4. Pterigium Wwd Ed

download 4. Pterigium Wwd Ed

of 13

description

Pterigium adalah jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak mengarah ke kornea. jaringan ini terletak di atas konjungtiva.

Transcript of 4. Pterigium Wwd Ed

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Kasus pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,tergantung pada lokasi

    geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi

    adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.

    Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden

    tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun. Pasien

    dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada

    umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan

    merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.

    Di Amerika Serikat kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

    geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk

    daerah dia t as 40 o l in t ang u t ara sampai 5 -15% untuk daerah gar i s l in t ang

    28-36 o.Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang

    terkena paparan ultraviolet lebih tinggidi bawah garis lintang. Sehingga dapat

    disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka

    kejadian di lintang bawah.

  • 2

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 DEFINISI

    Pterygium merupakan pertumbuhan berbentuk baji fibrovascular dari konjungtiva

    (jaringan permukaan putih mata) yang meluas ke kornea. Pterygia dapat ditemukan di

    kedua sisi kornea sebagai bentuk lesi yang jinak dengan pola segitiga. Puncak segitiga

    pterigium mengarah ke sentral atau di daerah kornea (Gambar 1).

    Gambar 1. Pterigium

    Pterygium adalah penyakit mata yang umum eksternal terlihat lebih sering di daerah

    tropis dan subtropis karena paparan sinar matahari ultraviolet utama perubahan

    histopatologi pada pterigium primer adalah elastodysplasia dan elastodystrophy dari

    subepitel jaringan ikat.

    2.2 ANATOMI KONJUNGTIVA

    Konjungtiva merupakan membran yang menutupi kornea dan kelopak mata

    bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.

    Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.

  • 3

    Konjungtiva terdiri atas tiga bagian (Gambar 2), yaitu :

    Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva ini sukar digerakkan.

    Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera

    dibawahnya.

    Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

    konjungtiva bulbi

    Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di

    bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak

    Gambar 2. Anatomi Konjungtiva

    2.3 ETIOLOGI

    Etiologi pterigium belum diketahui secara pasti dan diduga suatu neolasma, radang, dan

    degenerasi. Pterygium lebih sering terlihat pada orang dari iklim tropis, tetapi dapat

    ditemukan dalam diri orang lain juga.

    Pterigium diduga disebabkan sinar ultraviole dan iritasi kronis akibat debu atau udara

    yang panas. Berikut teori yang dikemukakan :

  • 4

    1. Paparan sinar matahari (UV)

    Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan

    terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada

    populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang

    menghabiskan banyak waktu di lapangan.

    2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

    Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan

    kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan

    mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis,

    transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan

    kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang

    terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler

    subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan

    jaringan fibrovaskuler.

    2.4 PATOFISIOLOGI

    Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan

    ultraviolet,debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan

    konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena

    kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar

    ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan

    menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke

    meatus nasi inferior.

    Daerah nasal konjungt iva juga re l a t i f mendapat s inar u l t r av io l e t

    yang leb ih ban yak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di

    samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra

    violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, sehingga secara

    tidak langsung bagian nasal mata lebih sering mengalami pterigium.

  • 5

    Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

    proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,

    Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan

    basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat

    dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang

    sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

    His to logi , p te r igium merupakan akumulas i dar i j a r ingan degeneras i

    subepi te l yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E .

    Berbentuk ulat atau degenerasi e l a s t o t i c d e n g a n p e n a m p i l a n s e p e r t i

    c a c i n g b e r g e l o m b a n g d a r i j a r i n g a n y a n g d e g e n e r a s i . Pemusnahan

    lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya

    n o r m a l , t e t a p i m u n g k i n a c a n t h o t i c , h i p e r k e r a t o t i k , a t a u

    b a h k a n d i s p l a s t i k d a n s e r i n g menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

    2.5 GEJALA KLINIS

    Pterigium dapat tidak memberikan keluhan (asimptomatik). Pterigium mudah meradang

    dan apabila terjadi iritasi, akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata. Berikut

    adalah gejala yang mungkin timbul pada pterigium:

    Mata sering berair dan tampak merah

    Merasa seperti ada benda asing

    Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,

    biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga

    mengganggu penglihatan

    Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual

    sehingga tajam penglihatan menurun.

    Pterigium dapat pula disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea

    akibat kering), dan garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung pterigium

    (Gambar 3).

  • 6

    Gambar 3. Nasal Pterigium dengan stockers line

    2.6 PEMERIKSAAN FISIK

    Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada

    limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan

    selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

    Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.

    Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup

    oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 Gradasi klinis menurut

    Youngson (Gambar 4).

    Gradasi klinis pterigium adalah sebagai berikut:

    Derajat 1, Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

    Derajat 2, Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm

    melewati kornea

    Derajat 3, Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi

    pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

    Derajat 4, Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu

    penglihatan.

  • 7

    Gambar 4. Gradasi klinis pterigium

    2.7 PENATALAKSANAAN

    Karena munculnya pterigium akibat paparan lingkungan, penatalaksanaan kasus dengan

    tanpa gejala atau iritatif yang sedang dengan kacamata anti UV dan pemberian air mata

    buatan/topical lubricating drops. Pasien disarankan untuk menghindari daerah yang

    berasap atau berdebu. Pterigium dengan inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi

    dekongestan/antihistamin (seperti Naphcon-A) dan/atau kortikosteroid topikal potensi

    sedang (seperti FML, Vexol) 4 kali sehari pada mata yang terkena.

    Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya

    gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan

    bola mata yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual.

    Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara

    topografi membuat permukaan okuler rata.

    Teknik operasi yang umum dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan

    pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai

    dilakukan diseksi ke bawah bare sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi

    eksesif jaringan Tenon, karena kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap

    jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya dilakukan kauter untuk hemostasis sclera.

    Beberapa teknik operasi pterigium antara lain (Gambar 5):

    Bare Sclera

  • 8

    tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan

    konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area

    sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% - 50%).

    Simple Closure

    Tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva sangat kecil)

    Sliding flap

    Insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung menutup

    luka tersebut.

    Rotational flap

    Insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.

    Conjunctival graft

    Graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai ukuran luka

    dan dipindahkan kemudian dijahit.

    Gambar 5. Tekhnik operasi pterigium

  • 9

    2. 8. DIAGNOSIS BANDING

    a. Pinguekula

    Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Keadaan

    ini tampak sebagai nodul kuning di kedua sisi kornea, biasanya lebih banyak di

    daerah nasal mata yaitu di aperturae palpebrae (Gambar 6). Pinguekula jarang

    tumbuh membesar melainkan meradang. Pinguekula sering ditemukan pada orang

    tua.

    Gambar 6. Pinguekula dan Pterigium

    Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi apabila meradang,

    maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar.

    Tidak ada pengobatan khusus untuk pinguekula namun apabila terjadi pinguekulitis ,

    dapat diberikan obat-obat antiradang seperti steroid lemah topikal misal prednisolone

    0,12% atau medikasi antiradang non-steroid topikal.

    b. Pseudopterigium

    Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering terjadi pada

    proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.

    Pseudopterigium ini terletak pada daerah yang terdekat denga daerah trauma

    sebelumnya.

  • 10

    Perbedaan dengan pterigium adalah selain letaknya, pseudopterigium tidak harus

    pada celah kelopak atau fisura palpebra, ini dapat diselipkan sonde dibawahnya.

    Perbedaan lainnya adalah puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada

    kornea, sedang pseudopterigium tidak (Gambar 7). Pseudopterigium selalu didahului

    riwayat trauma kornea, sedang pterigium tidak.

    Gambar 7. Pseudopterigium dan pterigium

    Tidak ada pengobatan yang dilakukan untuk pseudopterigium, juga tidak dilakukan

    pembedahan, kecuali sangat mengganggu visus atau dengan alasan kosmetik.

    2.9. KOMPLIKASI

    Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

    - Gangguan penglihatan

    - Kemerahan

    - Iritasi

    - Gangguan pergerakan bola mata

    2.10 PROGNOSIS

    Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik

    dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan

    merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai

  • 11

    aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini

    biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau

    derajat pterigium. Pasien dengan pterygium yang kambuh lagi dapat mengulangi

    pembedahan eksisi dan grafting.

  • 12

    BAB III

    KESIMPULAN

    Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

    degeneratif dan invasif. Etiologi pterigium tidak diketahui pasti, namun diduga

    berhubungan dengan paparan sinar ultraviolet tinggi dan iritasi kronis akibat debu

    maupun udara yang panas. Pterigium tumbuh sebagai jaringan berbentuk segitiga

    dengan puncak mengarah ke kornea dan dasar dapat berada di sisi nasal maupn

    temporal mata. Tidak ada keluhan spesifik ditemukan kecuali terjadi peradangan iritatif.

    Keluhan dapat berupa mata merah, astigmat yang memberikan keluhan gangguan

    penglihatan. Selain itu pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen.

    Pterigum mesti dibedakan dengan pinguekula dan pseudopterigium. Penatalaksanaan

    pterigium adalah konservatif atau dilakukan pembedahan apabila terjadi gangguan

    penglihatan akibat astigmatism irreguler atau pterigium menutupi media refraksi.

  • 13

    DAFTAR PUSTAKA

    Artini W, Hutauruk JA & Yudisianil. 2011. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta: Badan

    Penerbit FKUI

    Ilyas S & Yulianti SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata: Edisi kelima. Jakarta: Badan Penerbit

    FKUI

    Vaughan DG, Asbury T & Eva PR. 2000. Oftalmologi Umum: Edisi 14. Jakarta: Widya

    Medika