Airway Management
-
Upload
emilia-tiara-shantikaratri -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
description
Transcript of Airway Management
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Fasial
2.1.1 Definisi
Trauma fasial adalah ruda paksa fisik pada wajah. Trauma facial dapat
melibatkan cedera jaringan lunak, seperti luka bakar, lebam dan memar, atau fraktur
tulang wajah seperti patah tulang hidung dan patah tulang rahang, serta cedera mata.
Hal terpenting dari pada trauma fasial, dokter harus selalu curiga akan cedera
lain yang berpotensi mengancam nyawa seperti cedera kepala atau cedera cervical
yang dapat dikaitkan dengan trauma fasial yang parah. Setiap pasien yang datang
dengan trauma fasial harus diperlakukan sesuai dengan protokol American Trauma
Life Support (ATLS). Setelah masalah yang berpotensi mengancam jiwa seperti
sumbatan jalan nafas dan perdarahan yang tidak terkendali telah ditangani, trauma
multisistem lainnya dikecualikan. Perhatian kemudian dapat beralih ke terapi definitif
trauma fasial.
2.1.2 Etiologi
Trauma fasial/maksilofacial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma.
Kecelakaan kendaraan bermotor bertanggung jawab untuk 60% fraktur fasial, sisanya
akibat penyerangan 24%, jatuh 9%, kecelakaan industri 4%, olahraga 2%, dan
tembakan senjata 2% (Kairupan et al, 2014). Gaya yang menyebabkan cedera dapat
dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau low impact. Margo Supraorbital, maxilla,
dan mandibula (bagian syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya high
impact hingga mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat
mengalami kerusakan hanya dengan gaya low impact (Adamo et al, 2013).
3
4
2.1.3 Klasifikasi
Trauma jaringan lunak pada regio fasial meliputi abrasi, laserasi, avulsi,
bruises, luka bakar, dan frostbite. Sedangkan fraktur fasial dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu fraktur tulang hidung, fraktur zigoma dan arkus zigoma, fraktur maksila,
fraktur orbita dan fraktur mandibula. Berdasarkan regio, fraktur fasial dibagi menjadi
3, antara lain upper face (mencangkup os frontal dan sinus frontal), midface upper
part (terdiri atas os nasal, os zygomaticus, os ethmoid, bagian os axilla yang tidak ada
giginya, pada bagian ini terjadi fraktur os maxilla tipe Le Fort II dan II, yang
mencangkup fraktur os nasal, komplek nasoethmoidal atau kompleks
Zygomaticomaxillari dan dinding orbital), lower midface (terdiri atas alveolus
maxilla, gigi, dan terjadi fraktur maxilla tipe Le Fort I), dan lower face (os
mandibula) (Jordan JR & Calhoun KH, 2006).
2.1.4 Presentasi Klinis dan Diagnosis
Fraktur os frontal ditandai dengan gangguan atau adanya krepitasi pada margo
supraorbita, emphsema subcutan dan parestesia nervus supraorbita dan nervus
supratrochlear; laserasi, kontusio atau heatoma (cedera sinus frontal), CSF rhinorrhea.
Fraktur lantai orbita ditandai dengan edemaperiorbita, krepitasi, ecchimosis,
enophtalmos dan cidera ocular paresthesia atau anesthesia (jika terkena nervus),
disfungsi pergerakan bola mata. Fraktur nasal ditandai dengan hidung edema dan
nyeri tekan, displacement, krepitasi, dan epitaxis, septal hematoma. Fraktur
Nasoethmoidal ditandai dengan telecathus (peningkatan jarak antara canthus medial
kedua mata), epitaxis, CSF rhinorrhea, dan epiphora yang disebabkan oleh
terhalangnya ductus naso lacrimal. Fraktur arcus zygomaticum ditandai dengan nyeri
saat palpasi dan keterbatasan gerak mandibula akibat interferensi pergerakan
processus coronoideus mandibula. Fraktur kompleks zygomaticomaxilla ditandai
dengan depresi malar, pendataran tulang pipi, nyeri tekan penonjolan zygoma, Flame
sign (kerusakan dan depresi tendon canthal lateral, pendarahan sub conjunctival,
paresthesi pada sisi lateral hidung dan bibir bagian atas, diplopia akibat m. rectus
5
inferior), intraoral ecchimosis. Faktur maxilla ditandai dengan edema facial dan
mobilitas padi palatum durum dan alveolus maxilla dan gigi (Le Fort I); edem facial,
Tele canthus, pendarahan subconjunctival, mobilitas maxilla, pada sutura
nasofrontal,epitaxis, dan kemungkinan rhinorrea CSF (Le Fort II); dan edema
massive, dengan wajah tampak membulat, memanjang da mendatar, epitaxis,
rhinorrea CSF, dan pergerakan tulang wajah akibat manipulasi gigi, dan palatum
durum (Le Fort III). Fraktur Mandibula ditandai dengan fraktur condilus (tampak
nyeri saat palpasi anterior Meatus acusticus externa), nyeri saat menggerakan rahang,
malocculusi gigi, dan ketidak mampuan membuka mulut, mobilitas dan krepitasi
pada symphisis, angulus atau corpus; intraoral edema, ecchymosis, pendarahan gusi
(Adamo et al, 2013).
2.1.5 Tatalaksana
Tatalaksana awal dalam aspek napas umum antara lain sebagai berikut
(Adamo et al, 2013).
1. Airway. Berikan oksigen dan pertahankan patensi jalan napas, sembari
memastikan tulang servikal terimobilisasi. Bersihkan mulut dari benda asing dan
suction jika ada darah atau cairan. Intubasi dilakukan jika ada indikasi.
Perlengkapan krikotiroidotomi dan trakeostomi harus tersedia sebelum memulai
intubasi. Pertimbangkan intubasi sedasi sadar jika terdapat distorsi mandibula dan
maksila ada karena ventilasi masker mungkin tidak efektif.. Pertimbangkan
intubasi nasotrakeal jika ada edema orofaringeal besar. Pertimbangkan intubasi
orotrakeal jika ada trauma wajah bagian atas atau tengah. Jika tidak dapat intubasi
pasien secara nasotrakeal atau endotrakeali, krikotiroidotomi diindikasikan.
2. Breathing. Nilai suara napas. Periksa penempatan tube.
3. Circulation. Jangan keluarkan benda asing yang tertelan jika beresiko
mengakibatkan memburuknya cedera dan perdarahan. Kontrol perdarahan dengan
tekanan langsung. Lakukan akses intravena bilateral.
6
4. Diasability. Nilai kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Lakukan
pemeriksaan neurologis singkat. Catatan perubahan status mental.
5. Exposure. Eksplor pasien dengan tetap menjaga suhu tubuh. Lepas semua pakaian
dan aksesoris. Lepaskan jaringan yang teravulsi dan letakkan di kasa basah dan
manipulasi manual minimal.
Terapi medis dan bedah antara lain sebagai beirkut (Adamo et al, 2013).
1. Terapi medis umum. Berikan oksigen dan cairan kristaloid isotonik. Berikan PRC
jika pendarahan pasien berlebihan. Profilaksis tetanus diindikasikan.
2. Antibiotik. Untuk laserasi di wajah, gunakan Cefazolin. Untuk laserasi rongga
mulut, gunakan klindamisin atau penisilin. Untuk fraktur yang berhubungan
dengan sinus, gunakan amoksisilin. Untuk fraktur dengan robekan dural atau
kebocoran CSF, gunakan vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga.
3. Manajemen nyeri. Gunakan obat oral untuk luka ringan dan obat parenteral jika
tidak dapat peroral. Untuk anti-inflamasi, menggunakan ibuprofen, naproxen, atau
ketorolac (Toradol). Untuk kendali saraf pusat, gunakan narkotik (kodein,
oxycodone, hydrocodone, meperidine, morfin).
Pada penatalaksanaan fraktur os frontal yang perlu diperhatikan adalah patensi
duktus nasofrontal. Jika tersumbat, maka diperlukan operasi. Fraktur dinding sinus
mungkin memerlukan bedah saraf, bedah mulut dan maksilofasial, THT, atau operasi
plastik untuk pencangkokan tulang dan obliterasi sinus frontalis. Pada fraktur dasar
orbita dapat dilakukan subciliary, subtarsal, transconjunctival, dan transconjunctival
dengan canthotomy lateral. Fraktur hidung harus dikelola antara hari 2-10 agar terjadi
resolusi edema yang dapat membantu pemulihan. Hasil yang memuaskan dapat
dicapai dalam 6 bulan melalui teknik reduksi terbuka (Adamo et al, 2013).
Pasien dengan fraktur arcus zygomatik terisolasi dengan pergeseran minimal
biasanya tidak memerlukan pengobatan kecuali bila terdapat asimetri wajah.
Pergeseran fragmen ditandai prosessus koronoideus mandibula, membuat pasien
tidak dapat membuka mulut, membutuhkan reduksi terbuka melalui pendekatan
transoral (Keen) atau temporal (Gillies). Dalam kasus fraktur comminuted parah
7
pengurangan terbuka dengan fiksasi internal (ORIF) mungkin diperlukan. Sementara
itu, pada fraktur kompleks zygomaticomaxillary (ZMC) dilakukan pembedahan jika
deformitas kosmetik atau gangguan fungsional, dengans standar perawatan berupa
reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan miniplates dan sekrup (Adamo et al,
2013).
Selanjutnya, pada fraktur maksila, pasien harus difiksasi pada intermaxillary
dan dilakukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal di piriform ring dan penopang
zygomaticomaxillary. Pada fraktur mandibula, stabilisasi sementara diatasi dengan
perban Barton yang membantu oklusi gigi, menstabilkan rahang, serta mengurangi
nyeri dan perdarahan. Simfisis atau fragmen fraktur dapat distabilkan sementara
dengan kawat bridal. Fraktur mandibula tanpa pergeseran dapat ditangani dengan
reduksi tertutup dan fiksasi intermaxillary selama 5-6 minggu. Terakhir, fraktur
panfacial sangat membutuhkan operasi. Pada saat operasi, trakeostomi atau intubasi
submandibula sangat diperlukan. Intubasi submandibula, yang menghindari
trakeostomi, dilakukan dengan terlebih dahulu intubasi oral, dan kemudian operasi
membawa tabung keluar melalui ruang submandibula. Intubasi Nasoendotracheal
merupakan kontraindikasi (Adamo et al, 2013).
Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area
diikuti dengan teknik ATLS. Dipastikan dan jaga patensi jalan napas dengan
immobilisasi tulang leher. Posisi setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan
spinal, atau jika ada, maka dilakukan jaw trush dan chin lift atau traksi lidah.
Dilanjutkan dengan pemberikan oksigenasi yang adekuat. Monitor tanda vital
dilakukan setiap 5-10 menit, EKG, cek pulse oximetry. Pasang 1 atau 2 infus perifer
diperlukan untuk pengantian cairan. Secara simultan dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk darah lengkap, ureum /elektrolit / kreatinin, dan crossmatch
golongan darah. Penghentian perdarahan dapat dilakukan dengan penekanan
langsung, jepitan hidung, tampon hidung atau tenggorokan, dan dengan medikasi
asam tranexamid (cyclokapron) dosis 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 ±
10 menit. Panduan pada bedah plastik yang digunakan dalam menangani trauma dan
8
luka pada wajah antara lain asepsis, debridement, hemostasis, hemat jaringan,
atraumatik, approksimasi, non tensi, dan eksposur.
2.2 Penilaian Pre Operasi
Pilar dari sebuah evaluasi pre operatif yang efektif adalah riwayat medis dan
pemeriksaan fisik, yang harus mencakup lengkap semua obat yang pernah
dikonsumsi oleh pasien di masa lalu, semua alergi obat-obatan, dan reaksi terhadap
tindakan anestesi sebelumnya. Selain itu, evaluasi ini harus mencakup tes diagnostik
yang dilakukan seusai dengan indikasi, pencitraan secara radiologis, atau konsultasi
dari dokter lain. Evaluasi pre-operasi dapat memandu dari rencana anestesi untuk
mencegah komplikasi anestesi yang mungkin terjadi.
Evaluasi pra operasi dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi pasien
yang outcomenya mungkin akan meningkat setelah pengobatan medis tertentu,
mengidentifikasi kondisi pasien yang sangat buruk di mana operasi meningkatkan
resiko kematian tanpa peningkatan kualitas hidup, mengidentifikasi pasien dengan
karakteristik tertentu yang kemungkinan akan mempengaruhi rencana anestesi yang
diusulkan, memberikan pasien estimasi resiko dari tindakan anestesi yang direncakan,
sebagai kesempatan bagi ahli anestesi untuk menggambarkan rencana anestesi yang
diusulkan, memberikan dukungan psikologis, dan memperoleh persetujuan anestesi.
Dokter di berbagai negara menggunakan klasifikasi “American Society of
Anesthesiologists” (ASA) untuk menjelaskan resiko relatif sebelum dilakukan sedasi
dan anestesi pembedahan, di mana hanya memerlukan waktu singkat, sederhana, dan
terbukti sangat terkait dengan risiko perioperatif. Panduan dalam previsit anestesi
antara lain anamnesa untuk mengungkapkan riwayat penyakit saat ini, riwayat
pengobatan, riwayat anestesi dan penyakit sebelumnya, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik tambahan, melihat hasil data penunjang diagnostik
(laboratorium, EKG, foto radiologi, dan lembar konsultasi), menetapkan skor status
fisik ASA, menetapkan dan mendiskusikan tentang rencana anestesi yang akan
dilakukan pada pasien, dan melakukan informed concent.
9
2.2.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa sebelum dilakukannnya anestesi merupakan komponen yang penting
Kondisi penyakit pasien, riwayat alergi, operasi sebelumnya, dan riwayat penggunaan
rokok, alkohol, dan obat terlarang lainnya harus dilaporkan. Gejala kardiovaskular,
penyakit paru, dan saraf perlu ditanyakan. Apabila ditemukan suatu penyakit, perlu
kita ketahui berat ringannya penyakit tersebut, stabilitasnya, eksaserbasi yang
sekarang atau yang akan terjadi. Keadaan kardiorespirasi atau kapasitas
fungsionalnya tidak hanya memprediksi outcome dan komplikasi perioperatif, namun
juga pada saat evaluasi pasien selanjutnya. Keadaan tubuh yang lebih ideal dapat
memelihara sistem kardiorespirasi dan mengurangi tingkat kesakitan seperti
perbaikan profil lipid dan glukosa dan mengurangi tekanan darah dan obesitas.
Sebaliknya, ketidak mampuan untuk berolahraga mungkin merupakan suatu tanda
penyakit kardiorespiratori. Pasien yang tidak mampu lagi mengerjakan kegiatan yang
tingkatan rata-rata akan menambah resiko terjadinya komplikasi perioperatif. Riwayat
pribadi dan keluarga yang bermasalah dengan anestesi seperti muntah dan mual hebat
perioperative, delirium yang mengancam jiwa berkepanjangan, atau dicurigai dapat
terjadi hipertermia yang hebat harus tercatat dan mengacu untuk dibuatnya rencana
anestesia.
Tabel 2.1 Klasifikasi American Society of Anesthesiologists Physical Status
ASA 1 Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau penyakit kejiwaan
ASA 2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan seperti contoh asma ringan, hipertensi yang terkontrol pengobatannya, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas sehari-hari. Dan juga tidak berpengaruh terhadap anestesi dan operasi
ASA 3 Penyakit sistemik yang berat atau signifikan yang membatasi aktivitas sehari-hari yang biasanya. Seperti gagal ginjal sementara dialisis, atau CHF kelas 2. Sangat mempengaruhi aktivitas sehari –hari, berpengaruh pada anestesi dan operasi.
ASA 4 Penyakit yang berat mengancam jiwa atau memerlukan terapi intensif seperti infark miokard akut, gagal napas yang
10
memerlukan ventilasi mekanik, aktivitas sehari-hari yang serius terbatas. Dampak besar bagi anestesi dan bedah.
ASA 5 Pasien yang sekarat yang diaman akan meninggal dalam 24 jam dengan atau tanpa dioperasi
ASA 6 Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor
Huruf “E” ditambah pada klasifikasi di atas menngindikasikan operasi emergensi.
Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi kelainan yang tidak didapatkan dari
anamnesa dan anamnesa mampu membantu dalam memfokuskan pemeriksaan fisik
yang kita lakukan. Sedikitnya, pemeriksaan preanestesi termasuk jalan napas,
jantung, dan paru, melihat tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, laju
pernapasan, temperatur dan saturasi oksigen serta pengukuran tinggi badan dan berat
badan melalui teknik pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Auskultasi jantung dan merada nadi, vena perifer, dan ektremitas untuk melihat
apakah ada edema sangat penting diketahui dan akan berpengaruh pada rencana
terapi. Pemeriksaan paru berupa auskultasi untuk mendengarkan wheezing,
mendengarkan berkurangnya bunyi napas dan bunyi abnormal, dan memperhatikan
adanya sianosis atau clubbing dan bantuan napas. Sebelum dilakukan anestesia blok
saraf, anesthesia regional atau tindakan invasive tertentu perlu memperhatikan area
anatomis yang terkait, yang mana apabila terjadi infeksi disekitar area tersebut maka
tindakan tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan neurologis juga penting sebelum
dilakukan anestesi regional. Pemeriksaan neurologi pre-operasi akan
mendokumentasikan bahwa defisit neurologis telah ada sebelum dilakukan blok
anestesi.
Ahli anestesi juga perlu melakukan pemeriksaan pada jalan napas pasien
sebelum setiap prosedur anestesi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain
adalah panjang gigi seri, kondisi gigi, hubungan bagian atas/ maksilla dengan gigi
seri di bawahnya/ mandibular, kemampuan untuk memajukan dan memundurkan gigi
seri bagian bawah/ mandibular terhadap gigi seri atas/maksilla, besar lidah, uvula
11
yang dapat divisualisasi, adanya janggut yang lebat, besar bukaan mulut, jarang tiroid
dengan dagu kepala, serta panjang leher. Pemeriksaan ini dapat diperhatikan untuk
menilai kemungkinan kesulitan dilakukan intubasi.
Mengidentifikasi tanda-tanda adanya kesulitan bernafas merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam penanganan pasien. Pada kesulitan manajemen
airway terdapat 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu kesulitan untuk dilakukannya
ventilasi dengan bag, serta kesulitan dilakukannya laryngoscopy atau intubasi.
Faktor yang mempengaruhi sulitnya dilakukan ventilasi dengan bag:
o Mask (sungkup)
o Obesity / Obstruction
o Age (umur) >55 tahun
o No teeth (ompong)
o Stiff (kaku pada bagian leher)
Faktor yang mempengaruhi sulitnya dilakukan laryngoscopy dan intubasi:
o Look Externally
o Evaluate 3-3-2 (>3 finger open mouth, >3 finger thyromental
distance, <2 finger mandibulohyoid distance)
o Mallampati Score
Gambar 2.1 Skor Mallampati (A) dan Laryngeal Grade View (B)
12
Adapun pembagian dari Skoring Mallampati adalah sebagai berikut :
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum
Sedangkan berikut merupakan derajat pengelihatan kita menggunakan laringoskop
(Laryngeal grade view):
Grade 1: Korda vokalis terlihat seutuhnya
Grade 2: Bagian bawah korda vokalis terlihat
Grade 3: Hanya epiglottis yang terlihat
Grade 4: Epiglottis tidak terlihat
2.2.3 Aspek Manajemen Jalan Napas pada Trauma Fasial
Pasien trauma maksilofasial sering menghadirkan masalah sulit masker
ventilasi dan intubasi sulit. Trauma biasanya mengganggu anatomi normal dan
menyebabkan edema dan perdarahan dalam rongga mulut. Masker tidak dapat
terpasang pas dan rapat pada wajah untuk memungkinkan ventilasi efektif.
Selanjutnya, saluran napas yang terluka dapat mencegah udara yang efisien
mentransfer dari musk ke paru-paru. Tantangan dalam melakukan intubasi muncul
terutama dari kesulitan dalam memvisualisasikan pita suara dengan laringoskopi
langsung konvensional. Rongga mulut, faring dan laring dapat terisi darah, sekret,
puing-puing, jaringan lunak dan tulang patah, yang semuanya menghalangi
visualisasi yang baik dari pita suara (Krausz et al, 2009).
Evaluasi jalan napas harus menyeluruh dan secepat mungkin.
Mengindentifikasi kesulitan dengan tepat bisa mengarahkan dokter untuk pendekatan
yang terbaik untuk mengelola jalan napas. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
antara lain sebagai berikut (Krausz et al, 2009):
• Apakah pasien sadar? Jika demikian, penggunaan obat penenang atau analgesik
harus dilakukan dengan hati-hati karena jalan nafas bisa terganggu.
13
• Apakah pasien bernapas secara spontan? Jika demikian, ada waktu untuk tiba di
rumah sakit, sebaiknya segera ke ruang operasi, dan mengelola jalan nafas dalam
kondisi terbaik dan oleh personil berpengalaman.
• Seberapa parah komposisi dan anatomi cedera?
• Seberapa luas kerusakan pada struktur tulang wajah? Dalam kasus luka besar,
ventilasi mungkin mustahil, sementara cedera terbatas pada jaringan lunak dapat
memungkinkan ventilasi masker.
• Apakah ada keterbatasan dalam membuka mulut? Apakah batasan bahwa hasil
nyeri dan setelah sedasi mulut bisa dibuka lebih luas? Jawaban untuk pertanyaan
ini tergantung, antara lain, pada bukti klinis dan radiologis TMJ (sendi temporo
mandibular). Jika keterbatasan dalam membuka mulut disebabkan oleh cedera
TMJ, sedasi tidak akan meningkatkan pembukaan mulut, tidak akan membantu
dalam mengelola jalan napas, dan dapat memperburuk cedera.
• Apakah ada edema jaringan lunak dan tekanan pada jalan napas?
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tantangan dalam melakukan intubasi
endo-trakea timbul terutama dari kesulitan dalam memvisualisasikan pita suara.
Banyak perangkat napas dan peralatan telah dikembangkan untuk mengatasi kendala
ini. Beberapa, seperti bronkoskopi fiberoptik, memungkinkan visualisasi langsung
dari pita suara. Lainnya, seperti laring mask airway (LMA) atau combitube (twin-
lumen perangkat nafas esophageal-trakea), dimasukkan tanpa memerlukan visualisasi
pita suara dengan cara apapun. Opsi terakhir adalah menciptakan napas bedah melalui
cricithyrotomy atau tracheostomy, sehingga melewati laring dan membangun akses
langsung ke trakea (Krausz et al, 2009).
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan yang berkaitan dengan penyakit
berhubungan dengan pemeriksaan dibandingkan dengan sederatan pemeriksaan
screening telah diteliti. Beberapa abnormalitas yang ditemukan dalam bebagai hasil
tes dapat mengubah tindakan dan tidak jarang memberikan keuntungan. Pemeriksaan
14
preoperatif dengan indikasi yang tidak spesifik justru sia-sia dan akan menambah
cedera pasien, kecemasan, penundaan operasi, dan bahkan pengobatan yang tidak
semestinya. Hasil yang abnormal berkontribusi penting. Lebih lanjut satu di antara
2000 pemeriksaan preoperatif terdapat kesalahan dalam melakukan diagnostik dari
beberapa pemeriksaan tersebut. Mungkin saja abnormaliats yang ditemukan tidak
ditangani menimbulkan dampak resiko medikolegal yang lebih besar daripada
menemukan abnormalitas tersebut dan menanganinya.
Pasien yang sehat dari segala usia dan pasien dengan diketahui, stabil, penyakit
kronis yang mengalami perbaikan untuk tindakan resiko menengah tidak mungkin
untuk mendapat manfaat dari setiap pemeriksaan rutin. Sebuah tes diperintahkan
hanya jika hasilnya akan berdampak pada keputusan untuk melanjutkan dengan
tindakan direncanakan atau mengubah rencana perawatan. Hal ini keliru untuk
meyakini bahwa penemuan kelainan pada EKG, foto polos dada, atau pemeriksaan
darah berdampak pada perawatan atau hasil bagi beberapa pasien atau tindakan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa peniadaan pemeriksaan rutin tidak
meningkatkan resiko.
Tabel 2.2 Pemeriksaan Diagnostik preoperatif yang dianjurkan/direkomendasikan
Albumin Edema anasarka, penyakit hati, malnutrisi, malabsorbsiBeta HCG Dugaan HamilCBC ketergantungan alkohol, anemia, dispneu, penyakit hati atau ginjal, keganasan,
riwayat perdarahan, tidak dapat mentolerir latihan, baru saja kemoterapi atau terapi radiasi
Kreatinin Penyakit ginjal, diabetes yang tidak dikontrolFoto polos dada Gejala paru yang masih aktif, akut, atau kronik berupa batuk, atau dispneu,
keadaan abnormal yang tidak bisa dijelaskan pada pemeriksaan dada, gagal jantung dekompensata, keganasan pada thoraks, terapi radiasi.
EKG penyalahgunaan alkohol, gejala jantung (baru atau memburuknya nyeri dada, palpitasi, takikardi, denyut yang ireguler, bradikardi tidak ditahu penyebabnya, murmur yang belum terdiagnosa, bunyi jantung 3, gagal jantung dekompensata, implan cardioverter, defibrilator(ICD) OSA, pacemaker, hipertensi pulmonal, terapi radiasi, obesitas berat, sinkop, penggunaan amiodaron atau digoksin.
Elektrolit Penyalahgunaan Alkohol, penyakit tiroid, kardiovaskuler, ginjal dan hati; diabetes, malnutrisi, penggunaan digoksin atau diuretik,
Glukosa Diabete, obesitas berat, penggunaan steroid
15
LFTs Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, hepatitis yang seblumnya sudah terkena, kelainan perdarahan yang belum terdiagnosa
Hitung platelet Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, kelainan perdarahan (riwayat pribadi atau keluarga), keganasan hematologi, terapi kemoterapi dan radioterapi sebelumnya, trombositopenia
PT Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, malnutrisi, gangguan perdarahan(riwayat pribadi dan keluarga), penggunaan warfarin
APTT gangguan perdarahan(riwayat pribadi dan keluarga), keadaan hiperkoagulasi yang tidak terdiagnosa, penggunaan heparin molekul rendah
TSH T3,T4 Struma, penyakit tiroid, dispnue yang tidak jelas penyebabnya, fatig, palpitasi, takikardi
Urinalisis suspek infeksi traktus urinarius*hanya pada radioterapi daerah dada, payudara, paru, thoraksLFT =liver function test, tes fungsi hati.
Namun, evaluasi klinis pasien sebelum operasi masih diperlukan. Pencarian
riwayat dispnea yang meningkat saat beraktivitas, nyeri dada onset baru, atau sinkop,
dan mennagani pasien dengan sesuai instruksi pengobatan preoperatif merupakan hal
yang bermanfaat yang lebih besar daripada memeriksakan EKG atau tes darah.
Pemeriksaan untuk menetapkan diagnosis, evaluasi suatu kondisi yang memburuk,
atau bantuan dalam keputusan preoperatif dan penatalaksanaan untuk pasien dengan
komorbid yang berat ditunjukkan pada Tabel 2.2. Pemeriksaan untuk pasien tertentu
dapat diindikasikan hanya karena anestesi direncanakan atau pembedahan.
Tabel 2.3 Anjuran pemeriksaan pada pasien dengan pemeriksaan spesifik dasar
sebelum anestesi
Tindakan/jenis pasien PemeriksaanPasien yang diinjeksikan kontras KreatininBerpotensi kehilangan banyak darah Hemoglobin, hematocritMembutuhkan transfusi Jenis golongan darah dan skreeningKemungkinan hamil Tes kehamilanPenyakit ginjal stadium akhir Kadar potassiumDiabetes Kadar gula darah pada hari operasiPenyakit jantung aktif EKG(seperti gagal jantung dekompensataAritmia, nyeri dada, murmur)
16
Hasil dari laboratorium yang sudah tiga bulan operasi masih diterima kecuali
ada kelaianan yang besar pada pasien atau kondisi pasien yang telah berubah. Tes
kehamilan rutin tidak disarankan sebelum hari operasi. Indikasi tes kehamilan
memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mengajukan tes kehamilan.Tidak
ada kadar pasti tentang potasium dan gula darah untuk kelancaran operasi dan anstesi.
Namun harus diseimbangkan agar menghindari resiko selama pasien dalam keadaan
abnormal.
2.2.3 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat,
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi (Latief, 2009).
2.2.4 Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance, dan luka operasi seperti perdarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus
menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari
tabel dibawah:
17
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2012)
Berat Badan Jumlah
10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit
cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan panjang waktu puasa.