anastesi

36
REFERAT ILMU ANESTESI RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK Pembimbing: dr. Nicolaas P. Simamora, Sp.An Penyusun: Inneke 2010.04.0.0087 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

description

referat anastesi

Transcript of anastesi

REFERAT

ILMU ANESTESI

RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK

Pembimbing:

dr. Nicolaas P. Simamora, Sp.An

Penyusun:

Inneke

2010.04.0.0087FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2014

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

ILMU ANESTESI

RJPO

Judul Referat RJPO telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya

Mengetahui:

Pembimbing

Dr. Nicolaas P S, Sp.An

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul RJPO ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penyusunan referat ini merupakan salah satu tugas yagn harus dilaksanakan sebagai bagian dari kepaniteraan Ilmu Anestesi di RSAL Surabaya. Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah membantu penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Nicolaas P S, Sp.An yang membimbing penyusunan referat ini.

Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Saya menyadari referat ini masih jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu kritik maupun saran yang membangun selalu diharapkan.

Surabaya, 8 juli 2015

InnekeDAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

i

Kata Pengantar

ii

Daftar isi

iii

BAB 1PENDAHULUAN

1

1.1 Umum

1BAB 2 PEMBASAHAN

3

2.1 Definisi

3

2.2 Indikasi

3

2.3 Resusitasi Jantung Paru

4

2.4 Basic Life Support

5

2.5 Panduan RJP 2010

13

2.6. Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi

19

2.7Komplikasi

19BAB 3KESIMPULAN

20BAB 4PENUTUP

21DAFTAR PUSTAKA

22BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Umum

Setiap menit terdapat 3 orang di seluruh dunia meninggal dunia akibat cardiac arrest yang tidak teresusitasi dengan baik, di Amerika dan kanada diasosiasikan sekitar 0.55 per 1000 populasi. Pada pasien cardiac arrest dibutuhkan penanganan bantuan hidup dasar untuk tetap menjaga kelangsungan hidup sebelum mendapat penanganan medis.

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral resuscitation (CPCR). Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru mempunyai hubungan erat dengan rantai kehidupan (chain of survival), karena bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan dilakukannya RJPO maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.

Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attact), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.. Oleh karena itu, pengenalan yang dini terhadap henti jantung dan tindakan segera oleh penolong terus menjadi prioritas untuk AHA Guidelines for CPR and ECC 2010.

Bantuan hidup dasar bukan merupakan suatu tindakan tunggal melainkan terdiri dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest, pernafasan, dan resusitasi jantung paru. Pada konsensus American Heart Association 2005 membahas mengenai semua aspek deteksi dan penangan cardiac arrest. Konsesnsus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar dengan prinsip ABC airway breathing dan circulation, namun kembali dilakukan konsensus pada tahun 2010, dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB circulation, airway dan breathing. Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan resusitasi dan kelangsungan hidup seseorang.

BAB II

PEMBAHASAN2.1. Definisi

Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan kembali, dimaksudkan usaha usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah prosedur kegawat daruratan medis yang diajukan untuk serangan jantung pada henti nafas. Resusitasi Jantung Paru adalah kombinasi antara bantuan pernafasan dan kompresi jantung yang dilakukan pada korban serangan jantung. 2.2.Indikasi RJPRJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernafas atau hanya tergagap (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti jantung A. Henti napasHenti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap / uap / gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.

Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung. Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada dan nafas tidak normal (gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung Paru. B. Henti jantungHenti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti jantung.Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot jantung (decomensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti, aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia berat, hiperkalemia, aliran listrik.Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti, miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode hipoperfusi, miokard mungkin rusak.2.3. RESUSITASI JANTUNG PARU Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of Survival, yang meliputi :

Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency response system RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada

Defibrilasi yang cepat

Advanced life support yang efektif

Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasiSistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita henti jantung sebesar 50%. Pada sebagian besar sistem kegawatdaruratan, meskipun demikian, rata-rata kelangsungan hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan pemeriksaan setiap mata rantai secara cermat dan memperkuat mata rantai yang lemah. Mata rantai yang satu tergantung dengan mata rantai yang lainnya, dan kesuksesan dari setiap mata rantai tergantung dari keefektifan mata rantai sebelumnya. Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.

RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen RJP.Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung. Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan ventilasi, sebagai suatu tim.

Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.2.4. BASIC LIFE SUPPORTAlgoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS. a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response systemKetika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau berkurangnya respon nafas. Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system semua penolong harus segera memulai RJP. b. Pengecekan nadi

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk mengecek nadi.Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik. Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru yang diniKompresi DadaKompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan kompresi dada. Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling sedikit 100 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.

Penyelamatan pernafasan

Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi. Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan nafas dari mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat.

Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut: Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik

Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise) Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2 Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau laryngeal mask airway [LMA]) telah dipasang selama RJP dengan dua orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa menyesuaikan nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AEDSetelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrilation) (bila AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.

Tahapan defibrilasi : Nyalakan AED

Ikuti petunjuk

Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

2.5.PANDUAN RJP 2010

1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerusKompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang penting dalam resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan paru. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber daya yang tersedia. AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup: Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari kurang lebih 100 x/menit) Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-anak)

Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali selesai kompresi

Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada

Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-BPerubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri. Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP. 3. Rata-rata kompresi

Sebaiknya dilakukan kira kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas, memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical Defibrilator]). Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit. 4. Kedalaman kompresiUntuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1 - 2 inch menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak.

5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)

Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka. Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. 6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification of Agonal Gasps)

Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan baik untuk mengidentifikasi antara pernafasan normal dengan pernafasan agonal, selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau sulit bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak normal. Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi emergency response system. 7. Penekanan krikoid

Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi. Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih. Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu (misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).8. Aktivasi Emergency Response System.

Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.9. Tim Resusitasi

Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong ke-empat mempersiapkan dan defibrilator.

Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP pada neonatus).

Keterangan :

AED, automated external defibrillator;

AP, anterior-posterior;

CPR, cardiopulmonary resuscitation;

HCP, healthcare provider.

*termasuk neonatus dengan kasus henti jantung yang biasanya disebabkan oleh asfiksia. 2.6. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.

2.7. KomplikasiPenyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah edema paru, fraktur iga, dilatasi lambung, fraktur sternum, vomitus orofaring, vomitus trakea, darah masuk ke dalam perikard, salah penempatan pipa endotrakeal, ruptur hati, aspirasi, ruptur lambung atau kontusio miokardial. BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.

Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami henti jantung tiba tiba, henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Di perkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di amerika dan kanada. Perkiran ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukan resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam.

Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta melaksanakan banruan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaa RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan American Heart Accociation. American Heart Accociation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khsus untuk petugas kesehatan.

BAB IV

PENUTUP

Demikian telah dibahas tentang Resusitasi Jantung Paru Otak. Sekiranya apa yang telah kami bahas dalam referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman sejawat yang membacanya agar dapat lebih memahami tentang RJPO.DAFTAR PUSTAKA1. Zaritsky A. Morley P.2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Editorial : The evidence evaluation process for the 2005 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III-128-III-130

2. International Liaison Committee on Resuscitation 2005 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiocascular Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III-1-III-136.

3. http: www.kesad.mil.id/content/perubahan-paradigma-resusitasi-jantung-paru-%E2%80%90-abc-cab%E2%80%904. Field, John M.Hazinski, Mary Fran. Sayre, Michael R. et al. 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. 2010. Diakses dari http://circ.ahajournal.org.cgi/content/full/122/18_suppl_3/S640 5. Andrey. Resusitasi Jantung Paru pada Kegawatan Kardiovaskuler. 2008. Diakses dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-paru-pada-kegawatan-kardiovaskuler/

6. Cardiopulmonary Resuscitation. 2009. Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Cardipulmonary_resuscitation

7. Latief, Said A.Suryadi, Kartini A. Dachlan, M Ruswan. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.2009.8. Morgan, G Edward, Jr, MD. Mikhail, Maged S, MD. Murray, Michael J, MD,PhD. et. al. Clinical Anesthesiology. 3rd edition USA : The McGraw-Hill Companies,Inc.2002.

9. Alena Lira, MD. 2011. Cardio Pulmonary Rususcitation. http://emedicine.medscape.com/article/1344081