REFERAT ANASTESI

82
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu indikator dalam pencapaian pembangunan kesehatan di suatu negara terutama di Indonesia. Berbagai program dilaksanakan untuk menciptakan kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu. 19 Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup, dan perilaku. 19 Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh 1

description

Referat Anestesi

Transcript of REFERAT ANASTESI

Page 1: REFERAT ANASTESI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu indikator dalam

pencapaian pembangunan kesehatan di suatu negara terutama di Indonesia.

Berbagai program dilaksanakan untuk menciptakan kesehatan ibu dan anak. Pada

dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya

penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka

kematian ibu. 19

Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih

merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping

menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat

kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung

kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan.

Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa

memperhatikan yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor

non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan

ibu, lingkungan hidup, dan perilaku.19

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%

wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 –

3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat

di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan

berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan

harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung. Perkembangan terkini

memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan

pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka

perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan

kelangsungan hidup.1

1

Page 2: REFERAT ANASTESI

Wanita hamil dengan kondisi ini biasanya mengalami komplikasi selama

persalinan karena kelemahan otot, namun, kasus yang dijelaskan adalah bahwa

seorang wanita yang mengembangkan gagal jantung kongestif berat

(ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup untuk kebutuhan

tubuh). Diagnosis distrofi myotonic pada minggu keempat kehamilan, namun

tidak mengalami masalah sampai minggu ketiga puluh, ketika ia mengembangkan

gagal jantung. Ketika pasien itu 34 minggu hamil, gagal jantung progresif nya

membuat perlu melakukan operasi caesar. 3

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui bagaimana terjadinya CHF pada kehamilan

2. Mengetahui bagaimana teknik anastesi Secsio Caesaria pada pasien gagal

jantung atau Chronic Heart Failure (CHF).

C. Manfaat Penulisan

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat, terutama

pentingnya penanganan dan teknik anastesi Secsio Cesaria pada ibu hamil

dengan CHF.

2. Dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan upaya

penanganan ibu hamil dengan CHF.

2

Page 3: REFERAT ANASTESI

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perubahan Fisiologik Kehamilan

Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan

fisiologi sistim respirasi, kardiovaskuler, susunan saraf pusat, susunan

saraf perifer, gastrointestinal, muskuloskeletal, dermatologi, jaringan

mammae, dan mata.19

1. Sistem Respirasi

Perubahan pada parameter respirasi dimulai pada minggu ke-4

kehamilan. Perubahan fisiologi dan anatomi selama kehamilan

menimbulkan perubahan dalam fungsi paru, ventilasi dan pertukaran

gas. Ventilasi semenit meningkat pada usia kehmilan aterm kira-kira

50% diatas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan volume semenit ini

disebabkan karena peningkatan volume tidal (40%) dan peningkatan

frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveoli meningkat seperti volume tidal

tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi. Pada kehamilan

aterm PaCO2 menurun (32-35mmHg). Peningkatan konsentrasi

progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di

medula oblongata terhadap CO2.19

Pada kehamilan aterm functional residual capacity, expiratory

reserve volume dan residual volume menurun. Perubahan-perubahan

ini disebabkan karena diaphragma terdorong keatas oleh uterus yang

gravid. FRC (Functional Residual Capacity) menurun 15-20%,

menimbulkan peningkatan "Shunt" dan kurangnya reserve oksigen.

Dalam kenyataannya, "airway closure" bertambah pada 30% gravida

aterm selama ventilasi tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar

30-40%. Peningkatan ini disebabkan kebutuhan metabolisme untuk

foetus, uterus, placenta serta adanya peningkatan kerja jantung dan

respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor

ini akan menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi

3

Page 4: REFERAT ANASTESI

anestesi, untuk menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien

mutlak harus diberikan oksigen 100% selama 3 menit (nafas biasa)

atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan O2 100%).

Vital capacity dan resistensi paru-paru menurun.19

Terjadi perubahan-perubahan anatomis, mukosa menjadi

vaskuler, edematus dan gampang rusak, maka harus dihindari intubasi

nasal dan ukuran pipa endotrakheal harus yang lebih kecil daripada

untuk intubasi orotrakheal. Penurunan functional residual capacity,

peningkatan ventiiasi semenit, juga penurunan MAC akan

menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat anestesi

inhalasi dari pada penderita yang tidak hamil. Cepatnya induksi

dengan obat anestesi inhalasi karena :

1. Hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas anestesi

yang masuk ke alveoli.

2. Pengenceran gas inhalasi lebih sedikit karena menurunnya FRC.

3. MAC menurun. Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi

karena adanya rasa sakit (his) yang dapat menurukan PaCO2 sampai

18 mmHg, dan menimbulkan asidosis foetal. Pemberian analgetik

(misal: epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter

respirasi ini akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12

minggu post partum.19

2. Perubahan Volume Darah

Volume darah Ibu meningkat selama kehamilan, termasuk

peningkatan volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih.

Volume plasma meningkat 40-50%, sedangkan sel darah merah

meningkat 15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis

(normal Hb : 12gr%, hematokrit 35%). Disebabkan hemodilusi ini,

viskositas darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti

dari peningkatan volume plasma ini belum diketahui, tetapi beberapa

hormon seperti renin-angiotensin-aldostefon, atrial natriuretic peptide,

4

Page 5: REFERAT ANASTESI

estrogen, progesteron mungkin berperan dalam mekanisme, tersebut.

Volume darah, faktor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada

proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah

thrombosit menurun. Perubahan-perubahan ini adalah untuk

perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga akan

merupakan predisposisi terhadap fenomena thromboemboli. Karena

placenta kaya dengan thromboplastin, maka bila pada Solutio

placenta, ada risiko terjadinya DIC.19

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi

penting, antara lain:

1) Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena

ada pembesaran uterus dan unit foeto-placenta.

2) Mengisi peningkatan reservoir vena.

3) Melindungi Ibu dari pendarahan pada saat melahirkan.

4) Selama kehamilan Ibu menjadi hiperkoagulopati.

Delapan (8) minggu setelah melahirkan volume darah kembali

normal. Jumlah perdarahan normal partus pervaginarn kurang lebih

400-600ml dan 1000ml bila dilakukan sectio caesarea, tapi pada

umumnya tidak perlu dilakukan tranfusi darah.19

3. Perubahan sistim Kardiovaskuler

Cardiac output meningkat sebesar 30-40% dan peningkatan

maksimal dicapai pada kehamilan 24 minggu. Permulaannya

peningkatan denyut jantung ketinggalan dibelakang peningkatan

cardiac output dan kemudian akhirnya meningkat 10-15 kali permenit

pada kehamilan 28-32 minggu. Peningkatan cardiac output mula-mula

tergantung dari peningkatan stroke volume dan kemudian dengan

peningkatan denyut jantung, tetapi lebih besar perubahan stroke

volume daripada perubahan denyut jantung. Dengan ekhokardiographi

terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan pada end diastolic dan ada

penebalan dinding ventrikel kiri. Cardiac output bervariasi tergantung

5

Page 6: REFERAT ANASTESI

dari besarnya uterus dan posisi Ibu saat pengukuran dilakukan.7

Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi

aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan

hal ini akan menyebabkan penurunan venous return dan maternal

hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive

syndrome. 10% dari wanita hamil menjadi hipotensi dan diaphoretik

bila berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat

menimbulkan penurunan uterine blood flow dan foetal asfiksia. Efek

ini akan lebih hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion atau

kehamilan kembar. Cardiac output meningkat selama persalinan dan

lebih tinggi 50% dari saat sebelum per-salinan. Segera pada periode

post parrum, cardiac output meningkat secara maksimal dan dapat

mencapai 80% diatas periode pra persalinan dan kira-kira 100%

diatas nilai ketika wanita tersebut tidak hamil,hal ini disebabkan

karena pada saat kontraksi uterus terjadi placental autotranfusi

sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6cm H2O karena ada

peningkatan volume darah Ibu. Peningkatan stroke volume dan

denyut jantung adalah unruk mempertahankan peningkatan cardiac

output.9

Peningkatan cardiac output ini tidak bisa ditoleransi dengan pada

pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta stenosis, mitral

stenosis) atau penyakit jantung koroner. Decompensatio cordis

yang berat dapat terjadi pada kehamilan 24 minggu, selama

persalinan dan segera setelah persalinan. Cardiac output, denyut

jantung, stroke volume menurun ke sampai nilai sebelum persalinan

pada 24-72 jam post partum dan kembali ke level saat tidak hamil

pada 6-8 minggu setelah melahirkan. Kecuali peningkatan cardiac

output, tekanan darah sistolik tidak berubah selama kehamilan, tetapi,

tekanan diastolik turun l-15mmHg. Ada penurunan MAP sebab ada

penurunan resistensi vaskuler sistemik. Hormon-hormon

6

Page 7: REFERAT ANASTESI

kehamilan seperti estradiol-17-β dan progesteron mungkin berperan

dalam perubahan vaskuler ini. Turunnya pengaturan α dan β reseptor

juga memegang peranan penting. Selama kehamilan jantung

tergeser ke kiri dan atas karena diaphragma tertekan ke atas oleh

uterus yang gravid. Gambaran EKG yang normal pada parturien :

Disritmia benigna, Gelombang ST, T, Q terbalik dan Left axis

deviation.10

4. Perubahan pada Ginjal

GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal

plasma flow. Renal blood flow dan Glomerular filtration rate

meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi

sampai 60% diatas wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm.

Hal ini akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, blood urea

nitrogen, uric acid juga menurun tapi umumnya normal. Suatu

peningkatan dalam filtration rate menyebabkan penurunan plasma

blood urea nitrogen (BUN) dan konsentrasi kreatinin kira-kira 40-

50%. Reabsorpsi natrium pada tubulus meningkat, tetapi, glukosa dan

asam amino tidak diabsorpsi dengan efisien, maka glikosuri dan amino

acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan

ureter berdilatasi dan peristaltiknya menurun.19

Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien (BUN 8-9

mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak

hamil. Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak

hamil berarti ada kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada

diambang gagal ginjal, walaupun hasil pemeriksaan laboratorium

normal. Diuresis fisiologi pada periode post partum, terjadi antara hari

ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum

hamil pada minggu ke-6 post partum.19

Tabel : Changes in the renal System

7

Page 8: REFERAT ANASTESI

Nonpregnant Pregnant

BUN (mg/dl) 0.67 ±0.14

Crearinine (mg/dl) 13 ± 3

0.46 ± 0.13 .

8.7±1.5

5. Perubahan pada GIT

Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan

faktor predisposisi terjadinya oesophageal regurgitasi dan aspirasi paru.

Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik

dan merubah posisi normal gastro oesophageal junction. Alkali

fosfatase meningkat Plasma cholinesterase menurun kira-kira 28%,

kcmungkinan disebabkan karena sintesanya yang menurun dan

karena hemodilusi. Walaupun dosis moderat succynil choline

umumnya dimetabolisme, pasien dengan penurunan aktivitas

cholinesterase ada risiko pemanjangan blokade neuro-muskuler.19

Disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma,

pergerakan GIT, absorpsi makanan dan tekanan sphincter

oesophageal bagian distal menurun. Peningkatan sekresi hormon

gastrin akan meningkatkan sekresi asam lambung. Obat-obat

analgesik akan memperlambat pengosongan gaster. Pembesaran

uterus akan menyebabkan gaster terbagi menjadi bagian fundus dan

antrum, sehingga tekanan intragastrik akan meningkat.19

Aktivitas serum cholin esterase berkurang 24% sebelum

persalinan dan paling rendah (33%) pada hari ke-3 post partum.

Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal succinyl choline untuk

intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya

blokade neuromuskuler selama kehamilan. Karena perubahan-

perubahan tersebut wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung

penuh, dengan tidak mengindahkan waktu makan terakhir misalnya

walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih penuh.

Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting

8

Page 9: REFERAT ANASTESI

sebelum operasi Caesar dan sebelum induksi regional anestesi.

Walaupun efek mekanis dari uterus yang gravid pada lambung hilang

dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang lain kembali ke

keadaan sebelum hamil dalam 6 minggu post partum.19

6. Perubahan SSP dan susunan saraf perifer

Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf perifer berubah selama

kehamilan, MAC rnenurun 25-40% selama kehamilan. Halotane

menurun 25%, isoflurane 40%, methoxyflurane 32%. Peningkatan

konsentrasi progesteron dan endorphin adalah penyebab penurunan

MAC tersebut Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa

konsentrasi endorphin tidak meningkat selama kehamilan sampai

pasien mulai ada his, maka mungkin endorphin tidak berperan dalam

terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah akibat

progesteron.19

Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada

parturien setelah epidural anestesi bila dibandingkan dengan yang

tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural menyempit karena

pembesaran plexus venosus epidural disebabkan karena kompresi

aortocaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian

yang baru menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada

kehamilan muda (8-12 minggu) dirnana uterus masih kecil sehingga

efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka faktor-faktor lain

penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah : Respiratory alkalosis

compensate, Penurunan protein plasma atau protein likuor cerebro

spinal dan Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).19

Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas SSP

dan SS perifer pada anestesi umum dan antesi regional belum

diketahui tetapi dosis obat anestesi pada wanita hamil harus

dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesi untuk

epidural atau spinal anestesi tetap ada sampai 36 jam post partum.19

9

Page 10: REFERAT ANASTESI

7. Perubahan sistim muskuloskeletal, dermatologi, mammae dan

mata

Hormon relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum dan

melunakkan jaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah

muka, leher, garis tengah abdomen akibat Melanocyt stimulating

hormon. Buah dada membesar. Tekanan intra oculer menurun selama

kehamilan karena peningkatan kadar progesteron, adanya relaxin,

penurunan produksi humor aqueus disebabkan peningkatan sekresi

chorionic gonado trophin. Akibat relaksasi ligamentum dan kalogen

pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis. Pembesaran buah dada

terutama pada Ibu dengan leher pendek dapat menyebabkan kesulitan

intubasi. Perubahan pada tekanan intra oculer bisa menimbulkan

gangguan penglihatan.19

8. Plasenta

Fungsi pertukaran gas respirasi, nutrisi dan eksresi janin

tergantung dari plasenta, plasenta dibentuk dari jaringan Ibu dan janin

serta mendapat pasokan darah dari kedua jaringan tersebut.

1) Anatomi fisiologi Plasenta

Plasenta terdiri dari tonjolan jaringan janin (villi) yang terletak

dalam rongga vaskuler Ibu (intervillous). Sebagai akibat dari

susunan ini kapiler-kapiler janin dalam villi dapat melakukan

pertukaran substansi dengan darah Ibu, dimana darah Ibu dalam

rongga intervillous berasal dari arteri spiralis cabang arteri uterina

dan kemudian mengalir kembali melalui vena uterina. Darah janin

dalam villi berasai dari 2 buah arteri umbilikal dan kembali ke

janin melalui sebuah vena umbiiikal.

2) Pertukaran pada plasenta

Pertukaran plasenta dapat terjadi terutama melalui salah satu

dari empat mekanisme dibawah ini.

10

Page 11: REFERAT ANASTESI

a. Difusi: Gas respirasi dan ion-ion yang kecil ditransportasi

melalui proses difusi, kebanyakan obat-obat yang digunakan

dalam anestesi mempunyai berat molekul dibawah 1000 dan

dapat berdifusi melewati plasenta. Zat yang larut dalam lemak

seperti thiopentone paling cepat berdifusi, sedangkan obat-

obat dengan ionisasi yang tinggi seperti semua obat pelumpuh

otot sulit berdifusi. Obat-obat dengan ikatan protein tinggi

seperti bupivacaine juga sulit berdifusi melewati plasenta.

b. Transpor aktif: Asam ammo, vitamin dan beberapa ion seperti

calcium dan zat besi menggunakan mekanisme ini.

c. Pynositosis : Molekul yang besar seperti immunoglobuiin

ditranspor melalui pynositosis.

d. Facilitated diffusion, seperti pada glukosa.19

B. Gagal Jantung

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi

dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul

dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa

gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau

ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan

kematian pada pasien.3

Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal

jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut,

gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa

sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan

penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian

berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi

berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan

NYHA.11

Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki

11

Page 12: REFERAT ANASTESI

basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang

berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava.

Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,

pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan

kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak

disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold)

dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta

dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

a. Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)

b. Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)

c. Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)

d. Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)12

ETIOLOGI

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi

cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara

berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab

terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab

terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat

malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab

dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada

penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan

sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.

Faktor Gagal Jantung risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga

merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal

jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan

kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen

perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko

terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. 14

Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa

mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri

12

Page 13: REFERAT ANASTESI

dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan

meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk

terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.

Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat

dengan perkembangan gagal jantung. 15

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang

bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung

kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan

menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif

dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung

dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi

ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada

jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal

dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan

adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi

septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta

(kardiomiopati hipertrofik obstruktif).16

Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance

ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan

fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Penyakit

katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini

sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama

terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.

Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban

volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban

tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien

dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk

hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal

jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung

13

Page 14: REFERAT ANASTESI

pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat

aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).

Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat

menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga

dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan

obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat

efek toksik langsung terhadap otot jantung.17

PATOFISIOLOGI

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi

gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf

simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi

sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya

penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme

kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem

RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk

memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac

output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas

serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul

berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung.10

Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA

menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan

aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten

(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan

noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan

merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi

natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga

memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal

14

Page 15: REFERAT ANASTESI

jantung.17

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama

yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf

pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon

terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia

Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada

ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas

pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap

natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide

meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan

dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi

ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan

natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang

menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan

telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin

merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung

kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik

yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel

endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten

menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang

bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin plasma akan

semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga

berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure,

perlu perawatan dan kematian. 17

Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat

kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular

dan miokardial akibat endotelin. Disfungsi diastolik merupakan akibat

gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan

berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada Gagal

Jantung pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit

15

Page 16: REFERAT ANASTESI

jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati

hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung

amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal

jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal

jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul

bersamaan meski dapat timbul sendiri.12

DIAGNOSIS

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan

tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP,

hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan

untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12

lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide,

angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan

adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran

kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan

vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura

horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih

dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang

menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran

efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah

bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal

pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran

normal dapat dijumpai pada 10% kasus. 16

Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,

abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan

fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan

gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab

dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Ekokardiografi merupakan

pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung.

Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan

16

Page 17: REFERAT ANASTESI

fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua

pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan

murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita

dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak

terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan

fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta

mengetahui risiko emboli. Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk

menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk

mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang

berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat

timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan

adanya gagal jantung yang berat.17

Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk

mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri

renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian

angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal

jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada

pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.

Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi

ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal

jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya

abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum

fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP

sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml

dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.18

Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat

mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan

diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan

pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat

mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui

17

Page 18: REFERAT ANASTESI

tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui

tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis)

serta pulmonary artery capillary wedge pressure.7

Penatalaksanaan Gagal Jantung

a. Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup a. Aktifitas fisik harus

disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas yang sesuai menurunkan

tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan memperbaiki

gejala dan toleransi aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan

stabil.

b. Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV, dan

memperbaiki aliran darah paru.

c. Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut

jantung, dan meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal

dan harus dihentikan.

d. Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik negative,

dan dapat memperburuk hipertensi. Penghentian konsumsi alcohol

memperlihatkan perbaikan gejala dan hemodinamik bermakna.4

e. Terapi obat-obatan

1. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki

peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal

jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik loop dan

thiazide.

2. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi

natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle

asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat

menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus.

Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia.

3. Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid,

mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus

distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif

18

Page 19: REFERAT ANASTESI

dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju

filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi

diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide

memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat

menyebabkan intoleransi karbohidrat. 4

4. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham

menemukan penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea).

Glikosida seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard yang

menghasilkan inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi

jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis

diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil.

Digoksin tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek

normal karena curah jantung ditentukan tidak hanya oleh

kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung. Pada

gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan

menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat

menyebabkan gejala.

5. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan

dinding ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan

oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen miokard dan

meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada system

vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran

vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor

angiotensin, prazosin dan nitroprusida). Vasodilator menurukan

prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis tinggi, dapat

menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi postural.

Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian

yang menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah

jantung dan tekanan darah. Pada gagal jantung sedang atau berat,

vasodilator arteri juga dapat menurunkan tekanan darah.

19

Page 20: REFERAT ANASTESI

6. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta

adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja

inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang

yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi turun pada

reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa

aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan densitas

reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih

tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam sirkulasi.

Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard. Penggunaan terbaru

dari metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan dari

diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi tak berat. Obat-

obatan tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi serta

memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional. Efek ini bertentangan

dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu dipergunakan

dengan hati-hati.

7. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan

darah dengan jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis

vitamin K ini digunakan pada keadaan dimana terdapat

kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat, misalnya

pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat

jantung menjadi mati karena penyaluran darah kebagian ini

terhalang.5

C. Kehamilan dan chronic heart failure

Kehamilan dapat menimbulkan perubahan pada sistem kardiovaskuler.

Penyakit kardiovaskuler dapat dijumpai pada wanita hamil atau tidak hamil.

Pada kehamilan dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya

terhadap perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut

disebabkan oleh :

20

Page 21: REFERAT ANASTESI

a. Hipervolemia: dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai

puncaknya pada 28-32 minggu lalu menetap.

b. Jantung dan diafragma terdorongke atas oleh karena pembesaran rahim.

Pada kehamilan terjadi peningkatan denyut nadi, stroke volume, volume

darah dan tekanan darah. Kehamilan dapat menyebabkan payah jantung

(decompensatio cordis). Frekuensi penyakit jantung dalam kehamilan berkisar

antara 1-4 %. 2

Pengaruh kehamilan terhadap penyakit jantung

Saat-saat yang berbahaya bagi penderita adalah :

a. Pada kehamilan 32-36 minggu, yaitu volume darah mencapai puncak nya

(hipervolumia).

b. Pada kala II, yaitu wanita mengerahkan tenaga untuk mengedan dan

memerlukan kerja jantung yang berat.

c. Pada pasca persalinan yaitu darah dari ruang intervilus plasenta yang

sudah lahir, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah ibu.

d. Pada masa nifas, karena ada kemungkinan infeksi.

Pengaruh penyakit jantung terhadap kehamilan

a. dapat terjadi abortus

b. prematur : lahir tidak cukup bulan

c. dismatur : lahir cukup bulan tetapi berat badan lahir rendah

d. lahir dengan skor APGAR rendah atau lahir mati

e. kematian janin dalam rahim (IUFD)8

Klasifikasi Penyakit Jantung dalam Kehamilan

a. Kelas 1 : tanpa ada pembatasan kegiatan fisik dan tanpa gejala pada

kegiatan biasa

b. Kelas II : sedikit dibatasi kegiatan fisiknya, saat istirahat tidak ada

keluhan, kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala insufisiensi jantung.

Gejalanya adalah lelah, palpitasi, sesak napas, dan nyeri dada (angina

pectoris)

c. Kelas III : kegiatan fisik sangat dibatasi, waktu istirahat tidak ada

21

Page 22: REFERAT ANASTESI

keluhan, dan sedikit kegiatan fisik menimbulkan keluhan insufisiensi

jantung.

d. Kelas IV : saat istirahat dapat timbul keluhan insufisiensi jantung,

apalagi kerja fisik yang tidak berat.

Kira-kira 80 % penderita adalah kelas I dan II serta kehamilan dapat

meningkatkan kelas tersebut menjadi II, III, dan IV. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi adalah umur, anemia, adanya aritmia jantung, hipertrofi

ventrikuler, dan pernah sakit jantung. 7

Penegakan diagnosis

Penegakan diagnosis dapat melalui beberapa langkah di antaranya yaitu :

a. Anamnesis

1) pernah sakit jantung dan berobat pada dokter untuk penyakitnya

2) pernah demam rematik

b. Pemeriksaan : auskultasi atau palpasi terdapat empat kriteria (Burwell

danMetcalfe)

1) adanya bising sistolik, presistolik, atau bising terus-terusan

2) pembesaran jantung yang jelas

3) adanya bising jantung yang jelas disertai thrill

4) aritmia yang berat

c. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)

Apabila wanita hamil disangka menderita penyakit jantung

sebaiknya dikonsultasikan kepada ahli jantung. Keluhan dan gejala yang

dapat muncul pada ibu hamil dengan penyakit jantung antara lain mudah

lelah, dispneu, nadi tidak teratur, dan sianosis.14

Penanganan

1) Dalam kehamilan

a. memberikan pengertian kepada ibu hamil untuk melaksanakan

pengawasan antenatal yang teratur sesuai dengan jadwal yang

ditentukan.

22

Page 23: REFERAT ANASTESI

b. Kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog untuk penyakit

jantungnya, sehingga dapat dibina sedini mungkin.

c. Pencegahan terhadap kenaikan berat badan dan retensi air yang

berlebihan. Apabila terdapat anemia harus segera diatasi.

d. Timbulnya hipotensi atau hipertensi dapat memperberat kerja jantung

sehingga apabila muncul hal tersebut harus segera ditangani.

e. Apabila muncul keluhan yang agak berat seperti sesak napas, infeksi

saluran pernafasan, dan sianosis, maka pasien harus dirawat di rumah

sakit untuk pengawasan dan pengobatan yang lebih intensif.

f. Wanita hamil dengan penyakit jantung harus cukup istirahat, cukup

tidur, diet rendah garam, dan pembatasan jumlah cairan.

g. Sebaiknya pasien dirawat 1 minggu sebelum taksiran persalinan.

h. Pengobatan khusus berkaitan dengan kelas penyakit :

(1) Kelas I : tidak memerlukan pengobatan tambahan

(2) Kelas II : biasanya tidak memerlukan pengobatan tambahan. Pasien

sebaiknya mengurangi kerja fisik terutama antara kehamilan 28-36

minggu.

(3) Kelas III : memerlukan digitalisasi atau obat lainnya. Pasien sebaiknya

dirawat di rumah sakit sejak kehamilan 28-30 minggu.

(4) Kelas IV : pasien harus dirawat di rumah sakit dan diberikan

pengobatan. Pada kelas IV ini penanganan pasien melibatkan

kardiolog.13

2) Dalam persalinan

Pasien dengan penyakit jantung kelas I dan II biasanya dapat

meneruskan kehamilan dan bersalin pervaginam dengan pengawasan yang

baik dan bekerja sama dengan ahli penyakit dalam (kardiolog).

a. Membuat daftar his, daftar nadi, pernafasan, tekanan darah, yang

diawasi dan dicatat setiap 15 menit dalam kala I dan setiap 10 menit

dalam kala II. Apabila terdapat gejala decompensatio cordis maka

diobati dengan digitalis. Dapat diberikan sedilanid dosis awal 0,8 mg

23

Page 24: REFERAT ANASTESI

dan ditambahkan sampai dosis 1,2-1,6 mg intravena secara perlahan-

lahan. Apabila diperlukan, suntikan dapat diulang 1-2 kali dalam dua

jam.

b. Kala II merupakan kala yang kritis bagi penderita. Apabila tidak

timbul tanda-tanda decompensatio cordis, persalinan dapat ditunggu,

diawasi,dan ditolong secara spontan. Apabila janin dalam 20-30 menit

belum lahir, kala II dapat diperpendek dengan ekstraksi vakum atau

forceps. Apabila dijumpai cephalopelvic disproportion maka

dilakukan sectio caesaria dengan lokal anestesi atau lumbal atau

kaudal dengan pengawasan yang baik.

c. Untuk menghilangkan rasa sakit dapat diberikan obat analgesik seperti

petidin.

d. Kala II biasanya berjalan seperti biasa. Pemberian ergometrin dengan

hati-hati dinilai aman selama persalinan.12

3) Pada Pasca Persalinan dan Nifas

Setelah bayi lahir, pasien dapat secara tiba-tiba jatuh kolaps karena

darah tiba-tiba membanjiri tubuh ibu sehingga kerja jantung menjadi

sangat bertambah. Hal ini harus dipahami dan diawasi oleh penolong.

Selain itu, perdarahan merupakan komplikasi yang cukup berbahaya. Oleh

karena itu, pasien harus tetap diawasi dan dirawat minimal 2 minggu

setelah bersalin.17

4) Penanganan Secara Umum

a. Pasien dengan penyakit jantung kelas III dan IV disarankan tidak

hamil karena kehamilan sangat membahayakan jiwanya.

b. Apabila hamil, sedini mungkin dipertimbangkan untuk dilakukan

abortus provokatus medisinalis.

c. Pada kasus tertentu, sangat dianjurkan untuk tidak hamil lagi dengan

melakukan tubektomi, setelah pasien dalam keadaan afebris dan tidak

anemis.

24

Page 25: REFERAT ANASTESI

d. Apabila pasien tidak berkenan disterilisasi, dianjurkan memakai

kontrasepsi berupa IUD (Intra Uterine Device).

Penatalaksanaan gagal jantung kongestif pada masa kehamilan

tidak banyak berbeda dengan keadaan gagal jantung lainnya. Masukan

garam harus dikurangi dan aktivitas fisik dibatasi sampai di bawah

tingkatan yang menimbulkan gejala gagal jantung. Pada wanita dengan

gejala gagal jantung yang signifikan atau edema paru, terapi standar dapat

digunakan dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan pada wanita

dengan kehamilan. Penggunaan obat ACE inhibitor harus dihindarkan.

Gagal jantung kongestif pada kehamilan adalah suatu keadaan dimana

posisi supinasi sangat bermanfaat karena akan mengurangi beban preload

dengan obstruksi aliran darah dari vena cava inferior.15

D. Teknik Anastesi Pada Secio Sesaria

Penentuan teknik anestesi antara anestesi umum dan regional sangat

tergantung keadaan ibu dan janin serta kemampuan anestesiolog, oleh karena

itu seorang ahli anestesi diharapkan dapat memilih teknik anestesi yang aman,

tepat dan aman bagi ibu.2

Pada anestesi regional sebaiknya dihindari blok subaraknoid/spinal

anestesi karena perubahan tekanan darah akan terjadi dengan cepat dan dapat

mengganggu perfusi plasenta, kecuali jika telah dipersiapkan terapi

preoperatif dengan baik (cairan dan vasodilator). Secara umum dapat

dikatakan bahwa ada gangguan koagulasi merupakan kontra indikasi untuk

regional anestesi, karena dapat terjadi hematom epidural yang akan menekan

medula spinalis.6

Anestesi umum memberikan beberapa keuntungan antara lain: induksi

anestesi yang cepat, lebih mudah dalam mengontrol jalan nafas dan ventilasi

serta memperkecil kejadian hipotensi dan gangguan kardiovaskuler selama

persalinan.

25

Page 26: REFERAT ANASTESI

Teknik anestesi ini diperlukan selama bedah sesar terutama pada

beberapa kondisi tertentu seperti terjadinya gangguan hemodinamik pada ibu,

koagulopati, gawat janin yang tidak dapat diatasi dengan anestesi regional

atau atas permintaan ibunya sendiri. Selain itu selama periode anestesi, faktor

tindakan anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan gangguan

kardiovaskuler antara lain pada periode induksi anestesi dimana fluktuasi

tekanan darah dan denyut jantung dapat terjadi berlebihan, mendadak, dan

cepat. Keadaan ini juga terjadi pada saat penghentian obat anestesi sehingga

perlu perhatian dan pengawasan yang lebih ketat.

Teknik anestsi pada pasie SC da 2 yaitu:

anastesi lokal (spinal atau epidural)

Pada teknik anestesi ini, memungkinkan sang ibu untuk tetap sadar selama

proses pembedahan dan untuk menghindari bayi dari pembiusan.

anastesi umum atau General Anestesi

Teknik anestesi ini sudah jarang dilaukan, umum dilakukan apabila terjadi

kasus-kasus berisiko tinggi atau kasus darurat.8

Anestesi spinal pada penderita-penderita yang akan dioperasi sectio

caesarea dengan pemikiran bahwa :

Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan ketrampilan,

juga adanya stimulasi alat-alat dalam yang menimbulkan perasaan tidak

enak pada waktu manipulasi (terutama manipulasi segmen bawah uterus)

serta adanya kegagalan-kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli.

Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset lebih cepat,

blokade sarafnya meyakinkan, kemungkinan toksisitas tidak ada karena

dosis yang rendah, dan karenaadanya blokade saraf sakral yang sempurna,

perasaan tidak enak seperti pada anestesi epidural tidak ada.

Dengan anestesi regional ibu masih dalam keadaan sadar, refleks protektif

masih ada, sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil

sekali. Ibu tidak menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih

26

Page 27: REFERAT ANASTESI

sedikit. Dari segi janin, anestesi regional ini bebas daripada obat-obat

yang mempunyai efek depresi terhadap janin.2

Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak tetap baik. Usahakan:

mempertahankan kestabilan sistim kardiovaskuler

oksigenisasi yang cukup

mempertahankan perfusi plasenta yang cukup.

Pemberian cairan pre-operatif, pencegahan aortacaval

compression (tilting, uterine displacement), oksigenisasi dan pemberian

efedrin merupakan hal-hal yang penting sekali dilakukan.8

Anestesi Spinal (Sub Arachnoid Nerve Block)

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk

tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen

dan ekstremitas bawah. Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang

mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus

dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan

ekskresi dari obat-obatan. Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan

terhadap blokade ini dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan saraf

otonom paling mudah terblokir dan paling belakang berfungsi kembali.

Tingginya blokade saraf untuk otonom dua dermatome lebih tinggi daripada

sensoris, sedangkan untuk motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara

anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung

bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal

ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen

lainnya. Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri

dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan

processus spinosus L4 atau L4—5 interspace.13

Ligamenta yang dilalui pada waktu penusukan yaitu :

a. Ligamentum supraspinosus

b. Ligamentum interspinosus

27

Page 28: REFERAT ANASTESI

c. Ligamentum flavum

Teknik Anestesi Spinal :

a. Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.

b. Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.

c. Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita.

d. Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan

memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke

perut penderita.

e. L3 - 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena adanya edema

jaringan.

f. Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.

g. Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.

h. Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu,

juga tanpa introducer dengan bevel menghadap ke atas.

i. Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain 5%

sebanyak 1,25 - 1,5 cc.

j. Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal

sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg.

k. Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.

l. Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit pertama,

selanjutnya tiap 15 menit.

m. Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg

dibanding semula, efedrin diberikan 10 – 15 mgl.V.

n. Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik, sehingga tidak

perlu diberikan metergin IV oleh karena sering menimbulkan mual dan

muntah-muntah yang mengganggu operator. Syntocinon dapat diberikan

per drip.

o. Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa ke ruangan, dapat

diberikan sedatif atau hipnotika.8

28

Page 29: REFERAT ANASTESI

Salah satu teknik pilihan yang dilakukan oleh dokter spesialis anestesi

adalah dengan menggunakan teknik anestesi epidural. Epidural adalah ruang

antara kedua selaput keras dari sumsum belakang. Teknik anestesi epidural ini

dilakukan serupa dengan teknik anestesi spinal saat operasi. Bedanya adalah

pada teknik anestesi spinal, anggota gerak bawah ibu (kaki) akan dengan

sengaja ‘dilumpuhkan’ atau tidak dapat digerakkan dalam jangka waktu

tertentu. Pada teknik anestesi epidural, hanya saraf yang memberikan respon

nyeri yang utamanya dilumpuhkan untuk sementara waktu. Teknik ini

dilakukan dengan melakukan penyuntikan di daerah punggung untuk

dilakukan penempatan suatu kateter kecil yang berguna untuk menyuntikkan

obat anestesi epidural.13

Obat anestesi epidural akan bekerja selama beberapa jam, yang

sebelum efeknya habis, dokter anestesi akan memberikan instruksi untuk

memberikan suntikan obat anestesi epidural selanjutnya melalui kateter yang

sudah dipasang. Ibu masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa karena

saraf yang di blok hanyalah saraf yang memberikan rangsang nyeri. Untuk

persalinan, blokade dikhususkan untuk mengurangi rasa sakit di daerah rahim,

leher rahim dan bagian atas vagina. Tetapi otot pangul masih dapat melakukan

gerakan rotasi kepala bayi untuk keluar dari jalan lahir ibu. Ibu masih bisa

mengejan, sehingga masih dapat dilakukan persalinan melalui jalan lahir.

Selain itu, dengan teknik anestesi ini, ibu masih dalam keadaan sadar selama

operasi, sehingga dapat langsung bertemu dengan bayinya di kamar operasi.

Ditambah dengan keuntungan lain dimana pasien langsung dapat langsung

mobilisasi, tidak seperti teknik anestesi spinal yang harus menunggu paling

tidak 24 jam atau sampai dinyatakan aman untuk mobilisasi. Kelebihan lain

dari teknik anestesi epidural adalah dengan teknik ini dapat untuk pembiusan

dalam waktu yang lebih lama, tidak seperti teknik anestesi spinal yang

terbatas 1-2 jam, sehingga ibu dapat segera melakukan aktivitas normal

setelah operasi.8

29

Page 30: REFERAT ANASTESI

Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, teknik ini

mempunyai kemungkinkan komplikasi paska operasi yang lebih sedikit.

Disamping itu, dengan kateter yang telah dipasang dapat pula digunakan

untuk pemberian obat anti nyeri langsung pada saraf yang dikehendaki,

sehingga nyeri paska operasi juga dapat diminimalkan.Adalah hak pasien

untuk mengetahui prosedur medis yang akan dilakukan padanya. Dan adalah

hak pasien untuk menyetujui dan memilih prosedur yang ada. Biasanya

cathether epidural dipertahankan 3 hari, atau maksimum 21 hari, sesuai jenis

cathether yang dipakai.2

Area mati rasa pada epidural anestesi:

E. Anestesi pada operasi secsio caesaria dengan penyulit gagal jantung

Tekhnik anestesi yang digunakan pada operais Caesar dengan penyulit

berupa penykit decompensatio cordis, sebenarnya dapat dilakukan dengan

General anestesi dan regional anestesi. Kedua cara tersebut, memiliki resiko

yang cukup besar bagi penderita. Hal ini disebabkan pada penderita

mengalami gangguan hemodinamik yang cukup berat.

Pada prinsipnya tekhnik anestesi yang dipergunakan, seminimal

mungkin dicegah untuk terjadi komplikasi yang berat. Tidak ada satupun jenis

anestesi yang benar-benar aman digunakan pada operasi bedah Caesar dengan

penyulit gagal jantung. Dibawah ini akan dijabarkan mengenai anestesi

umum dan anestesi regional beserta keuntungan dan kerugian, sehingga dapat

30

Page 31: REFERAT ANASTESI

mengambil keputusan yang tepat untuk menentukan jenis anestesi13

Anestesi Umum (General Anestesi)

Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara

sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.

Trias anestesi yaitu : hipnotik, analgesik, relaksasi. Persiapan prabedah yang

kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia.

Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih

dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar.

Tujuan kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan

operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan. Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah

dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantranya :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah

4. Mengurangi isi cairan lambung

5. Membuat amnesia

6. Memperlancar induksi anestesi

7. Meminimalkan jumlah obat anestesi

8. Mengurangi reflek yang membahayakan8

OBAT PREMEDIKASI

a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan

utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun

tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah

31

Page 32: REFERAT ANASTESI

melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya

laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.13

Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis

terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur.

Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional

atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu

diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya

fibrilasi aurikuler.2

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25

mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau

intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk

anak-anak. 8

b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer)

Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk

premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan

diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya

cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan

organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus

ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah

penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan

dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang

tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek sampingnya

terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan,

umumnya hanya sedikit13

c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk

pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping

berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas

2-4 mg. 2

32

Page 33: REFERAT ANASTESI

OBAT INDUKSI

a. Tracrium 20 mg (Atracurium) : nondepolarisasi

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare)

berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga

asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis

rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit dan dapat

meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya

1-2 menit.2

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada

sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga

asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sring digunakan

ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat

antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik

menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,

hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus

disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau

glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.8

b. Recofol 80 mg (Profofol)

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan

karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.

Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang

bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut

dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan

oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat

yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit

infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang

berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi

33

Page 34: REFERAT ANASTESI

itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah

umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau

secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih

lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55

tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan

kecepatan tetesan juga lebih lambat.13

MAINTAINANCE

a. N2O

N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen

monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai

240°C (NH4 NO3 2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak

berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat

udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.

Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering

digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi

inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu

anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah

N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga

terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari

terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit. 8

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi

N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek

analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% :

20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan

pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara

dan timpanoplasti. 13

b. Halothane (Fluothane)

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak

berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane

34

Page 35: REFERAT ANASTESI

sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan

sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane

agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada

nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali

sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus

simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi

vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska

pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigi.8

INTUBASI

Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat

pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya

anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena,

intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya

disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk

persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-

Scope

T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)

A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)

yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak

menymbat jalan napas

T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah

dimasukkan

C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction Penyedot lendir dan ludah. 8

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar

tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan

35

Page 36: REFERAT ANASTESI

oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan

tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

g. Obat.13

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele

tahun 2002 antara lain :

a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan

oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian

suplai oksigen melalui masker nasal.

b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan

karbondioksida di arteri.

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau

sebagai bronchial toilet.

d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat

atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.2

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi

dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak

memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus

dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.

b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra

servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.13

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal

(Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :

36

Page 37: REFERAT ANASTESI

a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.

b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara

mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar

memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.

c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.

Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang

sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.

e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi

kepala pada leher di sendi atlantooccipital.

f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan

fleksi leher.8

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa

prosedur yang telah ditetapkan antara lain :

a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,

oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan

bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam

keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis

lurus.

b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,

lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan

selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon

dengan tangan kanan.

c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan

dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop

didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan

akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan

dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan

pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

37

Page 38: REFERAT ANASTESI

d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan

melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.

Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan

laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas.

Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan

dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon

pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa

difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan

ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop,

diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada

aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan

terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas

kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan

tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti

ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila

terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster

akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),

kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan

nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi

dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

f. Ventilasi.2

Anestesi Spinal

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang

subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik

lokal ke dalam ruang subarachnoid. Medulla spinalis berada didalam kanalis

spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens

(duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada

anak L2 dan pada bayi L3. 8

38

Page 39: REFERAT ANASTESI

Indikasi Anestesi Spinal

1. Bedah ekstremitas bawah.

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum-perineum

4. Bedah obstetri ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah8

Kontra Indikasi Anestesi Spinal

Kontra indikasi absolut :

a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal

b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan

c. Hipovolemia berat sampai syok

d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan

e. Tekanan intrakranial yang meningkat

f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim

g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif :

a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )

b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan

39

Page 40: REFERAT ANASTESI

c. Kelainan neurologis

d. Kelainan psikis

e. Bedah lama

f. Menderita penyakit jantung

g. Hipovolemia

h. Nyeri punggung kronis.13

Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan

paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal,

sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan. Spinal

anesthesia punya banyak keuntungan seperti kesederhanaan teknik, onset yang

cepat, resiko keracunan sistemik yang lebih kecil, dengan blok anesthesi yang

baik maka perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan penyulitnya

telah diketahui dengan baik; analgesia dapat diandalkan; sterilitas dijamin,

pengaruh terhadap bayi sangat minimal; pasien sadar sehingga dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya aspirasi; dan tangisan bayi yang baru dilahirkan

merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh seorang ibu. Disertai jalinan

psikologik berupa kontak mata antara ibu dengan anak dan penyembuhan rasa

sakit pasca operasi yang ditawarkan oleh morfin neuraxial. Tetapi terdapat potensi

untuk hipotensi dengan teknik ini yang disebabkan :

a. Perubahan kardiovaskuler pada ibu yang pertama kali diblok pada analgesi

subaraknoid yaituserabut saraf preganglionik otonom, yang merupakan serat

saraf halus (serat saraf tipe B). Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi

penurunan tahanan pembuluh tepi, sehingga darah tertumpuk di pembuluh

darah tepi karena terjadi dilatasi arterial, arteriol dan post-arteriol. Pada

umumnya serabut preganglionik diblok dua sampai empat segmen dikranial

dermatom sensoris yang diblok. Besarnya perubahan kardiovaskular

tergantung pada banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila

terjadi hanya penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan.

Tetapi bila disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi

berat. Perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani seksio cesaria

40

Page 41: REFERAT ANASTESI

dengan blok subaraknoid telah diselidiki oleh Ueland. Pada posisi terlentang

terjadi penurunan rata-rata tekanan darah dari 124/72 mmHg menjadi 67/38

mmHg; penurunan rata-rata curah jantung 34% (dari 5400 menjadi 3560

ml/menit) dan isi sekuncup 44% (62 menjadi 35 ml). Sedangkan denyut

jantung mengalami kenaikan rata-rata 17% (90 menjadi 109 kali/menit).

Pengaruh pengeluaran bayi terhadap hemodinamik menunjukkan kenaikan

rata-rata curah jantung 52% (2880 ml/menit) dan isi sekuncup 67% (42,2

ml); sedangkan denyut jantung menurun 11 kali/menit, disertai kenaikan

rata-rata tekanan sistolik 21,8 mmHg, diastolik 6,3 mmHg, kenaikan tekanan

vena sentral dari 4,9 menjadi 6,75 cm H2 O. Keadaan ini disebabkan karena

masuknya darah dari sirkulasi uterus ke dalam sirkulasi utama akibat

kontraksi uterus. Menurut laporan Wollmann setelah induksi pada pasien

yang berbaring lateral tanpa akut hidrasi sebelumnya, tekanan arteri rata-rata

turun dari 89,2 ± 3,3 menjadi 64,0 ± 3,6 mm-Hg, tekanan vena sentral rata-

rata turun dari 6,0 ± 0,9 menjadi 2,0 ± 0,9 cm H2 O. Setelah bayi lahir

tekanan arteri rata-rata menjadi 86,0 ± 13 mmHg dan tekanan vena sentral

menjadi 12,6 ± 2,0 cm H2 O (hipotensi yang telah diatasi dengan akut hidrasi

memakai 1000 ml cairan dekstrosa 5% di dalam laktat atau Ringer). Pasien

tersebut diblok setinggi T2 — T6.

b. Pengaruh terhadap bayi

Pengaruh langsung zat analgetik lokal yang melewati sawar uri

terhadap bayi dapat diabaikan. Menurut Giasi pemberian 75 mg lidokain

secara intratekal akan menyebabkan kadar obat 0,32 mikrogram/ml di dalam

darah pasien. Protein plasma dan eritrosit akan mengikat 70% lidokain di

dalam darah. Selain itu efek uterine vaskular shunt akan menyebabkan lebih

sedikit lagi konsentrasi lidokain di dalam bayi. Bonnardot melaporkan,

konsentrasi morfin di dalam bayi sangat kecil bilamana diberikan secara

intratekal sebanyak 1 mg morfin untuk mengurangi rasa nyeri karena

persalinan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca seksio cesaria

dengan analgesia subaraknoid yaitu hipotensi yang menimbulkan

41

Page 42: REFERAT ANASTESI

berkurangnya arus darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek

tersebut terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi.

Penurunan arus darah uterus akan sesuai dengan penurunan tekanan darah

rata-rata. Bila tekanan darah rata-rata turun melebihi 31%, arus darah uterus

turun sampai 17%. Sedangkan penurunan tekanan darah rata-rata sampai

50%, akan disertai dengan penurunan arus darah uterus sebanyak 65%.

Banyak penulis melaporkan efek hipotensi terhadap bayi berupa perubahan

denyut jantung, keadaan gas darah, skor Apgar dan sikap neurologi bayi.

Gambaran deselerasi lambat denyut jantung bayi terjadi bila tekanan sistolik

mencapai 100 mmHg lebih dari 4 menit bradikardia selama 10 menit, atau

tekanan sistolik mencapai 80 mmHg lebih dari 4 menit. Beberapa penulis

melaporkan bahwa pada pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia

subaraknoid pada tindakan seksio cesaria, sering dijumpai bayi dengan skor

Apgar yang rendah serta interval mulai menangis yang panjang. Menurut

Moya skor Apgar yang rendah ditemukan pada ibu yang mengalami

penurunan tekanan sistolik, yang mencapai 90 - 100 mgHg selama 15 menit.

Beberapa penyelidik mengemukakan bahwa bayi yang baru dilahirkan

sedikit lebih asidotik pada pasien yang mengalami hipotensi. Faktor lamanya

hipotensi lebih besar pengaruhnya daripada besarnya hipotensi, terutama

pada pasien yang menderita diabetes. Dalam studi epidemiologis pada 5.806

kelahiran Cesar, Mueller dkk menyimpulkan bahwa fetal asidosis meningkat

secara signifikan setelah anestesia spinal, dan hipotensi arterial maternal

sejauh ini merupakan masalah yang paling umum dijumpai.2,8

Persiapan anestesi spinal

Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar

tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada

kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak

teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus puladilakukan :

1. Informed consent

42

Page 43: REFERAT ANASTESI

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Peralatan anestesi spinal

1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut

dan EKG

2. Peralatan resusitasi /anestesia umum

3. Jarum spinal

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah

ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja

operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk

dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan

tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-

43

Jarum pinsil (whitecare)

Jarum tajam (Quincke-

Babcock)

Page 44: REFERAT ANASTESI

L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma

terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.

5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum

suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum

supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang

epidural, duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal

dicabutcairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan

larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.13

Penatalaksanaan

Sebelum melakukan tindakan analgesia subaraknoid seharusnya dilakukan

evaluasi hemodinamik pasien. Sebaiknya tidak melakukan teknik ini kalau

pasien dalam keadaan hipovolemia, atau keadaan yang menjurus hipovolemia

selama persalinan (misalnya plasenta previa), atau pasien yang mengalami

44

Page 45: REFERAT ANASTESI

sindroma hipotensi terlentang yang manifes pada waktu persalinan. Pencegahan

dapat dilakukan dengan (1) hidrasi akut dengan larutan garam seimbang , (2)

pengangkatan dan penggeseran uterus ke sebelah kiri abdomen, (3) pada tanda

pertama menurunnya tekanan darah setelah hidrasi segera diberikan vasopresor

intra vena, dan (4) pemberian oksigen. 8

a. Hidrasi akut

Sebelum induksi harus dipasang infus intravena dengan kanula atau jarum

yang besar, sehingga dapat memberikan cairan dengan cepat. Hidrasi akut

dengan memberikan cairan kristaloid sebanyak 1000 - 1500 ml tidak

menimbulkanbahaya overhidrasi; tekanan darah, denyut jantung dan nadi

dalam batas-batas normal .Menurut Wollman pemberian cairan kristaloid

sebanyak 1000 ml hanya menaikkan tekanan vena sentral sebanyak 2 cm air

dan nilainya masih dalam batas normal. Akhir-akhir ini beberapa penulis

menganjurkan cairan kristaloid yang tidak mengandung dektrosa. Karena

menurut Mendiola, infus dekstrosa 20 g/jam atau lebih sebelum melahirkan

menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Ini

disebabkan karena pankreas bayi yang cukup umur akan menaikkan

produksi insulin sebagai reaksi atas glukosa yang melewati sawar. Kenepp

melaporkan bahwa terjadi asidemia laktat pada bayi yang dilahirkan yang

mendapat hidrasi akut dengan cairan dektrosa 5%. Keadaan ini disebabkan

oleh hipotensi, insufisiensi plasenta, dan atau terjadi glikolisis dalam

keadaan hipoksia.

b. Mendorong Uterus ke kiri Usaha yang digunakan untuk mempertahankan

perfusi uteroplacenta mencakup posisi miring lateral kiri. Dengan

mendorong uterus ke kiri paling sedikit 10° dapat dihindari bahaya

kompresi vena kava inferior dan aorta, sehingga dapat dicegah sindroma

hipotensi terlentang. Menurut Ueland mengubah posisi pasien dari

terlentang menjadi lateral dapat menaikkan isi sekuncup 44,1%,

menurunkan denyut jantung sebanyak 4,5%, dan menaikkan curah jantung

33,5%. Maka pasien yang akan dioperasi harus dibawa pada posisi miring.

45

Page 46: REFERAT ANASTESI

Dan kalau pada observasi fungsi vital terjadi manifestasi sindroma hipotensi

terlentang yang tidak dapat dikoreksi dengan mendorong uterus ke kiri, hal

ini merupakan indikasi kontra tindakan analgesia regional.

c. Pemberian Vasopresor

EfedrinPencegahan dengan akut hidrasi dan mendorong uterus ke kiri dapat

mengurangi insidensi hipotensi sampai 50-60%. Pemberian vasopresor,

seperti efedrin, sering sekali dipakai untuk pencegahan maupun terapi

hipotensi pada pasien kebidanan. Obat ini merupakan suatu

simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak

langsung. Efedrin meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan naadi

melalui stimulasi adrenergik alfa dan beta, meningkatkan aliran darah

koroner dan skelet dan menimbulkan bronkhodilatasi melalui stimulasi

reseptor beta 2. Efedrin mempunyai efek minimal terhadap aliran darah

uterus, dieliminasi dihati, dan ginjal. Namun, memulihkan aliran darah

uterus jika digunakan untuk mengobati hipotensi epidural atau spinal pada

pasien hamil. Efek puncak : 2-5 menit, Lama aksi : 10-60 menit.

Keuntungan pemakaian efedrin ialah menaikan kontraksi miokard, curah

jantung, tekanan darah dampai 50%, tetapi sedikit sekali menurunkan

vasokonstriksi pembuluh darah uterus. Menurut penyelidikan Wreight,

efedrin dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehingga

menghasilkan skor Apgar yang lebih tinggi. Guthe menganjurkan

pemberian efedrin 25 - 50 mg IM sebelum dilakukan induksi. Ini dapat

mengurangi insidensi hipotensi sampai 24%. Tetapi cara ini sering

menimbulkan hipertensi postpartum karena efedrin bekerja sinergistik

dengan obat oksitosik. Penggunaan profilaksis ephedrine dalam suatu studi

dan penggunaan terapi dalam studi yang lain kemungkinan ikut

mengakibatkan fetal asidosis. Demikian pula, penggunaan ephedrine

dikaitkan dengan nilai pH arterial umbilical yang lebih rendah saat

dibandingkan dengan phenylephrine dalam suatu kajian sistematis. Literatur

tersebut memperdebatkan vasopressor misalnya, ephedrine atau

46

Page 47: REFERAT ANASTESI

phenylephrine, yang lebih cocok untuk mengatasi hipotensi selama anestesi

spinal pada Sectio Caesaria. Kontroversi terjadi pada etiologi fetal asidosis

apakah hal tersebut karena pengaruh metabolis stimulasi-ß dalam fetus atau

perfusi uteroplacenta yang kurang baik karena kegagalan darah yang tersita

pada bagian splanchnic untuk meningkatkan preload. Pemilihan obat

vasopressor mungkin kurang penting dibanding menghindari hipotensi.

Penulis lain menganjurkan pemberian efedrin cara intravena kalau terjadi

hipotensi atau sudah terjadi penurunan tekanan darah 10 mmHg; dosisnya

10 mg yang diulang sampai tekanan darah kembali ke awa1. Bayi yang

dilahirkan dengan cara ini mempunyai skor Apgar sangat baik; pemeriksaan

pH dan base-excessnya dalam batas normal, dan sikap neurologi bayi

setelah 4 - 24 jam dilahirkan sangat baik.

d. Pemberian Oksigen

Pada persalinan hiperventilasi terjadi lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit

dan konsumsi oksigen dapat naik sampai 100%. Oleh karena itu apabila

terjadi hipoventilasi baik oleh obat-obat narkotika, anestesi umum maupun

lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Pemberian oksigen

terhadap pasien sangat bermanfaat karena memperbaiki keadaan asam-basa

bayi yang dilahirkan, dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode

hipotensi, sebagai preoksigenasi kalau anestesia umum diperlukan.8

Anestesi Epidural

Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada

diantara ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm

dan dibagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.

Obat anestetik di lokal diruang epidural bekerja langsung pada akarsaraf spinal

yang terletak dilateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding

anestesi spinal, sedangkan kualitas blockade sensorik-motorik juga lebih lemah.

Keuntungan epidural dibandingkan spinal :

Bisa segmental

Tidak terjadi headache post op

47

Page 48: REFERAT ANASTESI

Hypotensi lambat terjadi

Efek motoris lebih kurang

Dapat 1–2 hari dengan kateter ® post op pain

Kerugian epidural dibandingkan spinal :

Teknik lebih sulit

Jumlah obat anestesi lokal lebih besar

Reaksi sistemis

Total spinal anestesi

Obat 5–10x lebih banyak untuk level analgesi yang sama 2

48

Page 49: REFERAT ANASTESI

III. PENUTUP

a. Kesimpulan

Tekhnik anestesi yang digunakan pada operais Caesar dengan penyulit

berupa penykit decompensatio cordis, sebenarnya dapat dilakukan dengan

General anestesi dan regional anestesi. Kedua cara tersebut, memiliki resiko

yang cukup besar bagi penderita. Hal ini disebabkan pada penderita

mengalami gangguan hemodinamik yang cukup berat.

49

Page 50: REFERAT ANASTESI

DAFTAR PUSTAKA

1. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart

failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49.

2. Cooper GM. Anesthesia and Analgesia for obstetric care. In: Cohen PJed. A

practice of Anaesthesia 6 edition.Boston: Edward Arnold,1995:1292-3.

3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and

epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.

4. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management: diuretics,

ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31

5. Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure Management: digoxin

and other inotropes, _ blockers, and antiarrhythmic and antithrombotic treatment.

BMJ 2000;320:495-8.

6. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug management.

BMJ 2000;320:366-9.

7. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older

patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.

8. Glosten B. Anaesthesia for Obstetric. In: Miller RD, ed. Anaesthesia. 5 th ed. .

Philadelphia Churchill Livingstone.2000:2024-67.

9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in general

practice. BMJ 2000;320:626-9.

10. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:

pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.McNamara DM. Neurohormonal and

cytokine activation in heart failure. In: Dec GW, editors. Heart failure a

comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;

2005.p.117-36.

11. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors.

Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York:

Marcel Dekker; 2005.p.449-65.

12. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological

50

Page 51: REFERAT ANASTESI

management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements

2005;7 (Supplement J):J15-J20.

13. Mikhael MS. Obstetric Anaesthesia. In: Morgan GE ed. Clinical Anesthesiology

1st edition. Los Angles: Prentice Hall International,1992:622.

14. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: acute and

chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.

15. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure –

full text the task force on acute heart failure of the european society of

cardiology. Eur Heart J 2005.

16. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and

restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis

and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.

17. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey KR,

Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in incidence and

survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29- 34.

18. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and

complications. BMJ 2000;320:236-9.

19. Williams Obstetrics. Edisi ke-14. Appleton Century-Crofts, New York, 1971,

halaman 1163-1190.

51