2010_170210100035.docx

60
TUGAS AKHIR KEJAHATAN TRANS-NASIONAL “Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Kawasan Asia Tenggara” Disusun Oleh : Annisa Chantika Irawan 170210100035 [email protected] No. Telp/HP: 085624202008 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

description

gtjvjhffhjfgjfjgsgsfgsdafsdfsdsdagfsdagasf xchf khgirhgiehgotgjtgjofjsfjxioejifojrjgucjsxjvjafjxaiodjjadiopwejkfriopqwxfjortjgpurqucgfuetswg

Transcript of 2010_170210100035.docx

TUGAS AKHIR

KEJAHATAN TRANS-NASIONAL

“Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Kawasan Asia Tenggara”

Disusun Oleh :

Annisa Chantika Irawan

170210100035

[email protected]

No. Telp/HP: 085624202008

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJAJARAN

JATINANGOR

2013

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya dan ridlo-Nyalah penulisan

tugas akhir dengan judul “Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Kawasan Asia

Tenggara” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa pula dilimpahkan pada

baginda Rasulullah Muhammad SAW karena atas jasanyalah kita dibawa dari dunia

yang kelam ke dunia yang sekarang ini. Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan

banyak rahmat-Nya pada kami, tetapi kami terkadang lupa untuk mensyukuri rahmat

dan nikmat tersebut.

Banyak tantangan yang dihadapi dalam menyusun makalah ini. Akan tetapi, berkat

dukungan dari berbagai pihak, akhirnya tugas ini terselesaikan. Mungkin tulisan ini

masih jauh dari sebutan mahakarya dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Mata Kuliah

Kejahatan Trans-Nasional.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, besar harapan

agar makalah ini dapat berguna. Oleh karena itu untuk semakin menyempurnakan

makalah ini saya meminta saran dan kritik yang membangun dari para pembaca

sehingga di kemudian hari kami dapat membuat penulisan yang lebih baik dari ini.

Sesungguhnya yang benar hanya dari Allah SWT semata dan yang salah dari

kelemahan dan kekurangan kami.

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah

Bandung, 29 Juli 2013

Penulis

2

DAFTAR ISI

Cover 1Kata Pengantar 2Daftar Isi 3

BAB I : PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang 41.2 Identifikasi Masalah 51.3 Tujuan Penulisan 51.4 Metodelogi Penulisan 5

1.4.1 Jenis Penelitian 51.4.2 Sumber Data61.4.3 Teknik Pengumpulan Data 6

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA2.1 Teori Hubungan Internasional 72.2 Organisasi Internasional 92.3 Kesatuan Regional 102.4 Komunitas Keamanan 102.5 ASEAN Community 2015 132.6 Terorisme 132.7 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention 15 on Counter Terrorism)

BAB III : PEMBAHASAN4.1 ASEAN Security Community 17

4.1.1 Ancaman Keamanan dan Kerawanan Bersama 184.1.2 Kesalingtergantungan Ekonomi dan Fungsional yang ber-Spill Over 19

dalam Menciptakan Hubungan Damai 4.2 Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Asia Tenggara 25

4.2.1 Pentingnya Pemberantasan Terorisme di Asia Tenggara 254.2.2 Analisis Mengenasi ASEAN Convention on Counter Terrorism 29

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 345.2 Saran 36

Daftar Pustaka 38

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

ASEAN, pada dekade 1990-an, berhasil menunjukkan beberapa prestasinya

dalam bidang ekonomi, yaitu dalam mengatasi krisis ekonomi global pada tahun

1997-1998, dan dalam bidang konflik etnis terkait keanekaragaman budaya di

kawasan Asia Tenggara, melalui manajemen konflik yang dikenal

sebagai ASEANWays (Jones & Smith, 2002:93-94). Beberapa perjanjian pun telah

dilahirkan oleh ASEAN, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Free

Trade Association (AFTA) (Jones & Smith, 2002:95). Melalui keberhasilan ini,

para pemimpin ASEAN menghendaki adanya suatu hubungan kerjasama yang

lebih intens dan intim dan dirupakan dalam bentuk komunitas integrasi. Oleh

karenanya, ASEAN Community kemudian disepakati oleh para pemimpin

ASEAN melalui penandatanganan deklarasi Bali Concord II pada bulan Oktober

2003 (Cipto, 2007:80-81). Komunitas ASEAN terdiri dari tiga pilar yang

dikembangkan dan diimplementasikan secara paralel dan seimbang, yakni ASEAN

Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC) serta ASEAN

Sosial-Budaya Masyarakat (ASCC)1.

Secara khusus, makalah ini akan membahas mengenai peran dan juga usaha

ASEAN dalam mengatasi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Sepert ASC yang

bertujuan untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas antarnegara,

membangun sistem resolusi konflik multilateral, dan pemetaan kerangka kerja

sama untuk menangani ancaman keamanan, baik konvensional maupun yang

nonkonvensional2. ASC didasarkan pada norma bersama dan aturan perilaku yang

1 ASEAN Security Community Plan of Action. Dalam http://www.aseansec.org/16826.htm dikases2 Acharya, Amitav. (1998). “Collective Security and Conflict Management in Southeast Asia”. Dalam Emanuel Adler dan Michael Barnett, Security Community. Cambridge: Cambridge University Press.

4

baik dalam menjalin hubungan antar-negara serta pencegahan konflik secara

efektif dan adanya mekanisme resolusi3.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa

poin yang disimpulkan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, ada pun

rinciannya sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi ASEAN dalam mengatasi Terorisme di Asia Tenggara?

2. Apa yang dimaksud dengan Komunitas ASEAN dan Keamanan Regional?

3. Apa peran dan upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam mengatasi terorisme

di kawasan Asia Tenggara?

1.3 Tujuan Penulisan

Ada pun tujuan dari penulisan ini sebagai berikut:

1. Memenuhi tugas akhir semester antara mata kuliah KejahatanTransnasional.

2. Menambah khasanah ilmu khususnya bagi diri saya sendiri dan juga bagi orang

lain.

3. Mencoba untuk menganalisis peran ASEAN dalam mengatasi terorisme di

Asia Tenggara.

1.4 Metodelogi Penulisan

1.4.1 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif. Metode ini berupaya untuk menggambarkan

atau membuat lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-

fakta dan sifat-sifat serta fenomena-fenomena yang diteliti dan juga untuk

meneliti kedudukan suatu fenomena serta melihat hubungan antara satu

faktor dengan faktor lainnya. Dalam metode ini, data mula-mula disusun,

3 Cipto, Bambang. (2007). Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

5

dijelaskan, kemudian dianalisis. Dengan demikian, setelah dideskripsikan

maka data tersebut akan dianalisis kemudian.

Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak

sesuatu yang dinyatakan berupa kalimat, yang dirumuskan setelah

mempelajari sesuatu tersebut dengan cermat. Data kualitatif tidak

mempunyai pembanding yang pasti karena itu kebenaran yang akan adalah

dibuktikan bersifat relatif. Data dapat berupa pendapat, pandangan, konsep-

konsep keterangan, tanggapan, dan lain-lain yang berhubungan dengan

kehidupan manusia. (Nawawi dan Hadari, 1992: 209).

1.4.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur yang mendukung.

1.4.3 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan, yaitu melalui

studi pustaka.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Hubungan Internasional

Berbicara mengenai terorisme yang ada di kawasan Asia Tenggara, pastinya

tak terlepas dari hubungan antar satu bangsa atau negara ke yang lainnya. akan

tetapi, pandangan tentang pemikiran Hubungan Internasional sendiri berawal dari

sebuah traktat atau Perdamaian Westphalia yang juga dikenal dengan

namaPerjanjian Munster dan Osnabruck pada tahun 1648, adalah serangkaian

perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan secara resmi mengakui

Republik Belanda dan Konfederasi Swis ketika sistem negara modern mulai

dikembangkan.4

Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa

didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Dalam perdamaian Westphalia

terbentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para

penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak

lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas

kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang

mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan

kedaulatan yang memadai.

Sistem pemikiran Westphalia mendorong bangkitnya negara sampai bangsa,

institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem pemikiran ini kemudian

‘diexpor’ ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan standar-standar

peradaban. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat

dekolonisasi selama Perang Dingin. Namun, sistem ini agak terlalu

disederhanakan, sementara sistem negara-bangsa dianggap modern, banyak 4 Global Search Teori-Teori Hubungan Internasional 2013 http://globalsearch1.blogspot.com/2013/06/teori-teori-hubungan-internasional.html

7

negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai pra-modern.

Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap

pasca-modern. Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan

di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. Level-level analisis

adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level

individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unit, level internasional yang

terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.

Bersamaan dengan perkembangan peradaban dan pemikiran manusia, teori

tentang Hubungan Internasional berkembang berdasakan fase-fase yang kesemua

itu bermula dari5:

Current History: sebagai ladang penyelidikan intelektual yang sebagian besar

dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada

sejarah diplomatik yang merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI

yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori.

Untuk kemudahan, aliran ini disebut pendekatanCurrent History terhadap studi

HI.

Idealisme Politik: Berawal setelah Perang Dunia I yang membuka pintu terhadap

revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik

perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian, aliran current

history masih memiliki pengikutnya. Aliran ini semakin kuat setelah Perang

Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang

Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

Realisme Politik: perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang

Dunia I dan II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika

Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

5 Global Search Teori-Teori Hubungan Internasional 2013 http://globalsearch1.blogspot.com/2013/06/teori-teori-hubungan-internasional.html

8

The Behavior approach (pendekatan perilaku): aliran realism klasik menyiapkan

secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan empiris. Namun

demikian ketidak-kuasaan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesuliran

dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan

awal 1970-an. Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi Hubungan

Internasional maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika

serta metode penelitian.

The Neoralist Structural Approach (pendekatan Neoralisme Struktural):

pandangan ini membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di

tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan

eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori

sistem.

Institutionalisme Neoliberal: Seperti halnya neoliberal, institutionalis neoliberal

menggunakan teori structural politik internasional. Mereka terutama

berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub

unit di dalamnya, namun mereka member lebih banyak perhatian pada bagaimana

cara lembaga internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja

sama internasional. Daripada halnya menggambarkan dunia di mana negara-

negara di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak

aman dan terancam oleh yang lainya, Institusionalis Neoliberal membuktikan

syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang

tindih di antara entitas politik yang berdaulat.

2.2 Organisasi Internasional

ASEAN merupakan salah satu oganisasi internasional yang ada dalam

menjalankan usahanya mengatasi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Menurut

Pasal 2 Konvensi Wina 1961, organisasi internasional: organisasi antar

pemerintah – pengertian sempit (karena membedakan antara organisasi

9

pemerintah/ inter-govermental organizations (IGO’s) dan organisasi non

pemerintah (NGO’s).

Organisasi internasional merupakan subjek buatan; subjek hukum yang

diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi internasional

melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam suatu

perjanjian internasional; sehingga sangat dekata dan tergantung kepada negara-

negara anggotanya.6 Sehingga perannya dalam mengatasi terorisme di Asia

Tenggara seharusnya lebih mudah karena anggotanya merupakan bagian dari

organisasi internasional tersebut.

2.3 Kesatuan Regional

ASEAN memiliki peluang yang sangat besar dalam mengatasi terorisme

yang ada di Kawasan Asia Tenggara karena ASEAN merupakan kesatuan

regional dari anggota – anggota ASEAN yang berada di kawasan Asia Tenggara.

Kesatuan regional ini dapat dijadikan sebagai kunci pokok dan utama dalam

menjadi batu loncatan menuju pemberantasan terhadap terorisme yang ada di

dalam kawasan tersebut.

2.4 Komunitas Keamanan

Komunitas keamanan ASEAN pada dasarnya cenderung melihat ke arah

internal, yakni diarahkan untuk pencegahan perang dan resolusi konflik dalam

kelompok. ASEAN mengakui bahwa kondisi pemberontakan yang berkelanjutan

di wilayah tersebut lebih berkaitan dengan kondisi internal sosial, ekonomi, dan

politik (Acharya, 1998). Oleh karenanya, ancaman internal dinilai lebih

mendesak. Solidaritas intra-ASEAN kemudian menjadi sangat dibutuhkan untuk

mengatasi permasalahan lintasnegara, melalui komunikasi dan sharing antar

intelijen, perjanjian ekstradisi bersama, patroli perbatasan bersama, dan operasi

kontra-pemberontakan. Komite perbatasan bilateral dibentuk untuk menangani

6 Sri Wahyuni Organisasi Internasional 2013 http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.com/2013/05/pengertian-hukum-organisasi.html

10

pemberontakan, sebagai channel langsung untuk menangani sengketa teritori.

Pertumbuhan dari regionalisme dan pemecahan masalah kolektif membuktikan

klaim konstruktivis, bahwa terlepas dari keadaan eksogen, negara bisa

membentuk identitas kolektif dan kepentingan melalui integrasi yang

memungkinkan untuk mengatasi dilema keamanan (Acharya, 1998).

Dalam konteks ASEAN, eksistensi regional dibentuk untuk mengurangi

penggunaan paksaan dalam hubungan antarnegara. Dari sini kemudian

dimunculkan suatu identitas bersama yang dipahami sebagai sebuah proses dan

kerangka kerja yang mengarah kepada hubungan kerjasama mutual dan

menguntungkan. Ada empat faktor yang penting dalam kaitan pengembangan

identitas bersama ini, yaitu praktik multilateralisme, pengembangan aturan dasar

hubunga antarnegara, penciptaan dan penggunaan simbol, dan prinsip otonomi

regional (Acharya, 1998:209-214). ASEAN kemudian mampu mencegah

terjadinya perselisihan yang terjadi di luar kendali dengan menyelesaikannya

melalui penahanan dan pengelolaan isu-isu yang diperdebatkan, walaupun masih

terdapat beberapa konflik yang terjadi antaranggota ASEAN. Dalam hal ini,

eksistensi ASC dibutuhkan, dengan ciri utama dalah kemampuan untuk

mengatur segala konflik dalam regional secara damai. ASEAN talah bergerak

menuju interdependensi intraregional dan integrasi yang lebih baik. ASC juga

dapat berfungsi sebagai basis sebuah konsensus otoriter, yang diimplementasikan

melalui proliferasi bilateral kerjasama keamanan, perencanaan militer, dan

kepemilikan senjata.

Komunitas keamanan ASEAN ini menghadapi tentangan dan pesimisme dari

beberapa pihak, seperti kaum liberalis yang mengatakan bahwa komunitas

kemanan memerlukan sebuah lingkungan demokrasi-liberal dengan

interdependensi ekonomi yang signifikan serta pluralisme politik. Ekonomi

regional dan integrasi negara Dunia Ketiga pada kenyataannya belum cukup

berkembang karena tujuannya yang belum jelas. Perspektif liberal menyatakan

bahwa dosis tinggi dari politik otoritarian dan interdependensi ekonomi

11

intraregional yang relatif berada di level bawah menghalangi munculnya

komunitas kemanan regional (Acharya, 1998:199). Kritikan lain adalah adanya

label imitasi pada ASEAN. Permasalahan interpersonal yang tidak penting,

kurangnya kohesi dan legitimasi, serta tekanan-tekanan lain yang terjadi

terhadap hubungan antarnegara menjadi salah satu faktor yang menimbulkan

tanda-tanda imitatif (Jones & Smith, 2002:105). ASEAN hanya berperan untuk

mengelola dan mengurus konflik alih-alih menyelesaikannya. Peranan ASEAN

menjadi kurang efektif terhadap permasalahan internalnya, dan pada akhirnya

menjadi komunitas yang imitatif terhadap kelemahan-kelemahan kecil yang

dimilikinya. Khoo juga mengkritik ASEAN, terkait tautological nature, yaitu

pengulangan pernyataan dua kata yang berbeda namun memiliki kesamaan arti.

Dalam hal ini, Acharya (1998:1) menjelaskan bahwa komunitas keamanan dapat

didefinisikan sebagai sekelompok negara yang telah mengembangkan kebiasaan

jangka panjang terkait interaksi yang damai. Khoo (2004:43) berargumen bahwa

institusi dapat memperburuk ketegangan dengan mudah karena mereka dapat

memfasilitasi kerjasama sebagai hasil pemikiran realisme. ASEAN dipahami

sebagai institusi yang mengunci anggotanya dalam pola interaksi yang negatif,

namun dengan kondisi anggota ASEAN enggan meninggalkan keanggotaannya

karena akan meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekuatan eksternal.

Perkembangan komunitas keamanan ASEAN berupaya menjawab kritikan

ini. Adler dan Barnett (dalam Acharya, 1998:202) mengidentifikasi komunitas

keamanan ke dalam tiga fase, yaitu nascent (ditandai dengan persamaan persepsi

ancaman, ekspektasi mutual terhadap perdagangan, dan pembagian derajat

identitas), ascendant (ditandai dengan penguatan koordinasi militer,

pengurangan ketakutan antaraktor, pengadaan transisi kognitif, proses

intersubjektif, dan identitas kolektif terhadap peaceful change), dan mature

(ditandai dengan eksistensi kekuatan institusionalisasi dan supranasionalisme,

peningkatan derajat kepercayaan, dan minimalisasi konflik militer).

12

2.5 ASEAN Community 2015

Kerjasama internasional adalah elemen penting dalam pelaksanaan kebijakan

dan politik luar negeri. Melalui kerjasama internasional, dapat memanfaatkan

berbagai peluang untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam

hal ini kerjasama ASEAN memegang peran kunci dalam pelaksanaan kerjasama

internasional, karena merupakan lingkaran konsentris terdekat di kawasan dan

menjadi pilar utama pelaksanaan politik luar negeri suatu bangsa. Dalam kurun

waktu 42 tahun sejak terbentuknya ASEAN, telah banyak capaiancapaian yang

diraih dan sumbangsih yang diberikan ASEAN bagi negara-negara anggotanya.

Salah satunya yang terpenting, adalah terciptanya perdamaian dan stabilitas di

kawasan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN juga terus

mengalami peningkatan.

Disamping itu, rasa saling percaya diantara negara-negara anggota ASEAN

dan juga antara ASEAN dengan negara-negara Mitra Wicara ASEAN, terus

tumbuh. ASEAN telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan positif

yang signifikan, dimana kerjasama ASEAN sekarang ini tengah menuju pada

tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan kedepan melalui

pembentukan dengan akan dibentuknya ASEAN Community pada tahun 2015.

Yaitu sebuah komunitas yang berpandangan maju, hidup dalam lingkungan yang

damai, stabil dan makmur, dipersatukan oleh hubungan kemitraan yang dinamis

dan masyarakat yang saling peduli. Melalui ASEAN Community 2015 ini

seharusnya upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam memerangi terorisme

dapat menjadi lebih maksimal.

2.6 Terorisme

Terorisme kian menjadi hal yang dianggap paling mengancam stabilitas

keamanan global, hal ini didukung oleh terorganisirnya jaringan terorisme yang

menyebar di seluruh negara bagian yang dipengaruhi oleh semakin

berkembangnya globalisasi, teknologi, komunikasi, dan informasi. Selain itu,

13

persenjataan yang digunakan dalam tindak terorisme diduga mengalami

kemajuan yang sangat pesat, dan WMD (Weapon Mass Destruction) diduga

sebagai salah satu senjata yang tengah diupayakan dan dikembangkan oleh

sejumlah pelaku terorisme untuk melancarkan aksi terorismenya. Hal itu pula

yang pada akhirnya semakin memperkuat jaringan terorisme itu sendiri.

Teroris termasuk ke dalam salah satu aktor non-negara karena perannya yang

dapat mempengaruhi serta mengancam stabilitas keamanan global dan alur

sistem internasional. Tindak terorisme tidak hanya mengancam aspek keamanan

global, melainkan turut mengancam stabilitas pada aspek lain seperti politik,

lingkungan, maupun ekonomi.

Menurut Konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak

kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan

bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat

luas. Realis melihat bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para teroris

tidak memiliki legitimasi untuk menggunakan senjata dalam mencapai tujuan

mereka. Pandangan ini percaya bahwa hanya negara yang memiliki legitimasi

untuk menggunakan senjata dalam mencapai tujuan dan kepentingannya.

Critical theory melihat dan menglasifikasikan terorisme sebagai salah satu

aksi kekerasan politik. Maksudnya aksi yang dilakukan oleh teroris memiliki

tujuan-tujuan politis yang ingin dicapai. Pandangan ini melihat terorisme adalah

aktor politis layaknya pemberontakan, revolusi, atau insurgensi dimana tujuan

akhirnya adalah terjadinya perubahan politik yang sesuai dengan keinginan

mereka. Bedannya, dibandingkan dengan ketiga jenis kelompok lainnya,

terorisme adalah gerakan yang paling sedikit mendapatkan suppor dari

masyarakat. Mereka memiliki kesulitan untuk mendapat dukungan masyarakat.

Para teroris berharap aksi kekerasan yang mereka lakukan akan mendapat

reaksi yang tidak sepadan dari negara dan berharap hal tersebut akan

memberikan efek pada masyarakat untuk mengubah opini masyarakat dan untuk

14

mendapatkan support dari masyarakat. Menurut hukum internasional,

keberadaan pemberontak bisa diakui sebagai keberadaan yang setara dengan

negara karena mampu mempengaruhi dan mengubah sistem yang ada dengan

negara. Akan tetapi, terorisme tidak dapat digolongkan kedalam status

pemberontak.

2.7 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on

Counter Terrorism)

Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara

(ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik

Rakyat Demokratik Lao, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik

Singapura, Kerajaan Thailand, dan Republik Sosialis Viet Nam—selanjutnya

disebut sebagai ‘para Pihak’;

MENGINGAT Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum

internasional yang relevan, konvensi-konvensi dan protokol-protokol

internasional yang relevan berkaitan dengan pemberantasan terorisme, serta

resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan tentang langkah-

langkah yang dimaksudkan untuk memberantas terorisme internasional, dan

menegaskan kembali komitmen kami untuk melindungi hak asasi manusia,

perlakuan adil, aturan hukum, dan proses hukum semestinya serta prinsipprinsip

yang terkandung dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia

Tenggara yang dibuat di Bali pada tanggal 24 Februari 1976;

MENEGASKAN KEMBALI bahwa terorisme tidak dapat dan tidak boleh

dihubungkan dengan agama, kewarganegaraan, peradaban, atau kelompok etnis

apa pun;

15

MENGINGAT juga Deklarasi ASEAN tentang Aksi Bersama Pemberantasan

Terorisme dan Deklarasi tentang Terorisme yang masing-masing diterima pada

Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada tahun 2001 dan 2002;

MENEGASKAN KEMBALI komitmen kami pada Program Aksi Vientiane yang

dibuat di Vientiane pada tanggal 29 November 2004, khususnya penekanannya

dalam ‘membentuk dan berbagi norman-norma’,dan kebutuhan, antara lain, untuk

membantu penandatanganan suatu Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik

ASEAN, dan suatu Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme, dan

pembentukan suatu Perjanjian Ekstradisi ASEAN, yang diamanatkan oleh

Deklarasi ASEAN Concord tahun 1976;

MEMPERHATIKAN DENGAN SAKSAMA atas bahaya serius yang

ditimbulkan oleh terorisme terhadap manusia-manusia tidak bersalah,

infrastruktur dan lingkungan, perdamaian dan stabilitas kawasan dan

internasional, serta pembangunan ekonomi;

MENYADARI pentingnya pengidentifikasian dan penyelesaian secara efektif

akar permasalahan terorisme dalam perumusan setiap langkah pemberantasan

terorisme;

MENYATAKAN KEMBALI bahwa terorisme, dalam segala bentuk dan

manifestasinya, yang dilakukan di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun,

merupakan suatu ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan internasional

dan tantangan langsung bagi pencapaian perdamaian, kemajuan, dan

kesejahteraan ASEAN, dan perwujudan Visi ASEAN 2020;

MENEGASKAN KEMBALI komitmen kuat kami untuk meningkatkan kerja

sama dalam pemberantasan terorisme yang mencakupi pencegahan dan

penghentian segala bentuk tindakan teroris;

MENYATAKAN KEMBALI perlunya meningkatkan kerja sama kawasan dalam

pemberantasan terorisme dan mengambil langkah-langkah efektif dengan

16

mempererat kerja sama antar lembaga penegak hukum di ASEAN dan otoritas

yang relevan dalam memberantas terorisme;

MENDORONG para Pihak untuk menjadi pihak-pihak sesegera mungkin pada

konvensi-konvensi dan protokol-protokol internasional yang relevan berkaitan

dengan pemberantasan terorisme;

BAB III

PEMBAHASAN

4.1 ASEAN Security Community

ASEAN mempunyai potensi untuk menjadi komunitas keamanan di

kawasan Asia Tenggara. Hal ini diakui oleh para akademisi dan para pengambil

keputusan baik didalam maupun diluar kawasan. Salah satunya adalah kajian

bahwa ASEAN dianggap sebagai sebuah komunitas keamanan yang pluralistik,

dimana masing-masing anggotanya tetap mempertahankan

kedaulatannya (Acharya,1990). Pemahaman bahwa ASEAN menjadi komunitas

keamanan lebih didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada satupun anggotanya

yang menggunakan kekuatan bersenjata atau anggapan perlunya digunakannya

kekuatan militer dalam menyelesaikan konflik di kawasan(Simon,

1999 :122). Sedangkan  Michael Leifer sepakat bahwa ASEAN memang sebuah

komunitas keamanan karena kemampuannya untuk mencegah konflik  intra-

mural dari kemungkinan eskalasi konfrontasi bersenjata untuk menjadi komunitas

politik (Leifer, 1995 : 129-132). Adalah kenyataan bahwa ketiadaan perang

diantara negara-negara anggota ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan tahun

1967 merupakan prestasi terbesar ASEAN dalam mengatur interaksi damai

17

didalam kawasan. Ada tiga kekuatan utama menurut Amitav Acharya yang

menjadi prasyarat terbentuknya satu komunitas keamanan di kawasan, yaitu :

4.1.1 Ancaman Keamanan dan Kerawanan Bersama

Ancaman keamanan bersama adalah sumber ketidakamanan yang

berpotensi mengganggu secara nyata terhadap stabilitas negara-negara di

kawasan. Secara umum ancaman konvensional/tradisional merupakan salah

satu aspek keamanan yang sangat sensitif bagi negara-negara ASEAN,

karena berkaitan langsung dengan masalah kedaulatan, integritas dan

kelangsungan hidup suatu negara.

Yang menjadi ancaman keamanan bersama negara-negara ASEAN

secara konvensional hingga sekarang dan masih cukup relevan karena

memiliki potensi konflik yang lebih terbuka antar Negara anggota ASEAN

adalah permasalahan separatisme dan konflik perbatasan (Usman, 1996 :

159-164). Munculnya serangan terorisme di negara-negara ASEAN

atau transnational crimes yang terorganisasi telah merubah persepsi

ancaman bersama di kawasan Asia Tenggara menjadi tidak konvensional

lagi (keamanan non konvensional). Penyelundupan manusia secara ilegal,

pembajakan, penyelundupan narkotika, masalah lingkungan, pencucian

uang, terorisme, kejahatan ekonomi menjadi ciri tindak kejahatan lintas

batas yang terorganisir sebagai ancaman baru di kawasan (Dirjen

Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2005 : Bab IV). Ancaman keamanan yang

bersumber dari adanya berbagai kerawanan domestik merupakan faktor

dominan dan menjadi motivasi dari pembentukan ASEAN. Kerawanan

bersama adalah celah/titik rawan yang telah terbuka sebagai akibat dari

ancaman nyata. Keamanan non tradisional, yang bersifat komprehensif dan

berorientasi pada manusia(human security) telah membuka celah kerawanan

bersama dan sekaligus menjadi ancaman nyata yang hadir dengan pola-pola

modifikasi dari sebelumnya dan telah memaksa (spin off) ASEAN untuk

18

menata kembali agenda kerjasama keamanannya. Hal paling penting di sini

adalah adanya kesamaan persepsi dari para pemimpin politik ASEAN akan

pentingnya ’comprehensive security’ untuk diadopsi ke dalam setiap bentuk 

kerjasama keamanannya, sebagaimana yang telah dihasilkan di Vientiane,

Laos, 2004.

4.1.2 Kesalingtergantungan Ekonomi dan Fungsional yang ber-Spill Over

Dalam Menciptakan Hubungan Damai

Secara formal ASEAN adalah organisasi yang memfokuskan diri pada

upaya kerjasama di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Akan tetapi

Deklarasi Bangkok merupakan komitmen politik untuk bersatu dan

bekerjasama dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas regional agar

negara-negara anggota dapat menikmati hidup merdeka tanpa campur

tangan asing serta dapat berkonsentrasi dalam memenuhi kepentingan

nasionalnya.

Kerjasama dibidang ekonomi dinilai sebagai pendorong utama

kerjasama antar negara karena bidang ini tidak sensitif dan tiap negara

menginginkan pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagai salah satu syarat

penunjang pembangunan nasionalnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa

sejak ASEAN berdiri, praktis tidak pernah terjadi konflik terbuka di antara

negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda dengan situasi

sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun

konfrontasi; mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN telah berhasil

menata hubungan bertetangga dengan baik di antara sesama anggotanya.

Keberhasilan tersebut tentunya tidak berjalan dengan sendirinya, karena

ada faktor yang mendorongnya, yaitu faktor kerjasama ekonomi  dan

fungsional yang ber-spill overdalam menciptakan hubungan damai.

Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun

1967, negara-negara anggota telah meletakan kerjasama ekonomi sebagai

19

salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya

kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian

preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint venture),

dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah

engara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti

ASEAN Industrial Projects Plan (1967), Preferential Trading Arrangement

(1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN

Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential

Trading Arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90an ketika negara-

negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk

menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota

ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan

saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi

ekonomi kawasan.

Pada KTT Ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani

Framework Agreement on  Enhancing ASEAN Economic cooperation

menandai dicanangkannya ASEAN Free trade area (AFTA) dan pada

tanggal 1 Januari 1993 memberlakukan Common Effective Preferential

Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Pendirian AFTA memberiksn

implikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan

hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan

fasilitasi perdagangan. Dalam perkembangannya, AFTA tidak hanya

difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan

dan investasi. Ada anggapan bahwa dampak AFTA terhadap perdagangan

intra ASEAN sangat minimal, sebab selama 15 tahun terakhir perdagangan

intra ASEAN tetap saja berkisar antara 20-25 persen dari seluruh

perdagangan ASEAN. Tetapi penilaian seperti ini kurang tepat. Yang lebih

penting untuk diamati adalah tingkat pertumbuhan perdagangan ASEAN

secara keseluruhan yang mencapai 20-30 persen pertahun. Kawasan

20

ASEAN merupakan kawasan ekonomi yang terbuka bagi dunia dan

mengandalkan pertumbuhannya pada pasar global dan bukan pasar

regional. AFTA memang tidak dimaksudkan untuk menciptakan pasar

regional bagi negara-negara ASEAN sendiri, tetapi untuk membuat

kawasan ASEAN menjadi yang menarik bagi produksi dunia (open

regionalism).Disamping AFTA, pada tahun 1995 ASEAN juga telah

menyepakati ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) untuk

membuka pasar jasa-jasa di kawasan ASEAN. Pada tahun 1996 ASEAN

mengembangkan skema kerjasama baru dibidang industri yaitu ASEAN

Industrial Cooperation (AICO), dimana insentif yang diberikan sebatas

pada pemberian preferensi tarif yang semakin berkurang, artinya karena

menurunnya tarif MFN. Selanjutnya pada tahun 1998 ASEAN

menandatangani kesepakatan baru, yaitu Framework Agreement on

ASEAN Investment Area (AIA), yang dimaksudkan untuk membuat

ASEAN menjadi suatu kawasan investasi yang kompetitif, terbuka dan

liberal melalui suatu persetujuan yang mengikat(Soesastro, 2007 : 316-

317). KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan

komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah Komunitas Ekonomi

ASEAN (AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis

produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi,

tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih

bebas. (ASEAN Selayang pandang: 2007: 42).Kesepakatan ini dapat dilihat

sebagai perombakan baru dalam perjalanan kerjasama dan integrasi

ekonomi ASEAN. Ia bukan sekedar lanjutan logis (Logical extension) dari

AFTA, AFAS dan AIA, tetapi dengan jelas mengarah kepada pembentukan

pasar tunggal (Single Market) ASEAN. Dalam rumusan yang disepakati 

para pemimpin ASEAN, tujuan dari AEC adalah untuk menciptakan a

single market and production base. Ini dapat diartikan sebagai integrasi

penuh, kecuali di bidang keuangan dan moneter.

21

Kerjasama ekonomi yang ber-spilover kepada penciptaan hubungan

damai (economic road towards peace and stability) diawali dengan

ditandatanganinya deklarasi ZOPFAN hingga munculnya dua dokumen

monumental yang menjadi tonggak dalam kerjasama keamanan (security

road towards peace and stability) pada KTT I di Bali 1976, dokumen

tersebut antara lain adalah ASEAN Concord 1 dan TAC (Treaty of Amity

and Cooperation) sebagai code of conduct. Pada kenyataannya kerjasama

dalam bidang keamanan diantara negara-negara anggota ASEAN

merupakan perpaduan antara kebijakan keamanan nasional masing-masing

negara anggota dalam satu pengaturan tatanan regional yang pada akhirnya

membentuk ketahanan regional (regional resilience). Komponen internal

dalam doktrin ketahanan regional pada prinsipnya merupakan upaya

membina rasa saling pengertian dan kepercayaan dalam kehidupan antar

negara (confidence building measures). Komponen eksternal yang

membentuk doktrin ketahanan regional adalah perwujudan dari semangat

kemandirian ASEAN dari campur tangan negara-negara luar kawasan.

Secara substansial doktrin ketahanan regional (regional resilience), pada

umumnya menganggap campur tangan pihak luar dalam urusan internal

kawasan sebagai faktor penyebab instabilitas (Anggoro, 1996 : 133-134).

Dibawah ini terdapat uraian dari bentuk-bentuk kerjasama ekonomi

dan fungsional yang pada perkembangannya ber-spill over dalam

kerjasama dalam menciptakan hubungan damai :

a) Deklarasi Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN)

Deklarasi ZOPFAN 1971 di Kuala Lumpur merupakan komitmen politik

dan kerjasama politik dan keamanan ASEAN untuk pertama kalinya dalam

sejarah ASEAN, meskipun ASEAN di design untuk wadah kerjasama

ekonomi, sosial dan budaya saja. Deklarasi ZOPFAN terdiri dari dua

bagian pokok, pendahuluan dan dua paragraf pokok. Pada paragraf pertama

22

menyatakan bahwa negara-negara ASEAN bertekad menjamin pengakuan

dan penghormatan atas suatu Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai,

bebas dan netral terlepas dari campur tangan kekuatan luar. Paragraf ke-2

menyatakan keinginan negara-negara Asia Tenggara memperluas bidang

kerjasama untuk memupuk kekuatan, solidaritas dan hubungan yang lebih

erat dengan sesama negara kawasan.

Dengan demikian ZOPFAN merupakan strategi besar untuk membina

ketahanan regional dan untuk membebaskan diri dari campur tangan pihak

luar, baik dengan menggalang kekuatan intra kawasan maupun mengatur

keterlibatan negara-negara luar kawasan di Asia Tenggara. Konsep

ZOPFAN sebenarnya merupakan kompromi dari berbagai pendapat negara

anggota ASEAN khususnya Indonesia dan Malaysia. Prakarsa netralitas

ASEAN oleh Malaysia dilatar belakangi dengan pertimbangan politik

domestik kerusuhan berdarah di Malaysia tahun 1969. Konflik rasial ini

dikhawatirkan akan mengundang perhatian China karena banyaknya warga

Malaysia keturunan Cina. Malaysia berharap agar prinsip netralitas tersebut

bisa menghalangi Cina melakukan campur tangan terhadap urusan dalam

negeri Malaysia. Sementara Indonesia menerjemahkan ZOPFAN sebagai

netralitas ASEAN dari kerjasama militer dengan negara-negara barat.

Adalah ironis kerjasama militer antara Malaysia, Singapura, Inggris,

Australia, dan Selandia Baru yang tergabung dalam Five Powers Defence

Arrangement (FPDA), ditandatangani pada tahun yang sama dengan

lahirnya konsep ZOPFAN pada tahun 1971 (Anwar, 1993 : 324). Di dalam

deklarasi ZOPFAN terdapat berbagai langkah prosedural dan strategis

untuk memenuhi tuntutan tersebut yang secara keseluruhan bukan hanya

memusatkan perhatiannya pada perlucutan senjata atau pencegahan

profilerasi nuklir melainkan meliputi juga kerjasama politik, ekonomi dan

fungsional lainnya. ZOPFAN bisa mengurangi kebutuhan akan intervensi

militer langsung negara-negara besar, dan yang lebih penting lagi,

23

menghindarkan negara-negara kecil mengundang atau mempropokasi

keterlibatan negara-negara besar dalam masalah-masalah bilateralnya

b) ASEAN Concord I

Perubahan situasi politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara yang

ditandai dengan penarikan tentara AS dari Vietnam Selatan mulai 1973 dan

kemenangan Vietnam Utara atas Vietnam Selatan pada tahun 1975 telah

mengubah konfigurasi politik dan keamanan di Asia Tenggara. Peristiwa

ini mendorong para pemimpin ASEAN untuk menilai kembali situasi Asia

Tenggara dan mempertegas maksud dan tujuan pembentukan ASEAN.

Para pemimpin ASEAN sepakat untuk mengadakan KTT I di Bali, 23-25

Febuari 1976 untuk membahas perubahan tersebut dan merumuskan

langkah dan sikap strategis ASEAN. Pertemuan tersebut menjadi momen

penting dalam evolusi kerjasama keamanan ASEAN. KTT I yang

berlangsung di Bali dikemudian hari lebih dikenal sebagai Bali Concord I

melahirkan dua dokumen, yaitu; Deklarasi Kesepakatan ASEAN

(Declaration of ASEAN Concord) dan Perjanjian Persahabatan (Treaty of

Amity and Cooperation in Southeast Asia).

Kedua dokumen tersebut mencerminkan penegasan kembali komitmen

negara-negara ASEAN terhadap; Deklarasi Bandung, Deklarasi Bangkok,

Deklarasi ZOPFAN, dan Piagam PBB, serta menegaskan tekad negara-

negara ASEAN untuk meningkatkan perdamaian, kemajuan, kemakmuran

dan kesejahteraan negara-negara ASEAN, melalui upaya stabilitasi politik

kawasan Asia Tenggara

4.2 Peran ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Asia Tenggara

24

4.2.1 Pentingnya Pemberantasan Terorisme di Asia Tenggara

Di Eropa, berbagai perbedaan masa lalu yang menjadi sumber konflik

semakin teratasi dan melenyap. Sebaliknya, di Asia Tenggara, masalah-

masalah warisan kolonialisme bermunculan dan berdampak pada stabilitas

dalam negara dan antar negara, seperti di Timor-Timur (Indonesia), di

Mindano (Filipina), dan Pathani (Thailand). Warisan kolonialisme yang

belum selesai juga telah mengakibatkan sulitnya penyelesaian masalah

perbatasan antar negara anggota ASEAN. Antara Indonesia-Malaysia,

misalnya, setelah selesai masalah Sipadan-Ligitan, masalah baru muncul

dan berpotensi dan menganggu hubungan bilateral, misalnya, soal

kepemilikan pulau Ambalat. Ini belum termasuk persoalan dari garis

perbatasan darat di sepanjang Pulau Kalimantan. Demikian pula, Indonesia

menghadapi masalah perbatasan dengan Singapura dalam soal garis

perbatasan laut di sekitar Riau, dan dengan Filipina dalam status pulau-

pulau di Utara Sulawesi, yang secara sepihak telah di klaim dalam konstitusi

Filipina sebagai miliknya. Kolonialisme selain meninggalkan konflik

domestik, yaitu konflik etnik dan agama dalam negara anggota ASEAN,

juga sangat rawan menimbulkan sengketa antar negara, yaitu sengketa

perbatasan. Kasus ambalat sempat berkembang ke arah yang

mengkhawatirkan. Hal ini terjadi karena negara-negara ASEAN yang

terlibat dalam konflik selama ini selalu berusaha menyimpan masalah yang

ada dan tidak berupaya menyelesaikannya secara tuntas di dalam forum

ASEAN (Acharya, 2001 : 6). Ini bisa terjadi akibat masih lemahnya

mekanisme resolusi konflik dalam ASEAN, sehingga selalu saja

penyelesaian konflik perbatasan antar negara anggotannya diserahkan pada

mediasi pihak asing, yang hasilnya belum tentu memuaskan semua pihak

yang bersengketa. Belum lagi ditambah kasus Myanmar dan penahanan

Aung San Suu Kyi, yang telah menghasilkan respon yang berbeda dari

anggota ASEAN. Respon yang bersikap keras dari Malaysia, Filipina, dan

25

Singapura sempat mengarah pada wacana pemberian sanksi pada Myanmar,

sekalipun mekanisme semacam itu belum pernah di atur. Dimasa depan,

perlu dipikirkanpemberian sanksi kepada negara-negara anggota ASEAN

yang dianggap tidak mematuhi perjanjian yang telah disepakati. ASEAN

bisa dinilai sebagai sebuah organisasi yang mendukung sebuah rezim yang

tidak menghormati HAM dan Demokrasi, karena tujuan ASEAN lebih

banyak ditentukan oleh keinginan untuk menjamin kelangsungan hidup

rezim non-demokratis. Hal ini diperparah ketika ASEAN justru menerima

Myanmar menjadi anggota pada tahun 1997. Sebaliknya, jika ada kewajiban

dan sanksi dan demokratisasi menjadi keharusan bagi setiap negara anggota,

maka setiap anggota yang tidak menjalankan dapat dikenakan sanksi, mulai

dari yang ringan yang berat. Sanksi itu bisa berupa pengucilan atau

harus menarik diridari keanggotaan (Sukma, 2006 : 53).

Prinsip non-interfence dan state soverignty adalah sumber dari

persoalan tersebut diatas. Diakui bahwa prinsip non intervensi dan integritas

kedaulatan  nasional terhadap urusan domestik negara-negara anggota

ASEAN merupakan prinsip yang paling kontroversial dalam tubuh ASEAN,

dan oleh karenanya menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi

regional menjadi agak terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang

mempengaruhi hubungan bilateral, regional dan ekstra regional,

maka “prinsip non-interfence dapat diabaikan”, walaupun prinsip tersebut

telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak awal pembentukannya(Pitsuwan,

2006 : 11). Masalah state sovereignty (kedaulatan nasional) yang

menghambat perkembangan ASEAN, tidak hanya terkait dengan persoalan

batas wilayah, tetapi juga masih beratnya negara anggota untuk dapat

menerima pemberlakuan atas azas supranasional dalam pengambilan

keputusan di ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa, didalam ASEAN

perbedaan-perbedaan identitas nasional semakin menguat dan menyulitkan

proses integrasi. Padahal, untuk dapat terciptanya ASC, setiap negara

26

anggota harus bersedia menanggalkan sebagian kedaulatan nasional dan

menukarkannya dengan kedaulatan bersama atau supranasional. Dengan

demikian, akan mudah bagi ASEAN untuk mengambil keputusan kolektif

secara efektif. Tidak seperti selama ini, setiap keputusan dalam resolusi

yang dihasilkan diserahkan atau tergantung kepada masing-masing

anggotanya untuk menjalankannya, tanpa kewajiban untuk menaatinya dan

sanksi yang diberikan, jika terjadi pelanggaran. ASEAN sering terperangkap

di antara retorika dan realita. Selama lebih dari 40 tahun usia ASEAN,

organisasi ini sudah banyak berbicara tentang kerjasama, tetapi ketika betul-

betul di butuhkan malah tidak terjadi. Dibalik semua sopan santun tentang

solidaritas dan kerjasama, semua persoalan yang dapat menegangkan daya

santai kelompok regional ini dan prinsip tidak saling mencampuri urusan

dalam negeri jelas harus dikaji ulang. Norma dan prinsip ASEAN yang

masih berlaku, yaitu memendam konflik dengan senyum di padang golf

sementara suasana di sekitarnya diselimuti oleh masalah kawasan lintas

batas yang tak kunjung padam karena mekanismenya tidak efektif dan

efisien. Apa yang disebut sebagai satu Asia Tenggara (One Southeast

Asia)tetaplah merupakan kumpulan dari banyak pusat

pengambilan keputusan dengan mekanismenya masing-masing. Minimnya

kepedulian rakyat ASEAN akan organisasi ASEAN jelas merupakan

kelemahan lain dari ASEAN yang dapat menghambat akselerasinya dalam

menuju integrasi komunitas ASEAN 2015. Dibenak mereka ASEAN hanya

berupa akronim organisasi di wilayah Asia Tenggara. ASEAN bukanlah

identitas mereka. Konsep We Feeling yang bermakna dalam bagi pemimpin

ASEAN ternyata bukanlah apa-apa bagi mereka.  Amitav Acharya yang

seorang konstruktivist dan banyak diilhami oleh pemikiran Karl Dutsch

menyatakan bahwa membentuk suatu komunitas dalam bidang apapun,

maka We Feeling itu harus sudah ada. Tetapi jika kita lihat pada komunitas

yang ada di ASEAN, bahwa We Feeling itu tidak ada sama sekali, apalagi

jika disangkut pautkan dengan budaya dari masing-masing negara. We

27

Feelingitu hanya akan ada ketika memang terjadi ancaman yang dianggap

hal berbahaya secara bersama-sama. Identitas sebagai satu ASEAN saja

tidak dimiliki oleh masyarakat setiap negara anggota, karena didalam

internal negara-negara itu sendiri masih terjadi konflik antar ras, budaya

suku. Bagaimana mungkin mengakui bahwa kita sebagai suatu identitas

regional bersama, jika didalam negeri saja identitas nasional masih menjadi

masalah. Tradisi ASEAN yang telah berhasil melayani para anggotanya

selama lebih dari 40 tahun dalam mengambil keputusan bersama yang

berdasarkanmusyawarah untuk mencapai mufakat mungkin akan

menghadapi tantangan besar dimasa depan. Pemerintah negara anggota

ASEAN makin lama akan makin sering mendengarkan keluhan dan tuntutan

dari rakyat negaranya sendiri dan rakyat negara anggota lainnya. Jika ada

mekanisme untuk menyalurkan keluhan dan tuntutan tersebut maka slogan

satu Asia Tenggara akan benar-benar memiliki makna. Bukan menjadi

rahasia umum lagi bahwa masalah besar yang dihadapi ASEAN selama ini

adalah lemahnya implementasi dari berbagai prakarsa dan program yang

telah disepakati bersama, baik di tingkat para pemimpin ASEAN maupun di

tingkat pertemuan menteri-menteri ASEAN. Negara-negara ASEAN

memang pandai didalam merumuskan program-program kerjasama,

mengadakan seminar, konferensi, workshop, lokakarya, atau meeting

(rapat), tetapi senantiasa lemah dalam pelaksanaannya. Hal ini diakui dalam

laporan eminent persons groups (EPG) on the ASEAN Charter (Desember

2006) dan menjadi landasan bagi usulan untuk memperkuat kelembagaan

ASEAN, termasuk peran dari sekretaris Jenderal ASEAN. Selain

memperkuat peran Sekretariat ASEAN, kegiatan pemantauan (Monitoring)

diusulkan untuk melibatkan pihak-pihak non pemerintah agar dapat dibuat

penilaian yang obyektif dan dapat dikembangkan mekanisme yang dapat

mendorong proses pelaksanaan kesepakatan oleh masing-masing negara

ASEAN (Soesastro, 2007 : 321). Disini pemimpin negara-negara ASEAN

harus segera mengesampingkan basa basi khas ASEAN dan muncul dengan

28

langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah yang melintasi garis batas

kedaulatan negara.

4.2.2 Analisis Mengenasi ASEAN Convention on Counter Terrorism

Sungguhpun ada prospek bagi ASEAN didalam mewujudkan Security

Community, namun berbagai kendala tentu saja jelas ada. Secara mendasar

sejak awal pembentukan ASEAN jauh berbeda dengan Uni Eropa dalam

tingkat heterogenitasyang dihadapi. 10 negara Asia Tenggara mempunyai

berbagai keragaman baik dibidang budaya, ras, agama dan dipengaruhi

oleh aneka kekuatan serta berbeda tingkat pertumbuhan ekonomi, dan

beragam pandangan politik dan ideologi.  Apalagi rakyat Asia Tenggara 

belum terbiasa menjadi satu.  Sejarah Asia Tenggara hampir selalu

terpecah-pecah dan diperburuk oleh kepentingan asing di kawasan.

Penduduk ASEAN sangat majemuk, baik dari segi etnis, bahasa, maupun

agama. Dalam sebuah negara Indonesia, misalnya, terdapat begitu banyak

kelompok etnis dan sub-etnisnya, yang juga hidup dengan bahasa lokal dan

kebudayaannya masing-masing. Berbeda dengan kondisi di Uni Eropa,

yang dalam setiap negara paling tidak terdapat satu atau tidak lebih dari

empat kelompok etnis asli sehingga juga tidak terdapat banyak bahasa yang

digunakan penduduknya dalam sebuah negara atau pun antar negara.

Dengan begitu, pembentukan negara bangsa Nation State anggota Uni

Eropa tidak sesulit pembentukan negara bangsa di negara anggota ASEAN,

mengingat tidak sulit untuk mencari bahasa komunikasi (Lingua franca)

yang bisa digunakan dalam kegiatan organisasi regional mereka. Anggota

Uni Eropa bisa dipersatukan oleh bahasa Inggris dan Latin karena mandala

Eropa pernah dikuasai Romawi. Sementara, ASEAN belum bisa menerima

kehadiran Bahasa Melayu sebagai Lingua franca,  sebab pengaruh bahasa

ini tidak mencakup seluruh wilayah Asia Tenggara. Bahasa resmi yang

dipakai dalam pertemuan-pertemuan ASEAN adalah bahasa Inggris,

29

sedangkan Kamboja dan Laos, misalnya, hampir tidak mampu berbahasa

Inggris. Bahasa asing yang mereka kuasai adalah Perancis.

Disamping itu, penyebaran agama yang homogen yang terjadi di

Eropa juga tidak dialami di Asia Tenggara. Secara realistis, agama Kristen

telah mempertemukan anggota Uni Eropa dalam bahasa dan budaya,

sedangkan di ASEAN di luar agama Hindu dan Budha yang telah lebih

dulu ada, masih ada agama Kristen dan Islam. Bisa dikatakan ASEAN

adalah satu-satunya organisasi regional yang bersifat

Multisivilisasional (Huntington, 1996 : 230-232). Heterogenitas yang

tinggi tidak hanya berimplikasi pada susahnya menyatukan anggota

ASEAN, namun juga lemahnya masing-masing negara anggota dalam

menyelesaikan agenda domestiknya. Tidak mungkin suatu negara dapat

menyepakati sebuah keputusan internasional, jika semua unsur dalam

negerinya belum memiliki persamaan persepsi dan kepentingan.

Heterogenitas kultur juga berdampak pada sulitnya membuat keputusan

yang efektif dan mengikat dalam setiap aktivitas ASEAN dimasa lalu.

Kultur Hinduisme, Budhisme, dan Islam yang mengakar kuat di kawasan

Asia Tenggara memiliki pengaruh atas disepakatinya musyawarah mufakat

dan konsensus sebagai ASEAN way dalam setiap penyelesaian masalah di

kawasan. Hal ini membuat absennya akuntabilitas dan sanksi terhadap

negara anggota, yang dikemudian hari ternyata tidak mematuhi keputusan

yang telah dihasilkan secara mengikat. Situasi yang berbeda tanpa di Uni

Eropa, yang selalu jelas keputusannya, dan mengikat, karena selalu

dilakukan lewat cara pemungutan suara (voting). Di masa depan

pengambilan keputusan dengan mekanisme pemungutan

suara (voting) harus diintroduksi dalam berbagai kegiatan atau pertemuan

ASEAN (Sukma, 2006 : 53). Bila sebuah keputusan yang penting

didasarkan pada mekanisme voting, apalagi dalam situasi darurat

(Emergency), hal ini jelas lebih menciptakan good organization

30

governance, terutama untuk menumbuhkan akuntabilitas anggotanya.

Disini, negara-negara anggota ASEAN harus memiliki semangat

penghargaan atas HAM dan  keniscayaan pada demokrasi. Mereka tidak

boleh ragu, apalagi menilai bahwa demokrasi adalah sumber masalah baru,

yang akan diciptakan disintegrasi dan instabilitas di tingkat domestik dan

kawasan. Mereka justru harus berpandangan sebaliknya, bahwa sikap anti

demokrasi merupakan kendala bagi terwujudnya ASEAN Security

Community (ASC). Menurut Amitav Acharya, di Eropa budaya politik

demokrasi terkait erat dengan munculnya kecenderungan akan

interdependensi ekonomi yang membantu negara-negara yang tergabung

dalam Uni Eropa untuk menciptakan masyarakat yang berkeamanan. 

Sebaliknya ASEAN tidak mempunyai latar belakang kondisi budaya politik

seperti itu. (Acharya, 2001 : 195). Bahkan pada kenyataannya, banyak

kalangan menilai sebagian besar negara-negara anggota ASEAN tidak

demokratis sama sekali, karena mereka rata-rata mempunyai catatan buruk

dibidang HAM akibat masih kuatnya prinsip non interference dianut

negara anggotanya (Hofmann, 2006 : 58). Jelas bahwa yang dikatakan

sebagai sebuahSecurity Community adalah ketika didalam komunitas

keamanan tersebut mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi nilai-

nilai demokrasi. Jika ASEAN ingin tetap konsisten dengan komitmennya

mencapai komunitas keamanan pada 2015, maka pemerintah dari masing-

masing negara anggota jelas harus menghapuskan bentuk suksesi

kepemimpinan regional secara inkonstitusional seperti kudeta oleh junta

militer dengan menggulingkan kekuasaan legal seorang presiden atau

Perdana Menteri dengan cara-cara yang dapat menimbulkan aksi kekerasan

dan instabilitas nasional, seperti di Thailand. Komunitas Keamanan

ASEAN nantinya juga telah harus menghilangkan pergantian

kepemimpinan dengan cara-cara tidak demokratis. Melihat rencana aksi

komunitas keamanan ASEAN, jelas struktur politik kawasan ASEAN 

diarahkan untuk semakin  maju,  terbuka, dan demokratis.  Langkah

31

pembangunan politik melintasi isu-isu sensitif yang menyangkut demokrasi

layaknya di negara maju,  penyelenggaraan pemilu yang bebas,

pemberantasan korupsi, pemeirntah yang bersih, penegakan dan supermasi

hukum, promosi pengembangan HAM  hendaknya tidak menjadi retorika

politik. Bangunan ASEAN adalah rumah besar yang menggelindingkan

ASEAN shared-common value baru, yang menjunjung tinggi bahasa global

dunia, demokrasi di bawah pemeirntah yang baik. Elemen kemanusiaan

sudah pasti harus mendapat porsi yang lebih besar didalam konsep

komunitas keamanan ASEAN, dengan lebih menciptakan situasi kondusif

dalam hal kebebasan berpartisipasi dan menegakkan hak-hak asasi manusia

agar masyarakat ASEAN bisa melindungi dirinya sendiri.  Memang

termasuk tanggung jawab pemerintah memberi perlindungan pada

rakyatnya tetapi perangkat terbaik dalam human security itu adalah

masyarakat itu sendiri. Itu memang tidak akan tercapai tanpa kebebasan

politik, partisipasi, dan pemenuhan hak individu. Semua harus

bersifat bottom up, bukan top down. Referensi model keamanan yang

berkisar pada prinsip non interfence yang mendasari ASEAN Way dewasa

ini ditantang oleh suatu model keamanan yang sangat luas (comprehensive

security) dan bersifat non konvensional, yaitu model keamanan

manusia (human security) dan upaya untuk melibatkan masyarakat luas

dalam kegiatan ASEAN. Model ini mengetengahkan kesejahteraan

perorangan yang harus dijamin oleh negara. Ia berpusat pada keamanan

atau ketidakamanan manusia sebagaimana ia terkait dengan negara atau

tatanan internasional. Masalah keamanan manusia ini memunculkan

perdebatan tentang intervensi dan non intervensi dalam masalah dalam

negeri negara anggota ASEAN. Kasus Myanmar dan Kamboja merupakan

tantangan pertama bagi kebijakan non intervensi dalam masalah dalam

negeri negara anggota ASEAN. (Kraft, 2006 : 26-28). Masalah Myanmar

bisa membuat ASEAN dinilai negatif karena ASEAN akan dianggap

mendukung sebuah rezim yang tidak menghormati HAM (Perwita, 2006 :

32

154), sehingga muncul kesan walaupun pembentukan ASEAN didasarkan

pada ikatan biografis, kesejarahan dan budaya di Asia Tenggara, pada

kenyataannya pendorong utama regionalisme ASEAN lebih banyak

ditentukan oleh keinginan untuk menjaminregime survival. Sampai

munculnya ASEAN Charter 2007, semua negara anggota ASEAN masih

menganggap bahwa prinsip non intervensi sangat penting bagi hubungan

antar bangsa. Oleh karena itu, bila penghargaan atas HAM dan Demokrasi

dapat dipatuhi oleh negara-negara anggota ASEAN sebagai bagian dari

pemahaman baru keamanan non konvensional yaitu human security, maka

bisa dikatakan bahwa ASEAN bukanlah melulu Asosiasi pemerintahan,

politisi dan birokrat semata, melainkan juga akan menjadi komunitas yang

lebih luas dengan merangkul kalangan masyarakat sampai tingkat paling

bawah, karena selama ini ada anggapan bahwa ASEAN dianggap belum

mampu menciptakan mekanisme partisipasi masyarakat yang lebih luas

dalam memberikan kontribusi yang lebih bermakna sepanjang perjalanan

organisasi regional ini selama lebih dari 4 dasawarsa.

33

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Prinsip non-interfence dan state soverignty adalah sumber dari persoalan

tersebut diatas. Diakui bahwa prinsip non intervensi dan integritas kedaulatan

nasional terhadap urusan domestik negara-negara anggota ASEAN merupakan

prinsip yang paling kontroversial dalam tubuh ASEAN, dan oleh karenanya

menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional menjadi agak

terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang mempengaruhi hubungan

bilateral, regional dan ekstra regional, maka “prinsip non-interfence dapat

diabaikan”, walaupun prinsip tersebut telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak

awal pembentukannya(Pitsuwan, 2006 : 11). Masalah state

sovereignty (kedaulatan nasional) yang menghambat perkembangan ASEAN,

tidak hanya terkait dengan persoalan batas wilayah, tetapi juga masih beratnya

negara anggota untuk dapat menerima pemberlakuan atas azas

supranasional dalam pengambilan keputusan di ASEAN. Berbeda dengan Uni

Eropa, didalam ASEAN perbedaan-perbedaan identitas nasional semakin

menguat dan menyulitkan proses integrasi. Padahal, untuk dapat terciptanya ASC,

setiap negara anggota harus bersedia menanggalkan sebagian kedaulatan nasional

dan menukarkannya dengan kedaulatan bersama atau supranasional. Dengan

demikian, akan mudah bagi ASEAN untuk mengambil keputusan kolektif secara

efektif. Tidak seperti selama ini, setiap keputusan dalam resolusi yang dihasilkan

diserahkan atau tergantung kepada masing-masing anggotanya untuk

menjalankannya, tanpa kewajiban untuk menaatinya dan sanksi yang diberikan,

jika terjadi pelanggaran. ASEAN sering terperangkap di antara retorika dan

realita. Selama lebih dari 40 tahun usia ASEAN, organisasi ini sudah banyak

berbicara tentang kerjasama, tetapi ketika betul-betul di butuhkan malah tidak

terjadi. Dibalik semua sopan santun tentang solidaritas dan kerjasama, semua

34

persoalan yang dapat menegangkan daya santai kelompok regional ini dan prinsip

tidak saling mencampuri urusan dalam negeri jelas harus dikaji ulang. Norma dan

prinsip ASEAN yang masih berlaku, yaitu memendam konflik dengan senyum di

padang golf sementara suasana di sekitarnya diselimuti oleh masalah kawasan

lintas batas yang tak kunjung padam karena mekanismenya tidak efektif dan

efisien. Apa yang disebut sebagai satu Asia Tenggara (One Southeast

Asia)tetaplah merupakan kumpulan dari banyak pusat

pengambilan keputusan dengan mekanismenya masing-masing. Minimnya

kepedulian rakyat ASEAN akan organisasi ASEAN jelas merupakan kelemahan

lain dari ASEAN yang dapat menghambat akselerasinya dalam menuju integrasi

komunitas ASEAN 2015. Dibenak mereka ASEAN hanya berupa akronim

organisasi di wilayah Asia Tenggara. ASEAN bukanlah identitas mereka.

Konsep We Feeling yang bermakna dalam bagi pemimpin ASEAN ternyata

bukanlah apa-apa bagi mereka.  Amitav Acharya yang seorang konstruktivist dan

banyak diilhami oleh pemikiran Karl Dutsch menyatakan bahwa membentuk

suatu komunitas dalam bidang apapun, maka We Feeling itu harus sudah ada.

Tetapi jika kita lihat pada komunitas yang ada di ASEAN, bahwa We Feeling itu

tidak ada sama sekali, apalagi jika disangkut pautkan dengan budaya dari masing-

masing negara. We Feelingitu hanya akan ada ketika memang terjadi ancaman

yang dianggap hal berbahaya secara bersama-sama. Identitas sebagai satu

ASEAN saja tidak dimiliki oleh masyarakat setiap negara anggota, karena

didalam internal negara-negara itu sendiri masih terjadi konflik antar ras, budaya

suku. Bagaimana mungkin mengakui bahwa kita sebagai suatu identitas regional

bersama, jika didalam negeri saja identitas nasional masih menjadi masalah.

Tradisi ASEAN yang telah berhasil melayani para anggotanya selama lebih dari

40 tahun dalam mengambil keputusan bersama yang

berdasarkanmusyawarah untuk mencapai mufakat mungkin akan menghadapi

tantangan besar dimasa depan. Pemerintah negara anggota ASEAN makin lama

akan makin sering mendengarkan keluhan dan tuntutan dari rakyat negaranya

sendiri dan rakyat negara anggota lainnya. Jika ada mekanisme untuk

35

menyalurkan keluhan dan tuntutan tersebut maka slogan satu Asia Tenggara akan

benar-benar memiliki makna. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa masalah

besar yang dihadapi ASEAN selama ini adalah lemahnya implementasi dari

berbagai prakarsa dan program yang telah disepakati bersama, baik di tingkat para

pemimpin ASEAN maupun di tingkat pertemuan menteri-menteri ASEAN.

Negara-negara ASEAN memang pandai didalam merumuskan program-program

kerjasama, mengadakan seminar, konferensi, workshop, lokakarya, atau meeting

(rapat), tetapi senantiasa lemah dalam pelaksanaannya. Hal ini diakui dalam

laporan eminent persons groups (EPG) on the ASEAN Charter (Desember 2006)

dan menjadi landasan bagi usulan untuk memperkuat kelembagaan ASEAN,

termasuk peran dari sekretaris Jenderal ASEAN. Selain memperkuat peran

Sekretariat ASEAN, kegiatan pemantauan (Monitoring) diusulkan untuk

melibatkan pihak-pihak non pemerintah agar dapat dibuat penilaian yang obyektif

dan dapat dikembangkan mekanisme yang dapat mendorong proses pelaksanaan

kesepakatan oleh masing-masing negara ASEAN (Soesastro, 2007 : 321). Disini

pemimpin negara-negara ASEAN harus segera mengesampingkan basa basi khas

ASEAN dan muncul dengan langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah

yang melintasi garis batas kedaulatan negara.

5.2 Saran

Pengembangan mekanisme yang terkait dengan masalah kelembagaan

ASEAN ini merupakan tantangan terbesar bagi ASEAN. Sejauh ini negara-negara

anggota ASEAN selalu enggan untuk mengembangkan kelembagaan ASEAN.

Sebagai akibatnya, kerja sama ASEAN kini melibatkan beberapa ratus pertemuan

dalam setahun dan bahkan mungkin secara riil hanya terjadi dalam pertemuan-

pertemuan itu. Lemahnya kelembagaan ASEAN adalah akibat dari kekhawatiran

negara-negara ASEAN mengenai pengaruh pengembangan kelembagaan regional

terhadap kedaulatan nasional mereka. Tetapi keinginan untuk mempertahankan

kedaulatan nasional secara absolut sebenarnya bertentangan dengan kesepakatan

untuk memperdalam integrasi ASEAN dan  mewujudkan ASEAN Security

36

Community (ASC). Menurut hemat penulis, untuk bisa menjalankan rencana aksi

ASC yang lain terutama di bidang Political Development dan Conflict Resolution

jelas mutlak diperlukan ‘reintepretasi’ dan ‘revitalisasi’ atas prinsip non-

interference dan state sovereignty.

37

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Security Community Plan of Action. Dipetik pada tanggal 7 April

2011, dari: http://www.aseansec.org/16826.htm

Acharya, Amitav. (1998). “Collective Security and Conflict Management in

Southeast Asia”. Dalam Emanuel Adler dan Michael Barnett, Security

Community. Cambridge: Cambridge University Press.

Cipto, Bambang. (2007). Hubungan Internasional di Asia

Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pertahanan RI. 2003. Three Pillars of ASEAN. Dipetik pada

tanggal 7 April 2011, dari Bali Concord II Bisa Bawa ASEAN ke Arah Integrasi:

http://thainews.prd.go.th/newsenglish/14th_aseansummit_e/index.php?

option=com_content&task=view&id=16&Itemid=6

Jones, David M. & Smith, Michael L. R. (2002). ASEAN's Imitation

Community. Orbis, 46 1. Hal. 93-109.

Khoo, Nicholas. (2004). “Deconstructing The ASEAN Security Community:

A Review Essay”. International Relations of The Asia-Pasific, Volume 4. Oxford

University Press & Japan Association of International Relation. Hal. 35-46.

38