76682373-referat-eksoftalmus
-
Upload
scribdmikael -
Category
Documents
-
view
238 -
download
4
Transcript of 76682373-referat-eksoftalmus
0
Tinjauan Pustaka
EEKKSSOOFFTTAALLMMUUSS
Oleh :
Sophia Yustina, S. Ked NIM. 062011101011
Mirandasari, S. Ked NIM. 072011101063
Pembimbing :
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2011
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, tanpa mata manusia masih
dapat hidup, namun keberadaan mata sangatlah penting. Mata adalah jendela
kehidupan, tanpa mata manusia tidak dapat melihat apa yang ada di sekelilingnya.
Oleh karena itu pemeliharaan mata sangatlah penting.
Salah satu struktur mata yang penting adalah orbita. Struktur tulang orbita
yang kaku, dengan lubang anterior sebagai satu-satunya tempat untuk ekspansi,
setiap penambahan isi orbita yang terjadi di samping atau di belakang bola mata
akan mendorong organ tersebut ke depan dan akan menimbulkan perubahan letak
dari bola mata ke depan dan mengakibatkan eksoftalmus (proptosis, protrusio
bulbi). Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Lesi-lesi
ekspansif dapat bersifat jinak atau ganas dan dapat berasal dari tulang, otot, saraf,
pembuluh darah, atau jaringan ikat. Massa dapat bersifat radang, neoplastik,
kistik, atau vaskular. Penonjolan itu sendiri tidak bersifat mencederai kecuali
apabila kelopak mata tidak mampu menutup kornea. Namun penyebab yang
mendasari biasanya serius dan kadang-kadang membahayakan jiwa.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan banyak petunjuk mengenai
penyebab proptosis. Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan penyakit
sistemik. Eksoftalmometer Hertel adalah metode pengukuran standar untuk
mengukur tingkat proptosis. Oleh karena itu, pada makalah ini kami mencoba
membahas beberapa penyakit yang dapat menyebabkan eksoftalmus.
2
BAB 2. ANATOMI RONGGA ORBITA
Ruang orbita merupakan suatu piramid yang puncaknya di sebelah
posterior dibentuk oleh foramen optikum dan basisnya di bagian anterior di
bentuk oleh margo orbita. Dinding medial dari mata kanan dan kiri sejajar.
Dinding lateralnya dari mata kanan tegak lurus terhadap dinding lateral mata kiri.
Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun dengan volume orbita dewasa
±30cc, tinggi 35 mm dan lebar 40 mm. Bola mata hanya menempati sekitar 1/5
bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Otot-otot
mata terdiri dari m. levator palbebra, m. rektus superior, m. rektus inferior, m.
rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior, m. obliqus superior. 16
Tulang-tulang orbita terdiri dari:
Bagian atas : os frontalis, os sphenoidalis
Bagian medial : os maksilaris, os lakrimalis, os sphenoidalis, os
ethmoidalis, lamina papyracea hubungan ke os sphenoidalis. Dinding ini
paling tipis.
Bagian bawah : os maksilaris, os zigomatikum,os palatinum.
Bagian lateral : os zigomatikum, os sphenoidalis, os frontalis. Dinding ini
paling tebal.
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, serat
saraf, yang masuk ke dalam mata, yang terdiri dari:
1. Foramen optikum yang dilalui oleh N. Optikus, A. Oftalmika.
2. Fisura orbita superior yang dialalui oleh v. Oftalmika, N. III, IV, VI untuk
otot-otot dan N.V (saraf sensibel).
3. Fisura orbita inferior yang dialalui oleh nervus, vena, dan arteri infra
orbita. 16
3
Ruang orbita dikelilingi sinus-sinus, yaitu :
Atas : Sinus frontalis.
Bawah : Sinus maksilaris.
Medial : Sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan ruang hidung. 16
Gambar 1. Tulang orbita
(Sumber Sobotta : Atlas Anatomi Manusia ed. 22)
facies orbitais os frontalis
facies orbitais
os sphenoidale
facies orbitais
os zygomatici
os zygomaticum
pars orbitais os maksilaris
pars frontalis os maksilaris
crista lacrimalis
anterior
crista lacrimalis
posterior
os lakrimale
os ethmoidale
4
Gambar 2. Dinding orbita
(Sumber Sobotta : Atlas Anatomi Manusia ed. 22)
Dinding Orbita :
Atap : - facies orbitais ossis frontalis
- Ala parva ossis sphenoidalis (bgn posterior) mengandung
kanalis optikus
Dasar : - pars orbitais ossis maksilaris (bgn sentral yang luas)
- pars frontalis ossis maksilaris (medial)
- os zygomaticum (lateral)
- processus orbitais ossis palatini (daerah segitiga kecil di
posterior)
Lateral : - anterior : facies orbitais ossis zygomatici (malar)
Medial : - os ethmoidale
os ethmoidale
Proc orbitais
os palatini
Facies orbitaes
os maxilla
Os lacrimale
Facies orbitaes os frontale
5
- os lakrimale
- korpus sphenoidale
- crista lacrimalis anterior : dibentuk oleh processus frontalis
ossis maksilaris
- crista lacrimalis posterior yg dibentuk oleh :
Atas : processus angularis ossis frontalis
Bawah : os lacrimale
Diantara kedua crista lacrimalis terdapat sulkus lakrimalis dan
berisi sakus lakrimalis. 16
Vaskularisasi Orbita
Arteri utama : Arteri Oftalmika yang bercabang menjadi :
1. Arteri retina sentralis memperdarahi nervus optikus
2. Arteri lakrimalis memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata
atas
3. Cabang-cabang muskularis berbagai otot orbita
4. Arteri siliaris posterior brevis memperdarahi koroid dan bagian-bagian
nervus optikus
5. Arteri siliaris posterior longa memperdarahi korpus siliare
6. Arteri siliaris anterior memperdarahi sklera, episklera,limbus,
konjungtiva
7. Arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata
8. Arteri supraorbitais
9. Arteri supratrokhlearis
Arteri-arteri siliaris posterior longa saling beranastomosis satu dengan
yang lain serta dengan arteri siliaris anterior membentuk circulus arterialis mayor
iris.
Vena utama : Vena Oftalmika superior dan inferior. Vena Oftalmika Superior
dibentuk dari :
6
Vena supraorbitais
Vena supratrokhlearis mengalirkan darah dari kulit Satu
cabang vena angularis di daerah periorbita
Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dengan sinus
kavernosus sehingga dapat menimbulkan trombosis sinus kavernosus yang
potensial fatal akibat infeksi superfisial di kulit periorbita.mempercepat
penguapan. Air mata tidak meleleh melalui pipi juga, karena isi dari glandula
meibom, menjaga margo palpebra tertutup rapat pada waktu berkedip. 16
7
BAB 3. EKSOFTALMUS
Eksoftalmus (proptosis, protrusio bulbi) merupakan keadan dimana bola
mata menonjol keluar. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita.
Penyebabnya bisa bermacam-macam, diantaranya:
1. Kavum orbita terlalu dangkal.
2. Edema, radang, tumor, perdarahan di dalam orbita.
3. Pembesaran dari bola mata.
4. Dilatasi dari ruangan di sinus-sinus di sekitar mata dengan berbagai sebab,
radang, tumor, dan sebagainya.
5. Trombosis dari sinus kavernosus.
6. Paralisis mm. Rekti.
7. Eksoftalmus goiter.
8. Pulsating eksoftalmus.
9. Intermiten eksoftalmus.
Semua penyebab di atas mengakibatkan timbul bendungan di palpebra dan
konjungtiva, gerak mata terganggu, diplopia, rasa sakit bila bengkak hebat,
lagoftalmus karena mata tidak bisa menutup sempurna sehingga menyebabkan
epifora. Tarikan pada N. II menyebabkan gangguan visus. 1,2,3,9,15
Pemeriksaan pada eksoftalmus yang harus dilakukan adalah:
1. Riwayat penyakit.
2. Pemeriksaan mata secara sistematis dan teliti, dapat dilakukan dengan
penyinaran oblik, slit lamp, funduskopi, tonometri, eksoftalmometer, dimana
normal penonjolan mata sekitar 12-20 mm. Selain itu dapat pula dilakukan tes
lapangan pandang dan pemeriksaan visus. Protrusi dari mata merupakan
gejala klinik yang penting dari penyakit mata. Eksoftalmometer Hertel adalah
sebuah alat yang telah diterima secara umum untuk menilai kuantitas
proptosis. Eksoftalmometer adalah alat yang dipegang tangan dengan dua alat
pengukur yang identik (masing-masing untuk mata satu), yang dihubungkan
dengan balok horizontal. Jarak antara kedua alat itu dapat diubah dengan
8
menggeser saling mendekat atau saling menjauh, dan masing-masing
memiliki takik yang pas menahan tepian orbita lateral yang sesuai. Bila
terpasang tepat, satu set cermin yang terpasang akan memantulkan bayangan
samping masing-masing mata di sisi sebuah skala pengukur, terbagi dalam
milimeter. Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar dari 12 sampai
20 mm, dan ukuran kedua matanya biasanya berselisih tidak lebih dari 2 mm.
Jarak yang lebih besar terdapat pada eksoftalmus, bisa uni atau bilateral.
3. Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium, USG, CT-Scan,
arteriografi, dan venografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa uji antibodi (anti-tiroglobulin,
anti-mikrosomal, dan anti-tirotropin reseptor) dan kadar hormon-
hormon tiroid (T3, T4 dan TSH).
Pemeriksaan Ultrasound merupakan suatu penilaian terhadap jaringan
lunak dengan menggunakan getaran suara. Ada 2 cara pemeriksaan
yaitu A scan dan B scan. A scan adalah penilaian hasil ekho, untuk
mengetahui struktur jaringan, sedangkan B scan memberikan
penilaian topografis, untuk mengetahui besar, bentuk, dan lokalisasi
jaringan. USG dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat dan
awal orbitopati Grave’s pada pasien tanpa gejala klinik. Yang dapat
ditemukan adalah penebalan otot atau pelebaran vena oftalmica
superior.
CT-Scan dan MRI dibutuhkan jika dicurigai keikutsertaan nervus
optic. CT-Scan sangat bagus untuk menilai otot ekstraokular, lemak
intraconal, dan apeks orbital. Sedangkan untuk MRI lebih baik dalam
menilai kompresi nervus optik dibandingkan CT-Scan. Dengan
bantuan kontras dapat membedakan tumor ganas dari yang jinak,
dimana tumor ganas akan meningkatkan densitas akibat adanya
pertambahan vaskularisasi, sedang pada tumor jinak tidak ada
pertambahan vaskularisasi.
Arteriografi bisa dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui a.
Karotis dapat dilihat bentuk dan jalannya arteri oftalmika.
9
Venografi untuk melihat bentuk dan kaliber vena oftalmika superior.
Di bawah ini akan kami bahas beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
eksoftalmus, yaitu Tiroid oftalmopati, Pulsating eksoftalmus, periostitis orbita,
selulitis orbita, tenonitis, dan trombosis sinus kavernosus. 3,10,11,23
3.1 TIROID OFTALMOPATI
3.1.1 PENDAHULUAN
Istilah penyakit Graves menggambarkan kombinasi hipertiroidisme
dengan tanda mata. Pasien dengan kelainan mata penyakit Graves tetapi tanpa
bukti klinis hipertiroidisme dinyatakan mengidap penyakit Graves oftalmik.
Pasien mungkin memperlihatkan miksedema pratibia dan jari-jari gada, apabila
timbul bersamaan dengan tanda-tanda mata, kelainannya disebut akropaki
(acrophacy) tiroid. 9,10,24
3.1.2 DEFINISI
Tiroid oftalmopati (Graves thyroid-associated atau dysthyroid
orbitopathy) adalah suatu kelainan inflamasi autoimun yang menyerang jaringan
orbital dan periorbital mata, dengan karakteristik retraksi kelopak mata atas,
edema, eritem, konjungtivitis, dan penonjolan mata (proptosis). 24
3.1.3 EPIDEMIOLOGI
Dari berbagai macam penelitian berpendapat bahwa tiroid oftalmopati
mengenai wanita 2,5-6 kali lebih sering daripada pria tetapi kasus berat lebih
sering dijumpai pada pria. Tiroid oftalmopati mengenai penderita dengan usia 30-
50 tahun dan kasus berat lebih sering dijumpai pada pasien dengan usia di atas 50
tahun. 14,18
3.1.4 PATOGENESIS
Autoantibodi menyerang fibroblast pada otot mata, dan fibroblast tersebut
dapat berubah menjadi sel-sel lemak (adiposit). Sel-sel lemak dan pembesaran
otot dan menjadi radang. Vena-vena terjepit, dan tidak dapat mengalirkan cairan,
menyebabkan edema.
10
Gambaran utama adalah distensi nyata otot-otot okular akibat
pengendapan mukopolisakarida. Mukopolisakarida bersifat sangat higroskopik
sehingga meningkatkan kandungan air didalam orbita.
Sekarang diperkirakan terdapat dua komponen patogenik pada penyakit
Graves:
1. Kompleks imun tiroglobulin-antitiroglobulin berikatan dengan otot-otot
ekstraokular dan menimbulkan miositis
2. Zat-zat penyebab eksoftalmos bekerja dengan imunoglonulin oftalmik
untuk menyingkirkan thyroid stimulating hormone dari membran retro-
orbita, yang menyebabkan peningkatan lemak retro-orbita. 24
3.1.5 GAMBARAN KLINIS
Tanda mata penyakit Graves mencakup retraksi palpebra, pembengkakan
palpebra dan konjungtiva, eksoftalmos dan oftalmoplegia. Pasien datang dengan
keluhan nonspesifik misalnya mata kering, rasa tidak enak, atau mata menonjol.
The American Thyroid Association membuat penentuan derajat tanda
okular berdasarkan peningkatan keparahan
Kelas Tanda
0
1
2
3
4
5
6
Tidak ada gejala atau tanda
Hanya tanda, yang mencakup retraksi kelopak mata atas, dengan atau tanpa lid
lag, atau proptosis sampai 22 mm. Tidak ada gejala
Keterlibatan jaringan lunak
Proptosis > 22 mm
Keterlibatan otot ekstraokuler
Keterlibatan kornea
Kehilangan penglihatan akibat keterlibatan saraf optikus
Tabel 1. Derajat keparahan tiroid oftalmopati
(Sumber Graves Oftalmopati )
11
Retraksi kelopak mata patognomonik untuk penyakit tiroid, terutama
apabila berkaitan dengan eksoftalmos. Mungkin unilateral atau bilateral dan
mengenai kelopak mata atas dan bawah. Kelainan ini sering disertai oleh miopati
restriktif, yang mula-mula mengenai rektus inferior dan menimbulkan gangguan
elevasi mata.
Patogenesis retraksi kelopak mata bermacam-macam, antara lain:
1. Hiperstimulasi sistem saraf simpatis
2. Infiltrasi peradangan langsung pada otot levator
3. Miopati restriktif otot rektus inferior dapat menimbulkan retraksi kelopak
mata akibat peningkatan stimulasi levator sewaktu mata mencoba melihat
ke atas. 14
A. Eksoftalmos
Kelainan ini biasanya asimetrik dan mungkin unilateral, dan secara klinis
perlu dilakukan perkiraan resistensi terhadap retropulsi bola mata secara manual.
Peningkatan isi orbita yang menimbulkan eksoftalmos sebagian besar disebabkan
oleh peningkatan massa otot-otot okular. 14,24
B. Oftalmoplegia
Kelainan ini lebih sering dijumpai pada penyakit Graves oftalmik,
biasanya mengenai orang tua dan asimetrik. Keterbatasan elevasi adalah kelainan
yang paling sering dijumpai, terutama disebabkan oleh adhesi antara otot rektus
inferior dan oblikus inferior. Kelainan ini dapat dikonfirmasi dengan mengukur
tekanan intraokular sewaktu elevasi, di mana terjadi peningkatan tekanan
intraokular yang mengisyaratkan adanya pertautan. Sering terjadi pembatasan-
pembatasan gerakan mata pada semua posisi menetap. Pasien mengeluhkan
diplopia. 14,24
C. Kelainan Saraf Optikus dan Retina
Kompresi bola mata oleh isi orbita dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intraokular dan strie retina atau koroid. Diskus optikus dapat
membengkak dan menyebabkan gangguan penglihatan akibat atrofi optikus.
12
Neuropati optikus yang berkaitan dengan penyakit Graves kadang-kadang terjadi
akibat penekanan dan iskemia saraf optikus sewaktu saraf ini menyeberangi orbita
yang tegang, terutama di apeks orbita. 14,24
D. Kelainan Kornea
Pada sebagian pasien, dapat ditemukan keratokonjungtivitis limbik
superior. Pada eksoftalmos yang parah, dapat terjadi pemajanan dan ulserasi
kornea. 14,24
E. Tanda Spesifik
1. Tanda dari Von Graef : Palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola
mata, bila penderita melihat ke bawah palpebra superior tertinggal dalam
pergerakannya.
2. Tanda dari Dalrymple : Sangat melebarnya fisura palpebra, sehingga mata
menjadi melotot.
3. Tanda dari Stellwag : Frekwensi kedipan berkurang dan tak teratur.
4. Tanda Mobius : Kekuatan kkonvergensi menurun.
5. Tanda dari Gifford : Timbulnya kesukaran untuk mengangkat palpebra
superior karena menjadi kaku. 22
3.1.6 DIAGNOSIS
Tiroid oftalmopati secara klinis di diagnosa dengan munculnya tanda dan
gejala pada daerah mata, tetapi uji antibodi yang positif (anti-tiroglobulin, anti-
mikrosomal, dan anti-tirotropin reseptor) dan kelainan kadar hormon-hormon
tiroid (T3, T4 dan TSH) membantu menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosa, antara
lain:
1. CT Scan dan MRI
CT scan dan MRI memberikan gambaran yang sangat baik dari otot-otot
ekstraokular, perlekatan otot, lemak intrakonal, dan anatomi apeks orbital.
Pembesaran otot muncul dalam berbagai bentuk diantara perut otot, dan
13
penebalan biasanya lebih dari 4 mm. Penonjolan lemak intrakonal dapat
menyebabkan proptosis. Kedua pemeriksaan ini dapat mendiagnosa tiroid
oftalmopati dengan atau tanpa penekanan saraf optik. 24
2. Ultrasonografi Orbital
Pemeriksaan ini sangat baik untuk diagnosa tiroid oftalmopati, dan
kekhasan reflektivitas internal otot-otot ekstraokular dari sedang sampai tinggi,
sama halnya dengan pembesaran perut otot. Perlekatan dari otot ekstraokular
dapat digambarkan dengan mudah. Pasien dengan tiroid oftalmopati menunjukkan
peak-systolic rendah dan percepatan end-diastolic yang dapat dinilai dengan
pencitraan Doppler. 24
3. Pencitraan Nuklir
Infiltrasi orbital dengan sel-sel mononuklaer pada tiroid oftalmopati dapat
diidentifikasikan oleh reseptor pencitraan dengan octreotide, sebuah analog
somatostatin teradiasi. Pasien dengan tiroid oftalmopati aktif menunjukkan
pengambilan octreotide yang tinggi dan merespon pengobatan lebih baik,
misalnya dengan kortikosteroid atau terapi radiasi. Pasien dengan kelainan inaktif,
tidak merespon pengobatan ini.
Pemeriksaan histologis memberikan gambaran:
1. Infiltrasi sel limfositik
2. Pembesaran fibroblas
3. Penumpukan mukopolisakarida
4. Edema interstisial
5. Peningkatan produksi kolagen
6. Fibrosis dengan perubahan degeneratif pada otot-otot mata. 24
3.1.7 DIAGNOSIS BANDING
1. Selulitis Orbital : infeksi yang serius dari jaringan mata dengan
keluhan demam, proptosis, pergerakan mata terbatas, kelopak mata merah
dan berair.
14
2. Selulitis Preseptal : inflamasi dan infeksi dari kelopak mata dan bagian
kulit di sekitar mata dengan gejala mata berair, mata merah, kotoran
mata, nyeri, injeksi konjungtiva dan demam. 22
3.1.8 PENATALAKSANAAN
A. Pengobatan Medis
1. Kontrol adekuat terhadap hipertiroidisme
2. Terapi untuk pemaparan kornea (karena penutupan palpebra tak adekuat
malam hari) harus dengan tetes mata metilselulosa sepanjang hari dan
salep kloramfenikol malam hari
3. Tetes mata guanetidin dapat menghasilkan perbaikan retraksi kelopak
temporer, yang mungkin berguna secara kosmetik
4. Prisma yang diselipkan pada kacamata penderita bisa membantu
mengoreksi setiap diplopia
5. Kasus-kasus parah dengan gejala hilangnya penglihatan, edema diskus,
atau ulserasi kornea yang harus diterapi segera dengan kortikosteroid dosis
tinggi (mis. Prednisolon 100-120 mg per hari) selama tiga sampai empat
hari dan kemudian dikurangi. Jika tidak ada perbaikan dalam beberapa
hari, maka harus dipertimbangkan dekompresi bedah dan radioterapi
orbita. 23,24
B. Pengobatan Bedah
Dekompresi orbita biasanya dilakukan dengan mengangkat dinding medial
dan inferior melalui pendekatan etmoidal. Dekompresi apeks orbita perlu
dilakukan agar hasil akhir baik. Dekompresi bedah orbita bertujuan
menghilangkan tekanan intraorbita.
Pembedahan pada otot-otot yang menggerakkan bola mata mungkin perlu
dilakukan untuk meluruskan pandangan pada penderita yang sudah lama
mengidap diplopia. 23,24
3.1.9 KOMPLIKASI
Dengan tiroid eksoftalmos, dapat terjadi infeksi atau keterlibatan kornea.
15
3.1.10 PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik. Kebanyakan pasien tidak memerlukan tindakan
pembedahan. Faktor-faktor resiko untuk tiroid oftalmopati yang progresif dan
berat yang membuat prognosis menjadi buruk antara lain:
1. Jenis kelamin laki-laki
2. Usia lebih dari 50 tahun
3. Onset gejala cepat dibawah 3 bulan
4. Merokok
5. Diabetes
6. Hipertiroidisme berat atau tidak terkontrol
7. Kemunculan miksedema pretibia
8. Kadar kolesterol tinggi (hiperlipidemia)
9. Penyakit pembuluh darah perifer. 14
Gambar 1. Gambar 2.
Gambar 1. Proptosis berat dan retraksi kelopak mata dari tiroid oftalmopati.
Pasien ini juga memiliki kerusakan saraf penglihatan dari tiroid
oftalmopati. (sumber Ophtalmic Pathology)
Gambar 2. CT scan potongan axial dari orbital. Tampak pembesaran perut otot
yang memisahkan perlekatan otot dari bola mata. (sumber . Ophtalmic Pathology)
16
3.2 Pulsating eksoftalmus
3.2.1 DEFINISI
Pulsating eksoftalmus adalah eksoftalmus yang disertai pulsasi bola
mata. 24
3.2.2 ETIOLOGI
Paling sering disebabkan oleh arterio venous aneurysma antara
a.carotis interna dan sinus cavernosus biasanya akibat trauma tembus,
pukulan yang keras atau jatuh di kepala yang menyebabkan kerusakan dasar
tengkorak terutama os. Sfenoid. Jarang disebabkan oleh karena degenerasi
dinding pembuluh darah. Juga dapat disebabkan oleh tumor vaskular.
Penyakit ini jarang sembuh spontan, biasanya disertai dengan gejala-gejala
serebral dan perdarahan yang dapat berakibat fatal. 24
3.2.3 GEJALA KLINIS
Dengan palpasi atau dengan pemeriksaan stetoskop akan teraba dan
terdengan gemuruh di mata, di dahi, dan di kepala yang sesuai dengan denyut
nadi. Terdapat edema di palpebra, konjungtiva dan juga di papil nervus II.
Pembuluh darah di palpebra, konjungtiva, dan retina melebar. Juga terdapat
rasa sakit. Penekanan terhadap arteri carotis komunis sisi yang sama akan
menyebabkan pulsasi dan suara gemuruh berkurang. 24
3.2.4 PENATALAKSANAAN
Sementara penekanan dengan jari atau dengan alat pada a. carotis
comunis pada sisi yang sama. Kemudian dilakukan pengikatan dari a. carotis
comunis atau vena oftalmika pada sisi yang sama. 24
3.3 Periostitis orbita
3.3.1 DEFINISI
Periositis orbita adalah peradangandari periost tulang-tulang
orbita.terjadinya dapat akut atau kronik dapat terbatas pada margo orbita atau
lebih dalam. Pada perjalanan penyakitnya mungkin dapat terjadi penebalan
17
periost, pembentukan tulang, abses, timbulnya nekrosis atau karies tulang
orbita. 24
3.3.2 ETIOLOGI
1. Peradangan dari kulit atau sinus-sinus di sekitar mata.
2. Trauma yang disertai infeksi di orbita.
3. TBC terutama pada anak-anak. Biasanya mengenai margo orbita lateralis.
Pada tempat ini timbul benjolan berwarna merah tanpa rasa sakit yang
disebut cold abses. Perjalanan penyakinya menahun.
4. Lues stadium III pada dewasa. Biasanya mengenai margo orbita superior.
Perjalanan penyakitnya akut. 24
3.3.3 GEJALA KLINIK
Mengenai margo orbita
1. Terasa sakit terutama pada penekanan margo orbita.
2. Timbul benjolan yang sukar digerakkan dari dasarnya.
3. Palpebra dan konjungtiva bengkak.
4. Bila berat, keadaan umum dapat terganggu. Sering berakhir dengan
absorbsi total dari peradangan tersebut bila pengobatan diberikan segera
secara intensif. Jarang timbul abses yang dapat menyebabkan perforasi si
kulit.
Mengenai periost yang lebih dalam
1. Sakitnya lebih hebat disertai pembengkakan yang hebat dari palpebra dan
konjungtiva.
2. Terdapat eksoftalmus
3. Keadaan umum terganggu, dapat berakhir dengan absorbsi total atau
menyebabkan penebalan periost dan nekrosis tulang.
4. Jika terbentuk abses keadaan menjadi lebih buruk dan sukar dibedakan
dari selulitis orbita. Pus dapat menjalar ke depan tetapi lambat. Yang lebih
18
berbahaya jika pus masuk ke dalam tulang tengkorak sehingga dapat
menyebabkan meningitis atau abses otak. 24
3.3.4 PENATALAKSANAAN
Lokal diberikan kompres hangat. Pada yang supuratif dilakukan insisi
sepanjang margo orbita untuk mengeluarkan pusnya. Kemudian dimasukkan
tampon yodoform untuk mengeluarkan pusnya dari fistula dan tampon ini
harus diganti setiap hari sampai pus tidak keluar lagi. Bila ada karies dari
tulang yang nekrotik harus dikeluarkan dengan operasi. 24
3.4 SELULITIS ORBITA
Gambar 5. Selulitis orbita
(sumber Pathophisiology of Orbital Cellulitis)
3.4.1 Definisi
Septum orbita adalah lapisan dari fascia yang meluas secara vertikal
dari periosteum di bagian orbita ke aponeurosis levator pada bagian kelopak
mata atas dan batas inferior lempeng tarsal pada bagian bawah kelopak mata.
Selulitis orbital (selulitis post septal) dan selulitis preseptal merupakan infeksi
tersering yang menyerang jaringan di orbita dan adneksa mata. Selulitis orbita
merupakan penyakit yang menyerang jaringan halus pada bagian orbita
19
posterior yang meluas sampai ke septum orbita dan bisa dibedakan dengan
selulitis preseptal yang merupakan penyakit yang menginfeksi jaringan halus
pada kelopak mata dan regio periocular anterior dari septum orbita. Penyakit
ini merupakan penyebab tersering proptosis pada anak-anak. Walaupun
sebagian besar kasus timbul pada anak-anak, orang dewasa, dan yang
mengalami gangguan kekebalan juga dapat terkena. Penyebab dari penyakit
ini sangat bervariasi dan dapat mengakibatkan komplikasi serius jika tidak
ditangani segera. 4,7,8
3.4.2 Epidemiologi
Penyakit ini biasanya terjadi pada negara yang terdapat musim dingin
akibat meningkatnya insiden sinusitis. 90% kasus selulitis orbita disebabkan
oleh Sinusitis Ethmoid dan biasanya diikuti oleh penyakit-penyakit seperti
dakriosistisis, ostiomielitis pada tulang orbita, pleblitis pada vena fasial, dan
infeksi pada gigi. Di Amerika Serikat terdapat bukti peningkatan insiden
penyakit selulitis orbita pada mereka yang memiliki memiliki riwayat resisten
metisilin pada Staphylococcus Aureus salah satu bakteri penyebab selulitis
orbita. Berdasarkan ketersediaan antibiotik penderita yang mengalami
selulitis orbital mempunyai rasio mortalitas 17 % dan 20% yang hidup
mengalami kebutaan. Namun dengan diagnosa segera dan pemberian
antibiotik yang tepat rasio penyakit ini menurun hingga 11 %. Pada kasus
selulitis orbita dengan penyebab jamur, mempunyai angka mortalitas yang
tinggi pada pasien dengan keadaan imunosupresi. Namun perlu dicatat bahwa
pada kasus selulitis orbita dengan resisten metisilin pasien tetap akan
mengalami kebutaan meskipun mendapat terapi antibiotik. Secara umum
penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak pada usia pertengahan
daripada dewasa pada usia 7 – 12 tahun. Pada usia dewasa penyakit ini bisa
terjadi dengan rasio perbandingan yang sama baik pria maupun
wanita,kecuali pada kasus resisten metisilin dimana wanita lebih sering
daripada pria dengan rasio perbandingan 4:1, sedangkan pada anak-anak pria
lebih sering daripada wanita. 7,12
20
3.4.3 Etiologi
Selulitis orbita biasanya disebabkan oleh :
Infeksi pada jaringan halus pada orbita akibat penyebaran infeksi dari
bagian periorbital.
Trauma yang mengakibatkan perforasi pada septum oribita yang dapat
mengakibatkan reaksi inflamasi dalam waktu 48-72 jam setelah
terjadinya trauma.
Infeksi post operatif.
Infeksi bakteri seperti Streptococcus Sp, Staphylococcus Aureus,
Haemophilus influenzae type B. Pseudomonas, Klebsiella, Eikenella,
dan Enterococcus sangat jarang.
Infeksi jamur seperti Mucor dan Aspergillus sp. 7,8
3.4.4 Patofisiologi
Dinding bagian medial orbita sangat tipis dan dapat dilalui oleh
pembuluh darah dan saraf. Dengan adanya keadaan tersebut dapat
memudahkan terjadinya penyebaran mikroorganisme penyebab infeksi
khususnya antara rongga ethmoid dan ruang subperiorbital pada bagian
medial orbita. Lokasi yang paling tersering terkena abses subperiorbital
adalah sepanjang dinding medial orbita, karena pada medial orbita bagian ini
termasuk jaringan penyambung jarang sehinga memudahkan penyebaran
material-material abses tersebut ke arah lateral, superior dan inferior didalam
ruang subperiorbital. 12
Disamping itu penyebaran dari bagian otot-otot ekstraokular dan
septum intermuskular terjadi diantara otot rektus yang satu dan yang lain serta
berinsersi pada bagian posterior annulus zinii. Pada bagian posterior fascia
diantara otot-otot rektus yang tipis dan tidak sempurna ini dapat memudahkan
penyebaran infeksi di bagian intra dan ekstra piramid pada ruang orbita.
21
Penyebaran infeksi juga dapat terjadi melalui vena orbitalis yang
memperdarahi sepertiga bagian medial wajah terutama sinus paranasal. 12
Pada kasus selultis orbita dengan penyebabnya jamur terutama mucor
dan aspergillus sp bisa terdapat dua keadaan mucomycosis dan aspergillosis.
Tabel perbedaan antara mucomycosis dan aspergilosis
Perbeda
an
Mucomycosis Aspergilosis
1 Onset cepat 1-7 hari Bulan sampai tahun
2 Orbital apex sindrom ( saraf 2,3,4,5,6 dan
saraf simpatis orbita ) ditandai dengan nyeri
edema palpebra dan kehilangan penglihatan
Proptosis dan penglihatan
menurun
3 Nekrosis pada hidung dan dinding palatum Nekrosis pada hidung dan
dinding palatum
4 Trombosis arteritis dan nekrosis Fibrosis kronik dan
granulomatosa
nonnekrotik
Tabel 2. Perbedaan antara mucomycosis dan aspergilosis
(Sumber Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 6th
ed)
3.4.5 Pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit
Penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan salah
satu elemen penting dalam mendiagnosa selulitis orbital. Pasien biasanya
22
mengeluhkan demam, malaise, riwayat sinusitis dan infeksi saluran nafas
bagian atas. Perlu untuk ditanyakan riwayat trauma, operasi yang pernah
dilakukan atau ada tidaknya infeksi sistemik yang sedang atau mungkin
pernah dialami.
Selain gejala-gejala diatas juga terdapat gejala-gejala tambahan yaitu :
1. Kemosis konjungtiva
2. Penurunan penglihatan
3. Peningkatan tekanan intraokular
4. Nyeri pada saat mengerakan mata
5. Sakit kepala
6. Edema palpebra
7. Rhinorhea
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
Proptosis dan oftalmoplegia (tanda cardinal dari selulitis orbital) biasanya
di ikuti oleh gejala 1-4 ditambah beberapa gejala seperti :
Penglihatan yang awalnya normal namun semakin bertambah sulit
dievaluasi pada anak yang mengalami edema palpebra.
Discharge cairan nasal yang purulen
Konjungtiva yang hiperemis dan adanya kemosis
Palpebra yang berwarna merah tua 12,23,24
3.4.6 Diagnosa banding
Eksoftalmus
Retinoblastoma
Sarciodosis
Gigitan laba-laba
Oftalmopati tiroid 24
3.4.7 Pemeriksaan Penunjang
23
Pemeriksaan laboratorium
Hitung sel darah : leukositosis (leukosit >15.000) dengan netrofilnya shift
to the left.
Cultur darah untuk dan papsmear untuk mengetahui penyebab penyakit
dan terapi yang akan digunakan. 7,10
Pemeriksaan radiologi
CT-Scan dengan kontras dengan dua cara pengambilan :
Axial : untuk mengetahui ada tidaknya pembentukan abses otak pada
bagian peridural dan parenkim.
Koronal : untuk mengetahui ada tidaknya abses subperiorbital, namun
pda potongan ini sangat sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak
kooperatif dan yang sedang mengalami onset akut penyakit ini. Hal ini
diakibatkan karena membutuhkan hiperfleksi atau hiperekstensi dari
leher.
MRI : untuk mengetahui ada tidaknya abses orbital dan kemungkinan
terjadinya penyakit sinus kavernosa.
Jika terdapat gejala-gejala menigeal pungsi lumbar sangat penting untuk
dilakukan. 12
3.4.8 Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa
Antibiotik :
Vancomycin
Clindamycin
Ceftazidime
Nafcilin
Chloromycetin
24
Dekongestan nasal
Phenylephrine nasal
Anti fungal
Amphotericin B
Drug of choice dalam pengobatan selulitis orbital karena jamur.
Diberikan secar intravena dan sangat baik diberikan sebelum
konfirmasi hasil laboratorium pada kasus infeksi berat.
Diuretik
Acetazolamide
Tindakan operatif
- Terjadi penurunan penglihatan.
- Defek aferen pupil terjadi
- Proptosis tetap terjadi meskipun telah diberikan antibiotik.
- Ukuran dari abses pada sinus tidak berkurang pada CT scan dalam
jangka waktu 48-72 jam pasca pemberian terapi antibiotik.
- Dapat dilakukan crainiotomy jika terdapat abses pada otak. 7,8,12,23,24
3.4.9 Komplikasi
Komplikasi selulitis orbital dapat terjadi di bagian orbita itu sendiri
atau menyebar ke bagian intracranial. Abses subperiorbital dapat terjadi (7-
9%). Kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi akibat kerusakan kornea
atau neurotropik keratitis, rusaknya jaringan intraokular, glaukoma
sekunder, neuritis optik, dan oklusi arteri centralis retina. Kebutaan juga
bisa terjadi secara sekunder akibat peningkatan tekanan intraorbital atau
infeksi secara langsung pada nervus optikus melalui sinus sfenoid dan nervus
okulomotor sehingga dapat mengakibatkan kelemahan otot-otot ekstraokular.
Komplikasi intrakranial meliputi meningitis (2%), trombosis sinus kavernosus
(1%), abses intrakranial, subdural dan epidural. 21,24
25
3.5 TENOSITIS
3.5.1 Definisi
Peradangan serosa dari kapsul tenon, yang isinya masuk ke ruang
tenon. 24
3.5.2 Penyebab
Trauma kecelakaan atau operasi dengan infeksi, influenza, rheuma,
gout. 24
3.5.3 Gejala
Gejalanya berupa:
Penonjolan bola mata
Gangguan gerak mata.
Palpebra, konjungtiva bengkak dan merah, terutama pada
tempat insersi dari muskuli rekti.
Khemosis yang rata.
Perjalanan penyakitnya beberapa minggu kemudian timbul
perlekatan antara kapsul tenon dan bola mata. Dapat terjadi
bersamaan dengan iridosiklisis atau panoftalmi. 24
3.5.4 Pengobatan
Menurut penyebabnya. Kompres hangat. 24
3.6 Trombosis sinus kavernosus
3.6.1 Definisi
Trombosis Sinus Kavernosis adalah penyumbatan vena besar di dasar
otak (sinus kavernosus). Trombosis sinus kavernosus sangat jarang
terjadi. 30% penderitanya meninggal dan yang bertahan hidup
mengalami cacat mental atau cacat saraf yang serius meskipun telah
menjalani pengobatan. 4
26
3.6.2 Penyebab
Penyumbatan ini biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi bakteri
dari sinus atau di sekitar hidung. Infeksi menyebar dari sinus atau kulit
di sekitar hidung ke otak secara langsung maupun melalui vena. 24
3.6.3 Gejala
Gejalanya berupa:
Penonjolan bola mata
sakit kepala hebat
koma
kejang
kelainan sistem saraf lainnya
demam tinggi 24
3.6.4 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi dilakukan pemeriksaan
terhadap darah dan contoh cairan, lendir maupun nanah dari
tenggorokan dan hidung. Biasanya juga dilakukan CT scan sinus,
mata dan otak. 24
3.6.5 Pengobatan
Segera diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena (melalui
pembuluh darah). Jika dalam waktu 24 jam keadaan penderita tidak
membaik, dilakukan pembedahan untuk mengeringkan sinus
(drainase). 24
27
BAB 4. PENUTUP
Eksoftalmus (proptosis, protrusio bulbi) merupakan keadan dimana bola
mata menonjol keluar. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita.
Penyebabnya bisa bermacam-macam misalnya infeksi, tumor, gangguan vaskuler,
dan gangguan system endokrin. Semua penyebab di atas mengakibatkan timbul
bendungan di palpebra dan konjungtiva, gerak mata terganggu, diplopia, rasa sakit
bila bengkak hebat, lagoftalmus karena mata tidak bisa menutup sempurna
sehingga menyebabkan epifora. Tarikan pada N. II menyebabkan gangguan visus.
Eksoftalmus diterapi berdasarkan penyakit yang mendasarinya.
Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang tepat untuk dapat menentukan
penyebab dari eksoftalmus. Dengan diketahuinya penyakit yang mendasari
terjadinya eksoftalmus maka dapat dilakukan terapi yang tepat. Terapi yang
dimaksud bisa dengan obat-obatan misalnya untuk infeksi dan gangguan
endokrin. Dan bisa juga dilakukan tindakan bedah misalnya untuk gangguan
vaskuler dan tumor.