Airway Management

87
Airway Management Kepaniteraan Anestesi FK Ukrida RS Imannuel Periode 28 Maret - 30 April 2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penatalaksanaan jalan napas dan intubasi trakea merupakan pengetahuan dasar bagi seorang dokter anestesi yang berkaitan dengan penguasaan jalan napas dalam mempertahankan fungsi respirasi yang pada umumnya sangat berhubungan dengan tindakan gawat darurat dan anestesi umum. Perhatian dan penatalaksanaan jalan nafas adalah bagian terpenting dari seluruh perawatan bedah, apakah di kamar operasi, ruang pemulihan paska pembedahan, maupun di unit perawatan intensif (Ovassapian, Meyer, 1992; Benumof, 1993). Banyak disiplin ilmu kedokteran mengenai penanganan jalan nafas yang biasanya diterapkan dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan data tentang morbiditas dan mortalitas yang signifikan mengatakan bahwa gangguan pernafasan dan penanganan jalan nafas yang tidak benar akan mempengaruhi hasil anestesi dalam praktek klinis. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa 12 dari 27 kasus henti jantung pada durante operasi dipengaruhi oleh penanganan jalan napas yang tidak baik. Kegagalan dari pengelolaan jalan napas dalam beberapa menit menghasilkan kerusakan otak, atau bahkan kematian. Tidaklah mengherankan bila lebih dari 85% salah kelola pernafasan mengakibatkan kerusakan otak, bahkan kematian (Benumof, 1993). Selama 3 dekade terakhir, kematian yang 1

description

reargva

Transcript of Airway Management

Page 1: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penatalaksanaan jalan napas dan intubasi trakea merupakan pengetahuan dasar bagi

seorang dokter anestesi yang berkaitan dengan penguasaan jalan napas dalam

mempertahankan fungsi respirasi yang pada umumnya sangat berhubungan dengan tindakan

gawat darurat dan anestesi umum. Perhatian dan penatalaksanaan jalan nafas adalah bagian

terpenting dari seluruh perawatan bedah, apakah di kamar operasi, ruang pemulihan paska

pembedahan, maupun di unit perawatan intensif (Ovassapian, Meyer, 1992; Benumof, 1993).

Banyak disiplin ilmu kedokteran mengenai penanganan jalan nafas yang biasanya diterapkan

dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan data tentang morbiditas dan mortalitas yang

signifikan mengatakan bahwa gangguan pernafasan dan penanganan jalan nafas yang tidak

benar akan mempengaruhi hasil anestesi dalam praktek klinis. Keenan dan Boyan

melaporkan bahwa 12 dari 27 kasus henti jantung pada durante operasi dipengaruhi oleh

penanganan jalan napas yang tidak baik.

Kegagalan dari pengelolaan jalan napas dalam beberapa menit menghasilkan

kerusakan otak, atau bahkan kematian. Tidaklah mengherankan bila lebih dari 85% salah

kelola pernafasan mengakibatkan kerusakan otak, bahkan kematian (Benumof, 1993). Selama

3 dekade terakhir, kematian yang dihubungkan dengan tindakan anestesi mungkin menurun,

tetapi musibah yang ada kaitannya dengan jalan nafas ditunjukkan secara jelas pada

rangkaian kematian karena tindakan anestesi. Dilaporkan oleh Green dan Taylor, seperti

yang dikutip Wright, Major (1992) bahwa setelah dianalisa antara periode tahun 1977-1982,

kematian atau kerusakan otak yang disebabkan karena tindakan anestesi lebih dari sepertiga

kasus tersebut dihubungkan dengan sumbatan jalan nafas, intubasi yang sulit atau salah

intubasi sehingga masuk esophagus.

Penelitian yang pernah dilakukan di Australia, Belanda dilaporkan bahwa musibah jalan

nafas terjadi 69 % kasus, 40 % karena aspirasi cairan lambung, 13 % dihubungkan dengan

pengelolaan jalan nafas dan 4 % karena salah intubasi sehingga masuk esofagus. Sementara

oleh Perhimpunan Anestesi Amerika dilaporkan 38 % ventilasi tidak adekuat, 18 % salah

intubasi ke esophagus yang tidak diketahui dan 17 % intubasi trakea yang sulit (Wright,

Major, 1992; Stone, 1990).

1

Page 2: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Menurut American Society of Anasthaesiologists (ASA) sumber terbesar dalam tuntutan

malpraktek banyak melibatkan tentang kesalahan penanganan jalan nafas yaitu sebanyak 34%

dari 1541 tuntutan material. Tiga mekanisme yang ikut dalam 75% kejadian yang tidak

diinginkan ialah ventilasi inadekuat (38%), intubasi esophageal (18%), dan kesulitan intubasi

trakea (17%). Kematian dan kerusakan otak merupakan 85% kasus yang dipelajari. Dalam

suatu analisa oleh Cheney et al, 300 tuntutan material datang dari kesalahan manajemen dan

trauma seperti trauma jalan nafas, pneumothoraks, obstruksi jalan nafas, aspirasi, dan

bronkospasme.

Berdasarkan statistik ini penanganan jalan nafas sangat penting terutama pada penjagaan

perioperatif dan langkah-langkah ini harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang

terbaik, yaitu: (1) pemeriksaan fisik dan riwayat jalan nafas; (2) rencana penanganan sebelum

menggunakan alat-alat ventilasi supraglotis seperti sungkup muka, Laryngeal Mask Airway

(LMA); (3) rencana penanganan untuk teknik intubasi dan ekstubasi; (4) rencana alternatif

jika terjadi keadaan gawat darurat.

1.2 Pernafasan

Bernafas/pernafasan merupakan proses pertukaran udara diantara individu dan

lingkungannya dimana O2 yang dihirup (inspirasi) dan CO2 yang dibuang (ekspirasi).

Terdiri dari 4 proses:

1. Ventilasi: pertukaran udara keluar masuk paru-paru. Gangguan pada ventilasi seperti

hipoventilasi terjadi penurunan PO2 dan kenaikan PCO2; hiperventilasi terjadi penurunan

PCO2, tetapi PO2 tidak naik. Hipoventilasi sering terjadi di klinik karena ada gangguan

pada :

Jalan nafas atas: obstruksi, aliran udara terhambat.

Rongga toraks: gangguan gerak karena nyeri operasi, fraktur costae, plester

lebar, pneumotoraks dan efusi pleura.

Jaringan paru: atelektasis.

Otot nafas: paralisis diafragma atau otot nafas lain karena obat pelumpuh otot,

miastenia gravis.

Saraf nafas: kerusakan n. Phrenicus, polio, anestesi spinal.

2

Page 3: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Pusat nafas: depresi sentral pernafasan karena obat anestesi, narkotika, sedatif,

trauma, alkohol.

2. Dengan pemberian O2, hipoksia berkurang (PO2 naik) tetapi PCO2 tetap atau naik. Pada

hipoventilasi ringan pemberian O2 sangat bermanfaat. Sedangkan pada hipoventilasi

berat justru mengakibatkan apnea paradoksal, yaitu penderita jadi apnea setelah diberi

oksigen. Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah:

membebaskan jalan nafas.

memberikan oksigen.

menyiapkan nafas buatan.

terapi penyebabnya.

3. Distribusi: pembagian udara ke cabang-cabang bronkus. Gangguan distribusi

disebabkan oleh:

retensi sputum menyebabkan obstruksi alveoli, bronkioli, hipoventilasi,

dan

atelektasis.

aspirasi, masuknya benda asing ke jalan nafas.

bronkospasme karena asma bronkiale atau alergi.

4. Difusi: peresapan masuknya oksigen dari alveoli ke darah dan pengeluaran CO2 dari

darah ke alveoli. Difusi oksigen berjalan lancar bila alveoli mengembang baik dari

jarak disfusi trans-membran pendek. Edema menyebabkan jarak difusi oksigen

menjauh hingga kadar O2 dalam darah menurun (hipoksemia). Difusi CO2 tidak

pernah terganggu karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar daripada oksigen. Pada

edema paru tahap awal terjadi penumpukan cairan dalam jaringan di sekitar alveoli

dan kapiler (edema interstisial). Pada tahap lanjut cairan masuk ke dalam alveoli

(edema alveolar).

3

Page 4: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

5. Perfusi: aliran darah yang membawa O2 ke jaringan. Aliran darah di kapiler paru

(perfusi) ikut menentukan jumlah O2 yang dapat diangkut. Masalah timbul jika terjadi

ketidak-seimbangan antara ventilasi alveoli (VA) dengan perfusi (Q) yang lazim

disebut ketidak-seimbangan VA/Q. Dapat terjadi :

ventilasi normal, perfusi normal → semua O2 diambil darah.

ventilasi normal, perfusi kurang → ventilasi berlebihan, tak semua O2 sempat

diambil. Unit ini dinamai dead space yang terjadi pada syok dan emboli paru.

ventilasi berkurang, perfusi normal. Darah tidak mendapat cukup oksigen

(desaturasi). Unit ini disebut shunt. Terjadi pada atelektasis, edema paru,

ARDS dan aspirasi cairan.

silent unit: tidak ada ventilasi dan perfusi. Bila unit dead space banyak,

penderita kekurangan oksigen, merasa sesak tetapi PO2-nya mungkin normal.

Bila shunt unit banyak, penderita merasa sesak dan PO2-nya menurun. Pada

keadaan normal, shunt hanya 1 – 2% dari sirkulasi. Gejala sesak mulai timbul

jika shunt > 5%. Bila saturasi

< 80% maka PO2 < 50 mmHg, penderita akan sianosis. Kadar O2 inspirasi harus

ditingkatkan jika jumlah shunt meningkat.

Paru merupakan organ penting bagi tubuh yang mempunyai fungsi utama sebagai alat

pernafasan (respirasi). Proses pernafasan yaitu pengambilan oksigen dari udara luar dan

pengeluaran CO2 dari paru–paru. Sistem pernafasan membawa udara melewati hidung ke

dalam alveoli. Di rongga hidung udara dibersihkan dari debu ukuran 2 – 10 u, dipanaskan dan

dilembabkan oleh bulu dan lendir hidung sebelum masuk ke trakea. Debu yang lolos

ditangkap oleh lendir dari sel-sel mukosa di bronkus dan bronkioli, set silia mukosa ini

bergerak berirama mendorong kotoran keluar dengan kecepatan 16 mm/menit.

Proses transfer oksigen setelah sampai di alveoli terjadi proses difusi oksigen ke

eritrosit yang terikat oleh hemoglobin sejumlah 20 ml/100 ml darah dan sebagian kecil larut

dalam plasma 0,3 ml/ 100 cc, jika Hb 15 gr % dan sebaliknya karbon dioksida dari darah

dibawa ke alveoli untuk dikeluarkan melalui udara ekspirasi.

4

Page 5: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Proses ventilasi (keluar masuknya udara) didukung oleh unsur-unsur jalan nafas,

jaringan paru, rongga toraks, otot nafas dan saraf nafas. Paru berada dalam rongga pleura

yang tekanannya selalu negatif selama siklus nafas (tekanan udara di luar dianggap = 0). Paru

mengembang sampai menempel pada pleura. Bila tekanan rongga pleura jadi positif, paru-

paru akan kolaps. Otot diafragma melakukan 75% ventilasi, sisanya oleh otot pernafasan

sekunder : intercostali, sterno-cleido-mastoidus, sealenus.

Otot ekspirasi sekunder adalah otot-otot dinding perut. Gangguan otot dijumpai pada

miastenia gravis atau penggunaan obat pelumpuh otot (muscle-relaxant) selama anestesi.

Pada respiratory distress (sesak nafas berat) tubuh menggunakan otot-otot nafas tersebut

sehingga akan tampak gerakan pada otot-otot leher, wajah dan sela-sela iga. Penderita yang

sudah memakai otot nafas sekunder sebenarnya sudah perlu bantuan nafas buatan mekanik.

Pusat nafas di medulla oblongata bekerja otomatik memerintah sistem pernafasan. Selain itu

ada rangsangan-rangsangan yang mempengaruhi pusat pernafasan.

5

Page 6: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

BAB II

ANATOMI SISTEM PERNAFASAN

2.1 Anatomi Sistem Pernapasan

Sistem pernafasan pada dasarnya dibentuk oleh jalan atau saluran nafas dan paru-paru

beserta pembungkusnya (pleura) dan rongga dada yang melindunginya. Di dalam rongga

dada terdapat juga jantung di dalamnya. Rongga dada dipisahkan dengan rongga perut oleh

diafragma.

A. Saluran Nafas Atas

1. Hidung

Terdiri atas bagian eksternal dan internal.

Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan

kartilago.

Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga

hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum.

Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak

mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung.

6

Page 7: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Permukaan mukosa hidung dilapisi oleh sel-sel goblet yang mensekresi lendir

secara terus menerus dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia.

Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-

paru.Hidung juga berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta

menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru.

Hidung juga bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor

olfaktori terletak dalam mukosa hidung, dan fungsi ini berkurang sejalan dengan

pertambahan usia.

2. Mulut

Terdiri dari rongga mulut, lidah, dan gigi geligi.

3. Faring

Faring atau tenggorok merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan

hidung dan rongga mulut ke laring.

Faring dibagi menjadi tiga region : nasal (nasofaring), oral (orofaring), dan laring

(laringofaring).

Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratorius dan

digestif.

4. Laring

Laring atau organ suara merupakan struktur epitel kartilago yang menghubungkan

faring dan trakea.

Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas :

i. Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring

selama menelan.

ii. Glotis : ostium antara pita suara dalam laring.

iii. Kartilago tiroid : kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini

membentuk jakun (Adam's apple).

iv. Kartilago krikoid : satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring

(terletak di bawah kartilago tiroid).

7

Page 8: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

v. Kartilago krikotiroid : penghubung kartilago tiroid dan cincin krikod. Pada

orang dewasa ukurannya ± 0,9 x 3 cm.

vi. Kartilago aritenoid : digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago

tiroid.

vii. Pita suara/ plika vokalis : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang

menghasilkan bunyi suara (pita suara melekat pada lumen laring).

Merupakan tempat insersi luar dari ETT.

Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi.

Laring juga berfungsi melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing

dan memudahkan batuk.

Otot-otot laring dapat dibagi 2 kelompok :

i. Otot-otot untuk membuka dan menutup glottis antara lain m.

Cricoarythenoid lateral, m. Cricoarythenoid posterior, dan m. arythenoid

transversal.

ii. Otot-otot yang mengontrol tegangan ligamentum vokalis antara lain m.

cricothyroid, m. vokalis dan m. thyroarythenoid.

Persyarafan / inervasi :

i. Sensoris :

- N. Glossopharingeus (N.IX)

Mensyarafi / menginervasi permukaan lidah bagian belakang, oropharing,

pharing, dan oesophagus.

- N. Laringeus Superior (cabang N.X)

Mensyarafi mukosa epiglottis sampai mukosa plika vokalis.

- N. Laringeus Recurrent (cabang N.X)

Mensyarafi mukosa di bawah plika vokalis ke trakea.

ii. Motoris :

- Cabang eksternal N. Laringeus Superior yang mensyarafi m. Cricothyroid.

- N. Laringeus Recurrent yang mensyarafi semua otot intrinsik laring,

kecuali m. cricothyroid.

4. Trakea

Disebut juga batang tenggorok.

8

Page 9: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Merupakan pipa yang terdiri dari jaringan fibromuskuler, dan diperkuat oleh 20

kartilago berbentuk U. Pada orang dewasa panjangnya ± 10-12 cm dengan

diameter ± 20 mm.

Ujung trakea bercabang menjadi dua bronkus yang disebut karina.

B. Saluran Nafas Bawah

1. Bronkus

Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri.

Saluran bronkus kanan, pada orang dewasa panjangnya ± 2,5 cm dan sudut

kemiringan ± 25º. Saluran bronkus kiri, panjangnya ± 5 cm dengan sudut

kemiringan ± 45º.

Disebut bronkus lobaris kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus).

Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris

kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental.

Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental

yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki: arteri, limfatik dan saraf.

2. Bronkiolus

Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus.

Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang

membentuk

selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.

3. Bronkiolus Terminalis

Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak

mempunyai kelenjar lendir dan silia).

4. Bronkiolus Respiratori

Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori.

Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara jalan nafas

konduksi dan jalan udara pertukaran gas.

5. Duktus alveolar dan Sakus alveolar

9

Page 10: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus

alveolar dan kemudian menjadi alveoli.

6. Alveoli

Merupakan tempat pertukaran O2 dan CO2

Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu lembar akan seluas

70 m2

Terdiri atas 3 tipe :

i. Sel-sel alveolar tipe I: adalah sel epitel yang membentuk dinding

alveoli.

ii. Sel-sel alveolar tipe II: adalah sel yang aktif secara metabolik dan

mensekresi surfaktan (suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam

dan mencegah alveolar agar tidak kolaps).

iii. Sel-sel alveolar tipe III: adalah makrofag yang merupakan sel-sel

fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan paru.

Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut.

Terletak dalam rongga dada atau toraks.

Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan

beberapa pembuluh darah besar.

Setiap paru mempunyai apeks dan basis.

Paru kanan lebih besar dan terbagi menjadi 3 lobus oleh fisura interlobaris,

Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus.

Lobus-lobus tersebut terbagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan

segmen bronkusnya.

2.2 Saluran Napas Anak Versus Orang Dewasa

Anatomi jalan nafas pada orang dewasa sangat berbeda dengan jalan nafas pada bayi

dan anak-anak, yang sangat berpengaruh terhadap teknik intubasi. Perbedaan tersebut dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

10

Page 11: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Anak Dewasa

Kepala Relatif lebih besar Relatif lebih kecil

Lidah Relatif lebih besar Relatif lebih kecil

Epiglotis Panjang, tipis, kaku, bentuk U,

membentuk sudut 45º terhadap

trakea

Lebih pendek, luas, lebih

fleksibel, datar, sejajar

dengan trakea

Pintu masuk

Laring

Setinggi C3-C4 junction Setinggi C4-C5 junction

Cricoid Setinggi C4-C5 junction Setinggi C6

Daerah tersempit

pada Laring

Cincin cricoid Rima glottidis

2.3 Axis Saluran Pernapasan

Pada intubasi, selain harus memahami anatomi otot, syaraf, kartilago dan ligamentum

yang terdapat pada jalan nafas, perlu pula mengetahui posisi anatomis rongga mulut, nasal,

pharing, dan laring, terutama pada posisi supine. Dari pemahaman mengenai posisi ini dapat

dibuat axis dari rongga mulut, pharing, dan laring untuk mempermudah pelaksanaan intubasi.

Untuk dapat memvisualisasikan glottis dengan baik, axis-axis tersebut diusahakan

bisa mendekati segaris, misalnya dengan mengangkat kepala ± 10 cm dengan bantal

(mendekatkan axis pharing dan laring), serta mengekstensikan kepala.

Dikenal 2 manuever untuk menempatkan kepala dalam posisi yang baik, sehingga

axis jalan nafas mendekati garis lurus :

1. Posisi Klasik dari Jackson

Posisi ini dipakai pada saat akan dilakukannya suspension laryngoscopy. Pasien

dibaringkan terlentang, dengan bahu berada di dekat tepi meja operasi, dan dibawah bahu

diberikan sebuah bantal. Kepala dan leher diekstensikan maksimal. Menurut Jackson (1913)

“ Kepala pasien harus dalam keadaan ekstensi maksimal, dimana vertex ditekan ke bawah,

sehingga leher tertarik ke atas dan oksiput berada sedekat mungkin dengan vertebra

servikalis.”

11

Page 12: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Efek dari maneuver ini pada axis jalan napas dapat dilihat pada gambar di bawah.

Dalam posisi ini, saat lidah dan epiglottis terangkat untuk menyatukan axis laryngeal dan

faringeal, ekstensi tidak dilakukan. Tindakan ini mungkin rumit dan irrasional. Lebih jauh

lagi, saat blade dari laryngoscope masuk ke laring, gambaran yang terlihat adalah esophagus

dan bagian posterior dari laring. Epiglottis biasanya menutupi pandangan.Untuk dapat

menelusuri bagian anterior dari laring dan glottis, lidah dan epiglottis harus dinaikkan dan

laryngoscope harus ditempelkan pada gigi. Manuever ini berbahaya karena perlu kekuatan

dalam mengerjakannya.

2. Posisi Amended

Kepala dinaikkan lebih tinggi dari meja operasi dengan bahu tetap menempel di meja

operasi. Jika kepala dinaikkan ± 5 cm dengan menempatkan bantal dibawah oksiput, axis

pharyngeal dan laryngeal akan bertemu. Tulang cervical sekarang berada dalam posisi lurus.

Lebih jauh lagi, posisi ini memperkecil tarikan dari otot leher dan menurunkan jarak dari gigi

ke glottis. Posisi seperti ini disebut “Posisi Menarik Napas”. Posisi kepala seperti ini tampak

seperti posisi seorang tentara yang berdiri dengan rahangnya menganjur lurus ke depan.

Posisi ini merupakan posisi anatomis yang benar untuk meluruskan saluran nafas, dan baik

untuk laryngoscopy dan intubasi.

Selanjutnya, kepala diekstensikan di sendi atlanto-oksipital. Semua axis akan menyatu

sekarang, tetapi lidah dan epiglottis mengganggu lintasannya. Blade dari laryngoscope akan

menganggkat lidah dan epiglottis, sehingga bagian yang tadinya tertutup menjadi jelas.

Sebenarnya kepala pasien tertarik oleh blade laryngoscope yang menyentuh dasar lidah dan

puncaknya yang berada di balik epiglottis. Jangan melakukan gerakan mengungkit dengan

gigi sebagai tumpuannya.

Pada saat itu, orang awam sering menganggap laring berada di depan. Scara anatomis,

hal ini merupakan pemikiran yang salah, dan masalah ini berhubungan dengan gerakan

mengungkit yang terlalu keras. Gerakan mengungkit harus dikembangkan; tendensi untuk

penekanan yang tidak penuh terhadap laring posterior hanya akan mengaburkan pandangan

ke depan. Untuk memudahkan penglihatan akan laring dan menciptakan kemudahan saat

memasukkan ETT, ‘Salem Manuever’ direkomendasikan. Hal ini hanya mencakup cephalad

displacement dari laring. Manuever ini dapat dikombinasikan dengan Sellick Manuever.

12

Page 13: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

BAB III

AIRWAY MANAGEMENT

3.1 Penilaian Jalan Nafas

A. ANAMNESA

Hal-hal penting dari riwayat penyakit atau kelainan sebelumnya yang dapat

mempengaruhi manajemen atau pengelolaan jalan nafas, antara lain riwayat :

- Trauma di cervical, daerah maksila, mandibula atau daerah nasal.

- Pemberian atau perlakuan anestesi sebelumnya, misalnya riwayat

intubasi sebelumnya, ventilasi atau teknik intubasi yang dipergunakan

sebelumnya.

- Operasi kepala atau leher atau riwayat radiasi sebelumnya.

- Symptom spesifik yang berhubungan dengan keadaan jalan nafas,

misalnya hoarnesess, stridor, disphagia, dispnea, dll.

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Perlu diperiksa hal-hal yang kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya kesulitan

intubasi, misalnya :

a. Ketidakmampuan membuka mulut

b. Kemampuan fleksi-ekstensi kepala dan leher (gerak vertebra cervical).

c. Mandibula yang terlalu ke belakang (mikrognatia), atau maksila yang terlalu ke

depan

d. Gigi seri yang menonjol ke depan (prominant incisors)

e. Leher pendek; Jarak atlanto-oksipital terlalu sempit

g. Lidah yang terlalu besar

h. Tumor pada jalan nafas, bisa menekan dan menyebabkan deviasi jalan nafas.

i. Down syndrome, terdapat mikroglossia dan instabilitas atlantoaxial.

j. Skleroderma, keterbatasan gerak mandibula dan gerakan buka mulut.

13

Page 14: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

k. Akromegali, akibat gangguan dari hormone pertumbuhan, dapat menyebabkan

hipertrofi mandibula, lidah, epiglottis dan plika vokalis.

l. Anomali kongenital, misalnya labiognatopalatoscisis.

2. Injury pada muka atau leher.

3. Tanda-tanda umum Acute Airway Compromise (kecurigaan adanya gangguan jalan nafas

akut), misalnya adanya anxiety, nafas cuping hidung, perubahan respirasi rate, dll.

4. Pemeriksaan kepala dan leher :

a. Hidung

Untuk mengetahui patensi nares dengan menutup secara bergantian lubang hidung

kanan dan kiri sambil memerintahkan untuk bernafas pelan tetapi agak kuat.

b. Mulut

Dengan memerintahkan membuka mulut, pasien harus bisa membuka mulut paling

tidak selebar 3 jari. Gigi yang rusak bisa menaikkan resiko tanggal atau lepasnya gigi selama

manipulasi jalan nafas sehingga gigi yang tanggal sebelum dilakukan intubasi, harus

diidentifikasi. Lidah perlu diperiksa apakah ada kelainan atau tidak, karena pada kelainan

kongenital tertentu terdapat kelainan lidah.

c. Leher

- Bila jarak thyromental < 3-4 jari, ada perkiraan terjadi kesulitan untuk

memvisualisasikan trakea/ plika vokalis.

- Mobilitas vertebra cervicalis, dagu pasien harus mampu menyentuh dinding dada

dan mampu mengekstensikan leher ke belakang sejauh mungkin.

- Penilaian jalan nafas bisa dengan menggunakan sistem Mallampaty test berdasarkan

hipotesis bahwa lidah tiap individu mempunyai besar atau tebal berbeda sehingga bisa

menutupi laring dan bisa terjadi kesulitan melakukan intubasi.

14

Page 15: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Test Mallampaty :

Adanya kelainan anatomis dan fisiologis dari kepala, rongga mulut, dan leher

merupakan suatu masalah dalam intubasi. Kesulitan dalam melakukan intubasi dapat

diperkirakan dari tidak terlihatnya faucial pillars, uvula, dan palatum pada pangkal lidah.

Pemeriksaannya adalah sebagai berikut. Pada pemeriksaan sebelum tindakan operasi,

pasien dalam posisi duduk dengan kepala menghadap lurus ke depan. Pasien diminta untuk

membuka mulut selebar-lebarnya sambil menjulurkan lidah sejauh mungkin, tetapi tanpa

mengeluarkan suara. Penilaian dari penampakan rongga oro-faringeal dapat membantu ahli

anestesi untuk menggolongkannya ke dalam 3 klasifikasi, yaitu :

Class I dinding orofaring, uvula, dan palatum mole terlihat semua

Class II dinding orofaring dan uvula terlihat sebagian, sedangkan palatum mole

masih terlihat semua

Class III dinding orofaring hanya terlihat sebagian kecil, uvula sudah tidak terlihat,

sedangkan palatum mole masih terlihat semua

Class IV dinding orofaring dan uvula sudah tidak terlihat, sedangkan palatum mole

hanya terlihat sebagian

C. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Pada pasien-pasien yang mempunyai masalah jalan nafas diperlukan penilaian jalan

nafas dengan teliti. Pemeriksaan tambahan yang diperlukan bisa meliputi :

1. Pemeriksaan laringoskopi (direk/ indirek) bisa dilakukan pada pasien sadar dengan

menggunakan anestesi local/ topical.

2. Pemeriksaan Rontgen thoraks dan cervical untuk melihat ada tidaknya deviasi /

penyempitan trakea, dll.

3. Pemeriksaan Tracheal tomography.

4. CT Scan

5. Spirometri, BGA.

15

Page 16: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

3.2 Intubasi Endotrakeal

A. PENDAHULUAN

Preoksigenisasi (yang juga disebut denitrogenation) harus dilatih atau dipraktekkan di

dalam semua kasus. Prosedur ini memerlukan penggantian dari volume nitrogen dari paru-

paru (lebih dari 69% dari kapasitas sisa fungsional [FRC]) dengan oksigen untuk

menyediakan suatu cadangan untuk difusi ke dalam darah kapiler alveoli setelah serangan

dari apnea. Preoksigenisasi dengan 100% O2 dan ventilasi secara spontan dengan sungkup

muka selama 5 menit dapat memberikan cadangan oksigen selama 10 menit pada pasien

apnea (terutama pada pasien tanpa penyakit kardiopulmonalis yang signifikan dan konsumsi

oksigen normal). Dalam satu penelitian, pasien non-obese yang diberikan oksigen 100% pre-

operasi mendapatkan saturasi oksigen lebih dari 90% selama 6-6,5 menit, di mana tubuh

pasien obese sendiri melakukan desaturasi deoksigenisasi di bawah 90% dalam waktu 2,7 ±

0,25 menit. Ruang udara untuk pasien bernafas (21% O2 ) dapat melakukan desaturasi

oksihemoglobin sehingga satu tahap di bawah 90% kira-kira sekitar 2 menit di bawah kondisi

ideal. Pasien dengan gagal nafas, atau kondisi lain yang mempengaruhi metabolisme atau

volume paru, seringkali menunjukkan desaturasi yang lebih cepat karena meningkatnya

ekstraksi O2, penurunan FRC, atau shunt kanan-kiri transpulmonalis. Salah satu sebab kenapa

tidak terjadinya FIO2 alveoli maksimal waktu preoksigenisasi adalah karena tidak memasang

sungkup muka dengan rapat sehingga menyebabkan terdapatnya rongga udara.

Metode yang kurang menyita waktu untuk preoksigenisasi juga telah mulai digunakan

yaitu dengan menggunakan pernafasan dengan 100% kapasitas vital O2 selama 30 detik,

PaO2 (339 torr). Tapi waktu desaturasi biasanya lebih singkat dibandingkan dengan teknik

pernafasan 100% O2 selama 5 menit. Teknik kapasitas vital yang telah dimodifikasi di mana

pasien diminta untuk menarik nafas dalam sebanyak 8 kali dalam waktu 1 menit,

menunjukkan perpanjangan waktu desaturasi.

Insuflasi oksigen faringeal adalah suatu teknik di mana pasien apnea mendapatkan

saturasi kapasitas vital > 90%. Pada teknik ini, oksigen diinsuflasi via kateter yang dipasang

di rongga hidung. Teknik ini tergantung fenomena oksigenisasi apnea, yaitu suatu proses di

mana gas-gas masuk ke dalam rongga alveoli pada saat apnea. Cara ini dapat mensuplai

oksigen yang cukup untuk mendapatkan saturasi hemoglobin dalam jangka waktu yang

16

Page 17: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

panjang. Fenomena ini berdasarkan tekanan intratorasik yang menurun, relatif dengan

tekanan atmosfir, yang menghasilkan kira-kira 210 cm3 oksigen yang berdifusa ke dalam

kapiler alveoli setiap menit di mana 12 cm3 karbon dioksida berdifusi ke rongga alveoli (sisa

karbon dioksida di buffer dalam darah atau jaringan). Karbon dioksida alveolar tidak

disingkirkan dalam situasi ini, sehingga membatasi durasi teknik oksigenisasinya.

Situasi yang ideal untuk melakukan intubasi adalah sebagai berikut :

Mandibula yang mudah digerakkan tanpa adanya batas pada TMJ

Mulut dapat membuka lebar

Penampakan dari mulut, faring, dan uvula terlihat jelas

Ukuran rongga mulut dan lidah normal

Tidak ada kelainan patologis

Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan intubasi :

A. Variasi Anatomi : micrognathia, prognathism, lidah yang besar, palatum yang

melengkung, leher pendek, gigi seri bagian atas yang menonjol, gerakan rahang yang

menurun, mandibula ynag terletak lebih kebelakang (bawah) atau laring yang agak di

depan, leher gemuk yang pendek.

B. Kondisi-kondisi medis berhubungan dengan intubasi-intubasi yang sulit

1. Arthritis : pasien-pasien dengan arthritis memiliki mobilitas leher yang

terbatas. Pada pasien Rheumatoid arthritis memiliki faktor resiko terhadap

atlantoaxial subluxation.

2. Tumor : dapat menghalangi jalan udara atau menyebabkan tekanan dari luar

dan deviasi dari tracheal.

3. Infeksi : dapat menghalangi jalannya udara.

4. Trauma: pasien yang memiliki resiko tinggi adalah pada luka-luka tulang

belakang cervical (berhubungan dengan tengkuk), fraktur basilar tengkorak ,

trauma intracranial, dan fraktur tulang fasial.

5. Sindrom down: pasien-pasien yang memiliki macroglossia, mempunyai

frekuensi obstruksi post operasi yang lebih besar; resiko pada subluksasi pada

sambungan atlanto-occipital.

17

Page 18: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

6. Scleroderma: dapat mengakibatkan penurunan gerakan pada sambungan

temporomandibular dan pembatasan pembukaan mulut yang kecil.

7. Obesitas : kebanyakan tumpukan jaringan lunak di sekitar kepala dan bagian

atas leher dapat merusak mandibula dan mobilitas cervical (berhubungan

dengan tengkuk), yang meningkatkan insiden apnea saat tidur.

Keuntungan dilakukan intubasi :

Menghindari sumbatan jalan napas

Melindungi jalan napas dari benda asing/kotoran

Mengurangi dead space

Mengamankan jalan napas pada operasi-operasi di daerah kepala dan leher

Mempermudah pelaksanaan ventilasi buatan dan mengontrol tekanan intra pulmoner

Sebagai jalan masuk penghisapan sputum yang berada di trakea

Meniadakan ketegangan akibat spasme laring

Memungkinkan ahli anestesi berada jauh dari daerah operasi

Pada keadaan perut penuh dapat mencegah kemungkinan masuknya isi perut ke dalam

trakea

Kerugian dilakukan intubasi :

Bisa menyebabkan trauma di bibir, hidung, tenggorokan dan laring yang

menyebabkan serak, dysphagia, sakit tenggorokan, dll

Perlu penambahan pelumpuh otot

Perlu anestesi yang cukup dalam untuk melakukan intubasi agar aman

Bisa terjadi respon simpatis saat intubasi maupun ekstubasi

Meniadakan mekanisme pelambatan dan penghangatan nasal dan oral

Pemasukan alat ke trakea bisa menyebabkan infeksi

Bila terjadi kesalahan intubasi bisa berbahaya, khususnya pada pasien yang diberi

pelumpuh otot

Bisa terjadi sumbatan jalan napas, bila ETT tersumbat atau terlipat

Bisa terjadi edema glottis/subglotis pada anak-anak dan pada intubasi yang lama

18

Page 19: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Indikasi intubasi endotrakeal :

Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, dan tenggorokan

Pada beberapa operasi abdominal, untuk menjamin pernapasan yang tenang dan

keperluan relaksasi otot/organ intraabdominal

Pada operasi intrathorakal

Bila memerlukan kontrol ventilasi

Pada pasien yang mudah timbul laringospasme atau terjadi obstruksi laring

Pencegahan aspirasi

B. PERLENGKAPAN DAN ALAT-ALAT

Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakeal (Anonim, 1989)

antara lain :

A. Laringoskop

Yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat

memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Kesulitan memasukkan pipa trakea

berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.

Ada dua jenis laringoskop yaitu :

1. Bilah daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.

2. Bilah lengkung (Miller,Magill) untuk anak besar dan dewasa.

19

Page 20: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

B. Pipa Endotrakeal

Pipa endotrakeal mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya

dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam

millimeter. Dikarenakan penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda maka

penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat,

sedangkan dewasa seperti huruf D, serta untuk bayi tidak menggunakan kaf ( cuff ) dan untuk

dewasa menggunakan kaf agar tidak terjadi kebocoran. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui

mulut ( orotracheal tube ) atau melalui hidung ( nasotracheal tube ).

Pipa endotrakeal terbuat dari karet atau plastik, pipa plastik yang sekali pakai

biasanya tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala

dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.

Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil

cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler,

sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang

lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa

balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah

tulang rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian

tersempit adalah trakhea. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan

melihat besarnya jari kelingking.

Cara memilih pipa endotrakeal untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakeal ( mm ) = 4.0 + ¼ umur ( tahun )

Panjang pipa orotrakeal ( cm ) = 12 + ½ umur ( tahun )

Panjang pipa nasotrakeal ( cm ) = 12 + ½ umur ( tahun )

20

Page 21: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Pipa Endotrakeal dan Peruntukannya

Usia Diameter ( mm ) Scala French Jarak Sampai Bibir

(cm)

Prematur 2.0 – 2.5 10 10

Neonatus 2.5 – 3.5 12 11

1 - 6 Bulan 3.0 – 4.0 14 11

½ - 1 Tahun 3.0 – 3.5 16 12

1 – 4 Tahun 4.0 – 5.0 18 13

4 – 6 Tahun 4.5 – 5.5 20 14

6 – 8 Tahun 5.0 – 5.5 22 15 – 16

8 – 10 Tahun 5.5 – 6.0 24 16 – 17

10 – 12 Tahun 6.0 – 6.5 26 17 – 18

12 – 14 Tahun 6.5 – 7.0 28 – 30 18 – 22

Dewasa Wanita 6.5 – 8.0 28 – 30 20 – 24

Dewasa Pria 7.5 – 10.0 32 - 34 20 -24

C. Pipa Orofaring atau Nasofaring

Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan

faring pada pasien yang tidak diintubasi.

Pipa orofaring berbentuk pipa gepeng melengkung seperti huruf C berlubang

ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk

mncegah kalau pasien menggigit lubang tersebut, sehingga aliran udara tetap terjamin.

21

Page 22: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Pipa nasofaring berbentuk pipa bulat, berlubang ditengahnya dan dibuat dari bahan

latex lembut. Pemasangan harus hati – hati untuk menghindari trauma mukosa hidung maka

ujung pipa harus diolesi dengan jeli.

D. LMA ( Laringeal mask airway )

LMA ialah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan

ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang – kempiskan seperti balon pada

trachea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk

menjaga supaya tetap paten.

Dikenal dua macam sungkup laring :

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa

tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan eosophagus.

22

Page 23: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop.

Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan, diantaranya supaya dapat dipasang langsung tanpa

bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan.

LMA memang tidak dapat menggantikan kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak di

antara sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anesthesia

cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut,

faring – laring. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa napasnya tergigit, maka dapat

dipasang gulungan kain kasa atau pipa napas mulut faring

E. Masker Muka ( Face Mask )

Sungkup muka atau face mask mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi

atau sistem anestesi ke jalan nafas. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika

digunakan untuk bernafas spontan atau dengan tekanan postif tidak bocor dan gas masuk

semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

Bentuk sungkup muka sangat beragam tergantung usia dan pembuatnya, seperti dibawah

ini :

- Bayi baru lahir : ukuran 0.3

- Anak kecil : ukuran 0.2, 0.1, 1

- Anak besar : ukuran 2, 3

- Dewasa : ukuran 4, 5

23

Page 24: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

F. Plester

Untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.

G. Stilet atau Forsep Intubasi

Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu

saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal

nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

C. TEKNIK INTUBASI

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu dilakukan beberapa prosedur yang

telah ditetapkan (Anonim, 1989) antara lain :

1. Posisi Pasien.

Pasien diposisikan dalam posisi tidur telentang, oksiput diganjal dengan

menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus),

sehingga kepala dalam keadaan ekstensi, dimana posisi mulut, laring dan faring terhadap

laringoskop berada dalam satu aksis garis lurus. Pada posisi ini diharapkan akan

memperjelas lapang penglihatan terhadap glottis serta plika vokalis, serta memudahkan

masuknya pipa kedalam trakea. Untuk anak-anak berada dalam posisi netral, sedangkan

pada bayi dibawah 1 bulan diberi ganjalan pada bahu.

24

Page 25: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Gambar A. posisi kepala yang salah.

Gambar B. posisi kepala yang benar

2. Teknik intubasi.

A. Ventilasi dengan sungkup masker wajah (oksigen diberikan melalui masker

wajah dengan kecepatan 10-15 L/menit).

Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi

dengan pemberian oksigenasi 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup

dipegang dengan menggunakan tangan kiri kemudian posisikan jari manis dan

kelingking dibawah mandibula. Pompa kantong udara dengan menggunakan

tangan kanan.

B. Laringoskopi langsung. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dengan tangan kiri. Daun larigoskop (blade) dimasukkan dari sudut

kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam

rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terihat uvula, faring

serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis

diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan

berbentuk huruf V.

25

Page 26: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

C. Dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat

melewati pita suara. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan

memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun

laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

D. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.

Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara

nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa

endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal akan terdapat tanda-tanda berupa

suara napas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara

wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan napas terasa lebih berat. Jika ada

ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi satu sisi

seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila

terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan

mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang

keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan tampak semakin membiru.

26

Page 27: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan

oksigenasi yang cukup.

E. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien

bersangkutan.

D. KOMPLIKASI INTUBASI ENDOTRAKEAL

A. Kompikasi fisiologis

1. Efek kardiovaskuler

Saat intubasi endotrakeal, yaitu selama dilakukan laringoskopi dan manipulasi

epiglottis biasanya disertai kenaikan tekanan darah yang sifatnya sementara. Tekanan sistolik

bisa meningkat sekitar 45 mmHg yang biasanya disertai takikardi, dan efek ini bisa dikurangi

dengan memberi topikal anestesi dan dengan menambah kedalaman anestesi atau dengan

hiperventilasi.

Pemberian succinylcoline akan menghasilkan kenaikan tekanan darah dan nadi sementara.

Topikal anestesi sangat meminimalkan perubahan kardiovaskuler tetapi tidak dapat

menghilangkan sama sekali.

2. Efek Respirasi

Apnea bisa terjadi sebagai bentuk penghambatan respirasi atau reflex menahan napas

yang terjadi pada plane yang dangkal

Laringospasme dan bronkospasme

Spasme otot-otot laring bisa terjadi saat ETT berada di trakea dan dapat menimbulkan

trauma pada plane anestesi yang dangkal

Obstruksi, kinking dari ETT, ETT tergigit atau displacement/pergeseran ETT

Terapi terhadap komplikasi fisiologis ini bisa dengan penghangatan, oksigenasi, nebulizer

berisi epinephrine (0,28-1 mL) atau dexametason (0,5-10 mg/kgBB). Apabila obstruksi

cukup berat dan persisten bisa dipertimbangkan reintubasi.

Paralisis plika vokalis bisa terjadi pada trauma n. Laringus recurrent oleh balon ETT.

Kartilago arithenoid bisa terjadi dislokasi oleh laringoskop blade, ditandai dengan terjadinya

suara yang lemah setelah ekstubasi.

27

Page 28: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

B. Komplikasi Anatomis

Bisa menyebabkan disphonia dan disphagya yang biasanya bisa hilang dalam

beberapa hari

Stretch injury

Terjadi trauma pada n. Recurent, pernah dilaporkan setelah intubasi dan dapat

menyebabkan paralise plika suara

Edema laring

Laryngeal stridor dan obstruksi jalan napas parsial atau komplit sering berhubungan

dengan pemakaian tube yang terlalu besar atau paksaan dalam memasukkan tube.

Non spesifik granuloma laring

Kerusakan gigi

Rupture trakea, rupture laring

Komplikasi intubasi endotracheal dapat juga dibagi menjadi :

A. Komplikasi yang terjadi selama intubasi:

aspirasi, kerusakan gigi (gigi Incisivus), robekan bibir atau gusi,trauma laring,

esophageal intubasi, endobronchial intubasi, perangsangan sistem saraf simpatik

(ketinggian tekanan darah dan nadi), bronkospasme.

B. Komplikasi yang terjadi setelah ekstubasi:

Obstruksi jalan napas, aspirasi, laryngospasme, kerusakan pita suara sementara,

edema epiglotis atau glotis, faringitis, laringitis, trakeitis.

Dalam suatu studi memperlihatkan bahwa insidensi dan berat ringannya sakit

tenggorokan berhubungan dengan ukuran tube yang dipakai, sedangkan

penggunaan succinylcholin masih diperdebatkan sebagai penyebab sakit

tenggorokan. Mekanisme terjadinya sakit tenggorokan oleh karena succinylcholin

adalah kerena vasikulasi pada otot-otot peripharingeal dan biasanya pulih kembali

dalam 72 jam.

Tindakan intubasi endotracheal sebaiknya bisa dilakukan oleh semua dokter dan

perawat terutama untuk memberikan pertolongan live saving. Ahli anestesiologi harus

mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai anatomi, fisiologi jalan nafas dan teknik-

teknik intubasi beserta komplikasi yang bisa ditimbulkan. Kunci keberhasilan dalam

28

Page 29: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

melakukan tindakan sebelumnya adalah membuat perencanaan sebaik-baiknya dan

menyiapkan peralatan yang lengkap.

Apabila semua teknik intubasi telah dicoba tetapi terjadi kegagalan, maka harus

dipersiapkan teknik/cara lain untuk pengelolaan jalan napas seperti face mask, laryngeal

mask airway, cricothyrodotomy atau kalau perlu tracheostomy.

Trauma jalan napas

Instrumentasi dengan menggunakan laringoskop yang terbuat dari bahan metal dan

penyisipan ETT yang keras sering kali menyebabkan trauma pada jaringan jalan napas.

Meski kerusakan pada gigi merupakan penyebab tuntutan malpraktek yang paling umum

terhadap anestesiologist, laryngoscopy dan intubasi dapat menyebabkan sakit tenggorokan

sampai pada tracheal stenosis. Kebanyakan dari ini adalah karena tekanan dari luar yang

lama di struktur jalan napas yang sensitif. Ketika tekanan ini melebihi tekanan darah (kira-

kira 30 mmHg), iskemia jaringan dapat menjadi radang, ulcerasi,granulasi, dan stenosis.

Penurunan tekanan pada ETT dapat menyebabkan hambatan selama ventilasi tekanan positif

yang diberikan (biasanya 20 mmHg) yang menyebabkan aliran darah ke trakea bekurang

sekitar 75%. Penurunan tekanan yang lebih lanjut atau tekanan darah rendah dapat

menghambat secara total aliran darah mukosa.

batuk-sesak napas setelah intubasi yang kebanyakan pada anak-anak disebabkan oleh edema

glottis, laring, atau trakea. Efisiensi dari penggunaan kortikosteroid (misalnya,

dexamethasone-02 mg/kg, sampai ke maksimum 12 mg) di dalam mencegah postekstubasi

edema jalan napas masih dalam perdebatan; bagaimanapun, kortikosteroid ini telah dicoba

dan efektif pada anak-anak dengan batuk-sesak napas dari penyebab-penyebab yang lain.

Kelumpuhan pita suara kepada syaraf laring menyebabkan suara parau dan meningkatkan

resiko aspirasi. Sebagian dari komplikasi ini bisa dikurangi dengan menggunakan suatu ETT

yang dibentuk sesuai anatomi dari jalan napas (misalnya, Lindholm Anatomical Tracheal

Tube). Timbulnya suara parau sesudah operasi dapat disebabkan oleh obesitas, intubasi yang

sulit, dan anestesi yang lama. Menggunakan pelumas yang larut-air atau 'gel' anestesi di

ETT tidak mengurangi timbulnya sakit tenggorokan sesudah operasi atau suara parau.

Ukuran tube yang lebih kecil (ukuran 6.5 di dalam wanita dan ukuran 7.0 di dalam laki-laki)

ternyata dapat mengurangi keluhan-keluhan dari sakit tenggorokan sesudah operasi. pada

laryngoscope yang sulit dan dilakukan berulang-ulang selama intubasi mungkin bisa

disebabkan edema periglottic dan ketidak-mampuan untuk pertukaran udara dengan face

29

Page 30: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

mask, keadaan seperti ini merupakan situasi yang gawat dan dapat merpakan suatu ancaman

bagi pasien.

Posisi Trakeal Tube yang salah

Intubasi esophageal yang tidak baik dapat terjadi malapetaka. Pencegahan dari

komplikasi ini bergantung pada ETT yang tepat melintas pita suara, auskultasi yang sangat

teliti untuk mengetahui bahwa udara nafas dari dua paru dan tidak adanya suara gurgling dari

lambung bersamaan memberi ventilasi melalui ETT, analisa dari gas yang dihembuskan

untuk adanya CO2 (metoda paling dapat dipercaya), Rontgen thoraks.

Meskipun yakin bahwa tube berada tepat di dalam trakea, belum tentu hal itu dapat

dipastikan. Letak yang berlebihan pada bronkus kanan bisa terjadi saat intubasi, karena

lengkungan tube tidak tepat berada trakea. Petunjuk-petunjuk yang menyatakan bahwa dapat

dikatakan intubasi bronchial ialah suara nafas yang unilateral, hipoksia dengan alat denyut

nadi oximetry, ketidak-mampuan untuk palpasi lipatan lengan ETT selama inflasi, dan

berkurangnya pemenuhan kantong nafas.

Di dalam kontras, insersi ETT yang tidak adekuat akan terletak di laring, yang

merupakan predisposisi trauma pada laring pasien. Kedalaman yang tidak cukup ini dapat

dideteksi dengan mempalpasi lipatan lengan di atas kartilago tiroid.

Karena tidak ada teknik yang pasti dapat menghindarkan dari semua berbagai

kemungkinan untuk salah meletakkan ETT, minimal dilakukan auskultasi pada dada,

capnography rutin, dan palpasi lipatan lengan ETT.

Jika pasien dilakukan reposisi, penempatan tube harus dikonfirmasi ulang. Ekstensi

leher atau melakukan rotasi lateral dapat menyebabkan ETT menjauhi karina, sedangkan

fleksi leher dapat menggerakkan tube ke arah karina.

Respon-respon Fisiologis terhadap Instrumentasi jalan napas

Laryngoskopi dan tracheal intubasi melindungi jalan napas dan dapat menyebabkan

tekanan darah tinggi dan takikardi. Penggunaan LMA dapat menyebabkan perubahan

hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat disebabkan akibat efek obat Intravena yang

digunakan sepeerti lidocaine (15 mg/kg), remifentanil (10 g/kg), alfentanil (10-20 g/kg),

atau fentanyl (0.5-1.0 g/kg) sebelum laryngoskopi digunakan. Hypotensive agents, termasuk

sodium nitroprusside, nitrogliserin, hydralazine, calcium channel blockers, dapat digunakan

untuk hipertensi yang di akibatkan oleh laringoskopi dan intubasi.

30

Page 31: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Laryngospasm adalah gerakan involunter spasme dari otot laring yang disebabkan

oleh rangsangan pada nervus laringeal superior. Saat stimuli, terjadi sekresi faringeal atau

saat ETT melalui laring saat ekstubasi. Laryngospasme juga kadang terjadi saat ekstubasi

pasien yang tertidur atau terjaga. Perawatan dari laryngospasme ini termasuk menyediakan

ventilasi tekanan positif yang menggunakan 100% oksigen menggunakan lidocaine IV (1-15

mg/kg). Jika laryngospasme tetap terjadi dan hipoksia semakin bertambah, succinylcholine

(0,25-1 mg/kg [biasanya cakupan dosis yang lebih rendah]) harus diberikan untuk

merelaksasi otot-otot laring dan memberi ventilasi yang dikendalikan. tekanan negatif

intratoraks yang besar berasal dari pasien yang melawan selama laryngospasme terjadi dan

dapat mengakibatkan edema paru-paru bahkan pada orang dewasa muda yang sehat.

Sedangkan laryngospasme menunjukkan adanya reflek abnormal yang sensitif,

aspirasi dapat diakibatkan dari tekanan refleks laring seiring intubasi yang lama dan

anesthesia umum.

Bronkospasme adalah respon refleks yang lain dari intubasi dan paling umum terjadi pada

pasien-pasien yang menderita asma. Bronkospasme dapat merupakan tanda adanya intubasi

bronkhial. Pathophysiological lain dari intubasi termasuk tekanan intrakranial dan intraokular

yang meningkat.

Malfungsi Pemakaian Endo Trakeal Tube

ETT tidak selalu berfungsi seperti yang diharapkan.Klep atau lipatan lengan yang

rusak bukanlah hal yang tidak biasa dan harus dikeluarkan sebelum dilakukan insersi. TT

obstruksi dapat diakibatkan oleh sekret yang masuk ke dalam lumen akibat aspirasi.

3.3 Intubasi Orotrakeal

A. INDIKASI

Untuk memberikan perlindungan terhadap jalan napas dari resiko aspirasi, bila

penggunaan face mask sulit/tidak bisa dilakukan atau tidak menjamin efektivitasnya

B. TEKNIK

1. Pilih ukuran pipa yang sesuai.

31

Page 32: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

2. Dengan menggunakan spuit 10cc, cobalah kembangkan balon dengan 5-8cc udara.

Pastikan bahwa balon berfungsi dan intak.

3. Berikan pelumas pada ujung pipa (sesuai pilihan).

4. Masukkan stilet dan dengan perlalahan bengkokkan pipa serta stilet supaya menjadi

bentuk bulan sabit agar ujung stilet berada kira-kira 1cm dari ujung pipa.

5. Berikan pasien ventilasi dengan cara kombinasi antara pemompaan kantong udara

dengan O2 100%.

6. Lakukan laringoskopi secara langsung, dan ketika lapangan pandang telah terlihat

glotis dan plika vokalis, masukkan pipa menyusuri daun laringoskop (blade) melewati

plika vokalis masuk sampai ke trakea sehingga balon berada sebelum plika vokalis.

Biasanya dengan menekn bagian belakang dari anterior leher di daerah sekitar laring

dapat membantu dalam melihat dan memfasilitasi intubasi di laring.

Gambaran glottis dan plika vokalis pada laringoskopi langsung

7. Tarik Stilet.

8. Sambungkan dengan kantong pompa udara, mulai ventilasi dengan O2 100%.

9. Pastikan bahwa pipa telah berada dalam posisi yang benar. Pertama, dengan

menggunakan stetoskop auskultasi saat pasien diventilasi. Jika ada terdengar suara

aliran udara atau distensi di daerah gaster maka pipa masuk ke daerah esofagus. Jika

hal ini terjadi, cabut pipa dan coba kembali dari awal.

10. Auskultasi tiap-tiap sisi dari paru, pastikan bahwa suara napas seimbang pada kedua

sisi toraks. Jika tidak, reposisi kembali pipa. Ketika suara napas telah seimbang pada

kedua sisi paru saat inspirasi, kembangkan cuff menggunakan spuit 10cc sampai tidak

ada bocoran udara sekitar pipa apabila tekanan positif diberikan.

32

Page 33: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

3.4 Intubasi Nasotrakeal

A. INDIKASI

1. Pasien yang membutuhkan penanganan jalan nafas segera untuk oksigenisasi,

ventilasi, proteksi jalan nafas dimana tidak memungkinkan untuk melakukan intubasi

orotrakeal.

2. Pasien sadar dan mampu bernafas spontan.

3. Pasien tidak sadar dengan GCS kurang dari 8 akibat trauma atau kelainan medis

lainnya.

4. Pasien dengan trauma tulang servikal di mana manipulasi sebelum melakukan

intubasi nasotrakeal seperti fleksi leher dan intubasi orotrakeal dapat memperburuk

keadaan.

5. Pasien luka bakar.

B. KONTRA INDIKASI

Kontraindikasi relatif:

1. Trauma parah dan obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi

nasotrakeal sehingga harus melakukan cricothyrotomy.

2. Ruda paksa tulang belakang sehingga tidak memunginkan pasien untuk bergerak.

3. Fraktur tulang wajah, fraktur nasal, dan fraktur faring yang masif, kelainan

perdarahan.

4. Fraktur tengkorak bagian basilar dengan kontaminasi cairan spinal dari hidung

atau telinga.

5. Hipertensi akut.

6. Suspek tekanan intrakranial tinggi.

Kontraindikasi absolut:

1. Apnea.

2. Usia di bawah 10 tahun.

3. Deformitas tulang wajah yang bersifat congenital atau traumatik.

33

Page 34: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

C. ALAT-ALAT

1. Pilih tuba yang agak kecil daripada lubang hidung pasien, hindari daripada

menggunakan tuba yang terlalu kecil.

2. Jeli lidokain. Gunakan ini pada jalan nafas nasofaringeal dan masukkan beberapa

menit sebelum melakukan intubasi.

3. Spuit 10cc.

4. Kateter penghisap.

5. Plester untuk memfiksasi tuba nasotrakeal.

D. ALTERNATIF LAIN PADA INTUBASI NASOTRAKEAL

Pada pembedahan kavitas oral atau mandibula sangat membutuhkan intubasi

nasotrakeal tapi seringkali cara ini walaupun dilakukan dengan benar oleh personel medis

yang berpengalaman dapat menyebabkan trauma nasofaring sehingga menyebabkan udem

atau perdarahan yang terjadi dalam 70% intubasi nasotrakeal.. Oleh itu terdapat alternatif lain

untuk meminimalkan trauma ini di mana memasang kateter karet merah pada ujung distal

tuba endotrakeal. Diharapkan dengan cara ini trauma pada nasofaring dapat dikurangkan.

Gambar 1. Tuba nasotrakeal-endotrakeal ukuran 7.0mm (di atas) dan 7- kateter karet merah Prancis (di bawah).

34

Page 35: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Gambar 2. Gambar menunjukkan ujung ETT tersambung dengan kateter karet merah. Bagian tipis pada

ujung kateter ini kemudiannya dimasuukan lewat naris ke nasofaring.

E. TEKNIK

1. Semprotkan kavum nasal dengan vasokonstriktor-anestetik topikal.

2. Pilih ETT dengan ukuran 0,5-1 mm lebih kecil daripada intubasi oral&periksa leher

tuba.

3. Imobilisasi kepala pasien dan memfiksasi kepala pasien dalam keadaan ekstensi.

4. Masukkan tuba perlahan-lahan dengan disapu pelumas jeli lidokain 2% sambil

merotasi tuba ke arah medial 15-30° sehingga mendengar pergerakan udara

maksimal lewat tuba. Masuknya tuba leat faring akan menyebabkan batuk dan

rata-rata udara akan keluar lewat tuba walaupun leher tuba masih kemps. Lihat

fogging pada tuba.

5. Masukkan lagi menuju carina yang dapat diperhatikan secara eksternal. Jarak

normal antara nares eksterna ke carina adalah 32 cm pada pria dewasa dan 27-

28 cm pada wanita dewasa.

6. Auskultasi untuk memastikan pengembangan kedua paru dan pengembangan

leher tuba. Sekresi atau darah dalam tuba harus dibersihkan sebelum tekanan

positif pada ventilasi.

35

Page 36: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

F. KOREKSI PADA KESALAHAN INTUBASI

1. Jika intubasi tidak berhasil, periksa leher tuba untuk memastikan terdapat

malposisi tuba yang biasanya pada fossa piriformis. Suatu benjolan dapat

terlihat dan teraba di lateral. Tarik tuba ke retrofaring sehingga terdengar bunyi

nafas lagi. Jika tidak ada kontraindikasi, fleksi dan rotasi leher pasien ke

ipsilateral sering membantu sementara merotasi tuba ke arah medial.

2. Selain itu, tuba juga sering masuk ke esophagus. Jika ini terjadi, suara nafas

tidak terdengar lewat tuba. Lakukan perbaikan dengan ekstensi kepala pasien

dan melakukan Sellick's maneuver. Apabila suspek kelainan tulang servikal,

gunakan Endotrol atau laringoskopi fiberoptik.

3. Apabila masuknya tuba dihalangi oleh plica vocalis, suara nafas turbulensi

terdengar. Putarkan sedikit tuba dan semprotkan 2 mL lidokain 4%.

4. Abnormalitas kongenital pada nasofaring, polip, jaringan adenoid hipertrofi,

dan lesi neoplastik juga dapat mengganggu intubasi. Dengan teknik yang baik,

obstruksi dapat disingkirkan dan intubasi dapat dilakukan.

36

Page 37: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

G. KOMPLIKASI

Komplikasi serius intubasi nasotracheal jarang terjadi.

1. Epistaksis dapat terjadi jika vasokonstriksi topikal inadekuat, saiz tuba yang

besar, teknik yang kurang baik, atau defek anatomis. Paksaan yang

berlebihan dapat melukakan septum nasalis.

2. Sering lakukan penghisapan terutama jika terdapat epistaksis atau

perdarahan jalan nafas atas untuk menghindari oklusi trombotik pada tuba

atau pada bronkus.

3. Laserasi retrofaringeal, abses, dan nekrosis nasalis.

4. Sinusistis paranasalis, terutama jika intubasi nasotrakeal diperpanjang atau

trauma kranial yang parah dapat menyebabkan sepsis.

3.5 Awake Intubasi

A. INDIKASI

Untuk antisipasi pasien dengan resiko aspirasi, misal : tidak puasa (lambung penuh),

obstruksi ileum, perdarahan GIT bagian atas.

Bila tidak yakin pasien dilakukan intubasi setelah dilakukan induksi

Bila diperlukan penilaian fungsi neurologis setelah intubasi

B. TEKNIK

a. Pertama kali diberikan spray dengan 4% lidokain untuk mengurangi kepekaan reflex

jalan napas atas kemidian blok :

N. Laryngeus superior yaitu dengan menggunakan jarum no. 25 disuntikkan kea

rah cornu os hyoid sampai insersi pada membrane thyroid. Setelah tes aspirasi

tdak ada udara maka diberikan 2 mL 2% lidokain ke kiri kanan

N. Larungeus recurrent dapat dilakukan pendekatan blok transtrakeal yaiut dengan

menggunakan jarum no. 25 dimasukkan melalui memnbran cricothyroid pada mid

line. Setelah aspirasi udara untuk memastikan bahwa jarum berada di dalam

lumen trakea injeksi 2 mL 2% lidokain sambil ditarik sedikit. Pasien akan batuk

37

Page 38: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

saat anestesi local disuntikkan, tetapi blok secara ini tidak boleh dilakukan bila

perut penuh

b. Awake oral laryngoskop sering merupakan salah satu cara untuk menilai keadaan

jalan nafas dengan sebelumnya bisa diberikan sedative seperti midazolam atau

propofol, fentanyl, kemudian dilakukan blok syaraf seperti di atas.

c. Awake nasal intubasi

Intubasi sadar ini sangat penting bagi ahli anestesi karena dalam kondisi tertentu, cara

ini merupakan cara yang terbaik untuk dilakukan, meskipun teknik ini cukup sulit dan

memerlukan keterampilan serta pengalaman.

Rapid Induction- Intubation Sequence

A. INDIKASI

Sebagai alternatif lain bagi pasien yang akan dilakukan awake intubasi, terutama yang

merasa tidak nyaman dan stress dengan teknik awake intubasi.

B. TEKNIK

1. Dipersiapkan peralatan seperti pada intubasi orotracheal hanya perlu lebih

diperhatikan kesiapan.

a. Suction

b. Laryngoskop

c. ETT

d. Asisten yang siap melakukan Sellick maneuver.

2. Reoksegenasi dengan oksigen 100% high flow tanpa tekanan selama 3-5 menit.

3. Dilakukan induksi sambil dilakukan Sellick maneuver oleh asisten untuk

mencegah regurgitasi.

38

Page 39: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

4. Intubasi dilakukan dengan hati-hati, apabila mengalami kesulitan maka intubasi

dihentikan dan segera diberikan oksigenasi lagi.

3.6 Retrograde Tracheal Intubation

A. INDIKASI

Apabila dengan teknik intubasi lain tidak berhasil dan keadaan airway pasien stabil,

serta dilakukan pada pasien sadar.

B. TEKNIK

1. Identifikasi membran cricothyroid.

2. Dengan jarum no. 18, dilakukan penusukan di tempat tersebut.

3. Lewat abocath ini dimasukkan kawat kearah plika vokalis/ cephaled,

sambil membuka mulut dengan laryngoskop untuk visualisasi oropharing.

4. Apabila melihat kawat/ wire yang keluar melalui trakea, masukkan

ETT ke trakea melalui kawat sampai melewati plika vokalis.

6. Bevel ETT sebaiknya menghadap kebawah agar lebih mudah melewati plika

vokalis.

3.7 Blind Nasotracheal Intubation

Teknik ini umum sekali digunalan pada pasien sadar. Jika menggunakan general anestesi,

sebaiknya digunakan anestesi yang ringan saja untuk menjaga pernafasan tetap spontan dan

cukup dalam untuk mengurangi reflex larynx. Untuk anestesi tersebut biasanya digunakan

teknik inhalasi dan ketamin intravena ketika ETT mencapai oropharynx, suara nafas akan

terdengar melalui ETT. Ketika itu, mulut dan nares yang lain ditutup untuk memperjelas

suara nafas. Putarkan ujung proximal ETT ke arah midline sampai ujung distal ETT akan

bergerak saat bernafas. Kemudian secara perlahan ETT dimasukkan sehingga akan terdengar

suara nafas yang semakin mengeras, ini menunjukkan bahwa ujung distal ada di dekat larynx.

Pada saat akhir inspirasi, ETT dimasukkan secara cepat ke dalam trakea.

39

Page 40: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

Intubasi ini berhasil, bila :

- Terdengar sura nafas melalui ETT

- Pasien batuk-batuk

- Pasien kehilangan kemampuan untuk berbicara

3.8 Intubasi Fiberoptik Fleksibel Trakeal (FFI)

Alat ini panjangnya sekitar 2,5-3 kaki dimasukkan kedalam tenggorokan pasien.

Kemudian ETT dimasukkan di atas skop fiberoptik ke dalam trakea. Prosedur ini sering

digunakan apabila pasien tidak dapat melakukan fleksi atau ektensi kepala dalam kondisi

medis tertentu.

FFI adalah teknik intubasi yang efisien yang sering digunakan pada kesulitan

laringoskopi.

Kedua nostril diteteskan obat vasokonstriktor. Identifikasi nostril di mana pasien lebih

mudah untuk bernafas. Oksigen bisa diberikan lewat alat penghisap dan bagian aspirasi

daripada bronkoskop untuk memperbaiki kualitas oksigenisasi dan menghindari sekresi

daripada lensa objektif.

Selain itu, alat jalan nafas yang ukuran lebih besar bisa dimasukkan ke nostril yang

kontralateral. Sirkuit pernafasan bisa disambungkan langsung pada ujung alat jalan nafas ini

untuk memberikan oksigenisasi sebanyak 100% waktu laringoskopi. Jika pasien tidak sadar

dan tidak bernafas secara spontan, mulut bisa ditutup dengan plester dan respirasi dikontrol

lewat satu jalan nafas nasal. Apabila teknik ini digunakan, kebutuhan ventilasi dan

oksigenisasi harus dilihat pada alat kapnografi dan pulse oximetry. ETT disapu dengan bahan

pelumas seperti jeli dan dimasukkan lewat nostril. Alat bronkoskopi yang telah disapu

40

Page 41: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

dengan bahan pelumas dimasukkan lewat lumen ETT. Yang harus diperhatikan waktu

melakukan bronkoskopi adalah untuk memasukkan skop nya lewat lumen bukan pada

dinding ETT atau membran mukosa. Usahakan juga alat bronkoskopi fiberoptik agar lurus

supaya kepala dari alat bronkoskopi dapat diputar ke satu arah dan ujung distal alat ini dapat

ikut berputar ke arah dan derajat putaran yang sama. Waktu ujung dari instrument fiberoptik

ini melewati ujung distal dari ETT, epiglottis atau glottis haruslah terlihat.

Jangan lakukan secara teburu-buru karena oksigenisasi dan ventilasi telah dimonitor.

Jika salah satunya inadekuat, bronkoskopi ditarik keluar agar pasien dapat diventilasi lewat

sungkup muka. Minta bantuan untuk melakukan jaw thrust ke depan atau mengenakan sedikit

tekanan pada cricoid pada kasus intubasi yang sulit. Jika pasien dapat bernafas secara

spontan, menarik lidah ke depan dengan klem dapat memfasilitasi intubasi.

Apabila sudah dalam trakea, masukkan lagi bronkoskopi ke carina. Munculnya cincin

trakea dan carina adalah bukti bahwa posisi intubasi adalah benar. Sudut runcing sekitar

kartilago arytenoids dan epiglottis dapat menyulitkan masuknya tuba. Posisi ETT yang benar

dapat diketahui dengan melihat ujung tuba di atas carina sebelum skop fiberoptik ditarik

keluar.

3.9 Tindakan Ekstubasi

Ekstubasi trakea harus dipertimbangkan sebagai suatu prosedur yang berat dan dapat

menyebabkan pelbagai komplikasi. Personil medis yang berpengalaman dan peralatan harus

ada sebelum melakukan ektubasi. Secara umumnya, ektubasi dapat dilakukan pada pasien

yang dalam keadaan sadar betul atau anestesi dalam. Dalam salah satu kasus ini, pemulihan

yang adekuat dari efek agen pelumpuh otot harus dipastikan sebelum melakukan ekstubasi.

Ekstubasi waktu pasien dalam keadaan antara anetesi dalam dan sadar haruslah dihindari

karena dapat menyebabkan laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan

biasanya terlihat waktu penghisapan di daerah faringeal di mana sembarang reaksi terhadap

penghisapan seperti menahan nafas atau batuk terlihat yang menunjukkan pasien dalam

keadaan anestesi ringan, dan apabila tidak terdapat sembarang reaksi menunjukkan pasien

dalam keadaan anestesi dalam. Selain itu, membuka mata dan melakukan sembarang

pergerakan menunjukkan pasien sadar.

Jika pasien batuk waktu ekstubasi mengindikasikan pasien telah sadar. Reaksi ini diikuti

dengan peningkatan denyut jantung, tekanan pusat venosa, tekanan darah arterial, dan

41

Page 42: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

tekanan intraokular. Adanya ETT pada pasien asmatik dalam keadaan sadar biasanya dapat

menyebabkan bronkospasme. Konsekuensi daripada kejadian ini dapat diminimalkan dengan

merawat sebelumnya dengan lidokain 1,5 mg/kgBB 1-2 menit sebelum melakukan

penghisapan dan ekstubasi. Ektubasi pada pasien yang kurang bisa mentolerir efek samping

ektubasi lebih baik dilakukan waktu anestesi dalam tapi di satu sisi lain, ekstubasi pada

keadaan seperti ini dikontraindikasikan pada pasien dengan risiko aspirasi atau jalan nafasnya

yang sulit dikontrol setelah melepaskan ETT, atau dengan sirkulasi tak stabil.

Karena pasien dalam keadaan anestesi dalam atau tak sadar waktu tuba dilepaskan, maka

faring harus dibersihkan dengan melakukan penghisapan sebelum ekstubasi untuk

mengurangkan risiko aspirasi atau laringospasme. Sebagai tambahan, pasien harus diberikan

ventilasi dengan 100% oksigen jika terjadi sesuatu seperti sulit untuk mendapatkan jalan

nafas yang baik setelah ETT dilepaskan. Sebelum ekstubasi, buang plester sekitar ETT dan

kempeskan dahulu leher ETT. Memberikan sedikit tekanan positif pada jalan nafas dengan

anesthesia bag yang bersambung dengan ETT dapat membantu untuk membersihkan jalan

nafas dari sembarang sekret. Kebanyakan pasien dewasa diekstubasi setelah sadar dan bisa

melakukan pernafasan spontan. Pasien diminta untuk membuka mulutnya dan dilakukan

penghisapan untuk membuang sekresi berlebihan atau darah. Tekanan jalan nafas dibiarkan

meningkat ke 5-15 cm H2O untuk membiarkan terjadinya ‘ batuk pasif ’ dan ETT dialihkan

setelah lehernya dikempeskan Tidak penting melepaskan tuba pada waktu awal atau akhir

inspirasi. Tuba dilepaskan dalam satu gerakan lembut dan pasangkan sungkup muka langsung

untuk memberikan oksigenisasi 100% sehingga pasien cukup stabil untuk dibawa keluar dari

ruang operasi ke ruang pemulihan. Pada pasien dengan risiko aspirasi isi lambung alat atau

obstruksi jalan nafas, dokter harus memilih setiap risiko morbiditas yang ada. Oleh karena

risiko atelektasis dan hipoksia dapat terjadi, pemberian oksigen harus ada waktu ekstubasi.

A. KESULITAN EKSTUBASI

Pasien dengan kesulitan pada jalan nafas waktu melakukan induksi anestesi harus

dipertimbangkan sebagai calon sulit untuk melakukan ekstubasi, walaupun pembedahan

koreksi dilakukan pada pasien dengan kelainan tidur apnea obstruktif.

Laringospasme juga harus diperhatikan karena angka prevalensinya pada pasien anak-

anak sebanyak 23%. Laringospasme dapat terjadi karena terdapat sekresi respiratorik,

vomitus, darah pada jalan nafas, rasa sakit pada anggota tubuh, atau stimulasi viseral pelvis

42

Page 43: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

dan abdominal. Penyebab obstruksi jalan nafas pada laringospasme adalah kontraksi

musculus cricoarytenoids lateralis, thyroarytenoid, cricothyroid. Penanganan pada

laringospasme termasuk menghilangkan stimulus laringospasme, pemberian oksigen, dan jika

cara-cara tersebut tidak berjaya gunakan sedikit pelumpuh otot jangka pendek.

Edema pulmonalis karena tekanan negatif dapat terjadi jika terdapat obstruksi jalan nafas

pada pasien dengan usaha respiratorik volunter yang berpanjangan. Tekanan negatif

intratoraks ditransmisikan lewat alveoli, di mana tidak dapat mengembang karena terdapat

obstruksi pada bagian proksimal. Kelainan ini dirawat sesuai dengan kelainan edema

nonkardiogenik.

B. KOMPLIKASI EKSTUBASI

Komplikasi bisa mulai dari ringan sampai berat, dari sakit tenggorokan sampai

obstruksi jalan nafas, aspirasi, laringospasme, paralisis plika vokalis, dll.

A. Sakit tenggorokan : komplikasi yang biasa terjadi. Bisa berlanjut menjadi

pharingitis, laringitis, tracheitis. Dalam suatu studi memperlihatkan bahwa

insidensi dan berat ringannya sakit tenggorokan berhubungan dengan ukuran tube

yang dipakai, sedangkan penggunaan suksinilkolin masih diperdebatkan sebagai

penyebab sakit tenggorokan. Mekanisme terjadinya sakit tenggorokan oleh karena

suksinil kolin adalah karena vasikulasi pada otot-otot peripharingeal dan biasanya

pulih kembali dalam 72 jam.

B. Oedema laring : merupakan gejala yang paling umum terjadi, terutama pada anak-

anak karena masih sempitnya diameter laring/ trakea. Pada anak-anak, oedema

laring bisa merupakan komplikasi yang cukup serius karena dapat menyebabkan

penurunan diameter laring yang signifikan. Sedangkan pada orang dewasa

mungkin hanya menyebabkan timbulnya hoarseness/ serak saja. Faktor-faktor

yang bisa mempengaruhi terjadinya oedema laring masih kontroversial, tetapi

diduga bisa disebabkan antara lain karena ETT yang terlalu besar, trauma pada

penggunaan laringoskop atau intubasi, manipulasi leher yang terlalu banyak

selama intubasi atau operasi, penolakan laring terhadap ETT, dan infeksi saluran

nafas atas. Penggunaan steroid sebagai profilaksis, sebelum ekstubasi, tidak

43

Page 44: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

terbukti bisa mengurangi oedema. Tetapi penggunaan steroid setelah ekstubasi

mungkin bisa dilakukan.

C. Stridor : ditandai dengan terdengarnya suara wheezing inspirasi. Suara stridor

yang makin kecil disertai sesak nafas, bisa menggambarkan adanya obstruksi jalan

nafas berat, bahkan total, sehingga terjadi gerakan udara melalui hidung/ nafas

cuping hidung.

3.11 Tracheotomy

A. PENDAHULUAN

Untuk para dokter yang baru pertama kali melakukan trakeotomi diperlukan penderita

yang belum sesak dan yang secara teknis tidak sulit dalam mencari trakea. Untuk trakeotomi

berikutnya secara bertahap pada penderita yang makin sulit atau dalam keadaan darurat.

B. ANATOMI

Trakea terletak digaris tengah dari leher mulai dari kartilago cricoid (C6) superior

sampai bifurcatio tracheal pada setinggi T5

Terdiri dari 16-20 cincin kartilago

Panjang 10-12 cm.

Diameter 15-20 mm.

C. JENIS-JENIS TRACHEOTOMY

Jenis Gejala sesak Sianosis Trakea sulit teraba Kepala sulit ekstensi

Biasa

Sulit

Darurat

Darurat dan sulit

-

-

+

+

-

-

+

+

-

+

-

+

-

+

-

+

44

Page 45: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

1. Trakeotomi biasa

Trakeotomi pada penderita yang tidak sesak dan trakea mudah dicari, indikasinya:

a) Tumor laring yang belum lanjut (belum sesak), persiapan biopsi.

b) Tumor pangkal lidah/tonsil, persiapan radiasi atau operasi (untuk anestesi).

2. Trakeotomi sulit

Trakea sulit teraba, dapat terjadi karena :

a) Trakea letaknya "dalam", sulit dicapai; hal ini karena ada tumor koli.

b) Kepala sulit ekstensi karena adanya tumor koli.

c) Ada jaringan kelenjar tiroid besar di atasnya.

d) Ada vena besar karena bendungan disebabkan oleh tumor koli.

e) Lubang operasi tidak konsisten di garis tengah, karena asisten memegang haak

(pengait) tidak di garis tengah secara konsisten.

f) Insisi terlalu pendek, lapangan operasi sempit sehingga sulit meraba trakea.

g) Trakea terdorong ke lateral karena terdesak oleh tumor koli.

h) Trakea tak teraba karena ada sikatris bekas trakeotomi dahulu.

3. Trakeotomi darurat

Darurat karena penderita sesak bahkan mungkin sudah sianosis; sesak karena lumen

sudah menutup jalan napas lebih dari 90%.

4. Trakeotomi darurat dan sulit

Kombinasi ini bisa terjadi yang sangat membahayakan jiwa penderita.

D. TEKNIK TRACHEOTOMY

1 Lakukan inisisi curvilinear pada kulit sepanjang relaxed skin tension lines (RSTL) di

anatara takik sternum dan kartilago krikoid.

2 Lakukan insisi vertikal pada midline.

3 Pisahkan tiroid dengan isthmus.

4 Elevasi cricoid dengan menggunakan haak.

45

Page 46: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

5 Posisi insisi. Biasanya pada bagian inferior dari Bjork flap (melalui cincin trakea II

dan III).

6 Masukkan pipa trakeotomi (bersamaan dengan pelepasan ETT), isi cuff dengan udara,

kemudian fiksasi.

7 Hubungkan dengan ventilator.

E. INDIKASI

1. Obstruksi Saluran Napas Atas

a. Trauma berat pada wajah dan hidung (yang tidak memungkinkan untuk dilakukan

intubasi melalui mulut atau hidung)

b. Trauma spinal yang menyebabkan gangguan pernapasan

c. Corpus alienum

d. Infeksi

e. Lesi malignant

2. Pulmonary Ventilation

Trakeotomi sebaiknya dikerjakan pada pasien yang memerlukan pernapasan

dengan endotracheal tube selama lebih dari seminggu

3. Pulmonary Toilet

Pasien yang tidak bisa batuk atau tidak bisa mengeluarkan dahaknya

Mencegah aspirasi dengan memberikan “low pressure high volume” pada cuff

pipa trakeotomi

4. Operasi elektif

Operasi besar pada kepala dan leher

5. Syok anafilaksis

6. Trauma akibat bahan kimia secara inhalasi

46

Page 47: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

F. KONTRAINDIKASI

1. Ketidakmapuan dalam mengidentifikasi membran cricotiroid

2. Underlying anatomical abnormality (tumor)

3. Transeksi trakea

4. Penyakit laring akut karena infeksi atau trauma

5. Anak di bawah 10 tahun

Bagaimana mengatasi jenis trakeotomi sulit

Sulit mencari trakea

Kalau letak trakea "dalam" karena ada

tumor koli

Betulkan posisi kepala, agar trakea teraba

ekstensi kepala maksimal di artikulatio

oksipito-atlanto, punggung diganjal bantal.

Insisi dari cricoid, sebab ini yang

menonjol.

Di bawah cricoid ini trakea ring pertama,

baru dicari cincin di bawahnya

Kepala sulit ekstensi karena tumor koli,

atau kalau telentang sesak

Posisi setengah duduk, baru kepala ekstensi

Usahakan sedapat mungkin ekstensi, sebab

kalau kepala tidak ekstensi sulit mencapai

trakea. Kalau terpaksa, insisi pada cincin I-

II, karena makin tinggi trakeotomi makin

ideal untuk laringektomi dalam membuat

stoma

Ada jaringan tiroid di atas trakea Singkirkan ke atas (cranial) atau ke bawah

(caudal). Kalau tidak bisa, lepaskan dari

dasarnya dengan klem bengkok, lalu di

klem (di kanan dan kirinya), dipotong, dan

dijahit.

Di bawah kelenjar tiroid ini biasanya sudah

tampak trakea.

Ada vena membesar (karena bendungan) Sisihkan, kalau perlu diklem, dijahit dan

47

Page 48: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

dipotong.

Perdarahan karena insisi Lakukan "insisi" dengan cara "tumpul"

ialah den gan gunting yang dibuka; setelah

jaringan diangkat sedikit dengan pinset

anatomi, dilubangi dan dilebarkan dengan

gunting; perdarahan yang ada dapat di klem

jahit atau kauter.

Cara memegang "haak" tidak konsisten

sehingga lubang operasi tidak di tengah

(Haak = pengait) Kalau "haak" dilepas,

lubang operasi tertutup, lubang operasi

hilang

Tempat irisan tak konsisten, haak dilepas,

lubang hilang

Setiap kali "membuka" irisan secara

tumpul, diperiksa (dengan melepas haak)

apakah masih ada di garis tengah.

Kalau berubah, tempat "insisi" dibetulkan

(diulangi agar tetap digaris tengah)

Bagaimana mengatasi trakeotomi darurat

Darurat ialah penderita dalam keadaan sesak, mungkin sianosis. Mungkin terjadi

Jackson grade 3 atau 4. Tindakan pertama : pemberian oksigen yang efektif. Penderita gelisah

karena hipoksi, jadi jangan diberi sedatif, sebab penderita harus secara aktif mengambil

napas. Beri oksigen supaya hipoksinya berkurang, sebab dalam keadaan hipoksi berat dapat

terjadi cardiac arrest.

Cara pemberian oksigen yang efektif :

1. Pasang "nasal prong", penderita biar duduk dulu yang enak untuk dirinya. Cara ini

menaikkan kadar oksigen napas 30%. Dilakukan selama 5-10 menit.

2. Kemudian dipasang masker transparan untuk pemberian oksigen yang lebih baik

aliran oksigen 6-8 lpm. Kadar oksigen napas menjadi 60%. Dilakukan 10 menit.

3. Baru dipasang masker sirkuit anestesi dengan high flow oksigen. : 10 lpm. Dengan

cara ini kadar oksigen napas menjadi 100%. Setelah ini penderita akan tenang, dapat

dilakukan trakeotomi secara anaestesi lokal. Jadi prinsip trakeotomi bukan tergesa-

gesa mengiris dengan pisau, sebab dalam keadaan hipoksi berat, pada penderita yang

"melawan" tindakan, dapat terjadi cardiac arrest. Dalam keadaan sesak penderita

menarik napas kuat-kuat, yang justru akan membuat lebih sesak. Penderita diminta

48

Page 49: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

menarik napas perlahan-lahan saja, karena sudah diberi oksigen. Setelah diberikan

oksigen, penderita tenang, dapat ditidurkan dengan posisi yang ideal, trakeotomi

dapat dikerjakan.

G. KOMPLIKASI TRACHEOTOMY

Intraoperatif

- perdarahan pada pembuluh darah besar

- perlukaan pada dinding trakeoesofageal

- pneumothrax

Early Complication

- perdarahan

- obstruksi pipa trakeotomi

- tracheostomy tube displacement

- infeksi

Late Complication

- stenosis trakea

- terbentuk jaringan granulasi

- fistula trakea-kutaneus

- fistula trakea-inominata

H. MASALAH-MASALAH SELAMA TRACHEOTOMY

1. dislokasi tracheostomy tube

2. perdarahan dari stoma (mulut) saat dilakukan suction

3. blockade dari pipa trakeotomi

4. adanya aspirasi atau tertelan sesuatu

5. kesulitan berbicara

49

Page 50: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

I. PERAWATAN DI RUMAH

1. berikan penjelasan dan edukasi kepada keluarga yang merawat

2. mesin suction dan kateter suction harus disediakan

3. informasikan kapan harus ke rumah sakit

4. minta perawat untuk memeriksa ke rumah pasien

3.12 Percutaneous Tracheotomy

1 Lakukan inisisi curvilinear pada kulit sepanjang relaxed skin tension lines (RSTL) di

antara takik sternum dan kartilago krikoid.

2 Lakukan pemotongan secara tumpul menuju trakea.

3 Masukkan cannula plastic dan needle beserta spuit berisi air ke dalam trakea. Adanya

udara saat dilakukan aspirasi menandakan keberhasilan penempatan cannula.

4 Lepaskan needle dari cannula.

5 Masukkan wire ke dalam trakea melalui cannula.

6 Lepaskan cannula.

7 Lakukan dilatasi trakea, dengan salah satu cara berikut :

- Ciaglia : pemasukan dan pengeluaran berulang dari dilator yang bertahap

dengan ukuran yang semakin besar melalui wire ke dalam trakea.

- Griggs : pemasukan guide wire forceps khusus melalui wire ke dalam trakea

dan dilakukan pembukaan untuk mendapatkan dilatasi lengkap dalam 1

langkah.

- Rhino : pemasukan dilator tunggal besar yang lancip melalui bantuan plastic

guidewire.

- Frova Percutwist : pemasukan suatu screw khusus yang diameternya semakin

membesar yang berputar untuk mendilatasi.

8 Masukkan pipa tracheostomy (bersamaan dengan dilepasnya ETT ), isi cuff dengan

udara, kemudian difiksasi.

9 Hubungkan dengan ventilator.

50

Page 51: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

A. KOMPLIKASI

1 Immediate

- pneumothorax atau pneumomediastinum

- tracheoesophageal fistula

- perlukaan pada pembuluh darah besar atau N. larryngeus recurrent

- perdarahan

2 Early

- sumbatan dari secret dan mucus

- tersangkutnya pipa

- respiratory arrest dan post obstructive pulmonary edema

3 Late

- perdarahan dari fistula trakeo-inominata

- stenosis trakea

- tracheoesophageal fistula

- tracheocutaneous fistul

3.13 Cricothyrotomy

Cricothyrotomy pertama kali diperkenalkan oleh Vicq d’Azyr (1805), ahli bedah dan

ahli anatomi berkebangsaan Perancis. Cricothyrotomy sebenarnya adalah membuat suatu

insisi pada kulit leher tepat di bawah kartilago tiroid (Adam’s apple), kemudian membuat

insisi kedua pada membrane cricothyroid. Selanjutnya, pipa yang telah dihubungkan ke

mesin pernapasan atau dengan menggunakan kantung pernapasan dimasukkan kedalam

lubang tersebut untuk membantu pasien bernapas.

A. ANATOMI

Membran cricothyroid terletak di antara kartilago tiroid dan kartilagi krikoid. Ini bisa

diketahui secara palpasi pada bagian anterior leher dengan beracuan pada penonjolan

kartilago tiroid. Setelah itu, telusuri dengan jari sampai dirasakan adanya ruang antara

51

Page 52: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

kartilago tiroid dan kartilago krikoid. Ruang ini disebut Cricothyroid membrane (CTM).

B. TEKNIK

1 Persiapkan semua peralatan yang diperlukan dan periksa pipa tracheostomy dengan

memompa pipa dengan udara sebanyak 10 cc. Tempatkan alat-alat pada kain steril.

2 Salah satu aspek yang penting adalah dalam memposisikan pasien, yaitu supine,

dengan mengganjal bahu, dan leher dalamkeadaan hiperekstensi.

3 Sterilkan kulit dari daerah sternal ke dagu dan meluas ke samping dan pangkal leher.

Pastikan semua prosedur dilakukan dalam keadaan steril.

4 Tentukan/ identifikasi membran cricothyroid.

5 Lakukan anestesi infiltrasi pada kulit di sekitar membrane dengan menggunakan

lidocain 1%.

6 Dengan menggunakan scalpel, buat insisi horizontal pada membrane cricothyroid

sepanjang 2 cm.

7 Buka lubang yang telah dibuat dengan memutar scalpel 90o atau menggunakan klem

8 Pasang endotracheal tube atau tracheostomy tube ukuran 6 atau 7

9 Cuff diisi udara kemudian pipa difiksasi

10 Bantu napas dengan memberikan oksigen bertekanan tinggi melalui bag valve

11 Tentukan keberhasilan teknik dengan mengauskultasi kedua thorax dan perhatikan

naik turunnya dada.

12 Diusahakan untuk tidak melepas atau memindahkan ETT sebelum terjamin kondisi

52

Page 53: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

yang stabil bagi pasien.

13 Lakukan suction pada trakea.

14 Foto roentgen thoraks untuk mengetahui letak ETT.

B. PEMBEDAHAN PADA JALAN NAFAS

Indikasi untuk pembedahan pada jalan napas adalah untuk mengamankan jalan napas

pada pasien yang tidak memungkinkan untuk dilakukan teknik intubasi lain yang lebih aman

(ETT). Untungnya, kondisi seperti ini sangat jarang terjadi. Perdarahan pada saluran napas

tidak memungkinkan untuk dilakukan direct laryngoscopy dan intubasi melalui mulut.

Demikian halnya, pada edema laring atau fraktur yang menyumbat glottis, teknik intubasi

seperti itu juga tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Yang termasuk dalam pembedahan jalan napas antara lain percutaneus needle

cricothyrostomy, standard surgical cricothyrotomy, and tracheostomy. Emergency

tracheostomy merupakan suatu teknik yang sulit, beresiko tinggi, dan sebisamungkin

dihindarkan terkecuali jika terdapat dokter bedah berpengalaman yang dapat melakukannya.

o Percutaneous needle cricothyrostomy

Teknik Percutaneous needle cricothyrostomy (PNC) mencakup membuat lubang

besar, dan memasukkan kateter melalui membran cricothyroid (CTM). Ini merupakan teknik

bedah jalan nafas yang dipilih untuk anak-anak usia < 12 tahun. Anak usia tersebut,

mempunyai CTM yang tidak cukup luas untuk dilakukannya pembedahan crycothyrotomy.

Crycothyrostomy, bila disertai dengan fasilitas penyediaan oksigen yang memadai, akan

menciptakan oksigenasi yang adekuat bagi sebagian besar pasien selama mereka dalam

perjalanan ke tempat dimana bisa diperoleh ventilasi yang lebih baik. Pengeluaran CO2

mungkin kurang sempurna dengan teknik ini, sehingga dapat menyebabkan asidosis

respiratori. Pasien biasanya hanya memiliki waktu 30-45 menit sebelum kondisi asidosisnya

memburuk.

Teknik PNC

Penolong menentukan CTM dengan mempalpasi ke bawah dari bagian menonjol

kartilago tiroid dan menggunakan tangan dominan untuk memposisikan needle. Jika waktu

53

Page 54: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

dan kondisinya memungkinkan, kulit yang melapisi CTM dibersihkan dengan providone-

iodine. Ketika trakea terbuka, asiprasi pada spuit harus terbebas dari udara. Needle kemudian

diposisikan dengan sudut 45o di atas garis horizontal, dan kateter dimasukkan melalui needle

ke dalam trakea. Kemudian needle dilepaskan.

Suplai Oksigen. Kateter dipasang untuk meyuplai kebutuhan oksigen. Alat utama adalah jet

ventilation apparatus yang mampu menyuplai oksigen sampai 50 psi. Gunakan tanki oksigen

dan monitor untuk mencegah deplesi oksigen yang cepat. Oksigenasi yang adekuat pada alat

ini akan tercetus dalam 1 detik, yang kemudian berhenti selama 3 detik untuk exhalasi. Harus

diperhatikan naik turunnya dadanya.

Bagaimanapun, untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan membantu pernapasan pada

pasien apnea dengan kantung resusitasi (resuscitation bag), harus menggunakan kateter

dengan diameter minimal 4 mm. Ketika kateter sudah terpasang dan oksigenasi dimulai,

maka kateter harus difiksasi untuk mencegah pergeseran dari posisi awal. Jika posisi berubah,

dapat menyebabkan masuknya oksigen ke dalam jaringan subkutis, dan hal ini dapat

berbahaya sehingga usaha selanjutnya untuk mengamankan jalan napas akan lebih sulit.

Kontraindikasi.

Pada obstruksi total saluran napas atas, karena dapat menyebabkan 54arotraumas yang berat.

Komplikasi

1. Perdarahan

2. Laserasi atau kerusakan dari jaringan sekitarnya (neurovascular, kelenjar tiroid, pita

suara, esophagus)

3. Emfisema subkutis

4. Salah pemasangan

5. Hipoksia karena tindakan yang terlalu lama atau gagal

6. Aspirasi

7. Infeksi

8. Stenosis trakea

9. Kerusakan kartilago tiroid

54

Page 55: Airway Management

Airway ManagementKepaniteraan Anestesi FK Ukrida

RS ImannuelPeriode 28 Maret - 30 April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Asai, T 1993 Fiberoptic tracheal intubation through the laryngeal mask in an awake patient with cervical spine injury dalam Anesthesia analgesia International Anesthesia Research Society Cleveland Ohio.

Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K. 1993 Management of the airway dalam Handbook of clinical anesthesia 2nd ed. J.B. Lippincott Company Philadelphia.

Benumof, J.L. 1993 Management of the difficult airway The ASA algorithm dalam Review course lectures International Anesthesia Research Society Cleveland Ohio.

Corke, C.F., Jackson, I.J.B 1994 Endotracheal intubation dalam Companion to clinical anaesthesia exams W.B. Saunders Philadelphia.

Gaiser, R. 1993 Airway evaluation and management dalam Clinical anesthesia procedures of the Massachusetts general hospital 4th ed. Little Brown and Company Boston.

Garwati, L., Sulistio, K., Tampubolon, O.E. 1994 Anestesia dengan laryngeal mask pengalaman 150 kasus dalam kumpulan makalah pra PIB VIII IDSAI Surakarta.

Hanindito, Elizeus 1992 Gangguan pernafasan selama anestesi dalam Diktat kuliah ilmu anestesi vol. 1 Sie. Bursa Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya.

http : // emedicine/ tracheotomy/

http : // medicastore/ tracheostomy/

Morgan, Edward G. 1996 Airway management dalam Clinical anaesthesiology International Anesthesia Research Society Cleveland Ohio.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006 Anatomi dan fisiologi sistem pernafasan dalam Patofisiologi vol. 2 ed. 6 Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta.

Soedjak, Sardjono 2000 Petunjuk Praktis Trakeotomi dalam Cermin dunia kedokteran No. 128 Lab/ SMF THT FK Universitas Airlangga Surabaya.

Wright, E.M., Major, E. 1993 Airway catastrophes and solution dalam Recent advantages in anaesthesia analgesia 17th ed. Churchill Livingstone London.

55