AB 5 ACC

68
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sudah sejak dahulu kita mengenal antibiotik. Obat ini sangat banyak macamnya, sehingga suatu jenis penyakit hanya dapat diobati oleh antibiotik yang sesuai dengan penyakit tersebut. Daya kerja masing- masing jenis antibiotik berbeda-beda, meskipun berasal dari derivat yang sama. Keberhasilan antibiotik yang menakjubkan dalam pengobatan penyakit manusia, segera mempengaruhi perkembangan penggunaannya dalam sejumlah bidang sejenis. Dengan demikian, antibiotika menjadi salah satu produk penting dalam industri obat dewasa ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian terhadap sediaan antibiotik yang beredar dipasaran untuk mengetahui apakah daya potensi sediaan antibiotik tersebut masih dalam batas yang disyaratkan atau belum kadaluarsa.

Transcript of AB 5 ACC

Page 1: AB 5 ACC

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sudah sejak dahulu kita mengenal antibiotik. Obat ini sangat

banyak macamnya, sehingga suatu jenis penyakit hanya dapat diobati

oleh antibiotik yang sesuai dengan penyakit tersebut. Daya kerja masing-

masing jenis antibiotik berbeda-beda, meskipun berasal dari derivat yang

sama.

Keberhasilan antibiotik yang menakjubkan dalam pengobatan

penyakit manusia, segera mempengaruhi perkembangan penggunaannya

dalam sejumlah bidang sejenis. Dengan demikian, antibiotika menjadi

salah satu produk penting dalam industri obat dewasa ini. Sehubungan

dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian terhadap sediaan

antibiotik yang beredar dipasaran untuk mengetahui apakah daya potensi

sediaan antibiotik tersebut masih dalam batas yang disyaratkan atau

belum kadaluarsa.

Jumlah antibiotik yang beredar di pasaran dewasa ini semakin

meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Umumnya

antibiotik diproduksi secara besar-besaran sehingga dari produksi hingga

saat antibiotik tersebut digunakan oleh konsumen dapat memakan waktu

lama, baik dalam penyimpanan maupun distribusinya. Hal ini dapat

menyebabkan potensi dari antibiotik tersebut menurun atau bahkan

hilang.

Page 2: AB 5 ACC

Suatu senyawa atau zat aktif yang digunakan sebagai antibiotik

perlu ditetapkan potensinya, utamanya antibiotik yang beredar dipasaran

agar mutunya dapat diketahui. Sebagai pembanding digunakan antibiotik

baku sehingga potensi antibiotik uji akan dapat ditentukan apakah masih

memenuhi batas potensi atau tidak. Melalui percobaan ini dilakukan uji

potensi dari antibiotik tetrasiklin kapsul dibandingkan dengan tetrasiklin

baku dan antibiotik kloramfenikol tablet dibandingkan dengan

kloramfenikol baku.

I.2. Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1. Maksud Percobaan

Maksud percobaan ini adalah mengetahui dan memahami cara

penentuan potensi suatu sediaan antibiotik dengan metode tertentu.

I.2.2. Tujuan Percobaan

Menentukan potensi dari kloramfenikol dan tetrasiklin terhadap

mikroba uji Eschericia coli dan Staphylococcus aureus pada medium

Nutrien Agar (NA)

I.3. Prinsip Percobaan

a. Penentuan potensi antibiotik kloramfenikol yang dilakukan dengan

cara membandingkan antara sediaan uji (kloramfenikol kapsul)

berdasarkan zona hambat yang terbentuk dari sampel antibiotik

terhadap Escherichia coli pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi

pada suhu 37˚C selama 24 jam.

Page 3: AB 5 ACC

b. Penentuan potensi antibiotik tetrasiklin yang dilakukan dengan cara

membandingkan antara sediaan uji (tetrasiklin kapsul) berdasarkan

zona hambat yang terbentuk dari sampel antibiotik terhadap

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus setelah diinkubasi

pada suhu 37˚C selama 24 jam.

Page 4: AB 5 ACC

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Teori Umum

Antibiotika (L. anti : lawan, B.bios : hidup) adalah zat-zat kimia

yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan

atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi

manusioa relatif kecil. Turunan zat tersebut yang dibuat secara semi-

sintetis, termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan

khasiat antibakteri lazimnya disebut antibiotika.(1)

Antibiotik adalah suatu substansi kimia yang diperolehdari atau

dientuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi

rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainya.

Antibiotika terbesar di alam dan memegang peranan penting dalam

mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah dan kompos.

Antibiotik ini berbeda dalam susunan kimia dan cara kerjanya. Dari sekian

banyak antibiotika yang berhasil ditemukan, hanya beberapa saja yang

tidak toksik untuk dapat dipakai dalam pengobatan. Antibiotika yang kini

banyak dipergunakan, kebanyakan diperoleh dari genus

Bacillus,Penicillium dan Streptomyces.(1)

Kelompok-kelompok antibiotik yaitu:

1. Kelompok penicillin dan sefalosforin

2. Kelompok amino glikosida (streptomisin, getamisin, kanamisin,

neomisin, framisetin)

Page 5: AB 5 ACC

3. Kelompok kloramfenikol dan tetrasiklin

4. Kelompok makrolida (eritromisin, spiramisin, oleandomisin, dan

linkomisin atau klindamisin)

5. Kelompok polipeptida ( pilimiksin, basitrasin, dan kolistin)

6. Kelompok rifampisin dan spektinomisin

7. Kelompok asam fusidat

8. Kelompok griseofulvin

9. Kelompok polien ( nistatin, amfoerisin-B)

Sifat-sifat antibiotik sebaiknya adalah (1) :

a. Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak host.

b. Bersifat bakterisid dan bukan bakteriostatik

c. Tidak menyebabkan resistensi pada kuman

d. Berspektrum luas

e. Tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila

dipergunakan dalam jangka waktu lama

f. Tetap aktif tanpa plasma, cairan badan atau eksudat

g. Larut dalam air serta stabil

h. Bakterisidal level di dalam tubuh cepat dicapai dan bertahan untuk

waktu yang lama

Antibiotika yang ideal sebagai obat harus memenuhi syarat-syarat

berikut (1):

1. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic)

Page 6: AB 5 ACC

2. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme

patogen

3. Tidak menimbulkan efek samping yang buruk pada host, seperti

reaksi alergi, kerusakan saraf, iritasi lambung dan sebagainya.

4. Tidak mengganggu keseimbangan flora yang normal dari host

seperti flora usus atau flora kulit.

Berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba dibagi dalam lima

kelompok (3) :

1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba

Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid,

trimetoprim, asam p-aminosalisilat dan sulfon.

2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin,

sfalosforin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.

3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah polimiksin,

golongan polien serta berbagai antimikroba kemoteraupetik,

seperti antiseptik surface active agents.

4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah golonbgangna

aminoglikosid, makrolid, linkimisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.

5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.

Page 7: AB 5 ACC

Antimikroba yang termasuk kelompok ini ialah rimpisin dan

golongan kuinolon.

Antimikroba mempunyai mekanisme kerja utama ada lima

cara antara lain sebagai berikut:

1. Penginaktifan Enzim Tertentu.

Penginaktifan enzim tertentu adalah mekanisme umum dari

antiseptika dan desinfektansia, seperti turunan aldehid, amida,karbanilida,

etilen-oksida, halogen, senyawa-senyawa merkuri dan senyawa amonium

kuartener.

2. Denaturasi Protein

Turunan alkohol, halogen dan halogenator, senyawa merkuri,

peroksida, turunan fenol dan senyawa amonium kuartener bekerja

sebagai antiseptika dan desinfektansia dengan cara denaturasi dan

konyugasi protein sel bakteri.

3. Mengubah Permeabilitas Membran Sitoplasma Bakteri

Dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma bakteri,

senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan bocornya konstituen sel

yang essensial, sehingga bakteri mengalami kematian.

4. Intekalasi Ke Dalam DNA

Bekerja sebagai antibakteri dengan mengikat secara kuat asam

nukleat, menghambat sintesis DNA dan menyebabkan perubahan

kerangka mutasi pada sintesis protein.

5. Pembentuksn Khelat

Page 8: AB 5 ACC

Beberapa turunan fenol, seperti heksoklorofen dan oksikuinolin

dapat membentuk khelat dengan ion Fe dan Cu, kemudian bentuk khelat

tersebut masuk dalam sel bakteri

Pengelompokan yang lebih modern untuk senyawa antibiotik

umumnya dilihat dari gugus penting di dalamnya yang terlibat dalam

aktivitas antimikrobial maupun yang menjadi ciri khas dari struktur

molekulnya. Beberapa kelompok antibiotik tersebut yaitu (4):

1. Antibiotik -laktam

Ciri khas dari antibiotik golongan ini adalah memiliki gugus -laktam.

Gugus -laktam merupakan sebuah cincin dengan 2 atom C, 1 gugus

karbonil, dan 1 atom N. Jenis antibiotik ini merupakan yang paling

terkenal dan penggunaan paling luas dalam dunia kesehatan (lebih dari

50% total penggunaan dan produksi dunia). Beberapa antibiotik yang

termasuk golongan ini dapat dilihat pada tabel sedangkan struktur

molekulnya dapat dilihat pada gambar

Tabel. Beberapa subkelas dan senyawa antibiotik b-laktam

SubkelasSenyawa

AntibiotikMikroorganisme Penghasil

Fungi Bakteri G+ Bakteri G-

Penams Penisilin GPenicillium, Aspergillus

- -

Cephems

Sefalosporin C

Cephalosporium - -

Sefamisin C -Sterptomyces

, Nocardia-

Carbapenems Thienamisin -Streptomyces

cattleyaSerratia, Erwinia

Monobaktams Aztreonam - Nocardia PseudomonasClavams Asam

klavulanat- Streptomyces -

Page 9: AB 5 ACC

Klavamisin - Streptomyces -

Gambar. Struktur molekul beberapa jenis antibiotik -laktam

2. Aminoglikosida

Kelompok ini merupakan antibiotik yang mengandung amino gula yang

dihubungkan dengan ikatan glikosidik, sehingga dinamakan

aminoglikosida. Beberapa jenis antibiotik yang tergolong aminoglikosida

yaitu streptomisin (dihasilkan oleh Streptomyces griseus), kanamisin

(Gambar 2.2a), neomisin, gentamisin, tobramisin, netilmisin,

spektinomisin, dan amikasin. Streptomisin merupakan antibiotik

pertama yang efektif dalam pengobatan tuberculosis. Antibiotik

aminoglikosida tidak digunakan secara luas, di mana hanya mencakup

3% dari total semua antibiotik dihasilkan dan digunakan di dunia.

Page 10: AB 5 ACC

Gambar. Struktur molekul a.kanamisin (kiri); b.eritromisin (kanan)

3. Makrolida

Antibiotik makrolida memiliki cincin lakton yang berikatan dengan gula.

Variasi cincin lakton dan gula menghasilkan berbagai macam senyawa

antibiotik jenis ini. Meskipun ukuran cincin antibiotik makrolida

bervariasi antara 6 sampai 30, kebanyakan antibiotik makrolida yang

digunakan memiliki ukuran cincin 14 atau 16. Eritromisin, jenis antibiotik

makrolida yang paling banyak digunakan, memiliki ukuran cincin 14

(Gambar 2.2b). Secara keseluruhan, antibiotik makrolida mencakup

11% dari total produksi dan penggunaan antibiotik dunia.

4. Tetrasiklin

Antibiotik tetrasiklin memiliki struktur yang terdiri dari cincin naftacena.

Substitusi gugus dasar cincin naftacena dapat terjadi secara alami dan

menghasilkan analog tetrasiklim yang baru. Antibiotik tetrasiklin

merupakan antibiotik dengan penggunaan yang cukup luas setelah

antibiotik -laktam. Struktur molekul tetrasiklin dapat dilihat pada

gambar .

Page 11: AB 5 ACC

Gambar. Struktur molekul tetrasiklin

5. Streptogramin

Merupakan jenis antibiotik yang umumnya dihasilkan oleh

mikroorganisme genus Streptomyces. Streptogramin dibedakan atas

dua jenis yaitu streptogramin A dan streptogramin B. Dalam mekanisme

kerjanya, kedua jenis streptogramin bersinergi untuk menginhibisi

pertumbuhan bakteri. Streptogramin A terdiri dari cincin tidak jenuh

bermember 23 dengan ikatan lakton dan peptida, sementara

streptogramin B merupakan depsipeptida (lactone-cyclized peptides).

Salah satu contoh antibiotik streptomisin adalah pristinamisin, yang

merupakan gabungan dari pristinamisin IA (sebuah makrolakton peptida

yang termasuk streptogramin B) dan pristinamisin IIA (sebuah

makrolakton poliunsaturated yang termasuk streptogramin A). Struktur

molekul pristinamisin dapat dilihat pada gambar .

Page 12: AB 5 ACC

Gambar. Struktur molekul Pristinamisin IIA dan Pristinamisin IA

6. Daptomisin

Daptomisin (C72H101N17O26) merupakan antibiotik yang mengandung

siklik lipopeptida. Umumnya dihasilkan oleh genus Streptomyces.

Daptomisin digunakan untuk mengobati infeksi bakteri gram positif

seperti staphylokokus dan streptokokus yang bersifat patogen. Cara

kerjanya dengan mengikat secara spesifik pada membran sitoplasma

bakteri, membentuk pori, dan mengakibatkan depolarisasi membran.

Akibat depolarisasi, bakteri tidak dapat menghasilkan makromolekul

seperti asam nukleat dan protein, dan akhirnya mati. Struktur molekul

daptomisin dapat dilihat pada gambar .

Gambar. Struktur molekul daptomisin

Page 13: AB 5 ACC

Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksisitas yang selektif,

Istilah ini berarti bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak

membahayakan bagi inang. Toksisitas selektif dapat berupa fungsi dari

suatu reseptor khusus yang dibutuhkan untuk pelekatan obat, atau dapat

bergantung pada perhambatan proses biokimia yang penting untuk parasit

tetapi tidak untuk inang.(2)

Berdasarkan sifat-sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang

bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai aktivitas

bakteriostatik dan ada pula yang bersifat membunuh mikroba dikenal

sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dikenal

sebagai kadar minimal hambat dan kadar bunuh minimal. (2)

Ada tiga metode utama tes sensitifitas, tes antimikroba atau

antibiotik yaitu (5) :

1. Broth dilution (pengenceran medium)

2. Agar ilution (pengenceran agar)

3. Agar diffusion (difusi agar) atau disdiffusion

a. Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer)

Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer) untuk menentukan

aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba

diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme

yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih

Page 14: AB 5 ACC

mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme

oleh agen antimikroba permukaan media agar.

b. E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum

inhibitory concentration) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu

konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat

menghabat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini

digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari

kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan permukaan media

agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan

pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar

agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme

pada media agar.

c. Ditch-plate Technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang

diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media

agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan

mikroba uji ( maksimum 6 macam ) digoreskan kearah parit yang

berisi agen antimikroba.

d. Cup-plate Technique

Metode ini serupa dengan mitode disc diffusion, dimana dibuat

sumur pada media agar yang telah ditanami dengan

Page 15: AB 5 ACC

mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba

yang akan diuji.

e. Gradient-plate Technique

Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar

secara teoretis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar

dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang

kedalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi

kedua selanjutnya dihitung diatasnya. Plate diinkubasi selama 24

jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan

permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam)

digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil

diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme

maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang

pertumbuhan hasil goresan.

Bila: X = panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin

Y = panjang pertumbuhan aktual

C = konsentrasi final agen antimikroba pada total volume media

mg/mL atau μ/mL,

Maka konsentrasi hambatan adalah: [(X.Y)]: C mg/mL atau μg/mL.

Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang

didapat dari lingkungan padat dan cair faktor difusi agen

antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media

padat.

Page 16: AB 5 ACC

Dari ketiga metode tersebut, metode agar dilution memerlukan

waktu yang lebih sedikit dari pada metode lain, metode ini digunakan

karena metode ini sederhana, cepat tanpa mengorbankan terlalu banyak

ketelitian. Metode difusi agar dengan cepat dapat dikerjakan dengan cepat

secara serentak. Beberapa antibiotika daripada itu teknik difusi dapat

digunakan dalam tes langsung dari patologi sehingga beberapa indikasi

sensitifitas dapat diberikan stimulant dengan identifikasi dari organism

penyebabnya. (5)

Metode difusi dilakukan dengan menggunakan silinder tidak

beralas, yang mengandung obat dalam jumlah tertentu ditempatkan pada

pembenihan padat yang telah ditanami dengan biakan tebal organisme

yang diperiksa. Setelah diinkubasi, garis tengah daerah hambatan jernih

yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran hambatan kekuatan obat

terhadap organisme yang diperiksa. Metode ini dipengaruhi banyak faktor

fisik dan kimiawi di samping interaksi antara obat dengan organisme,

misalnya pembenihan dan daya difusi, ukuran molekul dan stabilitas obat.

Kesulitan terbesar adalah laju pertumbuhan yang beragam diantara

berbagai mikroorganisme. (5)

Page 17: AB 5 ACC

Tabel. Diameter Hambatan Dari Antibiotik Baku

Antibiotik KadarDiameter Zona Hambatan

Resisten Intermediet SensitifNeomisin 0,03 mg 12/kurang 13-16 17/lebih

Nitrofurantion 0,3 mg 14/kurang 15-16 17/lebihPenisilin G vs Staphylococci

10 unit 20/kurang 11-28 29/lebih

Tetrasiklin 0,03 mg 14/kurang 15-18 19/lebihSulfonamida 0,3 mg 12/kurang 13-16 17/lebih

Media-media untuk pengujian antibiotik adalah : (10)

Media 1 Media 2

Pepton P 6,0 g Pepton P 6,0 g

Digesti pankreatik kasein 4,0 g Ekstrak ragi P 3,0 g

Ekstrak ragi P 3,0 g Ekstrak daging P 1,5 g

Ekstrak daging P 1,5 g Agar P 15,0 g

Glukosa P 1,0 g Air 1000 ml

Agar P 15,0 g PH setelah sterilisasi 6,6 ± 0,1

Air 1000 ml

PH setelah sterilisasi 6,6 ± 0,1

Media 3 Media 5

Pepton P 5,0 g Sama seperti media 2, kecuali PH

Ekstrak ragi P 1,5 g setelah sterilisasi 7,9 ± 0,1

Ekstrak daging P 1,5 g

Natrium klorida P 3,5 g

Glukosa P 1,0 g

Kalium fosfat dibasa P 3,68 g

Page 18: AB 5 ACC

Kalium fosfat monobasa P 1,32 g

Air 1000 ml

PH setelah sterilisasi 7,0 ± 0,05

Media 9 Media 10

Digesti P. kasein P 17, g sama seperti Media 9, kecuali

Digesti pepaik kedele P 3,0 g menggunakan agar P 12,0 g,

Natrium klorida P 5,0 g sebagai ganti 20,0 g, dan sete-

Kalium fosfat dibasa P 2,5 g lah pendidihan media untuk mela-

Glukosa P 2,5 g rutkan agar, tambahkan 10 ml po-

Agar P 20,0 g lisorbat 80 P. PH setelah sterilisa-

Air 1000 ml si.

PH setelah sterilisasi 7,2 ± 0,1

Media 11 Media 13

Sama seperti Media 1, kecuali PH Glukosa P 20,0 g

Setelah sterilisasai 8,3 ± 0,1 Pepton P 10,0 g

Air 1000 ml

PH setelah sterilisasi 5,6 ±

0,1

Media 19 Media 32

Pepton P 9,4 g Sama seperti Media 1, ke-

Ekstrak ragi P 4,7 g cuali tambahkan 300 mg

Ekstrak daging P 2,4 g mangan sulfat P.

Natrium klorida P 10,0 g

Page 19: AB 5 ACC

Glukosa P 10,0 g

Agar P 23,5 g

Air 1000 ml

PH setelah sterilisasi 6,1 ± 0,1

Media 34 Media 35

Gliserin P 10,0 g Sama Media 34, kecuali tambah-

Pepton P 10,0 g kan 17,0 g agar P.

Ekstrak daging P 10,0 g

Natrium klorida p 3,0 g

Air 1000 ml

PH setelah sterilisasi 7,0 ± 0,1

Media 36 Media 39

Digesti P. kasein P 15,0 g Sama seperti Media 3, kecuali PH

Digesti papaik kedele P 5,0 g setelah sterilisasi 7,9 ± 0,1

Natrium klorida P 5,0 g

Agar P 15,0 g

Air 1000 ml

PH setelah sterilisasi 7,3 ± 0,1

Pengunaan media-media pada uji antibiotik :

1. Media 1 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur). menurut

Grove & Randall, media ini dapat digunakan sebagai media

pembenihan, misalnya dengan bakteri uji S. aureus untuk

Page 20: AB 5 ACC

pemeriksaan kinamisin atau sebagai dasar agar, misalnya untuk

pengujian kloramfenikol.(14)

2. Media 2 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur.) Menurut

Grove & Randall, direkomendasikan sebagai lapisan dasar dalam uji

menggunakan pencadang, misalnya penisilin dan aureomycin. Untuk

uji paper disk dan uji turbidimetri dari bacitracin.(14)

3. Media 3 merupakan media yang kaya, biasanya digunakan dalam

pertumbuhan Bacillus subtilis dan organisme terkait.(14)

4. Media 5 digunakan sebagai lapisan dasar dalam uji menggunakan

pencadang, misalnya streptomycin.(14)

5. Media 9 merupakan media kultur dehidrasi, direkomendasikan untuk

menentukan potensi antibiotik oleh uji mikrobiologi. Media ini

diperuntukkan pada metode turbidimetri dan sebagai base layer pada

uji menggunakan pencadang, misalnya polymixin dari Bordetella

bronchiseptica.(15)

6. Media 10 merupakan media kultur dehidrasi, direkomendasikan untuk

menentukan potensi antibiotik oleh uji mikrobiologi. Media ini

diperuntukkan pada metode turbidimetri dan sebagai seed layer pada

uji menggunakan pencadang, misalnya polymixin dari Bordetella

bronchiseptica.(15)

7. Media 11 merupakan media kultur dehidrasi, direkomendasikan untuk

menentukan potensi antibiotik oleh uji mikrobiologi. Media ini

diperuntukkan pada metode uji turbidimetri dan pada uji menggunakan

Page 21: AB 5 ACC

pencadang, misalnya neomycin dari Micrococcus luteus dan

Streptococcus epidermidis.(15)

8. Media 13 merupakan media kultur umum dasar untuk pengujian

antibiotik dengan metode pengujian menggunakan pencadang dan

paper disk dengan bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus aureus,

Pseudomonas aeruginosa, Listeria monocytogenes, dan

Streptococcus faecalis.(14)

9. Media 19 digunakan untuk pengujian antibiotik nonselektif untuk

Saccharomyces.(14)

10.Media 32 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur). menurut

Grove & Randall, media ini dapat digunakan sebagai media

pembenihan, misalnya dengan bakteri uji S. aureus untuk

pemeriksaan kanamisin atau sebagai dasar agar, misalnya untuk

pengujian kloramfenikol.(14)

11.Media 34 merupakan media pengujian cair pada uji antibiotik dengan

bakteri uji Enterococcus hirae dan Staphylococcus aureus.(16)

12. Media 35 merupakan media pengujian pada uji antibiotik dengan

bakteri uji Enterococcus hirae dan Staphylococcus aureus.(16)

13. Media 36 merupakan media pengujian yang digunakan pada uji

antibiotik, misalnya bleomycin dari Mycobacterium smegmatis.

14. Media 39 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur) menurut

Grove & Randall, media ini digunakan dalam uji turbidimetri misalnya

penisilin, bacitracin, dan kanamisin dengan S. aureus dan untuk uji

Page 22: AB 5 ACC

pencadang misalnya eritromisin dan kloramfenikol dengan M. inteus.

(14)

Saat ini difahami bahwa obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada

sel jamur. Target pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua

mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur

utama dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.

Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung

(seperti golongan polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja

secara tidak langsung (seperti golongan azol). Sedangkan golongan

ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel β1,3

glukan.

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas

membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan

keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur

secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis

ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol

dan channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan

gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan

menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara

tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis

ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada

jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).(Gambar 3)

Page 23: AB 5 ACC

2. Sintesis asam nukleat

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat

adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan

menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang

mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC),

dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin

permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin

trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini

juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang

akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis

DNA.

3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas

mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan

berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel,

metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur

penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan

ekinokandin menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak

secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk,

integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalailisis.

Difusi antibiotika sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor

fisik dan biologis. Faktor fisik meliputi :waktu predifusi (preinkubasi), suhu

Page 24: AB 5 ACC

inkubasi, ketebalan lempeng. Sedangkan faktor biologis meliputi :opulasi

mikroorganisme, (komposisi medium dan konsentrasi kritis antibiotik). (5)

Potensi antibiotik dapat diketahui berdasarkan kemampuannya

untuk menghambat pertumbuhan dari suatu mikroorganisme atau bakteri.

Dalam percobaan ini dilakukan dengan cara mengukur daya hambat dari

suatu antibiotik yakni dengan mengukur diameter zona hambatnya pada

beberapa konsentrasi. (3)

Resistensi obat adalah perlawanan yang terjadi ketika

bakteri, virus dan parasit lainnya secara bertahap kehilangan kepekaan

terhadap obat yang sebelumnya membunuh mereka. Saat obat lebih

banyak digunakan, risiko resistensi obat meningkat karena kasus

penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau putus obat meningkat.

Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah

satu atau lebih mekanisme berikut : (6)

1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur

antibiotika. Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G

menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-

laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.

2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya

tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada

bakteri yang resisten.

3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi

obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida

Page 25: AB 5 ACC

berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik

pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor

pada organisme yang rentan.

4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung

dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten

terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi

seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah

dibentuk.

5. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat

melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi

oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya

beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat

sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap

sulfonamid dari pada PABA.

Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya

resistensi,antara lain: (7)

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat,

dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam

potensi yang tidak adekuat.

2. Faktor yang berhubungan dengan pasien . Pasien dengan

pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib

diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun

disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang

Page 26: AB 5 ACC

banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan

financial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang

paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien

membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self

medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan financial yang

rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.

3. Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary

health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-

obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum

pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang

tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan

tatalaksana antibiotiknya.

4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan

terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah

menimbulkan resistensi.

5. Perilaku hidup sehat : terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya

mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat

yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.

6. Penggunaan di rumah sakit : adanya infeksi endemik atau epidemik

memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-

bangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi

antara pemakaian antibiotic yang lebih intensif dan lebih lama

Page 27: AB 5 ACC

dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi,

memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotic juga

dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada

hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotic digunakan sebagai

suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan

hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan

meningkatkan terjadinya resistensi.

8. farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan

terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang

beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas

terhadap antibiotika

9. Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk

menemukan antibiotika baru.

Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi

sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan

dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.(8)

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas

membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan

dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung

(golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini

mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel

Page 28: AB 5 ACC

jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran

ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur

secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis

ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur

sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).

2. Sintesis asam nukleat

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat

adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan

menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang

mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5

FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel

jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan

terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro

deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat sintetase

sehingga memutus sintesis DNA.

3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas

mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan

berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel,

metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur

penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin

menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif.

Page 29: AB 5 ACC

Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan

morfologi sel jamur akan mengalami lisis.

II.2. Uraian Bahan

1. Aquadest (9)

Nama Resmi : Aqua destillata

Nama Lain : Air suling

RM/BM : H2O / 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak

berwarna, tidak berasa.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai pelarut

2. Alkohol (9)

Nama Resmi : Aethanolum

Nama Lain : Alkohol, etanol

RM/BM : C2H6O/46,07

Rumus Bangun : CH3-CH2-OH

Pemerian : Cairan tidak berwarna, mudah menguap

dan bergerak, bau khas, rasa panas,

mudah terbakar, memberi nyala biru,

tidak berasap.

Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, kloroform

P dan eter P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung

Page 30: AB 5 ACC

dari cahaya, di tempat sejuk, jauh dari

nyala api.

Kegunaan : sebagai antiseptika

3. Tetrasiklin (10)

Nama Resmi : Tetracyclinum

Nama Lain : Tetrasiklina

RM/BM : C22H24N2O8/444,44

Pemerian : Serbuk hablur, kuning, tidak berbau

atau sedikit berbau lemah

Kelarutan : sangat sukar larut dalam air, larut

dalam 50 bagian etanol (95%) P, praktis

tidak larut dalam kloroformn P dan

dalam eter P, larut dalam asam encer,

larut dalam alkali disertai peruraian.

Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung

dari cahaya. Jika dalam udara lembab

terkena sinar matahari langsung. warna

menjadi gelap, larutan dengan pH tidak

lebih dari 2 menjadi inaktif dan rusak

pada pH 7 atau lebih.

Khasiat : antibiotikum

Kegunaan : sebagai sampel

Page 31: AB 5 ACC

4. Kloramfenikol (10)

Nama Resmi : Chloramphenicolum

Nama Lain : Kloramfenikol

RM/BM : C11H12Cl2N2O5/323,12

Rumus Bangun : OH H

O2N-- -- C C CH2OH

H NH CO CHCl2

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau

lempeng memanjang, putih, tidak

berbau, rasa sangat pahit.

Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air,

dalam 2,5 bagian etanol 95% P, sukar

larut dalam kloroform P dan eter P

khasiat : Antibiotikum

kegunaan : sebagai sampel

penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

5. Asam Klorida (6)

Nama Resmi : Acidum Hydrochloridum

Nma Lain : Asam Klorida

RM/BM : HCl/36,46

Pemerian : Cairan tidak berwarna, berasap, bau

Page 32: AB 5 ACC

merangsang, jika diencerkan dengan 2

bagian air, uap dan bau hilang

Khasiat : Zat tambahan

Kegunaan : sebagai pemberi asam

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

II.3. Uraian Mikroba

II.3.1 Klasifikasi Mikroba

1. Staphylococcus aureus (11)

Kingdom : Protista

Division : Protophyta

Classis : Schizomycetes

Ordo : Enterobacteriales

Familia : Mikrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

2. Eschericia coli (11)

Kingdom : Prokariotik

Division : cyanobacteria/bakteria

Classis : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Familia :` Enterobacteriaceae

Page 33: AB 5 ACC

Genus : Eschericia

Spesies : Eschericia coli

II.3.2 Morfologi Mikroba

1. Staphylococcus aureus (12)

Sel-sel berbentuk bola, berdiameter 0,5 sampai 1,5 µm terdapat

tunggal dan berpasangan, dan secara khas membelah diri pada lebih dari

satu bidang sehingga membentuk gerombol yang tidak teratur. Non motil.

Tidak diketahui adanya stadium istirahat. Gram positif. Dinding sel

mengandung dua komponen utama : peptidoglikan serta asam tekoat

yang berkaitan dengannya. Kemoorganotrof. Metabolisme dengan

respirasi dan fermentatif. Anaerob fakultatif, tumbuh lebih cepat dan lebih

banyak dalam keadaan aerobik. Suhu optimum 35 – 400C. Terutama

berasosiasi dengan kulit, dan selaput lendir hewan berdarah panas.

Pertumbuhan pada medium agar abundant, dan koloninya buram dan

tidak tembus cahaya, smooth, dan berkilauan dalam penampakannya.

Beberapa Staphylococcus bentuk lipochrome pigmen yang memberikan

koloni kuning emas atau kuning lemon dimana yang lainnya tidak dan

putih

2. Escherichia coli (12)

Batang lurus, 1,1 – 1,5 μm x 2,0 – 6,0 µm, motil dengan flagelum

peritritikus atau non motil. Gram negatif. Tumbuh dengan mudah pada

medium nutrien sederhana. Laktose difermentasi oleh sebagian besar

galur dengan produksi asam dan gas. Koloninya utamanya pada nutrien

Page 34: AB 5 ACC

gelatin, buram tidak tembus cahaya sampai sebagian translusent, smooth

dan seragam konsistensinya. Jika ditumbuhkan pada medium Eosin

Metilen Biru Agar, koloninya tampak seperti logam kemilau.

II.4. Uraian Sediaan

1. Tetrasiklin kapsul (5)

Komposisi : Tetrasiklina-HCl 250 mg/kapsul

Indikasi : infeksi yang sensitive terhadap

Tetrasiklina

Kontraindikasi : hipersensitivitas, kehamilan,

Menyusui, bayidananak<8 tahun

Efeksamping : Mual, muntah, diare

Perhatian : Hati-hati pada pasien dengan

Gangguan fungsi hati dan ginjal

Interaksiobat : Antasida, susu, obat hepatoksik

Dosis : 4 x sehari kapsul 250 mg, 2 x

sehari 1 kapsul 500 mg, sirop 1 g sehari

dalam 2-4 dosis terbagi

Produksi : Interbat

2. Kloramfenikol kapsul

Komposisi : Kloramfenikol 250 mg/kapsul

Indikasi : terapi pilihan utama untuk pengobatan

Tifus dan paratifus

Kontraindikasi : penderita yang hipersensitif terhadap

Page 35: AB 5 ACC

kloramfenikol, gangguan fungsi hati dan

ginjal yang berat.

Efeksamping : Diskrasia darah, mual, muntah, diare,

anafilaktik, urtikaria.

Perhatian : Tidak dianjurkan penggunaan untuk

wanita hamil dan menyusui, hati-hati bila

dipergunakan pada penderita dengan

gangguan fungsi ginjal dan hati.

Interaksiobat : kloramfenikol menghambat

biotransformasi senyawa lain yang

dimetabolisme oleh enzim mikrosoma

hati seperti dikumarol, fenitoin,dll.

Dosis : - Dewasa, anak-anak dan bayi berumur

di atas 2 minggu : 50mg/kg BB sehari

dibagi menjadi 3-4 dosis.

- Bayi berumur dibawah 2 minggu : 25

mg/kg BB sehari dibagi menjadi 4

dosis.

Produksi : PT Kalbe Farma

Page 36: AB 5 ACC

BAB III

METODE KERJA

III.1. Alat dan Bahan

III.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah botol pengencer, botol semprot,

cawan petri, erlenmeyer, handspray, inkubator, jangka sorong, kompor,

labu ukur 10 mL ; 100 mL, lampu spiritus, lumping dan alu, autoklaf,

pencadang, pinset, sendok tanduk, spoit, tabung reaksi, timbangan

analitik.

III.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah air suling, alkohol, aluminium

foil, biakan bakteri Staphylococcus aureus, kapas, kertas label,kertas

timbang, kloramfenikol baku, kloramfenikol tablet, tetrasiklin baku,

tetrasiklin kapsul.

III.2. Cara kerja

A. Penyiapan Larutan Baku Kloramfenikol

Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Ditimbang kloramfonikol

baku sebanyak 0,05 gr lalu di masukkan ke dalam labu takar 50 ml dan

ditambahkan aquadest hingga volumenya 50 ml, kemudian di

homogenkan (konsentrasi 1000 ppm) sebagai slok. Diambil sebanyak 0,5

ml slok atau di masukkan dalam labu takar 50 ml dan di cukupkan dengan

akuades hingga volumenya 50 ml kemudian dihomogenkan (konsentrasi

Page 37: AB 5 ACC

10 ppm). (pengenceran 1). Untuk membuat S₁ : 1,6 ppm, diambil 4ml dari

pengenceran 1 (10 ppm) lalu dimasukkan dalam labu takar 25 ml. Untuk

membuat S₂ : 2 ppm, di ambil 5 ml dari pengenceran 1 (10 ppm) lalu

dimasukkan dalam labu takar 25 ml dan di cukupkan dengan akuades

hingga volumenya 25 ml kemudian homogenkan. Untuk membuat S₃ : 2,5

ppm, diambil 0,25 ml dari pengenceran 1 (100 ppm) lalu dimasukkan

dalam labu takar 25 ml, dan dicukupkan dengan aquades hingga

volumenya 25 ml kemudian di homogenkan. Untuk membuat S₄ : 3,125

ppm, di ambil 7,81 ml dari pengenceran 1(100 ppm) lalu dimasukkan

dalam labu takar 25 ml dan dicukupkan dengan aquades hingga

volumenya 25 ml kemudian homogenkan. Untuk membuat S₅ : 3,9 ppm,

diambil 9,75 ml dari pengenceran 1 lalu dimasukkan didalam labu takar 25

ml di cukupkan dengan air hingga volumenya 25 ml, dihomogenkan.

B. Penyiapan larutan kloromfenikol/Larutan uji

Disiapkan alat dan bahan. Digerus kloromfenikol, lalu ditimbang dan

di masukkan ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan aquades hingga

volumenya 50 ml kemudian di homogenkan (konsentrasi 1000 ppm),

(Larutan stok). Diambil sebanyak 0,5 ml larutan stok lalu dimasukkan

dalam labu takar 50 ml dan dicelupkan dengan aquades hingga

volumenya 50 ml kemudian homogenkan (konsentrasi 10 ppm).

(pengenceran 1). Untuk membuat U₃ : 2,5 /ppm diambil 0,25 ml dari

pengenceran 1 (10 ppm) lalu dimasukkan dalam labu takar 25 ml dan

Page 38: AB 5 ACC

dicukupkan dengan aquadest hingga volumenya 25 ml kemudian di

homogenkan.

C. Pengujian Potensi Antibiotik

Disiapkan alat dan bahan. Sebanyak ±20 ml medium NA dituang

secara aseptis ke dalam cawan perti steril sebagai bese layer, biarkan

memadat. Sebanyak ± 15 ml medium NA dimasukkan kedalam botol

pengencer secara aseptis lalu ditambahkan 1 ml suspensi bakteri E .coli

dan dihomogenkan. Campuran biakan bakteri dan medium tersebut

diliang di atas cawan petri dan biarkan setengah padat sebagai seed

layer. Pencadang disusun sebanyak 6 buah dengan menggunakan

pingset steril dengan jarak 15 mm dari pinggiran cawan petri sedikit

ditekan agar kontak dengan medium. Masing-masing pencadang diisi

dengan sampel dan larutan baku yang telah diencerkan. Satu pencadang

yaitu yang terletak ditengah diisi dengan aquadest. Diinkubasi selama 24

jam pada suhu 37°c. Diamati perubahan yang terjadi dan diukur diameter

zona hambatan dengan menggunakan jangka sorong.

Page 39: AB 5 ACC

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

IV.1 Tabel Pengamatan

1. Tetrasiklin

No S1 S3 Sc S3 S4 S3 S5 S3 U3 S3

11,35 1,21 1,01 0,87 0,72 1,81 0,67 1,12 1,58 1,351,22 1,15 1,09 0,72 0,66 1,91 0,72 1,18 1,51 1,251,17 1,16 1,12 0,79 0,71 1,25 0,64 1,22 1,42 1,31

21,01 1,32 0,95 0,61 0,95 0,93 1,03 1,21 1,08 0,971,03 1,45 0,97 0,66 1,51 0,99 1,13 1,10 1,05 0,940,90 1,47 0,12 0,52 0,90 1,07 1,17 1,24 1,06 0,90

31,05 1,10 0,77 0,81 0,88 1,41 1,29 0,74 1,02 1,021,95 1,15 0,75 0,83 0,86 1,52 1,11 0,65 1,09 1,191,12 1,27 0,77 0,87 0,81 1,55 1,15 0,172 1,15 1,11

Jumlah 10,8 11,28 7,55 6,68 8,05 12,44 8,91 9,18 10,96 10,04Rata-rata 1,2 1,25 0,83 0,74 0,89 1,38 0,99 1,02 1,21 1,11Kofaktor 0,51 0,36 0,64 0,78

Hasil 1,71 1,19 1,53 1,27

Dosis larutan Baku Log 5 = xDiameter zona

hambat = yX2 Y2 Xy

S1 = 0,15 ppm -0,82 1,71 0,67 2,92 1,95Se = 0,19 ppm -0,72 1,19 0,51 1,41 0,75S3 = 0,24 ppm -0,62 1,53 0,38 2,34 0,88S4 = 0,38 ppm -0,52 1,53 0,27 2,34 0,63S5 = 0,38 ppm -042 1,27 0,18 1,61 0,28Jumlah : 1,26 ppm -3,10 7,23 2,01 10,62 4,45

Y = a + bx

= 1,11 + ( - 0,54) (-064)

= 1,44

Yu = { y + (U3 – U3S3)}

= 1,44 + (1,21 – 1,11) = 1,54

Yu = a + bXu

Page 40: AB 5 ACC

1,54 = 1,11 + ( -0,54) Xu

1,54 – 1,11 = - 0,54 Xu

-0,430,54

= Xu – Xu = - 0,79

antilog = 0,162

% = 0,1620,24

x 100 % = 67,5 %

2. Kloramfenikol

No S1 S3 S2 S3 S4 S3 S5 S3 U3 S3

111,65 15,5 13,4 13,3 15,4 9,75 12 12 9,1 20,1212,45 15,3 11,5 13,2 13,75 12,1 12 13,5 12 21,1711,1 15,2 11,3 12,2 14,97 12 12 15,5 10,1 22,1

211,05 13,4 12,4 12,3 11,1 9,45 12,5 14 10,5 8,4511,43 14,4 13,4 12,1 12,2 9,4 15 14,5 8,2 8,3211,23 14,5 11,2 12,3 11,25 10,17 15,5 11 10,5 8

312,13 13,5 15,5 16,1 13 10,65 9 9 7,15 813,48 17,2 14,5 14,1 12,25 11,15 12 12 7,27 8,312,4 14,3 13,2 15,4 11,6 10,17 14 14 8,3 12,37

Jumlah 106,92

133,3 116,4 13,45 115,49

94,805

115,15

115,5 83,12 116,83

Rata-rata

11,88 14,81 12,93 13,5 12,83 10,53 12,35 12,83 9,23 12,98

Korektor 1,36 -2,3 -2,92 -0,62Hasil 13,24 10,63 9,91 11,73

Dosis larutan Baku Log S = xDiameter zona

hambat = yX2 Y2

S1 = 1,6 ppm 0,2047 13,24 0,0416 175,29Se = 2 ppm 0,3010 10,63 0,0906 112,99S3 = 2,5 ppm 0,3979 12,92 0,1583 166,92S4 = 3,125 ppm 0,4948 9,91 0,2448 98,21S5 = 3,9 ppm 0,5917 11,73 0,8854 137,59Jumlah 1,9801 58,43 14,207 691

y = a + b x

Page 41: AB 5 ACC

y = 13,222 + (-3,859) (0,3979)

= 11,686

Yu = { y + (u3 – S2U3)}

= {11,686 + (9.23 – 12,98)}

= 7,936

Yu = a + bXu

7,936 = 13,222 + (-3,859) Xu

-5,286 = -3,859 Xu

Xu = 1,369

Anti log Xu = 23,38

% ratio = 23,38

2,5 x 100 %

= 935,2 %

BAB V

Page 42: AB 5 ACC

PEMBAHASAN

Pada percobaan ini dilakukan pengujian antibiotik dengan

menggunakan metode difusi agar, di mana metode ini menggunakan

media padat, dan pengerjaannya juga sederhana. Selain itu metode ini

juga memungkinkan pengerjaan secara serentak terhadap beberapa

antibiotik dan alat yang digunakan dalam hal ini adalah paperdisk dan

medium yang digunakan adalah medium NA.

Pada percobaan ini, dimasukkan larutan NaCl ke dalam biakan

bakteri, kemudian dihomogenkan. Diambil 1 ml untuk satu cawan petri

yaitu suspensi biakan, kemudian ditambahkan medium NA. ditunggu

hingga mulai memadat kemudian dimasukkan masing-masing 6 paper

disk ke dalam cawan petri dengan pengenceran berbeda. Pada cawan

petri pertama dimasukkan paper disk dari pengenceran S1 dan S3, cawan

petri kedua S2 dan S3, cawan petri ketiga S3 dan S 4, cawan petri keempat,

S3 dan S5, dan cawan petri kelima, S3 dan U3, secara berselang seling.

Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o c dan kemudian diukur

zona hambatnya.

Zona hambatan yang terbentuk adalah difusi antibiotik dari

pencadang terhadap medium NA, membentuk zona hambatan. Zona

hambatan ini yang dijadikan dasar kuantitas untuk menghitung potensi

antibiotik.

Page 43: AB 5 ACC

Ketentuan untuk standar, uji potensi antibiotik adalah kadarnya tak

kurang dari 97% dan tidak lebih dari 107%. Jadi, potensi antibiotik sampel

tidak sesuai dengan ketentuan.

Page 44: AB 5 ACC

BAB IV

PENUTUP

IV. 1 Kesimpulan

Dari data percobaan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa :

1. Pada sampel tetrasiklin diperoleh ratio presentasenya sebesar

67,5%.

2. Pada sampel kloramfenikol diperoleh ratio presentasenya sebesar

935,2%.

IV. 2 Saran

Agar asisten lebih sabar lagi menghadapi praktikan seperti kami.

Semoga kedepanya lebih baik.

Page 45: AB 5 ACC

LAMPIRAN

1. Skema Kerja

Medium NA (Nutrien Agar)

Buat base layer dalam cawan petri steril

(biarkan memadat)

Suspensikan mikroba dalam medium yang cocok

± 20 ml (seed layer)

Tanam pencadang pada medium seed layer

(atur jaraknya)

Pencadang diisi dengan konsentrasi masing-masing sampel

Inkubasi 1 x 24 jam pada suhu 37 °C

Amati dan ukur daya hambatnya

Page 46: AB 5 ACC

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjay, T.H., Kirana, K., (1978), “Obat-Obat Penting”, Edisi IV,

Dep.Kes.RI, Jakarta.

2. Soemarno. dr, Prof., (1976. “Mikrobilogi”. LEPHAS (Lembaga

Penerbitan Universitas Hasanuddin), Unhas, Makassar.

3. Ganiswarna, S. G., et all., (1995), “Farmakologi dan Terapi”, Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

4. http://www.slideshare.net/antonyweng/biosintesis-antibiotik diakses

pada 02 Desember 2012

5. Syarurrahman,A.,dkk.,1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

6. Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and

clinical pharmacology. Third edition. Appleton and Lange, Norwalk.

7. Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P. 2009. Antibiotic

resistance- A global issue of concern. Asian journal of

pharmaceutical and clinical research. Volume 2. Issue 2.

8. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ,

McGinn MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier.

2009. p161-196

9. Ditjen POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Dep.Kes.RI,

Jakarta

10. Ditjen POM., (1995), “Farmakope Indonesia”, Edisi IV, Dep.Kes.RI,

Jakarta

Page 47: AB 5 ACC

11.Pelczar,Michael,J.,dan E.C.S.Chan,1986,“Dasar-dasar Mikrobiologi

I”, UI Press, Jakarta.

12.Fardiaz, S., (1993), “Mikrobiologi Pangan I”, Penerbit PT.Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta

13.Suriawiria, Unus, (1986), “Pengantar Mikrobiologi Umum”, Penerbit

Angkasa, Bandung.

14.http://www.sigmaaldrich.com/analyticalchromatography/

microbiology/microbiology-products.html?TablePage=17996753

diakses pada 12 Desember 2012

15.http://www.alphabiosciences.com diakses pada 12 Desember 2012

16. http://www.pharmacopeia.cn/v29240/usp29nf24s0_c81.html

diakses pada 12 Desember 2012

Page 48: AB 5 ACC

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN

POTENSI ANTIBIOTIK

KELOMPOK V

Valentine FS Kapang N11111107

Andi Dian Ayu Saputri N11111256

Aat Prayogo M. N11111257

Umi Mu’minati N11111278

Asisten : Whyllies Agung Ajie Buana

Golongan : Jumat Siang

MAKASSAR

2012