A tr Dr 2021 1

62
MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 1

Transcript of A tr Dr 2021 1

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 1

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 2

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 3

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 1

Halo Sahabat MITRA GKI.

Edisi 15 ini mengangkat tema: B’RIKANKU HATI SEPERTI HATI-MU. Allah yang melihat ciptaan-Nya menuju kepada kebinasaan, mengutusi Anak-Nya untuk menyelamatkan dunia.

Kedatangan-Nya menghadirkan sukacita sejak dalam kandungan, kandungan Elizabet bergerak dan Elizabet dikuasai Roh Allahii kemudian Elisabet dan Maria bergantian mengungkapan kebahagiaan dan pujian kepada Allah. Juga pertemuan gembala dengan Anak Allah, bayi Yesus membuat para gembala itu pulang memuji dan memuliakan Allah.iii

Masih banyak lagi sukacita yang dihadirkan ketika Anak utusan Bapa itu memulai pelayanan-Nya: air menjadi anggur, buta melihat, tuli mendengar, mati dihidupkan, lumpuh berjalan, sudah dihiburkan, dan yang utama sebagai utusan Bapa, melalui-Nya dunia diselamatkan.

D A R I M E J A R E D A K S I

MITRA kali ini berbicara tentang pastoral di kala pandemi, mengajak kita untuk introspeksi: “Apakah saya sudah punya hati seperti hati-Nya yang menjumpai semua orang dan mendatangkan sukacita, mendatangkan keselamatan melalui Anak-Nya yang diutus Bapa, Yesus Kristus?”

Ini cerita seorang bapak (B) yang sedang menunggui istrinya opnam di RS, dia mendapat ‘kunjungan maya’ sebagai upaya pelayanan pastoral dari rohaniawan (R) kala pandemi Virus Covid-19 sedang ganas-ganasnya yang disebut Delta.

R : Pak , apa kabar ibu? Doa kami, kesehatan ibu semakin membaik.

B : Ya pak... semakin membaik. Terimakasih perhatiannya, saya jadi merasa tidak sendiri.

R : Baik pak, senang bisa ‘kunjungi’ bapak dan ibu. Segera sembuh ya.

Akhir percakapan dari sebelas percakapan ‘maya’ yang ditunjukkan pada saya menunjukkan kebahagiaannya ketika mendapat sapaan pastoral rohaniawannya. Dia tidak lagi merasakan sendiri menanggung kesusahannya.

Ini cerita seorang ibu (I) yang sengaja saya (S) tanya kesannya saat suaminya mengalami musibah patah kaki karena kecelakaan tunggal dan rohaniwati yang dihubunginya datang beberapa kali.

S : Bu, bapak sudah dikunjungi ibu pendeta beberapa kali saat mengalami musibah kemarin. Bagaimana perasaan ibu?

I : Ndak nyangka, kaget campur senang. Saat pandemi seperti ini ibu pendeta mau datang. Sebelumnya ibu kontak WA menanyakan apakah kami tidak keberatan menerima kunjungan.

S : Kalau perasaan bapak?

I : Bapak itu sehari-hari merasa kesepian padahal ada saya ada anak-anak, jenuh tidak bisa leluasa seperti sebelum pandemi, selain keterbatasan pemulihan patah tulang bapak

Simon nugroho hadikuSumaAnggota Redaksi MITRA GKI SW Jateng

i Yohanes 3:17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk meng-hakimi dunia, melainkan untuk menyelamat-kannya oleh Dia. (BIS)ii Lukas 1: 44 Begitu saya mendengar salam-mu, anak dalam kandungan saya bergerak kegirangan. (BIS)iii Lukas 2:20 Maka kembalilah gembala-gem-bala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka. (BIS)

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 2

R e da k s i M a j a l a h M i t R a G k i sW j at e n G

Penanggung JawabBPMSW GKI SW Jateng

KoordinatorPdt. Henny Yulianti

anggotaSimon Nugroho HadikusumaPdt. David Nugrahaning Widi

Pdt. Lukman HalimJonathan Prakosa

Febrima Yuliana Mouwlaka

desain & LayoutJonathan Prakosa

Foto cover Photo by Marvin Meyer on Unsplash

KoresPondenJakarta 1 / Jakarta 2 / Semarang

Barat / Semarang Timur / Magelang / Yogyakarta / Solo / Purwokerto

aLamat redaKsiJl. Menowosari No. 23-A

Magelang - 56114Provinsi Jawa Tengah

Telp. (0293) 364734Fax. (0293) 310485

Email:[email protected]

reKening banKDukungan persembahan dan iklan

dapat disalurkan ke

BANK MANDIrIA/N BPMSW GKI SW JATENG

No. rEK. 136-00-1592042-1

Transfer dan dukungan dana mohon dikonfirmasikan ke nomor telepon di

atas, atau via SMS/WA ke : 0857-2926-2374.

Daftari s i

MITRA GKI SW JATENGE D I S I X VSeptember - Desember 2021

1 Dari Redaksi

2 Informasi dan Daftar Isi

3 Renungan: Kasih Yang Kekal

4 Teologi Konseptual: Menggereja Yang Berdaya Lenting Di Tengah Pandemi Covid-19

10 Teologi Konseptual: Pendampingan Inkarnasional Warga Senior Di Masa Pandemi Covid-19

takut terinveksi virus. Ketika ibu pendeta datang, senangnya bukan main, cerita macam-macam seperti tidak sedang mengalami musibah. Dan barusan seminggu, bapak menanyakan lagi: “Kapan bu pendeta datang lagi?”

Sahabat MITRA GKI sebentar lagi kita merayakan Natal, mengingatkan misi Allah, memastoral dunia melalui Anak-Nya, hadir untuk menyerukan pertobatan dan mendatangkan sukacita.

Majalah MITRA GKI mengajak Sahabat untuk berpastoral sesuai misi Allah di kala pandemi masih merajalela: B’RIKANKU HATI SEPERTI HATI-MU: hadir memastoral, memberitakan keselamatan dan mendatangkan sukacita.

Dari meja redaksi kami mengucapkan selamat menikmati dan menghidupinya.

aKses dan unduh digitaL

www.gkiswjateng.orgMENU > Penerbitan

SUBMENU > Majalah Mitra

GKI SW Jateng Mobile Application Unduh aplikasi tersebut

dengan scan Qr code berikut

18 Pengaplikasian : Hati-Hati dengan Hati : Upaya Pastoral Dalam Memelihara Spiritualitas Jemaat Usia Lanjut

22 Pengaplikasian : Pendampingan Pastoral Jemaat Lansia : “Jemaat Lansia Dalam Tatanan Baru”

26 Sharing : Pendampingan Pastoral Dalam Membangun Spiritualitas Di Tengah Pandemi Covid 19 Bagi Jemaat Dan Keluarga GKI Sangkrah

33 Sharing : Gereja Kristen Berbahasa Indonesia di Kuala Lumpur di Malaysia (GKBI KL)

40 Tulisan Lepas : Kasih Sejati Ada Spidometernya : Menggumuli e-Klesiologi Lansia

44 Tulisan Lepas : Hari Bahagiaku Ternoda Oleh Covid-19 ?

48 Tulisan Lepas : Pengalaman Imanku

52 Profil:Pdt.BudiningrumSunny Nurwidya - Pendeta Jemaat GKI Jatiasih, Bekasi

54 Profil:CalonPendeta(Capen) Pnt. Andri Budi Nugroho - Capen Jemaat GKI Jatibening Indah, Bekasi

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 3

Tidak terasa sudah sampai penghujung tahun 2021. Sudah hampir 2 tahun kita harus berjuang melawan adanya serangan Covid-19 yang mulai mewabah di Indonesia. Mungkin Natal ini belum bisa kita rayakan dengan bebas seperti sebelum adanya serangan Covid – 19, Bebas berkumpul bersama keluarga dengan canda tawa yang lepas dan merayakan di gereja dengan tanpa batasan jumlah pengunjung dan usia. Begitu banyak yang harus kehilangan orang yang disayangi baik itu orang tua, kerabat, dan teman – teman yang harus pulang lebih dahulu karena imunitas tubuhnya tidak mampu melawan serangan virus.

Banyaknya pesan masuk untuk permintaan darah, plasma, dan oksigen, obat untuk menyambung hidup pasien yang sedang dirawat di rumah sakit tentu sudah menjadi hal yang biasa, Tetapi sebagai anak Tuhan apakah hati kita tergerak untuk bisa menyelamatkan sesama kita. Mulai dari yang ada pada diri kita terlebih dahulu. Mungkin saja kita bisa menjadi seorang pendonor, mengumpulkan database para calon pendonor plasma, atau kita merelakan

R E N U N G A N

jonathan prakoSa ANGGOTA MITRA GKI SW JATENG

Kasih yang KEKAL

waktu kita untuk menjadi sukarelawan menolong sesama, bahkan untuk orang – orang yang tidak kita kenal sekalipun

Yohanes 3:16 menyatakan bahwa Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini , sehingga Ia telah mengaruniakan  Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Allah sendiri mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan Roh kita supaya tidak binasa. Kita sebagai orang yang diselamatkan sudah seharusnya bersyukur dengan menjadi saluran berkat untuk sesama kita, yaitu memperjumpakan sesama dengan karya kasih dan keselamatan Kristus melalui kehadiran serta teladan hidup kita sehari-hari.

Dalam situasi seperti sekarang ini, yang terbaik adalah, tetap datang kepadaNya. Saat kita melalui masa sulit seperti sekarang ini bersama-Nya, kita akan takjub melihat pemeliharaan dan kuasa-Nya bagi kita

Marilah kita terus belajar untuk memiliki hati Tuhan yang penuh dengan kasih. Menjadi saluran berkat dimanapun kita ditempatkan dan menjadi dampak untuk lingkungan kita karena Tuhan sudah lebih dahulu mengasihi kita. Dimulai dari diri sendiri atas apa yang sudah Tuhan berikan, lakukan bagian kita dengan motivasi yang tulus dan benar. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk setia melakukan pekerjaan baik dan hanya nama Tuhan Yesus saja yang dimuliakan. Selamat Natal 2021 dan tahun baru 2022 dalam Anugerah-Nya

Photo by Emmanuel Phaeton on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 4

T E O L O G I K O N S E P T U A L

Oleh: Septemmy E. Lakawa (Dosen Sekolah Tinggi Filsafat

Theologi Jakarta)

Memasuki tahun kedua Pandemi Covid-19 di Indonesia dan di manca negara, tiga faktor atau fase yakni fase dis-orientasi, re-orientasi, dan orientasi baru tampaknya menjadi pengalaman personal dan kolektif yang dialami oleh banyak orang. Walaupun setiap orang mengalami fase-fase ini berbeda-beda, setidaknya kita bisa menyepakati bahwa ketiganya muncul dalam berbagai respons individu dan komunitas ketika pandemi ini mengguncang banyak pilar kehidupan masyarakat seperti sosial, spiritual, ekonomi, politik, dan religius. Selama pandemi ini juga Gereja telah menggali, menelaah, merefleksikan, danmenawarkan berbagai respons demi menemukan kembali relevansi kehidupannya baik secara institusional maupun secara kolektif di tengah masa sulit ini.

Memaknakan ulang praktik dan penyelenggaraan peribadahan kolektif adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Gereja pada awal

pandemi. Selanjutnya, perlahan-lahan semakin disadari bahwa dampak pandemi terhadap kesehatan mental umat tidak dapat diabaikan. Fokus Gereja selama ini terhadap pertumbuhan spiritual umat membutuhkan reorientasi dan orientasi baru demi merespons persoalan-persoalan kesehatan mental yang meluas di tengah masyarakat sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari pandemi. Beberapa data dan informasi yang meluas di masyarakat, misalnya, dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), menyatakan bahwa jumlah kasus kekerasan domestik terhadap perempuan dan anak selama pandemi meningkat dan sulit diintervensi,

salah satunya akibat penjarakan sosial dan terbatasnya akses komunikasi di ruang publik bagi para korban dan penyintas kekerasan domestik.

Runtuhnya banyak sumber dan pilar ekonomi keluarga, semakin terbatasnya ruang interaksi sosial, dan meluasnya perasaan terisolasi secara sosial adalah beberapa dari sekian banyak persoalan yang secara bertahap menghasilkan beragam persoalan yang membutuhkan respons dari berbagai pihak. Gereja pun mengalami dampak dari persoalan-persoalan ini. Pelawatan dan pelayatan pastoral menjadi sangat

HATI YANG BERBELAS KASIH

DAN EMPATI SOSIAL :

MENGGEREJA YANG BERDAYA LENTING DI TENGAH PANDEMICOVID 19

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 5

terbatas, bahkan tidak mungkin dilakukan secara langsung bagi warga jemaat yang terpapar, terinfeksi, bahkan meninggal akibat virus ini. Kematian dan kehidupan pasca-kematian warga jemaat akibat Covid-19 meninggalkan trauma baik pada individu maupun komunitas.

Kerapuhan kini telah menjadi kosa kata yang meluas digunakan oleh banyak Gereja. Pandemi bukan hanya mempertajam ketidakpastian, tetapi juga memperdalam makna kerapuhan sebagai hakikat dari kemanusiaan kita. Dari tengah realitas dan kesadaran seperti inilah, tulisan ini hendak merespons satu pertanyaan yang kiranya masih relevan bagi kita saat ini: bagaimana Gereja dapat berkontribusi terhadap proses pemulihan sosial multidimensi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19? Pertanyaan besar dan kompleks ini hendak saya respons dengan menggunakan pendekatan teologis-trauma yang berdimensi pastoral. Akan tetapi, saya perlu melakukan disclaimer, yaitu teologi pastoral bukan kajian utama saya. Oleh karena itu, tulisan ini tidak menawarkan sebuah perspektif teologis-teoritis pastoral, melainkan menawarkan sebuah catatan sederhana bersifat konstruktif tentang respons Gereja terhadap pandemi Covid-19 sebagai sebuah bentuk tanggung jawab sosialnya untuk menghadirkan proses pemulihan trauma.

Saya meyakini bahwa hati yang berbelas kasih adalah basis dari kemampuan berempati gereja

secara sosial yang merupakan salah satu faktor penting dari daya lenting (resilience) atau kemampuan beradaptasi dan mekarnya Gereja

pada masa pandemi Covid-19.

Salah satu persoalan mendasar yang ditimbulkan atau diperbesar oleh pandemi Covid-19 adalah kesehatan mental, tepatnya penyakit mental (mental illness). Tanpa kesadaran dan kesengajaan Gereja untuk mengupayakan proses dan platform yang mengintegrasikan kesehatan mental warga jemaat ke dalam karya pelayanan Gereja, Gereja akan sulit beradaptasi dan bertumbuh di tengah masa krisis dan akan kehilangan relevansinya dalam merespons persoalan kesehatan mental secara sosial di tengah

masyarakat yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Teologi trauma adalah salah satu kajian teologi yang bersifat multidimensi yang memberi perhatian pada kompleksitas kesehatan mental dan kesehatan spiritual baik pada individu maupun pada komunitas. Trauma umumnya dipahami sebagai kondisi atau masalah psikologis yang dialami seseorang atau sebuah komunitas akibat peristiwa (tunggal atau beragam) dahsyat (kekerasan, prosedur medis, perang, hubungan yang rusak, kecelakaan, kehilangan sumber utama dukungan finansial,bencana alam, dan lain-lain) baik yang berlangsung satu kali atau berulang. Peristiwa ini menghilangkan atau merenggut kemampuan atau daya bertahan individu atau komunitas dalam merespons atau menjalani kehidupan sehari-hari yang sebelumnya secara alami dapat dilakukan dengan baik. Trauma tidak mudahdiidentifikasidan,karenaitu, membutuhkan pendekatan yang holistik. Memori seseorang

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 6

biasanya mengalami dampak negatif ketika seseorang mengalami trauma. Gejala-gejala seperti mimpi buruk yang berkepanjangan, kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang biasanya dapat dilakukan dengan mudah, menarik diri dari ruang-ruang komunikasi dan relasi sosial, ketidakmampuan untuk keluar dari rasa duka atau kehilangan dalam waktu yang panjang dan seterusnya.

Spektrum trauma berbeda-beda bagi setiap orang sebagaimana kemampuan seseorang untuk berpulih pun beragam. Namun, para ahli pemulihan trauma umumnya sepakat bahwa trauma dapat dipulihkan walaupun waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan akan sangat bergantung pada bentuk intervensi yang tepat, dukungan komunitas, dan pendekatan medis. Para ahli juga sepakat bahwa memberi perhatian pada kondisi dan pemulihan fisik seseorang yangmengalami trauma sangat diperlukan sebagai bagian penting dari pendekatan holistik bagi pemulihan trauma. Banyak pendekatan seperti mengatur asupan makanan yang tepat, olah raga, yoga, meditasi, menari, menyanyi, dan lain-lain yang mengintegrasikan seluruh dimensi fisiologis denganpendekatan medis. Pendekatan fisiologis ini, misalnya dalamstudi teologi trauma di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta (STFT Jakarta) yang saya ampu sejak tahun 2012, dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam pendekatan teologis-

biblis, psikologis, spiritual, seni, dan liturgis.

Hati yang berbelas kasih sebagai basis Empati Sosial Gereja.

Perumpamaan tentang orang Samaria dalam Lukas 10:25-37 adalah salah satu perumpamaan yang akrab dengan warga jemaat. Walaupun sudah ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, fokus terhadap orang Samaria umumnya masih mendominasi pemaknaan atas perumpamaan ini. Di sini saya hanya akan berfokus pada ayat 33-35 dengan menggunakan tiga lensa yang saling terkait—disorientasi, reorientasi, dan orientasi baru—untuk melihat sejauhmana perumpamaan ini mencerminkan perubahan yang mungkin terjadi akibat perjumpaan antara hati yang berbelas kasih (dalam diri orang Samaria) dan luka (trauma) (dalam diri orang asing yang terkapar di tepi jalan yang sepi itu).

Dikatakan bahwa orang Samaria itu sedang dalam perjalanan. Dia memiliki orientasi atau tujuan yang sudah pasti sehingga dia melakukan perjalanan itu; “dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan” (ayat 33). Disorientasi, yang di sini berarti pergeseran atau perubahan arah perjalanan, terjadi pada orang Samaria. Perubahan ini disebabkan oleh dua hal yang tampak dalam dua kata kerja, yaitu: “ia melihat orang itu” dan “tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.”

Kata “melihat” di sini

serupa dengan kata “menatap” atau “memperhatikan dengan seksama.” Jadi, bukan melihat sambil lalu, tetapi tindakan melihat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, bahkan seperti menyelidiki (discerning) dan berpotensi mengubah orang yang melihat tersebut. Itulah yang tampaknya terjadi pada orang Samaria. Akibat dari tatapannya itu, hatinya berubah, tergerak oleh belas kasihan (Yunani: “esplanchnisthē”).Kata Yunani ini biasanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sebagai compassion (dari kata Latin: com artinya bersama/turut; pati artinya menderita—turut menderita). Kata ini juga biasanya disejajarkan dengan kata racham (rahim) dalam Bahasa Ibrani. “Hati” di sini ibarat bagian terdalam dari tubuh kita, seperti rahim pada tubuh perempuan, atau sanubari (batin) kita yang tergerak akibat penderitaan orang lain yang kita saksikan. Itulah yang terjadi pada orang Samaria. Hati yang terarah kepada sang lain (orang asing, korban, orang yang dipinggirkan) adalah hati yang berempati, hati yang bersedia menderita dan berpihak pada mereka yang menjadi korban dan penyintas ketidakadilan.

Perjumpaan orang Samaria dengan orang asing itu mengubah arah atau tujuannya (re-orientasi) pada hari itu dan menghasilkan arah baru (orientasi baru). Orientasi baru itu terwujud dalam karya perubahan dan pemulihan yang menyeluruh: dia membalut luka-luka (traumata) orang asing itu, menyiraminya dengan

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 7

minyak dan anggur, menaikkan tubuh orang itu ke keledainya sendiri dan mengantarnya ke tempat penginapan dan di sana dia tetap merawat orang itu. Bahkan sebelum meninggalkan tempat penginapan itu dia memastikan kepada pemilik penginapan bahwa orang itu akan tetap dirawat dengan baik, dan dia menjamin akan mengganti seluruh pengeluaran yang digunakan pemilik penginapan itu untuk pemulihan orang asing tersebut (ayat 34-35).

Semua kata kerja di atas menggambarkan detail penceritaan tentang pemulihan dalam perumpamaan ini. Pemulihan (to heal) lebih luas dari penyembuhan (to cure); bukan hanya tubuh orang terluka itu yang diberi perhatian, tetapi seluruh dampak dari kekerasan yang dialaminya. Jika kita membacanya secara simbolis kita dapat menemukan aspek-aspek karya transformatif gereja—yang pastoral (membalut luka), yang liturgis (pada simbol minyak dan anggur), yang diakonal (mendampingi dan merawat), dan yang ekonomis (menjamin implikasi finansial dariperawatan tersebut). Pemulihan digambarkan sebagai tindakan yang holistik dan berorientasi pada orang yang terluka. Trauma yang digambarkan sebagai luka fisik dalam kisah ini pun dapatdicermati dari hilangnya daya orang itu untuk berpulih tanpa intervensi dari orang Samaria.

Intervensi yang dilakukan orang Samaria itu sebagian

besar tanpa kata-kata. Mungkin saja orang Samaria itu tidak banyak bicara karena dia sedang mendengarkan suara orang yang terluka itu. Hati yang berbelas kasih itu juga terwujud dalam kesediaannya untuk menjadi pendengar yang baik (a good listener). Kemampuannya untuk mendengarkan itulah yang membuat dia mengambil keputusan yang pada waktu yang tepat, bukan bagi dirinya tetapi bagi orang yang terluka itu.

Kisah ini menawarkan sebuah orientasi baru tentang pemulihan sebagai karya transformatif. Pemulihan ini pun termasuk pemulihan sosial dalam relasi orang Yahudi dan orang Samaria. Orang Samaria dalam perumpamaan ini tampak menjadi simbol kritik Yesus terhadap diskriminasi yang terjadi pada saat itu terhadap etnis Samaria. Mengingat cara Yesus menggunakan perumpamaan umumnya untuk mengkritik atau menghasilkan perubahan cara pandang bagi para pendengarnya, kita dapat mengatakan bahwa pendengar-Nya lah, bahkan kita saat ini sebagai pembaca/penafsir perumpamaan ini, yang diharapkan mengalami disorientasi, re-orientasi, dan orientasi baru tersebut. Pemulihan seorang yang terluka kini dapat menjadi simbol pemulihan bagi relasi yang rusak, trauma akibat kekerasan, dan pemulihan bagi kehidupan keluarga, Gereja, dan masyarakat yang mengalami berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19.

Inilah orientasi baru ketika pemulihan justru dilakukan oleh kelompok-kelompok yang selama ini dianggap tidak mampu atau tidak memenuhi normal sosial dan agama. Di sini, hati orang Samaria yang berbelas kasih itu, hati yang rahimi itu, tampak dijadikan oleh Yesus sebagai dasar untuk menghadirkan perubahan sosial. Dari hati yang berbelas kasih itu sebuah model empati sosial lahir—yaitu kehidupan seseorang atau komunitas yang diarahkan pada pemulihan dan perubahan bagi konteks sosialnya. Sejarah hubungan orang Yahudi dan Samaria yang dibentuk oleh diskriminasi dan peminggiran ditransformasi ketika dari hati dia yang dipinggirkan lahir empati kepada orang yang terluka, orang asing, yang mungkin saja dalam perumpamaan ini adalah representasi dari orang Yahudi. Orientasi baru ini pun mengubah relasi korban dan pelaku kekerasan, yang dijajah dan penguasa. Yang dijadikan objek kini kembali menjadi subjek. Empati sosial berbasis pemulihan juga berorientasi pada pulihnya relasi dan sistem yang telah menyebabkan diskriminasi, peminggiran, kekerasan dan ketidakadilan yang meninggalkan trauma.

Menggereja yang Berdaya Lenting (being a resilient church) di Masa Pandemi

Covid-19:

Sebelum pandemi Covid-19 masalah ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan sebagainya sudah ada. Namun,

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 8

pandemi ini memperbesar intensitas maupun kualitas dari masalah-masalah yang sudah ada tersebut. Inilah yang biasanya disebut silent pandemic atau shadow pandemic yang menunjuk pada jenis “pandemi” yang berlangsung di ruang-ruang privat dan tersembunyi dalam bentuk yang lebih besar dan meluas tanpa dapat diintervensi dengan mudah akibat protokol kesehatan yang secara ketat mesti dilakukan pada masa pandemi Covid-19, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak, depresi berkepanjangan akibat kekerasan di ruang-ruang virtual melalui media sosial, dan sebagainya. Empati sosial sebagai faktor menggereja yang berdaya lenting akan mendorong lahirnya gerakan-gerakan sosial yang dapat memanfaatkan media sosial dan teknologi informasi secara meluas untuk membangun, memperbesar, dan memperluas laku hidup yang berbasis hati yang berbelas kasih.

Pandemi Covid-19 juga memperlihatkan wajah duka yang berbeda dari pengalaman duka sebelum pandemi—semacam duka yang tertunda (belated grief). Duka yang tertunda atau yang tersisa/tertinggal ini telah menjadi pengalaman kolektif yang dialami banyak warga masyarakat, termasuk warga jemaat, yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi akibat Covid-19 dan mereka tidak dapat menyelenggarakan ritual yang patut. Dalam beberapa waktu terakhir mungkin daftar doa

syafaat dalam ibadah Minggu menjadi lebih panjang karena jumlah warga jemaat yang meninggal atau sakit akibat virus ini terus bertambah. Bagi mereka yang rumahnya berada di tepi jalan raya atau dekat fasilitas kesehatan, mendengar sirene ambulans dari pagi sampai pagi sudah menjadi pengalaman yang normal. Mungkin pendeta dan anggota majelis jemaat semakin bergumul karena seringkali kehilangan kata-kata untuk menghibur warga jemaat yang kehilangan anggota keluarga mereka akibat virus ini, kalut ketika fasilitas kesehatan tak lagi memadai, atau ketika sumber finansialseseorangataukeluargamakin tak menentu bahkan hilang sama sekali. Situasi seperti ini akan dengan mudah menghilangkan kemampuan individu dan keluarga untuk beradaptasi apalagi untuk bertumbuh. Pengalaman seperti ini pun, jika terus berlanjut, akan menghasilkan trauma yang berkepanjangan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, hati yang berbelas kasih mestinya menjadi keutamaan (virtue) yang mendorong lahirnya kreativitas dan inovasi pelayanan transformatif gereja yang dapat kita bagikan melalui laku hidup kita ketika berhadapan dengan penderitaan orang di sekitar kita, bahkan di dalam diri dan lingkungan kita. Ketidakpastian dan kesulitan berkepanjangan yang disebabkan oleh pandemi ini dan yang telah menghasilkan disorientasi pada banyak individu dan kelompok mungkin kini dapat kita lihat sebagai momentum untuk melahirkan

re-orientasi demi lahirnya orientasi baru karena Gereja tidak lelah memberlakukan hidup yang berakar pada hati yang terarah pada orang lain, orang yang menderita, dan bersedia menjadi sahabat yang menemani dalam perjalanan panjang yang mengubah dan yang memulihkan.

Salah satu kekuatan Gereja pada masa pandemi ini adalah pelayanan pastoralnya. Pandemi telah mendorong banyak gereja untuk melahirkan kreativitas dan inovasi pelayanan pastoral termasuk yang diintegrasikan ke dalam pelayanan liturgis dan diakonia. Jika proses pemulihan yang dilakukan oleh orang Samaria dalam perumpamaan di atas lebih berbasis tindakan hampir tanda kata, pandemi Covid-19 telah menantang Gereja untuk mengembangkan

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 9

model hidup kristiani yang berorientasi pada pemulihan sosial. Pandemi Covid-19 kini mesti dilihat sebagai momentum sekaligus proses bagi gereja untuk mengembangkan laku hidup yang berempati bukan hanya pada kelompok sendiri melainkan pada ruang-ruang sosial yang lebih luas.

Salah satu keterampilan dari kemampuan berempati adalah menjadi pendengar yang baik (good listeners) seperti orang Samaria itu. Keterampilan ini dapat dilatih dan dikembangkan bersama warga jemaat sebagai salah satu dimensi pastoral sosial ketika setiap elemen dari kehidupan bersama dibangun dari kesediaan untuk mendengar satu sama lain. Menjadi komunitas dengan keterampilan sebagai pendengar yang baik bisa menjadi salah satu cara Gereja untuk meluruhkan stereotip dan stigma terhadap orang-orang yang mengalami masalah mental dan spiritual akibat pandemi Covid-19. Meluruhkan stigma sosial pada masa pandemi dan pasca-pandemi adalah salah satu bentuk transformasi sosial yang dapat dilakukan Gereja.

Menggereja yang berdaya lenting dapat terjadi jika setiap elemen dari hidup Gereja dibiasakan menjadi pendengar yang baik, bukan terutama untuk memberi solusi untuk setiap persoalan pelik, tetapi ibarat kawan seperjalanan yang bersedia merengkuh ketakutan, ketidakberdayaan, keputusasaan, dan duka dan mengatakan “I am here!” bagi satu

prinsip turut menderita itu dalam bentuk-bentuk kontemporer yang lebih banyak berbasis kata atau tuturan, misalnya mengupayakan pertemuan online, percakapan via telepon atau pesan singkat, support group yang menggunakan platform media sosial, dan sebagainya.

Salah satu prinsip pendampingan pastoral adalah berorientasi pada individu, komunitas, bahkan lingkungan ekologis. Pandemi sebagai pengalaman berbangsa dan bermasyarakat kita saat ini membutuhkan pendekatan pastoral transformatif dan holistik. Kesiapan Gereja untuk membekali dan memberdayakan warga jemaat dengan perspektif dan keterampilan yang berorientasi pada pemulihan trauma adalah faktor penting dalam upaya gereja membangun

sama lain. Seperti kata Palker J. Palmer “In every encounter with every stranger, we are given the chance to meet the living Christ.” Empati sosial sebagai faktor dari daya lenting Gereja di masa pandemi ini hanya mungkin jika Gereja memberlakukan hati yang berbelas kasih karena apa yang Gereja lakukan pada orang-orang yang terluka, miskin, terpenjara, terpinggir, sakit, Gereja lakukan pada Kristus sendiri (Matius 25:40).

Yang eklesial (yang pastoral dan diakonal) hanya bermakna ketika ia pun diorientasikan pada perubahan sosial. Dari tengah pandemi Gereja akan mekar. Inilah kesaksian yang sudah kita dengar sejak kekristenan perdana. Dari tengah krisis seperti pandemi dalam abad-abad lalu, Gereja mampu beradaptasi, bertahan, dan bertumbuh karena hidupnya yang selalu diorientasikan pada Kristus yang hadir, menderita, berjuang, memulihkan, dan membebaskan orang-orang yang terpinggir dan tertindas di tengah-tengah dunia.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 10

Pada Awalnya

Pada awalnya pandemi Covid-19 membuat berbagai pihak shocked, bingung, dan tidak mampu mereformat strategi pelayanan pastoralnya. Bersyukur ada pihak yang mereformat strategi pelayanan pastoralnya bahkan merumuskan ulang dasar teologisnya. Pada masa Covid-19 warga senior sebenarnya lebih membutuhkan perjumpaan intensif, khususnya yang menderita sakit, berduka, kesepian, dan tak berdaya. Sayang hal itu tidak dapat dilakukan karena keharusan menjaga jarak, menghindari tatap muka, dan kerumunan. Dilema itu seharusnya mendorong kita menemukan dasar teologis baru dan implikasi praksis pastoral ministry.

Kita Duduk Bersama dan Berbincang Bernas

Mayoritas gereja memakai istilah teknis “penggembalaan” bagi pastoral ministry (Nainupu: 1 – 2, 157). Penggembalaan biasanya dikaitkan dengan jabatan pastor (Latin, Inggris) atau gembala sebagai pemimpin gereja. Gereja Protestan berbahasa Inggris memakai istilah pastor sejak pascareformasi untuk membedakan dengan “priest” (imam) pemimpin gereja Katolik. Gembala bertugas menggembalakan warganya (Hiltner: 15, Saharjo: vii). Umumnya gereja memakai Mazmur 23: 1 – 6 dan Yohanes 10: 1 – 18 menjadi dasar teologis penggembalaannya. Saya akan membahas kedua perikop itu

Oleh: Pdt. Dr. Totok S. Wiryasaputra, Kon. Pas Direktur Eksekutif Asosiasi Konselor Pastoral Indonesia

T E O L O G I K O N S E P T U A L

PENDAMPINGAN INKARNASIONAL

WARGASENIOR

DI MASAPANDEMICOVID-19

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 11

dan menyimpulkan apakah masih relevan dipakai sebagai dasar teologis pastoral ministry.

Pertama: Mazmur 23. Hati saya tertegun membaca teks “Tuhan adalah gembalaku” dalam Mazmur 23 yang teks Ibraninya יִעֹר הָוהְי (Yahwe Ro’i). Kata “Roi” berarti “temanku”, “friend” (Inggris) dan bukan gembala atau shepherd (Inggris). Kemudian saya berdiskusi dengan tiga kolega ahli Bahasa Ibrani Perjanjian Lama dan mereka sepakat terjemahannya “Tuhan adalah temanku”. Avishegnath berpendapat “In biblical Hebrew, there is no word for “shepherd” atau “tidak ada kata gembala dalam Kitab Bahasa Ibrani” (https://www.quora.com/In-Hebrew-Psalm-23-line-1, 23 Juli 2021, 14.39). Tampaknya terjemahan Mazmur 23:1 “Tuhan adalah gembalaku” mengandung tafsiran metaforik (kiasan).

Untuk memahami Mazmur 23 kita harus menempatkan Mazmur 22 sebagai latarbelakang. Penyusun Kitab Mazmur pasti memiliki tujuan mengapa Mazmur 22 dan 23 disandingkan. Mazmur 22 menuturkan orang yang sangat menderita. Memakai kacamata psikologi modern Mazmur 22 rupanya menuturkan gejala depresi. Karena merasa Tuhan meninggalkannya (1), tidak mendengarkan (2 - 6), tidak ada orang peduli (12), tidak berdaya (7-22), dia mohon Tuhan hadir. Penutur Mazmur 22 berharap Tuhan hadir menjadi “Temanku Ro’i dalam penderitaan”. Pada

“temanku” penutur Mazmur 22 mengeluarkan semua racun jiwanya. Memakai perspektif terapi trauma disebut “psychological detoxification”. Mazmur 23 menuturkan pengakuannya “Tuhan hadir” sebagai “teman” dalam penderitaan (Mazmur 23: 4).

Kedua: Yohanes 10: 1 – 21. Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai Gembala Yang Baik. Gambaran itu kontekstual di zaman-Nya dan mudah dipahami pendengar-Nya. Gambaran metaforik “gembala” bagi pemimpin dalam alur pikiran politis, budaya, dan keagamaan Yahudi sangat kental. Musa pemimpin kharismatik bangsa Yahudi digambarkan sebagai “gembala” domba dan kemudian “gembala” - “pemimpin” bangsanya. Alur pemikiran

pemimpin demikian tetap populer jaman Yesus. Kesaksian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tentang kiasan pemimpin sebagai gembala sangat kuat (Yehezkiel 34, Yohanes 21: 15 -19, I Petrus 5:3). Gereja perdana, jaman berikutnya, dan sampai masa kini melestarikan kiasan itu. Meskipun mayoritas gereja Protestan memakai nama pendeta tetapi secara tersirat sama dengan gambaran metaforik pastor.

Mengikuti alur pemikiran tadi Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai Gembala Yang Baik. Dia bukan sembarang gembala. Model kepemimpinan Yesus bertolak belakang 180% dengan model kepemimpinan jaman-Nya: bertangan besi, tidak mengenal umatnya, tidak mendengarkan, tidak mengenal

Photo by patrick-schneider on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 12

penjaga pintu karena tidak masuk lewat pintu depan - wong cilik (gerbang utama pemimpin demokratis), loncat pagar memakai money politic, nyogok, tiba-tiba menjadi pemimpin tetapi tidak punya hati dan kapasitas pemimpin, tidak berani berkorban, malah mengorbankan umat - menyembelih domba untuk kepentingannya. Tema utama tuturan Yesus dalam perikop ini tetang leadership style.

Ketika mengkaji ulang dasar teologis caring ministry, saya terbantu oleh karya tulis Prof. Purves teolog pastoral Presbyterian Church Amerika Serikat, Guru Besar Teologi Pastoral di Pittsburg Theological Seminary. Beliau berpendapat perspektif penggembalaan (shepherding) tidak kontekstual dan sulit dipahami warga gereja, termasuk generasi Y dan Z masa kini. Memang tidak semua pandangannya saya terima namun saya sepakat dengan pandangannya tentang perspektif shepherding. Pandangan itu mendorong saya mencari dasar teologis caring ministry. Akhirnya saya menemukan dasar teologis itu bukan pada kiasan “Gembala Yang Baik” tetapi pada hakikat keberadaan Yesus sebagai Inkarnasi.

Allah meng-inkarnasi-kan diri menjadi manusia utuh. Firman tak tampak menjadi tampak, menjumpai-dijumpai, menyentuh-disentuh, dan bertindak persis sama dengan kita. Yesus inkarnasi Allah yang sempurna memiliki

aspek fisik, mental, sosial, danspiritual yang dapat dibedakan namun saling terkait. Karena caring ministry (selanjutnya disebut pendampingan) berdasar pada inkarnasi Allah dan karya penyelamatan-Nya maka pendampingan kita bersifat “inkarnasional” dan “kristosentris” dan tidak bersifat “pastoral” yang terkait dengan jabatan “pastor”. Karya pendampingan tidak berpusat pada omong-omong tetapi pada tindakan dan memakai seluruh aspek: fisik, mental, sosial, danspiritual. Keempat Injil lebih banyak menuturkan “Yesus bertindak” daripada “Yesus Berkata”. Cocok.

Alih-alih memakai Yohanes 10: 1 - 21 sebagai dasar teologis caring ministry, saya memilih Yohanes 1:1 - 18 dan 3:16 – 21 sebagai gantinya. Inkarnasi Allah tidak hanya menyelamatkan manusia dari dosa dan masuk sorga setelah meninggal dunia tetapi juga manusia konkret masa kini. Yesus peduli, menolong, menyembuhkan, memberi makan, dan mendampingi murid-murid-Nya yang berduka. Inkarnasi adalah intervensi kepedulian-pendampingan Allah atas nasib dunia dan manusia yang kadang dalam kondisi relatif normal atau gonjang-ganjing (Jawa: kacau) seperti Pandemi Covid-19 yang kita alami. Karena warga senior merupakan bagian integral eksistensi gereja, mereka juga menjadi sasaran kehadiran, kepedulian, dan pendampingan Allah pada masa kini dan di sini.

Warga senior adalah bagian integral gereja seperti balita (0 – 5 tahun), anak (6 – 12 tahun), remaja (13 – 18 tahun), pemuda dewasa (19 – 29 tahun), dewasa (30an tahun), tengah baya (40an tahun), dan sarang-kosong - matang (50an tahun). Gereja seharusnya mengenal warga senior pratama – 60an th, madya – 70an tahun, dan purna - 80an tahun keatas secara lengkap. Gereja memetakan kebutuhan khas dan membuat statistik kondisi warga senior: usia, status, keluarga, tempat tinggal, penyakit, kondisi fisik,mental, sosial, dan spiritual, kesukaan mereka, nyanyian favorit, ayat favorit, pegangan hidup, dan kebutuhan lain yang relevan. Tidak kalah penting gereja memetakan dan memanfaatkan semua sumberdaya (anak, remaja, pemuda, dan orang dewasa) yang dimilikinya untuk caring ministry - saling mendampingi secara lintas usia. Pemetaan sasaran layanan, sumberdaya, dan pembuatan statistik lengkap akan membantu caring ministry baik di masa relatif normal maupun Pandemi Covid-19.

Gambaran Tuhan sebagai “teman seperjalanan” kita temukan di Lukas 24: 13 – 35: “Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus”. Kematian Yesus membuat murid-Nya berduka. Tidak terkecuali kedua murid yang melakukan perjalanan ke Emaus. Karena Yesus paham betul kedukaan mereka Dia hadir, menemani, dan mendampingi mereka. Mereka begitu terhanyut dalam kedukaan sehingga tidak

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 13

Photo by georg arthur pflueger on Unsplash

mampu melihat kehadiran Yesus dan kata-kata-Nya yang berkobar-kobar. Sebagai Pendamping Agung, Yesus paham betul apa yang harus dilakukan. Dia menghentikan khotbah-Nya, terus berjalan bersama, mendampingi, dan mendengarkan cerita mereka sampai tuntas. Ketika sampai di Emaus, mereka sudah selesai menumpahkan rasa duka, merasa lega, dan mampu melihat apa yang terjadi. Tindakan konkret seperti duduk dan doa makan malam bersama membuka mata, telinga, dan hati mereka dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Akhirnya mereka menerima kenyataan kematian dan kebangkitan Yesus.

Implikasi Praksis Pendampingan

P e n d a m p i n g a n kesederajatan. Dalam Injil Lukas 24:13 - 35 Tuhan hadir sebagai teman sederajat, seperjalanan, peduli, dan mendampingi kedua murid yang sangat berduka. Tuhan tidak hadir sebagai gembala,

pastor, pemimpin melainkan sebagai pendamping. Ini berarti pelayanan pendampingan warga senior bukan pelayanan yang terkait dengan jabatan gerejawi apa pun. Kehadiran Yesus bukan menggembalakan tetapi menjadi teman seperjalanan yang memedulikan dan mendampingi. Hakikat inkarnasi adalah menjadi teman seperjalanan dan sependeritaan sampai kayu salib. Isi hati Tuhan Allah yang terdalam dan sekaligus isi hati Yesus adalah menjadi teman seperjalanan manusia.

Seperti dalam inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia, sama, dan sederajat dengan kita, maka dalam pendampingan warga senior, pendamping (selanjutnya disebut Pd) bukan atasan yang derajatnya lebih tinggi sebagai manusia daripada orang yang didampingi (selanjutnya disebut Od) yang digambarkan sebagai hewan – domba. Dalam incarnational caring, kehadiran Pd bersama dengan dan untuk warga senior adalah sebagai

teman seperjalanan sederajat. Kondisi apa pun yang dialami warga senior, termasuk warga senior yang total bed rest dan hanya menunggu saat dipanggil Tuhan pun tetap manusia sederajat dengan Pd. Gereja dan Pd harus memperlakukan mereka sebagai manusia seperti yang lain. Tidak lebih dan tidak kurang.

Pendampingan mutual caring. Dengan strategi pendampingan inkarnasional Pandemi Covid-19 tidak menjadi hambatan. Pintu pelayanan pendampingan terbuka bagi semua warga gereja untuk mendampingi sesama dimana pun, kapan pun, dan dengan sarana apa pun. Apabila roh keterbukaan ini diintegrasikan dengan sikap tolong-menolong warisan leluhur pasti akan melahirkan pendampingan tanpa dinding jabatan dan tembok gereja – “caring without walls”. Lukas 24: 13 – 35 memberi inspirasi strategi pendampingan warga senior. Pendampingan dilakukan oleh kedua murid sendiri, saling bercerita, mendengarkan, dan menyembuhkan. Yesus berkhotbah berkobar-kobar (bahkan sampai marah) tetapi kedua murid tetap asyik dengan diri sendiri. Kemudian Yesus menghentikan khutbah-Nya, meneruskan perjalanan, dan mendengarkan cerita keduanya sampai tuntas selama 1 jam perjalanan dari Yerusalem Emaus.

Warga senior sebaiknya tidak hanya diperlakukan sebagai sasaran pelayanan

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 14

pendampingan tetapi juga sebagai subyek. Kita memanfaatkan warga senior semaksimal mungkin untuk mutual-caring. Gereja (termasuk rumah lansia, panti wredha) memfasilitasi warga senior agar saling memedulikan-mendampingi, misalnya dengan menyediakan tempat/ruang untuk kumpul, duduk, makan, ngobrol, main musik, olah seni, nyanyi, olahraga, doa, dan sharing pengalaman bersama. Jangan lupa memberi akses bagi warga senior yang telah memiliki keterbatasan fisik. Ruangan ituin-door atau out-door. Kalau tidak mungkin melakukan sendiri, gereja dapat bekerjasama secara internal (di tingkat klasis misalnya) atau eksternal – gereja sewilayah secara oikumenis atau pihak lain yang relevan.

Abad XI mencatat persentase warga senior terus mengalami peningkatan signifikan.Merekaadalahbagianintegral dari keberadaan gereja dan masyarakat. Disamping itu kini kita mengalami perubahan superdahsyat dan supercepat sehingga persoalan hidup warga senior makin kompleks. Seperti layanan medis dan perawatan yang makin profesional dan spesialistik begitu pula seharusnya pelayanan pendampingan warga senior. Kini waktunya gereja mengembangkan caring ministry warga senior sebagai pelayanan kategorial tersendiri. Apabila sudah memungkinkan gereja sebaiknya mempekerjakan petugas purna waktu profesional (bisa tertahbis (pendeta) atau tidak). Tentu tugas utama

mereka bukan menjalankan segala upacara dan acara gerejawi (dianggap sebagai pelayanan rohani) melainkan benar-benar melakukan pendampingan inkarnasional secara fisik, mental-psikologis,sosial, dan spiritual.

P e n d a m p i n g a n partisipatif. Dari gambaran Tuhan sebagai “teman” dalam Mazmur 23 dan Lukas 24 kita dapat menyimpulkan Tuhan yang memedulikan-mendampingi. Pd ambil bagian dalam kepedulian dan pendampingan Tuhan dan menjadi sarana Tuhan mendampingi Od. Pd tidak menggantikan posisi Tuhan. Tugas Pd mempersilakan Tuhan mendampingi Od. Pd seharusnya tidak menyerobot pendampingan Tuhan. Biarkan Tuhan berjumpa dengan Od dan Od berjumpa dengan Tuhannya. Dalam praktik pendampingan kadang Pd tidak sabar menunggu Tuhan berjumpa, berelasi, dan bertindak bagi Od. Pd sibuk dengan agendanya dan menyerobot perjumpaan Tuhan dengan Od. Mungkin dengan nasihat, khutbah, cerita, doa, nyanyian, dan sebagainya. Pd hadir utuh secara fisik,mental-psikologis, sosial, dan spiritualnya bersama dengan dan mendampingi Od sehingga sembuh, menerima kenyataan, mengambil keputusan, menyelesaikan konflik, mandiri,bermakna, berdaya, bersedia menolong sesamanya, dan/atau bila relevan menjadi agen transformasi sistem sosial yang tidak sehat.

Pendampingan tanpa

kata. Ketika mendampingi warga senior yang tidak dapat atau tidak mau berbicara mungkin karena kelemahan tubuh, sakit berat, sedang depresi, menderita penyakit tak tersembuhkan (terminal illness) atau sedang menghadapi kematian, Pd dapat memakai sumberdaya fisiknya: duduk dengan sabar,tatapan mata yang penuh perhatian, sentuhan hangat, tulus, dan tidak asyik dengan diri sendiri. Pd yang berasumsi pendampingan adalah percakapan biasanya mengalami kesulitan menghadapi situasi itu sehingga lebih asyik dengan diri sendiri. Pendampingan tanpa kata dapat dilakukan dengan memakai alam sekitar seperti suara burung, air, sungai, angin, ombak pantai, bunyi gesekan ranting - dahan - daun pohon, bunga, pemandangan, jalan bersama, mendorong kursi roda, mengunjungi makam, gambar, foto, lukisan, simbol religious (salib) dan sebagainya.

Selama masa Pandemi Covid-19, Pd dapat mendampingi Od tanpa kata dari jarak jauh, online. Disamping itu Pd dapat mengirim bunga, masakan kesukaan, surat, puisi, lukisan, gambar, kartu atau rekaman petikan gitar, rekaman suara alam sekitar (seperti disebutkan sebelumnya), nyanyian favorit, doa dalam hati tanpa kata, simbol religius (salib, rosario, tasbih – siapa tahu Od beragama berbeda dengan kita), meditasi, video, film pendek, dan sebagainya.Apabila memungkinkan ajak relasi sosial Od berpartisipasi dalam melakukan hal-hal tadi. Sebelum melakukan jelaskan

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 15

tujuannya dan minta ijin Od atau relasi sosial Od yang relevan. Jangan lupa Pd perlu mendapat konfirmasi penghayatan Odsetelah melakukan hal-hal itu.

P e n d a m p i n g a n empatis. Kata empati sering kita dengar namun kurang memahami arti sebenarnya. Kadang empati disamakan dengan simpati dan “tepa salira” (Jawa) padahal berbeda. Untuk memeroleh pengertian empati mari kita kembali ke Inkarnasi Agung Ilahi. Allah turun, hadir, menampakkan, dan menjumpakan diri-Nya secara utuh. Empati membutuhkan kehadiran Pd secara penuh bersama, dengan, dan untuk Od. Dalam situasi relatif normal Pd hadir bersama, dengan, dan untuk Pd secara fisik, batin,sosial, dan spiritual. Dalam masa Pandemi Covid-19 Pd tidak dapat hadir secara fisik namunhadir secara batin, sosial, dan spiritual. Pastor sebagai pemimpin mengubah identitas dirinya menjadi Pd dan teman seperjalanan Od. Pd masuk kedalam dunia pengalaman Od seutuhnya, menelusuri, mengetahui, menghayati, dan menerima Od sebagaimana adanya tanpa menghakimi, menilai, netral, dan tidak hanyut atau tidak ada kesamaan perasaan seperti dalam simpati. Seperti Tuhan Yesus masuk kedalam dunia berdosa tetapi tidak berdosa. Dalam empati Pd masuk dalam dunia Od tetapi tidak hanyut.

Salah satu perwujudan dari pendampingan empatis adalah Pd benar-benar

mendengarkan Od. Pd memusatkan perasaan dan pikiran, membuka hati, pasang telinga agar dapat menangkap secara akurat perasaan, pikiran, dan penghayatan Od tentang dirinya. Pd mampu menangkap secara akurat ekpresi verbal dan non-verbal Od. Pd mengamati, menelusuri, dan menangkap makna kata-kata, perubahan roman muka, dan gerak tubuh Od. Pd mungkin menirukan ungkapan

perasaan kuat (misalnya saya hancur, rapuh, sedih, kecewa, marah, bingung, tertekan, putus asa), mengkonfirmasiapakah penangkapannya tepat, mengajukan pertanyaan, mendorong, dan menafsirkan pesan yang tersembunyi dalam mimpi, ngelindur (Jawa), dan postingan di medsos.

Pd tidak hanya menangkap secara akurat tetapi juga menanggapi dengan bijak dan memakai sarana yang

Photo by john moeses bauan on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 16

tepat. Dalam mendampingi warga senior tentu akan muncul berbagai kendala, misalnya kemampuan pendengaran, fisik, dan berbicara Odterbatas. Tentu kita tidak dapat mengandalkan ungkapan verbal Od dan juga tanggapan verbal kita. Od mungkin tidak mampu mengungkapkan secara verbal apa yang dirasakan atas kehadiran kita, tetapi yakinlah Od dapat menghayati apakah kita benar-benar hadir bersama dengan dan baginya atau tidak. Apakah fisik, hati, dan roh kitasedang bersama dengan dan untuk Od. Itulah ujian kita ketika mendampingi warga senior. Dalam pendampingan jarak jauh dan online pun warga lansia juga dapat menghayati apakah kita benar-benar hadir bersama dengan dan baginya atau tidak.

P e n d a m p i n g a n holistik. Dalam hal ini kita harus mengenal kondisi umum warga senior secara fisik(nyeri tubuh), mental (sedih), sosial (sendirian), dan spiritual (dosa saya apa). Pengetahuan umum tentang warga senior secara holistik kita temukan di buku, majalah, media sosial, seminar, kursus, pelatihan, dan sebagainya. Semua bisa didapat secara online. Peta dan statistik gereja dapat menjadi sumber informasi umum. Ketika mendampingi warga senior kita harus memahami keterkaitan seluruh aspek dan keunikannya. Pengenalan keterkaitan semua aspek dan keunikan Od dapat kita peroleh dari praktik kita dan orang lain. Kita perlu bergabung dengan perkumpulan pendamping

agar kita dapat saling berbagi pengalaman praktik. Makin banyak jam terbang dan partisipasi dalam perkumpulan pendamping,merefleksikan,danmemanfaatkan hal-hal relevan akan menolong kita makin mengenal, menghayati, dan menerima keterkaitan seluruh aspek kehidupan dan keunikkan warga senior.

P e n d a m p i n g a n inkarnasional merubuhkan tembok pemisah kegiatan rohani dan duniawi sehingga gereja tidak memandang keduanya secara dikotomis. Gereja harus inovatif dalam pendampingan warga senior melalui program edukatif dan rekreatif. Program edukatif dan rekreatif disediakan bagi warga gereja berusia 50-an tahun sebagai persiapan memasuki usia senior dan warga senior sejauh relevan. Program edukatif dikaitkan denganperubahanfisik,mental,sosial, dan spiritual, persiapan pensiun, pasangan meninggal, menduda/menjanda, berduka, hidup di rumah sendiri atau tinggal bersama keluarga atau di rumah/panti wredha, hidup membujang atau menikah lagi, persiapan kematian, dan topik lain yang relevan. Pendampingan inkarnasional merekrut relawan penelpon atau kirim WhatsApp (WA) chatting menyampaikan salam, memasakan warga senior yang hidup sendiri, mengantar makanan, mengantar berobat, membelikan obat, membuat kelompok baca buku, menulis, bercerita, melukis/menggambar, berkebun, olahraga, dan sebagainya. Gereja juga dapat memberi kesempatan warga

senior tour ke tempat rekreasi, mall atau situs lain. Program edukatif dan rekreatif harus melibatkan warga senior sendiri, ahli, dan praktisi yang relevan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan tindak lanjut.

Pada Akhirnya

Pada akhirnya dari

Photo by Liz Brenden on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 17

perbincangan sanse (santai tapi serius) kita saya berkesimpulan gambaran relasi “gembala” (manusia, superior, pemimpin) dengan “domba” (hewan, inferior, bawahan) tidak mudah dipahami oleh pendengar kita Generasi X, Y, Z Abad XXI. Pasti mereka tidak mengenal perdombaan Timur Tengah dan gambaran relasi “teman

seperjalanan” jauh lebih mudah dipahami oleh kita sekarang. Wah ternyata terjemahan Mazmur 23:1 adalah “teman” bukan “gembala”. Kiasan “Yesus Gembala yang Baik” dalam Yohanes 10: 1 – 21. Itu hanya kiasan ya dan Yesus sendiri tidak pernah menjadi gembala kan. Kiasan itu menggambarkan citra pemimpin yang baik sebagai lawan citra pemimpin zalim. Pemimpin yang baik siap berkorban dan bukan mengorbankan yang dipimpin. Tuhan Yesus juga sudah memberi contoh cara menjadi “teman seperjalanan” bagi murid yang sedang berduka. Dasar teologis kita “incarnational” dan strategi praksis caring ministry kita bagi warga senior adalah “teman seperjalanan sederajat”. Dasar teologis dan praksis caring ministry kita “Christ-based” dan bukan “pastor-based”. Berarti kedua aspek caring ministry warga senior kita “kristosentris”. Berbagai implikasi praksis christocentric caring ministry warga senior sudah diskusikan. Kini waktunya bagi Sahabat Majalah Mitra mengolah dan mungkin menemukan dasar teologis yang kukuh dan strategi praksis kepedulian dan pendampingan kita umumnya dan warga senior khususnya. Tulisan artikel ini sudah selesai namun tidak berarti diskusi kita selesai. Pintu diskusi tetap terbuka.

Daftar Acuan Bacaan

Becker, Arthur H. Ministry with Older Persons, A Guide for Clergy and Congregations. Minneapolis: Aughsburg, 1986. Print.

Houston, James M. dan Michael Parker. A Vision for Aging Church, Renewing Ministry for and By Seniors. Downers Group: AVP Academic, 2011. Print.

Indriana, Yuniar. Gerontologi dan Progreria. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Print.

Jewell, Albert (Editor). Older People and the Church. Peterborough: MethodfistPublishing House, 2001. Print.

Purves, Andrew. Restructuring Pastoral Theology – A CHRISTOLOGICAL FOUNDATION. LOUISVILLE: WESTMINSTER JOHN KNOX: 2004. PRINT.

WIRYASAPUTRA, TOTOK S. PelAYAnAn KeSeHATAn JeMAAT, KOnSeP dAn PeneRAPAnnYA. JAKARTA: PELKESI, 2012. PRINT.

WIRYASAPUTRA, TOTOK S. KOnSelInG PASTORAl dI eRA MIlenIAl, ReVISI 2021. YOGYAKARTA: AKPI, 2021. PRINT.

WIRYASAPUTRA, TOTOK S. PendAMPInGAn PASTORAl ORAnG BeRduKA, REVISI 2021. YOGYAKARTA: AKPI, 2021. PRINT.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 18

P E N G A P L I K A S I A N

Mendampingi Komisi usia lanjut (Kul) adalah sebuah kesempatan yang di dalamnya juga hadir tantangan. Kesempatan untuk hadir di komunitas senior dengan warnanya yang beragam, sekaligus tantangan yang unik karena harus menjadi “gudel” yang tak jarang menjadi tempat mengadu para “kebo” dalam konteksnya. ditambah lagi dengan pergumulan global atas pandemi Covid 19 yang belum diketahui sampai kapan akan mereda. Tulisan ini merupakan sharing praksis pendampingan sesuai konteks pelayanan di GKI Klaten sejak diteguhkan menjadi penatua di tahun 2016.

Hadir sebagai calon pendeta yang memasuki tahapan perkenalan, berjumpa dengan jemaat dengan komposisi jemaat dewasa dan lansia yang dominan tentu menjadi konteks yang tidak bisa dipandang enteng. Secara khusus perjumpaan dengan sebuah komunitas dalam wadah Komisi Usia Lanjut (KUL) GKI Klaten. Sekian waktu mengenal,

menempatkan diri dan kemudian diberi mandat untuk menjadi pendamping adalah sesuatu yang membuat dag dig dug. Selama berproses dari studi sampai bina kader, harapannya adalah mendampingi komisi remaja atau pemuda, atau paling tidak komisi dewasa yang sepantaran. Namun kepercayaaan yang diberikan tidak kuasa untuk ditolak dan disia-siakan.

Warga KUL GKI Klaten ada pada rentan terbuka di atas 55 tahun. Secara usia nampak gambaran kesibukan sebagian kecil warganya yang masih aktif dalam pekerjaan dan usahanya. Namun, sebagain besar adalah mereka yang sudah pensiun dari pekerjaan, dari usaha, juga sebagai pensiunan dari tanggung jawab mendampingi anak-anaknya. Rata-rata anak-anak mereka sudah mentas (sebutan bagi anak yang sudah menikah dan tidak lagi bergantung hidup terhadap orang tua). Dengan demikian, dampak turunannya

Pdt. Lukas SuprastowoPDT GKI KLATEN

HATI - HATI DENGAN HATI: Upaya Pastoral Dalam Memelihara SpIritualitas Jemaat Usia Lanjut

pasti dapat ditebak. Antara lain waktu yang relatif longgar, sosialita ala lansia, suka dengan acara berkumpul, jalan-jalan dan juga hal-hal lain yang menggembirakan. Walaupun tidak dapat dipungkiri ada juga yang memasuki usia tersebut masih dengan pergumulan yang tidak mudah dalam ekonomi, kesehatan, rumah tangga, komunikasi dan relasi antar personal.

Perjumpaan yang ada ternyata lancar dan kemudian mengalir dalam pendampingan yang akrab walau usia sebagai pendamping lebih muda dibandingkan dengan mereka yang didampingi. Sebagai calon pendeta tentu ini menjadi kekuatan yang sangat mendukung bila ada kecocokan dalam pola pelayanan dan pendampingan yang selama ini berjalan. Bahkan menjadi kenangan tak terlupakan ketika merekalah yang bersedia berduyun-duyun ke tempat Persidangan Majelis Klasis (PMK) dalam agenda

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 19

khusus percakapan gerejawi untuk menjadi tim sorak yang mengharukan.

Secara umum, lanjut usia merupakansuatuyangfisiologis,yang akan dialami oleh setiap orang. Batasan orang dikatakan lanjut usia berdasarkan UU No 13 tahun 1998 adalah 60 tahun. Lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Sedangkan menurutWHO(2013),klasifikasilansia adalah sebagai berikut : 1) Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-54 tahun. 2) Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55-65 tahun. 3) Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66-74 tahun. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.

Namun demikian, dalam konteks pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Jemaat GKI Klaten, kategori usia lanjut ini dibuka pada rentan usia di atas 55 tahun. Jadi masih selaras dengan pengklasifikasian dariWHO di mana usia tersebut masuk kelompuk lansia (elderly). Berdasarkan analisa psikologi usia tersebut maka perlu kehati-hatian dalam memposisikan diri sebagai pendamping. Hati-hati di sini bukan waspada berlebihan melainkan bentuk responsif atas rambu-rambu untuk tidak serta merta memberlakukan pola yang sama dengan usia yang lebih rendah. Misalnya saja, bagaimana cara menyapa, cara

memanggil, cara berkomunikasi, cara memberi masukan serta nasihat, juga hal-hal mendasar dan teknis lainnya.

Pendampingan di masa Normal Pra Pandemi

Secara alamiah, tubuh akan mengalami penuaan yang ditandai dengan terjadinya perubahanfisikdanfungsitubuhyang mulai menurun. Seiring dengan bertambahnya usia, timbul juga beberapa masalah yang harus diperhatikan. Antara lain kekurangan nutrisi, penyakit penyerta, kemampuan berpikir menurun, dan permasalahan psikis. Hal-hal tersebut dapat memengaruhi kepribadian dan perilakunya. Salah satu yang umum ditemukan dalam pendampingan lansia ini adalah membuat mereka kembali bersikap seperti anak-anak.

Perubahan perilaku yang muncul pada lansia ini terjadi karena adanya penurunan fungsi kognitif. Secara alami, tubuh manusia memang akan mengalami penurunan fungsi,

termasuk pada organ tubuh dan psikologi. Secara alami, fungsi otak dan kognitif seseorang akan mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Tidak hanya itu, hal ini ternyata juga dipengaruhi oleh masalah kesehatan yang mungkin muncul seiring bertambahnya usia. Munculnya gangguan kesehatan jangka panjang, misalnya diabetes bisa memengaruhi kondisi mental dan perilaku lansia. Tak jarang, hal itu akan menyebabkan lansia mulai bersikapsepertianak-anak. 

Penurunan yang terjadi bisa membuat lansia kesulitan dalam memecahkan masalah, mudah lupa, dan sering merasa tertekan. Hal itu yang kemudian memicu orang yang sudah tua sering menjadi marah pada diri sendiri atau pada orang yang ada di sekitar. Kondisi itu yang membuat lansia seolah kembali menjadi anak-anak dan bertingkah laku sesukanya.  Belum lagi,orang yang sudah lanjut usia biasanya sudah melewati

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 20

banyak fase dalam hidup, termasuk kehilangan orang tersayang atau orang di sekitar. Tidak sedikit orang tua yang harus hidup sendiri, setelah ditinggal pasangan. Hal itu bisa membuat seseorang menjadi takut dan merasa tidak bisa lagi melanjutkan hidup. Maka dari itu, dibutuhkan peran orang sekitar untuk memberi bantuan dan motivasi untuk melanjutkan hidup pada orang yang sudah lanjut usia.  Sangat pentinguntuk menjaga emosi, menjaga kesehatan fisik dan mental,serta meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik pada lansia. Dengan memberikan rasa nyaman, lansia akan menjadi lebih tenang dan percaya bahwa hidupakanbaik-baik. 

Di masa normal, hal-hal itu dapat direspon oleh gereja melalui program-program yang kreatif dan efektif. Memang tidak akan menjawab semua kebutuhan, namun gereja secara nyata mengambil peran yang aktif atas kondisi yang ada. Beberapa program yang dapat dibagikan adalah program persekutuan rutin di hari Kamis pertama setiap bulan yang dikemas dengan tidak monoton. Kadang persekutuan doa, kadang dikemas dengan drama dan paduan suara yang melibatkan para lansia. Juga dengan pelayanan lintas komisi yang memungkinkan perjumpaan antar generasi. Hal ini diselenggarakan tentu untuk menjawab kebutuhan spiritual dengan apik. Kemudian, sebagai bentuk pemeliharaan juga diselenggarakan rutin program

Rabu Sehat, di mana acara dimulai dengan doa pagi pukul 05.00 WIB, dilanjutkan dengan senam lansia serta ditutup dengan sarapan sehat bersama dan ramah tamah. Secara periodik juga diselenggarakan aneka kebersamaan di Kamis ke-3 seperti memasak bersama, karaoke rohani, game dan kuis. Dan sebulan sekali diadakan pemeriksaan kesehatan gratis dengan melibatkan komisi kesehatan.

Situasi normal menjadi sedemikian ideal dalam konteks yang ada. Wadah KUL GKI Klaten bukan hanya menjadi wadah eksklusif bagi anggota jemaat saja melainkan menjadi berkat bagi simpatisan dan jemaat dari denominasi lain. Ide dan usulan kreatif selalu diterima, dipercakapkan, dan bila dipandang baik maka dipersiapkan dan dilaksanakan dengan kesediaan untuk senantiasa dievaluasi dan disempurnakan.

Pendampingan Adaptif dan Transformatif

Pandemi yang menerpa juga berdampak pada pola pendampingan sehingga mau tidak mau harus melakukan beberapa perubahan secara bertahap. Praksis pendampingan kemudian beralih dari tradisi yang guyub dalam perjumpaan fisik kemudian harus beralihpada keakraban berbasis online. Semangat untuk bersekutu tidak padam sehingga harus diupayakan metode yang disepakati dan dapat diterapkan. Untuk persekutuan rutin sebulan

sekali kemudian dialihkan ke dalam persekutuan tertulis di group WhatsApp (WA). Berjalan sekian waktu, kemudian muncul gagasan untuk pengembangan dalambentukmodifikasitulisandan video sederhana yang dibuat oleh warga lansia sendiri baik untuk pujian dan pelayanan firman. Otomatis merekamenjadi sedemikian kreatif dan terus belajar hal-hal baru. Kemudian berkembang lagi pada pengenalan motode lain seperti zoom meeting. Kemudian dikembangkan persekutuan dengan tatap muka online yang awalnya hanya diikuti oleh sebagian kecil, namun secara berangsur bertambah karena seiring mereka yang ingin mengikuti perkembangan. Dan yang menarik, atas situasi, kondisi, dan metode yang dipelajari bersama kemudian membuat mereka sepakat untuk bersekutu sebulan dua kali.

Program-program lain juga kemudian menyesuaikan. Rabu Sehat tetap terselenggara dengan media online namun tanpa senam dan sarapan sehat. Dijumpai kelebihan lain dari model online yaitu dapat diikuti oleh mereka yang ada di tempat yang jauh baik yang ada di Bajem Pesu, Bajem Mireng maupun Posjem Karangri. Bahkan ada anggota lansia yang sudah pindah ke luar kota pun justru berkesempatan untuk hadir. Perkunjungan pun akhirnya dapat diterima juga melalui pola perkunjungan virtual bersama bidang pastoral. Dan bagi anggota yang tetap kesulitan dalam

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 21

mengikuti melalui perjumpaan online maka kemudian Majelis Jemaat memfasilitasi mereka dengan program MP3 Player, yaitu dengan memberikan seperangkat alat untuk dapat menikmati ibadah dan persekutuan dalam bentuk audio. Beberapa program terus diselenggarakan dan tetap membuka diri untuk usulan akan ide-ide kreatif.

Adaptasi proram-program adalah hal yang tidak dapat ditolak. Namun demikian, dengan kerinduan yang kuat untuk terus bersekutu, bersaksi dan saling melayani di masa pandemi justru menghadirkan warna baru menuju transformasi yang holistik. Transformasi yang harus terus dibangun berdasarkan perubahan-perubahan yang harus disadari pasti terjadi. Transformasi lansia yang tidak terus menerus terlena dengan romansa masa lalu, melainkan siap “hidup” untuk masa kini dan masa depan. Transformasi dengan warna senioritas yang kemudian dapat menjadi teladan bagi generasi yang lebih muda. Transformasi yang terjadi secara pribadi dan komunal.

Pendampingan Sepenuh Hati

Menjadi bagian dari kehidupan lansia ternyata menghadirkan sedemikian banyak pengalaman baik yang memperlengkapi pelayanan di jemaat yang majemuk secara usia, tipe spiritual, tingkat ekonomi, latar belakang pendidikan dan dinamika pribadi maupun keluarga. Memang disadari penuh bahwa gereja tidak dapat mengambil peran total di dalamnya, melainkan sesuai dengan porsinya. Gereja tidak dapat mengiring secara sempurnaataskondisifisikdanpsikisnya, namun paling tidak dapat mengisi secara optimal di sisi spiritualnya. Gereja dapat terus hadir untuk memberi warna dan rasa atas mereka yang memiliki kecenderungan tawar hati di masa lansianya. Gereja dapat mengambil peran secara maksimal melalui diakonia transformatif kepada lansia untuk dibangun menjadi manusia batiniah yang kokoh dalam iman kepada Kristus. Sehingga senada dengan kesaksian Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami

semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari hari ke sehari” (2 Korintus 4:16).

Pendampingan yang penuh kehati-hatian dan sepenuh hati atas konteks lansia yang unik harus diupayakan dan dihadirkan oleh gereja. Pelayanan dan pendampingan yang bukan sekedarnya, asal terselenggara. Tantangan akan konteksfisik,psikisdanspiritualtidak sama dengan generasi sebelumnya. Belum lagi bonus tantangan akan perubahan lokal maupun global yang tak jarang membuat gelagapan semua pihak.

Pengalaman GKI Klaten ini hanyalah salah satu praksis kecil yang jauh dari sempurna, tetapi menjadi gambaran akan tindakan proaktif gereja yang dengan segenap hati hadir di dalamnya. Kepekaan akan kebutuhan dan perubahan yang dijawab dengan hati maka percaya bahwa Tuhan akan memperlengkapi. Guna mengembangkan pelayanan khusus bagi lansia ini, GKI Klaten sudah dalam proses pembebasan lahan dan bangunan yang ke depannya akan dibangun menjadi Wadah Pelayanan Lansia Terpadu yang didalamnya juga dipersiapkan pelayanan panti Werdha. Tentu sebuah kerinduan dari hati jemaat dalam rangka mengemban misi Allah semata. Kiranya dianugerahkan hati seperti hati Kristus yang penuh belas kasih.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 22

PENGANTAR.

Pandemi telah membuat kelompok usia lanjut (Lansia) menjadi perhatian khusus karena kerentanan fisik yang dialaminya. Lansia yangbiasa saya sebut mengalami 5 (lima) K : Kesepian, Kehilangan, Kekosongan, Kekuatiran, Kekecewaan. Kini bertambah dengan 1 (satu) K lagi, yaitu Kebingungan. Bingung karena tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat : Prokes telah membatasi gerak dan aktivitas para lansia. Menurut dosen Psikologi Lanjut Usia pada Fakultas Psikologi UI, Lathifah Hanum, pandemi yang panjang rentan memicu stres pada lansia. Meski ada teknologi, tetap tidak bisa memuaskan kebutuhan sosialnya, karena hanya sebentar bertemu lewat udara.

Tulisan ini berupa sharing pelayanan yang saya lakukan selama pandemi terhadap jemaat lansia. Dan juga membaca situasi pandemi yang banyak dialami para lansia. Dalam pengamatan saya, mereka butuh bisa berkomunikasi secara langsung dan tatap muka dari pada hanya mendengar lewat telephone, video call atau mengikuti zoom meeting. Ternyata tidak semua bisa melakukannya karena tidak tersedia sarananya atau tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi. Saya menyediakan waktu buat satu atau dua orang

P E N G A P L I K A S I A N

setiap hari maksimal setengah jam untuk bisa berbincang-bincang menceriterakan pengalaman mereka. Tiap hari saya kirim Renungan atau Kata-kata Hikmat dari Firman Tuhan. Sesekali saya berkunjung ke rumah mereka dengan prokes yang ketat untuk mengobati kerinduan mereka bertemu dengan pembimbing rohaninya. Kesimpulan saya adalah banyak jemaat lansia yang mengalami kebingungan karena batasan-batasan yang ketat dibanding yang lebih muda. Dari sinilah muncul gagasan-gagasan baru apa yang akan kita lakukan setelah pandemi selesai dan kita masuk dalam tatanan baru.

LANSIA DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI

Sampai dengan tahun 2045 penduduk Indonesaia kira-kira akan mencapai 306 juta dan kita akan menghadapi populasi penduduk menua yang semakin besar. Saat ini 1 dari 12 orang penduduk

jemaatlansiadalamtatananbaru

Pdt. Em. Andreas Gunawan Prijono

p e n d a m p i n g a n p a s t o r a l j e m a a t l a n s i a :

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 23

- Brasil, ada sebuah Panti Wreda yang menciptakan “Bilik Pelukan” agar para lansia aman bertemu dengan anggota keluarga mereka.

- Perancis, sebuah Panti Wreda menyediakan ”Tenda Gelembung” untuk memfasilitasi pertemuan para lansia dengan keluarganya.

- Finlandia, sebuah Panti Wreda dibangun bersebelahan dengan Sekolah Dasar, agar para penghuni Panti bisa berinteraksi dengan anak-anak sekolah tersebut. Kegiatan mereka antara lain : opa/oma mengajar anak-anak berbahasa, berceritera tentang pengalaman masa lalunya yang diwariskannya berupa nilai-nilai kehidupan, tradisi, sejarah kepada anak-anak untuk masa depan mereka.

Juga ada Pusat Layanan Lansia Terpadu, disediakan secara gratis seperti Pusat Kebugaran, Perpustakaan, Studio Kriya, Pojok Musik, Aktivitas Budaya.

MITOS VERSUS IMAN

Mitos adalah kepercayaan yang belum diuji kebenarannya tetapi dipercaya secara turun temurun. Kalau kita mau meningkatkan pelayanan untuk jemaat lansia, maka mitos-

Indonesia adalah warga usia lanjut. Setelah bonus demografi berakhir pada 2030, jumlah wargalansia diperkirakan akan mencapai 41 juta orang.Perubahan budaya dan kemajuan teknologi akan membuat semakin banyak warga lansia yang tinggal sendiri.

Di luar negeri dengan budaya yang berbeda, hidup terpisah dengan orang tua sudah dimulai sejak usia muda. Jadi ketika memasuki usia lanjut, tidak ada masalah dengan kesendirian karena orang-orang usia lanjut akan bergabung dalam komunitas yang sebaya. Dan bagi mereka, Panti Wreda adalah tempat yang terbaik untuk masa depan yang bahagia karena bisa berkumpul dengan banyak orang yang sebaya umurnya. Bandingkan dengan Indonesia yang begitu kuat tradisi hidup kekeluargaan dan tali persaudaraan diantara anggota keluarga, maka keterpisahan menjadi keterasingan. Memindahkan anggota keluarga ke Panti Wreda dianggap tidak membalas budi orangtua bahkan distigma telah menterlantarkan atau ”membuang” orangtuanya sendiri.

Inilah cara Pendampingan dan Pengelolaan orang Lansia dibeberapa negara yang saya baca, antara lain :

Photo by Vlad Sargu on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 24

mitos yang bertebaran disekitar lansia harus kita hadapi dengan iman yang teguh, bukan terus dipegang sebagai kebenaran. Beberapa contoh mitos tersebut antara lain:

1. MENJADI TUA ITU BERBEDA. Beda dimaknai berlawanan bukan keindahan. Efesus 2 : 19.

2. MENJADI TUA MENAMBAH BEBAN KELUARGA.Samuel cukup mandiri dan tidak memberati bangsa yang dipimpinnya . 1 Samuel 12 : 4.

3. MENJADI TUA SAMA DENGAN TIDAK BERDAYA. Kaleb berkata aku masih sama kuat seperti dulu. Yosua 14 : 11.

4. MENJADI TUA ITU SULIT DIATUR. Lansia bisa menjadi teladan karena memiliki roh ketertiban. Titus 2 : 1-5.

5. MENJADI TUA TIDAK LAGI BISA BERSUKACITA.Tua identik dengan menangisi masa lalu dan takut menghadapi masa depan. Hati yang gembira adalah obat. Amsal 17 : 22.

6. MENJADI TUA TIDAK BUTUH CINTA DAN DICINTA. Jangan membuang aku pada masa tuaku, jangan meninggalkan aku apabila kekuatanku habis. Mazmur 71 : 9.

7. MENJADI TUA SAMA DENGAN GUDANG PENYAKIT. Meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot,namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. 2 Korintus 4 : 16.

Mitos menghambat orang lansia makin produktif ,sebaliknya malah melemahkan mereka. Futurist Barbara Marx Hubbard berkata: ”The future exists first in imagination, then in will, then in reality” Menuju tatanan baru dalam mengelola /mendampingi lansia harus dimulai dengan imajinasi. Langkah kedua adalah kehendak mengubah lansia menjadi produktif. Dengan melihat lansia sebagai aset, maka kita bisa terus menggali potensinya sampai semuanya menjadi nyata. Cara ini akan menggugurkan mitos yang selama ini menjadi stigma bagi lansia. Firman Tuhan :“Sampai masa tuamu Aku tetap Dia, dan sampai masa putih rambutmu,Aku menggendong kamu. Aku telah melakukan dan

mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu” Yesaya 46 : 4.

PENDAMPINGAN LANSIA DALAM IMAJINASI.

Melihat kenyataan yang terjadi selama pandemi, maka kita harus mulai mengevaluasi pelayanan bagi jemaat lansia. Didukung oleh perkembangan teknologi yang maju,kita majukan juga pelayanan dan pendampingan bagi jemaat lansia dengan kurikulum dan materi-materi pembinaan yang mengubah hidup dan hati mereka. Dari merasa tidak berharga, terbuang,tidak terpakai lagi berubah menjadi orang lansia yang tetap produktif dan bermakna dalam hidupnya.

Peluang pelayanan yang terpadu akan membuat jemaat lansia menjadi jemaat yang diperhitungkan, dihargai dan tetap memuliakan Tuhan di hari tua mereka.

Imajinasi yang saya pikirkan antara lain adalah :

1. MENGGERAKKAN. Gereja memotivasi jemaat lansia tentang pentingnya memiliki semangat hidup dan iman yang makin dekat Tuhan. Mulailah dari yang sederhana.

2. MEMPERSEKUTUKAN. Jemaat lansia dipersekutukan dengan Tuhan dan dengan sesamanya. Persekutuan tidak harus dalam jumlah banyak, tetapi yang utama adalah hidup dalam kebersamaan dengan akrab, santai dan bermanfaat.

3. MENGISI HIDUP SEUTUHNYA. Pelayanan yang menyeluruh meliputi : Olah Raga, Olah Pikir dan Olah Batin. Jasmani sehat, Pikiran segar, Rohani kuat.

4. PELAYANAN MODEL “ORANG SAMARIA” Tidak hanya kebutuhan rohani, tetapi juga memperhatikan kebutuhan jasmani, terutama mereka yang hidup sederhana dan butuh pertolongan di hari tua. Hidup saling menolong dan membantu.

5. MEMBERI MAKANAN ROHANI BERGIZI. Ada spesifikasi bahan-bahan renungan ataupembinaan rohani yang mudah dicerna, enak

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 25

didengar dan relevan sesuai dengan kondisi mereka.

MENGGALI POTENSI JEMAAT LANSIA.

Kita dipanggil untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi. Perintah dan sarana yang diberikan Tuhan ini harus kita padukan untuk dapat menggali potensi yang masih ada di hari tua.

Catatan yang saya berikan adalah sebagai berikut :

1. UNTUK TUHAN JANGAN BERIKAN YANG SISA-SISA, TETAPI APA YANG BELUM DIBUAT KITA PERSEMBAHKAN BAGI KEMULIAAN-NYA. Apa yang ketika muda belum sempat kita lakukan karena kesibukan kerja dan mengurus keluarga, kini saatnya untuk dimunculkan ke permukaan.

2. TALENTA DAN KARUNIA JANGAN DIPADAMKAN. Talenta itu bisa dipelajari, sedang karunia datang dari Tuhan. Yang sudah pernah dilakukan tetap dilanjutkan sesuai dengan kemampuan yang masih ada.

3. WAKTU LUANG YANG LEBIH PANJANG. Manfaatkan waktu luang untuk hal-hal yang positif dan bermakna. Membuat kesibukan yang berguna adalah cara yang paling baik untuk membunuh ”kesepian dan kebingungan”

4. BERKARYA SEBAGAI SEBUAH KEBANGGAAN.Singkirkan pikiran negatip yang berkata habis manis, sepah dibuang. Tuhan tidak pernah membuang walaupun kita tua.

5. KOBARKAN SEMANGAT HIDUP BERSAMA KRISTUS. Mengantisipasi hari-hari yang makin mendekat untuk diam bersama Kristus. Hidup ini adalah kesempatan untuk melayani Tuhan.

PENUTUP.

Sebagai penutup saya cuplikkan pengalaman Victor Frankl, seorang korban kekejaman tentara Nazi. Frankl menciptakan terapi psikologi bagi orang-orang yang kehilangan arti hidupnya.Dia mengatakan “Orang dapat bertahan dalam penderitaan karena memiliki ARTI, MAKNA dan

HARAPAN.” Kita beri arti dan makna hidup kita dan arahkan pengharapan kita kepada Tuhan agar kita dapat bertahan dalam iman.

Kita ubah 6-K :

Kesepian,

Kehilangan, Kekuatiran,

Kekosongan,

Kekecewaan

dan Kebingungan

Menjadi 5-K :

Kemerdekaan,Keberuntungan, Kebahagiaan,

Keimanan, dan Kesempatan.

Dengan memiliki hati seperti hati

Kristus, kita bisa mempersembahkan

hidup yang terbaik untuk Tuhan.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 26

S H A R I N G

pendampingan pastoral dalam membangun spiritualitas di tengah pandemi covid 19 bagi jemaat dan keluarga gki sangkrah

A. PENGANTAR

Ketika kasus positif Covid 19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada 2 Maret 2020 viral di mediasosial,dimanaadaduaorangterkonfirmasitertular dari seorang warga negara Jepang, tentu menimbulkan kekagetan yang luar biasa. Lalu pemerintah merapkan social distancing dan physical distancing, maka dengan demikian kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak orang dan bersifat tatap muka harus dibatasi dan dilakukan di rumah, seperti beribadah, bekerja, belajar, berolah raga dan seterusnya. Saat itu juga Majelis Jemaat GKI Sangkrah merasa harus berpikir cepat dan bertindak cepat. Majelis Jemaat GKI Sangkrah bertekad menjaga dan melindungi jemaat sedemikian rupa agar kalau bisa tidak seorangpun yang terpapar, apalagi memakan korban nyawa. Seperti Tuhan kita Yesus Kristus yang membela kehidupan, maka kami juga berusaha keras untuk memperjuangkan kehidupan. Sedini mungkin kami ingin mencegah penularan Covid 19 terjadi di tengah-tengah jemaat. Oleh karena itu, mulai Minggu, 22 Maret 2020, GKI Sangkrah sudah tidak lagi mengadakan ibadah tatap muka, melainkan secara daring sambil terus memantau perkembangan situasi penyebaran Covid 19 di

Solo dan sekitarnya, Jawa Tengah dan Indonesia.1

Lantas bagaimana dengan kegiatan penggembalaan lainnya? Awal mula, yaitu mulai di akhir Maret 2020 hampir semua kegiatan terhenti. Tidak dilakukan baik secara daring, apalagi tatap muka. Seolah semua menjadi lumpuh.2 Satu-satunya yang menjadi perhatian kala itu adalah bantuan sosial kepada anggota jemaat dan masyarakat, yaitu nasi bungkus, masker, wastafel, sabun cuci tangan, memberikan ruang kecil lapangan pekerjaan bagi beberapa orang dengan cara memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyediakan masker dan akan dihargai oleh gereja; telemedicine yang belum terorganisir dengan rapi kepada anggota jemaat yang terpapar. Tidak ada Pendalaman Alkitab, latihan paduan suara, rapat-rapat, dan konsultasi (hanya sesekali via daring maupun onsite, tergantung situasi).

1 Keputusan terkait ibadah secara luring dan onsite selalu melihat perkembangan penularan Covid 19 dan kebijakan pemerintah. Jadi bukan keputusan yang paten..2 Saat itu terasa buntu. Meski ada pemikiran-pemikiran tentang menggunakan teknologi informasi (digital ministry), namun belum mendapat gambaran jelas apa yang bisa dilakukan dan disusun secara terorganisir baik.

Pdt. Erny Stienje Sendow Pendeta GKI Basis Pelayanan GKI Sangkrah, Solo

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 27

Perkunjungan onsite juga terhenti. Ada rasa galau yang sulit diucapkan terhadap situasi di atas. Hati ditantang untuk memikirkan caranya agar jemaat tetap dapat di gembalakan untuk semua hal (jasmaninya dan spiritualitasnya) dengan baik di masa-masa sulit seperti itu.

Kesadaran bahwa bagaimanapun keadaannya jemaat harus tetap digembalakan bahkan justru ketika dalam situasi yang amat sulit, penggembalaan terhadap jemaat seharusnya semakin menjadi prioritas untuk menghiburkan, menguatkan, meneguhkan, menopang, menjadi sahabat dalam perjuangan hidup yang berat, dan menjaga serta mengarahkan iman mereka agar tetap terarah dan berpengharapan kepada KristusYesus.SepertiyangfirmanTuhandidalamYehezkiel 34:14-16,

di padang rumput yang baik akan Kugembalakan mereka dan di atas gunung-gunung Israel    yang tinggi di situlah tempat penggembalaannya; di sana di tempat penggembalaan yang baik mereka akan berbaring dan rumput    yang subur menjadi makanannya di atas gunung-gunung Israel. Aku sendiri akan menggembalakan domba-domba-Ku dan Aku akan membiarkan mereka berbaring, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya. (Yeremia 34:14-16)

Berjalannya waktu, ketika kita masih berada dalam turbelensi penularan dan keadaan pandemi Covid 19 dengan akibat-akibatnya, perlahan GKI Sangkrah mulai berbenah diri. Mulai mengatur strategi untuk mendampingi jemaat dengan sedikit lebih rapi.

B. PENDAMPINGAN PASTORAL DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS JEMAAT GKI SANGKRAH DI TENGAH PANDEMI COVID 19

Agar spiritualitas jemaat tetap terpelihara dan berkembang dengan baik di tengah pandemi Covid 19, maka Majelis Jemaat GKI Sangkrah mulai menata kegiatan-kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah:

1. Ibadah Minggu

Ibadah Minggu dilakukan secara daring melalui live streaming dengan tayangan menggunakan dua sistem, yaitu : siaran langsung dan siaran tunda. Siaran langsung yaitu ditentukan hari dan jam sesuai jam ibadah di GKI Sangkrah dan langsung siarkan melalui kanal youtube GKI Sangkrah. Siaran tunda, yaitu ditentukan hari dan jam tertentu untuk direkam ibadahnya dan disiarkan melalui kanal youtube GKI Sangkrah pada waktu yang ditentukan.

Harapannya jemaat di rumah dan dimanapun dapat mengikuti ibadah sehingga relasi dengan Tuhan tetap terpelihara.3

2. Renungan Harian (RH) Biasanya ketika tidak pandemi, jemaat berseliweran datang ke gereja, berkegiatan ini dan itu untuk pertumbuhan iman atau pengembangan spiritualitas mereka (doa pagi, PA kelompok ini dan itu, latihan paduan suara, latihan kulintang, latihan angklung, dan lain sebagainya). Untuk menggantikan hari-hari jemaat yang sibuk itu agar iman tetap terpelihara dan hati diisi, maka dibuatkan kegiatan Renungan Harian (selanjutnya di tulis RH). Para pendeta secara bergilir mengisinya. Tiap hari. Sebelumnya RH di rekam, di edit oleh sebuah tim digital4, kemudian di render dan di upload di kanal youtube GKI Sangkrah tiap pagi jam 5 subuh untuk dinikmati oleh jemaat.

Proses rekaman bermacam-macam: para pendeta dapat merekam sendiri,

3 Meski relasi dengan sesama sebagai salah satu tujuan persekutuan tidak dapat berjalan baik kare-na tidak ada pertemuan dan hanya satu arah, yaitu hanya berhadapan dengan layar hp, laptop, atau tab. Namun kiranya persekutuan dengan anggota keluarga dapat berjalan dengan baik.4 GKI Sangkrah memiliki sebuah tim pelayanan di bidang digital, yang disebut Digital Technology Ministry (DTM).

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 28

atau di fasilitasi oleh tim DTM di atas. Kalau difasilitasi oleh tim DTM, maka para pendeta bisa rekam di gereja atau tim DTM datang ke pastori untuk recording. Juga melibatkan mahasiswa teologia yang sedang praktek atau Kader GKI yang diminta bantuan pelayanan (banpel).

Harapannya jemaat didampingi oleh Firman Tuhan tiap-tiap hari dari pengerjanya sendiri di masa-masa sulit karena pandemi Covid 19 dan akibat-akibatnya. Firman Tuhan yang menghiburkan, menguatkan, meneguhkan, menegur, memberikan hikmat dan memberikan arah ke jalan yang Tuhan berkenan.

3. Renungan Voice Note

Renungan harian melalui voice note dilakukan semasa masa raya Paska 2021. Yang memberikan renungan adalah para pendeta, mahasiswa praktek atau bantuan pelayanan, dan anggota panitia Paska 2021. Renungan yang diberikan sangat pendek. Durasi 3 menit (meski kadang-kadang lebih dari 3 menit) sudah dengan sapaan awal, doa pembuka, membaca ayat Alkitab, refleksi singkat sesuai ayat,doa penutup dan kata-kata penyemangat untuk senantiasa berbuat baik (kadang disertai peringatan untuk prokes).

Renungan voice note singkat untuk memfasilitasi anggota jemaat yang menginginkan renungan dengan metode yang praktis, singkat dan tidak menelan kuota data internet yang besar.

4. Pendalaman Alkitab (Pendaki)

Pendalaman Alkitab ini seolah menyatukan sekian banyak kelompok pendalaman Alkitab yang ada di GKI Sangkrah. Semacam satu group besar. Yang tadinya pendalaman Alkitab dilakukan di wilayah-wilayah, namun karena pandemi terhenti, dan selama pandemi ini pendalaman Alkitab digabung menjadi satu kelompok saja (kecuali remaja dan pemuda membuat

PA sendiri, meski ada juga personil pemuda atau remaja yang kadangkala/pernah mengikuti pendaki).

Di sebut pendaki karena meski kita sedang berada di tengah peperangan melawan pandemi Covid 19, namun jemaat tetap di fasilitasi agar kehidupan imannya kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus tetap terpelihara bahkan mendaki. Artinya semakin hari semakin meningkat. Semakin baik. Semakin dewasa. Semakin serupa dengan Kristus.

Kegiatan pendaki tersebut dinanti-nantikan oleh jemaat selain alasan spiritualitas - vertikal di atas, namun juga alasan spiritualitas – horisontal, yaitu wadah persekutuan. Wadah pertemuan jemaat secara umum, multi lintas. Oleh karena menggunakan media zoom meeting, jemaat dapat saling melihat wajah, saling mendengar suara dan bisa dalam jumlah banyak orang. Ada penghiburan tertentu.

Pendaki menggunakan metode dari Thomas Groome, yaitu Shared Christian Praxis. Para peserta diharapkan terlibat aktif dalam refleksi sehingga semakinsemangat beriman kepada Tuhan dan juga berbuah manis dalam wujud karya kasih kepada sesama.

5. Home Visit

Home visit ini adalah perkunjungan kepada anggota jemaat. Perkunjungan dilakukan oleh pendeta dan penatua. Formasi satu orang pendeta didampingi oleh dua orang penatua. Jadwal home visit diatur bersama oleh Komisi Permerhati, para pendeta dan penatua. Sedangkan jemaat yang akan dikunjungi jadwalnya di atur oleh Komisi Pemerhati, kemudian diinformasikan kepada masing-masing pendeta. Lalu para pendeta kemudian berkoordinasi (melalui group whatsapp sementara) dengan penatua terjadwal dan anggota jemaat yang akan dikunjungi. Kegiatan ini juga mengikutsertakan mahasiswa praktek

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 29

atau banpel.

Home visit diprioritas kepada anggota jemaat yang sudah lansia. Perkunjungan menggunakan berbagai media informasi, yaitu : zoom meeting, video call, wacall, dan telpon. Jika lansia yang bersangkutan tidak dapat menggunakan perangkat teknologi informasi jaman sekarang, maka difaslitasi oleh anaknya, contoh menggunakan HP anaknya. Home visit dilakukan untuk memantau kondisi jemaat lansia dan memberikan dukungan semangat.5

6. Perkunjungan (Perhatian) Kepada Yang Sakit

Secara prinsip pelayanan pendampingan kepada yang sakit tetap dilakukan, namun secara daring, yaitu melalui pesan Whatsapp (WA), Video Call (VC), WA-Call, Voicenote dan telpon. Kepada yang terpapar Covid 19 rulenya jelas yaitu pelayanan daring. Sedangkan yang sakit bukan karena Covid 19 juga dilakukan secara daring, namun fleksibel karena dalam situasi tertentudapat dilakukan secara tatap muka, seperti pendeta dan tim kunjung besuk dan doakan di rumah sakit atau rumah. Tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan di masa pandemi Covid 19 dengan ketat. Perkunjungan kepada anggota jemaat yang sakit agar jemaat tetap dapat dikuatkan dan tidak merasa berjuang sendirian tanpa kawan di saat sulit.

7. Konseling Pastoral

Pelayanan konseling pastoral kepada anggota jemaat dilayani secara onsite dan daring. Onsite karena kadangkala masih ada tatap muka di gereja ataupun di pastori dengan menerapkan prokes. daring dengan waktu dan tempat yang lebih fleksibel. Menggunakan pesan whatsapp, WA-call, Video Call (VC), dan telpon.

5 Ketika penularan Covid 19 melandai, dilakukan perkunjungan kepada lansia sehat maupun sakit secara tatap muka.

8. Pelayanan Kedukaan

Pelayanan kedukaan tetap dilakukan. Hanya saja SOP diatur dan diubah sesuai situasi.

Pelayanan kedukaan bukan karena Covid 19:

- Dilakukan secara tatap muka di rumah duka.

- Dilayani tutup peti, penghiburan dan pengantaran jenazah sampai ke tempat pemakaman atau kremasi (krematorium).

- Dapat juga menggunakan link zoom meeting.

- Menerapkan prokes dengan ketat:

· Semua alat di bawa dari gereja (mic khusus untuk pendeta, keyboard dan perangkatnya, buku nyanyian, tidak memakai mic bergantian dengan orang lain, speaker, dan lain-lain).

· Dalam keadaan sudah disteril. Sebelum masuk ke mobil, baik orang maupun barang/alat disteril di luar mobil.

· Sedapat-dapatnya tidak menyentuh hal-hal di rumah duka.

· Dilakukan dengan singkat.

· Pendeta menggunakan masker, faceshield, (bila perlu sarung tangan).

· Tim duka tidak berhimpitan di dalam mobil. Oleh karena itu, dapat menggunakan beberapa mobil untuk mengantar tim kedukaan.

Pelayanan kedukaan karena Covid 19 :

Pelayanan tidak dilakukan secara tatap muka, melainkan melalui beberapa media informasi, yaitu zoom meeting, Video Call (VC), WA-Call, dan

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 30

telpon.

Tergantung koordinasi dengan keluarga yang berduka. Kalau melalui zoom meeting, maka liturgi cukup lengkap namun singkat dan padat. Link zoom meeting disiapkan oleh gereja. Tetapi jikalau menggunakan videocall, wacall, dan telpon dilakukan dengan singkat, seperti hanya doa saja atau doa dan formulir pemakaman/kremasi .

9. Katekisasi

Pelaksanaan katekisasi Baptis/Sidi tetap berlangsung melalui zoom meeting. Meski pandemi, namun banyak peserta. Cukup banyak peserta yang berasal dari gereja Katolik dan kharismatik. Hal ini terjadi, salah satu alasannya karena pernikahan. Beberapa kasus pasangan calon pengantin kedua-duanya bukan anggota GKI Sangkrah maupun GKI lainnya. Namun memilih untuk menikah di GKI Sangkrah dan terlebih dahulu mengikuti katekisasi. Hal tersebut terjadi karena yang anggota gereja Katolik tidak mau pindah ke gereja kharismatik dan yang anggota gereja kharismatik tidak mau pindah ke gereja Katolik. Jalan tengahnya adalah keduanya pindah dan masuk menjadi anggota GKI Sangkrah. GKI Sangkrah menjadi gereja alternatif. Mereka memutuskan pindah ke GKI Sangkrah setelah mereka mengikuti ibadah GKI Sangkrah baik secara onsite maupun daring.

Katekisasi daring GKI Sangkrah terbuka bagi anggota gereja lain untuk mengikutinya, jika ingin belajar mengenal Tuhan. Seperti contoh, ada anggota jemaat gereja Katolik yang ikut kelas katekisasi karena ingin lebih mengenal gereja Protestan.

10. Bina Pranikah

Bina pranikah dilaksanakan satu tahun dua kali. Seperti saat sebelum pendemi. Hanya metodenya yang berubah dan beberapa kebiasaan dihilangkan. Media yang digunakaan adalah zoom meeting.

Retret bina pranikah yang biasanya ada, namun dalam masa pandemi ini kegiatan tersebut ditiadakan.

Bina pranikah terbuka untuk pasangan calon mempelai dari gereja manapun dan dari tempat manapun6 untuk mengikutinya dengan beberapa syarat, yaitu pendeta jemaat yang bersangkutan mengontak PIC (Person in Charge) dari GKI Sangkrah untuk memberitahukan identitas calon mempelai yang akan mengikuti bina pranikah; bersedia mengikuti dengan serius dan full pertemuan; tepat waktu; membuka video selama proses pembinaan, dll. Dalam pengalaman banyak pasangan dari lintas gereja yang ikut.7

11. Ibadah Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan

Pelaksanakan pelayanan ibadah peneguhan dan pemberkatan pernikahan tetap dilakukan dengan mengiktui prokes dari pemerintah, seperti jumlah orang yang hadir (calon mempelai, petugas liturgi, petugas pendukung lainnya), kapasitas ruangan, jarak duduk, penggunaan masker, tes suhu, mencuci tangan, dsb.

Pelayanan ini memiliki tantangan tersendiri, yaitu memberikan penjelasan kepada calon mempelai dan keluarga terkait peraturan/keputusan pemerintah terkait prokes ibadaha pernikahan di masa pandemi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bahwa gereja mempersulit dan kemudian menjadi sakit hati terhadap gereja, terlebih-lebih di masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau PPKM (Pembelakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

6 Pernah terjadi salah seorang calon pengantin adalah anak buah kapal (ABK) sehingga ia mengikuti Bina Pranikah dari kapal di tengah laut.7 Peserta Bina Pranika dari berbagai gereja GKI dan juga Sinode lain, seperti GPIB.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 31

12. Percakapan Pernikahan

Percakapan pernikahan sebelum pewartaan dan pelaksanaan ibadah peneguhan dan pemberkatan pernikahan dilakukan secara daring, yaitu melalui zoom meeting. Pendeta, penatua terjadwal dan calon mempelai berkoordinasi melalui group Whatsapp sementara untuk menyepakati atau sekedar saling memberikan informasi terkait jadwal pertemuan percakapan pernikahan.

13. Satgas Covid 19 GKI Sangkrah

Pada Maret 2020, dibentuk tim tanggap Covid 19 GKI Sangkrah. Bergerak di bidang pelayanan seperti yang telah di jelaskan di bagian pengantar di atas.

Namun, pada Juni-Juli 2021 melihat perkembangan Covid 19 yang semakin mengganas ditandai dengan begitu banyak korban yang terpapar bahkan menelan nyawa yang terus-menerus, GKI Sangkrah segera membentuk Tim Satgas Covid 19 GKI Sangkrah. Anggota tim ini terdiri dari para pendeta, penatua, para dokter, dan aktivis. Tim ini segera mengerjakan beberapa hal, yaitu :

a. Pendataan Penyintas Covid 19

Mendata anggota jemaat penyintas Covid 19, yaitu mereka yang sedang isolasi mandiri, yang sedang dalam perawatan dan post perawatan Covid 19 yang dinyatakan sembuh dan isoman.

b. Transfusi Konvalesen

- Berbagi Informasi tentang Donor Plasma Konvalesen.

- Mendata anggota jemaat yang membutuhkan transfusi konvalesen.

- Mencari pendonor untuk transfusi konvalesen secara manual melalui group-group whatsapp (WA) maupun pribadi, bahkan kemudian membuat google form untuk mendata anggota

jemaat yang pernah terpapar dan dapat memberikan donor konvalesen.

- Menjadi penghubung antara pasien dan keluarga pasien di satu sisi dan calon pendonor di sisi lain, jika calon pendonor siap untuk mendonorkan konvalesennya, namun tidak memiliki biaya untuk tes PCR sebagai bukti ke-negatif-annya. Barangkali keluarga yang terpapar Covid 19 bersedia membiayainya karena kondisi ekonomi yang bersangkutan mumpuni.

- Bekerja sama dengan PMI kota Solo dan berbagai pihak.

c. Peminjaman Alat Medis

Menyediakan dan meminjamkan tabung oxygen, oxymeter dan termometer (selama persediaan ada) kepada anggota jemaat yang membutuhkan saat isolasi mandiri (isoman).

d. Konsultasi Telemedicine

- Berfokus kepada kebutuhan kesehatan jasmani. Sedangkan masalah psikologi dan spiritualitas dihandle oleh para pendeta.

- Pasien Covid 19 atau keluarga dapat berkonsultasi dengan para dokter mengenai kondisi mereka agar mendapatkan bantuan, diantaranya arahan seperti apa yang harus dilakukan saat isoman, pemeriksaan laborat, dan pemberian obat/resep obat-obatan serta alat-alat medis.

- Membuat sosialisasi yang mengedukasi jemaat mengenai bermacam-macam hal terkait Covid 19, seperti: arahan untuk orang yang baru saja terdeteksi Covid 19, apa yang harus dilakukan saat isoman, dan seterusnya.

- Membuat jadwal konsultasi para dokter.

- Terbuka untuk umum. Tidak hanya

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 32

untuk anggota jemaat.

e. Bantuan Obat-obatan dan Vitamin

- Bekerja sama dengan klinik kesehatan GKI Sangkrah di dalam menyediakan obat-obatan dan vitamin-vitamin penunjang, khusus terkait dengan Covid 19.

- Berdasarkan resep dari dokter, mengirimkan obat-obatan dan vitamin-vitamin kepada pasien isoman.

f. Bantuan Makanan

- Pasien isoman, diberikan makanan dan cemilan pendukung untuk kesehatan mereka. Baik yang ekonominya mumpuni maupun kurang mumpuni sebagai wujud perhatian dan dukungan gereja.

- Mengirimi makanan atau memesankan katering.

- Mengirimi bahan makanan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti kantong kresek, odol, sabun cuci baju, sabun mandi, shampoo, dan lain-lain.

Dalam tim satgas tersebut, keberadaan anggota jemaat yang berprofesi sebagai dokter sangat membantu dalam situasi ini. Begitu juga anggota jemaat yang mempunyai link yang luas dalam masyarakat (link ke pemerintah, link ke perkumpulan-perkumpulan dalam masyarakat) sangat membantu kelancaran memberikan pertolongan kepada penyintas Covid 19.

Photo by chris montgomery on Unsplash

Photo by jacob bentzinger on Unsplash

Demikin kegiatan-kegiatan penggembalaan yang dilakukan GKI Sangkrah di tengah masa pandemi Covid 19 sejak Maret tahun 2020 sampai tahun 2021.

C. PANDANGAN KRITIS DAN PENUTUP

Pandangan kritis berisi pernyataan dan pertanyaan kritis mengenai pergumulan akan pelayanan-pelayanan di masa pendemi dengan perubahan-perubahannya, terutama terkait dengan pelayanan onsite dan daring. Meskipun tampaknya kita cepat beradaptasi dengan situasi, namun masih terasa gamang. Oleh karena bergereja secara onsite masih sangat di gemari, diharapkan, dirindukan dan lebih dapat mengikat batin anggota jemaat terhadap Tuhan, sesama dan kegiatan-kegiatan bergereja itu sendiri. Itu sebabnya, kegiatan/pelayanan daring terasa masih meninggalkan ruang kosong di dalam hati/diri jemaat. Tetapi bersamaan dengan itu, kenyataannya ketika diadakan ibadah onsite, meski masih dibatasi, namun banyak juga anggota jemaat yang memilih daring, padahal ia bisa memilih onsite. Pertanyaan yang meresahkan adalah apakah pelayanan-pelayanan daring yang dilakukan sekarang ini, sudah memadai? Apakah seperti ini pelayanan daring dalam kehidupan bergereja? Ataukah ada sesuatu yang lain yang harus sungguh-sungguh kita cari, kita temukan dan kita “ciptakan?” Tuhan menolong kita.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 33

Gereja kristenberbahasa indonesiadi kuala lumpur malaysia

Gereja Kristen Berbahasa Indonesia (GKBI) merayakan ulang tahun setiap tanggal 7 Januari. Pada tahun ini, 2021, GKBI berusia empat tahun. GKBI menyadari dan mengakui penyertaan Tuhan sempurna.

Dengan kuasaNYA setiap kegiatan pelayanan GKBI dapat berjalan dengan baik dan teratur. Setiap orang Kristen yang mengunjungi Kuala Lumpur untuk bekerja atau liburan, yang tinggal di Kuala Lumpur dalam waktu singkat atau lama juga permanen, kiranya dapat terus merasakan kasih Tuhan melalui ibadah setiap minggu maupun kegiatan pelayanan lainnya yang dilakukan oleh GKBI.

Tuhan memperhatikan setiap kebutuhan anakNya. Hal makanan, minuman, tempat tinggal, pendidikan, bahkan

yang lebih penting dari itu Tuhan memperhatikan kebutuhan rohani setiap anakNya. Kebutuhan rohani adalah tetap melekat dan tetap bergantung padaNya. Kebutuhan ini adalah kebutuhan utama hidup manusia, karena hanya dengan demikian manusia bisa hidup dan diluar DIA tak ada satu hal pun yang bisa manusia lakukan (Yohanes 15 : 5b). Tuhan sangat mengetahui bahwa anak-anakNya yang merantau dari Indonesia ke Malaysia khususnya ke Kuala lumpur dan sekitarnya perlu tetap

S H A R I N G

Alamat : 29/31, Jalan Raja Chulan, 50200 Kuala Lumpur

Telepon : +60 17 629 3078

Website : www.gkbikl.church

Email : [email protected]

Instagram : https://www.instagram.com/gkbikualalumpur/

Facebook : https://www.facebook.com/Gereja Kristen Berbahasa Indonesia

YouTube : https://www.youtube.com/c/ Gereja Kristen Berbahasa Indonesia Kuala Lumpur

Penulis : Erni Hutasoit

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 34

menikmati kebutuhan rohani itu dan Dia sendiri mengatur, menjadikan, serta menyelenggarakan GKBI di Kuala Lumpur.

Indonesian Home Fellowship (IHF)

Diawali dari sekelompok kecil orang-orang Indonesia yang beribadah di Gereja St. Andrew Presbyterian Church Kuala Lumpur (SAPCKL). Mereka mengikuti kegiatan ‘home fellowship’ yang diadakan oleh Gereja SAPCKL berupa Bible study atau belajar Alkitab dengan pengelompokkan sesuai lokasi atau distrik berdomisili. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan home fellowship maka Gereja SAPCKL melalui seksi pelayanan home fellowship mengusulkan agar jemaat yang berasal dari Indonesia sebaiknya bersekutu bersama melalui wadah Indonesian Home Fellowship (IHF) dengan menggunakan bahasa Indonesia. Usulan dari Gereja SAPCKL ini disambut baik oleh orang-orang Indonesia dan kegiatan IHF pun dimulai. Dalam waktu cukup singkat, IHF ini bertambah-tambah jumlah orang Indonesia yang menghadirinya. Dari 5 keluarga (sekitar 15 orang dewasa dan anak-anak) yang menghadirinya di awal sampai akhirnya berjumlah sekitar 45 orang dewasa dan anak-anak.

Pada akhir tahun 2010, Gereja St Andrew Presbyterian Church Kuala Lumpur (SAPCKL) mengadakan Church Camp di Putrajaya dan orang-orang Indonesia yang terkumpul di dalam Indonesian Home fellowship (IHF) tadi turut serta berpartisipasi. Sampailah pada sesi Tanya Jawab dan memberi saran, ada seorang Pendeta yang datang menghampiri meja dimana orang-orang Indonesia berkumpul. Tanpa menyerah Sang Pendeta mendorong agar orang-orang Indonesia mengusulkan permohonan untuk diadakan kebaktian berbahasa Indonesia dalam rangkaian ibadah minggu di Gereja SAPCKL. Sungguh diluar pemikiran saat itu, sehingga reaksi yang muncul dari orang Indonesia yang berbicara dengan Sang Pendeta adalah sesuatu yang tampaknya tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin hal itu akan terjadi, siapa yang akan menjadi pengurus, bagaimana cara mengerjakan setiap pelayanan yang harus dilaksanakan, dan siapa yang akan memimpin jemaat. Namun Sang Pendeta terus memberikan dorongan dan akhirnya diusulkan,

serta mendapat tanggapan yang sangat baik dari Majelis Gereja SAPCKL.

Kebaktian Berbahasa Indonesia (KBI)

Akhirnya orang-orang Indonesia yang beribadah di Gereja SAPCKL boleh mengadakan ibadah pada hari minggu yang dijalankan dalam liturgi berbahasa Indonesia. Sejak mulainya ibadah dengan berbahasa Indonesia ini dapat dikatakan sebagai awal KBI dimulai, yaitu pada Tahun 2011. Pada awalnya ibadah dengan berbahasa Indonesia hanya dilaksanakan satu kali sebulan, dimulai pada bulan Januari Tahun 2011. Pada tahun 2012 dan tahun 2013 frekuensi ibadah bertambah, dalam periode ini KBI dilakukan dua kali dalam sebulan. Akhirnya, dengan semangat pelayanan dan juga jemaat orang Indonesia yang semakin bertambah, maka pada Tahun 2014 ibadah KBI dilakukan pada setiap hari minggunya. Ibadah ini dimulai pukul 17.00 waktu Kuala Lumpur.

Pada tahun 2014, para pelayan dalam KBI beserta dengan Majelis Jemaat St Adrew Presbyterian Church Kuala Lumpur (SAPCKL) menjajaki dan melakukan kerja sama melalui sebuah Memorandum of Understanding antara Gereja St Andrew Presbyterian Kuala Lumpur (SAPCKL) sebagai tempat Kebaktian Berbahasa Indonesia (KBI) dengan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) se-Indonesia. Bentuk kerja sama dari Sinode GKI adalah dengan mengirimkan Pendeta untuk melayani seluruh Kegiatan KBI baik itu ibadah hari minggu maupun berbagai program pelayanan lainnya seperti Home Fellowship, Women Fellowship dan Men Fellowship.

Gereja Kristen Berbahasa Indonesia (GKBI)

Pada tahun 2017 dengan dukungan Gereja SAPCKL, KBI mulai menjalani proses pendewasaan menjadi gereja yang mandiri. Dan akhirnya pada Tanggal 7 Januari 2018, Gereja Kristen Berbahasa Indonesia (GKBI) resmi berdiri ditandai dengan penerimaan keanggotaan GKBI oleh Sinode Gereja Presbyterian Malaysia (GPM). Sehingga pada tanggal 7 Januari ini diperingati setiap tahunnya sebagai hari ulang

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 35

tahun lahirnya GKBI.

Pada tahun 2018 dilakukan dan ditandatangani pula kerja sama melalui sebuah Memorandum of Understanding antara Sinode GPM dan Sinode GKI dan dilanjutkan pada tahun 2019 diadakan penandatanganan tata laksana kerjasama antara GKI dengan GKBI. Penandatangan ini membuat GKBI secara stuktural berada dalam pengawasan GPM dan secara pelayanan fungsional GKBI berada dibawah pengawasan GKI. GKBI terus melaksanakan kegiatan pelayanan kepada orang Indonesia yang berada di Kuala lumpur dan sekitarnya sampai saat ini, serta terus menikmati penyertaan Tuhan dengan tiada henti, baik melalui Sinode GKI yang terus mengirimkan Pendeta untuk melayani GKBI dan juga melalui Gereja SAPCKL yang terus memberikan ijin menggunakan gedung Gereja untuk ibadah setiap hari minggu. Sejarah terbentuknya GKBI menyatakan apa yang tertulis di Roma 11 : 36 “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia : Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” adalah benar.

Kebaktian di GKBI Kuala Lumpur

Kebaktian Ibadah Minggu di GKBI dilaksanakan satu kali pada hari Minggu setiap pukul 17.00 waktu Kuala Lumpur. Kebaktian sekolah minggu GKBI pun dilaksanakan satu kali pada hari minggu setiap pukul 17.00 waktu Kuala Lumpur.

Keunikan GKBI diantaranya adalah keragaman gereja asal para jemaat saat berada di Indonesia. Ada jemaat yang berasal dari Gereja Katolik, HKBP, GKPI, HKI, GKI, GBKP, GKPS, GBI, GKJ, Gereja Toraja dan lain sebagainya. Keragaman ini menjadi kekuatan dan sukacita tersendiri bagi GKBI. Keragaman ini membuat GKBI menjadi replika kecil dalam mengartikan hidup dalam kasih Tuhan dan hidup dalam persatuan. Saat melihat GKBI akan terasa seperti melihat Indonesia mini karena keragamannya. Kenyataan ke-Bhineka Tunggal Ika-an juga sangat terasa. GKBI juga tidak memiliki Pendeta tetap sebagai pemimpin jemaat. Sehingga secara berkala, setiap bulannya, Pendeta yang melayani di GKBI selalu berganti.

Pendeta yang melayani di GKBI secara berkala setiap bulan adalah Pendeta yang datang dari Indonesia yang ditugaskan oleh BPMS GKI.

Program Pelayanan Selama Pandemi

Semenjak Corona virus merebak di Malaysia dan setelah pemerintah memberlakukan pembatasan pergerakan, terasa sangat berdampak dalam kegiatan pelayanan yang dijalankan oleh GKBI dan tim pelayanannya. 18 Maret 2020 awal mula pembatasan pergerakan di keseluruahn Malaysia membuat jemaat harus berdiam diri di tempat tinggal masing-masing. Hal ini sangat membuat Majelis dan juga Jemaat merasa sangat tidak leluasa. Seiring berjalannya waktudankreatifitasdiasahsampaitingkatyangtidak terbayangkan, maka muncullah ide-ide pelayanan yang tetap dapat dijalankan meskipun pembatasan pergerakan masih berjalan.

1. Ibadah Online

Diawal mula pembatasan pergerakan yang dilakukan semenjak 18 Maret 2020, Majelis Jemaat GKBI mengambil keputusan untuk menjalankan ibadah secara online. Komunikasi dengan Pdt. Arlyanus Larosa membuat Majelis memutuskan untuk ikut beribadah secara online bersama Yayasan Komunikasi Bersama (YKB) GKI.

September 2020, Majelis memutuskan untuk menjalankan pelayanan GKBI secara mandiri untuk recording dan broadcast secara online dan disiarkan melalui media YouTube pertama kali. Dengan dukungan jemaat yang memiliki latar belakang di bidang Teknologi Informasi, maka dibentuklah tim IT yang sangat kooperatif dalam melakukan recording, editing dan broadcasting ibadah secara online.

2. Perkunjungan Virtual

Keberhasilan ibadah online semakin memacu ide-ide pelayanan lainnya yang dapat dilakukan selama pembatasan pergerakan yang masih berlangsung. Muncullah ide untuk pelayanan perkunjungan secara virtual. Perkunjungan ini dijadwalkan setiap Jumat

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 36

malam. Penatua yang bertanggungjawab untuk komisi perlawatan/perkunjungan/diakonia menginisiasi penjadwalan perkunjungan kepada jemaat bersama dengan 2 orang penatua. Antusiasme jemaat yang terkurung dalam pembatasan pergerakan ini membuat pelayanan perkunjungan online ini menjadi sangat terasa manfaatnya. Jemaat merasa mendapat perhatian, mendapat waktu untuk berbagi cerita dan menyampaikan permohonan doa. Jemaat GKBI sangat bersyukur masih dapat berdoa bersama walaupun melalui media virtual. Kegiatan pelayanan ini semakin mempererat tali persaudaraan yang ada diantara jemaat GKBI keseluruhan.

3. Hallo Apa Kabar

Disamping perkunjungan online, ide lain muncul lagi. Para penatua mendapat tugas untuk menyampaikan Call, SMS ataupun whatsapp text message kepada setiap jemaat paling tidak 1 kali dalam 1 minggu. Bertanya apa kabar dan menanyakan kondisi terkini kepada setiap jemaat yang telah dijadwalkan menjadi tanggungjawab dari penatua tersebut untuk dihubungi. Dari keseluruhan jemaat GKBI dibagi rata sesuai jumlah penatua yang ada. Kemudian para penatua menjalankan tugasnya untuk bertanya “Hallo, Apa Kabar ?”. Dari pelayanan ini, Majelis Jemaat sangat banyak mendapatkan informasi terkini dari setiap jemaat selama masa pandemik terjadi. Disamping rasa kekeluargaan yang semakin terasa, rasa diperhatikan masih terjalin, jemaat sangat bersyukur atas kepedulian sadari sebuah Gereja yang nyata dalam situasi yang masih sangat tidak terduga ini.

Program Pelayanan Regular di GKBI Kuala Lumpur

Sebelum Pandemi Covid-19 merebak di seantero dunia, GKBI menjalankan beberapa kegiatan pelayanan regularly. Meskipun GKBI

adalah gereja yang masih muda namun dari setiap komisi pelayanan yang ada di GKBI memiliki program unggulan sebagai berikut:

1. Kunjungan ke Shelter Rumah Kita.

Shelter “Rumah Kita” adalah tempat tinggal yang disediakan oleh Kedutaan Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur untuk Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia yang sedang bekerja di Malaysia namun mengalami masalah. Masalah yang mereka alami cukup beragam, sehingga mereka meninggalkan majikan mereka. Para TKW berada di shelter “Rumah Kita” ini sambil menunggu proses lanjutan yang akan diinisiasi oleh KBRI dan juga pemeritah Malaysia untuk mencari jalan keluar. Para TKW tidak diijinkan keluar dari Shelter “Rumah Kita” untuk keselamatan mereka sampai proses administrasi mereka selesai. Hal ini menyebabkan para TKW yang beragama Kristen tidak bisa beribadah ke gereja. Sehingga, GKBI datang berkunjung ke Shelter “Rumah Kita” untuk mengadakan ibadah dan perjamuan kudus bagi mereka. Ibadah di “Rumah Kita” dilaksanakan satu kali sebulan (setelah mendapat persetujuan dari pengurus “Rumah Kita” yang berada dibawah naungan KBRI Kuala Lumpur). Selain ibadah, para TKW juga diajak untuk membuat kelompok sharing doa yang dipimpin oleh jemaat GKBI yang hadir. Para TKW diberi kesempatan untuk bercerita tentang masalah, harapan dan pengalaman imannya. Kiranya setiap TKW yang berada di shelter “Rumah Kita” dan bertemu dengan jemaat GKBI boleh merasakan kebaikan hati Tuhan. Dimasa Pandemi, aktivitas ini tidak bisa dilakukan baik secara langsung maupun online dikarenakan para TKW telah dikirim kembali ke Indonesia dan tidak ada lagi TKW di shelter “Rumah Kita”. Kerinduan pelayanan bagi para saudara TKW yang bernasib kurang beruntung akan menjadi kisah tersendiri dalam cerita GKBI.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 37

2. Couple Fellowship

Couple fellowship adalah persekutuan pasangan suami istri yang dijadikan sebagai sarana untuk belajar bagaimana suami istri menjalani kehidupan pernikahan sesuai dengan Firman Tuhan dan belajar agar kehidupan rumah tangga menjadi kuat, meskipun dengan adanya perbedaan sifat dan karakter juga latar belakang. Sehingga pasangan suami istri senantiasa bertumbuh didalam Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Kebaktian Couple Fellowship diadakan quarterly atau satu kali setiap 3 bulan pada hari jumat ke-3 pukul 19:00 – 21:00 waktu Kuala Lumpur dan bertempat di rumah jemaat atau rumah gereja. Namun dalam masa pandemi, kebaktian Couple Fellowship dilaksanakan secara online.

3. Women Fellowship

Kegiatan persekutuan kaum ibu di GKBI. Dilakukan 1 kali dalam sebulan pada jam 10 Pagi. Setelah para ibu menyelesaikan aktifitas rumah tangga, dilanjut denganaktifitas rohani. Bertempat di rumahjemaat ataupun di rumah pastori gereja. Selama masa pandemi, kegiatan ini dilakukan secara online, tetap 1 kali dalam sebulan di hari Selasa minggu kedua, di jam 19.00 waktu Kuala Lumpur.

4. Men Fellowship

Dengan tidak mau ketinggalan, kaum bapak juga mengadakan persekutuan. Dilakukan quarterly, 1 kali dalam 3 bulan. Kegiatan ini dilakukan pada hari Jumat minggu yang ke 3. Selama pandemik, kegiatan ini juga dilaksanakan secara online. Dengan jadwal di hari Sabtu Minggu yang ketiga.

5. Home Fellowship

Home Fellowship adalah Persekutuan Rumah Tangga dengan tujuan untuk belajar Alkitab dan menambah keakraban diantara sesama jemaat. Home fellowship dilakukan di rumah-rumah jemaat yang

bersedia membukakan pintu rumahnya untuk mengadakan fellowship dan di rumah pastori gereja. Dalam masa pandemi, Home fellowship dilakukan secara online.

Home Fellowship diadakan setiap hari Sabtu pada pukul 19.00 waktu Kuala Lumpur.

6. Jam Doa Jam doa dilakukan setiap hari Rabu pukul 20.30 waktu Kuala Lumpur. Jam doa adalah kegiatan berdoa bersama oleh seluruh jemaat GKBI di waktu yang sama dan dengan pokok doa yang sama dari Tim Doa. Selain mendoakan jemaat GKBI dan pelayanan GKBI, topik doa juga berisi permohonan untuk eksternal GKBI seperti berdoa untuk pergumulan Negara Indonesia, Negara Malaysia, dan dunia. Tim doa secara aktif akan mengirimkan topik doa, pujian dan bahan renungan setiap hari Rabunya. Tim doa juga mengingatkan dan mengajak jemaat melalui aplikasi whatsapp secara teratur dan berulang untuk berdoa.

7. Bible Amazing Race

Pada bulan Paskah, tim pengurus dan pengajar Sekolah Minggu GKBI akan mengadakan Bible Amazing Grace. Kegiatan ini melibatkan guru sekolah minggu, orang tua dan anak sekolah minggu sebagai wadah keakraban. Aktivitas Bible Amazing Grace diantaranya adalah ibadah, bermain berbagai macam permainan, outbond, dan aktivitas keakraban lainnya.

8. Retreat, Outing , Picnic, Jungle Trekking

Pada bulan keluarga yaitu bulan Oktober setiap tahunnya, GKBI melakukan berbagai macam aktivitas seperti outing, piknic, retreat, dan jungle trekking. Aktivitas ini terbuka untuk setiap jemaat yang ingin dan bisa mengikutinya. Pada bulan keluarga GKBI akan membentuk panitia yang bertugas untuk memastikan acara berlangsung dengan teratur dan tepat tujuan, sehingga jemaat GKBI

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 38

yang mengikutinya terjalin keakraban, terbangun karakternya dan iman dalam Kristus semakin bertumbuh.

9. GKBI untuk Malaysia

Kegiatan ini adalah bagian dari mewujudkan salah satu misi GKBI yaitu menjadi berkat bagi sesama dengan mengadakan kegiatan eksternal bagi yang membutuhkan. Dalam pelaksanaannya GKBI melakukan kontribusi dengan memberikan bantuan dalam bentuk barang dan dana. Contoh kegiatan yang telah dilaksanakan : pada masa pandemi terjadi kebakaran di Malaysia dan GKBI hadir memberi bantuan. GKBI juga memberikan sembako kepada orang-orang Indonesia (bukan jemaat GKBI) yang tinggal di Malaysia dan membutuhkan bantuan.

10. Kunjungan Kasih

Kunjungan Kasih adalah kegiatan perkunjungan kepada setiap jemaat dan simpatisan GKBI secara bergantian. Kunjungan kasih dilakukan satu kali seminggu. Majelis Jemaat melalui penatua yang bertugas akan melakukan kunjungan ke rumah ataupun ke tempat yang telah disepakati bersama dengan jemaat yang akan dikunjungi. Mendengarkan Firman bersama, mendengarkan sharing jemaat dan mendoakan jemaat yang dikunjungi secara khusus. Diharapkan melalui program ini jemaat akan dikuatkan, tidak merasa sendiri, dan terus memiliki pengharapan didalam Kristus. Selama pandemik, kegiatan ini dijadikan online melalui kegiatan “Perkunjungan Virtual”.

11. GKBI Peduli

GKBI Peduli adalah kegiatan yang dilakukan GKBI untuk membantu jemaat dan simpatisan yang sedang membutuhkan baik karena keadaan sakit dan berbagai kondisi kesulitan lainnya. Terlebih dalam masa pandemi, GKBI juga memberikan bantuan kepada jemaat

yang terdampak akibat pandemi seperti jemaat yang terkena PHK atau mengalami pemotongan gaji.

12. Seminar

Seminar diadakan untuk mewujud nyatakan salah satu misi GKBI yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas dari para pelayan dan aktivis gereja. Setiap seminar yang dilakukan di GKBI selain dihadiri para pelayan dan aktivis gereja, juga dapat dihadiri jemaat tanpa terkecuali. Topik seminar yang diselenggarakan meliputi hal rohani dan profesional.

Testimonial

GKBI adalah sebuah komunitas yang hangat, penuh semangat, dengan kerinduan belajar yang kuat. Ia telah dan sedang menjadi “rumah juang” merawat iman, kebinekaan dan keindonesiaan bagi diaspora Indonesia di Kuala Lumpur dan sekitarnya. Masa pandemi tidak menyurutkan spirit GKBI dalam bersekutu, saling melayani bersaksi. Keterbatasan tak menjadi penghalang saling menopang. Hidup yang berat di respon dengan saling merawat dan membebat. Meski secara definitif tak memiliki pendeta tetap,praksis pastoral care dilaksanakan secara kreatif dan mantab. Sebuah presentasi jemaat yang guyup dan rukun. Tentu komunitas semacam ini menjadi ‘oase’ bagi diaspora Indonesia yang merindukan hidup bersaudara.

Kiranya GKBI tetap menjadi rumah pertumbuhan iman, rumah juang dan rumah persaudaraan.

Terpujilah Tuhan.

Pdt. Didik Tridjatmiko, MAPT.

Melayani bersama rekan-rekan di GKBI menghadirkan pengalaman yang baru bagi kami sekeluarga, terlebih saat itu

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 39

pelayanan dilakukan secara daring (dalam jaringan) karena sedang terjadi pandemi.

Dua kali melakukan pelayanan di GKBI (Agustus 2020 dan Februari 2021), selain mempunyai saudara yang baru, ada banyak pelajaran indah yang kami petik tentang pelayanan dan persaudaraan.

Persekutuan anggota jemaat di GKBI sangat erat dan dekat, sehingga ini berimbas kepada penerimaan yang sangat hangat serta bersahabat terhadap kami. Setiap pelayanan yang dilakukan sungguh-sungguh di persiapkan dengan sangat rapi dan detail.

Kehangatan dan keakraban itulah yang membuat kami sangat terharu ketika harus berpisah, padahal durasi pelayanan ini terbilang cukup singkat (setiap kali melayani hanya sekitar 1 bulan). Namun, kedekatan itu tetap terjalin hingga saat ini.

Selamat melanjutkan pelayanan untuk rekan-rekan GKBI Kuala Lumpur.

Pdt. Guruh Jatmiko dan keluarga.

Bulan Juli 2021 saya berkesempatan melayani jemaat GKBI Kuala Lumpur tetapi semua secara virtual saja. Tentu pengenalan saya sangat terbatas kepada mereka yang hadir di zoompa saja di acara-acara yang sudah ditetapkan bagi saya. Kesan pertama ini jemaat yang hangat dan ramah, saya merasakan hal yang demikian. Ada pergumulan-pergumulan pribadi dan keluarga yang spesifik tetapi rasanyahal ini ter-share di antara sesama warga jemaat yang terasa antusias dan terbuka sehingga beberapa kali home visit menjadi sehingga percakapan yang terjadi menjadi semacam support group. Saya menyebutnya sebagai kegiatan saling menggembalakan, pas dengan topik atau tema kotbah Juli 2021. Saya tinggal menggaris-bawahi dengan pernyataan bahwa berpartisipasi dalam pelayanan gerejawi adalah sebuah kehormatan. Kesan terbuka dan saling percaya antar anggota kuat sekali, semoga

memang demikian. Senang saya mendapat sahabat-sahabat baru di jemaat virtual saya ini. Jemaat GKBI KL berada dalam kondisi yang khas tetapi berupaya menyiasatinya dengan penuh semangat dan bergairah.

Pdt. Em. Samuel Santoso.

Demikianlah informasi seputar GKBI Kuala Lumpur. GKBI Kuala Lumpur akan terus berjuang dengan pertolongan Tuhan untuk menjalankan setiap misi dalam memenuhi visinya yaitu menjadi gereja yang berbuah dalam kasih dan pengharapan Injil ditengah keragaman umat-Nya. Sungguh akan menjadi sukacita bagi kami jika informasi ini dapat menjadi berkat bagi para pembaca majalah Mitra GKI SW Jateng. Biarlah Tuhan terus berkarya di dalam dan melalui umat-Nya. Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan. Tuhan memberkati. Jangan lupa para pembaca yang budiman, untuk berkunjung ke GKBI jika sedang berada di Kuala Lumpur. Mari bersama kita memuji memuliakan nama Tuhan kita.

Photo by shane rounce on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 40

T u l i s a n L e p a sBersekutu di Masa Pandemi : dari Eklesiologi ke e-Klesiologi

Salam zoompa. Semoga para pembaca senantiasa sehat. Hati-hati, terlalu sering zoominar, mendengarkan narazoomer, kita bisa menjadi zoombie. Wkwkwk.

Rasanya kita sepakat kalau salah satu ciri mencolok era pandemi adalah banyaknya webinar, persekutuan, rapat, nongkrong, kelas, pelayanan kategorial, bahkan ibadah daring yang bergantung pada aplikasi video teleconference (telecon). Yang paling populer ya Zoom, GoMeet, dan WhatsApp. Ia menjadi jendela kita bergaul dengan sesama, menghubungkan diri dengan yang dekat dan jauh karena dipaksa oleh prokes untuk menjaga jarak fisik. Telecon adalah salah satu upaya kita untuk tetap menjadi makhluk sosial dan menjaga kemanusiaan. Sebuah survei menunjukkan orang Indonesia di usia muda hingga 64 tahun menghabiskan nyaris 9 jam di internet, termasuk bertelecon. Apa artinya? Saya kira semua sepakat, pelayanan gerejawi era pandemi perlu diperkuat dengan teknologi digital.

Sudah banyak diskusi soal pelayanan gerejawi daring selama pandemi. Pada permulaannya banyak gereja seperti diguyur air dingin dan dipaksa mengaku jika eklesiologi, yaitu gambaran diri gereja dan pelayanannya amat terikat pada tempat, ruang sosial, dan momen yang tertentu. Tidak siap jika harus mengosongkan ruang kudusnya. Tidak cukup

lentur untuk menyesuaikan liturginya. Tidak punya daya untuk menjangkau jemaat yang menghilang karena beragam alasan. Dan tidak punya uang karena kolekte berkurang drastis.

Puji Tuhan banyak gereja menyintas melalui satu tahun pertama pandemi, meskipun masih sembab oleh tangis perih karena kondisi yang belum pulih, dan banyaknya tragedi di tengah jemaat. Toh sudah mulai terbiasa dan menjadi kreatif dalam pelayanan daring. Saya yakin sebenarnya banyak pembaca dan gereja-gereja yang sudah paham bagaimana menyiasati pelayanan daring. Saya hanya akan memberikan penekanan-penekanan kecil sebelum memasuki diskusi soal pelayanan lansia.

Jika kita sudah terbiasa dengan istilah e-wallet, e-KTP, e-banking, e-love-u, dan e-e lainnya, saya memberanikan diri untuk menamai visi pelayanan gerejawi yang melibatkan teknologi digital sebagai e-Klesiologi. Memang saya bermaksud gaya-gayaan supaya dikira keren dan edgy, tapi juga

ada hal yang saya tawarkan untuk direnungkan bagi pelayanan kita.

Istilah gereja berakar dari kata Portugis, igreja, yang sumbernya dari bahasa Yunani, ekklesia. Umumnya ekklesia dipahami “orang-orang yang dipanggil keluar.” Dipanggil keluar dari apa dan untuk apa? Istilah ini merujuk pada orang yang dipanggil keluar dari dosa, menyambut Kristus penebus serta menjalani hidup baru sebagai ungkapan syukur keselamatan. Namun Alkitab tidak menciptakan istilah ini. Kata ekklesia dikembangkan dari tradisi Yunani-Romawi masa lalu, sesuai dengan konteks munculnya Perjanjian Baru, maupun Perjanjian Lama terjemahan Yunani, yang disebut Septuaginta.

Ada banyak makna ekklesia tapi secara umum berarti “perkumpulan,”

“ p e r s e k u t u a n , ” atau “paguyuban.” Kata ini berhubungan dengan konteks polis, negara-kota Yunani kuno, sebab ekklesia berarti persekutuan kaum dewasa dalam membicarakan isu-

kasih sejati ada spidometernya :Menggumuli e-klesiologi lansia

Leonard Chrysostomos EpafrasUniversitas Kristen Duta Wacana

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 41

isu kemasyarakatan (demos). Jadi ekklesia berkaitan erat dengan tanggung jawab kewarganegaraan. Ketika Rasul Paulus menggunakan istilah ini dalam surat-suratnya, ia tidak melepaskan diri dari kenyataan bahwa ia pun warga negara Romawi. Ayat kontroversial yang ia tulis bahwa “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah” (Roma 13:1), menurut saya perlu dipahami dalam konteks ekklesia kewarganegaraan ini juga.

Salah satu ciri pengalaman pandemi yang sungguh memberi penghiburan adalah munculnya solidaritas sosial lintas sektoral, lintas teritorial, dan lintas agama. Dengan bantuan digital kita dimudahkan membantu sesama, entah hanya dengan sekedar memindai QRIS atau QR Code, maupun secara fisikhadir bagi mereka. Inilah makna pertama e-Klesiologi, bahwa kita yang sudah ditebus juga dipanggil sebagai warga negara untuk ikut bertanggung jawab bagi pemulihan masyarakat, tanpa melihat perbedaan identitas. eKlesiologi juga memberi alasan lebih kuat bagi kerjasama antargereja, lintas denominasi yang lebih akrab dan saling mendukung. e-Klesiologi semacam ini menempatkan pengharapan sebagai kekuatan pelayanannya.

Hujan saja tak kapok kembali lagi meskipun sudah jatuh berkali-kali. Tak ada alasan buat kita meratapi pandemi ini.

Yang kedua, e-Klesiologi bukanlah visi dan pelayanan gereja yang bertumpu pada teknologi digital belaka. Ia tak sekedar Zooministry. Pelayanan ini justru meluaskannya menjadi visi dan pelayanan hibrid, yang melibatkan dunia daring sekaligus luring, sinkronus dan asinkronus. Pelayanan sinkronus Zoom dan lainnya sangat penting, tapi jangan lupa yang asinkronus, misalnya lewat WhatsApp Group.

Keharusan menjaga jarakfisiktidakmembuatorangharus menciptakan jarak sosial.

Prinsip “dua tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20), menunjukkanfleksibilitasruang,waktu, jenis persekutuan, fasilitas, yang tidak tergantung seberapa ramainya persekutuan itu. Ia lebih ditentukan oleh kerinduan berkumpul dengan orang lain. Ini amat bertentangan dengan kecenderungan orang yang baru merasa Tuhan hadir jika berada dalam ruang sakral yang penuh sesak dan meriah. Perjumpaan minimalis tetaplah persekutuan dengan sesama dan Tuhan. nggak ada loe gak seru loh! Dan itu sudah cukup

dianggap sebagai gereja, di rumah pun bisa jadi e-Kklesia!

Dipaksanya kita secara massal untuk kembali ke rumah, bukan saja mengembalikan makna ekklesia perdana seperti dalam Kisah Para Rasul. Akibat langsung beribadah dari rumah adalah bertumpang tindihnya ruang-ruang privat dan ruang sosial. Kita bisa beribadah tanpa harus mandi dulu, atau bersekutu sambil menjahit dan memasak. Makna sakralitas menjadi sangat bergeser. Orang pun punya pilihan dalam beribadah di kanal YouTube yang ia sukai. Dalam beberapa survei kecil yang saya lakukan, pilihan kanal pun mengakselerasi kecenderungan lintas denominasi yang sudah ada sebelum pandemi. Bahkan banyak yang memilih hanya mendengarkan bagian kotbah saja dalam sebuah siaran tunda YouTube, tanpa harus mengikuti keseluruhan prosesi ibadah. Apalagi banyak ibadah mingguan gereja masih berupa tontonan dari ibadah luring yang rutin, dengan kotbah panjangnya sehingga dari sisi sebagian jemaat cenderung membosankan dan sulit terhubung secara emosional. Dinamika ini sangat terasa dalam pelayanan remaja dan pemuda, karena ibadah daring kurang menarik bagi mereka.

Dunia digital identik dengan kecepatan, temporalitas dan interaktivitas. Kita diguyur ribuan informasi setiap saat sehingga perhatian kita pada satu topik cepat menghilang. Orang sangat mudah berjingkat dari satu tampilan ke tampilan lain, tanpa loyalitas. Daya betah

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 42

orang (screen retention) pada suatu tampilan semakin hari semakin pendek. Waktu terlipat di dunia ini seakan ia menjadi lawan pergulatan kita setiap hari. Kita senantiasa bergegas sehingga gampang sekali ngegas.

Akibatnya waktu ibadah dituntut efektif. Efektif tidak berarti cepat selesai dan singkat, namun seluruh bangunan ibadah diisi dengan tepat dan tidak terlalu banyak kekosongan dan jeda. Inilah tantangan yang dihadapi dan pentingnya memaknai e-Klesiologi yang ketiga, yaitu mendorong fleksibilitas kelembagaangereja. Ada kemauan bereksperimen, belajar, berbenah dan mengembangkan kreativitas, bukan sekedar mempertahankan wibawa gerejawi. Perlu tenggang rasa yang besar, sebab otoritas gereja saat ini harus berkompetisi ketat dengan otoritas-otoritas lainnya.

Tantangan temporalitas, alias waktu inilah yang menjadi pijakan untuk berdiskusi soal pelayanan lansia. Dinamika lansia pernah didiskusikan dalam edisi Mitra GKI sebelumnya, sehingga saya tidak akan mengulang melainkan fokus pada pentinganya bersahabat dengan waktu dalam melayani lansia. Apa yang didiskusikan bukan saranspesifik,namunundanganuntuk menggumulinya bersama.

Pelayanan Lansia: Bersahabat dengan Waktu

Kontras dari logika viralitas dan waktu yang terlipat di dunia digital, pelayanan lansia justru sebaliknya, memanggil

kita bersahabat dengan waktu. Jika orang mengeluh karena terisolasi selama pandemi, kaum lansia lebih lagi. Banyak dari mereka yang ruang pribadinya serba terbatas, entah karena hunian yang sempit atau karena menumpang pada anak. Rutenya hanya dari kamar, kamar mandi dan meja makan, demikian berulang-ulang. Tak sedikit mereka yang hidup tanpa pasangan, bahkan tanpa kehadiran anggota keluarga yang lain. Masalah penting yang sering dihadapi adalah kesepian dan kehampaan. Kekosongan dan jeda adalah sahabat karib mereka. Sementara banyak pula yang harus menjadi sandaran anak-anaknya karena dampak pandemi seperti PHK. Mereka dipaksa sekali lagi menjadi tonggak keluarga.

Sebagian lansia menjadi serba lamban. Berpikir, mendengar, mencerna, bergerak, dan sistem koordinasi yang langsam. Tapi mereka bukan kaum rebahan. Kondisi fisikyang mendikte situasi ini. Dampaknya pada ketahanan mereka menatap layar dan penurunan pendengaran. Telecon tak selalu menjadi solusi bagi lansia. Banyak lansia yang kehidupan bergereja adalah salah satu dari sedikit aktivitas sosial yang tersisa bagi mereka. N a m u n , kisah lansia bukan semata-mata kisah sedih. Entah siapa pernah mengatakan: life begins at retirement, hidup barulah dimulai sesudah pensiun. Yang benar saja. Tersisa apalagi kalau sudah pensiun?

Bukankah Kitab Pengkotbah dengan nyinyir mengingatkan bahwa perjalanan menuju pensiun itu, “hari-hari yang malang … tak ada kesenangan …”? Pemazmur dengan getir dan lirih menyimpulkan, sekuat-kuatnya kita hidup sampai delapan puluh tahun yang didapat hanyalah “kesukaran dan penderitaan.” Apalagi sudah seumur-umur kerja serius, eh gajinya becanda, pas-pasan untuk pensiun.

Tapi memang benar. Banyak lansia yang justru “hidup” setelah terbebas dari kewajiban-kewajiban masa paruh baya. Di masa lansia, buat mereka nothing to loose, sering juga nyeleneh dan mengejar hobi yang dulunya di tahan-tahan. Banyak yang menjadi YouTuber, memberi nasihat berdasarkan pengalaman hidup mereka. Pemazmur menggambarkan mereka ini bagaikan pohon kurma dan pohon aras Libanon. Gambaran ini menunjukkan masa tua produktif, sebab kedua pohon itu terbukti bertahan dalam kondisi ekstrim.

Karena itu ada baiknya mempertimbangkan pola-pola e-Klesiologi yang, pertama-tama, menciptakan perjumpaan rutin untuk saling berkeluh kesah, berbagi pengalaman, dan menguatkan. Seperti saran sebelumnya perjumpaan luring tetap dipertimbangkan, interaksi sinkronus maupun asinkronus diperjuangkan. Lansia biasanya periode tidur lebih pendek, seringkali bangun lebih pagi dari anggota keluarga lain. Karena itu sebenarnya waktu persekutuan daringbisafleksibel,hanyasaja

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 43

tidak bisa berlama-lama. Amat penting personalisasi pelayanan, yaitu menyebut nama mereka dan kisah hidup mereka, lebih daripada persekutuan umum dan kategorial lainnya. Sebab pengakuan akan kisah hidup membuat mereka merasa hidupnya bermakna.

Tema perjumpaan paling menarik dan bikin betah salah satunya tema kesehatan. Karena itu pelayanan bagi mereka jangan dibatasi pada diskusi rohaniah, melainkan juga memberi ruang bagi obrolan jasmaniah. Mereka yang sehat dan produktif bisa menjadi inspirasi dan penyemangat bagi yang lain.

Ada lansia yang senang dengan diskusi intelektual. Mereka membutuhkan ruang melalui webinar untuk membuat otak mereka senantiasa aktif. Pengalaman saya menjadi fasilitator webinar dan pelatihan daring, selalu ada kaum lansia yang ikut serta. Mereka yang masih segar ingatan dan lisannya dapat diberdayakan untuk menjadi lektor daring bagi ibadah umum, yang dilantunkan dari rumah mereka masing-masing.

Ketiga, pujian dan musik adalah benteng terakhir indra kaum lansia. Sebab keduanya bersentuhan langsung dengan aktivitas otak, bahkan dalam banyak kajian ditujukkan seorang yang dalam keadaan koma sekalipun, reseptif terhadap gelombang suara. Karena itu sangat baik jika persekutan lansia didominasi oleh puji-pujian. Bahkan saat inipun sangat dimungkinkan membuat koor kolaboratif luring (virtual choir).

Keempat, pentingnya

memberdayakan jemaat generasi Milenial (24-37 tahun). Mereka adalah jembatan generasi bagi dinamika pelayanan daring-luring. Di gereja kami beruntung memiliki Capen, Pnt. Agatha Kharis Wibisono, seorang Milenial yang aktif membangun komunitas lansia, baik secara daring maupun luring. Ia tak segan melakukan pelatihan penggunaan gawai bagi mereka dengan penuh kesabaran dengan mendatangi rumah satu per satu. Kalaupun tak ada yang Milenial, generasi X seperti saya diharapkan mengadopsi semangat kaum Milenial dengan bersedia belajar untuk memperlengkapi pelayanan e-Klesiologi.

Spidometer Allah, Spidometer Kita

Pandemi pasti akan berakhir, tapi sebelumnya ada fase epidemi yang harus dilewati, sebelum akhirnya terkendali sepenuhnya. Lebih dari sebelumnya, masa transisi ini menuntut tindakan kasih dan tindakan itu diungkapkan melalui spidometer kasih kita.

Kasih sejati itu ada spidometernya. Bisa ngebut tapi juga bisa melambat, bahkan berhenti, nongkrong bareng untuk mendengar kisah orang lain. Sebab melayani lansia tak mungkin menerapkan waktu mekanis yang ketat. Bagi kita sesuatu yang biasa bisa jadi drama panjang buat kaum lansia. Jadi menemani mereka dengan sabar sangat penting. Pada titik ini waktu dimengerti sebagai kairos, kesempatan,

sama seperti girah lagu “Hidup ini adalah Kesempatan.” Sampai sepuh pun mereka tetap bisa menjadi berkat.

Bagi Tuhan waktu adalah arena untuk mengasihi dunia dan isinya. “Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasihNya dan setiaNya” (Keluaran 34:6). Kasih, kesabaran, dan waktu ketiganya saling berpilin. “Panjang sabar” menunjukkan spidometer kasih Tuhan yang bergerak sesuai dengan kondisi manusia. Kadang-kadang cepat, tapi juga bisa menunggu. Bukan kasih massal yang berlaku generik untuk semua situasi, tetapi kasih yang menunjukkan kepedulian terhadap situasi khas manusia. Kasih yang peka terhadap kondisi manusia ini melawan semangat zaman yang maunya serba cepat dan instan. Inilah kualitas Tuhan yang pathos, yang ikut baper bersama penderitaan dunia ini. Ini pula yang menjadi dasar e-Klesiologi kita, terlebih bagi kaum lansia, maupun terhadap mereka yang tidak bisa mengikuti waktu “normal” orang lain, seperti para penyandang disabilitas. Bagi kita yang aktif dalam pelayanan lansia, berdoalah agar memiliki hati seperti hati Tuhan, terhubung dengan spidometer kasih Tuhan.

Tuhan Yesus senantiasa menemani jentera hidup kita, selama pandemi, menjelang epidemi, hingga senyum bersemi di negeri ini. Sampai zoompa lagi.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 44

T u l i s a n L e p a s

HARI BAHAGIAKU TERNODA OLEH COVID - 19 ?

Menjalani tahun kedua, pandemi Covid-19 telah banyak menelan korban, salah satu korban berkisah sedih tetapi hebatnya justru reaksi positiflah yangmuncul. Selamat menikmati.

Besok, aku mantu anak pertamaku, sehari sebelumnya aku dinyatakan terpapar Covid-19, setelah beberapa hari sebelumnya badanku lesu dan demam. Kupikir hanya karena tekanan pikiran dan kelelahan tubuh. Sore hari sebelum hari H, ada gladi bersih pemberkatan di gedung gereja yang sudah membatasi jumlah kehadiran dan durasi waktu ibadah, aku masih hadir.

Entah bagaimana seorang sesepuh dalam keluarga besarku yang kupanggil Om, mendengar kalau aku terpapar C-19, ceritanya si Om berusaha menghubungiku tetapi sayang aku mempunyai gangguan pendengaran hingga tidak mendengar nada panggil dan karena kesibukan, malam

itu aku tidak memeriksa pesan-pesan di gawaiku.

Kemudian si Om mengontak mempelai laki-laki, menyarankan agar aku tak usah ikut pemberkatan dan resepsi. Mempelai laki-laki itu anakku, anakku menjawab masih dipikirkan. Setelah itu tak ada lagi komunikasi. PEMBERKATAN

Di Gereja di mana anakku akan diberkati, pagi itu ada pemeriksaan oleh Tim Gugus Tugas C-19 Tingkat Kecamatan dengan APD lengkap, semua yang akan masuk ke gedung gereja kena tembak thermo gun. Aku kena ‘saring’, suhu tubuhku 38,4 C, istriku dan semua anggota keluarga dua belah pihak mempelai lolos.

Personal Gugus Tugas C-19 dan juga Rohaniawan menyarankan agar aku tidak ikut mendampingi mempelai dalam pemberkatan. Terjadilah

tawar menawar antara aku didukung keluarga dengan Tim Gugus Tugas dan Rohaniawan. Akhirnya, kami menyerah. Aku harus meninggalkan lokasi gedung gereja dan merelakan kedua mempelai diberkati tanpa kehadiranku.

Aku masih menyaksikan anak dan calon menantuku matanya berkaca-kaca, membelakangi pintu gerbang gedung gereja menyaksikan penolakkan atas diriku, aku berjalan menuju tempat parkir mobil dengan tubuh gontai semakin tak bertenaga.

Seorang kerabat berbaik hati, mengendarai mobilku dan membawaku ke sebuah hotel yang semalam sudah kami nikmati. Kamar yang bersih, harum penyegar ruangan dan dinginnya penyejuk ruangan menjadikan semangat disaat badanku lemah untuk menyambut esok, hari bahagia.

Beda dengan saat aku harus

Simon nugroho hadikuSumaAnggota Redaksi MITRA GKI SW Jateng

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 45

dipulangkan dari gereja. Di kamar yang sama dengan harum penyegar ruangan yang sama dan penyejuk ruangan yang sama, tapi bukan lagi semangat yang kudapat tetapi serasa tembok yang runtuh. Aku kecewa tidak diperbolehkan mengikuti pemberkatan, memikirkan perasaan kedua mempelai tanpa kehadiranku, kuhela napas panjang, tidak tahu apa yang harus kuperbuat dalam keadaan terpapar C-19 di resepsi sebentar siang. Aku marah, tergoncang dengan degup jantung yang tak lagi beraturan dan harus beberapa kali menarik nafas dalam-dalam, aku menangis.

RESEPSI

Jarum jam sudah menghampiri waktu resepsi, saat pikiran dan hatiku berpadu dalam kemelut dikeheningan kamar aku dapat mendengar nada panggil gawaiku. Di seberang sana suara istriku memanggilku:

“Pah, kamu baru apa? Pemberkatan sudah

selesai, siap-siap ya.”

“Di kamar,” dengan malas aku menjawab dan kontak kuputus, aku takut ketahuan kalau suaraku parau karena menangis. Sekitar 10-15 menit berlalu, ada suara ketukkan di kamarku. Pikirku cepat sekali iring-iringan pengantin sampai ke hotel tempat kami akan mengadakan resepsi makan siang dengan undangan terbatas. Pintu kubuka, bukan rombongan keluarga yang datang tetapi lagi-lagi beberapa orang dengan APD lengkap dan Manager Gedung.

“Maaf, pak. Informasi yang kami dengar dari family bapak, bapak terpapar C-19. Betulkah?” Aku menunduk, ingin nangis, ingin berteriak tetapi kepalaku otomatis mengangguk: “Ya,betul.”

“Maaf, pak. Kami sarankan bapak segera meninggalkan kamar dan tidak boleh ikut dalam resepsi pernikahan anak bapak,” lanjutnya.

Air mataku meleleh, nafasku sesak seperti ada benda menindih dadaku. Aku mengambil jasku dan ke luar dari kamar hotel.

Aku gelisah menunggu di lobi hotel, sampai rombongan pengantin datang. Manager gedung masih mendampingiku dengan mengenakan masker, face shield dan sarung tangan. Beliau menjelaskan ke istriku dan rombongan keluarga. Keluargaku terperangah, mata mereka berkaca-kaca beradu pandang menyambut merah mataku yang tergenang air. Aku menunduk dan berjalan meninggalkan lobi hotel.

Aku pulang ke rumah tanpa dapat menyaksikan pemberkatan dan resepsi, tanpa merasakan bagaimana yang dirasakan oleh teman-temanku yang bercerita tentang tea pai ceremony, cipika-cipiki, pelukan dengan tepukkan dipunggung dan menikmati suapan roti dari mempelai. Kembali air mataku menetes tak terkendali, kubuang rasa maluku sebagai laki-laki dewasa, aku menangis lepas sampai sesenggukkan menyesali kejadian beruntun: ‘pengusiran’.

SIAPA DI BALIK PERISTIWA INI?

Bagaimana Rohaniawan, Tim Gugus Tugas C-19 Tingkat Kecamatan, Manager Gedung resepsi bersama Manager Hotel bisa tahu kalau aku terpapar C-19? Beberapa orang dari keluargaku mulai melacak keberadaan personil di balik ‘NODA COVID’ di hari bahagia kami.

Seorang sanak menemui

Photo by alvin mahmudov on Unsplash

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 46

satpam gereja dan melaporkan hasil investigasinya dalam pesan ke seluruh grup WhatsApp keluarga kami:

“Ceritannya begini, yang saya dengar dari pihak satpam.

Pagi tadi ada seorang om-om setengah baya usia kisaran 55 tahun, naik mobil sedan warna abu-abu, hendak menemui Romo karena penting berkaitan dengan Covid-19.

Katanya beliau itu sudah berusaha telepon sejak tadi malam untuk memberi informasi tapi karena sudah malam tidak ada yang menerima telepon. Jadi baru tadi pagi beliaunya menyempatkan datang langsung ke gereja menginfokan itu. Beliau tidak mau sebut nama. Hanya bilang saya bukan jemaat sini, saya bukan Katolik, hanya ingin memberitahukan saja bahwa hati-hati ada serangan Covid di acara manten nanti siang. Beliau mengaku dari Sendang Guwo.

Maka dari hal itu dan situasinya pas pandemi ini, apalagi semakin meningkat maka Tim Paroki berunding dan memutuskan untuk melakukan prokes sweep. Kita berjaga-jaga sesuai prosedur dari pihak Kecamatan, melakukan pembatasan waktu dan jumlah kehadiran dalam ibadah karena di Semarang semakin naik angka penularan Covidnya”

Pesan itu diakhiri dengan ungkapan kekecewaannya:

“Benar atau tidaknya cerita di atas, saya mohon maaf. Seandainya tidak ada kabar

itu, acara pasti berjalan dengan lancar sesuai rencana awal kita semua,” tulisnya.

SESEPUH

Niat baik Pembawa Berita dari salah seorang keluarga kami pada si Om menjadikan HARI BAHAGIAKU TERNODA OLEH COVID-19. Pemberitahuan bahwa aku, orang tua mempelai laki-laki positif C-19 bermaksud baik agar si Om memutuskan hadir atau tidak di pemberkatan dan resepsi karena si Om telah lanjut usia dan rawan terpapar C-19. Pembawa Berita mulai curiga pada si Om. Pesan dalam grup keluarga di atas di forward ke si Om.

“Betulkah?” Tanpa melakukan tuduhan rupanya pertanyaan itu sudah menohok keras.

“Cerita dari sapa Non?” jawab si Om

“Dari gereja Om.”

“Arahnya ke saya ya Non? Menurutmu bagaimana?”

“Om, yang bisa jawab.”

Pembicaraan dilanjutkan dengan kontak suara.

Akhirnya Om kami mengakui pada si Pembawa Berita kalau beliau yang berusaha menghubungi pihak Gereja dan pihak Hotel serta Gedung Pertemuan. Si Om memberikan alasan untuk saling menjaga, si Om juga telah berusaha menghubungi orang tua mempelai laki-laki dan juga mempelai laki-laki, tapi rupanya mereka akan tetap berlanjut.

Kegelisahan menyelimuti istirahat malam si Om : Bagaimana kalau Rohaniawan dan umat yang datang tertular? Bagaimana kalau seratusan undangan resepsi tertular? Beliau merasa bersalah jika hal itu sampai benar terjadi. Maka malam larut menjelang dini hari si Om melakukan kontak telpon terus menerus ke nomor kantor gereja, namun gagal kontak. Si Om bangun mruput dan menunggu di depan pintu gerbang gereja yang berportal dan dijaga satpam sambil terus berusaha mengontak telpon kantor gereja dan kontak telpon Romo yang didapat si Om setelah menanyakan pada beberapa temannya yang menjadi umat di gereja ini. Si Om tertahan di luar portal gerbang gereja karena dilarang masuk oleh satpam jika tak ada janji temu dengan Romo. Nihil. Baru agak siang, Romo mengontak balik, menerima informasi si Om dan bergerak secepat kilat menyiapkan skenario melawan ‘hati-hati serangan Covid’ yang bahasanya vulgar namun Om kami yakin tak pernah menggunakan kata ‘serangan’. Dan beliau juga menjelaskan kenapa mengatakan: ‘saya bukan jemaat sini, saya bukan Katolik’ karena saran satpam yang terasa mendesak si Om untuk meninggalkan lokasi gereja dan menyarankan agar informasi disampaikan ke Pamong Wilayah. Sedangkan si Om tak tahu organisasi gereja tersebut dan juga tidak tahu harus ke wilayah mana.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 47

Om kami berlanjut mengontak beberapa temannya untuk mendapatkan kontak telpon para Manager Hotel dan Manager Gedung Pertemuan.

Alhasil, aku sangat terpukul: aku dikelurkan paksa dari kamar dan tidak boleh mengikuti resepsi di gedung.

Pengatur acarapun dibuat terpontal-pontal karena harus mengubah skenario seluruh acara resepsi dalam waktu singkat. Diputuskan bahwa tamu datang langsung foto, bersalam namaste dan dipersilakan untuk langsung meninggalkan gedung dengan membawa souvenir dan konsumsi yang telah dibungkus rapi.

Aku marah pada si Om setelah mendengar cerita dari Pembawa Berita ditambah lagi sanakku saling timpal menyatakan kekecewaannya pada si Om yang sebelumnya kami kenal baik hati. Air mataku mengalir lagi, badanku lemah, terasa tulang ini terlepas dari sendi-sendinya, dan semangatku benar-benar runtuh.

ANTI KLIMAKS

Beberapa hari kemudian, nalarku mulai jalan meskipun badanku makin lunglai, mual, hilang penciuman, tak suka makan, nafas berat dan berulang harus menarik nafas dengan perjuangan. Dalam situasi dan kondisiku yang buruk, Pembawa Berita menetralkan kemarahanku, dia menyampaikan tujuan dari si Om adalah baik, agar aku tidak

menularkan kebanyak orang. Hati dan perasaanku mulai lerem, dalam keadaan tubuh lemah aku coba mencerna kebaikkan yang si Om lakukan.

Akhirnya aku menyimpulkan: memang aku punya kepentingan tetapi seharusnya juga memikirkan kepentingan orang lain, sekalipun harga yang harus aku bayar tak akan kuperoleh kembali: menyaksikan pemberkatan dan menjadi ayah dari raja sehari di resepsi. Tak akan terbayar! Dan jujur, masih ada sisa-sisa kemarahanku pada si Om. Hari ini, 25 hari lewat dari HARI BAHAGIAKU yang TERNODA OLEH COVID-19, aku sudah dinyatakan negatif dari C-19. Aku mau bertindak positif mereaksi perlakuan si Om pada keluargaku. Aku mau meneruskan pesan positif pada kedua mempelai yang juga terpapar C-19 bahwa kita dalam hal pandemi C-19, harus memikirkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Suatu hari nanti aku akan kunjung ke si Om yang sudah berniat baik dan telah aku salah pahami maksud baiknya.

PESAN POSITIF

Cerita di atas benar adanya, klarifikasi antaraPembawa Berita dengan si Om, pendampingan oleh Pembawa Berita pada orang tua mempelai laki-laki, dan ditulis dengan sedikit ‘bumbu

penyedap’ oleh Simon Nugroho Hadikusuma setelah mendapat forward pesan-pesan seputaran HARI BAHAGIAKU TERNODA OLEH COVID-19 serta kontak suara dengan Pembawa Berita dan glenak-glenik dengan si Om secara terpisah sebagai upaya cross check.

Pembawa Berita ini mempunyai inisiatif menjauhkan si Om dari situasi yang tidak menguntungkan, terpapar C-19 tanpa melakukan larangan secara langsung; sabar mendampingi orang terpapar Covid-19 yang menyandang ‘komorbid’: kemarahan; bertindak bukan dengan dasar asumsi/dugaan semata tetapi melakukan check and recheck; berpikir sehat menerima dan melihat hal-hal positif sekalipun dia berada pada pusaran yang dirugikan kepentingannya dan galau hatinya. Menjadi pelajaran yang perlu dihargai dan dilakukan sebagai seorang imamat yang memperantarai Allah dan manusia.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 48

T u l i s a n L e p a s

PENGANTAR

Menjalani kehidupan beriman di dalam Tuhan, bukanlah hal yang mudah, dan sebagian diantara kita barangkali seperti Tomas, baru percaya setelah melihat, padahal Tuhan menghendaki kita agar percaya saja.

Tuhan menghendaki hal tersebut, bukan hanya percaya akan kehidupan kekal atas penebusan Tuhan Yesus Kristus, tapi dalam kehidupan seseharipun untuk selalu percaya penyertaanNya (Roma 8:28), tidak kuatir (Filipi 4:6), perlindungan Tuhan pada kita (Yesaya 41:10), dan lain-lain.

Praktek percaya terhadap penyertaan dan kuasa Tuhan pada diri kita bukanlah hal yang mudah. Jatuh bangun iman sering terjadi karena rancangan kita berbeda dengan rancangan Tuhan (Yesaya 55:8), dan waktu kitapun berbeda dengan waktunya Tuhan (Pengkhotbah 3:11).

Namun itulah yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita agar kita percaya hanya kepadaNya. Percaya bahwa Tuhan selalu menyertai hidup kita, dan kuasaNya ada dalam kehidupan kita. Itulah praktek kehidupan yang harus kujalani, mengimani bahwa Tuhan menyertai

PENGALAMAN IMANKU

hidupku dan kuasaNya berlaku atas diriku.

PENGALAMAN IMAN DALAM KEHIDUPAN

Awal kehidupan dimana aku harus belajar beriman pada Tuhan adalah kala aku gagal diterima berlayar di kapal asing di tahun 1974, diusiaku 22 tahun. Saat itu aku sudah kerja di perusahaan penebangan/penggergajian kayu di Pontianak dan ada tawaran kerja dikapal asing. Aku tertarik dan mempersiapkan dokumennya, namun kecewa karena saat dokumen berlayar selesai, kapal sudah berangkat.

Sekalipun kecewa, dan terima kejadian tersebut, namun aku memiliki iman bahwa Tuhan kelak aku akan berlayar keluar negeri. Dengan waktu dan cara Tuhan aku diproses untuk meyakini imanku sendiri pada Tuhan. Itulah kejadian yang mengubahkan hidupku, bahwa aku mengimani kuasa Tuhan dan akupun dapat memintanya.

Melewati berbagai kejadian dalam hidupku dan

merefleksikannya, ternyata apayang terjadi adalah apa yang pernah kuminta dan kuimani pada Tuhan. Aku memang tidak pernah memikirkan permohonanku, mengalir saja, namun mengimaninya kuasaNya. Bersyukur, Tuhan berkenan dengan apa yang kuimani.

Keyakinanku untuk untuk dapat berlayar keluar negeri pada ternyata diijinkan Tuhan, bahkan lebih dari yang kubayangkan. Aku diterbangkan Osaka menjadi awak kapal pada kapal yang baru dibeli perusahaan, kapal yang berlayar di seluruh pelabuhan di Asia. Tuhan mengijinkan sesuai yang kuimani, bahkan lebih dari apa yang kuminta padaNya.

Melewati waktu dan cara Tuhan yang kulalui. Tuhan memberiku lebih dari yang kuinginkan saat itu. Aku dapat berlayar keluar negeri di kapal-kapal besar, aku juga dapat mencapai karir sebagai Chief engineer di kapal. Itulah praktek iman dalam hidupku, aku mengimani sesuatu dan Tuhan ijinkannya.

Dalam refleksi kehidupan,

DRS. DARJONO, SP.1, M.MAR. ENGMJ GKI PETERONGAN Semarang

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 49

kejadian awal seringkali tak menggambarkan kejadian akhir yang akan kuterima. Bersyukur bila Tuhan mengijinkan terjadi lebih baik dari apa yang kuminta, namun bila sebaliknya ? Itu otoritas Tuhan dan aku harus menerimanya sebagai ujian atau proses pendewasaan imanku kepada Tuhan.

Mengimaninya bahwa aku bisa tersebut, kudasari pada firmanTuhan seperti tertulis pada Matius 17:20 :... Iman sebesar biji sesawipun dapat memindahkan gunung.....! Masalahnya adalah, sekalipun iman yang diminta Tuhan tersebut hanya sebesar biji sesawi, tetapi apakah iman kepada Tuhan tersebut utuh ?

Itulah yang harus kusadari, mewujudkan iman yang utuh, sepenuh hati dan tanpa keraguan kepada Tuhan tidak mudah. Banyak jatuh bangunnya, aku sadar dan diingatkan kembali seperti pada Yakobus 1 : 6 tertulis :...hendaklah ia meminta sesuatu didalam iman, dan janganlah bimbang....! Aku belajar mengimani kuasa Tuhan seperti perwira Romawi yang hambanya sakit dan disembuhkan Tuhan Yesus (Matius 8 : 5-13)

Aku percaya bahwa Tuhan berkenan dengan apa yang kuimani, asalkan dengan kesadaran untuk hidup berkenan padaNya (Matius 6 : 33) dan bersyukur untuk apapun yang terjadi dalam hidupku (1 Tesalonika 5 : 18). Kesadaran tersebut bukan berarti aku sudah sempurna, namun aku berusaha hidup berkenan

dihadapan Tuhan.

Praktek imanku setiap hari adalah meyakini bahwa tubuhku sehat, semua organ dan metabolisme tubuhku sempurna. Kalaupun aku sakit, aku mengimani bahwa kuasa Tuhan akan menyembuhkanku. Puji Tuhan kalau sampai diusiaku ke 69, saat ini, aku merasa sehat dan segar setiap hari.

Selain beriman pada kuasaNya, tiap haripun spontan bersyukur untuk aktivitas yang kujalani, misal bangun tidur kukatakan :.... makasih Tuhan..., selesai dari toilet, saat mandi, pulang perjalanan, selesai ngajar, saat tidak sehat atau sakit, bahkan kehilangan.

Aku mengimani pula setiap hari aku sekeluarga dicukupkan kebutuhan hidup kami oleh Tuhan dan ijinkan itu. Melalui aktifitas yang Tuhan ijinkan,Tuhan mencukupkan kebutuhan keluarga kami. Semua ini terjadi dalam hidupku sampai saat ini, aku merasa dicukupkan Tuhan.

Imanku kepada Tuhan juga adalah sekalipun aku sudah purna tugas di kampus, tapi percaya Tuhan akan menyertai hidup masa tuaku, sehat, sukacita, dan dapat menjadi berkat bagi sesama. Sampai saat ini, aku masih memiliki kegiatan di kampus, mengajar, ceramah atau seminar, serta kegiatan fisiklainyangseimbang,danakumenikmatinya.

PRAKTEK IMAN

Praktek iman yang kulakukan belum lama ini adalah ketika

aku disengat tawon ndas (tawon vespa) sejumlah 32 sengatan. Hari itu Senin, 31 Mei 2021 saat sedang membersihkan ranting pohon glodokan yang menjuntai dengan cara menariknya, aku diserang tawon ndas tersebut.

Ternyata sekitar 2 meter diatas kepalaku ada sarang tawon yang besar membungkus batang utama pohon tersebut. Aku memang tidak melihatnya dan dengan tenang aku bekerja dibawahnya. Ketika ranting menjuntai tersebut kutarik, ternyata kawanan tawon terganggu dan menyerangku.

Aku terkejut dan berlari menjauhi pohon tersebut, sambil melepas kaos oblong, karena ada tawon yang masuk kedalam kaos yang kupakai. Saat itu spontan aku melakukan penguatan diri dan mengimani kuasa Tuhan, kuatakan dalam hati bahwa : aku kuat, aku sehat, aku kuat, aku sehat, aku tidak akan sakit, dan seterusnya ..... berulang-ulang.

Waktu itu kami sedang menebang pohon asam besar yang tumbuhnya condong dan membahayakan keselamatan. Salah seorang jasa penebang pohon yang bekerja dibawah, menolongku mengusir lebah yang menempel badanku. Karena panik, dengan topi yang dipakai dia mengusir tawon yang melekat di badanku, walau dia sendiri mendapat 2 sengatan.

Saat itu juga aku diingatkan dengan apa yang tertulis dalam Alkitab : “Seribu orang rebah disisiku dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 50

tidak akan menimpamu..... “(Mazmur 91 : 7). Kata “seribu orang” dalam ayat tersebut kuganti dengan “32 tawon”. Jadi dalam keadaan kesakitan tersebut aku mengatakan ;....aku kuat,...aku sehat, ....32 tawon rebah disisiku, tapi itu tidak menimpaku......!

Ternyata kemarahan kawanan tawon belum juga selesai, beberapa tawon mengejar dan menyengatku lagi. Aku tak menyangka, dan aku lari masuk ke rumah, bahkan seekor diantaranya mengejarku masuk rumah. Bersyukur tawon tersebut dapat dimatikan anak kami yang saat itu segera datang menolong.

Masalah berikutnya adalah efek bisa sengatan tawon tersebut mulai terasa sakit sekali, perih, panas (kemranyas, bahasa Jawa), pada dahi, tengkuk, kepala bagian belakang, bahu, kedua lengan, punggung, dada, perut, bahkan di bokong. Sambil mengoleskan obat luar pada sengatan, isteriku menghitung, total ada 32 sengatan.

Saran tindakan penangan dari dokter, keluarga, atau kerabat, selain obat oral dan obat luar, juga saran untuk dibawa ke rumah sakit. Mereka juga panik saat mengetahui kesakitanku karena usiaku hampir 69 tahun. Saran tersebut baik dan kusyukuri sebagai wujud perhatian mereka padaku. Namun aku percaya kuasa Tuhan akan memulihkanku, aku akan kuat dan aku akan pulih kembali.

Aku mengucap syukur pada

Tuhan atas sengatan lebah tersebut, walau terasa sakit dan perih, jadi yang kuminta adalah kekuatan dan kesabaran menerimanya. Masalahnya adalah kapan rasa sakit ini hilang, dan seberapa kuat aku merasakannya. Dalam menahan sakit tersebut waktu rasanya sangat lama. Dari jam 11 siang sampai jam 5 sore, dalam kesakitan yang sangat tersebut, aku berusaha untuk memperkatakan : terima kasih Tuhan, terima kasih Tuhan,.......aku kuat, aku sehat, aku sembuh,.......32 tawon rebah disisiku dan aku tidak menimpanya......., berulang-ulang kukatakan. Aku harus kuat itu yang ada di pikiranku.

Aku lawan rasa sakit tersebut dengan berjalan cepat kesana kemari, mendorong atau menarik sesuatu, mengepalkan tangan dengan kuat, bahkan meninju tembok rumah. Saat agak reda sakitnya, aku bisa duduk atau tiduran di sofa, walau dalam posisi apapun tetap terasa sakit di bekas sengatan.

Sempat juga beberapa kali mengalami kejang ditangan dan kaki, itu menambah rasa sakit. Badan terasa capek sekali karena menahan rasa sakit tersebut.

Dalam menahan sakit itu juga, aku paksakan nafasku seperti kondisi sehat melalui mulut, walau sebenarnya nafasku agak berat dan nggliyeng.

Puji Tuhan, sekitar jam 15.00 WIB rasa perih di kulit mulai mereda dan warna merah disekitar sengatan mulai memudar,

namun masih bengkak. Isteriku sudah bisa membersihkan tubuh dengan mengelap dibagian tubuh yang belum dibersihkan sejak tersengat lebah.

Karena lelah sekali, aku mencoba tiduran di kamar, walau harus sering ganti posisi, karena luka sengatan terasa perih bila kulit tertekan pada alas tidur. Dengan posisi tiduran walau tidak nyaman dan sakit belum reda, setidaknya aku bisa hemat energi untuk percepatan pemulihan.

Puji Tuhan, aku semakin pulih dan jam 17.00 WIB aku paksakan diri bangun dan mandi, aku merasa sudah dipulihkan Tuhan. Sisa rasa pegal dan sakit pada posisi tertentu, kuabaikan karena aku merasa sudah sembuh dan siap beraktivitas normal lagi. Aku bersyukur karena Tuhan mengijinkan disengat tawon, tapi Tuhan juga memberikan kekuatan dan kesembuhan.

Ternyata imanku diuji lagi, setelah rasa sakit dan perih berkurang, kini mulai terasa sangat gatal di bekas sengatan tawon. Rasanya ingin digaruk, padahal luka sengatan masih basah dan melepuh serta harus dioles salep. Bila digaruk berarti proses penyembuhan sia-sia, karena luka sengatan akan terbuka lagi.

Rasa sangat gatal di bekas sengatan tersebut klimaknya dipetang hari, terlebih bila kena gesekan pakaian yang kupakai. Bahkan hembusan udara dari AC juga merangsang rasa gatal, karenanya aku hanya mengenakan celana pendek

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 51

longgar dan menghindari hembusan angin.

Walau aku merasa gatal di kulit, namun badan terasa segar, dan tidak merasakan lelah atau ngantuk. Barangkali ini efek samping dari 32 sengatan tawon ? Semalaman itu aku tidak bisa tidur karena badan terasa segar sampai pagi hari. Ini sungguh menyiksa, tubuh rasanya segar tapi gatal.

Andaikata aku bisa tidur, tentu rasa gatal tersebut bisa “hilang” sementara, walau kalau terbangun nanti terasa lagi. Namun aku tetap mensyukuri, karena aku bisa menahan diri tidak menggaruknya, kukatakan : sakit perih sengatan bisa kulawan, rasa gatal pasti juga bisa kulawan,.......aku pasti sembuh...!

Malam itu ada kerabat yang menyarankan agar aku ke UGD dan infus, katanya untuk menghilangkan racun tawon dalam darah. Saran dari orang yang kusegani tersebut, sempat menggoyahkan imanku. Padahal aku sudah merasa pulih, tinggal rasa gatal saja, dan aku yakin pasti akan sembuh total. Dengan halus sarannya kutolak.

Paginya setelah mandi, sarapan, minum obat dan oles salep, sekitar jam 09.00 aku mulai ngantuk dan tertidur sampai siang hari. Dibangunkan isteri untuk makan siang, dan pengobatan lanjutan. Puji Tuhan, aku merasa sehat, walau rasa gatal masih terasa, terlebih bila tergesek pakaian yang kukenakan, atau tersenggol sesuatu.

Aku semangati diri, bahwa aku sehat, dan aku sudah sembuh. Aku juga tidak mau diperlakukan sebagai orang yang sakit, kecuali dioles salep untuk pemulihan luka sengatan dan rasa gatalnya. Hari ke-3 luka sengatan sudah mengering dan hari ke-5 rasa gatal sudah hilang. Aku sudah sembuh total.

REFLEKSI IMAN

Tuhan telah memulihkanku, dan 32 bekas luka sengatan yang membekas dikulit adalah bukti perkenan Tuhan sesuai imanku. Seperti Samuel yang mendirikan tugu Eben Haezer (stone of help), bekas sengatan yang menghitam dan mengeras (keloid) dikulit, adalah tanda pengingatanku, bahwa Tuhan telah menolongku.

Kejadian tersebut adalah praktek iman, bahwa akupun bisa memindahkan gunung walau imanku hanya sebesar biji sesawi, namun utuh dan sepenuhnya. Apa yang ada di hati dan kuperkatakan saat itu semuanya spontan, dan itu pasti tutunan Roh Kudus. Aku diijinkan memintanya dan Tuhan berkenan memenuhinya.

Apa yang kualami tersebut adalah merupakan berkat buatku, imanku diuji apakah aku tetap mengandalkan Tuhan, kendor atau malah sebaliknya ? Dengan merasakan sakit, perih, dan gatalnya sengatan tawon, namun aku dimampukan menahan rasa sakitnya, adalah ujian iman.

Kejadian ini kutulis bukan ingin menunjukan ketahanan fisikku,apalagi menyombongkan

tingginya imanku, tapi ingin bersaksi bahwa kuasa iman itu ada. Aku juga tidak tahu apakah pemikiranku ini benar dan teologis, yang pasti saat itu aku dimampukan menahan rasa sakit dan disembuhkan dengan cepat sesuai imanku padaNya.

Bila ada kasus yang sama namun dengan resiko klinisnya yang lebih parah atau kematian, seperti yang ketahui, itu otoritas Tuhan, lalu bila aku masih ditolong Tuhan (Eben Haezer) itu juga otoritasNya. Aku tidak tahu dasar atau ukuran iman yang dipakai Tuhan, yang jelas aku sudah merasakan pertolonganNya. Itu saja. Matur nuwun Tuhan.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 52

P r o f i l

Mengenal lebih dekat Pendeta

SUNNYPROFIL DIRI

Budiningrum Sunny Nurwidya, lahir di Jakarta, 21 Juli 1989. Sejak kecil ia akrab dipanggil dengan nama Sunny. Ia adalah anak kedua dari pasangan Bapak Setyo Budi Hutomo dan Ibu SN. Sugardini. Pendeta (Pdt.) Sunny ditahbiskan menjadi Pendeta GKI pada tanggal 13 Maret 2017 dengan basis pelayanan di GKI Jatiasih, Bekasi. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Maret 2018, Pdt. Sunny menikah dengan Pdt. Judistian Pratama Hutauruk yang adalah pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Mereka berdua dianugerahi Tuhan dua orang puteri kembar yang diberi nama Jensine Seraphim dan Jesse Seraphim.

Kerinduan untuk melayani Tuhan dirasakannya sejak SMP, bermula dari perbincangan dengan almarhumah eyang putrinya, Eyang Joelphiërë Margohoetomo. Eyang menceritakan perjalanan pelayanan semasa hidupnya di Gereja Kristen Jawa Margoyudan, Solo dan juga saat menjadi pengurus YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) di Solo. Selain itu, pengenalan

tentang pelayanan juga datang dari kedua orangtuanya yang turut aktif dalam pelayanan gerejawi di GKI Cawang, Jakarta Timur. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Pdt. Sunny sudah mengikuti berbagai kegiatan bakti sosial bersama dengan sang ayah. Dengan dukungan kedua orangtua, Pdt. Sunny juga terlibat dalam kepengurusan di komisi remaja GKI Cawang, bahkan mendapat kesempatan untuk masuk dalam organisasi antarumat beragama.

Selepas SMA, Pdt. Sunny sempat merasa bimbang ketika hendak memutuskan pendidikan yang lebih tinggi antara menempuh studi teologi atau studi di bidang lain. Pada akhirnya, Tuhan sendiri yang menuntunnya untuk menempuh studi di STT Jakarta (sekarang STFT Jakarta) pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2012. Selama menjalani studi teologi, Pdt. Sunny memeroleh begitu banyak pengalaman pelayanan. Salah satu yang paling berkesan baginya adalah ketika ia menjalani praktik kerja lapangan di Panti Asih Pakem, Yogyakarta selama lebih kurang dua bulan. Di sana, bersama dengan sahabatnya Isabella Novsima,

Pdt. Sunny belajar mengasah kepedulian terhadap sesama khususnya para penyandang difabilitas. Pengalaman ini juga yang kemudian menajamkan minatnya pada bidang pelayanan sosial dan pastoral.

Ketika menjalani proses kependetaan, dirinya terus dibentuk menjadi pribadi yang bertumbuh di dalam iman dan pengharapan di dalam Tuhan. Pdt. Sunny selalu ingat sebuah ayat Firman Tuhan yang menjadi dasar dan pegangan hidupnya yaitu Mazmur 118: 8, “lebih baik berlindung pada TuHAn dari pada percaya kepada manusia”. Baginya, hanya Tuhanlah tempat perlindungan dan pertolongan yang paling kuat karena manusia itu lemah dan rapuh. Ia juga sadar bahwa Tuhan mengutus sesama manusia untuk saling menghadirkan pertolongan dan cinta kasih dari Tuhan. Hal itu juga yang memotivasinya untuk melayani Tuhan dan sesama. Selama pelayanannya,

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 53

Pdt. Sunny selalu mensyukuri penyertaan Tuhan yang memampukannya untuk dapat menjalani setiap pelayanan dengan berbagai macam suka dan duka di dalamnya.

GKI Jatiasih merupakan sebuah gereja yang terletak pada daerah rawan bencana banjir. Banyak anggota jemaat tinggal di pemukiman yang sering terkena banjir. Maka, pelayanan yang juga tidak kalah menariknya adalah pelayanan bagi para korban banjir. Seluruh anggota jemaat didorong untuk terlibat salah satunya dalam menyalurkan bantuan bagi para korban banjir. Pdt. Sunny juga terlibat aktif untuk menolong para anggota jemaat dan juga warga sekitar yang menjadi korban banjir. Pengalaman pelayanan ini membuat kepekaan dan kepeduliaannya semakin terasah.Konsep pemaknaan tentang pelayanan bagi diri Pdt. Sunny semakin terbentuk ketika berada di GKI Jatiasih. Ia melihat segala pergumulan, permasalahan, dan suka duka adalah cara Tuhan

membentuk pelayan-Nya. Bersama dengan umat Tuhan yang dilayaninya, Pdt. Sunny berjumpa dengan kreatifitas,kepedulian, ketulusan, keberagaman, kekeluargaan, bahkan juga penerimaan dan penolakan. Baginya, tidak ada yang perlu disesali tentang apapun juga ketika melayani karena melalui semua hal yang telah terjadi akan membentuk pribadi diri yang semakin baik.

Pada masa pandemi yang serba terbatas ini, Pdt. Sunny berupaya sebaik mungkin untuk tetap optimal dalam melayani jemaat Tuhan di GKI Jatiasih meskipun juga harus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menjadi pendeta konsulen di GKI Kebon Bawang, Jakarta Utara. Saat ini, bersama dengan Tim Satgas Covid-19 GKI Jatiasih, ia melayani anggota jemaat dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan saat terpapar Covid-19. Dari pelayanan ini, ia banyak memetik pembelajaran, salah satunya tentang bagaimana manusia harus menjadi sahabat

bagi sesamanya. Seperti yang pernah dituliskan oleh seorang Filsuf Romawi bernama Lucius Annaeus Seneca, ia menuliskan homo homini socius yang artinya “manusia menjadi sahabat bagi sesamanya”. Ungkapan ini dituliskannya untuk menanggapi ungkapan homo homini lupus ( manusia menjadi serigala bagi sesamanya). Bagi Pdt. Sunny di masa pandemi seperti ini seorang pengikut Kristus perlu mendorong diri untuk menjadi sahabat bagi sesama. ini adalah salah satu wujud kita menjadi pengikut Kristus yang setia. Semoga kita bisa melewati pandemi ini dan terus saling melayani untuk kemuliaan nama Tuhan.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 54

P r o f i l

CAPEN GKI JATIBENING iNDAH - BEKASI

Andri Budi Nugroho. Begitulah nama yang diberikan oleh kedua orangtua saya. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, saya dilahirkan di Banyumas, lebih tepatnya di kecamatan Ajibarang, pada tanggal 17 Juni 1987. Di Ajibarang (yang berjarak 18 kilometer sebelah barat dari kota Purwokerto) inilah, saya bersama dengan dua adik laki-laki, Bryan (lahir pada tahun 1992), dan Christian (lahir pada tahun 2000), bertumbuh dan dibesarkan oleh bapak dan ibu yang keduanya bekerja sebagai guru PNS. Bapak mengajar PAK di SD, sedangkan ibu mengajar Bahasa Indonesia di SMP. Dalam membesarkan anak-anak, bapak dan ibu selalu menanamkan pentingnya pendidikan sebagai salah satu modal utama untuk meraih cita-cita. Karena itu, mereka mendorong kami untuk bisa bertanggungjawab dengan studi yang kami jalani. Selain itu sejak dini kami juga diperkenalkan dengan kehidupan bergereja khususnya melalui kegiatan Sekolah Minggu,

dan terus berlanjut dengan aktif berkegiatan dalam wadah komisi pemuda remaja serta pelayanan umum di GKI Ajibarang (baik ketika masih menjadi bajem dari GKI Gatot Soebroto Purwokerto maupun setelah didewasakan/dilembagakan pada tahun 1999).

Melalui kehidupan bergereja saya belajar mengembangkan minat dan bakat seperti menyanyi, bermain musik, bermain peran teatrikal, belajar public speaking, dan belajar berorganisasi yang dapat digunakan untuk pelayanan. Gereja pun seperti menjadi rumah kedua bagi saya karena di sanalah saya bisa berkumpul dan bersekutu dengan teman-teman sekaligus melakukan pelayanan dan membuat karya bersama. Menginjak kelas 3 SMA di tahun 2004/2005, beberapa anggota jemaat, termasuk juga Pdt. Guruh Jatmiko yang masih melayani di GKI Ajibarang pada waktu itu mendorong saya untuk masuk sekolah teologi. Pelayanan mengajar Sekolah Minggu, pelayanan musik dalam ibadah, pelayanan seni drama/visualisasi, serta pelayanan kaum muda yang saya jalani mereka pandang dapat menjadi modal yang cukup baik bagi saya untuk terjun ke sekolah teologi dan

menjadi seorang pendeta kelak. Namun jujur saja pada saat itu, saya belum punya keinginan sama sekali untuk bersekolah teologi, apalagi menjadi seorang pendeta. Tidak terbayang! Betapapun saya senang “hidup” menggereja, tapi kalau untuk masuk sekolah teologi, rasanya kok ‘tidak’ atau ‘belum’.

Saya hanya memikirkan ingin menjadi seorang arsitek bangunan atau seorang engineer kimia. Pada pertengahan tahun 2005, dua kali saya mengikuti test masuk perguruan tinggi, dua-duanya diisi dengan pilihan jurusan Arsitektur dan Teknik Kimia. Usaha pertama mengikuti Ujian Masuk UGM, gagal! Usaha kedua mengikuti SPMB PTN, saya memilih jurusan Arsitektur ITB sebagai pilihan pertama dan jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang sebagai pilihan kedua. Sebulan menunggu dengan was-was, pengumuman hasil ujian pada akhirnya keluar dan saya dinyatakan diterima di jurusan Teknik Kimia Undip. Hari itu saya merasa berbahagia, penuh dengan ungkapan syukur kepada Tuhan. Namun sayangnya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada saat registrasi ulang, saya

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 55

tidak bisa melewati test buta warna sehingga saya tidak bisa diproses untuk menjadi mahasiswa baru di program studi Teknik Kimia. Buta warna, sesuatu yang sudah lama saya ‘curigai’ sejak kecil (karena saya sukar membedakan mana hijau, mana coklat, mana merah, juga kerap mewarnai daun dengan warna coklat muda dan mewarnai batang pohon dengan warna hijau tua, sehingga tak jarang saya ditertawakan oleh teman-teman), namun baru terkonfirmasisecaramedispadasaat itu. Saya tak bisa masuk di program studi yang saya pilih dan yang telah lama saya dambakan. Kecewa? Pasti. Marah? Tentu, hanya tak jelas kepada siapa saya harus meluapkan kemarahan. Protes kepada Tuhan? Iya, protes dalam tangisan polos seorang anak remaja yang hanya ingin mengejar mimpinya yang sederhana. Tapi apa yang bisa saya buat? Kalau mau tetap melanjutkan studi di Undip, saya ditawari untuk masuk ke program studi lain yaitu Teknik Sipil, yang sesungguhnya kurang saya minati. Satu hari bergumul, akhirnya saya mengambil tawaran tersebut. Jadilah saya mahasiswa Teknik Sipil Undip angkatan 2005.

Tak sampai satu semester berjalan, saya sudah merasakan tidak sreg berkuliah di Teknik Sipil Undip yang memang tidak saya minati sejak awal. Sesuatu yang dikerjakan bukan dari hati pada waktu itu memang terasa menyiksa dan melelahkan. Tak ada semangat berkuliah,

tapi tak sampai hati untuk mengungkapkan pergumulan kepada orangtua yang telah berjerihlelah mengantar anaknya sampai di bangku kuliah. Pada suatu momen, saya sempat berujar ingin pindah kuliah di tempat lain, termasuk menyatakan keinginan untuk ‘menjajal’ masuk sekolah teologi di tahun ajaran berikutnya. Namun, orangtua saya tidak setuju. Bagi bapak, untuk terjun dalam pelayanan gerejawi tidaklah harus menjadi seorang pendeta. “Baiklah”, seru lirih hati saya pada waktu itu. Akhirnya, saya ‘memaksa’ diri untuk melanjutkan kuliah di Teknik Sipil meskipun masih dengan setengah hati. Tugas-tugas dalam perkuliahan tetap saya kerjakan, ujian-ujian juga saya ikuti dengan baik. Namun hati tidak bisa berbohong, saya tidak menemukan spirit pada apa yang saya kerjakan. Saya masih kesulitan beradaptasi dengan kenyataan yang ada, bahkan mungkin sebenarnya masih menolak apa yang menjadi “konteks” hidup saya pada masa itu. Saya pun bergumul hebat dengan pikiran dan perasaan saya sendiri selama 3,5 tahun saya mencoba menjalani studi di Semarang. Di situlah saya merasa menjadi orang yang amat rapuh dan tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa.

Di tahun 2009, saya menyerah. Menjalani 7 (tujuh) semester berkuliah di Teknik Sipil, ternyata saya “kalah” (dalam bahasa anak Tiktok zaman sekarang, “kena

mental”). Saya memutuskan untuk keluar dari Undip. Saya tidak bisa (atau saya tidak ingin?) melanjutkan studi saya lagi. Pilihan itu sangat berisiko, tetapi dengan sadar saya pilih, meskipun saya tahu itu akan menimbulkan luka yang dalam bagi bapak dan ibu. Tidak mudah juga bagi mereka dan keluarga untuk menerima apa yang saya putuskan. Namun, pilihan untuk berhenti studi ternyata tak lantas membuat saya merasa tenang. Sebaliknya, saya menjadi depresi. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya juga merasa kehilangan masa muda saya. Saya bingung bagaimana harus berdamai dengan orangtua dan keluarga. Rasanya hanya ingin pergi dan bersembunyi. Namun, ternyata Tuhan tidak membiarkan saya berlari dan bersembunyi. Ia terus menjangkau saya untuk tidak hanya menerima atau berdamai dengan situasi yang saya alami, tetapi juga untuk berani melangkah jauh, membuat lompatan iman dalam doa, harapan, dan tindakan nyata untuk memulihkan kehidupan saya.

Seorang pendeta yang mengenal dengan baik perjalanan kehidupan saya pada waktu itu berkata kepada saya, “Kamu masih muda, Andri. Masih ada kesempatan dan harapan. Ayo, bangun dan kembali percaya diri. Melangkahlah lagi dan berjuang bersama dengan Tuhan.” Pelan-pelan saya mencoba bangkit untuk belajar menerima kenyataan dan melakukan

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 56

refleksi kritis atasnya. Secarapsikis, saya juga banyak ditolong oleh orang-orang terdekat yang mendorong saya untuk menatap jalan di depan dan berani melangkah membuat perubahan yang berarti. Bapak dan ibu juga tidak menolak saya. Dalam kasih, penerimaan, dan pengampunan yang mereka tunjukkan kepada saya, yang saya yakini juga sebagai terusan pancaran kasih Tuhan-, saya direngkuh dan didukung untuk mengejar apa yang menjadi harapan saya, termasuk keinginan untuk masuk sekolah teologi, yang sepanjang tahun 2010 saya coba gumuli dengan serius. Ya, setelah melewati masa depresi di tahun 2009, pada tahun 2010 saya kembali aktif melakukan pelayanan di GKI Ajibarang dengan sebuah semangat yang baru dan pada masa-masa itulah panggilan untuk melayani Tuhan kembali bergaung dan saya tanggapi.

Akhirnya pada pertengahan tahun 2011, dengan dukungan penuh dan semangat dari keluarga dan gereja, saya mengikuti tes untuk mendapatkan rekomendasi studi teologi dari GKI di Magelang dan diterima. Kemudian, jadilah saya mahasiswa teologi angkatan 2011 UKDW sebagai kader GKI. Baru saat itulah saya merasakan “nikmatnya” dunia perkuliahan. Berjumpa dengan teman-teman mahasiswa dari berbagai latar belakang, membuat saya mensyukuri perbedaan atau keragaman, dan belajar darinya. Pula, setiap tahapan perkuliahan

saya jalani dengan senang hati. Perkuliahan teologi tidak hanya memperlengkapi saya dengan pembelajaran akademis-kognitif, tetapi juga dengan keterampilan ministerial yang amat dibutuhkan dalam dunia pelayanan. Selain itu, ada juga pengembangan spiritualitas yang terkait dengan pengenalan serta pengembangan diri yang menolong saya untuk memiliki gambar diri yang positif dan bagaimana mengembangkannya di tengah dunia pelayanan yang nyata. Pengalaman praktek selama masa perkuliahan di GKI Agus Salim - Bekasi (pra-stage) dan di GKI Banjarnegara (stage) juga menolong saya untuk berjumpa dengan banyak “situasi” dan “konteks”. Darinya, saya belajar mendialogkan wawasan teologis-akademis yang saya dapatkan di kampus dengan konteks situasi riil jemaat serta teologi operatif yang umat miliki, lalu melatih diri untuk menarikrefleksiteologisatasnyadan merancang praksis iman yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kehidupan bergereja.

Singkat kisah, saya lulus dari Fakultas Teologi UKDW pada tahun 2018 setelah menyelesaikan skripsi dengan tajuk “Mengantisipasi Masa depan Ciptaan: Interaksi dialogis antara eskatologi Proleptik dan Skenario Saintifik mengenai Keruntuhan Bumi dan Alam Semesta sebagai Realitas Fisik.” Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan mengikuti Bina Kader GKI sebagai sarana

persiapan proses kependetaan. Setiap proses dalam Bina Kader, saya coba pahami sebagai sarana untuk semakin mengenal diri sendiri, baik yang terkait dengan pengenalan karakter, komitmen terhadap panggilan, maupun pengembangan kompetensi pelayanan. Masa praktek kejemaatan di GKI Buaran Jakarta dan GKI Cianjur dalam masa pendidikan persiapan kependetaan juga membantu saya untuk memahami bahwa kehidupan bergereja sesungguhnya amatlah dinamis dan fluktuatif.Harapan untuk mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan di tengah dunia, rupanya harus gereja wujudkan dengan bergumul dan berjuang, serta ber-discernment mencari kehendak Tuhan terus-menerus.

Dan di sinilah saya sekarang berada. Di GKI Jatibening Indah – Bekasi, saya ditempatkan sejak 1 Januari 2021 untuk menjalani proses kependetaan (saat ini sedang menempuh kuartal terakhir dari Tahap Orientasi), bersama dengan jemaat yang juga sedang bergumul, berjuang, dan ber-discernment untuk tetap meneguhkan panggilan kami sebagai gereja Kristus. Suka dan duka dalam sejarah kehidupan bergereja, telah GKI Jatibening Indah (GKI JBI) alami. Salah satu bagian pengalaman pahit yang pernah terjadi dan berdampak sampai dengan saat ini adalah penutupan gedung ibadah GKI JBI di Jl. Batam B/135, Komplek AL Jatibening Indah, Bekasi, sejak tahun 2007. Sampai dengan saat

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 57

ini, kami masih mengupayakan penyediaan tempat peribadahan yang permanen. Sementara, peribadahan hari Minggu masih dilakukan di rumah-rumah jemaat tertentu yang menyediakan tempat untuk beribadah. Namun sejak pandemi Covid-19 mulai merebak di Indonesia pada pertengahan Maret 2019, kami harus beribadah secara daring. Tentu ini menjadi tantangan baru bagi umat, dan juga khususnya bagi saya yang harus menjalani Tahap Perkenalan dan Tahap Orientasi di tengah masa pandemi. Pada masa inilah, saya dituntut untuk mengembangkan kreatifitas dan efektifitas dalampelayanan di tengah situasi yang sulit, namun telah menjadi kebiasaan baru, sejak pandemi berlangsung.

Namun di balik sebuah krisis, selalu ada hal baik yang bisa kita kembangkan jika kita cukup peka untuk menemukan dan mengolahnya. Dalam masa pandemi ini, saya melihat banyak anggota jemaat dan simpatisan yang mau terlibat dalam pelayanan peribadahan secara daring, baik untuk ibadah umum, ibadah anak, maupun ibadah remaja. Ada juga talenta-talenta yang semakin bermunculan untuk membuat karya pelayanan yang berdampak positif, seperti misalnya membuat konten video klip lagu anak Sekolah Minggu dengan karya orisinil anggota jemaat GKI JBI, termasuk dalam penggarapan aransemen, produksi musik

dan rekaman suara, sampai dengan finishing video hingga layak tayang. Tampilan-tampilan konten tersebut diwadahi dalam channel Youtube “Ruang Kreasi GKI Jatibening Indah” dan dalam perkembangannya ternyata membawa berkat juga bagi orang-orang yang menyaksikannya. Meskipun dalam kondisi terbatas dan belum punya gedung ibadah permanen, namun anggota jemaat dan simpatisan GKI JBI tetap memiliki loyalitas yang tinggi dan juga mau memberi diri bagi Tuhan dan gereja-Nya melalui persembahan tenaga, talenta, dan materi, bahkan di tengah situasi pandemi sekalipun.

Secara pribadi, saya berharap dapat menjadi sahabat yang berproses bersama-sama dengan umat di GKI Jatibening Indah – Bekasi, berproses untuk bertumbuh-kembang dan pada waktunya menghasilkan buah yang baik. Masih ada banyak PR

yang harus saya kerjakan secara pribadi dalam konteks panggilan hidup saya sebagai calon pendeta di jemaat ini, maupun PR yang menjadi tanggung jawab bersama umat, bagaimana kami harus saling bergandengan tangan dalam membangun dan memajukan GKI Jatibening Indah dengan segala tantangan dan pergumulan yang ada. Jika Tuhan telah berulang kali menolong dan menopang saya dalam babak-babak hidup yang terasa kelam di waktu yang lalu, maka Tuhan dalam kasih dan anugerah-Nya pun saya yakini akan kembali menolong dan menopang langkah saya untuk berkarya bersama dengan umat di GKI Jatibening Indah.

MITRA GKI SW JATENG | Edisi XV | September - Desember 2021 58