5 Airway Management

65
1 BAB I PENDAHULUAN Keahlian dalam manajemen jalan napas sangat penting dalam setiap spesialisasi kedokteran. Mempertahankan jalan napas yang paten sangat penting untuk oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan kegagalan dalam melakukannya walau dalam waktu yang singkat akan mengancam nyawa. 1 Oksigen (O 2 ) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernafas. Penyampaian O 2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan O 2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Pasien dalam situasi demikian mengharapkan kompetensi sebagai dokter dalam mengenal keadaan hipoksemia dengan segera untuk mengatasi masalah.

description

tatalaksana jalan napas

Transcript of 5 Airway Management

Page 1: 5 Airway Management

1

BAB I

PENDAHULUAN

Keahlian dalam manajemen jalan napas sangat penting dalam setiap

spesialisasi kedokteran. Mempertahankan jalan napas yang paten sangat penting

untuk oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan kegagalan dalam melakukannya

walau dalam waktu yang singkat akan mengancam nyawa.1

Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital dalam

proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel

tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan

dalam setiap kali bernafas. Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh

interaksi system respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Adanya

kekurangan O2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat

menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Pasien

dalam situasi demikian mengharapkan kompetensi sebagai dokter dalam

mengenal keadaan hipoksemia dengan segera untuk mengatasi masalah.

Tujuan utama dari pengelolaan jalan napas adalah untuk membebaskan

jalan napas untuk menjamin terjadinya pertukaan udara secara normal sehingga

menjamin kecukupan oksigenasi tubuh.1

ANATOMI1,2

Selain membuat pasien tidak merasa nyeri, tidak ada karakteristik terbaik

untuk seorang dokter anestesi selain kemampuan penanganan jalan nafas dan

pernafasan pasien. Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi

regional untuk laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.

Page 2: 5 Airway Management

2

a. Hidung dan mulut

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung

yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars

oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi

kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 5-1).   

Normalnya, manusia akan berusaha bernapas melalui hidung, dan pada

keadaan tertentu akan bernapas melalui mulut. Udara yang masuk akan

mengalami proses penghangatan dan pelembapan. Pada korban yang tidak sadar,

lidah akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini dapat menyebabkan

gangguan pada airway. Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih

mudah menyumbat airway.

b. Faring

Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari

dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian

depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring

dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis

imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis

Page 3: 5 Airway Management

3

memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah

terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan.

c. Epiglotis

Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang berukuran kecil yang

dinamakan epiglotis. Normalnya, epiglotis menutup laring pada saat makanan atau

minuman masuk melalui mulut, sehingga akan diteruskan ke esofagus. Tetapi,

pada keadaan tertentu seperti trauma atau penyakit, refleks ini tidak dapat berjalan

sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke

laring yang dapat mengakibatkan tersedak.

d. Laring dan trakea

Laring adalah bagian paling pertama dari saluran pernapasan. Pada bagian ini

terletak pita suara. Setelah melalui laring, udara akan melalui trakea. Pada bayi,

trakea berukuran lebih kecil, sehingga tindakan mendongakan kepala secara

berlebihan (hiperekstensi) akan menyebabkan sumbatan pada airway.

Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot.

Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan

(sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

Page 4: 5 Airway Management

4

Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring.

Kerusakan saraf motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan

bicara (tabel 5-1). Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid

menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior

bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol

jalan nafas.

Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari

pita suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf

laringeal superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral

dapat menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan

dari otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis

saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti

atropi dari otot laringeal).

Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal

rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara

flasid dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun

fonasi terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang jadi masalah.

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri

krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari

arteri carotid externa dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang

memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior

ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid.

Page 5: 5 Airway Management

5

Page 6: 5 Airway Management

6

BAB II

PEMBAHASAN

Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah adalah membebaskan

jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap bebas.2

Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan

nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas

buatan dan bantuan pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak

sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika ada

cedera kepala, leher  atau dada maka pada waktu intubasi trakhea tulang

leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line

Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( self-

invlating)

Menilai jalan nafas 

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

- Suara berkumur 

- Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

- Pasien gelisah karena hipoksia

- Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradox

- Sianosis 

Menjaga stabilitas tulang leher 

Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan

Indikasi tindakan ini adalah :

- Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi

- Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar

- Apnea

- Hipoksia

- Trauma kepala berat

- Trauma dada

Page 7: 5 Airway Management

7

- Trauma wajah / maxillo-facial

Airway Management2

Tujuan nya adalah membebaskan jalan napas untuk menjamin pertukaran

udara secara normal. Cara melakukan diagnosa terhadap adanya gangguan

jalan napas dapat diketahui dengan cara L (look), L (listen), dan F (feel) yang

dilakukan dalam satu gerak.

L = Look / Lihat

-         Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna

mukosa/kulit dan kesadaran.

·         Lihat apakah korban mengalami agitasi, tidak dapat berbicara, penurunan

kesadaran, sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia

dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan kulit sekitar mulut. Lihat apakah

terdapat retraksi dan penggunaan otot-otot nafas tambahan.

L = Listen / Dengar

Dengar aliran udara pernafasan, dengar adanya suara-suara abnormal.

Pernapasan yang berbunyi (suara nafas tambahan) adalah pernapasan yang

tersumbat. Suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul

(crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada

faring atau laring. Suara parau (hoarseness, disfonia) menunjukkan sumbatan

pada faring.

F = Feel / Rasakan

·         Rasakan Tidak ada udara yang dapat dirasakan atau didengarkan dari hidung dan

mulut dengan cepat menentukan apakah trakea berada di tengah

·         Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi penolong

Page 8: 5 Airway Management

8

Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini

dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan, sambil melakukan

penilaian pada pasien mengenai:

• Tingkat kesadaran

• Napas spontan vs apnu

• Airway and cervical spine injury

• Gerakan dada

• Tanda-tanda obstruksi airway

• Suara napas

• Reflex jalan napas

1.Tindakan yang dilakukan untuk penatalaksanaan jalan nafas tanpa alat2,3

a. Membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal

Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan napas pada korban tidak

sadar. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan kehilangan kekuatan ototnya

sehingga akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini mengakibatkan

tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Pada kasus-kasus tertentu, korban

membutuhkan bantuan pernapasan. Sebelum diberikan bantuan pernapasan, jalan

napas korban harus terbuka. Ada dua manuver yang lazim digunakan untuk

membuka jalan napas, yaitu head tilt / Chin lift dan jaw trust.

Chin Lift maneuver (perasat mengangkat dagu)

Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.

Tehnik ini bertujuan membuka jalan nafas secara maksimal. Tidak

disarankan pada penderita dengan kecurigaan patah tulang leher dan

sebagai gantinya gunakan Jaw thrust dan hanya dapat digunakan pada

korban tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang.. Tahap-tahap

untuk melakukan tehnik ini adalah :

·        Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling dekat

dengan dahi korban).

Page 9: 5 Airway Management

9

·        Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi kearah

belakang.

·        Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari

dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan

diletakkan dibawah dagu.

·        Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan

samapi mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu

menengadahkan kepala.

·        Pertahankan posisi ini.

Head Tilt (dorong kepala ke belakang)

Dilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, tidak boleh dilakukan

pada pasien dugaan fraktur servikal.

Caranya :

- Letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah

sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan

lidahpun terangkat ke depan.

- Tangan kanan melakukan  Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri

melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas.

Jaw thrust (perasat menolak sudut rahang bawah)

Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan

maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher. Tehnik

ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun tehnik ini menguras

tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk korban dengan cedera

tulang belakang.

Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah :

·         Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi

kepala korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban.

·         Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban

anak-anak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut rahang.

Page 10: 5 Airway Management

10

·         Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban

keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.

- Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir

bagian bawah dengan kedua ibu jari.

Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik

Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang

disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.Bila jalan nafas tersumbat karena

adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan

sapuan jari.Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain

yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas

(apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara

melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan

pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

Triple Airway Manuever

Page 11: 5 Airway Management

11

b. Membersihkan jalan napas   

Sapuan jari (finger sweep)

Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada

rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda

asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.

Cara melakukannya :

·         Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian

buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas

(maneuver emaresi)

·         Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan

sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan

menyapu.

  

c. Mengatasi sumbatan nafas parsial

Mengatasi sumbatan parsial/sebagian. Digunakan untuk membebaskan

sumbatan dari benda padat. Dapat digunakan teknik manual thrust

Abdominal thrust (Manuver Heimlich)

Page 12: 5 Airway Management

12

Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang. Caranya berikan

hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma – abdomen).

1. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk

Caranya :

Penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan

kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol

tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang

sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan

tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus

terpisah dan gerakan yang jelas.

2.  Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)

Page 13: 5 Airway Management

13

Caranya :

Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong

berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis

tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua

diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan

hentakan yang cepat ke arah atas.

Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring

tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung

Paru (RJP).

3. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri6

Merupakan pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.

Caranya :

Kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di

bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke

atas ke arah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidak berhasil dapat

dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.

Chest thrust

Untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil.

Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari

telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua

Page 14: 5 Airway Management

14

putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest

thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.

Back blow

Untuk bayi

Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif

atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di

titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae).

2.Tindakan yang dilakukan untuk penatalaksanaan jalan nafas dengan alat3

Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil

dengan sempurna dan fasilitas tersedia.

Peralatan dapat berupa :

a)    Pemasangan Pipa (tube)

·         Dipasang jalan nafas buatan dengan pipa, bisa berupa pipa orofaring (mayo), pipa

nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi korban.

·         Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan nafas

tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat

menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar.

·         Pemasangan pipa endotrakea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka,

menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan.

Page 15: 5 Airway Management

15

Penilaian tingkat kesulitan, bergantung kepada:

- Mobilitas leher

- Wajah luar

- Mulut

- Lidah dan faring

- Rahang

- Mendapakan bantuan dari ahli

Pilihan untuk pengelolaan jalan nafas

• Awake intubation

• Flexible fiberoptic intubation

• Awake tracheostomy

• Laryngeal mask airway or esophageal-tracheal combitube

• Needle cricothyrotomy

• Surgical cricothyrotomy

Page 16: 5 Airway Management

16

Diagram pengelolaan jalan nafas yang sulit

b)   Pengisapan benda cair (suctioning)

·         Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan dengan

alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin)

·         Pada penderita trauma basis cranii maka digunakan suction yang keras untuk

mencegah suction masuk ke dasar tengkorak

c)    Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas

Bila pasien tidak sadar terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring

maka tidak mungkin dilakukan sapuan jari, maka digunakan alat Bantu berupa :

laringoskop, alat pengisap, alat penjepit.

d)   Membuka jalan nafas

Page 17: 5 Airway Management

17

·         Dapat dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi

·         Cara ini dipilih bila pada kasus yang mana pemasangan pipa endotrakeal tidak

mungkin dilakukan, dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas

medis yang terlatih, dapat melakukan krikotirotomi dengan pisau atau

trakeostomi.

e)    Proteksi servikal

·         Dalam mengelola jalan nafas, jangan sampai melupakan control servikal terutama

pada multiple trauma atau tersangka cedera tulang leher.

·         Dipasang dari tempat kejadian. Usahakan leher jangan banyak bergerak. Posisi

kepala harus “in line” (segaris dengan sumbu vertikal tubuh)

Alat-alat Yang Dapat Digunakan dalam Pengelolaan Jalan Nafas1,4

1. Oral & Nasal Airway

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot

genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh

kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw

thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk

mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat

dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara

antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang

sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat

memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral

airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan

kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa

umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4),

dan besar (100 mm/Guedel no 5).

Page 18: 5 Airway Management

18

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang

hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.

Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada

pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway

jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang

dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal)

harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien

dengan anestesi ringan.

2. Face Mask Design dan Teknik4

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas

anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan

rapat (gambar 5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka

pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui

konektor. Tersedia berbagai desain face mask. Face mask yang transparan dapat

mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Face mask yang dibuat dari karet

berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak

umum. Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask

tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk pediatrik di desain untuk

mengurangi dead space.

Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask

yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat

Page 19: 5 Airway Management

19

menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini

menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit

breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang

minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan

untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag.

Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask

dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk

ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan

pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi

jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk

jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

Page 20: 5 Airway Management

20

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw

thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang

asisten untuk memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat

disebabkan karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw

thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat ke muka. Membiarkan

gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan

kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi

tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara

ke lambung.

Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan

oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat

menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial.

Disebabkan tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan,

hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask supaya tidak bocor. Bila face

mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering

dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus

diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.

3. Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)5

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask

dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan

TT pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama

bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki

kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas

dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan:

a. LMA yang dapat dipakai ulang

b. LMA yang tidak dapat dipakai ulang

c. ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik

dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif

d. Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan

nafas yang sulit.

Page 21: 5 Airway Management

21

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian

proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,

dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat

pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara

membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah

ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam

dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif

mudah (gambar 5-9), perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. (tabel

5-2). Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme

dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di

rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi.

Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa

pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba

Page 22: 5 Airway Management

22

memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain

yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau

ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA

dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop

fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian

balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester

seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap

regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai

reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau

membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di

autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai

ukuran (tabel 5-3).

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT

(tabel 5-4). Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring

(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan,

hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan

nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.

Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme atau

resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa

karena tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan

kejadian bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini

nyata tidak sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat

Page 23: 5 Airway Management

23

membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat

diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka

keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk

jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT

diameter kecil (6,0 mm).

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan

TT yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat

Page 24: 5 Airway Management

24

dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan

nafas harus bebas seraya pasiennya sadar.

4. Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)

Teknik & Bentuk Pipa

1. Penggunaan: jalan napas darurat kontrol di saluran napas sulit. Hanya

tersedia dalam satu ukuran dewasa (usia> 15 tahun dan tinggi> 5 kaki).

2. Insersi

Dengan kepala dalam posisi netral, masukkan ETC, dengan

tekanan lembut, sampai dengan tanda hitam (gigi harus antara

tanda hitam).

Pompa balon percontohan pertama (manset biru) dengan 100 cc.

Sebagai manset mengembang, combitube akan muncul keluar 1

cm.

Pompa balon pilot kedua (manset putih) dengan 1015 cc.

1. Penempatan

Ventilasi melalui (biru) lumen.

Jika suara napas yang hadir, ETC di kerongkongan; ventilasi.

Jika tidak ada suara napas yang terdengar, perubahan ventilasi

untuk lumen lebih pendek # 2 (yang jelas) dan recheck untuk suara

napas. Jika suara napas yang hadir, ETC dalam trakea; terus

ventilasi.

Jika tidak ada suara napas atau napas suara samar, upaya untuk

meningkatkan segel dengan menambahkan hingga 60 cc ke balon

nomor 1.

Jika tidak mampu untuk ventilasi, manset mengempis baik,

menarik kembali 3 cm dan reinflate manset. Ventilasi melalui

lumen biru dan memeriksa bunyi napas. Jika masih bunyi napas

tidak ada, manset mengempis, menghapus DLL dan memulai

algoritma di atas.

Page 25: 5 Airway Management

25

4. Kontraindikasi Tinggi

kurang dari 5 kaki (hanya satu ukuran saat ini tersedia).

gag refleks utuh (tidak akan mentolerir manset).

Kehadiran penyakit esofagus (potensial untuk perdarahan atau

pecah).

Menelan zat kaustik (potensi untuk pecah).

Atas obstruksi jalan napas (benda asing, edema glottic, epiglotis).

5. kekhawatiran

Potensi nasofaring, kerusakan mukosa orofaringeal atau trakea atau

edema (terutama jika dibiarkan dalam untuk lebih dari 2-8 jam).

Ketidakmampuan untuk sekresi hisap ketika dalam posisi trakea

esofagus.

Hanya satu ukuran yang tersedia, penggunaan tunggal membuat

mahal.

Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,

masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang

lebih panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparan berukuran yang lebih

pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini

biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2

lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2

balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15 ml untuk balon

distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa

yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung.

Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening

akan langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai

pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced

Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih

suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas

yang sulit.

Page 26: 5 Airway Management

26

5. Pipa Tracheal (TT)

TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea

dan mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan

standar TT (American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).

TT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda

“IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun.

Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandrin. Ujung

pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita

suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi

resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau

trachea.

Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga

dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola

dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala

Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa

selalu hasil kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan

meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.

Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri

dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembang balon, dan balon

(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk

memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube

Page 27: 5 Airway Management

27

dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT

mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan

aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk

meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan

tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya

iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.

Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas

area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit

( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari

kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.

Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,

diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon,

dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan

balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari

mukosa tracheal ke balon TT.

TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang

lentur, spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada

operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis

Page 28: 5 Airway Management

28

baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan

menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus

lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double

lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak

yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.

6. Rigid Laryngoscope

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk

fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu

pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung

blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang

MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus.

Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien.

Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus

familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

Page 29: 5 Airway Management

29

Laringoskop Khusus

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat,

untuk membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan

nafas yang sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu.

Page 30: 5 Airway Management

30

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung

dengan ujung yang panjang, dan di desain untuk membantu melihat muara glotis

pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.

Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang

memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang

digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada

pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien

dengan jalan nafas sulit.

7. Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)

Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak

stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan

kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi

langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan

atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibelmemungkin visualisasi tidak

langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana

direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari fiberglass ini

mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya

akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.

Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 – 15.000

fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya

Page 31: 5 Airway Management

31

bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan

gambaran resolusi tinggi.

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang

kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau

penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi,

sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan

sterilisasi telah digunakan.

2. TEKNIK LARINGOSKOPI DAN INTUBASI

A. Indikasi Intubasi

Pemasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.

Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan

anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi dan untuk

akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang

memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut

atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan

untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,

perbaikan hernia inguinal dan lain lan.

Page 32: 5 Airway Management

32

B. Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi

pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan

menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan

balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa

dokter anestesi memotong TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk

mengurangi resiko dari intubasi bronchial atau sumbatan akibat dari pipa kinking.

Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan

terlepas, jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam TT dan ini

ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke

anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba

berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu

bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik,

perlu diingat untuk mengganti baterai. Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih

kecil atau lebih besar) dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk

membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan,

darah, atau muntah.

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala

pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk

mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi.

Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis

langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang

(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join

Page 33: 5 Airway Management

33

menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari

tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.

Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam

dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak

mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien

yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru dan yang tidak memiliki

jalan nafas yang sulit.

Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien.

Karena anestesi umum menghilangkan reflek proteksi cornea, perlindungan harus

dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan

terjadi abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan

plester, walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.

C. Intubasi Orotracheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka

lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk

menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring

dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam

Page 34: 5 Airway Management

34

vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle

diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk

melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan

dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya

dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus berada

dalam trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati-

hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit

udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan

positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trachea.

Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan

tekanan balon yang adekuat.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan

capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Jika ada

keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT

dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat

untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf yang

merupakan konfirmasi terbaik dari letak TT di trachea, tapi tidak dapat

mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah

peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi

dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan

tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi

Page 35: 5 Airway Management

35

intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan

meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat

dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.

Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat

mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam

kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam

orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan usaha karena

hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan meningkatkan keberhasilan,

seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan

mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta

bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face

mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube,

cricotirotomi dengan jet ventilasi, tracheostomi). Petunjuk yang dikembangkan

oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana

terapi.

Page 36: 5 Airway Management

36

D. Intubasi Nasotracheal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat

hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang

hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas

lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan

pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,

pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan

hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan

blok saraf dapat digunakan.

TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan

dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh

dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung

proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur

dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, laringoskope, digunakan adduksi

pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea tanpa

kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara

mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati agar

tidak merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan

kateter nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat

disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.

E. Flexible Fiberoptic Nasal Intubasi1

Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes

vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah.

O2 dapat diinsuflasi ke melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB

untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip.

Pilihan lain, jalan nafas nasal yang lebar dapat dipasang dalam lubang

hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari

nasal airway untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak

sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan

melalui nasal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan

Page 37: 5 Airway Management

37

oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang

telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung lainnya sepanjang

nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam

lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari TT atau

membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk mempertahankan tangkai

bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop diputar secara

langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari

FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari

bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi.

Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas

adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat,

FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw

thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus

sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi

intubasi.

Sekali dalam trakhea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya

cincin trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong

dari FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah

mudahnya memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya

Page 38: 5 Airway Management

38

menurunkan masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada

bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan melihat

ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik.

TEKNIK EKSTUBASI1,4

Keputusan untuk memindahkan TT ini adalah bagian dan seni

anestesiologi yang berkembang dengan pengalaman. Ini hal penting dalam

praktek karena banyak komplikasi timbul selama ekstubasi dan segera setelahnya

dibandingkan dengan setelah intubasi. Secara umum, ekstubasi paling baik

dilakukan ketika pasien dalam keadaan teranestesi dalam atau sadar. Pada

beberapa kasus, pemulihan dari obat neuromuskuler blok harus adekuat sebelum

ekstubasi. Jika digunakan obat blok neuromuskuler dan pasien dilakukan kontrol

ventilasi dan karena itu harus weaning dari ventilator sebelum dilakukan

ekstubasi.

Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar)

harus dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara

anestesi dalam dan anestesi dangkal ini biasanya nyata selama pengisapan faring:

setiap reaksi terhadap tindakan suction (misalnya tahan nafas, batuk) merupakan

tanda dari anestesi dangkal, sedangkan bila tidak ada reaksi disebut dalam

keadaan anestesi dalam. Buka mata atau melakukan gerakan sesuai perintah

menunjukkan pasien telah sadar.

Ekstubasi pada pasien sadar, biasanya disertai batuk. Reaksi ini

meningkatkan denyut jantung, tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan

vena central, tekanan arteri. Ini dapat juga menyebabkan luka operasi terbuka dan

berdarah kembali. Adanya TT pada pasien asmatik, dapat mencetuskan terjadinya

bronchospasme. Walaupun konsekuensi ini dapat menurun dengan pemberian

lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi

dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik pada pasien tidak dapat

mengtolerir efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra indikasi pada pasien

dengan resiko untuk aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya sulit untuk

dikontrol setelah ekstubasi.

Page 39: 5 Airway Management

39

Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi

dalam atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk

mengurangi resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi

dengan O2 100% pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah

ekstubasi. Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari ikatan atau plester dan

balon dikempeskan. Apakah ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau inspirasi

tidak terlalau penting. ETT diangkat dalam sekali narik dengan gerakan yang

halus dan kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil

untuk transportasi ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen

melalui face mask tetap diberikan selama transportasi.

Page 40: 5 Airway Management

40

F. KOMPLIKASI LARINGOSKOPI DAN INTUBASI2

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,

trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau

malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau

intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.

Trauma Jalan Nafas

Instrumetasi dengan blade laringoskop besi dan pemasangan dari TT yang

kaku sering menimbulkan trauma pada jaringan lunak jalan nafas. Meskipun

kerusakan gigi paling sering bahan tuntutan dari malpraktek melawan spesialis

anestesi, laringoskop dan intubasi dapat membawa kearah rentang komplikasi

dari nyeri tenggorokan ke trachea stenosis. Kebanyakan dari ini disebabkan

tekanan eksternal dari struktur jalan nafas yang sensitif dalam jangka waktu lama.

Ketika tekanan ini melampaui tekanan darah kapiler dan tekanan darah arteriol

( kira-kira 30mmHg), jaringan ishemia dapat menyebabkan inflamasi, ulserasi,

granulasi dan stenosis. Pengembungan dari balon TT ke tekanan minimum yang

menimbulkan tidak adanya kebocoran selama tekanan ventilasi positif (biasanya

kurang dari 20mmHg) mengurangi aliran darah ke trakhea 75% pada sisi balon.

Pengembangan balon lebih dari 20 mmHg atau adanya hipotensi dapat secara total

menghentikan aliran darah mukosa.

Page 41: 5 Airway Management

41

Adanya cropu pasca intubasi disebabkan karena edema glotik, laring,

trakea sangat berbahaya terutama pada anak-anak. Keuntungan dari kortikosteroid

(misalnya deksametason 0,2 mg/kg sampai maksimal 12 mg) dalam mencegah

edema jalan nafas pasca ekstubasi masih kontroversi, akan tetapi, telah

ditunjukkan manfaatnya pada anak dengan croup yang disebabkan oleh penyebab

lain. Paralisis pita suara akibat kompresioi balon atau trauma lain pada saraf

laringeal rekuren menyebabkan suara serak dan meningkatnya resiko aspirasi.

Beberapa komplikasi ini menurun dengan dengan menggunakan ETT yang sesuai

dengan anatomi jalan nafas (misal Lindholm Anatomical Tracheal Tube).

Kejadian serak pascaoperasi menimgkat pada pasien obesitas, intubasi sulit,

dianestesi lama. Pemakaian lubrikan yang laru dalam air atau salep anestesi pada

ujung atau balon ETT tidak menurunkan kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi

atau suara serak. ETT yang lebih kecil (no 6,5 untuk wanita atau no 7 untuk pria)

menyebabkan menurunnya keluhan nyeri tenggorokan. Pengulangan usaha

Page 42: 5 Airway Management

42

laringoskopi selama intubasi yang sulit dapat menimbulkan edema periglotik dan

ketidak mampuan ventilasi dengan facemask.

Kesalahan Posisi Pipa

Intubasi esofageal yang tidak disengaja dapat menyebabkan keadan yang

mendebarkan. Pencegahan komplikasi ini tergantung dari visualiasi langsung

ujung ETT melalui pita suara, dengarkan secara seksama untuk mendengar dari

suara nafas bilateral dan tidak adanya gargling pada lambung saat diventilasi

lewat TT, analisis dari gas exhalasi tentang adanya CO2 (metode yang paling

dipercaya), radiografi dada, atau menggunakan FOB.

Walaupun telah dikonfirmasikan bahwa pipa ada di trakhea, tapi belum

tentu posisinya betul. Intubasi yang terlalu dalam umumnya akibat pipa masuk ke

bronkhus kanan disebabkan sudutnya lebih landai. Diagnosa intubasi bronkhial

adalah suara nafas unilateral, hipolsia dyang diketahui dengan pulse oksimetri,

ketidakmampuan mengpalpasi balon ETT pada sternal notch selama

pengembangan balon, dan penurunan breathing bag compliance (tekanan puncak

inspirasi yang tinggi).

Sebaliknya, insersi kedalaman ETT yang tidak adekuat dimana posisi

balon ada di laring, dapat merupakan predisposisi trauma laring. Kedalaman yang

tidak adekuat dapat dideteksi dengan palpasi balon diatas kartilago tiroidea.

Disebabkan karena tidak ada satu teknikpun mencegah kemungkinan

kesalahan penempatan ETT, pemeriksaan minimal harus meliputi auskultasi dada,

capnograf secara rutin, dan palpasi balon.

Kalau posisi pasien dirubah, penempatan pipa ETT harus diperiksa lagi.

Ekstensi leher atau rotasi lateral dapat memindahkan ETT jauh dari karina,

sebaliknta fleksi leher memindahkan tube menuju karina.

Respon Fisiologi Terhadap Alat Jalan Nafas

Laringoskopi dan intubasi trachea mengganggu refleks jalan nafas pasien

dan dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Pemasangan LMA berhubungan

dengan berkurangnya perubahan sistem hemodinamik. Perubahan hemodinamik

Page 43: 5 Airway Management

43

ini dapat dilemahkan dengan pemberian obat intravena: lidokain (1,5 mg/kg) 1-2

menit, remifentanil ( 1,0 µg/kg) 1 menit, alfentanil (10-20µg/kg) 2-3 menit atau

fentanil ( 0,5 – 1,0µg/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Obat hipotensi

termasuk sodium nitroprusid, nitroglicerin, hydralazin, beta bloker dan kalsium

bloker, telah ditunjukkan efektif untuk menumpulkan transient hipertensi akibat

laringoskopi dan intubasi. Disritmia jantung -terutama ventrikuler bigeminus –

jarang terjadi selama intubasi dan biasanya menunjukkan anestesi yang dangkal.

Laryngospasme adalah spasme yang sangat kuat dari otot laring karena

rangsang sensoris dari saraf laringeal superior. Rangsangan stimulus termasuk

sekresi faring atau lewatnya TT melalui laring saat ekstubasi. Laringospasme ini

umumnya dicegah oleh ekstubasi pasien saat anestesi dalam atau dalam keadaan

sadar penuh, tapi dapat saja terjadi, walaupun jarang pada pasien sadar. Terapi

dari laringospasme termasuk memberikan ventilasi tekanan positip lembut dengan

bag anestesi dan face mask menggunakan O2 100% atau memberikan lidokain

intravena (1-1,5mg/kg). Jika laringospasme menetap dan terjadi hipoksia,

suksinilkolin (0,25 – 1mg/kg) (biasanya dengan dosis lebih rendah) harus

diberikan agar otot laring menjadi lemas dan dapat dilakukan kontrol ventilasi.

Tekanan intratorakal negatif yang besar akibat usaha pasien selama laringospasme

dapat menyebabkan edema paru tekanan negatif bahkan pada orang dewasa muda

sehat sekalipun.

Walaupun laringospasme menunjukkan reflek sensitivitas abnormal,

aspirasi dapat terjadi dari depresi reflek laring setelah intubasi yang lama dan

anestesi umum.

Bronchospasme adalah respons reflek lainnya terhadap intubasi dan

banyak terjadi pada pasien astma. Bronchospasme kadang kadang merupakan

petunjuk adanya intubasi bronchial. Efek patofisiologi lain dari intubasi termasuk

peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler.

Page 44: 5 Airway Management

44

Malfungsi Pipa Trakhea

TT tidak selalu berfungsi seperti yang diinginkan. Resiko dari pipa

polyvinylchlorid dalam lingkungan yang kaya O2/N2O telah disampaikan di BAB

2. Kerusakan katup atau balon ini umum terjadi dan harus dieksklusi sebelum

pemasangan. Obstruksi TT dapat disebabkan karena kinking, aspirasi benda

asing, atau dari sekret yang kental dalam lumen.

Page 45: 5 Airway Management

45

BAB III

KESIMPULAN

Tujuan utama dari pengelolaan jalan napas adalah untuk membebaskan

jalan napas untuk menjamin terjadinya pertukaan udara secara normal sehingga

menjamin kecukupan oksigenasi tubuh. Keahlian dalam manajemen jalan napas

sangat penting dalam setiap spesialisasi kedokteran. Mempertahankan jalan napas

yang paten sangat penting untuk oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan

kegagalan dalam melakukannya walau dalam waktu yang singkat akan

mengancam nyawa.

Selain membuat pasien tidak merasa nyeri, tidak ada karakteristik terbaik

untuk seorang dokter anestesi selain kemampuan penanganan jalan nafas dan

pernafasan pasien. Karena itu keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan

anestesi regional untuk laring dalam mempertahankan kelancaran jalan nafas

memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.

Dalam mengelola jalan nafas, kita dapat menggunakan atau tidak

mengunakan alat. Tanpa menggunakan alat kita dapat melakukan triple airway

manuever pada pasien, yaitu dengan chin lift, head tilt, dan jaw thrust. Sedangkan

untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik

Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang

disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.Bila jalan nafas tersumbat karena

adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan

sapuan jari.

Tindakan yang dilakukan untuk penatalaksanaan jalan nafas dengan alat

dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil dengan sempurna

dan fasilitas tersedia. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain: dengan

pemasangan pipa (tube) untuk membuat jalan nafas buatan, bisa berupa pipa

orofaring (mayo), pipa nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi

korban, pengisapan benda cair yang dilakukan dengan alat bantu pengisap

Page 46: 5 Airway Management

46

(pengisap manual atau dengan mesin); membersihkan benda asing padat dalam

jalan nafas dengan alat bantu berupa laringoskop, alat pengisap, alat penjepit;

membuka jalan nafas yang dapat dilakukan dengan krikotirotomi atau

trakeostomi.

Sedangkan alat-alat yang dapat digunakan untuk membantu pengelolaan

jalan nafas adalah oral dan nasal aorway, face mask, Laringeal Mask Airway

(LMA), Esophageal – Tracheal Combitube (ETC), Pipa Tracheal (TT),

laringoskop, dan Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB).

Pemasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.

Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan

anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi dan untuk

akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang

memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut

atau kepala dan leher.

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,

trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau

malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau

intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.