5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karateristik Buah Naga
Buah naga merupakan sejenis pohon kaktus yang berasal dari Meksiko,
Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Saat ini buah naga sudah ditanam secara
komersial dibeberapa negara seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Australia, dan
Indonesia. Nama lain dari Buah naga adalah Dragon Fruit, dalam bahasa latin
buah naga dikenal dengan Phitahaya. Daging buah naga berwarna putih, merah,
dan ungu dengan taburan biji-biji berwarna hitam yang boleh dimakan (Idawati,
2012). Empat jenis buah naga yang dikembangkan yaitu buah naga daging putih
(Hylocereus undatus), buah naga daging merah (Hylocereus polyrhizus), buah
naga daging super merah (Hylocereus costaricensis), dan buah naga kulit kuning
daging putih (Selenicereus megalanthus). Masing-masing buah naga memiliki
karakteristiknya sendiri. Dari buah naga yang dikembangkan tersebut buah naga
merahlebih sering dibudidayakan karena memiliki kelebihan tersendiri yaitu
ukuran buah buah lebih besar dan warna daging lebih menarik. Sedangkan buah
naga yang jarang dibudidayakan adalah buah naga Selenicereus megalanthus
karena ukuran buah yang relatif kecil walaupun rasanya paling manis diantara
jenis yang lain.
Buah naga merupakan kelompok tanaman kaktus yang memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
5
6
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Kelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Cactaceae (suku kaktus-kaktusan)
Genus : Hylocereus
Spesies : - Hylocereus undatus (Haw.)Britt.Et R (daging putih)
- Hylocereus polyrhizus (daging merah)
- Hylocereus costaricensis (daging super merah)
- Selenicereus megalanthus (kulit kuning, daging putih, tanpa
sisik) (Kristanto D, 2008)
Gambar 2.1 a. Selenicereus megalanthus (kulit kuning, daging putihb. Hylocereus polyrhizus (daging merah)c. Hylocereus undatus (Haw.)Britt.Et R (daging putih)d. Hylocereus costaricensis (daging super merah)
Morfologi tanaman buah naga terdiri dari akar, batang, duri, bunga dan
buah. Akar buah naga hanyalah akar serabut berkembang didalam tanah dibatang
atas sebagai akar gantung. Akar tumbuh disepanjang batang dibagian punggung
sirip disudut batang. Pada bagian duri akan tumbuh bunga yang bentuknya mirip
bunga Wijayakusuma. Bunga yang tidak rontok akan berkembang menjadi buah.
Disekujur kulit dipenuhi dengan jumbai-jumbai yang mirip dengan sisik seekor
7
naga, oleh sebab itu, buah ini disebut buah naga. Batangnya berbentuk segitiga,
durinya pendek, tidak mencolok dan buah naga dianggap kaktus tak berduri.
2.2 Hama Pada Buah Naga
Tanaman buah naga sebenernya termasuk tanaman yang tahan banting dan
relatif mudah dalam perawatannya. Namun tentunya dalam budidaya selalu ada
gangguan hama dan serangan penyakit yang bisa mengakibatkan hasil produksi
tidak maksimal dan bisa mengalami kerugian. Permasalahan yang muncul pada
musim penghujan, pada saat tanaman buah naga berbuah adalah penyakit busuk
batang atau cabang. Salah satu hama penyakit layu batang yang disebabkan oleh
jamur Fusarium oxysporumf sp. Cubense (Foc). Gejala paling khas adalah jika
pangkal batang semu dibelah membujur, terlihat garis-garis nekrotik berwarna
coklat atau hitam dari bonggol ke atasmelalui jarnganpembuluh ke pangkal dan
tangkai daun. Penularan penyakit ini melalui bibit, tanah, dan air.
Menurut Agrios (1996) klasifikasi jamur ini adalah sebagai berikut :
Divisio : Mycota
Sub Divisi : Deuteromycotina
Class : Hyphomycetes
Ordo : Hyphales
Famili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Species : Fusarium oxysporumf.sp.passiflora.
2.3 Pengendalian Hama Fusarium sp.
Beberapa upaya pengendalian penyakit pada buah naga telah banyak
dilaporkan dengan menggunakan ekstrak alami dari tanamanan. Penyebaran
8
penyakit layu fusarium dapat dicegah dengan aplikasi benzadazol dan
karbendazim (75 g/100 liter; 5,5 liter/m2) atau nistatin (Salinger, 1985).Nistatin
merupakan suatu antibiotik polien yang brsifat toksik dan dapat digunakan
sebagai antijamur. Bersifat higroskopis, sukar larut dalam kloroform dan eter.
Mudah larut dalam air. Nistatin menghambat pertumbuhan jamur dan ragi tetapi
tidak aktif terhadap bakteri, protozoa, dan virus. Mekanisme kerja nistatin yaitu
nistatin hanya akan diikat oleh jamur yang sensitif. Aktivitas antijamur yaitu
dengan mengikat sterol pada membran sel jamur terutama ergosterol. Akibat
terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik ini akan terjadinya perubahan
permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil.
Akibat dari perubahan permeabilitas pada membran sel aktivitas transport nutrisi
terhambat sehingga pertumbuhan jamur akan terhambat atau mati.
Gambar 2.2 Struktur Nistatin (Robinson, 1995)
Akan tetapi perlakuan fumigasi tidak mampu menghambat patogen
penyebab layu secara sempurna, terutama pada lapisan tanah yang agak dalam.
Oleh karena itu perlu dicari cara pengendalian alternatif yang sesuai dengan
falsafah pengendalian penyakit tanaman yang mempertimbangankan aspek
keamanan lingkungan (De Bach, 1974).
9
Menurut penelitian yang dilakukan Fitri Wasilah, ekstrak etanol rimpang
kunyit aktif menghabat pertumbuhan jamur F. Oxysporum Schlecht. Dari
penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa ekstrak rimpang kunyit
(Curcuma domestica Veil.) dalam etanol terbukti dapat menghambat pertumbuhan
jamur F. Oxysporum Schlecht secara in vitro. Konsentrasi efektif yang dapat
menghambat pertumbuhan jamur F. Oxysporum Schlecht lebih dari 50 % adalah
0,10% (b/v).
Siahaan (2013) melaporkan mengenai penggunaan ekstrak etanol urang
aring (Eclipta alba L. Hask.) terhadap daya hambat pertumbuhan jamur Fusarium
sp. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa uji hayati secara
in vitro menunjukkan bahwa ekstrak etanol tumbuhan urang aring mampu
menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp.dengan konsentrasi 1% dan 2,5%.
2.4 Uji Aktivitas Antijamur
Antijamur adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan jamur.
Kerja antijamur dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah jamur, adanya bahan
organik, dan pH (Pelzcar & Chan, 1986). Stout dalam Ardiansyah (2004)
mengelompokkan antijamur ke dalam 4 kelompok, yaitu antijamur dengan
aktivitas rendah, sedang, kuat, dan sangat kuat yang ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kategori Daya Hambat Menurut Davis Stout
Aktifitas Diameter Zona Hambat (mm)Rendah < 5
Sedang 5-10
Kuat 10-20
Sangat kuat >20
Sumber : Davis Stout dalam Ardiansyah (2004).
10
Pengukuran aktivitas antijmur dapat dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya metode difusi dan metode pengenceran. Metode difusi merupakan
metode yang paling umum digunakan, metode difusi dapat dilakukan dengan tiga
cara, yaitu:
1. Metode silinder merupakan silinder steril dengan diameter 8 mm ditetesi
larutan uji dan ditempatkan pada permukaan agar yang telah ditanami bakteri
uji. Daerah hambat yang terbentuk terlihat sebagai daerah bening di sekeliling
silinder.
2. Metode perforasi adalah media agar ditanami jamur uji dan selanjutnya pada
media tersebut dibuat lubang atau sumur dengan diameter 6 mm dan larutan
uji sebanyak 10 μL dimasukkan ke dalamnya. Daerah bening yang terbentuk
merupakan daerah hambatannya.
3. Metode Difusi Cakram, metode ini merupakan metode yang paling banyak
digunakan dan dikenal sebagai metode Kirby-Bauer. Dalam metode ini,
sejumlah jamur diinokulasikan pada media agar dan cakram yang
mengandung larutan uji atau antijamur tertentu diletakkan pada permukaan
media agar yang telah memadat. Daerah bening sebagai daerah hambatan
terbentuk setelah masa inkubasi dan terlihat tidak ditumbuhi jamur di
sekeliling cakramnya (Chan, 1986).
2.5 Tanaman Mimba (Azadirachta Indica)
Tanaman Mimba (Azadirachta Indica), berasal dari Asia Tenggara,
termasuk Indonesia dan tumbuh di berbagai negara di seluruh dunia. Tanaman ini
dikenal sebagai Neeb dalam bahasa Arab, Azad Diracht dalam bahasa Persia, dan
Margosa dalam bahasa Inggris, di Indonesia tanaman ini dikenal sebagai Mimba.
11
Berbagai nama di beberapa daerah di Indonesia antara lain nimba (Jawa), Mimba,
mempheuh (Madura), dan intaram, mimba (Bali) (Rukmana et al., 2002).
2.5.1 Morfologi mimba
Tumbuhan mimba merupakan jenis pohon yang tergolong dalam
subfamily Meliaceae yang paling banyak diteliti karena bahan aktif yang
terkandung didalamnya yang berpotensi sebagai pestisida alami. Dalam
sistematika tumbuhan, menurut Rukmana et al., (2002) kedudukan tanaman
A.indica diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Famili : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : A. indica A. Juss sinonim Melia azadirachta
Tanaman mimba memiliki ciri morfologi yang mirip dengan tanaman
sejenisnya yaitu mindi (Meliaazedamch), maka ciri morfologi mimba perlu
dicermati lebih jeli. Tanaman mimba berupa pohon, tingginya 8-15m, bunga
banci, batang simpodial, kulit batang mengandung gum, pahit. Daun menyirip
gasal berpasangan. Anak daun dengan helaian berbentuk memanjang lanset
bengkok, panjang 3-10 cm, lebar 0,5-3,5 cm, pangkal runcing tidak simetri, ujung
runcing. Tepi daun bergerigi kasar, remasan berasa pahit, warna hijau muda.
Bunga memiliki susunan malai, terletak diketiak daun paling ujung, 5-30 cm,
tangkai bunga 1-2 mm. Kelopak kekuningan, bersilia, rata-rata 1 mm. Mahkota
12
putih kekuningan, bersilia, panjang 5-7 mm. Putik memiliki panjang rata-rata 3
mm, gundul. Buah bulat, hijau kekuningan 1,5-2 cm. Waktu berbunga Maret-
Desember (Aradilla, 2009).
Gambar 2.3 Tanaman Mimba (Robinson, 1995)
2.5.2 Manfaat tanaman mimba
Tanaman mimba memiliki bagian yang sering di manfaatkan salah satunya
adalah daun dan biji. Daun mimba mengandung zat aktif yang merupakan,
senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah azadirakhtin, salanin, meliatriol
dan nimbin. Senyawa aktif tersebut merupakan senyawa yang dapat dimanfaatkan
sebagai pestisida organik. Pestisida organik memiliki kemampuan kerja yang
berbeda dengan pestisida sintetis, karena pestisida organik tidak bekerja langsung
untuk mematikan hama dengan tepat tapi berpengaruh terhadap daya makan yang
menurun, pertumbuhan, daya reproduksi dan proses ganti kulit. Ekstrak daun
mimba berefek sebagai fungisida alami, selain itu kulit batangnya juga digunakan
untuk mengatasi nyeri lambung dan menurunkan demam (Sudarsono et al., 2002).
Ekstrak mimba dikenal memiliki kemampuan menekan pertumbuhan jamur
(Martoredjo et al., 1997). Sebagai fungisida, mimba dapat dipakai untuk tindakan
pada tahap awal gejala penyakit jamur pada tanaman. Semprotan ekstrak mimba
13
menyebabkan spora jamur gagal berkecambah. Mimba efektif untuk
mengendalikan jamur penyebab penyakit busuk, embun tepung, karat daun,
bercak daun, kudis atau cacar daun, dan layu (Novizan, 2002).
2.5.3 Kandungan kimia
Kandungan kimia dari daun mimba yaitu flavonoid, saponin, tanin,
alkaloid dan terpenoid.
2.5.3.1 Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu kelompok metabolit sekunder dan merupakan
salah satu golongan senyawa fenol terbesar yang dihasilkan secara alami oleh
tumbuh-tumbuhan dan mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang
dihubungkan dengan tiga satuan karbon (Markham, 1998; Sastrohamidjojo, 1996)
A C
B
Gambar 2.4 Kerangka dasar flavonoid (Robinson, 1995)
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan
keragaman pada rantai C3 yaitu :
14
O
Katekin
O
OH
OHFlavan-3,4-diol
O
O
Flavon
O
R O
Isoflavon
O Kalkon
O
CH
O
Auron
O
O
OH
Flavonol
O
OFlavanon
Gambar 2.5 Kerangka dasar beberapa golongan senyawa flavonoid(Robinson, 1995)
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder dalam suatu tumbuhan
yang berfungsi sebagai pigmen (pembentuk warna), pertahanan diri dari hama dan
penyakit. Senyawa flavonoid juga digunakan dalam industri makanan sebagai
pewarna makanan (Markham, 1998). Flavonoid merupakan golongan polifenol
sehingga memiliki sifat senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat
larut dalam basa. Flavonoid memiliki sejumlah gugus hidroksil, sehingga
merupakan senyawa polar sehingga pada umumnya flavonoid larut dalam pelarut
15
seperti etanol, metanol, butanol, aseton, air dan sebagainya. Flavonoid sebagai
derivat dari fenol dapat menyebabkan rusaknya susunan dan perubahan
mekanisme permeabilitias dari dinding bakteri sehingga dikatakan memiliki sifat
anti bakteri. Flavonoid mempunyai kemampuan membentuk kompleks dengan
protein dan merusak dengan cara mendenaturasi ikatan protein pada membran sel
menjadi lisis dan senyawa tersebut menembus kedalam inti sel menyebabkan
jamur tidak berkembang ( Harmita, 2006).
2.5.3.2 Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida
steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun
serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne,
1996). Saponin merupakan senyawa yang memiliki rasa pahit menusuk dan dapat
bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan sebagai racun ikan (Gunawan dan
Mulyani, 2004). Saponin pada tumbuhan berfungsi sebagai tempat penyimpanan
karbohidrat dan sebagai pelindung terhadap serangan serangga (Nio, 1989).
Senyawa saponin dapat diidentifikasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard.
Warna biru-hijau menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda,
atau ungu menunjukkan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1996). Saponin
diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia menjadi dua yaitu saponin steroid dan
saponin triterpenoid.
Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul
karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal
sebagai sapogenin. Tipe saponin ini memiliki efek antijamur. Saponin jenis ini
16
memiliki aglikon berupa steroid yang diperoleh dari metabolism sekunder
tumbuhan.
H3C
CH3
CH3
H3CCH3
CH3
Struktur Dasar Steroid
Gambar 2.6 Struktur dasar saponin steroid (Robinson, 1995)
Saponin tritetpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul
karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin ini
merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat
dimurnikan.
CH3H3C
CH3
CH3CH3
CH3
CH3
CH3
HO
Struktur Dasar Triterpen
Gambar 2.7struktur dasar saponin triterpenoid (Robinson, 1995)
2.5.3.3 Tanin
Tanin adalah senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi
(lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein (Hagerman,
17
2002; Harbone, 1996). Tanin merupakan zat-zat kompleks yang terdapat secara
meluas dalam berbagai jenis tumbuhan, antara lain terdapat pada bagian kulit
batang, daun, dan buah-buahan ( Risnasari, 2001). Tanin tidak dapat larut dalam
pelarut non polar, seperti eter, kloroform, dan benzene tetapi mudah larut dalam
air, dioksan, aseton, dan etanol serta sedikit larut dalam etil asetat (Arifin, 2006)
OHO
OH
OH
OH
Gambar2.8 Struktur inti tanin (Robinson, 1995)
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi.
a. Tanin terkondensasi
Tanin jenis ini hampir terdapat di dalam paku-pakuan dan gimnospermae
serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu.
Nama lain untuk tanin terkondensasi ialah proantosianidin karena bila direaksikan
dengan asam panas, maka beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan
terputus dan dibebaskan olah monomer antosianidin (Harborne,1987).
Gambar 2.9 Tannin terkondesasi (Harborne, 1987)
18
b. Tanin terhidrolisis
Tanin yang terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan
berkeping dua. Tanin jenis ini terdiri atas dua kelas, yang paling sederhana adalah
depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh
lima gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti molekul berupa senyawa
dimer asam galat yaitu asam heksahidroksidifenat dan berikatan dengan glukosa.
Gambar 2.10 Tannin terhidrolisis (Harborne,1987 )
2.5.3.4 Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang umumnya
dibiosintesis dari asam-asam amino. Semua alkaloid mengandung paling sedikit
satu atom nitrogen dan umumnya bersifat basa serta sebagian besar atom nitrogen
ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Hampir semua alkaloid di alam
mempunyai keaktifan fisiologis tertentu, ada yang bersifat racun tapi adapula
yang dipergunakan dalam pengobatan, seperti kuinin, morfin dan striknin yang
mempunyai efek fisiologis dan psikologis tertentu. Alkaloid banyak ditemukan
19
dalam tumbuh-tumbuhan baik pada bagian daun, ranting, biji, batang maupun
akar (Robinson, 1995).
N
N N
N
O
R1
O
R2
R3
Gambar 2.11 Struktur kimia alkaloid (Harborne, 1996)
Berdasarkan jenis cincin heterosiklik dan letak atom nitrogennya alkaloid
dapat dibedakan diantaranya: pirolidin, pirol, piridin, piperidin, isokuinolin, indol,
kuinolin, dan indolizidin. Adapun struktur dasarnya dipaparkan pada Gambar 2.12
N
HPirolidin
N
HPiperidin
NH
Isokuinolin
N
HKuinnolin
NH
Indol
N
Indolizidin
NH
Pirol
N
Piridin
Gambar 2.12 Beberapa struktur dasar senyawa alkaloid (Harborne,1987)
20
Kebanyakan alkaloid berupa senyawa berbentuk kristal yang tidak
berwarna dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Alkaloid
bersifat optis aktif, tidak mudah menguap, rasanya pahit, tidak larut dalam air
tetapi larut dalam pelarut organik seperti etanol, eter, dan kloroform. Untuk
mendeteksi adanya senyawa alkaloid pada skrining fitokimia umumnya
digunakan pereaksi pengendap diantaranya pereaksi Meyer, Wagner dan
Dragendorff. Mekanisme reaksi antara senyawa alkaloid dengan pereaksi deteksi
tergantung pada sifat kimia dari pereaksi pengendap itu sendiri (Harbone, 1996).
2.5.3.5 Terpenoid
Senyawa terpenoid merupakan salah satu metabolit sekunder. Senyawa
terpen ini ada dalam jumlah yang besar dan kerangka molekul yang beragam,
namun dapat dengan mudah dikenali melalui keteraturan monomernya yang
terbentuk dari isopren (Gunawan,2004).Terpenoid merupakan komponenyang
biasa ditemukan dalam minyak atsiri. Sebagian besar terpenoid mengandung atom
karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Terpenoid merupakan
senyawa hidrokarbon tak jenuh, dan unit terkecil yang terdapat di dalam terpenoid
disebut isopren (C5H8). Satuan isopren umumnya tersusun dalam suatu urutan dari
kepala ke ekor, yaitu ujung yang bercabang dari satu satuan isopren dihubungkan
dengan ujung yang tidak bercabang dari satuan isopren yang lain.
Gambar 2.13 Kerangka dasar unit isopren (C5) (Harborne,1987)
21
Terpenoid mempunyai kerangka karbon yang terdiri dari dua atau lebih
unit C5 yang disebut unit isopren. Berdasarkan jumlah atom C yang terdapat
pada kerangkanya, terpenoid dapat dibagi menjadi hemiterpen dengan 5 atom C,
monoterpen dengan 10 atom C, seskuiterpen dengan 15 atom C, diterpen dengan
20 atom C, triterpen dengan 30 atom C, dan seterusnya sampai dengan politerpen
dengan atom C lebih dari 40.
Gambar 2.14. a. Monoterpenb. Seskuiterpenc. Diterpend. Triterpen
Biosintesis dari terpenoid pada tumbuhan mengikuti jalur asam asetat-
mevalonat. Dua asetil CoA bereaksi menjadi asetoasetil CoA, kemudian bereaksi
lagi dengan asetil CoA sehingga menghasilkan β-hidroksi-β-metilglutaril CoA.
Kemudian direduksi oleh enzim β-hidroksi-β-metilglutaril CoA dengan bantuan
NADPH menjadi asam mevaldik tiohemiasetal. Terjadi pemutusan asetil CoA dan
reaksi oksidasi sehingga asam mevaldik tiohemi asetal menjadi asam mevaldik
dan direduksi oleh NADPH menjadi asam mevalonat. Asam mevalonat menjadi
Isopentenil pirofosfat (IPP) karena terjadi reaks idengan adenine triposfat (ATP)
dan pemutusan CO2. Adanya enzim isomerase dapat merubah IPP menjadi
Dimetilalil pirofospat (DMAPP) dengan reaksi yang berlangsung secara bolak –
22
balik (Reversible). DMAPP dapat menjadi isoprene dengan pelepasan gugus OPP
namun jika DMAPP bereaksi dengan IPP akan membentuk geranil piroposfat.
SCoA
O
SCoA
O
H
SCoA
OOH
ReaksiClaisen
SEnz
O
asetoastil-CoA
HO2CSCoA
OOH
EnzS
NADPH
HO2CSCoA
OHOH
H
HO2CO
OHHO2C
OH
OH
asam mevaldiktiohemiasetal
asam mevaldikasam mevalonat(MVA)
1
2
3
4
6
5
O OPP
OHO
H
POH
OOHO ADP
OPPH5H
H
R
12
3
5
4 OPP
isomeraseATP-CO2
isopentenil PP(IPP)
dimetilalil PP(DMAPP)
asetil-CoA HMG-CoAreduktase
2 x ATP
OPPH -H
dimetilalil PP(DMAPP)
isopren
CH2OPP
PPO
CH2OPP
Geranil Piroposfat
DMAPP
IPP
hidroksi--metilglutaril CoA
NADPH
Gambar 2.15 Biosintesis senyawa terpenoid (Harborne, 1987)
Senyawa golongan triterpen kebanyakan mempunyai gugus fungsi
alkohol, aldehid, dan asam karboksilat. Bila dianalisis dengan spektrofotometer
inframerah (IR), karakteristik senyawa golongan triterpen yang memiliki gugus
alkohol akan memberikan serapan lebar (-OH) pada bilangan gelombangsekitar
3400 cm-1 yang dipertegas dengan adanya serapan C-O alkohol pada sekitar 1300-
23
110 cm-1. Adanya gugus fungsi –OH dan C-O alkohol serta munculnya serapan
C=O pada daerah bilangan gelombang sekitar 1900-1650 cm-1 merupakan ciri
dominan gugus asam karboksilat. Triterpen aldehid ditunjukkan dengan adanya
dua puncak lemah dekat 2850 dan 2750 cm-1 (Harbone, 1996)
Ismaini (2011) melaporkan bahwa senyawa triterpenoid ikut berperan
dalam menghsilkan zona hambat karena sifat toksik yang dimiliki oleh senyawa
triterpenoid dalam ekstrak (Centella asiatica L.), sehingga ketika senyawa aktif
terserap oleh jamur patogen dapat menimbulkan kerusakan pada organel-organel
sel, menghambat kerja enzim di dalam sel, dan pada akhirnya akan terjadi
penghambatan pertumbuhan jamur patogen.
2.6 Metode Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Tumbuhan
Isolasi senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan dapat
dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu ekstraksi, pemisahan, pemurnian, dan
identifikasi.
2.6.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menarik
sebagian atau seluruh komponen kimia dalam suatu sampel tumbuhan
menggunakan pelarut yang sesuai (berdasarkan polaritas pelarut)(Suradikusumah,
1989). Prinsip ekstraksi yaitu melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non polar dalam pelarut non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan
berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksana), pelarut semipolar
(diklometan atau etilasetat) kemudian pelarut yang bersifat polar (metanol atau
etanol) (Harbone, 1996).
24
Markham (1998) menyatakan bahwa sebelum proses ekstraksi, sampel
daun dikeringkan terlebih dahulu agar tetap dalam keadaan baik untuk dianalisis
setelah beberapa hari. Dalam proses pengeringan, sampel daun dikeringkan pada
suhu kamar dengan aliran udara yang lancar dan tidak boleh terkena sinar
matahari secara langsung karena radiasi UV dapat memecah senyawa yang
dianalisis.Sampel yang telah kering digerus hingga menjadi serbuk selanjutnya
diekstraksi.
Maserasi merupakan metode yang sederhana. Teknik ini menggunakan
sederetan pelarut secara bergantian dengan tingkat polaritas yang berbeda. Ekstrak
yang diperoleh dipekatkan dengan tekanan rendah menggunakan rotary vacuum
evaporator pada suhu 30-40 oC sehingga diperoleh ekstrak kental. Pemilihan
pelarut untuk melakukan ekstraksi perlu memperhatikan kemampuan dari pelarut
untuk mengekstraksi komponen-komponen yang ada dalam bahan tumbuhan
(Harbone, 1996).
2.6.2 Metode pemisahan dan pemurnian
Pemisahan dan pemurnian suatu senyawa dapat dilakukan dengan teknik
kromatografi seperti Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Kolom.
Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar tergantung pada sifat kelarutan
senyawa yang akan dipisahkan (Harborne, 1996).
2.6.2.1 Kromatografi lapis tipis
Kromatrografi merupakan salah satu metode pemisahan yang didasarkan
pada distribusi komponen-komponen yang dipisahkan diantara 2 fase, yaitu fase
diam dengan permukaan yang luas dan fase gerak yang berupa zat cair yang
mengalir sepanjang fase diam).Menurut Townshend (1995), Tujuan dari
25
kromatografi lapis tipis adalah untuk tujuan kualitatif dan tujuan preparatif. KLT
kualitatif digunakan untuk menganalisis senyawa-senyawa organik dalam jumlah
kecil, menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan kromatografi
kolom dan mengidentifikasi komponen penyusun campuran melalui perbandingan
dengan senyawa yang diketahui strukturnya.
Menurut Stahl (1958), campuran yang akan dipisahkan berupa larutan,
ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan ke dalam
bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak).
Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembang) dan selanjutnya
senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan. Pelarut yang dipilih untuk
pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan
lapisan tipis seperti silika gel bersifat asam, sehingga senyawa yang bersifat basa
akan teradsorpsi kuat.
Perpindahan komponen atau senyawa pada kromatografi ini tergantung
pada jenis pelarut, zat pelarut, zat penyerap dan sifat daya serapnya terhadap
masing-masing komponen. Komponen yang larut terbawa oleh fase gerak (cairan
pengelusi) melalui adsorben (fase diam) dengan kecepatan perpindahan yang
berbeda. Perbedaan kecepatan ini dinyatakan dengan Rf (faktor retensi), yaitu
perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dan jarak yang di
tempuh pelarut (Adnan, 1997).
Rf=gerakfaseditempuhyangJarak
dipisahkanyangsenyawakomponenmasing-masingditempuhyangJarak
26
2.6.2.2 Kromatografi kolom
Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan berdasarkan perbedaan
distribusi campuran komponen antara fase gerak dan fase diam. Komponen-
komponen dari campuran akan terpartisi pada kedua fase yang disebabkan oleh
perpindahan diantara kedua fase tersebut. Komponen-komponen yang terpartisi
lebih banyak pada fase diam akan tertahan lebih lama di dalam kolom
disbandingkan dengan komponen-komponen yang terpartisi lebih banyak pada
fase gerak. Fase diam yang paling sering digunakan adalah silika gel, hal tersebut
disebabkan karena silika gel mampu mengabsorpsi sampai 70% berat air tanpa
menjadi basah (Khopkar, 2003).
Kolom kromatografi dapat berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran
dan penyaring didalamnya. Ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang
akan dipisahkan. Fase diamnya berupa silika gel yang diletakkan di dalam kolom
dan ditahan dengan gelas wool atau kapas. Pengisian kolom yang tidak teratur
dari fase diam dapat mengakibatkan rusaknya batas-batas pita kromatografi.
Putusnya penyerap dalam kolom biasanya disebabkan oleh gelembung-
gelembung udara selama pengisian (Khopkar, 1990). Selama proses kromatografi,
senyawa yang diserap lemah oleh adsorben akan segera meninggalkan kolom dan
akan muncul bersama eluen, sedangkan senyawa yang diserap kuat akan keluar
lebih lambat. Eluat yang diperoleh ditampung dalam botol pada selang waktu
yang teratur kemudian dikelompokkan berdasarkan pola bercak atau noda pada
plat kromatografi lapis tipis. Eluat yang memiliki pola bercak atau noda yang
sama digabungkan dalam satu fraksi (Sastrohamidjojo, 2007).
27
2.7.Metode identifikasi
2.7.1 Uji fitokimia
Uji fitokimia terhadap fraksi maupun isolat aktif dilakukan dengan
menggunakan pereaksi-pereaksi yang spesifik terhadap suatu golongan senyawa.
Pengerjaannya dapat dilakukan pada plat tetes atau tabung pereaksi yaitu dengan
mereaksikan sedikit isolat dengan pereaksi golongan senyawa tertentu. Perubahan
warna yang terjadi tergantung dari pereaksi yang digunakan dan golongan
senyawa apa yang terkandung didalamnya. Uji fitokimia yang biasa dilakukan
dengan pereaksi sebagai berikut :
1. Deteksi golongan alkaloid
• Pereaksi Wagner
Sedikit isolat ditambahkan beberapa tetes pereaksi Wagner. Reaksi positif
alkaloid jika terbentuk endapan coklat.
• Pereaksi Meyer
Sedikit isolat ditambah beberapa tetes pereaksi Meyer. Reaksi positif jika
terbentuk endapan putih.
2. Deteksi golongan flavonoid
• Pereaksi Wilstatter
Sedikit isolat ditambah beberapa tetes HC1 pekat + sedikit serbuk Mg.
reaksi positif jika terjadi perubahan warna merah-orange.
3. Deteksi golongan saponin
• Sedikit isolat ditambah air dan dikocok. Reaksi positif jika terbentuk busa
yang tidak hilang setelah dikocok.
28
4. Deteksi golongan senyawa steroid dan triterpenoid
• Pereaksi Liebermann-Burchard
Sedikit isolat ditambah asetat anhidrat dan H2SO4 pekat. Jika terjadi
perubahan warna hijau-biru menunjukkan positif steroid dan jika terjadi
perubahan warna merah-ungu, coklat menunjukkan positif triterpenoid.
5. Deteksi uji senyawa golongan tannin.
• Isolat ditambahkan dengan pereaksi FeCl3 1% dan akan berwarna coklat
kehijauan jika mengandung golongan senyawa tannin.
2.7.2 Spektrofotometri ultraviolet - visibel (UV-Vis)
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis
spektroskopi yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat 190-
380 nm dan sinar tampak 380-780 nm dengan memakai instrumen
spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,
sehingga Spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
dari pada kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995). Prinsip kerja dari UV-visibel
adalah interaksi antara radiasi pada rentang panjang gelombang 200-800 nm yang
dilewati terhadap suatu senyawa. Elektron-elektron pada ikatan di dalam molekul
menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses penyerapan
sejumlah energi yang melewati larutan(Watson, 2005).
2.7.3 Identifikasi dengan Spektrofotometer FTIR (Fourier TransformInfrared Spectroscopy)
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat
energi getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang
29
dari 100 cm-1 (panjang gelombang lebih daripada 100 um) diserap oleh sebuah
molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul (Silverstein, 1996).
Spektrofotometri inframerah (IR) sangat penting dalam kimia modern,
terutama dalam senyawa organik. Spektrofotometer ini merupakan alat rutin untuk
mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawaan, dan menganalisis
campuran (Day and Underwood, 1999). Penerapan spektrofotometer inframerah
sangat luas, biasanya untuk analisis kualitatif. Sinar inframerah dilewatkan
melalui suatu cuplikan senyawa organik, sehingga sejumlah frekuensi diserap
sedang frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap.
Kegunaan utama dari spektrofotometer IR yaitu untuk mengidentifikasi keberadan
suatu gugus fungsi dalam suatu senyawa organik berdasarkan spektrum yang khas
pada daerah inframerah. Radiasi inframerah menyebabkan terjadinya vibrasi dari
gugus fungsi suatu molekul. Vibrasi terjadi pada panjang gelombang 2,5-15 μm
4000cm-1 – 650 cm-1) yang merupakan panjang gelombang umum dalam alat
spektrofotometer inframerah. Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C, C=C, C≡C,
CO,C=O, O-H, N-H) mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda dan kita dapat
mendeteksi adanya ikatan-ikatan tersebut dalam molekul organik menyebabkan
senyawa-senyawa organik dapat diidentifikasi melalui frekuensi yang
karakteristik sebagai pita serapan dalam spektrum inframerah (Sastrohamidjojo,
1996). Senyawa tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometri. Senyawa
tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometri inframerah yang merekam secara
otomatis dalam bentuk larutan (dalam kloroform, karbontetraklorida, 1−5%),
bentuk gerusan dalam minyak nuyol, atau bentuk padat yang dicampur dengan
kalium bromida. Pada cara terakhir, tablet atau cakram tipis dibuat dari serbuk
30
yang mengandung kira-kira 1 mg bahan dan 10−100 mg kalium bromida dalam
kondisi tanpa air, dibuat dengan menggunakan cetakan atau pengempa. Jangka
pengukuran mulai dari 4000 sampai 667 28cm−1 (atau 2,5 sampai 15 µm), dan
perekaman spektrum memakan waktu kira-kira tiga menit (Harborne, 1996).
Dalam molekul sederhana beratom dua atau beratom tiga tidak sukar
untuk menentukan jumlah dan jenis vibrasinya dan menghubungkan vibrasi-
vibrasi tersebut dengan energi serapan. Tetapi untuk molekul-molekul beratom
banyak, analisis jumlah dan jenis vibrasi itu menjadi sukar sekali atau tidak
mungkin sama sekali, karena bukan saja disebabkan besarnya jumlah pusat
vibrasi, melainkan karena juga harus diperhitungkan terjadinya saling
mempengaruhi (inter-aksi) beberapa pusat vibrasi.Vibrasi molekul dapat dibagi
dalam dua golongan, yaitu vibrasi regang dan vibrasi lentur.
1. Vibrasi regang
Di sini terjadi terus menerus perubahan jarak antara dua atom di didalam suatu
molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam yaitu vibrasi regang simetris dan
tak simetri.
2. Vibrasi lentur
Di sini terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam
vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang yang dapat berupa vibrasi
scissoring atau vibrasi rocking dan vibrasi keluar bidang yang dapat berupa
waging atau berupa twisting (Noerdin, 1985).
Top Related