUFD.

SICKLE CELL ANEMIA :

Kelainan genetik yang hampir selalu terjadi pada pasien kulit hitam. Ditandai dengan adanya kelainan molekul hemoglobin yang disebut hemoglobin S sehingga bentuk eritrosit seperti bulan sabit. SICKLE CELL ANEMIA

Gambaran Klinik : :

Gambaran Klinik : Ditandai dengan anemia hemolitik kronis dengan krisis berulang Sering menderita UTI urinary tract infection Sel eritrosit cenderung berubah bentuk saat terjadi hipoksia

Gejala dan Tanda :

Gejala dan Tanda Anemia kronis Eritrosit berubah bentuk seperti bulan sabit Krisis perdarahan Manisfestasi lain : Kepekaan terhadap infeksi bakteri meningkat Pneumonia Bronchopneumonia Infark paru Kerusakan ginjal Gangguan SSP Gangguan Mata

AKIBAT ANEMIA PADA KEHAMILAN dan PERSALINAN :

AKIBAT ANEMIA PADA KEHAMILAN dan PERSALINAN Morbiditas meningkat akibat : abortus partus preterm Mortalitas ibu meningkat akibat : perdarahan pasca persalinan dan anemia Komplikasi paru Gagal jantung kongestif Infeksi

Eritropoietin :

MEDIKAMENTOSA - Vol.6 No.7, Februari 2007

EPO meningkatkan produksi sel-sel darah merah dan bisa mengurangi ketergantungan akan transfusi darah. Namun EPO tidak ditujukan untuk menggantikan transfusi emergensi.

Pada individu yang sehat, ginjal memegang sejumlah peranan vital agar proses kehidupan terus berjalan. Misalnya saja, membuang racun atau sampah pencernaan dari tubuh, mengontrol tekanan darah, memproses vitamin D, dan mengatur produksi sel darah merah.

Untuk peran terakhir, sebuah hormon glikoprotein (eritropoietin atau EPO) memperoleh mandat dari ginjal untuk menjalankannya. Hormon ini bersirkulasi sepanjang aliran darah menuju sumsum tulang dan menstimulasi produksi sel darah merah. Bila terjadi gagal ginjal, maka produksi EPO terhenti. Alhasil produksi sel darah merah pun turut ngadat yang nanti bisa berujung pada anemia parah.

Meski pengetahuan tentang sepak terjang eritropoietin itu telah lama diketahui, namun keberadaannya sebagai agen terapi untuk mengatasi gangguan produksi darah merah belum begitu lama dikenal. Bayangkan saja, berdasarkan percobaan transfusi pada kelinci, eksistensi suatu faktor humoral yang mengatur produksi sel darah merah telah sukses dipostulasikan pada 1906. Namun sampai dengan 1950, faktor eritropoietik ini masih belum terindentifikasi. Sepuluh tahun kemudian baru diketahui bahwa faktor ini bersumber dari ginjal.

Setelah sekian lama penelitian dilakukan, barulah pada 1977, T. Miyake, C. K. Kung dan E. Goldwasser dari University of Chicago berhasil memurnikan EPO dari urin manusia. Sejak saat itu, eritropoietin yang berasal dari protein asli manusia ini mulai digunakan secara terbatas dalam eksperimen untuk mengobati pasien anemia. Dan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, pada 1983 pengodean gen EPO sukses diidentifikasi. Alhasil, EPO pun bisa diproduksi secara masal dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan pada kultur sel mamalia.

Sekarang, hormon yang juga dikenal dengan sebutan hematopoietin atau hemopoietin ini diidentifikasi sebagai suatu glikopritein dengan masa molekul sekitar 30.000 Dalton. Hormon ini memiliki 165 rantai asam amino dengan 4 sisi rantai oligosakarida. Di samping itu, indikasi penggunaannya pun turut berkembang. Kini, EPO tak hanya digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien gagal ginjal kronis, namun juga untuk anemia pada pasien yang menjalani kemoterapi dan antisipasi kehilangan darah pada pembedahan.

Pada prinsipnya, terapi EPO pada pasien tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan mengurangi kebutuhan akan transfusi darah. Namun harus diingat, EPO tidak ditujukan untuk pasien dengan anemia parah yang membutuhkan koreksi secepatnya. EPO tidak ditujukan untuk mengantikan transfusi emergensi.

Anemia pada Pasien Gagal Ginjal KronisSeperti yang telah disebut diatas, EPO diproduksi di ginjal terutama oleh sel peritubular. Produksi endogen EPO secara normal diatur oleh kadar oksigenasi jaringan. Hipoksia dan anemia biasanya memicu peningkatan produksi eritropoietin yang pada gilirannya menstimulasi eritropoiesis. Pada subjek normal, range kadar EPO plasma berkisar 0,01-0,03 unit/mL dan meningkat hingga 100-1000 kali selama hipoksia atau anemia. Sementara pada pasien gagal ginjal kronis produksi eritropoietin terganggu, sehingga terjadi defisiensi EPO yang bisa menjelma jadi kausal utama dari anemia pada pasien ini.

Selama ini, kondisi anemia akibat gagal ginjal kronis ditangani dengan transfusi sel darah merah. Meski mampu meningkatkan jumlah sel darah merah dalam waktu singkat, namun pengulangan transfusi bisa menimbulkan berbagai masalah baru. Misalnya saja, menumpuknya zat besi, berkembangnya antibodi tertentu, dan terbukanya kemungkinan infeksi virus. Kehadiran EPO sebagai agen terapi, memberi angin segar dan memperkaya khazanah dalam pengobatan anemia pada pasien ini.

Beberapa studi, termasuk yang dilakukan oleh Eschbach JW (NEJM. 1987;316:73-78) dan Egrie JC (Pediatr Nephrol. 1993;7:61-64), membuktikan EPO bisa menstimulasi eritropoiesis pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronis, baik yang menjalani dialisis maupun tidak. Pemberian EPO 3 kali seminggu terbukti memberikan respon yang baik. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan jumlah retikulosit dalam 10 hari setelah terapi. Menyusul kemudian peningkatan jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit, biasanya dalam 2-6 minggu terapi.

Jumlah hematokrit meningkat bervariasi untuk tiap pasien dan tergantung pada dosis EPO yang digunakan. Dosis EPO dihitung secara individual. Adapun range dosis awal yang direkomendasikan adalah 50 -100 Unit/kg BB tiga kali seminggu untuk pasien dewasa. Sementara untuk pasien pediatrik dengan gagal ginjal kronis yang menjalani dialisis, dosis awalnya adalah 50 Unit/kg BB tiga kali seminggu. Dosis tersebut harus dikurangi bila kadar hemoglobin mencapai 12 g/dL atau terjadi peningkatan hemoglobin lebih dari 1 g/dL dalam periode 2 minggu. Dosis pemeliharaan juga dihitung secara individual agar kadar hemoglobin tidak lebih dari 12 g/dl (range target Hb 10 g/dL -12 g/dL).

EPO bisa diberikan secara intravena (IV) atau subkutan (SC). Pada pasien hemodialisis, rute secara IV lebih direkomendasikan dan EPO biasanya diberikan sebagai bolus IV tiga kali seminggu. Meski tidak tergantung pada prosedur dialisis, namun EPO sebaiknya diberikan di akhir prosedur agar jalur vena dialisis bisa dipakai. Sementara pasien gagal ginjal kronis tanpa dialisis, EPO bisa diberikan secara IV atau SC.

Satu hal penting yang harus dilakukan sebelum dan selama terapi dengan EPO adalah memeriksa cadangan besi pasien. Evaluasi dilakukan mencakup pada saturasi transferrin dan feritin serum. Saturasi transferrin setidaknya sekitar 20% dan ferritin serum 100 ng/mL. Meski demikian, sebenarnya semua pasien akan membutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan atau menjaga saturasi transfferin pada kadar yang adekuat mendukung eritropoiesis oleh EPO.

Anemia karena Zidovudine pada Pasien HIVPenakanan sumsum tulang dan amenia merupakan efek samping yang paling sering dijumpai pada pengobatan infeksi HIV dengan zidovudine. Pemberian EPO terbukti bisa mengatasi anemia pada pasien ini. Pemberian EPO pada pasien anemia karena terapi zidovudine ini bertujuan meningkatkan atau menjaga kadar sel darah merah dan menurunkan kebutuhan transfusi. EPO tidak diindikasikan untuk pengobatan anemia pasien HIV karena faktor lain, seperti defisiensi besi atau folat, hemodialisis, atau pendarahan saluran cerna.

Respon EPO pada pasien terinfeksi HIV tergantung pada kadar eritropoietin serum sebelum pengobatan. Pasien dengan kadar eritropoietin endogen 500 mUnit/mLdan menerima dosis zidovudine 4200 mg/minggu, berespon dengan terapi EPO. Sedangkan pasien dengan kadar eritropoietin endogen > 500 mUnit/mL tampak kurang berespon dengan terapi EPO.

Pasien dewasa dengan eritropoietin 4200 mg/minggu,( 500 mUnits/mL yang menerima dosis zidovudine (serum dosis awal EPO yang direkomendasikan adalah 100 Unit/kg secara IV atau SC 3 kali seminggu selama 8 minggu. Selama terapi awal ini, kadar hemoglobin harus terus dimonitor. Bila respon kurang memuaskan, dosis bisa dinaikkan 50-100 Unit/kg 3 kali seminggu. Respon terapi harus terus dievaluasi, terutama 4-8 minggu setelah itu. Bila pasien tidak berespon dengan dosis 300 Unit/kg, maka si pasien kemungkinan tidak berespon dengan dosis yang lebih tinggi.

Anemia Akibat KemoterapiSerupa dengan zidovudine, penggunaan kemoterapi pada pasien kanker juga bisa menimbulkan anemia. Hal ini diduga karena kerja agresif dari kemoterapi yang tak hanya menyerang sel-sel kanker, namun juga sel-sel normal.

Suatu seri uji klinis yang melibatkan 131 pasien anemia karena kanker telah membuktikan efikasi EPO. Sekitar 72 pasien menerima kemoterapi yang mengandung non-cisplatin dan 59 pasien diberi kemoterapi siklik cisplatin. Pasien tersebut memiliki kadar eritropoietin serum endogen dasar yang berbeda. Sekitar 75% diantaranya memiliki kadar eritropoietin serum endogen 132 mUnit/mL dan sekitar 4% pasien memiliki kadar endogen eritropoietin > 500 mUnit/mL. Mereka, secara acak menerima EPO 150 Unit/kg BB 3 kali seminggu selama 12 minggu.

Hasil studi menunjukkan, umumnya pasien dengan kadar serum endogen dasar yang lebih rendah memiliki respon yang lebih baik terhadap EPO, ketimbang pasien dengan kadar eritropoietin dasar yang lebih tinggi. Meskipun tak ada kadar serum spesifik mana yang tampak tidak berespon baik dengan EPO, namun pada pasien dengan kadar eritropoietin serum yang mencolok (misalnya diatas 200 Unit/mL), pemberian tidak direkomendasikan.

Kurangi Transfusi pada Pasien BedahPada pembedahan yang berisiko tinggi untuk transfusi perioperatif, EPO bisa diberikan sebagai antisipasi dari kehilangan darah yang jor-joran. EPO diindikasikan untuk mengatasi kondisi anemic (hemoglobin> 13 g/dL) pada pasien yang(10 hingga dijadwalkan menjalani elective, noncardiac, nonvascular surgery. Pemberian EPO ditujukan untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah allogeneic.

Sebelum memulai terapi EPO, pasien harus dipastikan terlebih dahulu memiliki nilai hemoglobin > (10 to 13 g/dL. Dosis yang direkomendasikan 300 Unit/kg/hari secara SC selam 10 hari sebelum pembedahan dan 4 hari setelah itu. Dosis juga bisa diberikan 600 Unit/kg SC sekali seminggu (21, 14, dan 7 hari sebelum operasi) plus dosis keempat pada hari H operasi.

FarmakokinetikaPasien dewasa dan pediatrik gagal ginjal kronis, waktu paruh plasma EPO setelah pemberian IV berkisar antara 4-13 jam. Waktu paruh 20% lebih lama pada pasien gagal ginjal kronis ketimbang subjek sehat. Waktu paruh sama antara pasien dewasa dengan kadar kreatinin serum > 3 yang tidak menjalani dialisis dengan mereka yang menjalani dialisis. Data farmakokinetika menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara waktu paruh EPO diantara pasien diatas atau dibawah usia 65 tahun. Kadar puncak plasma dicapai dalam 5-24 jam setelah pemberian subkutan.

Profil farmakokinetik EPO pada anak dan remaja sama dengan dewasa. Sedang untuk pasien neonatus data yang ada masih terbatas. Tapi ada sebuah studi mengevalusi 7 neonatus prematur dengan bobot badan sangat rendah dan membandikannya dengan 10 dewasa sehat diberi eritropoietin intravena. Hasilnya menunjukkan, volume distribusi pada bayi prematur 1,5-2 kali lebih tinggi ketimbang dewasa sehat. Selain itu, nilai klirens pada bayi prematur juga 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa sehat.

(Arnita)

Taken from : /rubrik/one_news_print.asp?IDNews=252 | 2730 hits

Eritropoietin :

MEDIKAMENTOSA - Vol.6 No.7, Februari 2007

EPO meningkatkan produksi sel-sel darah merah dan bisa mengurangi ketergantungan akan transfusi darah. Namun EPO tidak ditujukan untuk menggantikan transfusi emergensi.

Pada individu yang sehat, ginjal memegang sejumlah peranan vital agar proses kehidupan terus berjalan. Misalnya saja, membuang racun atau sampah pencernaan dari tubuh, mengontrol tekanan darah, memproses vitamin D, dan mengatur produksi sel darah merah.

Untuk peran terakhir, sebuah hormon glikoprotein (eritropoietin atau EPO) memperoleh mandat dari ginjal untuk menjalankannya. Hormon ini bersirkulasi sepanjang aliran darah menuju sumsum tulang dan menstimulasi produksi sel darah merah. Bila terjadi gagal ginjal, maka produksi EPO terhenti. Alhasil produksi sel darah merah pun turut ngadat yang nanti bisa berujung pada anemia parah.

Meski pengetahuan tentang sepak terjang eritropoietin itu telah lama diketahui, namun keberadaannya sebagai agen terapi untuk mengatasi gangguan produksi darah merah belum begitu lama dikenal. Bayangkan saja, berdasarkan percobaan transfusi pada kelinci, eksistensi suatu faktor humoral yang mengatur produksi sel darah merah telah sukses dipostulasikan pada 1906. Namun sampai dengan 1950, faktor eritropoietik ini masih belum terindentifikasi. Sepuluh tahun kemudian baru diketahui bahwa faktor ini bersumber dari ginjal.

Setelah sekian lama penelitian dilakukan, barulah pada 1977, T. Miyake, C. K. Kung dan E. Goldwasser dari University of Chicago berhasil memurnikan EPO dari urin manusia. Sejak saat itu, eritropoietin yang berasal dari protein asli manusia ini mulai digunakan secara terbatas dalam eksperimen untuk mengobati pasien anemia. Dan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, pada 1983 pengodean gen EPO sukses diidentifikasi. Alhasil, EPO pun bisa diproduksi secara masal dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan pada kultur sel mamalia.

Sekarang, hormon yang juga dikenal dengan sebutan hematopoietin atau hemopoietin ini diidentifikasi sebagai suatu glikopritein dengan masa molekul sekitar 30.000 Dalton. Hormon ini memiliki 165 rantai asam amino dengan 4 sisi rantai oligosakarida. Di samping itu, indikasi penggunaannya pun turut berkembang. Kini, EPO tak hanya digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien gagal ginjal kronis, namun juga untuk anemia pada pasien yang menjalani kemoterapi dan antisipasi kehilangan darah pada pembedahan.

Pada prinsipnya, terapi EPO pada pasien tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan mengurangi kebutuhan akan transfusi darah. Namun harus diingat, EPO tidak ditujukan untuk pasien dengan anemia parah yang membutuhkan koreksi secepatnya. EPO tidak ditujukan untuk mengantikan transfusi emergensi.

Anemia pada Pasien Gagal Ginjal KronisSeperti yang telah disebut diatas, EPO diproduksi di ginjal terutama oleh sel peritubular. Produksi endogen EPO secara normal diatur oleh kadar oksigenasi jaringan. Hipoksia dan anemia biasanya memicu peningkatan produksi eritropoietin yang pada gilirannya menstimulasi eritropoiesis. Pada subjek normal, range kadar EPO plasma berkisar 0,01-0,03 unit/mL dan meningkat hingga 100-1000 kali selama hipoksia atau anemia. Sementara pada pasien gagal ginjal kronis produksi eritropoietin terganggu, sehingga terjadi defisiensi EPO yang bisa menjelma jadi kausal utama dari anemia pada pasien ini.

Selama ini, kondisi anemia akibat gagal ginjal kronis ditangani dengan transfusi sel darah merah. Meski mampu meningkatkan jumlah sel darah merah dalam waktu singkat, namun pengulangan transfusi bisa menimbulkan berbagai masalah baru. Misalnya saja, menumpuknya zat besi, berkembangnya antibodi tertentu, dan terbukanya kemungkinan infeksi virus. Kehadiran EPO sebagai agen terapi, memberi angin segar dan memperkaya khazanah dalam pengobatan anemia pada pasien ini.

Beberapa studi, termasuk yang dilakukan oleh Eschbach JW (NEJM. 1987;316:73-78) dan Egrie JC (Pediatr Nephrol. 1993;7:61-64), membuktikan EPO bisa menstimulasi eritropoiesis pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronis, baik yang menjalani dialisis maupun tidak. Pemberian EPO 3 kali seminggu terbukti memberikan respon yang baik. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan jumlah retikulosit dalam 10 hari setelah terapi. Menyusul kemudian peningkatan jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit, biasanya dalam 2-6 minggu terapi.

Jumlah hematokrit meningkat bervariasi untuk tiap pasien dan tergantung pada dosis EPO yang digunakan. Dosis EPO dihitung secara individual. Adapun range dosis awal yang direkomendasikan adalah 50 -100 Unit/kg BB tiga kali seminggu untuk pasien dewasa. Sementara untuk pasien pediatrik dengan gagal ginjal kronis yang menjalani dialisis, dosis awalnya adalah 50 Unit/kg BB tiga kali seminggu. Dosis tersebut harus dikurangi bila kadar hemoglobin mencapai 12 g/dL atau terjadi peningkatan hemoglobin lebih dari 1 g/dL dalam periode 2 minggu. Dosis pemeliharaan juga dihitung secara individual agar kadar hemoglobin tidak lebih dari 12 g/dl (range target Hb 10 g/dL -12 g/dL).

EPO bisa diberikan secara intravena (IV) atau subkutan (SC). Pada pasien hemodialisis, rute secara IV lebih direkomendasikan dan EPO biasanya diberikan sebagai bolus IV tiga kali seminggu. Meski tidak tergantung pada prosedur dialisis, namun EPO sebaiknya diberikan di akhir prosedur agar jalur vena dialisis bisa dipakai. Sementara pasien gagal ginjal kronis tanpa dialisis, EPO bisa diberikan secara IV atau SC.

Satu hal penting yang harus dilakukan sebelum dan selama terapi dengan EPO adalah memeriksa cadangan besi pasien. Evaluasi dilakukan mencakup pada saturasi transferrin dan feritin serum. Saturasi transferrin setidaknya sekitar 20% dan ferritin serum 100 ng/mL. Meski demikian, sebenarnya semua pasien akan membutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan atau menjaga saturasi transfferin pada kadar yang adekuat mendukung eritropoiesis oleh EPO.

Anemia karena Zidovudine pada Pasien HIVPenakanan sumsum tulang dan amenia merupakan efek samping yang paling sering dijumpai pada pengobatan infeksi HIV dengan zidovudine. Pemberian EPO terbukti bisa mengatasi anemia pada pasien ini. Pemberian EPO pada pasien anemia karena terapi zidovudine ini bertujuan meningkatkan atau menjaga kadar sel darah merah dan menurunkan kebutuhan transfusi. EPO tidak diindikasikan untuk pengobatan anemia pasien HIV karena faktor lain, seperti defisiensi besi atau folat, hemodialisis, atau pendarahan saluran cerna.

Respon EPO pada pasien terinfeksi HIV tergantung pada kadar eritropoietin serum sebelum pengobatan. Pasien dengan kadar eritropoietin endogen 500 mUnit/mLdan menerima dosis zidovudine 4200 mg/minggu, berespon dengan terapi EPO. Sedangkan pasien dengan kadar eritropoietin endogen > 500 mUnit/mL tampak kurang berespon dengan terapi EPO.

Pasien dewasa dengan eritropoietin 4200 mg/minggu,( 500 mUnits/mL yang menerima dosis zidovudine (serum dosis awal EPO yang direkomendasikan adalah 100 Unit/kg secara IV atau SC 3 kali seminggu selama 8 minggu. Selama terapi awal ini, kadar hemoglobin harus terus dimonitor. Bila respon kurang memuaskan, dosis bisa dinaikkan 50-100 Unit/kg 3 kali seminggu. Respon terapi harus terus dievaluasi, terutama 4-8 minggu setelah itu. Bila pasien tidak berespon dengan dosis 300 Unit/kg, maka si pasien kemungkinan tidak berespon dengan dosis yang lebih tinggi.

Anemia Akibat KemoterapiSerupa dengan zidovudine, penggunaan kemoterapi pada pasien kanker juga bisa menimbulkan anemia. Hal ini diduga karena kerja agresif dari kemoterapi yang tak hanya menyerang sel-sel kanker, namun juga sel-sel normal.

Suatu seri uji klinis yang melibatkan 131 pasien anemia karena kanker telah membuktikan efikasi EPO. Sekitar 72 pasien menerima kemoterapi yang mengandung non-cisplatin dan 59 pasien diberi kemoterapi siklik cisplatin. Pasien tersebut memiliki kadar eritropoietin serum endogen dasar yang berbeda. Sekitar 75% diantaranya memiliki kadar eritropoietin serum endogen 132 mUnit/mL dan sekitar 4% pasien memiliki kadar endogen eritropoietin > 500 mUnit/mL. Mereka, secara acak menerima EPO 150 Unit/kg BB 3 kali seminggu selama 12 minggu.

Hasil studi menunjukkan, umumnya pasien dengan kadar serum endogen dasar yang lebih rendah memiliki respon yang lebih baik terhadap EPO, ketimbang pasien dengan kadar eritropoietin dasar yang lebih tinggi. Meskipun tak ada kadar serum spesifik mana yang tampak tidak berespon baik dengan EPO, namun pada pasien dengan kadar eritropoietin serum yang mencolok (misalnya diatas 200 Unit/mL), pemberian tidak direkomendasikan.

Kurangi Transfusi pada Pasien BedahPada pembedahan yang berisiko tinggi untuk transfusi perioperatif, EPO bisa diberikan sebagai antisipasi dari kehilangan darah yang jor-joran. EPO diindikasikan untuk mengatasi kondisi anemic (hemoglobin> 13 g/dL) pada pasien yang(10 hingga dijadwalkan menjalani elective, noncardiac, nonvascular surgery. Pemberian EPO ditujukan untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah allogeneic.

Sebelum memulai terapi EPO, pasien harus dipastikan terlebih dahulu memiliki nilai hemoglobin > (10 to 13 g/dL. Dosis yang direkomendasikan 300 Unit/kg/hari secara SC selam 10 hari sebelum pembedahan dan 4 hari setelah itu. Dosis juga bisa diberikan 600 Unit/kg SC sekali seminggu (21, 14, dan 7 hari sebelum operasi) plus dosis keempat pada hari H operasi.

FarmakokinetikaPasien dewasa dan pediatrik gagal ginjal kronis, waktu paruh plasma EPO setelah pemberian IV berkisar antara 4-13 jam. Waktu paruh 20% lebih lama pada pasien gagal ginjal kronis ketimbang subjek sehat. Waktu paruh sama antara pasien dewasa dengan kadar kreatinin serum > 3 yang tidak menjalani dialisis dengan mereka yang menjalani dialisis. Data farmakokinetika menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara waktu paruh EPO diantara pasien diatas atau dibawah usia 65 tahun. Kadar puncak plasma dicapai dalam 5-24 jam setelah pemberian subkutan.

Profil farmakokinetik EPO pada anak dan remaja sama dengan dewasa. Sedang untuk pasien neonatus data yang ada masih terbatas. Tapi ada sebuah studi mengevalusi 7 neonatus prematur dengan bobot badan sangat rendah dan membandikannya dengan 10 dewasa sehat diberi eritropoietin intravena. Hasilnya menunjukkan, volume distribusi pada bayi prematur 1,5-2 kali lebih tinggi ketimbang dewasa sehat. Selain itu, nilai klirens pada bayi prematur juga 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa sehat.

(Arnita)

Taken from : /rubrik/one_news_print.asp?IDNews=252 | 2730 hits

_1364702724.unknown

_1364702728.unknown

_1364702730.unknown

_1364702731.unknown

_1364702729.unknown

_1364702726.unknown

_1364702727.unknown

_1364702725.unknown

_1364702716.unknown

_1364702720.unknown

_1364702722.unknown

_1364702723.unknown

_1364702721.unknown

_1364702718.unknown

_1364702719.unknown

_1364702717.unknown

_1364702712.unknown

_1364702714.unknown

_1364702715.unknown

_1364702713.unknown

_1364702710.unknown

_1364702711.unknown

_1364702708.unknown

_1364702709.unknown

_1364702706.unknown

_1364702707.unknown

_1364702704.unknown