KASPAN PTERIGIUM 1

28
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan. I.2 RUMUSAN MASALAH I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Pterigium? I.3 TUJUAN I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Pterigium. I.4 MANFAAT I.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya Pterigium.

Transcript of KASPAN PTERIGIUM 1

Page 1: KASPAN PTERIGIUM 1

1

BAB IPENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi

nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah

yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang

sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu

atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh

jaringan hialin dan elastik.

Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat

secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya.

Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.

I.2 RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Pterigium?

I.3 TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Pterigium.

I.4 MANFAAT

I.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya Pterigium.

I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti

kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata.

Page 2: KASPAN PTERIGIUM 1

2

BAB IISTATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny.T

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 45 tahun

Alamat : Dampit

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Petani

Status : Menikah

Suku Bangsa : Jawa

Tanggal Periksa : 21 Juli 2011

No. RM : 260483

2.2 Anamnesa

1. Keluhan Utama : mata kanan dan kiri terdapat selaput dan terasa ngganjel.

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang pasien perempuan umur 45 tahun datang ke

poliklinik Mata RSUD Kepanjen dengan keluhan mata kanan dan kiri terdapat

selaput dan terasa ngganjel. selaput pada mata kiri lebih dulu muncul ± sejak 2

tahun lalu, sedangkan pada mata kanan mulai muncul ± sejak 1 tahun lalu.

selaput tersebut semakin lama semakin melebar ke bagian tengah mata. Selain itu

pasien mengeluh matanya terasa perih jika terkena angin, dan air saat mandi,

gatal, seperti berpasir dan keluar air mata berlebih. Pasien belum berobat

sebelumnya. Pasien mengatakan sering terpapar sinar matahari dan debu, sehari-

hari pasien sering naik motor untuk pergi ke sawah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu: riwayat penyakit serupa (-), kencing manis (-), darah

tinggi (-), alergi makanan & obat (-), trauma (-), mata merah (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat penyakit serupa (+), kencing manis (-), darah

tinggi (-),alergi makanan & obat (-)

5. Riwayat Pengobatan: (-)

6. Riwayat Kebiasaan: pasien setiap hari naik motor untuk berangkat bekerja di

sawah

Page 3: KASPAN PTERIGIUM 1

3

2.3 Status Generalis

Kesadaran : compos mentis (GCS 456)

Vital sign : Tensi : dalam batas normal

Nadi : dalam batas normal

RR : dalam batas normal

Suhu : dalam batas normal

2.4 Status Oftalmologi

Pemeriksaan OD OSAVTanpa koreksiDengan koreksi

6/6Tidak dilakukan

6/6Tidak dilakukan

TIO N/P N/PKedudukan orthophoria OthophoriaPergerakan

Palpebra- Odem- Hiperemi- Trikiasis

---

---

Konjungtiva- Tarsal - Bulbi

Hiperemi (-)Selaput putih ∆ di sisi nasal melewati limbus < 2 mm

Hiperemi (-)Selaput putih ∆ di sisi nasal melewati limbus > 2 mm, belum lewat pupil

Kornea- warna- permukaan- infiltrate

JernihCembung

-

JernihCembung

-Bilik mata depan

- kedalaman- hifema- hipopion

Cukup--

Cukup--

Iris Hitam, kripte (+) Hitam, kripte (+)Pupil Bulat, central, RC (+) Bulat, central, RC (+)Lensa

- warna - Iris shadow

jernih-

jernih-

Vitreus Tidak dilakukan Tidak dilakukanRetina Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2.5 Diagnosa

Working diagnosis : OD Pterigium Stadium II

OS Pterigium Stadium III

Differential Diagnosis : Pseudopterigium, Pengikula

Page 4: KASPAN PTERIGIUM 1

4

2.6 Penatalaksanaan

- Planning Diagnosis : Slit Lamp, Lab.Gula darah

- Planning Therapy : OS CLG (25 Juli 2011)

C Lyteers ED 6 dd gtt 1 ODS

2.7 Prognosa

Ad vitam: ad bonam

Ad Functionam: dubia ad malam

Ad Sanationam: dubia ad malam

2.8 Persipan Operasi (25 Juli 2011)

Pengukuran tekanan darah: T:140/90 mmhg

GDS : 93 mg/dL

Bulu mata pada mata kiri dipotong

Pelaksanaan operasi (25 Juli 2011)

Laporan operasi

Diagnose prabedah: OS Pterigium Stadium III

Diagnose pasca bedah: OS post CLG

Tindakan pembedahan: CLG

Laporan pembedahan:

- anastesi subconjunctiva

- incise kecil pada konjungtiva menuju medial head dari pterigium

- ambil pterigium dengan dikerok untuk mengangkat lapisan tipis

epithelium dengan kombinasi deseksi tumpul dan traksi

- Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama,

sebelumnya diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi

konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft.

- Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area

yang akan digraft.

- Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan

menggunakan nylon

- olesi mata dengan salep kloramfenicol kemudian tutup dengan kassa

steril

Instruksi pasca bedah :

- medikamentosa:C. Inmatrol ED 6x1 tetes, Asam mefenamat 3x1 tab,

amoksisilin tab 3x1

- KIE

Page 5: KASPAN PTERIGIUM 1

5

2.9 Follow Up:

Tanggal 27 Juli 2011

S : tidak ada keluhan

O: Status Ophtalmologis

Pemeriksaan OD OSAVTanpa koreksiDengan koreksi

6/6Tidak dilakukan

6/12Tidak dilakukan

TIO N/P N/PKedudukan orthophoria OrthophoriaPergerakan

Palpebra- edema- hiperemi- trikiasis

---

---

Konjungtiva- tarsal- bulbi

Hiperemi (-)Selaput putih ∆ di sisi nasal melewati limbus < 2 mm

Hiperemi (+)Hiperemi (+)

Kornea- warna- permukaan- infiltrate

JernihCembung

-

JernihCembung

-Bilik mata depan

- kedalaman- hifema- hipopion

Kedalaman cukup--

Kedalaman cukup--

Iris Hitam, kripte (+) Hitam, kripte (+)Pupil Bulat, central, RC (+) Bulat, central, RC (+)Lensa

- warna - Iris shadow

Jernih-

Jernih-

Vitreus Tidak dilakukan Tidak dilakukanRetina Tidak dilakukan Tidak dilakukan

A : OD Pterigium Stadium II

OS post CLG

P : C.Inmatrol ED 6 dd gtt 1 OS

Page 6: KASPAN PTERIGIUM 1

6

BAB IIITELAAH KASUS

3.1 Anatomi & Fisiologi

3.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian

belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini

mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari

tarsus.

- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva

bulbi 2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di

bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak 2

3.1.2 Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan

lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

• Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang

tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Page 7: KASPAN PTERIGIUM 1

7

• Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi

lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat

dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan

makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang

merupakan barrier.

2. Membran Bowman

• Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

3. Stroma

• Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,

pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen

ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang

kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang

merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah

trauma. 2

4. membrane descement

• merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan

sel endotel dan merupakan membran basalnya.

• bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.2

5. Endotel

• berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel

melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,

saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma

kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel

dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk

sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah

limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel

terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak

mempunyai daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah

depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri

pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea. 2

Page 8: KASPAN PTERIGIUM 1

8

3.2 Definisi Pterigium

Pterygium ( baca :’ter ig’ee um’) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya

wing atau sayap. Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian

nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.2

3.3 Epidemologi Pterigium

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk

daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah

hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet

lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di

lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.8

Di Indonesia, hasil survei Departemen Kesehatan RI Tahun 1982 pterigium menempati

urutan ketiga terbesar (8,79 %) dari penyakit mata. Hasil survei nasional tahun 1993-1996

tentang angka kesakitan mata di 8 propinsi di Indonesia menempatkan pterigium pada urutan

kedua (13,9 %).3 Gizzard dkk dalam penelitian di Indonesia menemukan bahwa angka

prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Sumatra.4 Sedangkan dari survei kesehatan indra

Page 9: KASPAN PTERIGIUM 1

9

penglihatan dan pendengaran tahun 1995 prevalensi penyakit mata di Sulawesi Utara

menempatkan pterigium pada urutan pertama (17,9 %).5 Mandang pada tahun 1970

menemukan 14,69 % pterigium khususnya di 19 desa dan 17,50 % pterigium di 3 ibukota

kecamatan di Kabupaten Minahasa. Di Minahasa, pterigium merupakan penyakit mata nomor

3 sesudah kelainan refraksi dan penyakit infeksi luar. Mangindaan IAN, Bustani NM

melaporkan 21,35 % pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, hasil 12,92 % pada

pria dan 8,43 % pada wanita, 9,55 % berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan petani

sebesar 10,11 % terbanyak adalah pterigium stadium 3 yaitu 42,11 % yang tumbuh di bagian

nasal sebesar 55,26 %.6,7

3.4 Etiologi Pterigium

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan suatu neoplasma,

radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari,

lingkungan dengan angina yang banyak dan udara yang panas selain itu factor genetik

dicurigai sebagai factor predisposisi.9,10

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet

sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

1. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah

terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan

kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata

dan topi juga merupakan faktor penting.

2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan

berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,

kemungkinan diturunkan autosom dominan.

3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan

pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal.

efisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga

menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy

antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan

partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.11

3.5 Patofisiologi Pterigium

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada

orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima

Page 10: KASPAN PTERIGIUM 1

10

tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap

matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor

iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear

film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya

insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.12

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.

Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan

menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya

terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan

subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan

kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman

oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat

normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 12,13

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal

stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari

defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,

kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan

pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar

ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,

pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah

dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun

menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix

metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,

penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus

tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4

3.6 Gejala dan Tanda Pterigium

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama

sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain mata sering

berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, tajam penglihatan menurun.

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan

fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai

kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan,

umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari apek pterigium

Page 11: KASPAN PTERIGIUM 1

11

terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut “islet of Fuch”. Pterigium yang mengalami iritasi

dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh

penderita.15,16,17

Klasifikasi Pterygium:

1.  Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.

2.  Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.

Pterygium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterygium progresif dan

pterygium regresif: 14

Pterygium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan

kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).

Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya akan membentuk

membran yang tidak hilang.

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 18

• Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

• Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati

kornea.

• Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

• Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Pterigium derajat 2 Pterigium derajat 3

Pterigium derajat 4

Page 12: KASPAN PTERIGIUM 1

12

3.8 Diagnosa Banding Pterigium

3.8.1 Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering

pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva

menutupi kornea.5,6

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah 5

- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti ukak kornea,

sedangkan pterigium tidak.

- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses

kornea sebelumnya.

- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang

pseudopterigium tidak.

- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan pembuluh darah

normal.

- Pseudopterigium dapat diselipi sonde dibawahnya, sedang pterigium tidak

- Pterigium bersifat progresif, pseudopterigium tidak.

3.8.2 Pinguekula

Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga dengan

puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan dan terletak di celah

kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan.

Biasanya pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun.1

Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya dua lapis

sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf

kadang-kadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat

penimbunan kalsium pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam

Pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini

Page 13: KASPAN PTERIGIUM 1

13

akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila

terdapat gangguan kosmetik dapat dilakukan pembedahan pengangkatan.1

3.7 Penatalaksanaan Pterigium

3.7.1 Non Farmakologi

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko

berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di

sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap

radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.

Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis

atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi

terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk

mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata

atau topi pelindung.

3.7.2 Farmakologi

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang

mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid

3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak

dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada

kornea.

3.7.3 Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat

mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi

dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk

menurunkan angka kekambuhan.  Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan

hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka

kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus

pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

1. Indikasi Operasi

Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

2. Teknik Pembedahan

Page 14: KASPAN PTERIGIUM 1

14

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan

dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah

digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan

yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama

untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari

kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut

yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1

Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk

epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah

didokumentasikan dalam berbagai laporan.1

Teknik Autograft Konjungtiva

memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada

beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari

konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium

tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya

pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,

manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst,

MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi

pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1

(a) Pterygium(b) Pterygium diangkat(c) daerah yang diangkat(d) Konjungtiva di daerah yang tidak terkena sinar UV (misal dibawah palpebra superior) diangkat(e) konjungtiva tersebut ditransplant

Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan

pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum

teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran

Page 15: KASPAN PTERIGIUM 1

15

amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan

epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,

diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk

kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva

adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas

sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke

bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk

membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem

fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

3.7.4 Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi

medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah

menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,

namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk

menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman

dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative

MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC

topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya

intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1 

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat

mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari

angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,

endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak

merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan

pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan

dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6

minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama

1 minggu.6

3.8 Komplikasi Pterigium

Page 16: KASPAN PTERIGIUM 1

16

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan

- Mata kemerahan

- Iritasi

- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

- Dry Eye sindrom 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Infeksi

- Ulkus kornea

- Graft konjungtiva yang terbuka

- Diplopia

- Adanya jaringan parut di kornea 3

3.9 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang

banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung

sinar matahari.6

3.10 Prognosa Pterigium

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari

pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat

beraktivitas kembali. 6

Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk

mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau

antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium

dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi

membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi. 6

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena

terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi

terpapar sinar matahari.

BAB IVPENUTUP

Page 17: KASPAN PTERIGIUM 1

17

4.1 Kesimpulan

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa OD Pterigium stadium II dan

OS pterigium Stadium III. Terapi yang diberikan adalah C. Lyteers, OS CLG. Terapi post

CLG dengan C. Inmatrol, Asam Mefenamat, dan Amoksisilin.

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan

yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak

geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar

ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak

diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta

dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa

juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan

tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara konservatif

seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada pembedahan akan

dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal gangguan

visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan

yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu

penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar

matahari.

4.2 Saran

Pemberian KIE kepada masyarakat awam mengenai cara mencegah timbulnya pterigium

yaitu dengan cara melindungi mata dengan topi dan kaca mata.

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: KASPAN PTERIGIUM 1

18

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6,

116 – 117

2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya

Medika. Jakarta. 2000

3. Sirlan F, Wiyana IGP. Survey morbiditas mata dan kebutaan di Indonesia, 1993-1996.

Warta kesehatan mata. 1996 ; VII : 7.

4. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J

Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.

5. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas. Laporan hasil survey kasehatan indra

penglihatan dan pendengaran di propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Utara tahun

1995. Jakarta.

6. Oka Pn. The pterygium and its management. Dept ofophtalmology Airlangga

university school of medicine dr. soetomo. General Hospital Surabaya, Indonesia.

1979

7. Mangindaan IAN, Bustani NM. Insiden pterigium di desa bahoi dan serei di pesisir

pantai minahasa utara,2005

8. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009.

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

9. Fisher JP. Pterigium. (Online) http://www.eMedicine.com

10. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003

11. Lazuarni. 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat 2010. Tesis. Fakultas

kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan

12. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science Course

,section 8, External Disease and Corne. P:344,403

13. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.

Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.P:

443-457

14. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian

Perspective Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. P: 207-214

15. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya

Medika. Jakarta. 2000

16. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Binarupa Aksara. Jakarta. 1983

17. Pterygium. Handbook of Ocular Disease Management. (Online)

http://www.revoptom.com diakses 3 Maret 2007

Page 19: KASPAN PTERIGIUM 1

19

18. D. Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak W.S Gilbert,2006, Pterigium,Panduan

Management Klinis Perdani, CV Ondo, Jakarta,P: 56-58

19. Ilyas S. Pterigium dalam Sari Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003

20. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003

21. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.

Soetomo, Surabaya. 1994

22. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of

Pterygium

23. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit

Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104

24. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview