Analisa Kasus

download Analisa Kasus

of 7

Transcript of Analisa Kasus

TUGAS MATA KULIAH POPULATION AND FAMILY HEALTH.OLEH : SHEILLA VIRARISCA MARIANUS MAU KURU KELOMPOK 2, KELAS BKKBN CASE IV. Request for Medically Assisted Reproduction. A. Abstraksi Tidak semua pasangan usia subur (PUS), memiliki reproduksi yang sehat dalam pengertian memiliki kesuburan yang siap dibuahi atau membuahi. Untuk mengatasi hal tersebut sebagian besar PUS memilih untuk mendapatkan anak melalui konsepsi buatan. Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 32 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 16 ayat 1 dan 2 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia pasal 10 ayat 1, hanya membolehkan cara konsepsi buatan melalui suatu perkawinan yang sah. Sehingga cara-cara konsepsi buatan melalui donor sperma orang lain yang bukan suami isteri yang sah adalah perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan HAM yang berlaku di Indonesia. B. Latar Belakang. Salah satu butir kesepakatan ICPD Cairo 1994 adalah Hak reproduksi dan kesehatan reproduksi termasuk masalah KB dan kesehatan seksual. ICPD Cairo memberikan defenisi tentang kesehatan reproduksi sebagai berikut Kesehatan Reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan. Selain itu masalah kesehatan reproduksi juga dibicarakan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh The International Islamic Center for Population Studies and Research di Universitas Cairo, Mesir pada November 2000, menyatakan bahwa In Vitro Fertilization (IVF) diperbolehkan kecuali bila menggunakan sperma, ovum atau embrio yang berasal dari pihak donor. Hal-hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa masalah kesehatan reproduksi adalah hal penting dan merupakan hak setiap orang, terutama bagi pasangan suami isteri untuk mencapai kesejahteraan yang telah menjadi perhatian global.

Setiap pasangan suami-isteri yang telah menikah selalu menginginkan untuk memiliki anak atau keturunan. Anak dapat diperoleh melalui hubungan intim suami dan isteri (anak kandung) atau dapat dilakukan dengan cara mengadopsi anak dari pasangan lain (anak angkat/anak piara). Namun yang sangat diharapkan oleh setiap pasangan adalah memiliki anak kandung. Namun dalam kenyataan hidup, ada pasangan yang isterinya tidak dapat hamil karena adanya gangguan infertilitas/ketidaksuburan pada salah satu diantara pasangan tersebut baik isteri maupun suami. Sehingga harapan untuk mendapatkan anak melalui hubungan intim suami isteri sulit tercapai. Hal ini mendorong pasangan yang mengalami masalah infertilitas untuk mencari jalan keluar, yang salah satu caranya adalah melaui konsepsi buatan atau bayi tabung. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi terutama dibidang kedokteran, telah berhasil melakukan konsepsi buatan. Penyelidikan IVF dimulai di Inggris oleh Robert Edwards dan Patrick Steptoe, yang berhasil melahirkan bayi tabung pertama di dunia pada tahun 1978, diikuti bayi tabung kedua (pertama di Amerika Serikat) pada tahun 1981 di Norfolk. Sedangkan di Indonesia bayi tabung pertama lahir pada tanggal 2 Mei 1988 di Jakarta oleh program Melati RSAB Harapan Kita, (Hanifa Wiknosastro, Ilmu Kebidanan, hal 937). Dengan demikian pada dasarnya konsepsi buatan atau bayi tabung diperbolehkan sepanjang tidak melanggar norma, agama, etika, hukum, dan HAM serta memenuhi persyaratan medis. C. Pembahasan. 1. Pengertian/Konsep Fertil, Infertil, Sub Fertil, Oligospermia dan konsepsi buatan. a. Secara harafiah fertil dapat diartikan sebagai subur yang sanggup dibuahi atau membuahi. b. Infertil dapat diartikan sebagai tidak subur yang tidak sanggup dibuahi atau membuahi. c. Sub Fertil adalah keadaan dimana masih terdapat sebagian sperma yang masih baik kualitasnya. d. Oligospermia adalah jumlah sel mani yang kurang dalam air mani. e. Konsepsi buatan adalah peristiwa bertemunya sel sperma dan sel telur atau ovum yang bukan melalui hubungan intim suami isteri. 2. Analisis Kasus. Tuan dan Nyonya H telah menikah selama 10 tahun dan hingga kini belum memiliki seorang anak. Pemeriksaan medis menunjukkan bahwa Tn. H sub fertile, dimana sperma yang diproduksi oleh testisnya tidak

dapat bergerak dengan baik. Tn.H dan Ny.H memiliki hubungan pernikahan yang harmonis, tetapi Ny. H tetap bersikeras untuk memiliki anak dari darah dagingnya sendiri. Mereka telah memutuskan untuk tidak melakukan adopsi, dan sedang mempertimbangkan untuk memperoleh anak melalui inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor. Walaupun begitu, mereka tetap khawatir tentang hak anak mereka nanti untuk memiliki ayah alami (sebagai anak dari Tn. H) atau hak untuk tidak memberitahukan siapa ayah biologisnya. Mereka memohon pendapat dan kemungkinan bantuan dari Dr. A untuk merencanakan inseminasi buatan dengan menggunakkan sperma donor. Bantuan dan nasehat apa yang seharusnya Dr. A sampaikan kepada pasangan suami isteri tersebut, terkait dengan pertimbangan aspek medis, etika, hukum dan hak asasi manusia ? Berkaitan dengan kasus tersebut diatas, maka dapat dianalisis sebagai berikut : a. Ditinjau dari aspek medis (medical). Bila ditinjau dari aspek medis, pasangan suami isteri yang dapat melakukan IVP adalah pasangan yang mengalami masalah infertilitas. Penyebab infertilitas pada pria ada 2 macam yaitu tidak mampu melakukan hubungan seksual secara benar, meskipun memiliki kualitas dan kuantitas sperma yang baik, atau sebaliknya pria yang mampu berhubungan seksual dengan baik tetapi semennya berisi spermatozoa yang abnormal. Dalam kaitannya dengan kasus Tn.H dan Ny. H, maka Dr.A sebaiknya menyarankan agar pasangan suami-isteri tersebut tidak melakukan inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor, karena mereka masih dapat melakukan inseminasi buatan dengan menggunakan sperma Tn. H sendiri, karena kondisi sperma Tn. H masih dalam status subfertil, dimana terdapat sebagian sperma yang masih baik dari aspek kualitas dan kuantitas. Selanjutnya dalam kondisi ini,sperma Tn. H dapat diambil melalui teknik Testicular Sperm Extraction (TESE) yaitu sperma diambil langsung dari testis. Kemudian dilakukan teknik Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) yaitu satu sperma Tn.H yang terbaik disuntikan ke satu sel telur Ny. H, dengan menggunakkan sebuah pipet khusus. Setelah terjadi pembuahan maka hasil pembuahan (embrio) tersebut akan ditanamkan ke rahim Ny. H. b. Dari segi etis (ethical). Komisi Etik dari berbagai Negara memberi pandangan dan pegangan terhadap hak reproduksi dan etika dalam rana reproduksi manusia dengan memperhatikan beberapa asas yaitu : 1. Niat untuk berbuat baik (beneficence)

2. Bukan untuk kejahatan (non maleficence) 3. Menghargai kebebasan individu untuk mengatasi takdir (autonomy) 4. Tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku (Justus). (F. A Moeloek, Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) Berkaitan dengan kasus diatas, maka saran yang perlu diberikan oleh Dr. A harus berdasarkan empat butir asas tersebut diatas. Oleh karena itu saran yang sebaiknya disampaikan oleh Dr. A, kepada keluarga Tn. H adalah melakukan bayi tabung melalui sperma Tn. H sendiri. Karena hal tersebut tidak melanggar etika, dan secara biologis anak yang nanti lahir dari hasil bayi tabung merupakan anak kandung, yang secara phisikologis memiliki hubungan kasih sayang timbal balik yang sempurna antara anak dan orang tua (ayah). Dari pada anak yang dilahirkan dari sperma donor akan menimbulkan hubungan kasih sayang semu antara anak dan Tn. H. c. Dari aspek Legal/Hukum. Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 16 ayat 1 dan 2 mengamanatkan : Ayat 1) Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai uapaya terakhir untuk membantu pasangan suami - isteri mendapatkan keturunan. Ayat 2) Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami - isteri yang sah dengan ketentuan : Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami - isteri yang bersangkutan, ditanam dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. Berdasarkan ayat 1 dan 2 pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 tersebut, maka saran yang seharusnya disampaikan oleh Dr. A kepada keluarga Tn. H adalah melakukan bayi tabung dari sperma Tn. H, karena hal tersebut sangat legal dan tidak melanggar hukum. Karena itu sel sperma Tn H sendiri yang harus dipertemukan dengan sel telur sang isteri yang sah. Tetapi kalau mengambil sperma orang lain yang tidak memiliki hubungan perkawinanan yang sah maka itu tidak legal dan merupakan perbuatan melawan hukum. d. Dari aspek HAM. Bila Dr. A menyarankan untuk melakukan bayi tabung melalui sperma Tn. H sendiri, maka Dr. A telah menghormati Hak Asasi Manusia dari Keluarga Tn. H. Karena Dr. A dapat melaksanakan pasal 10 ayat 1 dari UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

yang berbunyi Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah. Jadi kalau melanjutkan keturunan melalui donor sperma orang lain yang bukan berdasarkan perkawinan yang sah maka itu adalah pelanggaran HAM. Selain itu Dr. A juga melaksanakan pasal 14 ayat 1 dan 2 dari UU No. 29 tentang HAM, yang berkaitan dengan hak memperoleh informasi, yang berbunyi : Ayat 1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Ayat 2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memilki, menyimpan , mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan sejenis sarana yang tersedia. Hal itu menunjukkan bahwa Dr. A telah melakukan kewajiban sebagai seorang dokter dalam menyampaikan informasi yang benar sesuai hak dan kebutuhan keluarga Tn. H berdasarkan ketentuan HAM yang berlaku. Bila ditinjau dari hak reproduksi, maka kasus Tn. H dan Ny. H yang menginginkan anak melalui reproduksi buatan (bayi tabung) merupakan perwujudan dari hak reproduksi mereka. Hak reproduksi ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dimana dalam kasus ini, Tn.H dan Ny. H memiliki hak-hak reproduksi antara lain: hak untuk membangun dan merencanakan keluarga (memiliki keturunan), hak dalam menentukan jumlah anak dan kelahiran, hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan hak untuk mendapatkan kesehatan reproduksi/pelayanan kesehatan reproduksi, (hak-hak Reproduksi tersebut tercantum dalam ICPD Cairo 1994). Sedangkan dalam kaitannya untuk mewujudkan hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi, maka dengan diperbolehkannya pasangan tersebut mengikuti program bayi tabung, sudah merupakan perwujudan dari hak tersebut. Dimana keberhasilan program bayi tabung merupakan suatu kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan reproduksi.

D. Kesimpulan.

Dari uraian berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Dalam menyelesaikan suatu kasus, perlu dikaji secara mendalam dari berbagai aspek, sehinga masalah yang diselesaikan tidak menimbulkan masalah baru. 2. Dokumen kebijakan atau peraturan selalu menjadi dasar acuan dalam penyelesaian kasus, meskipun kadang terjadi benturan antara aturanaturan yang berlaku. 3. Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 32 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 16 ayat 1 dan 2 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia pasal 10 ayat 1, hanya membolehkan cara konsepsi buatan melalui suatu perkawinan yang sah. Sehingga caracara konsepsi buatan melalui donor sperma orang lain yang bukan suami isteri yang sah adalah perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan HAM yang berlaku di Indonesia.

Daftar Pustaka 1. BKKBN, UNFPA, KB, KR, Gender dan Pembangunan Kependudukan, Jakarta, 2005. 2. F. A. Moeloek, Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia. 3. Hanifa Wiknjosastro, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirirohardjo, Jakarta, 2005. 4. Sentosa Sembiring, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, Nuansa Aulia, 2006 5. Siti Maimuna, Kamus Istilah Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran, 2005