5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Buah naga merupakan sejenis ... ii.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1...

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karateristik Buah Naga Buah naga merupakan sejenis pohon kaktus yang berasal dari Meksiko, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Saat ini buah naga sudah ditanam secara komersial dibeberapa negara seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Australia, dan Indonesia. Nama lain dari Buah naga adalah Dragon Fruit, dalam bahasa latin buah naga dikenal dengan Phitahaya. Daging buah naga berwarna putih, merah, dan ungu dengan taburan biji-biji berwarna hitam yang boleh dimakan (Idawati, 2012). Empat jenis buah naga yang dikembangkan yaitu buah naga daging putih (Hylocereus undatus), buah naga daging merah (Hylocereus polyrhizus), buah naga daging super merah (Hylocereus costaricensis), dan buah naga kulit kuning daging putih (Selenicereus megalanthus). Masing-masing buah naga memiliki karakteristiknya sendiri. Dari buah naga yang dikembangkan tersebut buah naga merahlebih sering dibudidayakan karena memiliki kelebihan tersendiri yaitu ukuran buah buah lebih besar dan warna daging lebih menarik. Sedangkan buah naga yang jarang dibudidayakan adalah buah naga Selenicereus megalanthus karena ukuran buah yang relatif kecil walaupun rasanya paling manis diantara jenis yang lain. Buah naga merupakan kelompok tanaman kaktus yang memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) 5

Transcript of 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Buah naga merupakan sejenis ... ii.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karateristik Buah Naga

Buah naga merupakan sejenis pohon kaktus yang berasal dari Meksiko,

Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Saat ini buah naga sudah ditanam secara

komersial dibeberapa negara seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Australia, dan

Indonesia. Nama lain dari Buah naga adalah Dragon Fruit, dalam bahasa latin

buah naga dikenal dengan Phitahaya. Daging buah naga berwarna putih, merah,

dan ungu dengan taburan biji-biji berwarna hitam yang boleh dimakan (Idawati,

2012). Empat jenis buah naga yang dikembangkan yaitu buah naga daging putih

(Hylocereus undatus), buah naga daging merah (Hylocereus polyrhizus), buah

naga daging super merah (Hylocereus costaricensis), dan buah naga kulit kuning

daging putih (Selenicereus megalanthus). Masing-masing buah naga memiliki

karakteristiknya sendiri. Dari buah naga yang dikembangkan tersebut buah naga

merahlebih sering dibudidayakan karena memiliki kelebihan tersendiri yaitu

ukuran buah buah lebih besar dan warna daging lebih menarik. Sedangkan buah

naga yang jarang dibudidayakan adalah buah naga Selenicereus megalanthus

karena ukuran buah yang relatif kecil walaupun rasanya paling manis diantara

jenis yang lain.

Buah naga merupakan kelompok tanaman kaktus yang memiliki

klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

5

6

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Kelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales

Famili : Cactaceae (suku kaktus-kaktusan)

Genus : Hylocereus

Spesies : - Hylocereus undatus (Haw.)Britt.Et R (daging putih)

- Hylocereus polyrhizus (daging merah)

- Hylocereus costaricensis (daging super merah)

- Selenicereus megalanthus (kulit kuning, daging putih, tanpa

sisik) (Kristanto D, 2008)

Gambar 2.1 a. Selenicereus megalanthus (kulit kuning, daging putihb. Hylocereus polyrhizus (daging merah)c. Hylocereus undatus (Haw.)Britt.Et R (daging putih)d. Hylocereus costaricensis (daging super merah)

Morfologi tanaman buah naga terdiri dari akar, batang, duri, bunga dan

buah. Akar buah naga hanyalah akar serabut berkembang didalam tanah dibatang

atas sebagai akar gantung. Akar tumbuh disepanjang batang dibagian punggung

sirip disudut batang. Pada bagian duri akan tumbuh bunga yang bentuknya mirip

bunga Wijayakusuma. Bunga yang tidak rontok akan berkembang menjadi buah.

Disekujur kulit dipenuhi dengan jumbai-jumbai yang mirip dengan sisik seekor

7

naga, oleh sebab itu, buah ini disebut buah naga. Batangnya berbentuk segitiga,

durinya pendek, tidak mencolok dan buah naga dianggap kaktus tak berduri.

2.2 Hama Pada Buah Naga

Tanaman buah naga sebenernya termasuk tanaman yang tahan banting dan

relatif mudah dalam perawatannya. Namun tentunya dalam budidaya selalu ada

gangguan hama dan serangan penyakit yang bisa mengakibatkan hasil produksi

tidak maksimal dan bisa mengalami kerugian. Permasalahan yang muncul pada

musim penghujan, pada saat tanaman buah naga berbuah adalah penyakit busuk

batang atau cabang. Salah satu hama penyakit layu batang yang disebabkan oleh

jamur Fusarium oxysporumf sp. Cubense (Foc). Gejala paling khas adalah jika

pangkal batang semu dibelah membujur, terlihat garis-garis nekrotik berwarna

coklat atau hitam dari bonggol ke atasmelalui jarnganpembuluh ke pangkal dan

tangkai daun. Penularan penyakit ini melalui bibit, tanah, dan air.

Menurut Agrios (1996) klasifikasi jamur ini adalah sebagai berikut :

Divisio : Mycota

Sub Divisi : Deuteromycotina

Class : Hyphomycetes

Ordo : Hyphales

Famili : Tuberculariaceae

Genus : Fusarium

Species : Fusarium oxysporumf.sp.passiflora.

2.3 Pengendalian Hama Fusarium sp.

Beberapa upaya pengendalian penyakit pada buah naga telah banyak

dilaporkan dengan menggunakan ekstrak alami dari tanamanan. Penyebaran

8

penyakit layu fusarium dapat dicegah dengan aplikasi benzadazol dan

karbendazim (75 g/100 liter; 5,5 liter/m2) atau nistatin (Salinger, 1985).Nistatin

merupakan suatu antibiotik polien yang brsifat toksik dan dapat digunakan

sebagai antijamur. Bersifat higroskopis, sukar larut dalam kloroform dan eter.

Mudah larut dalam air. Nistatin menghambat pertumbuhan jamur dan ragi tetapi

tidak aktif terhadap bakteri, protozoa, dan virus. Mekanisme kerja nistatin yaitu

nistatin hanya akan diikat oleh jamur yang sensitif. Aktivitas antijamur yaitu

dengan mengikat sterol pada membran sel jamur terutama ergosterol. Akibat

terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik ini akan terjadinya perubahan

permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil.

Akibat dari perubahan permeabilitas pada membran sel aktivitas transport nutrisi

terhambat sehingga pertumbuhan jamur akan terhambat atau mati.

Gambar 2.2 Struktur Nistatin (Robinson, 1995)

Akan tetapi perlakuan fumigasi tidak mampu menghambat patogen

penyebab layu secara sempurna, terutama pada lapisan tanah yang agak dalam.

Oleh karena itu perlu dicari cara pengendalian alternatif yang sesuai dengan

falsafah pengendalian penyakit tanaman yang mempertimbangankan aspek

keamanan lingkungan (De Bach, 1974).

9

Menurut penelitian yang dilakukan Fitri Wasilah, ekstrak etanol rimpang

kunyit aktif menghabat pertumbuhan jamur F. Oxysporum Schlecht. Dari

penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa ekstrak rimpang kunyit

(Curcuma domestica Veil.) dalam etanol terbukti dapat menghambat pertumbuhan

jamur F. Oxysporum Schlecht secara in vitro. Konsentrasi efektif yang dapat

menghambat pertumbuhan jamur F. Oxysporum Schlecht lebih dari 50 % adalah

0,10% (b/v).

Siahaan (2013) melaporkan mengenai penggunaan ekstrak etanol urang

aring (Eclipta alba L. Hask.) terhadap daya hambat pertumbuhan jamur Fusarium

sp. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa uji hayati secara

in vitro menunjukkan bahwa ekstrak etanol tumbuhan urang aring mampu

menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp.dengan konsentrasi 1% dan 2,5%.

2.4 Uji Aktivitas Antijamur

Antijamur adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan jamur.

Kerja antijamur dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah jamur, adanya bahan

organik, dan pH (Pelzcar & Chan, 1986). Stout dalam Ardiansyah (2004)

mengelompokkan antijamur ke dalam 4 kelompok, yaitu antijamur dengan

aktivitas rendah, sedang, kuat, dan sangat kuat yang ditampilkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kategori Daya Hambat Menurut Davis Stout

Aktifitas Diameter Zona Hambat (mm)Rendah < 5

Sedang 5-10

Kuat 10-20

Sangat kuat >20

Sumber : Davis Stout dalam Ardiansyah (2004).

10

Pengukuran aktivitas antijmur dapat dilakukan dengan beberapa metode,

diantaranya metode difusi dan metode pengenceran. Metode difusi merupakan

metode yang paling umum digunakan, metode difusi dapat dilakukan dengan tiga

cara, yaitu:

1. Metode silinder merupakan silinder steril dengan diameter 8 mm ditetesi

larutan uji dan ditempatkan pada permukaan agar yang telah ditanami bakteri

uji. Daerah hambat yang terbentuk terlihat sebagai daerah bening di sekeliling

silinder.

2. Metode perforasi adalah media agar ditanami jamur uji dan selanjutnya pada

media tersebut dibuat lubang atau sumur dengan diameter 6 mm dan larutan

uji sebanyak 10 μL dimasukkan ke dalamnya. Daerah bening yang terbentuk

merupakan daerah hambatannya.

3. Metode Difusi Cakram, metode ini merupakan metode yang paling banyak

digunakan dan dikenal sebagai metode Kirby-Bauer. Dalam metode ini,

sejumlah jamur diinokulasikan pada media agar dan cakram yang

mengandung larutan uji atau antijamur tertentu diletakkan pada permukaan

media agar yang telah memadat. Daerah bening sebagai daerah hambatan

terbentuk setelah masa inkubasi dan terlihat tidak ditumbuhi jamur di

sekeliling cakramnya (Chan, 1986).

2.5 Tanaman Mimba (Azadirachta Indica)

Tanaman Mimba (Azadirachta Indica), berasal dari Asia Tenggara,

termasuk Indonesia dan tumbuh di berbagai negara di seluruh dunia. Tanaman ini

dikenal sebagai Neeb dalam bahasa Arab, Azad Diracht dalam bahasa Persia, dan

Margosa dalam bahasa Inggris, di Indonesia tanaman ini dikenal sebagai Mimba.

11

Berbagai nama di beberapa daerah di Indonesia antara lain nimba (Jawa), Mimba,

mempheuh (Madura), dan intaram, mimba (Bali) (Rukmana et al., 2002).

2.5.1 Morfologi mimba

Tumbuhan mimba merupakan jenis pohon yang tergolong dalam

subfamily Meliaceae yang paling banyak diteliti karena bahan aktif yang

terkandung didalamnya yang berpotensi sebagai pestisida alami. Dalam

sistematika tumbuhan, menurut Rukmana et al., (2002) kedudukan tanaman

A.indica diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Rutales

Famili : Meliaceae

Genus : Azadirachta

Spesies : A. indica A. Juss sinonim Melia azadirachta

Tanaman mimba memiliki ciri morfologi yang mirip dengan tanaman

sejenisnya yaitu mindi (Meliaazedamch), maka ciri morfologi mimba perlu

dicermati lebih jeli. Tanaman mimba berupa pohon, tingginya 8-15m, bunga

banci, batang simpodial, kulit batang mengandung gum, pahit. Daun menyirip

gasal berpasangan. Anak daun dengan helaian berbentuk memanjang lanset

bengkok, panjang 3-10 cm, lebar 0,5-3,5 cm, pangkal runcing tidak simetri, ujung

runcing. Tepi daun bergerigi kasar, remasan berasa pahit, warna hijau muda.

Bunga memiliki susunan malai, terletak diketiak daun paling ujung, 5-30 cm,

tangkai bunga 1-2 mm. Kelopak kekuningan, bersilia, rata-rata 1 mm. Mahkota

12

putih kekuningan, bersilia, panjang 5-7 mm. Putik memiliki panjang rata-rata 3

mm, gundul. Buah bulat, hijau kekuningan 1,5-2 cm. Waktu berbunga Maret-

Desember (Aradilla, 2009).

Gambar 2.3 Tanaman Mimba (Robinson, 1995)

2.5.2 Manfaat tanaman mimba

Tanaman mimba memiliki bagian yang sering di manfaatkan salah satunya

adalah daun dan biji. Daun mimba mengandung zat aktif yang merupakan,

senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah azadirakhtin, salanin, meliatriol

dan nimbin. Senyawa aktif tersebut merupakan senyawa yang dapat dimanfaatkan

sebagai pestisida organik. Pestisida organik memiliki kemampuan kerja yang

berbeda dengan pestisida sintetis, karena pestisida organik tidak bekerja langsung

untuk mematikan hama dengan tepat tapi berpengaruh terhadap daya makan yang

menurun, pertumbuhan, daya reproduksi dan proses ganti kulit. Ekstrak daun

mimba berefek sebagai fungisida alami, selain itu kulit batangnya juga digunakan

untuk mengatasi nyeri lambung dan menurunkan demam (Sudarsono et al., 2002).

Ekstrak mimba dikenal memiliki kemampuan menekan pertumbuhan jamur

(Martoredjo et al., 1997). Sebagai fungisida, mimba dapat dipakai untuk tindakan

pada tahap awal gejala penyakit jamur pada tanaman. Semprotan ekstrak mimba

13

menyebabkan spora jamur gagal berkecambah. Mimba efektif untuk

mengendalikan jamur penyebab penyakit busuk, embun tepung, karat daun,

bercak daun, kudis atau cacar daun, dan layu (Novizan, 2002).

2.5.3 Kandungan kimia

Kandungan kimia dari daun mimba yaitu flavonoid, saponin, tanin,

alkaloid dan terpenoid.

2.5.3.1 Flavonoid

Flavonoid adalah salah satu kelompok metabolit sekunder dan merupakan

salah satu golongan senyawa fenol terbesar yang dihasilkan secara alami oleh

tumbuh-tumbuhan dan mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang

dihubungkan dengan tiga satuan karbon (Markham, 1998; Sastrohamidjojo, 1996)

A C

B

Gambar 2.4 Kerangka dasar flavonoid (Robinson, 1995)

Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan

keragaman pada rantai C3 yaitu :

14

O

Katekin

O

OH

OHFlavan-3,4-diol

O

O

Flavon

O

R O

Isoflavon

O Kalkon

O

CH

O

Auron

O

O

OH

Flavonol

O

OFlavanon

Gambar 2.5 Kerangka dasar beberapa golongan senyawa flavonoid(Robinson, 1995)

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder dalam suatu tumbuhan

yang berfungsi sebagai pigmen (pembentuk warna), pertahanan diri dari hama dan

penyakit. Senyawa flavonoid juga digunakan dalam industri makanan sebagai

pewarna makanan (Markham, 1998). Flavonoid merupakan golongan polifenol

sehingga memiliki sifat senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat

larut dalam basa. Flavonoid memiliki sejumlah gugus hidroksil, sehingga

merupakan senyawa polar sehingga pada umumnya flavonoid larut dalam pelarut

15

seperti etanol, metanol, butanol, aseton, air dan sebagainya. Flavonoid sebagai

derivat dari fenol dapat menyebabkan rusaknya susunan dan perubahan

mekanisme permeabilitias dari dinding bakteri sehingga dikatakan memiliki sifat

anti bakteri. Flavonoid mempunyai kemampuan membentuk kompleks dengan

protein dan merusak dengan cara mendenaturasi ikatan protein pada membran sel

menjadi lisis dan senyawa tersebut menembus kedalam inti sel menyebabkan

jamur tidak berkembang ( Harmita, 2006).

2.5.3.2 Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida

steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun

serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne,

1996). Saponin merupakan senyawa yang memiliki rasa pahit menusuk dan dapat

bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan sebagai racun ikan (Gunawan dan

Mulyani, 2004). Saponin pada tumbuhan berfungsi sebagai tempat penyimpanan

karbohidrat dan sebagai pelindung terhadap serangan serangga (Nio, 1989).

Senyawa saponin dapat diidentifikasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard.

Warna biru-hijau menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda,

atau ungu menunjukkan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1996). Saponin

diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia menjadi dua yaitu saponin steroid dan

saponin triterpenoid.

Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul

karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal

sebagai sapogenin. Tipe saponin ini memiliki efek antijamur. Saponin jenis ini

16

memiliki aglikon berupa steroid yang diperoleh dari metabolism sekunder

tumbuhan.

H3C

CH3

CH3

H3CCH3

CH3

Struktur Dasar Steroid

Gambar 2.6 Struktur dasar saponin steroid (Robinson, 1995)

Saponin tritetpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul

karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin ini

merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat

dimurnikan.

CH3H3C

CH3

CH3CH3

CH3

CH3

CH3

HO

Struktur Dasar Triterpen

Gambar 2.7struktur dasar saponin triterpenoid (Robinson, 1995)

2.5.3.3 Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi

(lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein (Hagerman,

17

2002; Harbone, 1996). Tanin merupakan zat-zat kompleks yang terdapat secara

meluas dalam berbagai jenis tumbuhan, antara lain terdapat pada bagian kulit

batang, daun, dan buah-buahan ( Risnasari, 2001). Tanin tidak dapat larut dalam

pelarut non polar, seperti eter, kloroform, dan benzene tetapi mudah larut dalam

air, dioksan, aseton, dan etanol serta sedikit larut dalam etil asetat (Arifin, 2006)

OHO

OH

OH

OH

Gambar2.8 Struktur inti tanin (Robinson, 1995)

Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin

terkondensasi.

a. Tanin terkondensasi

Tanin jenis ini hampir terdapat di dalam paku-pakuan dan gimnospermae

serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu.

Nama lain untuk tanin terkondensasi ialah proantosianidin karena bila direaksikan

dengan asam panas, maka beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan

terputus dan dibebaskan olah monomer antosianidin (Harborne,1987).

Gambar 2.9 Tannin terkondesasi (Harborne, 1987)

18

b. Tanin terhidrolisis

Tanin yang terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan

berkeping dua. Tanin jenis ini terdiri atas dua kelas, yang paling sederhana adalah

depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh

lima gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti molekul berupa senyawa

dimer asam galat yaitu asam heksahidroksidifenat dan berikatan dengan glukosa.

Gambar 2.10 Tannin terhidrolisis (Harborne,1987 )

2.5.3.4 Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang umumnya

dibiosintesis dari asam-asam amino. Semua alkaloid mengandung paling sedikit

satu atom nitrogen dan umumnya bersifat basa serta sebagian besar atom nitrogen

ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Hampir semua alkaloid di alam

mempunyai keaktifan fisiologis tertentu, ada yang bersifat racun tapi adapula

yang dipergunakan dalam pengobatan, seperti kuinin, morfin dan striknin yang

mempunyai efek fisiologis dan psikologis tertentu. Alkaloid banyak ditemukan

19

dalam tumbuh-tumbuhan baik pada bagian daun, ranting, biji, batang maupun

akar (Robinson, 1995).

N

N N

N

O

R1

O

R2

R3

Gambar 2.11 Struktur kimia alkaloid (Harborne, 1996)

Berdasarkan jenis cincin heterosiklik dan letak atom nitrogennya alkaloid

dapat dibedakan diantaranya: pirolidin, pirol, piridin, piperidin, isokuinolin, indol,

kuinolin, dan indolizidin. Adapun struktur dasarnya dipaparkan pada Gambar 2.12

N

HPirolidin

N

HPiperidin

NH

Isokuinolin

N

HKuinnolin

NH

Indol

N

Indolizidin

NH

Pirol

N

Piridin

Gambar 2.12 Beberapa struktur dasar senyawa alkaloid (Harborne,1987)

20

Kebanyakan alkaloid berupa senyawa berbentuk kristal yang tidak

berwarna dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Alkaloid

bersifat optis aktif, tidak mudah menguap, rasanya pahit, tidak larut dalam air

tetapi larut dalam pelarut organik seperti etanol, eter, dan kloroform. Untuk

mendeteksi adanya senyawa alkaloid pada skrining fitokimia umumnya

digunakan pereaksi pengendap diantaranya pereaksi Meyer, Wagner dan

Dragendorff. Mekanisme reaksi antara senyawa alkaloid dengan pereaksi deteksi

tergantung pada sifat kimia dari pereaksi pengendap itu sendiri (Harbone, 1996).

2.5.3.5 Terpenoid

Senyawa terpenoid merupakan salah satu metabolit sekunder. Senyawa

terpen ini ada dalam jumlah yang besar dan kerangka molekul yang beragam,

namun dapat dengan mudah dikenali melalui keteraturan monomernya yang

terbentuk dari isopren (Gunawan,2004).Terpenoid merupakan komponenyang

biasa ditemukan dalam minyak atsiri. Sebagian besar terpenoid mengandung atom

karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Terpenoid merupakan

senyawa hidrokarbon tak jenuh, dan unit terkecil yang terdapat di dalam terpenoid

disebut isopren (C5H8). Satuan isopren umumnya tersusun dalam suatu urutan dari

kepala ke ekor, yaitu ujung yang bercabang dari satu satuan isopren dihubungkan

dengan ujung yang tidak bercabang dari satuan isopren yang lain.

Gambar 2.13 Kerangka dasar unit isopren (C5) (Harborne,1987)

21

Terpenoid mempunyai kerangka karbon yang terdiri dari dua atau lebih

unit C5 yang disebut unit isopren. Berdasarkan jumlah atom C yang terdapat

pada kerangkanya, terpenoid dapat dibagi menjadi hemiterpen dengan 5 atom C,

monoterpen dengan 10 atom C, seskuiterpen dengan 15 atom C, diterpen dengan

20 atom C, triterpen dengan 30 atom C, dan seterusnya sampai dengan politerpen

dengan atom C lebih dari 40.

Gambar 2.14. a. Monoterpenb. Seskuiterpenc. Diterpend. Triterpen

Biosintesis dari terpenoid pada tumbuhan mengikuti jalur asam asetat-

mevalonat. Dua asetil CoA bereaksi menjadi asetoasetil CoA, kemudian bereaksi

lagi dengan asetil CoA sehingga menghasilkan β-hidroksi-β-metilglutaril CoA.

Kemudian direduksi oleh enzim β-hidroksi-β-metilglutaril CoA dengan bantuan

NADPH menjadi asam mevaldik tiohemiasetal. Terjadi pemutusan asetil CoA dan

reaksi oksidasi sehingga asam mevaldik tiohemi asetal menjadi asam mevaldik

dan direduksi oleh NADPH menjadi asam mevalonat. Asam mevalonat menjadi

Isopentenil pirofosfat (IPP) karena terjadi reaks idengan adenine triposfat (ATP)

dan pemutusan CO2. Adanya enzim isomerase dapat merubah IPP menjadi

Dimetilalil pirofospat (DMAPP) dengan reaksi yang berlangsung secara bolak –

22

balik (Reversible). DMAPP dapat menjadi isoprene dengan pelepasan gugus OPP

namun jika DMAPP bereaksi dengan IPP akan membentuk geranil piroposfat.

SCoA

O

SCoA

O

H

SCoA

OOH

ReaksiClaisen

SEnz

O

asetoastil-CoA

HO2CSCoA

OOH

EnzS

NADPH

HO2CSCoA

OHOH

H

HO2CO

OHHO2C

OH

OH

asam mevaldiktiohemiasetal

asam mevaldikasam mevalonat(MVA)

1

2

3

4

6

5

O OPP

OHO

H

POH

OOHO ADP

OPPH5H

H

R

12

3

5

4 OPP

isomeraseATP-CO2

isopentenil PP(IPP)

dimetilalil PP(DMAPP)

asetil-CoA HMG-CoAreduktase

2 x ATP

OPPH -H

dimetilalil PP(DMAPP)

isopren

CH2OPP

PPO

CH2OPP

Geranil Piroposfat

DMAPP

IPP

hidroksi--metilglutaril CoA

NADPH

Gambar 2.15 Biosintesis senyawa terpenoid (Harborne, 1987)

Senyawa golongan triterpen kebanyakan mempunyai gugus fungsi

alkohol, aldehid, dan asam karboksilat. Bila dianalisis dengan spektrofotometer

inframerah (IR), karakteristik senyawa golongan triterpen yang memiliki gugus

alkohol akan memberikan serapan lebar (-OH) pada bilangan gelombangsekitar

3400 cm-1 yang dipertegas dengan adanya serapan C-O alkohol pada sekitar 1300-

23

110 cm-1. Adanya gugus fungsi –OH dan C-O alkohol serta munculnya serapan

C=O pada daerah bilangan gelombang sekitar 1900-1650 cm-1 merupakan ciri

dominan gugus asam karboksilat. Triterpen aldehid ditunjukkan dengan adanya

dua puncak lemah dekat 2850 dan 2750 cm-1 (Harbone, 1996)

Ismaini (2011) melaporkan bahwa senyawa triterpenoid ikut berperan

dalam menghsilkan zona hambat karena sifat toksik yang dimiliki oleh senyawa

triterpenoid dalam ekstrak (Centella asiatica L.), sehingga ketika senyawa aktif

terserap oleh jamur patogen dapat menimbulkan kerusakan pada organel-organel

sel, menghambat kerja enzim di dalam sel, dan pada akhirnya akan terjadi

penghambatan pertumbuhan jamur patogen.

2.6 Metode Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Tumbuhan

Isolasi senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan dapat

dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu ekstraksi, pemisahan, pemurnian, dan

identifikasi.

2.6.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menarik

sebagian atau seluruh komponen kimia dalam suatu sampel tumbuhan

menggunakan pelarut yang sesuai (berdasarkan polaritas pelarut)(Suradikusumah,

1989). Prinsip ekstraksi yaitu melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan

senyawa non polar dalam pelarut non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan

berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksana), pelarut semipolar

(diklometan atau etilasetat) kemudian pelarut yang bersifat polar (metanol atau

etanol) (Harbone, 1996).

24

Markham (1998) menyatakan bahwa sebelum proses ekstraksi, sampel

daun dikeringkan terlebih dahulu agar tetap dalam keadaan baik untuk dianalisis

setelah beberapa hari. Dalam proses pengeringan, sampel daun dikeringkan pada

suhu kamar dengan aliran udara yang lancar dan tidak boleh terkena sinar

matahari secara langsung karena radiasi UV dapat memecah senyawa yang

dianalisis.Sampel yang telah kering digerus hingga menjadi serbuk selanjutnya

diekstraksi.

Maserasi merupakan metode yang sederhana. Teknik ini menggunakan

sederetan pelarut secara bergantian dengan tingkat polaritas yang berbeda. Ekstrak

yang diperoleh dipekatkan dengan tekanan rendah menggunakan rotary vacuum

evaporator pada suhu 30-40 oC sehingga diperoleh ekstrak kental. Pemilihan

pelarut untuk melakukan ekstraksi perlu memperhatikan kemampuan dari pelarut

untuk mengekstraksi komponen-komponen yang ada dalam bahan tumbuhan

(Harbone, 1996).

2.6.2 Metode pemisahan dan pemurnian

Pemisahan dan pemurnian suatu senyawa dapat dilakukan dengan teknik

kromatografi seperti Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Kolom.

Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar tergantung pada sifat kelarutan

senyawa yang akan dipisahkan (Harborne, 1996).

2.6.2.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatrografi merupakan salah satu metode pemisahan yang didasarkan

pada distribusi komponen-komponen yang dipisahkan diantara 2 fase, yaitu fase

diam dengan permukaan yang luas dan fase gerak yang berupa zat cair yang

mengalir sepanjang fase diam).Menurut Townshend (1995), Tujuan dari

25

kromatografi lapis tipis adalah untuk tujuan kualitatif dan tujuan preparatif. KLT

kualitatif digunakan untuk menganalisis senyawa-senyawa organik dalam jumlah

kecil, menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan kromatografi

kolom dan mengidentifikasi komponen penyusun campuran melalui perbandingan

dengan senyawa yang diketahui strukturnya.

Menurut Stahl (1958), campuran yang akan dipisahkan berupa larutan,

ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan ke dalam

bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak).

Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembang) dan selanjutnya

senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan. Pelarut yang dipilih untuk

pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan

lapisan tipis seperti silika gel bersifat asam, sehingga senyawa yang bersifat basa

akan teradsorpsi kuat.

Perpindahan komponen atau senyawa pada kromatografi ini tergantung

pada jenis pelarut, zat pelarut, zat penyerap dan sifat daya serapnya terhadap

masing-masing komponen. Komponen yang larut terbawa oleh fase gerak (cairan

pengelusi) melalui adsorben (fase diam) dengan kecepatan perpindahan yang

berbeda. Perbedaan kecepatan ini dinyatakan dengan Rf (faktor retensi), yaitu

perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dan jarak yang di

tempuh pelarut (Adnan, 1997).

Rf=gerakfaseditempuhyangJarak

dipisahkanyangsenyawakomponenmasing-masingditempuhyangJarak

26

2.6.2.2 Kromatografi kolom

Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan berdasarkan perbedaan

distribusi campuran komponen antara fase gerak dan fase diam. Komponen-

komponen dari campuran akan terpartisi pada kedua fase yang disebabkan oleh

perpindahan diantara kedua fase tersebut. Komponen-komponen yang terpartisi

lebih banyak pada fase diam akan tertahan lebih lama di dalam kolom

disbandingkan dengan komponen-komponen yang terpartisi lebih banyak pada

fase gerak. Fase diam yang paling sering digunakan adalah silika gel, hal tersebut

disebabkan karena silika gel mampu mengabsorpsi sampai 70% berat air tanpa

menjadi basah (Khopkar, 2003).

Kolom kromatografi dapat berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran

dan penyaring didalamnya. Ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang

akan dipisahkan. Fase diamnya berupa silika gel yang diletakkan di dalam kolom

dan ditahan dengan gelas wool atau kapas. Pengisian kolom yang tidak teratur

dari fase diam dapat mengakibatkan rusaknya batas-batas pita kromatografi.

Putusnya penyerap dalam kolom biasanya disebabkan oleh gelembung-

gelembung udara selama pengisian (Khopkar, 1990). Selama proses kromatografi,

senyawa yang diserap lemah oleh adsorben akan segera meninggalkan kolom dan

akan muncul bersama eluen, sedangkan senyawa yang diserap kuat akan keluar

lebih lambat. Eluat yang diperoleh ditampung dalam botol pada selang waktu

yang teratur kemudian dikelompokkan berdasarkan pola bercak atau noda pada

plat kromatografi lapis tipis. Eluat yang memiliki pola bercak atau noda yang

sama digabungkan dalam satu fraksi (Sastrohamidjojo, 2007).

27

2.7.Metode identifikasi

2.7.1 Uji fitokimia

Uji fitokimia terhadap fraksi maupun isolat aktif dilakukan dengan

menggunakan pereaksi-pereaksi yang spesifik terhadap suatu golongan senyawa.

Pengerjaannya dapat dilakukan pada plat tetes atau tabung pereaksi yaitu dengan

mereaksikan sedikit isolat dengan pereaksi golongan senyawa tertentu. Perubahan

warna yang terjadi tergantung dari pereaksi yang digunakan dan golongan

senyawa apa yang terkandung didalamnya. Uji fitokimia yang biasa dilakukan

dengan pereaksi sebagai berikut :

1. Deteksi golongan alkaloid

• Pereaksi Wagner

Sedikit isolat ditambahkan beberapa tetes pereaksi Wagner. Reaksi positif

alkaloid jika terbentuk endapan coklat.

• Pereaksi Meyer

Sedikit isolat ditambah beberapa tetes pereaksi Meyer. Reaksi positif jika

terbentuk endapan putih.

2. Deteksi golongan flavonoid

• Pereaksi Wilstatter

Sedikit isolat ditambah beberapa tetes HC1 pekat + sedikit serbuk Mg.

reaksi positif jika terjadi perubahan warna merah-orange.

3. Deteksi golongan saponin

• Sedikit isolat ditambah air dan dikocok. Reaksi positif jika terbentuk busa

yang tidak hilang setelah dikocok.

28

4. Deteksi golongan senyawa steroid dan triterpenoid

• Pereaksi Liebermann-Burchard

Sedikit isolat ditambah asetat anhidrat dan H2SO4 pekat. Jika terjadi

perubahan warna hijau-biru menunjukkan positif steroid dan jika terjadi

perubahan warna merah-ungu, coklat menunjukkan positif triterpenoid.

5. Deteksi uji senyawa golongan tannin.

• Isolat ditambahkan dengan pereaksi FeCl3 1% dan akan berwarna coklat

kehijauan jika mengandung golongan senyawa tannin.

2.7.2 Spektrofotometri ultraviolet - visibel (UV-Vis)

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis

spektroskopi yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat 190-

380 nm dan sinar tampak 380-780 nm dengan memakai instrumen

spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis

melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,

sehingga Spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif

dari pada kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995). Prinsip kerja dari UV-visibel

adalah interaksi antara radiasi pada rentang panjang gelombang 200-800 nm yang

dilewati terhadap suatu senyawa. Elektron-elektron pada ikatan di dalam molekul

menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses penyerapan

sejumlah energi yang melewati larutan(Watson, 2005).

2.7.3 Identifikasi dengan Spektrofotometer FTIR (Fourier TransformInfrared Spectroscopy)

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat

energi getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang

29

dari 100 cm-1 (panjang gelombang lebih daripada 100 um) diserap oleh sebuah

molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul (Silverstein, 1996).

Spektrofotometri inframerah (IR) sangat penting dalam kimia modern,

terutama dalam senyawa organik. Spektrofotometer ini merupakan alat rutin untuk

mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawaan, dan menganalisis

campuran (Day and Underwood, 1999). Penerapan spektrofotometer inframerah

sangat luas, biasanya untuk analisis kualitatif. Sinar inframerah dilewatkan

melalui suatu cuplikan senyawa organik, sehingga sejumlah frekuensi diserap

sedang frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap.

Kegunaan utama dari spektrofotometer IR yaitu untuk mengidentifikasi keberadan

suatu gugus fungsi dalam suatu senyawa organik berdasarkan spektrum yang khas

pada daerah inframerah. Radiasi inframerah menyebabkan terjadinya vibrasi dari

gugus fungsi suatu molekul. Vibrasi terjadi pada panjang gelombang 2,5-15 μm

4000cm-1 – 650 cm-1) yang merupakan panjang gelombang umum dalam alat

spektrofotometer inframerah. Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C, C=C, C≡C,

CO,C=O, O-H, N-H) mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda dan kita dapat

mendeteksi adanya ikatan-ikatan tersebut dalam molekul organik menyebabkan

senyawa-senyawa organik dapat diidentifikasi melalui frekuensi yang

karakteristik sebagai pita serapan dalam spektrum inframerah (Sastrohamidjojo,

1996). Senyawa tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometri. Senyawa

tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometri inframerah yang merekam secara

otomatis dalam bentuk larutan (dalam kloroform, karbontetraklorida, 1−5%),

bentuk gerusan dalam minyak nuyol, atau bentuk padat yang dicampur dengan

kalium bromida. Pada cara terakhir, tablet atau cakram tipis dibuat dari serbuk

30

yang mengandung kira-kira 1 mg bahan dan 10−100 mg kalium bromida dalam

kondisi tanpa air, dibuat dengan menggunakan cetakan atau pengempa. Jangka

pengukuran mulai dari 4000 sampai 667 28cm−1 (atau 2,5 sampai 15 µm), dan

perekaman spektrum memakan waktu kira-kira tiga menit (Harborne, 1996).

Dalam molekul sederhana beratom dua atau beratom tiga tidak sukar

untuk menentukan jumlah dan jenis vibrasinya dan menghubungkan vibrasi-

vibrasi tersebut dengan energi serapan. Tetapi untuk molekul-molekul beratom

banyak, analisis jumlah dan jenis vibrasi itu menjadi sukar sekali atau tidak

mungkin sama sekali, karena bukan saja disebabkan besarnya jumlah pusat

vibrasi, melainkan karena juga harus diperhitungkan terjadinya saling

mempengaruhi (inter-aksi) beberapa pusat vibrasi.Vibrasi molekul dapat dibagi

dalam dua golongan, yaitu vibrasi regang dan vibrasi lentur.

1. Vibrasi regang

Di sini terjadi terus menerus perubahan jarak antara dua atom di didalam suatu

molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam yaitu vibrasi regang simetris dan

tak simetri.

2. Vibrasi lentur

Di sini terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam

vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang yang dapat berupa vibrasi

scissoring atau vibrasi rocking dan vibrasi keluar bidang yang dapat berupa

waging atau berupa twisting (Noerdin, 1985).