Airway Management

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trauma Fasial 2.1.1 Definisi Trauma fasial adalah ruda paksa fisik pada wajah. Trauma facial dapat melibatkan cedera jaringan lunak, seperti luka bakar, lebam dan memar, atau fraktur tulang wajah seperti patah tulang hidung dan patah tulang rahang, serta cedera mata. Hal terpenting dari pada trauma fasial, dokter harus selalu curiga akan cedera lain yang berpotensi mengancam nyawa seperti cedera kepala atau cedera cervical yang dapat dikaitkan dengan trauma fasial yang parah. Setiap pasien yang datang dengan trauma fasial harus diperlakukan sesuai dengan protokol American Trauma Life Support (ATLS). Setelah masalah yang berpotensi mengancam jiwa seperti sumbatan jalan nafas dan perdarahan yang tidak terkendali telah ditangani, trauma multisistem lainnya dikecualikan. Perhatian kemudian dapat beralih ke terapi definitif trauma fasial. 2.1.2 Etiologi 3

description

Anestesi

Transcript of Airway Management

Page 1: Airway Management

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Fasial

2.1.1 Definisi

Trauma fasial adalah ruda paksa fisik pada wajah. Trauma facial dapat

melibatkan cedera jaringan lunak, seperti luka bakar, lebam dan memar, atau fraktur

tulang wajah seperti patah tulang hidung dan patah tulang rahang, serta cedera mata.

Hal terpenting dari pada trauma fasial, dokter harus selalu curiga akan cedera

lain yang berpotensi mengancam nyawa seperti cedera kepala atau cedera cervical

yang dapat dikaitkan dengan trauma fasial yang parah. Setiap pasien yang datang

dengan trauma fasial harus diperlakukan sesuai dengan protokol American Trauma

Life Support (ATLS). Setelah masalah yang berpotensi mengancam jiwa seperti

sumbatan jalan nafas dan perdarahan yang tidak terkendali telah ditangani, trauma

multisistem lainnya dikecualikan. Perhatian kemudian dapat beralih ke terapi definitif

trauma fasial.

2.1.2 Etiologi

Trauma fasial/maksilofacial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma.

Kecelakaan kendaraan bermotor bertanggung jawab untuk 60% fraktur fasial, sisanya

akibat penyerangan 24%, jatuh 9%, kecelakaan industri 4%, olahraga 2%, dan

tembakan senjata 2% (Kairupan et al, 2014). Gaya yang menyebabkan cedera dapat

dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau low impact. Margo Supraorbital, maxilla,

dan mandibula (bagian syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya high

impact hingga mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat

mengalami kerusakan hanya dengan gaya low impact (Adamo et al, 2013).

3

Page 2: Airway Management

4

2.1.3 Klasifikasi

Trauma jaringan lunak pada regio fasial meliputi abrasi, laserasi, avulsi,

bruises, luka bakar, dan frostbite. Sedangkan fraktur fasial dibagi menjadi beberapa

bagian, yaitu fraktur tulang hidung, fraktur zigoma dan arkus zigoma, fraktur maksila,

fraktur orbita dan fraktur mandibula. Berdasarkan regio, fraktur fasial dibagi menjadi

3, antara lain upper face (mencangkup os frontal dan sinus frontal), midface upper

part (terdiri atas os nasal, os zygomaticus, os ethmoid, bagian os axilla yang tidak ada

giginya, pada bagian ini terjadi fraktur os maxilla tipe Le Fort II dan II, yang

mencangkup fraktur os nasal, komplek nasoethmoidal atau kompleks

Zygomaticomaxillari dan dinding orbital), lower midface (terdiri atas alveolus

maxilla, gigi, dan terjadi fraktur maxilla tipe Le Fort I), dan lower face (os

mandibula) (Jordan JR & Calhoun KH, 2006).

2.1.4 Presentasi Klinis dan Diagnosis

Fraktur os frontal ditandai dengan gangguan atau adanya krepitasi pada margo

supraorbita, emphsema subcutan dan parestesia nervus supraorbita dan nervus

supratrochlear; laserasi, kontusio atau heatoma (cedera sinus frontal), CSF rhinorrhea.

Fraktur lantai orbita ditandai dengan edemaperiorbita, krepitasi, ecchimosis,

enophtalmos dan cidera ocular paresthesia atau anesthesia (jika terkena nervus),

disfungsi pergerakan bola mata. Fraktur nasal ditandai dengan hidung edema dan

nyeri tekan, displacement, krepitasi, dan epitaxis, septal hematoma. Fraktur

Nasoethmoidal ditandai dengan telecathus (peningkatan jarak antara canthus medial

kedua mata), epitaxis, CSF rhinorrhea, dan epiphora yang disebabkan oleh

terhalangnya ductus naso lacrimal. Fraktur arcus zygomaticum ditandai dengan nyeri

saat palpasi dan keterbatasan gerak mandibula akibat interferensi pergerakan

processus coronoideus mandibula. Fraktur kompleks zygomaticomaxilla ditandai

dengan depresi malar, pendataran tulang pipi, nyeri tekan penonjolan zygoma, Flame

sign (kerusakan dan depresi tendon canthal lateral, pendarahan sub conjunctival,

paresthesi pada sisi lateral hidung dan bibir bagian atas, diplopia akibat m. rectus

Page 3: Airway Management

5

inferior), intraoral ecchimosis. Faktur maxilla ditandai dengan edema facial dan

mobilitas padi palatum durum dan alveolus maxilla dan gigi (Le Fort I); edem facial,

Tele canthus, pendarahan subconjunctival, mobilitas maxilla, pada sutura

nasofrontal,epitaxis, dan kemungkinan rhinorrea CSF (Le Fort II); dan edema

massive, dengan wajah tampak membulat, memanjang da mendatar, epitaxis,

rhinorrea CSF, dan pergerakan tulang wajah akibat manipulasi gigi, dan palatum

durum (Le Fort III). Fraktur Mandibula ditandai dengan fraktur condilus (tampak

nyeri saat palpasi anterior Meatus acusticus externa), nyeri saat menggerakan rahang,

malocculusi gigi, dan ketidak mampuan membuka mulut, mobilitas dan krepitasi

pada symphisis, angulus atau corpus; intraoral edema, ecchymosis, pendarahan gusi

(Adamo et al, 2013).

2.1.5 Tatalaksana

Tatalaksana awal dalam aspek napas umum antara lain sebagai berikut

(Adamo et al, 2013).

1. Airway. Berikan oksigen dan pertahankan patensi jalan napas, sembari

memastikan tulang servikal terimobilisasi. Bersihkan mulut dari benda asing dan

suction jika ada darah atau cairan. Intubasi dilakukan jika ada indikasi.

Perlengkapan krikotiroidotomi dan trakeostomi harus tersedia sebelum memulai

intubasi. Pertimbangkan intubasi sedasi sadar jika terdapat distorsi mandibula dan

maksila ada karena ventilasi masker mungkin tidak efektif.. Pertimbangkan

intubasi nasotrakeal jika ada edema orofaringeal besar. Pertimbangkan intubasi

orotrakeal jika ada trauma wajah bagian atas atau tengah. Jika tidak dapat intubasi

pasien secara nasotrakeal atau endotrakeali, krikotiroidotomi diindikasikan.

2. Breathing. Nilai suara napas. Periksa penempatan tube.

3. Circulation. Jangan keluarkan benda asing yang tertelan jika beresiko

mengakibatkan memburuknya cedera dan perdarahan. Kontrol perdarahan dengan

tekanan langsung. Lakukan akses intravena bilateral.

Page 4: Airway Management

6

4. Diasability. Nilai kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Lakukan

pemeriksaan neurologis singkat. Catatan perubahan status mental.

5. Exposure. Eksplor pasien dengan tetap menjaga suhu tubuh. Lepas semua pakaian

dan aksesoris. Lepaskan jaringan yang teravulsi dan letakkan di kasa basah dan

manipulasi manual minimal.

Terapi medis dan bedah antara lain sebagai beirkut (Adamo et al, 2013).

1. Terapi medis umum. Berikan oksigen dan cairan kristaloid isotonik. Berikan PRC

jika pendarahan pasien berlebihan. Profilaksis tetanus diindikasikan.

2. Antibiotik. Untuk laserasi di wajah, gunakan Cefazolin. Untuk laserasi rongga

mulut, gunakan klindamisin atau penisilin. Untuk fraktur yang berhubungan

dengan sinus, gunakan amoksisilin. Untuk fraktur dengan robekan dural atau

kebocoran CSF, gunakan vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga.

3. Manajemen nyeri. Gunakan obat oral untuk luka ringan dan obat parenteral jika

tidak dapat peroral. Untuk anti-inflamasi, menggunakan ibuprofen, naproxen, atau

ketorolac (Toradol). Untuk kendali saraf pusat, gunakan narkotik (kodein,

oxycodone, hydrocodone, meperidine, morfin).

Pada penatalaksanaan fraktur os frontal yang perlu diperhatikan adalah patensi

duktus nasofrontal. Jika tersumbat, maka diperlukan operasi. Fraktur dinding sinus

mungkin memerlukan bedah saraf, bedah mulut dan maksilofasial, THT, atau operasi

plastik untuk pencangkokan tulang dan obliterasi sinus frontalis. Pada fraktur dasar

orbita dapat dilakukan subciliary, subtarsal, transconjunctival, dan transconjunctival

dengan canthotomy lateral. Fraktur hidung harus dikelola antara hari 2-10 agar terjadi

resolusi edema yang dapat membantu pemulihan. Hasil yang memuaskan dapat

dicapai dalam 6 bulan melalui teknik reduksi terbuka (Adamo et al, 2013).

Pasien dengan fraktur arcus zygomatik terisolasi dengan pergeseran minimal

biasanya tidak memerlukan pengobatan kecuali bila terdapat asimetri wajah.

Pergeseran fragmen ditandai prosessus koronoideus mandibula, membuat pasien

tidak dapat membuka mulut, membutuhkan reduksi terbuka melalui pendekatan

transoral (Keen) atau temporal (Gillies). Dalam kasus fraktur comminuted parah

Page 5: Airway Management

7

pengurangan terbuka dengan fiksasi internal (ORIF) mungkin diperlukan. Sementara

itu, pada fraktur kompleks zygomaticomaxillary (ZMC) dilakukan pembedahan jika

deformitas kosmetik atau gangguan fungsional, dengans standar perawatan berupa

reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan miniplates dan sekrup (Adamo et al,

2013).

Selanjutnya, pada fraktur maksila, pasien harus difiksasi pada intermaxillary

dan dilakukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal di piriform ring dan penopang

zygomaticomaxillary. Pada fraktur mandibula, stabilisasi sementara diatasi dengan

perban Barton yang membantu oklusi gigi, menstabilkan rahang, serta mengurangi

nyeri dan perdarahan. Simfisis atau fragmen fraktur dapat distabilkan sementara

dengan kawat bridal. Fraktur mandibula tanpa pergeseran dapat ditangani dengan

reduksi tertutup dan fiksasi intermaxillary selama 5-6 minggu. Terakhir, fraktur

panfacial sangat membutuhkan operasi. Pada saat operasi, trakeostomi atau intubasi

submandibula sangat diperlukan. Intubasi submandibula, yang menghindari

trakeostomi, dilakukan dengan terlebih dahulu intubasi oral, dan kemudian operasi

membawa tabung keluar melalui ruang submandibula. Intubasi Nasoendotracheal

merupakan kontraindikasi (Adamo et al, 2013).

Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area

diikuti dengan teknik ATLS. Dipastikan dan jaga patensi jalan napas dengan

immobilisasi tulang leher. Posisi setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan

spinal, atau jika ada, maka dilakukan jaw trush dan chin lift atau traksi lidah.

Dilanjutkan dengan pemberikan oksigenasi yang adekuat. Monitor tanda vital

dilakukan setiap 5-10 menit, EKG, cek pulse oximetry. Pasang 1 atau 2 infus perifer

diperlukan untuk  pengantian cairan. Secara simultan dilakukan pemeriksaan

laboratorium untuk darah lengkap, ureum /elektrolit / kreatinin, dan crossmatch

golongan darah. Penghentian perdarahan dapat dilakukan dengan penekanan

langsung, jepitan hidung, tampon hidung atau tenggorokan, dan dengan medikasi

asam tranexamid (cyclokapron) dosis 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 ±

10 menit. Panduan pada bedah plastik yang digunakan dalam menangani trauma dan

Page 6: Airway Management

8

luka pada wajah antara lain asepsis, debridement, hemostasis, hemat jaringan,

atraumatik, approksimasi, non tensi, dan eksposur.

2.2 Penilaian Pre Operasi

Pilar dari sebuah evaluasi pre operatif yang efektif adalah riwayat medis dan

pemeriksaan fisik, yang harus mencakup lengkap semua obat yang pernah

dikonsumsi oleh pasien di masa lalu, semua alergi obat-obatan, dan reaksi terhadap

tindakan anestesi sebelumnya. Selain itu, evaluasi ini harus mencakup tes diagnostik

yang dilakukan seusai dengan indikasi, pencitraan secara radiologis, atau konsultasi

dari dokter lain. Evaluasi pre-operasi dapat memandu dari rencana anestesi untuk

mencegah komplikasi anestesi yang mungkin terjadi.

Evaluasi pra operasi dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi pasien

yang outcomenya mungkin akan meningkat setelah pengobatan medis tertentu,

mengidentifikasi kondisi pasien yang sangat buruk di mana operasi meningkatkan

resiko kematian tanpa peningkatan kualitas hidup, mengidentifikasi pasien dengan

karakteristik tertentu yang kemungkinan akan mempengaruhi rencana anestesi yang

diusulkan, memberikan pasien estimasi resiko dari tindakan anestesi yang direncakan,

sebagai kesempatan bagi ahli anestesi untuk menggambarkan rencana anestesi yang

diusulkan, memberikan dukungan psikologis, dan memperoleh persetujuan anestesi.

Dokter di berbagai negara menggunakan klasifikasi “American Society of

Anesthesiologists” (ASA) untuk menjelaskan resiko relatif sebelum dilakukan sedasi

dan anestesi pembedahan, di mana hanya memerlukan waktu singkat, sederhana, dan

terbukti sangat terkait dengan risiko perioperatif. Panduan dalam previsit anestesi

antara lain anamnesa untuk mengungkapkan riwayat penyakit saat ini, riwayat

pengobatan, riwayat anestesi dan penyakit sebelumnya, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan diagnostik tambahan, melihat hasil data penunjang diagnostik

(laboratorium, EKG, foto radiologi, dan lembar konsultasi), menetapkan skor status

fisik ASA, menetapkan dan mendiskusikan tentang rencana anestesi yang akan

dilakukan pada pasien, dan melakukan informed concent.

Page 7: Airway Management

9

2.2.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesa sebelum dilakukannnya anestesi merupakan komponen yang penting

Kondisi penyakit pasien, riwayat alergi, operasi sebelumnya, dan riwayat penggunaan

rokok, alkohol, dan obat terlarang lainnya harus dilaporkan. Gejala kardiovaskular,

penyakit paru, dan saraf perlu ditanyakan. Apabila ditemukan suatu penyakit, perlu

kita ketahui berat ringannya penyakit tersebut, stabilitasnya, eksaserbasi yang

sekarang atau yang akan terjadi. Keadaan kardiorespirasi atau kapasitas

fungsionalnya tidak hanya memprediksi outcome dan komplikasi perioperatif, namun

juga pada saat evaluasi pasien selanjutnya. Keadaan tubuh yang lebih ideal dapat

memelihara sistem kardiorespirasi dan mengurangi tingkat kesakitan seperti

perbaikan profil lipid dan glukosa dan mengurangi tekanan darah dan obesitas.

Sebaliknya, ketidak mampuan untuk berolahraga mungkin merupakan suatu tanda

penyakit kardiorespiratori. Pasien yang tidak mampu lagi mengerjakan kegiatan yang

tingkatan rata-rata akan menambah resiko terjadinya komplikasi perioperatif. Riwayat

pribadi dan keluarga yang bermasalah dengan anestesi seperti muntah dan mual hebat

perioperative, delirium yang mengancam jiwa berkepanjangan, atau dicurigai dapat

terjadi hipertermia yang hebat harus tercatat dan mengacu untuk dibuatnya rencana

anestesia.

Tabel 2.1 Klasifikasi American Society of Anesthesiologists Physical Status

ASA 1 Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau penyakit kejiwaan

ASA 2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan seperti contoh asma ringan, hipertensi yang terkontrol pengobatannya, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas sehari-hari. Dan juga tidak berpengaruh terhadap anestesi dan operasi

ASA 3 Penyakit sistemik yang berat atau signifikan yang membatasi aktivitas sehari-hari yang biasanya. Seperti gagal ginjal sementara dialisis, atau CHF kelas 2. Sangat mempengaruhi aktivitas sehari –hari, berpengaruh pada anestesi dan operasi.

ASA 4 Penyakit yang berat mengancam jiwa atau memerlukan terapi intensif seperti infark miokard akut, gagal napas yang

Page 8: Airway Management

10

memerlukan ventilasi mekanik, aktivitas sehari-hari yang serius terbatas. Dampak besar bagi anestesi dan bedah.

ASA 5 Pasien yang sekarat yang diaman akan meninggal dalam 24 jam dengan atau tanpa dioperasi

ASA 6 Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor

Huruf “E” ditambah pada klasifikasi di atas menngindikasikan operasi emergensi.

Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi kelainan yang tidak didapatkan dari

anamnesa dan anamnesa mampu membantu dalam memfokuskan pemeriksaan fisik

yang kita lakukan. Sedikitnya, pemeriksaan preanestesi termasuk jalan napas,

jantung, dan paru, melihat tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, laju

pernapasan, temperatur dan saturasi oksigen serta pengukuran tinggi badan dan berat

badan melalui teknik pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Auskultasi jantung dan merada nadi, vena perifer, dan ektremitas untuk melihat

apakah ada edema sangat penting diketahui dan akan berpengaruh pada rencana

terapi. Pemeriksaan paru berupa auskultasi untuk mendengarkan wheezing,

mendengarkan berkurangnya bunyi napas dan bunyi abnormal, dan memperhatikan

adanya sianosis atau clubbing dan bantuan napas. Sebelum dilakukan anestesia blok

saraf, anesthesia regional atau tindakan invasive tertentu perlu memperhatikan area

anatomis yang terkait, yang mana apabila terjadi infeksi disekitar area tersebut maka

tindakan tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan neurologis juga penting sebelum

dilakukan anestesi regional. Pemeriksaan neurologi pre-operasi akan

mendokumentasikan bahwa defisit neurologis telah ada sebelum dilakukan blok

anestesi.

Ahli anestesi juga perlu melakukan pemeriksaan pada jalan napas pasien

sebelum setiap prosedur anestesi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain

adalah panjang gigi seri, kondisi gigi, hubungan bagian atas/ maksilla dengan gigi

seri di bawahnya/ mandibular, kemampuan untuk memajukan dan memundurkan gigi

seri bagian bawah/ mandibular terhadap gigi seri atas/maksilla, besar lidah, uvula

Page 9: Airway Management

11

yang dapat divisualisasi, adanya janggut yang lebat, besar bukaan mulut, jarang tiroid

dengan dagu kepala, serta panjang leher. Pemeriksaan ini dapat diperhatikan untuk

menilai kemungkinan kesulitan dilakukan intubasi.

Mengidentifikasi tanda-tanda adanya kesulitan bernafas merupakan salah satu

faktor yang sangat penting dalam penanganan pasien. Pada kesulitan manajemen

airway terdapat 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu kesulitan untuk dilakukannya

ventilasi dengan bag, serta kesulitan dilakukannya laryngoscopy atau intubasi.

Faktor yang mempengaruhi sulitnya dilakukan ventilasi dengan bag:

o Mask (sungkup)

o Obesity / Obstruction

o Age (umur) >55 tahun

o No teeth (ompong)

o Stiff (kaku pada bagian leher)

Faktor yang mempengaruhi sulitnya dilakukan laryngoscopy dan intubasi:

o Look Externally

o Evaluate 3-3-2 (>3 finger open mouth, >3 finger thyromental

distance, <2 finger mandibulohyoid distance)

o Mallampati Score

Gambar 2.1 Skor Mallampati (A) dan Laryngeal Grade View (B)

Page 10: Airway Management

12

Adapun pembagian dari Skoring Mallampati adalah sebagai berikut :

I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

IV. Hanya terlihat palatum durum

Sedangkan berikut merupakan derajat pengelihatan kita menggunakan laringoskop

(Laryngeal grade view):

Grade 1: Korda vokalis terlihat seutuhnya

Grade 2: Bagian bawah korda vokalis terlihat

Grade 3: Hanya epiglottis yang terlihat

Grade 4: Epiglottis tidak terlihat

2.2.3 Aspek Manajemen Jalan Napas pada Trauma Fasial

Pasien trauma maksilofasial sering menghadirkan masalah sulit masker

ventilasi dan intubasi sulit. Trauma biasanya mengganggu anatomi normal dan

menyebabkan edema dan perdarahan dalam rongga mulut. Masker tidak dapat

terpasang pas dan rapat pada wajah untuk memungkinkan ventilasi efektif.

Selanjutnya, saluran napas yang terluka dapat mencegah udara yang efisien

mentransfer dari musk ke paru-paru. Tantangan dalam melakukan intubasi muncul

terutama dari kesulitan dalam memvisualisasikan pita suara dengan laringoskopi

langsung konvensional. Rongga mulut, faring dan laring dapat terisi darah, sekret,

puing-puing, jaringan lunak dan tulang patah, yang semuanya menghalangi

visualisasi yang baik dari pita suara (Krausz et al, 2009).

Evaluasi jalan napas harus menyeluruh dan secepat mungkin.

Mengindentifikasi kesulitan dengan tepat bisa mengarahkan dokter untuk pendekatan

yang terbaik untuk mengelola jalan napas. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab

antara lain sebagai berikut (Krausz et al, 2009):

• Apakah pasien sadar? Jika demikian, penggunaan obat penenang atau analgesik

harus dilakukan dengan hati-hati karena jalan nafas bisa terganggu.

Page 11: Airway Management

13

• Apakah pasien bernapas secara spontan? Jika demikian, ada waktu untuk tiba di

rumah sakit, sebaiknya segera ke ruang operasi, dan mengelola jalan nafas dalam

kondisi terbaik dan oleh personil berpengalaman.

• Seberapa parah komposisi dan anatomi cedera?

• Seberapa luas kerusakan pada struktur tulang wajah? Dalam kasus luka besar,

ventilasi mungkin mustahil, sementara cedera terbatas pada jaringan lunak dapat

memungkinkan ventilasi masker.

• Apakah ada keterbatasan dalam membuka mulut? Apakah batasan bahwa hasil

nyeri dan setelah sedasi mulut bisa dibuka lebih luas? Jawaban untuk pertanyaan

ini tergantung, antara lain, pada bukti klinis dan radiologis TMJ (sendi temporo

mandibular). Jika keterbatasan dalam membuka mulut disebabkan oleh cedera

TMJ, sedasi tidak akan meningkatkan pembukaan mulut, tidak akan membantu

dalam mengelola jalan napas, dan dapat memperburuk cedera.

• Apakah ada edema jaringan lunak dan tekanan pada jalan napas?

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tantangan dalam melakukan intubasi

endo-trakea timbul terutama dari kesulitan dalam memvisualisasikan pita suara.

Banyak perangkat napas dan peralatan telah dikembangkan untuk mengatasi kendala

ini. Beberapa, seperti bronkoskopi fiberoptik, memungkinkan visualisasi langsung

dari pita suara. Lainnya, seperti laring mask airway (LMA) atau combitube (twin-

lumen perangkat nafas esophageal-trakea), dimasukkan tanpa memerlukan visualisasi

pita suara dengan cara apapun. Opsi terakhir adalah menciptakan napas bedah melalui

cricithyrotomy atau tracheostomy, sehingga melewati laring dan membangun akses

langsung ke trakea (Krausz et al, 2009).

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan yang berkaitan dengan penyakit

berhubungan dengan pemeriksaan dibandingkan dengan sederatan pemeriksaan

screening telah diteliti. Beberapa abnormalitas yang ditemukan dalam bebagai hasil

tes dapat mengubah tindakan dan tidak jarang memberikan keuntungan. Pemeriksaan

Page 12: Airway Management

14

preoperatif dengan indikasi yang tidak spesifik justru sia-sia dan akan menambah

cedera pasien, kecemasan, penundaan operasi, dan bahkan pengobatan yang tidak

semestinya. Hasil yang abnormal berkontribusi penting. Lebih lanjut satu di antara

2000 pemeriksaan preoperatif terdapat kesalahan dalam melakukan diagnostik dari

beberapa pemeriksaan tersebut. Mungkin saja abnormaliats yang ditemukan tidak

ditangani menimbulkan dampak resiko medikolegal yang lebih besar daripada

menemukan abnormalitas tersebut dan menanganinya.

Pasien yang sehat dari segala usia dan pasien dengan diketahui, stabil, penyakit

kronis yang mengalami perbaikan untuk tindakan resiko menengah tidak mungkin

untuk mendapat manfaat dari setiap pemeriksaan rutin. Sebuah tes diperintahkan

hanya jika hasilnya akan berdampak pada keputusan untuk melanjutkan dengan

tindakan direncanakan atau mengubah rencana perawatan. Hal ini keliru untuk

meyakini bahwa penemuan kelainan pada EKG, foto polos dada, atau pemeriksaan

darah berdampak pada perawatan atau hasil bagi beberapa pasien atau tindakan.

Penelitian telah menunjukkan bahwa peniadaan pemeriksaan rutin tidak

meningkatkan resiko.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Diagnostik preoperatif yang dianjurkan/direkomendasikan

Albumin Edema anasarka, penyakit hati, malnutrisi, malabsorbsiBeta HCG Dugaan HamilCBC ketergantungan alkohol, anemia, dispneu, penyakit hati atau ginjal, keganasan,

riwayat perdarahan, tidak dapat mentolerir latihan, baru saja kemoterapi atau terapi radiasi

Kreatinin Penyakit ginjal, diabetes yang tidak dikontrolFoto polos dada Gejala paru yang masih aktif, akut, atau kronik berupa batuk, atau dispneu,

keadaan abnormal yang tidak bisa dijelaskan pada pemeriksaan dada, gagal jantung dekompensata, keganasan pada thoraks, terapi radiasi.

EKG penyalahgunaan alkohol, gejala jantung (baru atau memburuknya nyeri dada, palpitasi, takikardi, denyut yang ireguler, bradikardi tidak ditahu penyebabnya, murmur yang belum terdiagnosa, bunyi jantung 3, gagal jantung dekompensata, implan cardioverter, defibrilator(ICD) OSA, pacemaker, hipertensi pulmonal, terapi radiasi, obesitas berat, sinkop, penggunaan amiodaron atau digoksin.

Elektrolit Penyalahgunaan Alkohol, penyakit tiroid, kardiovaskuler, ginjal dan hati; diabetes, malnutrisi, penggunaan digoksin atau diuretik,

Glukosa Diabete, obesitas berat, penggunaan steroid

Page 13: Airway Management

15

LFTs Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, hepatitis yang seblumnya sudah terkena, kelainan perdarahan yang belum terdiagnosa

Hitung platelet Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, kelainan perdarahan (riwayat pribadi atau keluarga), keganasan hematologi, terapi kemoterapi dan radioterapi sebelumnya, trombositopenia

PT Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, malnutrisi, gangguan perdarahan(riwayat pribadi dan keluarga), penggunaan warfarin

APTT gangguan perdarahan(riwayat pribadi dan keluarga), keadaan hiperkoagulasi yang tidak terdiagnosa, penggunaan heparin molekul rendah

TSH T3,T4 Struma, penyakit tiroid, dispnue yang tidak jelas penyebabnya, fatig, palpitasi, takikardi

Urinalisis suspek infeksi traktus urinarius*hanya pada radioterapi daerah dada, payudara, paru, thoraksLFT =liver function test, tes fungsi hati.

Namun, evaluasi klinis pasien sebelum operasi masih diperlukan. Pencarian

riwayat dispnea yang meningkat saat beraktivitas, nyeri dada onset baru, atau sinkop,

dan mennagani pasien dengan sesuai instruksi pengobatan preoperatif merupakan hal

yang bermanfaat yang lebih besar daripada memeriksakan EKG atau tes darah.

Pemeriksaan untuk menetapkan diagnosis, evaluasi suatu kondisi yang memburuk,

atau bantuan dalam keputusan preoperatif dan penatalaksanaan untuk pasien dengan

komorbid yang berat ditunjukkan pada Tabel 2.2. Pemeriksaan untuk pasien tertentu

dapat diindikasikan hanya karena anestesi direncanakan atau pembedahan.

Tabel 2.3 Anjuran pemeriksaan pada pasien dengan pemeriksaan spesifik dasar

sebelum anestesi

Tindakan/jenis pasien PemeriksaanPasien yang diinjeksikan kontras KreatininBerpotensi kehilangan banyak darah Hemoglobin, hematocritMembutuhkan transfusi Jenis golongan darah dan skreeningKemungkinan hamil Tes kehamilanPenyakit ginjal stadium akhir Kadar potassiumDiabetes Kadar gula darah pada hari operasiPenyakit jantung aktif EKG(seperti gagal jantung dekompensataAritmia, nyeri dada, murmur)

Page 14: Airway Management

16

Hasil dari laboratorium yang sudah tiga bulan operasi masih diterima kecuali

ada kelaianan yang besar pada pasien atau kondisi pasien yang telah berubah. Tes

kehamilan rutin tidak disarankan sebelum hari operasi. Indikasi tes kehamilan

memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mengajukan tes kehamilan.Tidak

ada kadar pasti tentang potasium dan gula darah untuk kelancaran operasi dan anstesi.

Namun harus diseimbangkan agar menghindari resiko selama pasien dalam keadaan

abnormal.

2.2.3 Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung

dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien

yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang

dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan

oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada

bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.

Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat,

air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi (Latief, 2009).

2.2.4 Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,

kebutuhan maintenance, dan luka operasi seperti perdarahan. Dengan tidak adanya

intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya

pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus

menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari

tabel dibawah:

Page 15: Airway Management

17

Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2012)

Berat Badan Jumlah

10 kg pertama 4 mL/kg/jam

10 kg berikutnya + 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit

cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan

maintenance dengan panjang waktu puasa.