5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

17
Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036 46 PROSPEK INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI MAKASSAR: ANALISIS POTENSI KELAYAKAN USAHA Industry prospect of cocoa processing in Makassar: Financial feasibility potential analysis A. Hasizah Mochtar 1 dan Rahim Darma 2 1 Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, email [email protected] 2 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, email: [email protected] ABSTRAK Prospek pengembangan industri pengolahan kakao di Makassar dianalisis berdasarkan faktor pendorong, faktor penghambat, kelayakan finansial usaha industri pengolahan kakao. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang dapat menunjang maupun menghambat pegembangan industri pengolahan kakao di Makassar. Faktor-faktor penunjang antara lain ketersediaan lahan dan tenaga kerja, kondisi iklim, letak geografis Indonesia yang sangat strategis di Asia, serta kecenderungan pabrik-pabrik coklat di Amerika dan Eropa untuk membeli lemak dan bubuk ketimbang mem- produksinya sendiri. Faktor-faktor yang menghambat antara lain mutu biji yang masih rendah, jaringan pemasaran di luar negeri lemah, penetrasi perusahaan multinasional dalam membeli biji di sentra-sentra produksi, serta diskriminasi negara-negara eropa terhadap produk kakao olahan dari Indonesia. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa tingkat kelayakan investasi sangat tergantung pada butter ratio dan powder ratio. Secara umum, apabila rasio kumulatif (butter ratio + powder ratio) 3,5 keatas, industry pengolahan akan sangat menguntung. Pada garis ambang (rasio kumulatif 3,4), industry pengolahan masih dapat menguntungkan tetapi laju pengembalian modal cukup lambat dan pabrik harus beroperasi mendekati kapasitas maksimumnya. Pada rasio kumulatif < 3,4 industri pengolahan sangat sulit memperoleh keuntungan. Kata kunci: Analisis kelayakan, potensi, pengolahan, produk kakao ABSTRACT Prospect of cocoa industry development in Makassar that analyze based on supporting factors, hinder factors, and financial feasibility of cocoa processing industry. Results of this study indicate that there exist a number of factors which can support the development of cocoa processing industry in Makassar. These include the availability of lands for expansion of cocoa plantations, the availability of skilled labor, favorable climatic conditions, strategic geographical location of Indonesia in Asia, and the trends of American and European chocolate manufacturing companies to outsource the cocoa butter and powder that they need in chocolate production. On the other hand, there are a few factors which can hinder the development such as low bean quality, weak market networks overseas, strong penetration of multinational companies in procuring cocoa beans from production centers in Sulawesi, and discrimination (higher tariffs) applied by European countries against processed cocoa products (liquor, butter, and powder) from Indonesia.

description

prospek pengolahan kakao

Transcript of 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Page 1: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

46

PROSPEK INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI MAKASSAR:

ANALISIS POTENSI KELAYAKAN USAHA

Industry prospect of cocoa processing in Makassar:

Financial feasibility potential analysis

A. Hasizah Mochtar1 dan Rahim Darma

2

1 Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, email [email protected] 2 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,

email: [email protected]

ABSTRAK

Prospek pengembangan industri pengolahan kakao di Makassar dianalisis berdasarkan

faktor pendorong, faktor penghambat, kelayakan finansial usaha industri pengolahan

kakao. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang dapat

menunjang maupun menghambat pegembangan industri pengolahan kakao di Makassar.

Faktor-faktor penunjang antara lain ketersediaan lahan dan tenaga kerja, kondisi iklim,

letak geografis Indonesia yang sangat strategis di Asia, serta kecenderungan pabrik-pabrik

coklat di Amerika dan Eropa untuk membeli lemak dan bubuk ketimbang mem-

produksinya sendiri. Faktor-faktor yang menghambat antara lain mutu biji yang masih

rendah, jaringan pemasaran di luar negeri lemah, penetrasi perusahaan multinasional dalam

membeli biji di sentra-sentra produksi, serta diskriminasi negara-negara eropa terhadap

produk kakao olahan dari Indonesia. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa tingkat

kelayakan investasi sangat tergantung pada butter ratio dan powder ratio. Secara umum,

apabila rasio kumulatif (butter ratio + powder ratio) 3,5 keatas, industry pengolahan akan

sangat menguntung. Pada garis ambang (rasio kumulatif 3,4), industry pengolahan masih

dapat menguntungkan tetapi laju pengembalian modal cukup lambat dan pabrik harus

beroperasi mendekati kapasitas maksimumnya. Pada rasio kumulatif < 3,4 industri

pengolahan sangat sulit memperoleh keuntungan.

Kata kunci: Analisis kelayakan, potensi, pengolahan, produk kakao

ABSTRACT

Prospect of cocoa industry development in Makassar that analyze based on supporting

factors, hinder factors, and financial feasibility of cocoa processing industry. Results of

this study indicate that there exist a number of factors which can support the development

of cocoa processing industry in Makassar. These include the availability of lands for

expansion of cocoa plantations, the availability of skilled labor, favorable climatic

conditions, strategic geographical location of Indonesia in Asia, and the trends of

American and European chocolate manufacturing companies to outsource the cocoa butter

and powder that they need in chocolate production. On the other hand, there are a few

factors which can hinder the development such as low bean quality, weak market networks

overseas, strong penetration of multinational companies in procuring cocoa beans from

production centers in Sulawesi, and discrimination (higher tariffs) applied by European

countries against processed cocoa products (liquor, butter, and powder) from Indonesia.

Page 2: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

47

Results of financial analysis reveal that economic feasibility of cocoa processing industry

is highly dependent on butter and powder ratios. In general, when butter ratio + powder

ratio (also known as combined ratio) is at 3.5 or above, cocoa processing industries are

highly profitable whereas when the combined ratio is less than 3.4 the processing

industries are most likely at loss. At the border line of 3.4, cocoa processing industries can

still be profitable but with significantly reduced rate capital return and processing facilities

must operate near their maximum capacities.

Keywords: Feasibility analysis, potential, processing, cocoa products

PENDAHULUAN

Kakao merupakan tanaman perkebunan

penghasil devisa yang penting bagi ne-

gara-negara penghasil kakao termasuk

Indonesia karena kakao merupakan salah

satu komoditas pertanian yang paling

banyak diperdagangkan di dunia interna-

sional. Nilai ekonomi dan volume per-

dagangan komoditas kakao terus mening-

kat seiring dengan meningkatnya permin-

taan dunia. Dalam beberapa tahun ter-

akhir, produksi kakao dunia meningkat

cukup tajam, yaitu dari sekitar 3,2 juta ton

pada Tahun 2001 menjadi sekitar 3,7 juta

ton pada Tahun 2005 (FAO, 2007).

Suplai kakao dunia telah meningkat se-

kitar 2,2% per tahun selama periode

1980/1981 – 2007/2008. Dalam kurun

waktu 2003/2004 – 2007/2008, 70% dari

total produksi kakao dunia berasal dari

Afrika, sementara Amerika dan Asia ber-

kontribusi masing-masing sekitar 10% dan

20%. Tiga negara penghasil kakao ter-

besar dunia (Pantai Gading, Ghana, dan

Indonesia) menyuplai sekitar 70% dari

total produksi dunia. Pada 10 tahun ter-

akhir, produksi kakao Pantai Gading

hanya meningkat sekitar 0.88% per tahun

sementara dalam kurun waktu yang sama

produksi kakao di Ghana dan Indonesia

masing-masing meningkat sebesar 6% dan

3.46% per tahun.

ICCO (2008a) memperkirakan bahwa

produksi biji kakao dunia akan meningkat

dari sekitar 3,713 juta ton pada tahun

2007/2008 menjadi sekitar 4,459 juta ton

pada tahun 2012/13, dengan peningkatan

rata-rata sekitar 3,7% per tahun. Seiring

dengan peningkatan produksi tersebut,

volume penggilingan juga diperkirakan

akan meningkat dari sekitar 3,727 juta ton

pada tahun 2007/2008 menjadi 4,285 juta

ton pada tahun 2012/2013, dengan pening-

katan sekitar 2,8% per tahun. Sehubungan

dengan proyeksi peningkatan produksi

dan volume penggilingan, stok akhir tahun

diperkirakan akan meningkat dari sekitar

1,54 juta ton pada tahun 2007/2008 me-

njadi 2,13 juta ton pada tahun 2012/2013.

Pasar kakao dunia secara umum dapat

dibagi atas dua segmen berdasarkan mutu

biji yaitu segmen pasar untuk biji kakao

bermutu tinggi yang dicirikan oleh biji

terfermentasi dengan sempurna (dikate-

gorikan sebagai Well Fermented Cocoa

Beans atau WFCB) dan segmen pasar

untuk biji kakao dengan mutu fisik yang

cukup baik tetapi tidak difermentasi (dika-

tegorikan sebagai Fair Average Quality

atau FAQ). Standar mutu untuk kategori

WFCB sangat ketat tetapi permintaan

pasar dunia sangat besar yaitu sekitar 2,4

juta ton per tahun atau sekitar 80% dari

total produksi kakao dunia. Sebaliknya,

biji kakao kategori FAQ tidak terlalu ketat

memperhatikan mutu biji dan permintaan

dunia untuk kakao kategori ini relatif kecil

yaitu sekitar 600.000 ton per tahun atau

sekitar 20% dari total produksi dunia.

Kakao Indonesia yang mampu bersaing

pada pasar WFCB hanya sekitar 2% dari

total ekspor. Penyebab utamanya adalah

karena petani kakao yang memproduksi

Page 3: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

48

sekitar 80% dari total produksi Indonesia

masih belum melakukan penanganan pas-

capanen dengan baik, terutama belum di-

laksanakannya proses fermentasi biji.

Hingga sekarang, ekspor kakao dari ne-

gara-negara penghasil kakao sebagian

besar masih dalam bentuk biji. Hal ini

menunjukkan bahwa nilai tambah dari

proses pengolahan biji kakao masih

dinikmati oleh negara-negara pengimpor

seperti Eropa, Amerika Serikat, Malaysia,

dan Australia. Negara-negara produsen

biji kakao seperti Indonesia telah sadar

akan pentingnya melakukan pengolahan

untuk menciptakan nilai tambah. Akan

tetapi, negara-negara penghasil kakao

belum sepenuhnya dapat melakukan peng-

olahan menjadi produk-produk setengah

jadi atau produk jadi. Kendala terbesar

yang dihadapi adalah tingginya integrasi

vertikal perusahaan-perusahaan multina-

sional yang bergerak dalam industry

pengolahan kakao.

Produksi kakao di Indonesia berpotensi

meningkat dengan pesat dalam beberapa

tahun yang akan datang karena adanya

perluasan areal pertanaman kakao oleh

petani dan kegiatan rehabilitasi pertanam-

an kakao yang sudah rusak atau tua

melalui program Gernas. Daerah sentra

produksi kakao Indonesia terutama berada

di Sulawesi Selatan (20,7%), Sulawesi

Tengah (17,7 %), Sulawesi Tenggara

(11,6%), Sulawesi Barat (11,2 %) dan,

Sumatera Utara (6,4%) dan daerah lain

(10,5%) (Suryani dan Zulfebriansyah,

2007).

Uraian di atas memperlihatkan potensi

produksi dan peluang pengembangan

kakao sesungguhnya sangat besar di Sula-

wesi Selatan. Namun dalam hal peng-

olahan biji menjadi produk olahan kakao

seperti lemak (butter) dan bubuk (powder)

kelihatannya masih menghadapi kendala,

di mana kapasitas terpasang industri

pengolahan belum terpenuhi. Hal mung-

kin disebabkan oleh beberapa hal antara

lain: (1) produksi biji kakao masih di-

dominasi untuk peruntukkan ekspor, se-

hingga pabrik-pabrik pengolahan sulit

bersaing dalam hal memperoleh bahan

baku; (2) pasar produk dari proses peng-

olahan biji kakao masih terbatas, hal ini

dapat terkait dengan kondisi pasar domes-

tik, dimana produk olahan dalam negeri

berkompetisi dengan produk impor, atau

kondisi pasar dunia dimana produk olahan

kakao dari Indonesia masih kalah bersaing

dengan produk ekspor dari negara lain.

Kedua faktor tersebut dapat mempe-

ngaruhi skala usaha pengolahan kakao

yang menyebabkan industri pengolahan di

Sulawesi Selatan beroperasi pada skala

usaha yang belum ekonomis atau tidak

efisien.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi

industri pengolahan kakao di atas dapat

dirumuskan bahwa industri pengolahan

kakao di Sulawesi Selatan belum men-

capai skala ekonomis. Oleh karena itu,

perlu dilalukan analisis tentang tingkat

kelayakan usaha pengolahan kakao bila

dilakukan investasi, faktor-faktor yang

mendorong dan menghambat perkem-

bangan industri pengolahan kakao di

Sulawesi Selatan, serta prospek pengem-

bangan indutsri pengolahan kakao di

Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu,

tujuan penelitian ini adalah untuk mem-

pelajari prospek pengembangan industri

pengolahan kakao di Sulawesi Selatan

berdasarkan analisis tingkat kelayakan

investasi dan faktor-faktor pendorong dan

penghambat pengembangan industri peng-

olahan kakao di Sulawesi Selatan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini lebih bersifat studi kasus

dalam menganalisis peluang pengem-

bangan suatu industri pengolahan kakao.

Pengembangan pengolahan kakao meli-

puti kelayakan usaha, potensi bahan baku,

potensi pasar, termasuk faktor-faktor eks-

Page 4: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

49

ternal yang mendukung dan menghambat

pengembangan pengolahan kakao. Desain

penelitian adalah lebih bersifat deskriptif

dengan memanfaatkan informasi data

sekunder yang dominan, dan ditunjang

dengan data primer yang belum terpub-

likasi dan merupakan informasi sangat

penting dalam pembahasaan.

Data yang digunakan dalam analisis me-

liputi data primer hasil wawancara de-

ngan beberapa pihak, termasuk dengan

staf perusahaan pengolahan kakao di

Makassar dan staf dari ASKINDO Sula-

wesi Selatan dan data sekunder berupa

data statistik tentang produksi nasional

dan global, kondisi pasar global, serta

perkembangan global harga biji, butter,

dan powder.

Dalam penelitian ini, analisis kelayakan

usaha dilakukan dengan menghitung Net

Present Value (NPV), Internal Rate of

Return (IRR), Payback Period, dan Break

Even Point. Metode-metode analisis ter-

sebut secara singkat dijabarkan sebagai

berikut:

Metode NPV menghitung nilai equivalen

saat ini (equivalent present value) dari

setiap arus kas yang akan terjadi dimasa

yang akan datang. Kelebihan utama dari

metode NPV adalah dapat memberikan

gambaran yang lebih mendekati kenyataan

tentang profitabilitas suatu proyek atau

industri yang direncanakan. Selain itu,

penggunaan faktor discount rate (i)

sebagai biaya atas penggunaan modal

(cost of capital) memungkinkan investor

menghitung secara lebih cermat keun-

tungan ril yang dapat diperoleh dari suatu

proyek atau investasi. NPV dari suatu

investasi dapat dihitung berdasarkan nilai

sekarang (present value) dari semua arus

kas tahunan yang terjadi selama umur

proyek dikurangi jumlah investasi awal

proyek tersebut (Merret dan Alien, 1989).

Secara matematis, NPV dapat dihitung

sebagai berikut:

dimana:

= nilai bersih suatu investasi.

= nilai bersih arus kas tahun ke-1

sampai ke-n.

= tingkat suku bunga atau discount

rate yang digunakan.

Metode IRR merupakan metode yang

paling sering digunakan dalam analisis

profitability suatu industri (Newnan dan

Johnson, 1995). IRR dapat didefinisikan

sebagai tingkat suku bunga atau tingkat

pengembalian yang akan diperoleh dari

nilai investasi yang belum kembali se-

hingga semua investasi terbayarkan kem-

bali pada akhir umur ekonomis investasi

tersebut (Newnan dan Johnson, 1995;

Blank dan Tarquin, 1989).

Dalam perhitungan laju pengembalian (i)

dari suatu investasi, semua pembiayaan

dan semua penerimaan harus dikonversi

kedalam sebuah arus kas kemudian ber-

dasarkan arus kas tersebut akan dicari laju

pengembalian (i). Persamaan-persamaan

arus kas yang dapat digunakan untuk me-

nentukan nilai (i) adalah sebagai berikut

(Newnan dan Johnson, 1995; Blank dan

Tarquin, 1989):

Pada persamaan-persamaan di atas, laju

pengembalian modal (i) dapat ditentukan

secara coba-coba (trial-and-error) dengan

menyelesaikan persamaan berikut (Sutojo,

2006):

Page 5: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

50

dimana:

I0 = total investasi awal

NCF = nilai bersih arus kas tahun ke-1

sampai tahun ke-n.

i = laju pengembalian modal (inter-

nal rate of return) yang dicari.

Perhitungan payback period dapat dilaku-

kan dengan dua cara yaitu: (1) dengan

mengsumsikan bahwa keuntungan bersih

dari proyek tetap konstan setiap tahun dan

(2) berdasarkan jumlah kumulatif dari

keuntungan bersih setiap tahun (Sutojo,

2006). Cara perhitungan yang pertama

secara matematis dapat ditulis sebagai

berikut (Blank dan Tarquin, 1989) :

Untuk perhitungan berdasarkan jumlah

kumulatif dari keuntungan bersih, jangka

waktu pengembalian (tahun) ditetapkan

dengan menjumlahkan keuntungan bersih

setiap tahun sehingga pada tahun ke-N

dipenuhi persyaratan berikut ini (Blank

dan Tarquin, 1989):

Dimana:

N = jangka waktu pengembalian modal

(payback period), tahun

I = total investasi, Rupiah

= rata-rata keuntungan setelah pajak

per tahun.

= Keuntungan bersih pada tahun ke-i.

Untuk menganalisa sensitifitas tingkat

kelayakan suatu investasi dalam pabrik

pengolahan kakao terhadap ralisasi pro-

duksi, dalam penelitian ini juga dilakukan

analisis titik impas (break even point)

yang memberi informasi tentang tingkat

produksi minimal per tahun yang harus

dicapai agar investasi dan proses produksi

tidak rugi. Dalam penelitian ini, titik

impas (BEP) realisasi produksi dihitung

sebagai berikut:

T

TP

TT KxBN

BBEP

Dimana:

BTT = Biaya tidak tetap

BT = Biaya tetap

Np = Nilai penjualan produk

KT = Kapasitas terpasang pabrik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Prospek Pengembangan Indus-

tri Pengolahan Kakao

Seperti telah diuraikan sebelumnya, jelas

bahwa Indonesia merupakan salah satu

negara penghasil kakao yang penting di

dunia, selain karena merupakan negara

penghasil kakao terbesar ketiga di dunia

setelah negara Pantai Gading dan Ghana

tetapi juga karena potensi perluasan lahan

pertanaman kakao yang masih besar.

Industri pengolahan kakao di Indonesia

memiliki peranan penting khususnya da-

lam perolehan devisa negara dan penye-

rapan tenaga kerja. Industri ini memiliki

keterkaitan yang luas, baik ke hulu

(upstream) berupa peningkatan pendapat-

an petani melalui harga biji kakao yang

lebih kompetitif maupun ke hilir (down-

stream) berupa penyerapan tenaga dan

perluasan sektor industri dan sector jasa

yang terkait.

Data dari ICCO (2008a) menunjukkan

bahwa komposisi ekspor produk kakao

Indonesia pada tahun 2008 masih di-

dominasi oleh biji (247.497 ton dengan

nilai US$ 550.684.389) kemudian diikuti

oleh lemak (39.714 ton dengan nilai US$

221.183.784), bubuk (23.996 ton dengan

Page 6: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

51

nilai US$ 24.899.937), bungkil (19.493

ton dengan nilai US$ 12.934.709) dan

pasta (1.017 ton dengan nilai US$

2.810.823).

Untuk kebutuhan pengolahan dan kon-

sumsi dalam negeri, pada saat yang sama

Indonesia juga mengimpor biji kakao

sebanyak 21.763 ton dengan nilai US$

32.209.000 dan dan produk olahan kakao

berupa lemak (10 ton dengan nilai US$

30.000), bubuk (4.372 ton dengan nilai

US$ 5.730.000), bungkil kakao (42 ton

dengan nilai US$ 16.000), dan pasta (225

ton dengan nilai US$ 348.000). Selain

untuk memenuhi kebutuhan pencampuran

(blending) untuk mendapatkan rasa coklat

yang lebih kaya, impor tersebut juga

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

kakao fermentasi yang belum bisa di-

peroleh dalam jumlah yang cukup di

dalam negeri.

Berdasarkan data-data yang telah dipapar-

kan sebelumnya, maka beberapa faktor

yang dapat mendukung maupun meng-

hambat pengembangan industri peng-

olahan kakao di Sulawesi Selatan dapat

dijabarkan secara singkat sebagai berikut:

Faktor Pendukung

a. Ketersediaan lahan yang sangat luas,

kondisi iklim yang sangat cocok untuk

produksi kakao, serta keterampilan

petani kakao yang sudah sangat me-

madai. Tanaman kakao dapat tumbuh

dan berproduksi dengan baik di hampir

seluruh wilayah Indonesia, sehingga

potensi pengembangannya masih cu-

kup tinggi.

b. Tersedianya banyak tenaga kerja te-

rampil, baik untuk sektor perkebunan

maupun sektor industri pengolahannya.

c. Lokasi Indonesia yang sangat strategis

di Asia memungkinkannya menjadi

lebih kompetitif dalam memenuhi ke-

butuhan konsumen di Asia yang jum-

lahnya sangat besar. Pasar-pasar baru

di Asia, terutama negara ekonomi baru

(emerging market) seperti Cina, Korea,

Taiwan, dan India, merupakan pasar

potensil untuk produk olahan kakao

Indonesia.

d. Kecenderungan perusahaan pembuat

coklat (chocolate manufacturers) di

Eropa dan Amerika untuk lebih ber-

konsentrasi pada pengembangan pro-

duk dan pemasaran dan membeli (out-

sourcing) bahan baku (lemak, bubuk,

dan pasta) dari perusahaan penggiling

(grinders) merupakan potensi yang

dapat dimanfaatkan oleh perusahaan

pengolahan dalam negeri.

Faktor Penghambat

a. Proses penanganan pasca panen (khu-

susnya fermentasi dan sortasi biji)

belum dilakukan dengan baik sehingga

mutu biji yang dihasilkan masih dika-

tegorikan rendah dan dihargai rendah

di pasar internasional. Hal ini mem-

perkecil peluang pasar di Eropa yang

menghendaki produk kakao terfermen-

tasi dan berkualitas tinggi.

b. Industri pengolahan kakao dalam ne-

geri belum terintegrasi dengan industry

manufacturing coklat sehingga produk

setengah jadi yang di-hasilkan masih

ditujukan untuk tujuan ekspor. Hal ini

mengakibatkan industri pengolahan sa-

ngat rentan terhadap pengaruh fluk-

tuasi harga dan permintaan komoditas

hasil olahan seperti lemak dan bubuk

di luar negeri.

c. Jaringan pemasaran di luar negeri serta

kemitraan dengan perusahaan choco-

late manufacturing masih sangat le-

mah sehingga perusahaan pengolah

dalam negeri sering kali mengalami

kesulitan menjual produk hasil olah-

annya.

d. Penetrasi yang sangat kuat oleh pe-

rusahaan-perusahaan multinasional da-

lam memperolah biji untuk ekspor.

Misalnya, perusahaan-perusahaan pe-

ngolahan di Malaysia sangat tergan-

tung pada pasokan biji dari Indonesia

Page 7: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

52

karena lebih dari 40% kebutuhan biji

untuk pengolahan di negara tersebut

diperoleh dari Indonesia.

e. Diskriminasi Negara-negara Eropa be-

rupa pajak impor yang lebih tinggi

terhadap produk olahan kakao dari

Indonesia harus dihilangkan melalui

negosiasi perdagangan antar peme-

rintah. Produk kakao olahan dari

Indonesia dikenai pajak impor sebesar

7,7 – 9,6% sedang produk olahan ka-

kao dari Afrika dibebaskan pajak im-

por di Uni Eropa.

Analisis Finansil Pabrik Pengolahan

Kakao

Dalam penelitian ini, analisis finansil

pabrik pengolahan biji kakao didasarkan

atas pabrik dengan kapasitas pengolahan

10,000 ton tahun-1

. Harga mesin untuk

fasilitas pengolahan dengan kapasitas

tersebut sekitar US$ 10 juta. Satu unit

produksi terdiri atas mesin pembersih biji,

mesin alkalisasi biji, mesin penyangrai,

mesin pemisah kulit, mesin penggiling,

mesin pengepres lemak, dan mesin penge-

mas. Untuk melayani pabrik ini dibutuh-

kan lantai pengolahan serta gudang pe-

nyimpanan bahan baku seluas 10,000

sampai 15,000 m2 serta gudang penyim-

panan produk yang terkontrol (suhu dan

kelembaban) seluas 2500 m2. Dengan de-

mikian, dalam analisis ini ditetapkan luas

fasilitas gedung untuk pabrik sebesar

17,500 m2.

Potensi pendapatan yang akan diperoleh

dari pabrik pengolahan kakao sangat

tergantung pada harga komoditas produk

olahan kakao seperti lemak, pasta, dan

bubuk. Dalam analisis ini, diasumsikan

bahwa semua pasta (liquor) yang diper-

oleh dari proses penggilingan keping biji

kakao akan dipres dalam pabrik sehingga

diperoleh produk berupa lemak dan bubuk

kakao. Rendemen lemak dan bubuk yang

diperoleh dari proses pengolahan biji

kakao masing-masing 37,5% dan 42%

(ICCO, 2008a,b

). Oleh karena itu, per-

hitungan potensi pendapatan didasarkan

pada harga dan rendemen pengolahan

kedua komoditas tersebut.

Data dari ICCO (ICCO, 2008b) menun-

jukan bahwa perbandingan antara harga

lemak kakao dengan harga biji (butter

ratio) dan harga bubuk kakao dengan

harga biji (powder ratio) mengalami per-

ubahan secara sangat dinamis dimana

rasio antara harga lemak kakao dengan

harga biji (butter ratio) bergerak antara

1,6 – 3, sedang rasio antara harga bubuk

dengan harga biji (powder ratio) bergerak

antara 0,5 – 1,6. Oleh karena itu, analisis

kelayakan finansil pabrik pengolahan ka-

kao akan dilakukan pada kisaran nilai ter-

sebut. Perlu pula diketahui bahwa dalam

analisis ini, harga biji kakao diasumsikan

sebesar Rp 20,000 kg-1

yang merupakan

harga lokal rata-rata dalam 2 tahun ter-

akhir.

Berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas,

potensi nilai penjualan lemak dan bubuk

kakao per ton biji yang diolah dapat di-

hitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 1

sedang labah bersih per tahun apabila

pabrik beroperasi pada kapasitas penuh

(10 ribu ton tahun-1

) disajikan pada Tabel

2. Seperti terlihat pada Tabel 2, laba

bersih pabrik pengolahan biji kakao

sangat tergantung pada butter ratio dan

powder ratio. Apabila powder ratio = 0,5,

pabrik hanya dapat untung (laba bersih

bernilai positif) apabila butter ratio diatas

2,7. Pada powder ratio =1 dan 1,5, pabrik

hanya dapat untung apabila butter ratio

masing-masing berada diatas 2,1 dan 1,5.

Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa

pabrik hanya bisa untung apabila rasio

kumulatif (butter ratio + powder ratio)

minimal sebesar 3,3.

Hasil analisis Net Presen Value (NPV)

seperti terlihat pada Tabel 3 menunjukkan

bahwa pada tingkat discount rate 13%,

nilai NPV secara konsisten benilai positif

(menguntungkan) pada saat rasio

Page 8: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

53

kumulatif bernilai 3,3 keatas. Pada rasio

kumulatif 3,3, keuntungan yang dihasilkan

oleh parbik selama umurnya (15 tahun)

bervariasi antara 36,67 milliar (pada

butter ratio 2,8 dan powder ratio 0,5)

hingga 87,86 milliar (pada butter ratio 1,7

dan powder ratio 1,6). Pada rasio

kumulatif yang lebih tinggi, keuntungan

yang dihasilkan oleh pabrik menjadi lebih

besar.

Tabel 1. Nilai penjualan lemak dan bubuk kakao per ton biji yang diolah

Butter

Ratio

Powder Ratio

0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

15.450.000

16.200.000

16.950.000

17.700.000

18.450.000

19.200.000

16.290.000

17.040.000

17.790.000

18.540.000

19.290.000

20.040.000

17.130.000

17.880.000

18.630.000

19.380.000

20.130.000

20.880.000

17.970.000

18.720.000

19.470.000

20.220.000

20.970.000

21.720.000

18.810.000

19.560.000

20.310.000

21.060.000

21.810.000

22.560.000

19.650.000

20.400.000

21.150.000

21.900.000

22.650.000

23.400.000

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

19.950.000

20.700.000

21.450.000

22.200.000

22.950.000

20.790.000

21.540.000

22.290.000

23.040.000

23.790.000

21.630.000

22.380.000

22.130.000

23.880.000

24.630.000

22.470.000

23.220.000

23.970.000

24.720.000

25.470.000

23.310.000

24.060.000

24.810.000

25.560.000

26.310.000

24.150.000

24.900.000

25.650.000

26.400.000

27.150.000

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

23.700.000

24.450.000

25.200.000

25.950.000

26.700.000

24.540.000

25.290.000

26.040.000

26.790.000

27.540.000

25.380.000

26.130.000

26.880.000

27.630.000

28.380.000

26.220.000

26.970.000

27.720.000

28.470.000

29.220.000

27.060.000

27.810.000

28.560.000

29.310.000

30.060.000

27.900.000

28.650.000

29.400.000

30.150.000

30.900.000

Butter

Ratio

Powder Ratio

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

20.490.000

21.240.000

21.990.000

22.740.000

23.490.000

24.240.000

21.330.000

22.080.000

22.830.000

23.550.000

24.330.000

25.080.000

22.170.000

22.920.000

23.670.000

24.420.000

25.170.000

25.920.000

23.010.000

23.760.000

24.510.000

25.260.000

26.010.000

26.760.000

23.850.000

24.600.000

25.350.000

26.100.000

26.850.000

27.000.000

24.690.000

25.440.000

26.190.000

26.940.000

27.690.000

28.440.000

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

24.990.000

25.740.000

26.490.000

27.240.000

27.990.000

25.830.000

26.580.000

27.330.000

28.080.000

28.830.000

26.670.000

27.420.000

28.170.000

28.920.000

29.670.000

27.510.000

28.260.000

29.010.000

29.760.000

30.510.000

28.350.000

29.100.000

29.850.000

30.600.000

31.350.000

29.190.000

29.940.000

30.690.000

31.440.000

32.190.000

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

28.740.000

29.490.000

30.240.000

30.990.000

31.740.000

29.580.000

30.330.000

31.080.000

31.830.000

32.580.000

30.420.000

31.170.000

31.920.000

32.670.000

33.420.000

31.260.000

32.010.000

32.760.000

33.510.000

34.260.000

32.100.000

32.850.000

33.600.000

34.350.000

35.100.000

32.940.000

33.690.000

34.440.000

35.190.000

35.940.000

Keterangan: [(rendemen lemak * butter ratio) + (rendemen powder * powder ratio)] * harga biji

Dasar perhitungan : Harga biji kakao Rp 20.000 / kg

Page 9: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

54

Tabel 2. Nilai laba bersih (ribu rupiah) per tahun apabila pabrik beroperasi pada kapasitas

penuh (10 ribu ton)

Butter

Ratio

Powder Ratio

0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

-72.325.133

-66.325.133

-60.325.133

-54.325.133

-48.325.133

-42.325.133

-65.605.133

-59.605.133

-53.605.133

-47.605.133

-41.605.133

-35.605.133

-58.885.133

-52.885.133

-46.885.133

-40.885.133

-34.885.133

-28.885.133

-52.165.133

-46.165.133

-40.165.133

-34.165.133

-28.165.133

-22.165.133

-45.445.133

-39.445.133

-33.445.133

-27.445.133

-21.445.133

-15.445.133

-38.725.133

-38.725.133

-38.725.133

-38.725.133

-38.725.133

-38.725.133

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

-36.325.133

-30.325.133

-24.325.133

-18.325.133

-12.325.133

-29.605.133

-23.605.133

-17.605.133

-11.605.133

-5.605.133

-22.885.133

-16.885.133

-10.885.133

-4.885.133

1.114.867

-16.165.133

-10.165.133

-4.165.133

1.834.867

7.834.867

-9.445.133

-3.445.133

2.554.867

8.554.867

14.554.867

-38.725.133

3.274.867

9.274.867

15.274.867

21.274.867

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

-6.325.133

-325.133

5.674.867

11.674.867

17.674.867

394.867

6.394.867

13.394.867

18.394.867

24.394.867

7.114.867

13.114.867

19.114.867

25.114.867

31.114.867

13.834.867

19.834.867

25.834.867

31.834.867

37.834.867

20.554.867

26.554.867

32.554.867

38.554.867

44.554.867

27.274.867

33.274.867

39.274.867

45.274.867

51.274.867

Butter

Ratio

Powder Ratio

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

-32.005.133

-26.005.133

-20.005.133

-14.005.133

-8.005.133

-2.005.133

-25.285.133

-19.285.133

-13.285.133

-7.285.133

-1.285.133

4.714.867

-18.565.133

-12.565.133

-6.565.133

-565.133

5.434.867

11.434.867

-11.845.133

-5.845.133

154.867

6.154.867

12.154.867

18.154.867

-5.125.133

874.867

6.874.867

12.874.867

18.874.867

24.874.867

1.594.867

7.594.867

13.594.867

19.594.867

25.594.867

31.594.867

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

3.994.867

9.994.867

15.994.867

21.994.867

27.994.867

10.714.867

16.714.867

22.714.867

28.714.867

34.714.867

17.434.867

23.434.867

29.434.867

35.434.867

41.434.867

24.154.867

30.154.867

36.154.867

42.154.867

48.154.867

30.874.867

36.874.867

42.874.867

48.874.867

54.874.867

37.594.867

43.594.867

49.594.867

55.594.867

61.594.867

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

33.994.867

39.994.867

45.994.867

51.994.867

57.994.867

40.714.867

46.714.867

52.714.867

58.714.867

64.714.867

47.434.867

53.434.867

59.434.867

65.434.867

71.434.867

54.154.867

60.154.867

66.154.867

72.154.867

78.154.867

60.874.867

66.874.867

72.874.867

78.874.867

84.874.867

67.594.867

73.594.867

79.594.867

85.594.867

91.594.867

Keterangan: Laba bersih = (total penjualan – total biaya) – jumlah pajak

Pajak = 0.2 x (total nilai penjualan – total biaya)

Hasil analisis IRR menunjukkan bahwa

laju pengembalian modal lebih besar dari

tingkat suku bunga (discount rate) apabila

rasio kumulatif lebih besar dari 3,3. Tabel

4 memperlihatkan kombinasi antara butter

ratio dengan powder ratio yang mem-

berikan nilai IRR yang lebih besar dari

nilai discount rate (> 13%). Walaupun

Page 10: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

55

investasi dalam pabrik pengolahan kakao

sudah memberikan laju pengembalian

diatas tingkat suku bunga pada rasio

kumulatif 3,4, laju pengembalian yang

mungkin sudah cukup menarik bagi inves-

tor terlihat pada rasio kumulatif 3,5 atau

lebih. Pada rasio kumulatif 3,5, nilai IRR

bervariasi antara 18,4% (butter ratio 3 dan

powder ratio 0,5) hingga 25,7% (butter

ratio 1,9 dan powder ratio 1,6). Pada rasio

kumulatif 3,6, nilai IRR bervariasi antara

24,6% sampai 30,9% dan pada rasio

kumulatif 3,6 nilai IRR lebih besar dari

30%.

Tabel 3. Nilai laba bersih (ribu rupiah) per tahun apabila pabrik beroperasi pada kapasitas

penuh (10 ribu ton)

Butter

Ratio

Powder Ratio

0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

-467.393.942

-428.619.542

-389.845.142

-351.070.742

-312.296.342

-273.521.942

-423.966.614

-385.192.214

-346.417.814

-307.643.414

-268.869.014

-230.094.614

-380.539.286

-341.764.886

-302.990.486

-264.216.086

-225.441.686

-186.667.286

-337.111.958

-298.337.558

-259.563.158

-220.788.758

-182.014.358

-143.239.958

-293.684.630

-254.910.230

-216.135.830

-177.361.430

-138.587.030

-99.812.630

-250.257.302

-211.482.902

-172.708.502

-133.934.102

-95.159.702

-56.385.302

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

-234.747.542

-195.973.142

-157.198.742

-118.424.342

-79.649.942

-191.320.214

-152.545.814

-113.771.414

-74.997.014

-36.222.614

-147.892.886

-109.118.486

-70.344.086

-31.569.686

7.204.714

-104.465.558

-65.691.158

-26.916.758

11.857.642

50.632.042

-61.038.230

-22.263.830

16.510.570

55.284.970

94.059.370

-17.610.902

21.163.498

58.937.898

98.712.298

137.486.698

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

-40.875.542

-2.101.142

36.673.258

75.447.658

114.222.058

2.551.786

41.326.186

80.100.586

118.874.986

157.649.386

45.979.114

84.753.514

123.527.914

162.302.314

201.076.714

89.406.442

128.180.842

166.955.242

205.729.642

244.504.042

132.833.770

171.608.170

210.382.570

249.156.970

287.931.370

176.261.098

215.035.498

253.809.898

292.584.298

331.358.698

Butter

Ratio

Powder Ratio

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

-206.829.974

-168.055.574

-129.281.174

-90.506.774

-51.732.374

-12.957.974

-163.402.646

-124.628.246

-85.853.846

-47.079.446

-8.305.046

30.469.354

-119.975.318

-81.200.918

-42.426.518

-3.652.118

35.122.282

73.896.682

-76.547.990

-37.773.590

1.000.810

39.775.210

78.549.610

117.324.010

-33.120.662

5.653.738

44.428.138

83.202.538

121.976.938

160.751.338

10.306.666

49.081.066

87.855.466

126.629.866

165.404.266

204.178.666

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

25.816.426

64.590.826

103.365.226

142.139.625

180.914.026

69.243.754

108.018.154

146.792.554

185.566.954

224.341.354

112.671.082

151.445.482

190.219.882

228.994.282

267.768.682

156.098.410

194.872.810

233.647.210

272.421.610

311.196.010

199.525.738

238.300.138

277.074.538

315.848.938

354.623.338

242.953.066

281.727.466

320.501.866

359.276.266

398.050.666

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

219.688.426

258.462.826

297.237.226

336.011.626

374.786.026

263.115.754

301.890.154

340.664.554

379.438.954

418.213.354

306.543.082

345.317.482

384.091.882

422.866.282

461.640.682

349.970.410

388.744.810

427.519.210

466.293.610

505.068.010

393.397.738

432.172.138

470.946.538

509.720.938

548.495.338

436.825.066

475.599.466

514.373.866

553.148.266

591.922.666

Keterangan: NPV = Present value of benefit – present value of cost; periode analisis = 15

tahun; present value benefit = annual benefit * (P/A, 13%, 15);

present value cost = initial invesment + annual cost * (P/A, 13%, 15)

Page 11: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

56

Tabel 4. Hasil analisis IRR (nilai dalam %)

Butter

Ratio

Powder Ratio

0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

15.4

16.1

21.9

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

12.5

18.4

13.3

19.1

24.6

14.0

19.7

25.2

30.4

14.7

20.5

25.9

31.0

36.2

21.2

26.6

31.7

36.8

41.8

27.2

32.3

37.4

42.4

47.3

Butter

Ratio

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

18.9

19.6

25.0

14.5

20.2

25.7

30.9

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

16.8

22.6

27.9

17.5

23.2

28.5

33.5

18.2

23.8

29.0

34.1

39.1

24.4

29.6

34.7

39.7

44.6

30.2

35.4

40.4

45.4

50.0

36.0

41.0

45.8

50.7

56.3

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

33.0

38.0

43.0

48.0

53.1

38.6

43.6

48.5

53.7

58.4

44.0

49.0

54.4

59.0

> 60

49.6

54.9

59.5

> 60

> 60

55.5

60.0

> 60

> 60

> 60

> 60

> 60

> 60

> 60

> 60

Keterangan: (P/A, IRR, 15) = Nilai investasi/Laba bersih)

Nilai IRR ditentukan melalui proses interpolasi tabel ”compound interest”

Salah satu kriteria penilaian kelayakan

suatu investasi adalah kecepatan pengem-

balian modal yang diinvestasikan. Se-

makin cepat periode pengembalian modal,

semakin menarik investasi tersebut. Da-

lam analisis ini, periode pengembalian

modal yang dikehendaki harus lebih kecil

dari 15 tahun karena asumsi umur eko-

nomis mesin-mesin pengolahan kakao

yang umum digunakan oleh industri peng-

olahan kakao (Petra Foods dan Davomas)

adalah 15 tahun.

Hasil analisis periode pengembalian mo-

dal pada Tabel 5 menunjukkan bahwa

target periode pengembalian di bawah 15

Page 12: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

57

tahun dapat dicapai apabila rasio kumu-

latif berada pada nilai 3,3. Pada rasio

kumulatif di bawah 3,3, periode pengem-

balian modal umumnya di atas 15 tahun

atau melebihi umur ekonomis mesin.

Tabel 5. Periode pengembalian modal (pay back periode) (tahun)

Butter

Ratio

Powder Ratio

0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

15.60

33.60

14.54

9.28

29.03

13.61

8.89

6.60

25.55

12.79

8.53

6.40

5.12

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

10.66

7.53

5.82

16.83

10.16

7.27

5.67

4.64

9.70

7.03

5.52

4.54

3.86

6.81

5.38

4.45

3.79

3.30

5.25

4.36

3.72

3.25

2.88

4.27

3.66

3.20

2.85

2.56

Butter

Ratio

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

22.82

20.62

11.43

18.80

10.85

7.62

17.28

10.32

7.36

5.72

15.99

9.85

7.11

5.57

4.57

14.87

9.41

6.88

5.43

4.48

3.81

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

12.07

8.21

6.22

5.00

4.19

7.90

6.04

4.89

4.10

3.54

5.87

4.78

4.03

3.48

3.06

4.67

3.95

3.42

3.02

2.70

3.88

3.37

2.98

2.67

2.42

3.32

2.94

2.64

2.39

2.19

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

3.60

3.15

2.81

2.53

2.30

3.11

2.77

2.50

2.28

2.09

2.74

2.47

2.26

2.07

1.92

2.44

2.23

2.05

1.90

1.77

2.21

2.03

1.88

1.75

1.64

2.01

1.87

1.74

1.63

1.53

Page 13: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

58

Semua hasil analisis diatas mengasumsi-

kan bahwa pabrik pengolahan beroperasi

pada kapasitas penuh (10 ribu ton per

tahun). Akan tetapi, pengalaman me-

nunjukkan bahwa pabrik-pabrik peng-

olahan sering kali tidak berproduksi pada

kapasitas maksimumnya akibat kendala

pemasaran produk yang dihasilkan. Oleh

karena itu, perlu pula dianalisa tingkat

produksi minimal yang masih memung-

kinkan pabrik beroperasi diatas titik impas

(break even point). Hasil analisis titik

impas (break even) pada tabel 6 mem-

perlihatkan bahwa pada rasio kumulatif

3,3 dan 3,4, pabrik harus beroperasi ma-

sing-masing diatas 80 dan 70% untuk

mencapai titik impas. Hal ini menunjuk-

kan bahwa pada rasio kumulatif 3,3,

pabrik harus berproduksi mendekati

kapasitas maksimalnya untuk bisa untung.

Sebaliknya, pada rasio kumulatif 3,5,

pabrik masih dapat menguntungkan wa-

laupun hanya berproduksi sekitar 60%

dari kapasitas maksimumnya.

Dari dasil analisis diatas, dapat dilihat

bahwa kelayakan financial pabrik peng-

olah biji kakao sangat ditentukan oleh

rasio antara harga lemak dan harga bubuk

dengan harga biji. Hasil analisis juga

menunjukan bahwa investasi dalam pabrik

pengolahan kakao hanya layak apabila

rasio kumulatif diatas 3,3. Berdasarkan

data dari ICCO (2008b), diketahui bahwa

dari tahun 1981 sampai 2008 terjadi fluk-

tuasi rasio kumulatif yang cukup besar

yang menunjukkan bahwa tingkat ke-

untungan (profitabilitas) pabrik peng-

olahan kakao sangat fluktuatif dari tahun

ke tahun. Selama periode 1981-2008

(interval 28 tahun), jumlah tahun dimana

rasio kumulatif rata-rata berada diatas 3,3

hanya 13. Dengan demikian, ada 15 tahun

selama periode tersebut dimana pabrik

pengolahan mengalami kerugian atau

hanya beroperasi pada tingkat break even.

Menarik juga dicermati bahwa selama

periode 1981-2008, terdapat periode 6

atau 7 tahunan dimana rasio kumulatif

berada diatas atau dibawah level 3,3

secara terus menerus. Dari tahun 1981-

1987 dan 1994-2001 (kecuali 1995), rasio

kumulatif berada dibawah level 3,3

sehingga pada periode ini pabrik-pabrik

pengolahan mengalami tekanan financial

yang cukup berat. Pada periode 1988-

1993 dan 2002-2007, rasio kumulatif

berada diatas 3,3 sehingga pabrik-pabrik

pengolahan memperoleh keuntungan.

Selama periode 2002-2007, pabrik-pabrik

pengolahan di Indonesia seperti General

Food Industries (anak perusahaan Petra

Foods), Bumi Tangerang Mesindotama,

dan Davomas Abadi melakukan ekspansi

kapasitas pengolahan yang cukup besar.

Sejak tahun 2008, rasio kumulatif jatuh

jauh dibawah level 3,3. Hal ini terutama

disebabkan oleh jatuhnya harga lemak

kakao di pasar internasional. Hal ini

kembali mengakibatkan tekanan finansil

yang sangat besar terhadap industri

pengolahan kakao nasional. Pada tahun

2008, dari 285 ribu ton total kapasitas

terpasang pabrik pengolahan kakao di

Indonesia, realisasi pengolahan hanya

sekitar 154 ribu ton atau hanya sekitar

54%. Hingga pertengahan 2010, pabrik-

pabrik pengolahan sebagian besar masih

belum beroperasi atau beroperasi jauh

dibawah kapasitasnya akibat rendahnya

harga produk kakao olahan di pasar

internasional.

Dari uraian dan analisis diatas, jelas

terlihat bahwa kelayakan industri peng-

olahan kakao di Indonesia sangat ter-

gantung pada rasio kumulatif (butter ratio

+ powder ratio). Pada rasio kumulatif 3,5

keatas, industri pengolahan akan sangat

menguntung. Pada garis ambang (rasio

kumulatif 3,4), industry pengolahan masih

dapat menguntungkan tetapi laju pengem-

balian modal cukup lambat dan pabrik

harus beroperasi mendekati kapasitas

maksimumnya untuk bisa untung.

Page 14: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

59

Tabel 6. Batas minimal realisasi pengolahan (ton tahun-1

) untuk mencapai titik impas

(break even point)

Butter

Ratio

Powder Ratio

0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

9,618

9,387

7,819

9,166

7,665

6,587

8,956

7,517

6,477

5,690

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

8,319

7,064

6,137

9,861

8,145

6,938

6,042

5,352

7,979

6,817

5,950

5,279

4,744

6,700

5,861

5,209

4,687

4,260

5,774

5,140

4,631

4,214

3,866

5,073

4,577

4,169

3,828

3,539

Butter

Ratio

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

2.0

8,563

8,379

7,107

9,945

8,202

6,979

6,074

9,698

8,033

6,857

5,981

5,303

9,463

7,871

6,738

5,890

5,232

4,706

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5

8,755

7,375

6,371

5,608

5,008

7,238

6,269

5,528

4,944

4,472

6,170

5,451

4,883

4,421

4,040

5,376

4,822

4,372

3,998

3,684

4,763

4,323

3,958

3,649

3,385

4,276

3,918

3,615

3,356

3,132

2.6

2.7

2.8

2.9

3.0

4,524

4,125

3,791

3,507

3,263

4,082

3,755

3,476

3,236

3,026

3,719

3,445

3,209

3,003

2,822

3,415

3,183

2,980

2,802

2,644

3,157

2,958

2,782

2,626

2,486

2,935

2,762

2,608

2,470

2,347

Page 15: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

60

Tabel 7. Perhitungan biaya

I. BIAYA TETAP (FIXED COSTS)

No. Item Investasi

Biaya Tetap Pertahun

Penyusutan Bunga Modal

(13%)

Pemeliharaan

(3%)

Asuransi

(0,5%) Total

A. Mesin dan

Fasilitas

1. Mesin

produksi

95.000.000.00

0 6.016.666.667 12.350.000.000 2.850.000.000 475.000.000 21.691.666.667

2. Gedung 43.750.000.00

0 1.458.333.333 5.687.500.000 1.312.500.000 218.750.000 8.677.083.333

3. Perlengkap-

an kantor 4.000.000.000 266.666.667 520.000.000 120.000.000 20.000.000 926.666.667

4. Kendaraan

operasional 5.000.000.000 800.000.000 650.000.000 150.000.000 25.000.000 1.625.000.000

5.

Lahan

KIMA

(HGU)

6.000.000.000 200.000.000 780.000.000 - - 980.000.000

B. Gaji dan upah 1.050.000.000

C. Operasional 105.000.000

1. Biaya umum perkantoran 50.000.000

2. Pengujian dan pengawasan mutu

Total Biaya Tetap Per Tahun (I) 35.105.416.667

I. BIAYA TIDAK TETAP (VARIABLE COSTS)

No. Item Pembiayaan

1. Pembelian biji kakao dan bahan kemasan 200.079.500.000

2. Listrik, gas, dan air bersih 420.000.000

3. Pengapalan produk 9.301.500.000

4. Pajak perusahaan (20% x laba sebelum pajak)

Total Biaya Tidak Tetap Per Tahun (II) 209.801.000.000

Page 16: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

61

KESIMPULAN

1. Ditinjau dari ketersediaan bahan baku,

pengembangan pabrik pengolahan biji

kakao di Makassar sangat potensil

dilakukan. Hal ini ditunjang oleh ke-

bijakan pemerintah menghapus PPN

untuk biji kakao yang diolah dalam

negeri serta menerapkan pajak pro-

gressive bagi biji kakao yang akan

diekspor. Hal ini akan meningkatkan

daya saing pabrik pengolahan dalam

negeri dalam memperoleh bahan baku.

2. Kualitas bahan baku yang rendah

akibat tidak dilakukannya proses fer-

mentasi oleh petani menjadikan bung-

kil (cake) atau bubuk (powder) yang

dihasilkan sulit dijual di luar negeri.

Dengan demikian, tumpuan pendapat-

an sepenuhnya dari penjualan lemak.

Hal ini menimbulkan tekanan finansil

yang berat bagi industri pengolahan

karena apabila butter ratio jatuh di

bawah 3,4 maka operasi pengolahan

menjadi tidak menguntungkan.

3. Kendala penjualan yang dihadapi oleh

industri pengolahan dalam negeri lebih

diakibatkan oleh lemahnya jaringan

yang dimiliki di luar negeri. Per-

usahaan pengolahan yang dapat ber-

tahan dalam kondisi sulit adalah

perusahaan yang berafiliasi dengan

pabrik pengolahan multinasional dan/

atau perusahaan yang memiliki kon-

trak jangka panjang dengan manu-

facturing dan/atau trading house di

Amerika dan Eropa. Perusahaan-per-

usahaan independen umumnya sudah

berhenti berproduksi sejak nilai rasio

kumulatif (butter ratio + powder ratio)

turun dibawah level 3 di pasar inter-

nasional. Selain itu, perusahaan peng-

olahan kakao dalam negeri yang ke-

lihatannya bisa bertahan dalam kon-

disi sulit adalah perusahaan yang

mengintegrasikan industri pengolahan

biji kakao dengan industri manu-

facturing yang menggunakan bahan

setengah jadi yang dihasilkan dalam

memproduksi produk konsumsi seperti

coklat dan produk konfeksioner lain-

nya. Hal ini kelihatannya disebabkan

karena kerugian pada unit pengolahan

biji kakao dapat ditutupi oleh unit

manufacturing yang memiliki margin

yang lebih tinggi.

4. Kelayakan usaha industri pengolahan

kakao di Makassar sangat tergantung

pada butter ratio dan powder ratio.

Apabila rasio kumulatif (butter ratio +

powder ratio) berada dibawah 3,3

maka aktifitas pengolahan tidak meng-

untungkan. Pada nilai rasio kumulatif

3,4, pabrik pengolahan harus ber-

operasi mendekati kapasitas penuhnya

untuk bisa menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Blank, L.T. dan Tarquin, A.J. 1989.

Engineering Economy, Third

Edition. McGraw-Hill, Inc. New

York.

Dakar, M.J. 2010. Analysis: African

cocoa grinders counting on global

upturn. Reuters World News, March

10. 2010.

Davomas. 2005. Davomas Annual Report,

2005. Davomas Abadi Tbk, Jakarta.

FAO (2007). Fao Statistics. FAO, Rome,

Italy.

ICCO. 2008a. Annual forecasts of pro-

duction and consumption and

estimates of production levels to

achieve equilibrium in the world

cocoa market. ICCO Executive

Committee meeting, Berlin, 27-28

May 2008.

ICCO. 2008b. Assessment of the move-

ments of global supply and demand.

Page 17: 5. Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha(1)

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1 ISSN 2089-0036

62

ICCO Executive Committee

Meeting, Berlin, 27-28 May 2008.

Merret, A.J. dan Alien, S. 1989. Capital

Budgetting and Company Fi-

nance. Longman, London-UK.

Newnan, D.G. dan Johnson, B. 1995.

Engineering Economic Analysis,

fifth Edition. Engineering Press,

Inc., San Jose, California.

Petra Foods, 2009. Petra Foods Annual

Report 2009. Petra Foods, Tbk.,

Singapore.

Suryani, D. dan Zulfebriansyah. 2007.

Komoditas Kakao: Potret dan

Peluang Pengembangan. Economic

Review No. 210, Desember 2007.

Sutojo, S. 2006. Project Feasibility Study.

PT Damar Mulia Pustaka, Jakarta.