AB 5 ACC
Transcript of AB 5 ACC
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sudah sejak dahulu kita mengenal antibiotik. Obat ini sangat
banyak macamnya, sehingga suatu jenis penyakit hanya dapat diobati
oleh antibiotik yang sesuai dengan penyakit tersebut. Daya kerja masing-
masing jenis antibiotik berbeda-beda, meskipun berasal dari derivat yang
sama.
Keberhasilan antibiotik yang menakjubkan dalam pengobatan
penyakit manusia, segera mempengaruhi perkembangan penggunaannya
dalam sejumlah bidang sejenis. Dengan demikian, antibiotika menjadi
salah satu produk penting dalam industri obat dewasa ini. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian terhadap sediaan
antibiotik yang beredar dipasaran untuk mengetahui apakah daya potensi
sediaan antibiotik tersebut masih dalam batas yang disyaratkan atau
belum kadaluarsa.
Jumlah antibiotik yang beredar di pasaran dewasa ini semakin
meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Umumnya
antibiotik diproduksi secara besar-besaran sehingga dari produksi hingga
saat antibiotik tersebut digunakan oleh konsumen dapat memakan waktu
lama, baik dalam penyimpanan maupun distribusinya. Hal ini dapat
menyebabkan potensi dari antibiotik tersebut menurun atau bahkan
hilang.
Suatu senyawa atau zat aktif yang digunakan sebagai antibiotik
perlu ditetapkan potensinya, utamanya antibiotik yang beredar dipasaran
agar mutunya dapat diketahui. Sebagai pembanding digunakan antibiotik
baku sehingga potensi antibiotik uji akan dapat ditentukan apakah masih
memenuhi batas potensi atau tidak. Melalui percobaan ini dilakukan uji
potensi dari antibiotik tetrasiklin kapsul dibandingkan dengan tetrasiklin
baku dan antibiotik kloramfenikol tablet dibandingkan dengan
kloramfenikol baku.
I.2. Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1. Maksud Percobaan
Maksud percobaan ini adalah mengetahui dan memahami cara
penentuan potensi suatu sediaan antibiotik dengan metode tertentu.
I.2.2. Tujuan Percobaan
Menentukan potensi dari kloramfenikol dan tetrasiklin terhadap
mikroba uji Eschericia coli dan Staphylococcus aureus pada medium
Nutrien Agar (NA)
I.3. Prinsip Percobaan
a. Penentuan potensi antibiotik kloramfenikol yang dilakukan dengan
cara membandingkan antara sediaan uji (kloramfenikol kapsul)
berdasarkan zona hambat yang terbentuk dari sampel antibiotik
terhadap Escherichia coli pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi
pada suhu 37˚C selama 24 jam.
b. Penentuan potensi antibiotik tetrasiklin yang dilakukan dengan cara
membandingkan antara sediaan uji (tetrasiklin kapsul) berdasarkan
zona hambat yang terbentuk dari sampel antibiotik terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus setelah diinkubasi
pada suhu 37˚C selama 24 jam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Teori Umum
Antibiotika (L. anti : lawan, B.bios : hidup) adalah zat-zat kimia
yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan
atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi
manusioa relatif kecil. Turunan zat tersebut yang dibuat secara semi-
sintetis, termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan
khasiat antibakteri lazimnya disebut antibiotika.(1)
Antibiotik adalah suatu substansi kimia yang diperolehdari atau
dientuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi
rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainya.
Antibiotika terbesar di alam dan memegang peranan penting dalam
mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah dan kompos.
Antibiotik ini berbeda dalam susunan kimia dan cara kerjanya. Dari sekian
banyak antibiotika yang berhasil ditemukan, hanya beberapa saja yang
tidak toksik untuk dapat dipakai dalam pengobatan. Antibiotika yang kini
banyak dipergunakan, kebanyakan diperoleh dari genus
Bacillus,Penicillium dan Streptomyces.(1)
Kelompok-kelompok antibiotik yaitu:
1. Kelompok penicillin dan sefalosforin
2. Kelompok amino glikosida (streptomisin, getamisin, kanamisin,
neomisin, framisetin)
3. Kelompok kloramfenikol dan tetrasiklin
4. Kelompok makrolida (eritromisin, spiramisin, oleandomisin, dan
linkomisin atau klindamisin)
5. Kelompok polipeptida ( pilimiksin, basitrasin, dan kolistin)
6. Kelompok rifampisin dan spektinomisin
7. Kelompok asam fusidat
8. Kelompok griseofulvin
9. Kelompok polien ( nistatin, amfoerisin-B)
Sifat-sifat antibiotik sebaiknya adalah (1) :
a. Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak host.
b. Bersifat bakterisid dan bukan bakteriostatik
c. Tidak menyebabkan resistensi pada kuman
d. Berspektrum luas
e. Tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila
dipergunakan dalam jangka waktu lama
f. Tetap aktif tanpa plasma, cairan badan atau eksudat
g. Larut dalam air serta stabil
h. Bakterisidal level di dalam tubuh cepat dicapai dan bertahan untuk
waktu yang lama
Antibiotika yang ideal sebagai obat harus memenuhi syarat-syarat
berikut (1):
1. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic)
2. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme
patogen
3. Tidak menimbulkan efek samping yang buruk pada host, seperti
reaksi alergi, kerusakan saraf, iritasi lambung dan sebagainya.
4. Tidak mengganggu keseimbangan flora yang normal dari host
seperti flora usus atau flora kulit.
Berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba dibagi dalam lima
kelompok (3) :
1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid,
trimetoprim, asam p-aminosalisilat dan sulfon.
2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin,
sfalosforin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.
3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah polimiksin,
golongan polien serta berbagai antimikroba kemoteraupetik,
seperti antiseptik surface active agents.
4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah golonbgangna
aminoglikosid, makrolid, linkimisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.
5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.
Antimikroba yang termasuk kelompok ini ialah rimpisin dan
golongan kuinolon.
Antimikroba mempunyai mekanisme kerja utama ada lima
cara antara lain sebagai berikut:
1. Penginaktifan Enzim Tertentu.
Penginaktifan enzim tertentu adalah mekanisme umum dari
antiseptika dan desinfektansia, seperti turunan aldehid, amida,karbanilida,
etilen-oksida, halogen, senyawa-senyawa merkuri dan senyawa amonium
kuartener.
2. Denaturasi Protein
Turunan alkohol, halogen dan halogenator, senyawa merkuri,
peroksida, turunan fenol dan senyawa amonium kuartener bekerja
sebagai antiseptika dan desinfektansia dengan cara denaturasi dan
konyugasi protein sel bakteri.
3. Mengubah Permeabilitas Membran Sitoplasma Bakteri
Dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma bakteri,
senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan bocornya konstituen sel
yang essensial, sehingga bakteri mengalami kematian.
4. Intekalasi Ke Dalam DNA
Bekerja sebagai antibakteri dengan mengikat secara kuat asam
nukleat, menghambat sintesis DNA dan menyebabkan perubahan
kerangka mutasi pada sintesis protein.
5. Pembentuksn Khelat
Beberapa turunan fenol, seperti heksoklorofen dan oksikuinolin
dapat membentuk khelat dengan ion Fe dan Cu, kemudian bentuk khelat
tersebut masuk dalam sel bakteri
Pengelompokan yang lebih modern untuk senyawa antibiotik
umumnya dilihat dari gugus penting di dalamnya yang terlibat dalam
aktivitas antimikrobial maupun yang menjadi ciri khas dari struktur
molekulnya. Beberapa kelompok antibiotik tersebut yaitu (4):
1. Antibiotik -laktam
Ciri khas dari antibiotik golongan ini adalah memiliki gugus -laktam.
Gugus -laktam merupakan sebuah cincin dengan 2 atom C, 1 gugus
karbonil, dan 1 atom N. Jenis antibiotik ini merupakan yang paling
terkenal dan penggunaan paling luas dalam dunia kesehatan (lebih dari
50% total penggunaan dan produksi dunia). Beberapa antibiotik yang
termasuk golongan ini dapat dilihat pada tabel sedangkan struktur
molekulnya dapat dilihat pada gambar
Tabel. Beberapa subkelas dan senyawa antibiotik b-laktam
SubkelasSenyawa
AntibiotikMikroorganisme Penghasil
Fungi Bakteri G+ Bakteri G-
Penams Penisilin GPenicillium, Aspergillus
- -
Cephems
Sefalosporin C
Cephalosporium - -
Sefamisin C -Sterptomyces
, Nocardia-
Carbapenems Thienamisin -Streptomyces
cattleyaSerratia, Erwinia
Monobaktams Aztreonam - Nocardia PseudomonasClavams Asam
klavulanat- Streptomyces -
Klavamisin - Streptomyces -
Gambar. Struktur molekul beberapa jenis antibiotik -laktam
2. Aminoglikosida
Kelompok ini merupakan antibiotik yang mengandung amino gula yang
dihubungkan dengan ikatan glikosidik, sehingga dinamakan
aminoglikosida. Beberapa jenis antibiotik yang tergolong aminoglikosida
yaitu streptomisin (dihasilkan oleh Streptomyces griseus), kanamisin
(Gambar 2.2a), neomisin, gentamisin, tobramisin, netilmisin,
spektinomisin, dan amikasin. Streptomisin merupakan antibiotik
pertama yang efektif dalam pengobatan tuberculosis. Antibiotik
aminoglikosida tidak digunakan secara luas, di mana hanya mencakup
3% dari total semua antibiotik dihasilkan dan digunakan di dunia.
Gambar. Struktur molekul a.kanamisin (kiri); b.eritromisin (kanan)
3. Makrolida
Antibiotik makrolida memiliki cincin lakton yang berikatan dengan gula.
Variasi cincin lakton dan gula menghasilkan berbagai macam senyawa
antibiotik jenis ini. Meskipun ukuran cincin antibiotik makrolida
bervariasi antara 6 sampai 30, kebanyakan antibiotik makrolida yang
digunakan memiliki ukuran cincin 14 atau 16. Eritromisin, jenis antibiotik
makrolida yang paling banyak digunakan, memiliki ukuran cincin 14
(Gambar 2.2b). Secara keseluruhan, antibiotik makrolida mencakup
11% dari total produksi dan penggunaan antibiotik dunia.
4. Tetrasiklin
Antibiotik tetrasiklin memiliki struktur yang terdiri dari cincin naftacena.
Substitusi gugus dasar cincin naftacena dapat terjadi secara alami dan
menghasilkan analog tetrasiklim yang baru. Antibiotik tetrasiklin
merupakan antibiotik dengan penggunaan yang cukup luas setelah
antibiotik -laktam. Struktur molekul tetrasiklin dapat dilihat pada
gambar .
Gambar. Struktur molekul tetrasiklin
5. Streptogramin
Merupakan jenis antibiotik yang umumnya dihasilkan oleh
mikroorganisme genus Streptomyces. Streptogramin dibedakan atas
dua jenis yaitu streptogramin A dan streptogramin B. Dalam mekanisme
kerjanya, kedua jenis streptogramin bersinergi untuk menginhibisi
pertumbuhan bakteri. Streptogramin A terdiri dari cincin tidak jenuh
bermember 23 dengan ikatan lakton dan peptida, sementara
streptogramin B merupakan depsipeptida (lactone-cyclized peptides).
Salah satu contoh antibiotik streptomisin adalah pristinamisin, yang
merupakan gabungan dari pristinamisin IA (sebuah makrolakton peptida
yang termasuk streptogramin B) dan pristinamisin IIA (sebuah
makrolakton poliunsaturated yang termasuk streptogramin A). Struktur
molekul pristinamisin dapat dilihat pada gambar .
Gambar. Struktur molekul Pristinamisin IIA dan Pristinamisin IA
6. Daptomisin
Daptomisin (C72H101N17O26) merupakan antibiotik yang mengandung
siklik lipopeptida. Umumnya dihasilkan oleh genus Streptomyces.
Daptomisin digunakan untuk mengobati infeksi bakteri gram positif
seperti staphylokokus dan streptokokus yang bersifat patogen. Cara
kerjanya dengan mengikat secara spesifik pada membran sitoplasma
bakteri, membentuk pori, dan mengakibatkan depolarisasi membran.
Akibat depolarisasi, bakteri tidak dapat menghasilkan makromolekul
seperti asam nukleat dan protein, dan akhirnya mati. Struktur molekul
daptomisin dapat dilihat pada gambar .
Gambar. Struktur molekul daptomisin
Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksisitas yang selektif,
Istilah ini berarti bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak
membahayakan bagi inang. Toksisitas selektif dapat berupa fungsi dari
suatu reseptor khusus yang dibutuhkan untuk pelekatan obat, atau dapat
bergantung pada perhambatan proses biokimia yang penting untuk parasit
tetapi tidak untuk inang.(2)
Berdasarkan sifat-sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang
bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai aktivitas
bakteriostatik dan ada pula yang bersifat membunuh mikroba dikenal
sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dikenal
sebagai kadar minimal hambat dan kadar bunuh minimal. (2)
Ada tiga metode utama tes sensitifitas, tes antimikroba atau
antibiotik yaitu (5) :
1. Broth dilution (pengenceran medium)
2. Agar ilution (pengenceran agar)
3. Agar diffusion (difusi agar) atau disdiffusion
a. Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer)
Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer) untuk menentukan
aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme
yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba permukaan media agar.
b. E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum
inhibitory concentration) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu
konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghabat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini
digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari
kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan permukaan media
agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan
pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar
agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme
pada media agar.
c. Ditch-plate Technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang
diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media
agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan
mikroba uji ( maksimum 6 macam ) digoreskan kearah parit yang
berisi agen antimikroba.
d. Cup-plate Technique
Metode ini serupa dengan mitode disc diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan
mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba
yang akan diuji.
e. Gradient-plate Technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar
secara teoretis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar
dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang
kedalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi
kedua selanjutnya dihitung diatasnya. Plate diinkubasi selama 24
jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan
permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam)
digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil
diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme
maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang
pertumbuhan hasil goresan.
Bila: X = panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin
Y = panjang pertumbuhan aktual
C = konsentrasi final agen antimikroba pada total volume media
mg/mL atau μ/mL,
Maka konsentrasi hambatan adalah: [(X.Y)]: C mg/mL atau μg/mL.
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang
didapat dari lingkungan padat dan cair faktor difusi agen
antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media
padat.
Dari ketiga metode tersebut, metode agar dilution memerlukan
waktu yang lebih sedikit dari pada metode lain, metode ini digunakan
karena metode ini sederhana, cepat tanpa mengorbankan terlalu banyak
ketelitian. Metode difusi agar dengan cepat dapat dikerjakan dengan cepat
secara serentak. Beberapa antibiotika daripada itu teknik difusi dapat
digunakan dalam tes langsung dari patologi sehingga beberapa indikasi
sensitifitas dapat diberikan stimulant dengan identifikasi dari organism
penyebabnya. (5)
Metode difusi dilakukan dengan menggunakan silinder tidak
beralas, yang mengandung obat dalam jumlah tertentu ditempatkan pada
pembenihan padat yang telah ditanami dengan biakan tebal organisme
yang diperiksa. Setelah diinkubasi, garis tengah daerah hambatan jernih
yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran hambatan kekuatan obat
terhadap organisme yang diperiksa. Metode ini dipengaruhi banyak faktor
fisik dan kimiawi di samping interaksi antara obat dengan organisme,
misalnya pembenihan dan daya difusi, ukuran molekul dan stabilitas obat.
Kesulitan terbesar adalah laju pertumbuhan yang beragam diantara
berbagai mikroorganisme. (5)
Tabel. Diameter Hambatan Dari Antibiotik Baku
Antibiotik KadarDiameter Zona Hambatan
Resisten Intermediet SensitifNeomisin 0,03 mg 12/kurang 13-16 17/lebih
Nitrofurantion 0,3 mg 14/kurang 15-16 17/lebihPenisilin G vs Staphylococci
10 unit 20/kurang 11-28 29/lebih
Tetrasiklin 0,03 mg 14/kurang 15-18 19/lebihSulfonamida 0,3 mg 12/kurang 13-16 17/lebih
Media-media untuk pengujian antibiotik adalah : (10)
Media 1 Media 2
Pepton P 6,0 g Pepton P 6,0 g
Digesti pankreatik kasein 4,0 g Ekstrak ragi P 3,0 g
Ekstrak ragi P 3,0 g Ekstrak daging P 1,5 g
Ekstrak daging P 1,5 g Agar P 15,0 g
Glukosa P 1,0 g Air 1000 ml
Agar P 15,0 g PH setelah sterilisasi 6,6 ± 0,1
Air 1000 ml
PH setelah sterilisasi 6,6 ± 0,1
Media 3 Media 5
Pepton P 5,0 g Sama seperti media 2, kecuali PH
Ekstrak ragi P 1,5 g setelah sterilisasi 7,9 ± 0,1
Ekstrak daging P 1,5 g
Natrium klorida P 3,5 g
Glukosa P 1,0 g
Kalium fosfat dibasa P 3,68 g
Kalium fosfat monobasa P 1,32 g
Air 1000 ml
PH setelah sterilisasi 7,0 ± 0,05
Media 9 Media 10
Digesti P. kasein P 17, g sama seperti Media 9, kecuali
Digesti pepaik kedele P 3,0 g menggunakan agar P 12,0 g,
Natrium klorida P 5,0 g sebagai ganti 20,0 g, dan sete-
Kalium fosfat dibasa P 2,5 g lah pendidihan media untuk mela-
Glukosa P 2,5 g rutkan agar, tambahkan 10 ml po-
Agar P 20,0 g lisorbat 80 P. PH setelah sterilisa-
Air 1000 ml si.
PH setelah sterilisasi 7,2 ± 0,1
Media 11 Media 13
Sama seperti Media 1, kecuali PH Glukosa P 20,0 g
Setelah sterilisasai 8,3 ± 0,1 Pepton P 10,0 g
Air 1000 ml
PH setelah sterilisasi 5,6 ±
0,1
Media 19 Media 32
Pepton P 9,4 g Sama seperti Media 1, ke-
Ekstrak ragi P 4,7 g cuali tambahkan 300 mg
Ekstrak daging P 2,4 g mangan sulfat P.
Natrium klorida P 10,0 g
Glukosa P 10,0 g
Agar P 23,5 g
Air 1000 ml
PH setelah sterilisasi 6,1 ± 0,1
Media 34 Media 35
Gliserin P 10,0 g Sama Media 34, kecuali tambah-
Pepton P 10,0 g kan 17,0 g agar P.
Ekstrak daging P 10,0 g
Natrium klorida p 3,0 g
Air 1000 ml
PH setelah sterilisasi 7,0 ± 0,1
Media 36 Media 39
Digesti P. kasein P 15,0 g Sama seperti Media 3, kecuali PH
Digesti papaik kedele P 5,0 g setelah sterilisasi 7,9 ± 0,1
Natrium klorida P 5,0 g
Agar P 15,0 g
Air 1000 ml
PH setelah sterilisasi 7,3 ± 0,1
Pengunaan media-media pada uji antibiotik :
1. Media 1 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur). menurut
Grove & Randall, media ini dapat digunakan sebagai media
pembenihan, misalnya dengan bakteri uji S. aureus untuk
pemeriksaan kinamisin atau sebagai dasar agar, misalnya untuk
pengujian kloramfenikol.(14)
2. Media 2 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur.) Menurut
Grove & Randall, direkomendasikan sebagai lapisan dasar dalam uji
menggunakan pencadang, misalnya penisilin dan aureomycin. Untuk
uji paper disk dan uji turbidimetri dari bacitracin.(14)
3. Media 3 merupakan media yang kaya, biasanya digunakan dalam
pertumbuhan Bacillus subtilis dan organisme terkait.(14)
4. Media 5 digunakan sebagai lapisan dasar dalam uji menggunakan
pencadang, misalnya streptomycin.(14)
5. Media 9 merupakan media kultur dehidrasi, direkomendasikan untuk
menentukan potensi antibiotik oleh uji mikrobiologi. Media ini
diperuntukkan pada metode turbidimetri dan sebagai base layer pada
uji menggunakan pencadang, misalnya polymixin dari Bordetella
bronchiseptica.(15)
6. Media 10 merupakan media kultur dehidrasi, direkomendasikan untuk
menentukan potensi antibiotik oleh uji mikrobiologi. Media ini
diperuntukkan pada metode turbidimetri dan sebagai seed layer pada
uji menggunakan pencadang, misalnya polymixin dari Bordetella
bronchiseptica.(15)
7. Media 11 merupakan media kultur dehidrasi, direkomendasikan untuk
menentukan potensi antibiotik oleh uji mikrobiologi. Media ini
diperuntukkan pada metode uji turbidimetri dan pada uji menggunakan
pencadang, misalnya neomycin dari Micrococcus luteus dan
Streptococcus epidermidis.(15)
8. Media 13 merupakan media kultur umum dasar untuk pengujian
antibiotik dengan metode pengujian menggunakan pencadang dan
paper disk dengan bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Listeria monocytogenes, dan
Streptococcus faecalis.(14)
9. Media 19 digunakan untuk pengujian antibiotik nonselektif untuk
Saccharomyces.(14)
10.Media 32 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur). menurut
Grove & Randall, media ini dapat digunakan sebagai media
pembenihan, misalnya dengan bakteri uji S. aureus untuk
pemeriksaan kanamisin atau sebagai dasar agar, misalnya untuk
pengujian kloramfenikol.(14)
11.Media 34 merupakan media pengujian cair pada uji antibiotik dengan
bakteri uji Enterococcus hirae dan Staphylococcus aureus.(16)
12. Media 35 merupakan media pengujian pada uji antibiotik dengan
bakteri uji Enterococcus hirae dan Staphylococcus aureus.(16)
13. Media 36 merupakan media pengujian yang digunakan pada uji
antibiotik, misalnya bleomycin dari Mycobacterium smegmatis.
14. Media 39 digunakan dalam uji antibiotik (USP, FDA, Ph Eur) menurut
Grove & Randall, media ini digunakan dalam uji turbidimetri misalnya
penisilin, bacitracin, dan kanamisin dengan S. aureus dan untuk uji
pencadang misalnya eritromisin dan kloramfenikol dengan M. inteus.
(14)
Saat ini difahami bahwa obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada
sel jamur. Target pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua
mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur
utama dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.
Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung
(seperti golongan polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja
secara tidak langsung (seperti golongan azol). Sedangkan golongan
ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel β1,3
glukan.
1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas
membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan
keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur
secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis
ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol
dan channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan
gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan
menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara
tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis
ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada
jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).(Gambar 3)
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat
adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan
menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang
mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC),
dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin
permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin
trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini
juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang
akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis
DNA.
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas
mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan
berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel,
metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur
penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan
ekinokandin menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak
secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk,
integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalailisis.
Difusi antibiotika sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
fisik dan biologis. Faktor fisik meliputi :waktu predifusi (preinkubasi), suhu
inkubasi, ketebalan lempeng. Sedangkan faktor biologis meliputi :opulasi
mikroorganisme, (komposisi medium dan konsentrasi kritis antibiotik). (5)
Potensi antibiotik dapat diketahui berdasarkan kemampuannya
untuk menghambat pertumbuhan dari suatu mikroorganisme atau bakteri.
Dalam percobaan ini dilakukan dengan cara mengukur daya hambat dari
suatu antibiotik yakni dengan mengukur diameter zona hambatnya pada
beberapa konsentrasi. (3)
Resistensi obat adalah perlawanan yang terjadi ketika
bakteri, virus dan parasit lainnya secara bertahap kehilangan kepekaan
terhadap obat yang sebelumnya membunuh mereka. Saat obat lebih
banyak digunakan, risiko resistensi obat meningkat karena kasus
penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau putus obat meningkat.
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah
satu atau lebih mekanisme berikut : (6)
1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur
antibiotika. Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G
menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-
laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.
2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya
tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada
bakteri yang resisten.
3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi
obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida
berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik
pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor
pada organisme yang rentan.
4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten
terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi
seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah
dibentuk.
5. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat
melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi
oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya
beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat
sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap
sulfonamid dari pada PABA.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya
resistensi,antara lain: (7)
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat,
dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam
potensi yang tidak adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien . Pasien dengan
pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib
diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun
disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang
banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan
financial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang
paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien
membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self
medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan financial yang
rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary
health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-
obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum
pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang
tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan
tatalaksana antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan
terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah
menimbulkan resistensi.
5. Perilaku hidup sehat : terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya
mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat
yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
6. Penggunaan di rumah sakit : adanya infeksi endemik atau epidemik
memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-
bangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi
antara pemakaian antibiotic yang lebih intensif dan lebih lama
dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi,
memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotic juga
dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada
hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotic digunakan sebagai
suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan
hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan
meningkatkan terjadinya resistensi.
8. farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan
terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang
beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas
terhadap antibiotika
9. Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotika baru.
Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi
sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan
dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.(8)
1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas
membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan
dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung
(golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini
mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel
jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran
ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur
secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis
ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur
sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat
adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan
menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang
mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5
FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel
jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan
terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro
deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat sintetase
sehingga memutus sintesis DNA.
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas
mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan
berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel,
metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur
penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin
menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif.
Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan
morfologi sel jamur akan mengalami lisis.
II.2. Uraian Bahan
1. Aquadest (9)
Nama Resmi : Aqua destillata
Nama Lain : Air suling
RM/BM : H2O / 18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak
berwarna, tidak berasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pelarut
2. Alkohol (9)
Nama Resmi : Aethanolum
Nama Lain : Alkohol, etanol
RM/BM : C2H6O/46,07
Rumus Bangun : CH3-CH2-OH
Pemerian : Cairan tidak berwarna, mudah menguap
dan bergerak, bau khas, rasa panas,
mudah terbakar, memberi nyala biru,
tidak berasap.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, kloroform
P dan eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya, di tempat sejuk, jauh dari
nyala api.
Kegunaan : sebagai antiseptika
3. Tetrasiklin (10)
Nama Resmi : Tetracyclinum
Nama Lain : Tetrasiklina
RM/BM : C22H24N2O8/444,44
Pemerian : Serbuk hablur, kuning, tidak berbau
atau sedikit berbau lemah
Kelarutan : sangat sukar larut dalam air, larut
dalam 50 bagian etanol (95%) P, praktis
tidak larut dalam kloroformn P dan
dalam eter P, larut dalam asam encer,
larut dalam alkali disertai peruraian.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung
dari cahaya. Jika dalam udara lembab
terkena sinar matahari langsung. warna
menjadi gelap, larutan dengan pH tidak
lebih dari 2 menjadi inaktif dan rusak
pada pH 7 atau lebih.
Khasiat : antibiotikum
Kegunaan : sebagai sampel
4. Kloramfenikol (10)
Nama Resmi : Chloramphenicolum
Nama Lain : Kloramfenikol
RM/BM : C11H12Cl2N2O5/323,12
Rumus Bangun : OH H
O2N-- -- C C CH2OH
H NH CO CHCl2
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau
lempeng memanjang, putih, tidak
berbau, rasa sangat pahit.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air,
dalam 2,5 bagian etanol 95% P, sukar
larut dalam kloroform P dan eter P
khasiat : Antibiotikum
kegunaan : sebagai sampel
penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
5. Asam Klorida (6)
Nama Resmi : Acidum Hydrochloridum
Nma Lain : Asam Klorida
RM/BM : HCl/36,46
Pemerian : Cairan tidak berwarna, berasap, bau
merangsang, jika diencerkan dengan 2
bagian air, uap dan bau hilang
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : sebagai pemberi asam
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
II.3. Uraian Mikroba
II.3.1 Klasifikasi Mikroba
1. Staphylococcus aureus (11)
Kingdom : Protista
Division : Protophyta
Classis : Schizomycetes
Ordo : Enterobacteriales
Familia : Mikrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
2. Eschericia coli (11)
Kingdom : Prokariotik
Division : cyanobacteria/bakteria
Classis : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Familia :` Enterobacteriaceae
Genus : Eschericia
Spesies : Eschericia coli
II.3.2 Morfologi Mikroba
1. Staphylococcus aureus (12)
Sel-sel berbentuk bola, berdiameter 0,5 sampai 1,5 µm terdapat
tunggal dan berpasangan, dan secara khas membelah diri pada lebih dari
satu bidang sehingga membentuk gerombol yang tidak teratur. Non motil.
Tidak diketahui adanya stadium istirahat. Gram positif. Dinding sel
mengandung dua komponen utama : peptidoglikan serta asam tekoat
yang berkaitan dengannya. Kemoorganotrof. Metabolisme dengan
respirasi dan fermentatif. Anaerob fakultatif, tumbuh lebih cepat dan lebih
banyak dalam keadaan aerobik. Suhu optimum 35 – 400C. Terutama
berasosiasi dengan kulit, dan selaput lendir hewan berdarah panas.
Pertumbuhan pada medium agar abundant, dan koloninya buram dan
tidak tembus cahaya, smooth, dan berkilauan dalam penampakannya.
Beberapa Staphylococcus bentuk lipochrome pigmen yang memberikan
koloni kuning emas atau kuning lemon dimana yang lainnya tidak dan
putih
2. Escherichia coli (12)
Batang lurus, 1,1 – 1,5 μm x 2,0 – 6,0 µm, motil dengan flagelum
peritritikus atau non motil. Gram negatif. Tumbuh dengan mudah pada
medium nutrien sederhana. Laktose difermentasi oleh sebagian besar
galur dengan produksi asam dan gas. Koloninya utamanya pada nutrien
gelatin, buram tidak tembus cahaya sampai sebagian translusent, smooth
dan seragam konsistensinya. Jika ditumbuhkan pada medium Eosin
Metilen Biru Agar, koloninya tampak seperti logam kemilau.
II.4. Uraian Sediaan
1. Tetrasiklin kapsul (5)
Komposisi : Tetrasiklina-HCl 250 mg/kapsul
Indikasi : infeksi yang sensitive terhadap
Tetrasiklina
Kontraindikasi : hipersensitivitas, kehamilan,
Menyusui, bayidananak<8 tahun
Efeksamping : Mual, muntah, diare
Perhatian : Hati-hati pada pasien dengan
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Interaksiobat : Antasida, susu, obat hepatoksik
Dosis : 4 x sehari kapsul 250 mg, 2 x
sehari 1 kapsul 500 mg, sirop 1 g sehari
dalam 2-4 dosis terbagi
Produksi : Interbat
2. Kloramfenikol kapsul
Komposisi : Kloramfenikol 250 mg/kapsul
Indikasi : terapi pilihan utama untuk pengobatan
Tifus dan paratifus
Kontraindikasi : penderita yang hipersensitif terhadap
kloramfenikol, gangguan fungsi hati dan
ginjal yang berat.
Efeksamping : Diskrasia darah, mual, muntah, diare,
anafilaktik, urtikaria.
Perhatian : Tidak dianjurkan penggunaan untuk
wanita hamil dan menyusui, hati-hati bila
dipergunakan pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati.
Interaksiobat : kloramfenikol menghambat
biotransformasi senyawa lain yang
dimetabolisme oleh enzim mikrosoma
hati seperti dikumarol, fenitoin,dll.
Dosis : - Dewasa, anak-anak dan bayi berumur
di atas 2 minggu : 50mg/kg BB sehari
dibagi menjadi 3-4 dosis.
- Bayi berumur dibawah 2 minggu : 25
mg/kg BB sehari dibagi menjadi 4
dosis.
Produksi : PT Kalbe Farma
BAB III
METODE KERJA
III.1. Alat dan Bahan
III.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah botol pengencer, botol semprot,
cawan petri, erlenmeyer, handspray, inkubator, jangka sorong, kompor,
labu ukur 10 mL ; 100 mL, lampu spiritus, lumping dan alu, autoklaf,
pencadang, pinset, sendok tanduk, spoit, tabung reaksi, timbangan
analitik.
III.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah air suling, alkohol, aluminium
foil, biakan bakteri Staphylococcus aureus, kapas, kertas label,kertas
timbang, kloramfenikol baku, kloramfenikol tablet, tetrasiklin baku,
tetrasiklin kapsul.
III.2. Cara kerja
A. Penyiapan Larutan Baku Kloramfenikol
Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Ditimbang kloramfonikol
baku sebanyak 0,05 gr lalu di masukkan ke dalam labu takar 50 ml dan
ditambahkan aquadest hingga volumenya 50 ml, kemudian di
homogenkan (konsentrasi 1000 ppm) sebagai slok. Diambil sebanyak 0,5
ml slok atau di masukkan dalam labu takar 50 ml dan di cukupkan dengan
akuades hingga volumenya 50 ml kemudian dihomogenkan (konsentrasi
10 ppm). (pengenceran 1). Untuk membuat S₁ : 1,6 ppm, diambil 4ml dari
pengenceran 1 (10 ppm) lalu dimasukkan dalam labu takar 25 ml. Untuk
membuat S₂ : 2 ppm, di ambil 5 ml dari pengenceran 1 (10 ppm) lalu
dimasukkan dalam labu takar 25 ml dan di cukupkan dengan akuades
hingga volumenya 25 ml kemudian homogenkan. Untuk membuat S₃ : 2,5
ppm, diambil 0,25 ml dari pengenceran 1 (100 ppm) lalu dimasukkan
dalam labu takar 25 ml, dan dicukupkan dengan aquades hingga
volumenya 25 ml kemudian di homogenkan. Untuk membuat S₄ : 3,125
ppm, di ambil 7,81 ml dari pengenceran 1(100 ppm) lalu dimasukkan
dalam labu takar 25 ml dan dicukupkan dengan aquades hingga
volumenya 25 ml kemudian homogenkan. Untuk membuat S₅ : 3,9 ppm,
diambil 9,75 ml dari pengenceran 1 lalu dimasukkan didalam labu takar 25
ml di cukupkan dengan air hingga volumenya 25 ml, dihomogenkan.
B. Penyiapan larutan kloromfenikol/Larutan uji
Disiapkan alat dan bahan. Digerus kloromfenikol, lalu ditimbang dan
di masukkan ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan aquades hingga
volumenya 50 ml kemudian di homogenkan (konsentrasi 1000 ppm),
(Larutan stok). Diambil sebanyak 0,5 ml larutan stok lalu dimasukkan
dalam labu takar 50 ml dan dicelupkan dengan aquades hingga
volumenya 50 ml kemudian homogenkan (konsentrasi 10 ppm).
(pengenceran 1). Untuk membuat U₃ : 2,5 /ppm diambil 0,25 ml dari
pengenceran 1 (10 ppm) lalu dimasukkan dalam labu takar 25 ml dan
dicukupkan dengan aquadest hingga volumenya 25 ml kemudian di
homogenkan.
C. Pengujian Potensi Antibiotik
Disiapkan alat dan bahan. Sebanyak ±20 ml medium NA dituang
secara aseptis ke dalam cawan perti steril sebagai bese layer, biarkan
memadat. Sebanyak ± 15 ml medium NA dimasukkan kedalam botol
pengencer secara aseptis lalu ditambahkan 1 ml suspensi bakteri E .coli
dan dihomogenkan. Campuran biakan bakteri dan medium tersebut
diliang di atas cawan petri dan biarkan setengah padat sebagai seed
layer. Pencadang disusun sebanyak 6 buah dengan menggunakan
pingset steril dengan jarak 15 mm dari pinggiran cawan petri sedikit
ditekan agar kontak dengan medium. Masing-masing pencadang diisi
dengan sampel dan larutan baku yang telah diencerkan. Satu pencadang
yaitu yang terletak ditengah diisi dengan aquadest. Diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37°c. Diamati perubahan yang terjadi dan diukur diameter
zona hambatan dengan menggunakan jangka sorong.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Tabel Pengamatan
1. Tetrasiklin
No S1 S3 Sc S3 S4 S3 S5 S3 U3 S3
11,35 1,21 1,01 0,87 0,72 1,81 0,67 1,12 1,58 1,351,22 1,15 1,09 0,72 0,66 1,91 0,72 1,18 1,51 1,251,17 1,16 1,12 0,79 0,71 1,25 0,64 1,22 1,42 1,31
21,01 1,32 0,95 0,61 0,95 0,93 1,03 1,21 1,08 0,971,03 1,45 0,97 0,66 1,51 0,99 1,13 1,10 1,05 0,940,90 1,47 0,12 0,52 0,90 1,07 1,17 1,24 1,06 0,90
31,05 1,10 0,77 0,81 0,88 1,41 1,29 0,74 1,02 1,021,95 1,15 0,75 0,83 0,86 1,52 1,11 0,65 1,09 1,191,12 1,27 0,77 0,87 0,81 1,55 1,15 0,172 1,15 1,11
Jumlah 10,8 11,28 7,55 6,68 8,05 12,44 8,91 9,18 10,96 10,04Rata-rata 1,2 1,25 0,83 0,74 0,89 1,38 0,99 1,02 1,21 1,11Kofaktor 0,51 0,36 0,64 0,78
Hasil 1,71 1,19 1,53 1,27
Dosis larutan Baku Log 5 = xDiameter zona
hambat = yX2 Y2 Xy
S1 = 0,15 ppm -0,82 1,71 0,67 2,92 1,95Se = 0,19 ppm -0,72 1,19 0,51 1,41 0,75S3 = 0,24 ppm -0,62 1,53 0,38 2,34 0,88S4 = 0,38 ppm -0,52 1,53 0,27 2,34 0,63S5 = 0,38 ppm -042 1,27 0,18 1,61 0,28Jumlah : 1,26 ppm -3,10 7,23 2,01 10,62 4,45
Y = a + bx
= 1,11 + ( - 0,54) (-064)
= 1,44
Yu = { y + (U3 – U3S3)}
= 1,44 + (1,21 – 1,11) = 1,54
Yu = a + bXu
1,54 = 1,11 + ( -0,54) Xu
1,54 – 1,11 = - 0,54 Xu
-0,430,54
= Xu – Xu = - 0,79
antilog = 0,162
% = 0,1620,24
x 100 % = 67,5 %
2. Kloramfenikol
No S1 S3 S2 S3 S4 S3 S5 S3 U3 S3
111,65 15,5 13,4 13,3 15,4 9,75 12 12 9,1 20,1212,45 15,3 11,5 13,2 13,75 12,1 12 13,5 12 21,1711,1 15,2 11,3 12,2 14,97 12 12 15,5 10,1 22,1
211,05 13,4 12,4 12,3 11,1 9,45 12,5 14 10,5 8,4511,43 14,4 13,4 12,1 12,2 9,4 15 14,5 8,2 8,3211,23 14,5 11,2 12,3 11,25 10,17 15,5 11 10,5 8
312,13 13,5 15,5 16,1 13 10,65 9 9 7,15 813,48 17,2 14,5 14,1 12,25 11,15 12 12 7,27 8,312,4 14,3 13,2 15,4 11,6 10,17 14 14 8,3 12,37
Jumlah 106,92
133,3 116,4 13,45 115,49
94,805
115,15
115,5 83,12 116,83
Rata-rata
11,88 14,81 12,93 13,5 12,83 10,53 12,35 12,83 9,23 12,98
Korektor 1,36 -2,3 -2,92 -0,62Hasil 13,24 10,63 9,91 11,73
Dosis larutan Baku Log S = xDiameter zona
hambat = yX2 Y2
S1 = 1,6 ppm 0,2047 13,24 0,0416 175,29Se = 2 ppm 0,3010 10,63 0,0906 112,99S3 = 2,5 ppm 0,3979 12,92 0,1583 166,92S4 = 3,125 ppm 0,4948 9,91 0,2448 98,21S5 = 3,9 ppm 0,5917 11,73 0,8854 137,59Jumlah 1,9801 58,43 14,207 691
y = a + b x
y = 13,222 + (-3,859) (0,3979)
= 11,686
Yu = { y + (u3 – S2U3)}
= {11,686 + (9.23 – 12,98)}
= 7,936
Yu = a + bXu
7,936 = 13,222 + (-3,859) Xu
-5,286 = -3,859 Xu
Xu = 1,369
Anti log Xu = 23,38
% ratio = 23,38
2,5 x 100 %
= 935,2 %
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini dilakukan pengujian antibiotik dengan
menggunakan metode difusi agar, di mana metode ini menggunakan
media padat, dan pengerjaannya juga sederhana. Selain itu metode ini
juga memungkinkan pengerjaan secara serentak terhadap beberapa
antibiotik dan alat yang digunakan dalam hal ini adalah paperdisk dan
medium yang digunakan adalah medium NA.
Pada percobaan ini, dimasukkan larutan NaCl ke dalam biakan
bakteri, kemudian dihomogenkan. Diambil 1 ml untuk satu cawan petri
yaitu suspensi biakan, kemudian ditambahkan medium NA. ditunggu
hingga mulai memadat kemudian dimasukkan masing-masing 6 paper
disk ke dalam cawan petri dengan pengenceran berbeda. Pada cawan
petri pertama dimasukkan paper disk dari pengenceran S1 dan S3, cawan
petri kedua S2 dan S3, cawan petri ketiga S3 dan S 4, cawan petri keempat,
S3 dan S5, dan cawan petri kelima, S3 dan U3, secara berselang seling.
Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o c dan kemudian diukur
zona hambatnya.
Zona hambatan yang terbentuk adalah difusi antibiotik dari
pencadang terhadap medium NA, membentuk zona hambatan. Zona
hambatan ini yang dijadikan dasar kuantitas untuk menghitung potensi
antibiotik.
Ketentuan untuk standar, uji potensi antibiotik adalah kadarnya tak
kurang dari 97% dan tidak lebih dari 107%. Jadi, potensi antibiotik sampel
tidak sesuai dengan ketentuan.
BAB IV
PENUTUP
IV. 1 Kesimpulan
Dari data percobaan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada sampel tetrasiklin diperoleh ratio presentasenya sebesar
67,5%.
2. Pada sampel kloramfenikol diperoleh ratio presentasenya sebesar
935,2%.
IV. 2 Saran
Agar asisten lebih sabar lagi menghadapi praktikan seperti kami.
Semoga kedepanya lebih baik.
LAMPIRAN
1. Skema Kerja
Medium NA (Nutrien Agar)
Buat base layer dalam cawan petri steril
(biarkan memadat)
Suspensikan mikroba dalam medium yang cocok
± 20 ml (seed layer)
Tanam pencadang pada medium seed layer
(atur jaraknya)
Pencadang diisi dengan konsentrasi masing-masing sampel
Inkubasi 1 x 24 jam pada suhu 37 °C
Amati dan ukur daya hambatnya
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjay, T.H., Kirana, K., (1978), “Obat-Obat Penting”, Edisi IV,
Dep.Kes.RI, Jakarta.
2. Soemarno. dr, Prof., (1976. “Mikrobilogi”. LEPHAS (Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin), Unhas, Makassar.
3. Ganiswarna, S. G., et all., (1995), “Farmakologi dan Terapi”, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. http://www.slideshare.net/antonyweng/biosintesis-antibiotik diakses
pada 02 Desember 2012
5. Syarurrahman,A.,dkk.,1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
6. Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and
clinical pharmacology. Third edition. Appleton and Lange, Norwalk.
7. Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P. 2009. Antibiotic
resistance- A global issue of concern. Asian journal of
pharmaceutical and clinical research. Volume 2. Issue 2.
8. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ,
McGinn MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier.
2009. p161-196
9. Ditjen POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Dep.Kes.RI,
Jakarta
10. Ditjen POM., (1995), “Farmakope Indonesia”, Edisi IV, Dep.Kes.RI,
Jakarta
11.Pelczar,Michael,J.,dan E.C.S.Chan,1986,“Dasar-dasar Mikrobiologi
I”, UI Press, Jakarta.
12.Fardiaz, S., (1993), “Mikrobiologi Pangan I”, Penerbit PT.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
13.Suriawiria, Unus, (1986), “Pengantar Mikrobiologi Umum”, Penerbit
Angkasa, Bandung.
14.http://www.sigmaaldrich.com/analyticalchromatography/
microbiology/microbiology-products.html?TablePage=17996753
diakses pada 12 Desember 2012
15.http://www.alphabiosciences.com diakses pada 12 Desember 2012
16. http://www.pharmacopeia.cn/v29240/usp29nf24s0_c81.html
diakses pada 12 Desember 2012
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LAPORAN
POTENSI ANTIBIOTIK
KELOMPOK V
Valentine FS Kapang N11111107
Andi Dian Ayu Saputri N11111256
Aat Prayogo M. N11111257
Umi Mu’minati N11111278
Asisten : Whyllies Agung Ajie Buana
Golongan : Jumat Siang
MAKASSAR
2012