MAI 3.1.docx

39
PERCOBAAN 3.1 ANALISIS KUALITATIF DAN KUANTITATIF BAHAN BAKU DENGAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI I. Tujuan Percobaan - Melakukan analisis kualitatif bahan baku dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. - Melakukan analisis kuantitatif bahan baku dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. - Menyimpulkan mutu bahan baku dengan data kromatografi dan hasil penetapan kadar. II. Teori Dasar A. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) 1. Definisi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi adalah sutu metode pemishn fisik dimana komponen-komponen yang dipisahkan didistribusikan diantara dua fasa, salah satu fasa tersebut adalah suatu lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, yang lainnya sebagai fluida yang mengalir lembut di sepanjang landasan stasioner (Keulemans, 1959 : 2). 2. Komponen-Komponen KCKT 1

Transcript of MAI 3.1.docx

Page 1: MAI 3.1.docx

PERCOBAAN 3.1

ANALISIS KUALITATIF DAN KUANTITATIF BAHAN BAKU DENGAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

I. Tujuan Percobaan

- Melakukan analisis kualitatif bahan baku dengan metode Kromatografi

Cair Kinerja Tinggi.

- Melakukan analisis kuantitatif bahan baku dengan metode

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

- Menyimpulkan mutu bahan baku dengan data kromatografi dan hasil

penetapan kadar.

II. Teori Dasar

A. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

1. Definisi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi adalah sutu metode pemishn fisik dimana

komponen-komponen yang dipisahkan didistribusikan diantara dua

fasa, salah satu fasa tersebut adalah suatu lapisan stasioner dengan

permukaan yang luas, yang lainnya sebagai fluida yang mengalir

lembut di sepanjang landasan stasioner (Keulemans, 1959 : 2).

2. Komponen-Komponen KCKT

Komponen-komponen penting dari KCKT dapat dilihat pada

Gambar Diagram Blok KCKT berikut ini :

1

Page 2: MAI 3.1.docx

Diagram Blok KCKT

a) Pompa (Pump)

Fase gerak dalam KCKT adalah suatu cairan yang bergerak melalui

kolom. Ada dua tipe pompa yang digunakan, yaitu kinerja konstan

(constant pressure) dan pemindahan konstan (constant

displacement). Pemindahan konstan dapat dibagi menjadi dua,

yaitu: pompa reciprocating dan pompa syringe. Pompa

reciprocating menghasilkan suatu aliran yang berdenyut teratur

(pulsating),oleh karena itu membutuhkan peredam pulsa atau

peredam elektronik untuk, menghasilkan garis dasar (base line)

detektor yang stabil, bila detektor sensitif terhadapan aliran.

Keuntungan utamanya ialah ukuran reservoir tidak terbatas. Pompa

syringe memberikan aliran yang tidak berdenyut, tetapi

reservoirnya terbatas (Rucker, 1988 : 165).

b) Injektor (injector)

Sampel yang akan dimasukkan ke bagian ujung kolom, harus

dengan disturbansi yang minimum dari material kolom. Ada dua

model umum: Stopped Flow dan Solvent Flowing. Ada tiga tipe

dasar injektor yang dapat digunakan (Rucker, 1988 : 165) :

Stop-Flow: Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja

atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik

ini bisa digunakan karena difusi di dalam cairan kecil clan

resolusi tidak dipengaruhi.

2

Page 3: MAI 3.1.docx

Septum: Septum yang digunakan pada KCKT sama dengan

yang digunakan pada Kromtografi Gas. Injektor ini dapat

digunakan pada kinerja sampai 60 -70 atmosfir. Tetapi septum

ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut Kromatografi

Cair.Partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum

injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

c. Loop Valve: Tipe injektor ini umumnya digunakan untuk

menginjeksi volume lebih besar dari 10 μ dan dilakukan

dengan cara automatis (dengan menggunakan adaptor yang

sesuai, volume yang lebih kecil dapat diinjeksifan secara

manual). Pada posisi LOAD, sampel diisi kedalam loop pada

kinerja atmosfir, bila VALVE difungsikan, maka sampel akan

masuK ke dalam kolom.

c) Kolom (Column)

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu

analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan

yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok (Rucker,

1988 : 166) :

Kolom analitik : Diameter dalam 2 -6 mm. Panjang kolom

tergantung pada jenis material pengisi kolom. Untuk kemasan

pellicular, panjang yang digunakan adalah 50 -100 cm. Untuk

kemasan poros mikropartikulat, 10 -30 cm. Dewasa ini ada

yang 5 cm.

Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau

lebih besar dan panjang kolom 25 -100 cm.

Kolom umumnya dibuat dari stainlesteel dan biasanya

dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan

temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion

dan kromatografi eksklusi. Pengepakan kolom tergantung pada

model KCKT yang digunakan (Liquid Solid Chromatography,

LSC; Liquid Liquid Chromatography, LLC; Ion Exchange

3

Page 4: MAI 3.1.docx

Chromatography, IEC, Exclution Chromatography, EC) (Rucker,

1988 : 166).

d) Detektor (Detector)

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen

sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung

kadamya (analisis kuantitatif).Detektor yang baik memiliki

sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar

respons linier yang luas, dan memberi respons untuk semua tipe

senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan

fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat

diperoleh (Rucker, 1988 : 166).

Detektor KCKT yang umum digunakan adalah detektor UV 254

nm. Variabel panjang gelombang dapat digunakan untuk

mendeteksi banyak senyawa dengan range yang lebih luas.

Detektor indeks refraksi juga digunakan secara luas, terutama pada

kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif jika

dibandingkan dengan detektor UV. Detektor-detektor lainnya

antara lain:

Detektor Fluorometer -Detektor Spektrofotometer Massa

Detektor lonisasi nyala -Detektor Refraksi lndeks

Detektor Elektrokimia -Detektor Reaksi Kimia

(Rucker, 1988 : 166)

e) Elusi Gradien

Elusi Gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fasa

gerak selama analisis kromatografi berlangsung. Efek dari Elusi

Gradien adalah mempersingkat waktu retensi dari senyawa-

senyawa yang tertahan kuat pada kolom. Dasar-dasar elusi gradien

dijelaskan oleh Snyder. Elusi Gradien menawarkan beberapa

keuntungan (Rucker, 1988: 167) :

Total waktu analisis dapat direduksi

4

Page 5: MAI 3.1.docx

Resolusi persatuan waktu setiap senyawa dalam campuran

bertambah

Ketajaman Peak bertambah (menghilangkan tailing)

Efek sensitivitas bertambah karena sedikit variasi pada peak

f) Pengolahan Data (Data Handling)

Hasil dari pemisahan kromatografi biasanya ditampilkan dalam

bentuk kromatogram pada rekorder. Suatu tipe Kromatogram dapat

dilihat pada Gambar berikut in:

Gambar : kromatogram dari senyawa 5’ Nukleotida

Dari Gambar, waktu retensi dan volume retensi dapat diketahui /

dihitung. Lni bisa digunakan untuk mengidentifikasi secara

kualitatif suatu komponen, bila kondisi kerja dapat dikontrol. Lebar

puncak dan tinggi puncak sebanding atau proporsional dengan

konsentrasi dan dapat digunakan untuk memperoleh hasil secara

kuantitatif (Rucker, 1988 : 168).

g) Fasa gerak

Di dalam kromatografi cair komposisi dari solven atau rasa gerak

adalah salah satu dari variabel yang mempengaruhi pemisahan.

Terdapat variasi yang sangat luas pada solven yang digunakan

untuk KCKT, tetapi ada beberapa sifat umum yang sangat disukai,

yaitu rasa gerak harus (Rucker, 1988 : 168):

Murni, tidak terdapat kontaminan

5

Page 6: MAI 3.1.docx

Tdak bereaksi dengan wadah (packing)

Sesuai dengan defektor

Melarutkan sampel

Memiliki visikositas rendah

Bila diperlukan, memudahkan "sample recovery"

Diperdagangan dapat diperoleh dengan harga murah

(reasonable price)

Umumnya, semua solven yang sudah digunakan langsung dibuang

karena prosedur pemumiannya kembali sangat membosankan dan

mahal biayanya. Dari semua persyaratan di atas, persyaratan 1) s/d

4) merupakan yang sangat penting. Menghilangkan gas

(gelembung udara) dari solven, terutama untuk KCKT yang

menggunakan pompa bolak balik (reciprocating pump) sangat

diperlukan terutama bila detektor tidak tahan kinerja sampai 100

psi. Udara yang terlarut yang tidak dikeluarkan akan menyebabkan

gangguan yang besar di dalam detektor sehingga data yang

diperoleh tidak dapat digunakan (the data may be useless).

Menghilangkan gas (degassing) juga sangat baik bila

menggunakan kolom yang sangat sensitifterhadap udara (contoh :

kolom berikatan dengan NH2) (Rucker, 1988 : 168).

3. Keuntungan KCKT

KCKT dapat dipandang sebagai pelengkap Kromatografi Gas

(KG). Dalam banyak hal kedua teknik ini dapat digunakan untuk

memperoleh efek pemisahan yang sama membaiknya. Bila derivatisasi

diperlukan pada KG, namun pada KCKT zat-zat yang tidak

diderivatisasi dapat dianalisis. Untuk zat-zat yang labil pada

pemanasan atau tidak menguap, KCKT adalah pilihan utama. Namun

demikian bukan berarti KCKT menggantikan KG, tetapi akan

memainkan peranan yang lebih besar bagi para analis laboratorium.

Derivatisasi juga menjadi populer pada KCKT karena teknik ini dapat

6

Page 7: MAI 3.1.docx

digunakan untuk menambah sensitivitas detektor UV Visibel yang

umumnya digunakan (Johnsons, 1991 : 52).

KCKT menawarkan beberapa keuntungan dibanding dengan

kromatografi cair klasik, antara lain (Johnsons, 1991: 53):

Cepat: Waktu analisis umumnya kurang dari 1 jam. Banyak

analisis yang dapat diselesaikari sekitar 15-30 menit. Untuk

analisis yang tidak rumit (uncomplicated), waktu analisi kurang

dari 5 menit bisa dicapai

Resolusi : Berbeda dengan KG, Kromatografi Cair mempunyai

dua rasa dimana interaksi selektif dapat terjadi. Pada KG, gas

yang mengalir sedikit berinteraksi dengan zat padat; pemisahan

terutama dicapai hanya dengan rasa diam. Kemampuan zat padat

berinteraksi secara selektif dengan rasa diam dan rasa gerak pada

KCKT memberikan parameter tambahan untuk mencapai

pemisahan yang diinginkan.

Sensitivitas detektor : Detektor absorbsi UV yang biasa

digunakan dalam KCKT dapat mendeteksi kadar dalam jumlah

nanogram (10-9 gram) dari bermacam- macam zat. Detektor-

detektor Fluoresensi dan Elektrokimia dapat mendeteksi jumlah

sampai picogram (10-12 gram). Detektor-detektor seperti

Spektrofotometer Massa, Indeks Refraksi, Radiometri, dll dapat

juga digunakan dalam KCKT

Kolom yang dapat digunakan kembali : Berbeda dengan

kolom kromatografi klasik, kolom KCKT dapat digunakan

kembali (reusable) . Banyak analisis yang bisa dilakukan dengan

kolom yang sma sebelum dari jenis sampel yang diinjeksi,

kebersihan dari solven dan jenis solven yang digunakan

Ideal untuk zat bermolekul besar dan berionik : zat – zat yang

tidak bisa dianalisis dengan KG karena volatilitas rendah ,

biasanya diderivatisasi untuk menganalisis psesies ionik. KCKT

7

Page 8: MAI 3.1.docx

dengan tipe eksklusi dan penukar ion ideal sekali untuk

mengalissis zat – zat tersebut.

Mudah rekoveri sampel : Umumnya setektor yang digunakan

dalam KCKT tidak menyebabkan destruktif (kerusakan) pada

komponen sampel yang diperiksa, oleh karena itu komponen

sampel tersebut dapat dengan mudah sikumpulkan setelah

melewati detector. Solvennya dapat dihilangkan dengan

menguapkan ksecuali untuk kromatografi penukar ion

memerlukan prosedur khusus.

4. Kegunaan KCKT

Kegunaan umum KCKT adalah untuk : pemisahan sejumlah

senyawa organik, anorganik,maupun senyawa biologis ; analisis

ketidak murnian (impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah

menguap (non-volatil); penentuan molekul-molekul netral ionik

maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan

senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa-

senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements),dalam jumlah

banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode

yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisi kualitatif

maupun kuantitatif (Ibnu, 2011 : 378).

5. Kelebihan KCKT

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Pressure

Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu metode kimia

dan fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu

teknik kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau

padat. Banyak kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode

lainnya. Kelebihan itu antara lain (Johnson dan Stevenson, 1978 : 54) :

Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran

Mudah melaksanakannya

8

Page 9: MAI 3.1.docx

Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi

Dapat dihindari terjadinya dekomposisi / kerusakan bahan yang

dianalisis

Resolusi yang baik

Dapat digunakan bermacam-macam detektor

Kolom dapat digunakan kembali

Mudah melakukan "sample recovery"

6. Kekurangan KCKT

Kekurangan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa-

senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa

(MS), dan jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik

sulit diperoleh (Ibnu, 2011 : 378).

B. Parasetamol

1. Pengertian

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non

narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama

di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di

berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-

antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,

melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Darsono 2002 : 33).

Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit

fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995 : 217).

Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik,

antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak

menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Darsono, 2002 : 33).

Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak

terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit

yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak

bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,

9

Page 10: MAI 3.1.docx

seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain

(Katzung, 2011 : 484).

Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak

menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat

antipiretika, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan

dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun

sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus

lainnya dari dokter (Sartono, 1996 : 79).

2. Sejarah Parasetamol

Pada tahun 1946, Lembaga Studi Analgetik dan obat-obatan

sedative telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New

York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgetik.

Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji

mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya

methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya (Yulida,

2009 : 11).

Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod

mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia, dan

mendapati pengaruh analgetik asetanilida adalah disebabkan metabolit

Parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan Parasetamol karena

memandang bahan kimia ini tidak mengahasilkan racun asetanilida

(Yulida, 2009 : 11).

Derivat-asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang

dahulu banyak digunakan sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978

telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan

karsinogen). Khasiatnya analgetik dan antipiretik, tetapi tidak

antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat antinyeri

yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek

analgetiknya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50% dan kodein.

Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rectal lebih

10

Page 11: MAI 3.1.docx

lambat. Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi

hipersensitivitas dan kelainan darah (Yulida, 2009 : 11).

Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia.

Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat

penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin,

sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat

menggunakan Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun

mencapai air susu ibu. Interaksi pada dosis tinggi memperkuat efek

antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif (Tjay, 2002 : 135).

3. Struktur Kimia Parasetamol

Gambar Struktur Kimia Parasetamol

Farmakodinamik

Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat

yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.

Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang

diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-

inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan

Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol

merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang

lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat

pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan

keseimbangan asam basa (Mardjono, 1971 : 156).

Indikasi

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan

demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol

11

Page 12: MAI 3.1.docx

digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Cranswick, 2000

: 27)

Kontra Indikasi

Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita

hipersensitif terhadap obat ini (Mardjono, 1971 : 156).

Sediaan dan Posologi

Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg

atau sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol

terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet

maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per

kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-

300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun:

60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari

(Mardjono, 1971 : 156).

Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol. Manifestasinya

berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa

demam dan lesi pada mukosa. Selain itu telah dilaporkan bahwa

penggunaan parasetamol melebihi dosis yang ditentukan dapat pula

menyebabkan diare akut, peningkatan ekskresi keringat,

kehilangan nafsu makan, mual dan muntah, dan bengkak pada

abdomen bagian atas dan harus secepatnya diberikan penanganan

medis (Mardjono, 1971 : 157).

III. Sifat Fisika dan Kimia Bahan

1. Parasetamol

Warna : Putih

Rasa : Pahit

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur

Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium

hidroksida 1, mudah larut dalam etanol.

12

Page 13: MAI 3.1.docx

Berat Molekul : 151,16 g

mol

Bobot jenis : 1,293 g

cm3

PH larutan : 5-7

Stabilitas : Pada suhu >40oC mudah terdegradasi

Titik leleh : 169-172 oC

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.

(Depkes RI, 1995 : 649)

2. Metanol

Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berasa.

Titik didih : 64,5 oC

Bobot jenis : 0,7915 g

cm3

Berat molekul : 32,04 g

mol

Kerapatan : 1,11

Titik beku : -98 oC

Perhatian : Dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, rasa

terbakar, inflamasi, kerusakan kornea, mudah

terbakar dan bersifat toksik.

(Merck, 2012 : 118)

3. Aqua Bidestilasi

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berasa.

PH : 7

Bobot jenis :c 1 g/cm3

Titik didih : 100 oC

Titik beku : 0 oC

Stabilitas : Produk yang stabil

(Rowe, 2009 : 776)

4. C18

Bentuk : Padat

13

Page 14: MAI 3.1.docx

Warna : Putih

Kelarutan : Tidak larut dalam air dingin dan air panas.

Stabilitas : Produk yang stabil

(Merck, 2012 : 1189)

IV. Alat dan Bahan

Bahan Alat

Baku pembanding

parasetamol (standar)

Baku Paracetamol

Methanol Pro HPLC

Aqua Bidestilasi

Kolom HPLC C18

HPLC Agillent

Labu takar 10 ml

Labu takar 50 ml

Pipet volume 10 ml

Pipet volume 5 ml

Vial

Detector UV 243 nm

Membran filter PTFE 0,45 µm

Spatula

Kertas perkamen

Neraca analitik

Sukntikan

Beaker glass

V. Prosedur

A. Uji Kesesuaian Sistem

Pengujian dilakukan dengan meniginjeksikan berturut-turut

sebanyak 7 kali larutan standar ke dalam instrumen KCKT. Selanjutnya

luas area standar, waktu retensi, faktor ikutan dihitung nilai simpangan

14

Page 15: MAI 3.1.docx

baku relatif (SBR) nya. Uji dinyatakan memenuhi syarat apabila nilai

SBR < 2,0%.

B. Analisa Kualitatif

Larutan Standar

Sebanyak 25 mg larutan baku pembanding parasetamol ditimbang

dan dimasukan kedalam labu takar 50 mL. Kemudian diencerkan dengan

fase gerak hingga tanda batas. Dikocok larutan hingga homogen. Setelah

itu dipipet 1,0 mL larutan ke dalam labu takar 10 mL. Lalu diencerkan

lagi dengan fase gerak hingga tanda batas. Larutan disaring dengan

membran filter PTFE ukuran 0,45 µm. Larutan siap untuk diinjeksikan

kedalam alat KCKT.

Larutan Uji

Sebanyak 25 mg larutan baku pembanding parasetamol ditimbang

dan dimasukan kedalam labu takar 50 mL. Kemudian diencerkan dengan

fase gerak hingga tanda batas. Lalu larutan dikocok hingga homogen.

Setelah itu dipipet 1,0 mL larutan dan dimasukkan ke dalam labu takar

10 mL. Diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas. Kemudian

disaring larutan dengan membran filter PTFE ukuran 0,45 µm. Larutan

siap untuk diinjeksikan kedalam alat KCKT.

Setelah itu diinjeksikan masing-masing larutan uji kedalam alat

KCKT. Kromatogram yang terbentuk direkam dan dibandingkan

kromatrogam larutan uji dan larutan standar. (waktu retensi puncak

larutan uji harus sama dengan waktu retensi puncak larutan standar).

C. Analisis Kuantitatif

Larutan Standar

Sebanyak 25 mg larutan baku pembanding parasetamol ditimbang

dan dimasukan kedalam labu takar 50 mL. Kemudiaan diencerkan

dengan fase gerak hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen

(larutan stok baku pembanding prasetamol). Setelah itu dibuat

serangkaian pengenceran larutan standar untuk pembuatan kurva

15

Page 16: MAI 3.1.docx

kalibrasi. Dipipet masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; 1.0 dan 1.2 mL.

Diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas. Lalu disaring dengan

membran filter PTFE ukuran 0,45µm. Larutan siap untuk diinjeksikan

masing-masing larutan uji kedalam alat KCKT. Konsentrasi masing-

masing larutan kurva kalibrasi dihitung.

Larutan Uji

Sebanyak 25 mg larutan baku pembanding parasetamol ditimbang

dan dimasukan kedalam labu takar 50 mL. Diencerkan dengan fase gerak

hingga tanda batas. Kemudian dikocok larutan hingga homogen. Seelah

itu dipipet 1,0 mL larutan ke dalam labu takar 10 mL dan diencerkan

dengan fase gerak hingga tanda batas. Disaring larutan dengan membran

filter PTFE ukuran 0,45µm. Larutan siap untuk diinjeksikan masing-

masing larutan uji kedalam alat KCKT.

Cara Kurva Kalibrasi

Masing-masing serangkaian konsentrasi larutan standar dan larutan

uji diinjeksikan kedalam alat KCKT. Kemudian dicatat luas area

kromatogram masing-masing larutan standar dan larutan uji. Dengan

menggunakan kurva kalibrasi atau persamaan garis, dihitung kadar

larutan sampel.

Cara One Point

Luas area kromatogram salah satu larutan pembanding diambil

kemudian digunakan untuk menghitung kadar larutan sampel dengan

metode “One Point”. Kadar larutan ditentukan dengan rumus sebagai

berikut :

Cu= LuLs × Cs

Cu = konsentrasi larutan uji

Lu = luas area kromatogram larutan uji

Ls = luas area kromatogram larutan standar

Cs = konsentrasi larutan standar

16

Page 17: MAI 3.1.docx

Setelah itu kedua hasil penetapan kadar dibandingkan dan didiskusikan

hasil yang diperoleh.

VI. Data Pengamatan dan Perhitungan

A. Sistem Kromatografi

Fase diam : ODS / C18

Fase gerak : Air : Metanol = 3 : 1

Laju alir : 1, 5 ml/menit

Lempeng teoretis : 1000

Tailing factor : maksimal 2

Detector : uv 243 nm

1. Pembuatan Fase Gerak

Perbandingan fase gerak = Air : Metanol = 3 : 1

Volume fase gerak total = 200 ml

Air = 34 × 200 ml = 150 ml

Metanol = 14 × 200 ml = 50 ml

2. Tabel Uji Kesesuaian Sistem

INJEKSI WAKTU RETENSI LUAS AREA

1

2

3

4

5

6

7

3,703

3,653

3,640

3,627

3,620

3,610

3,600

39556682

39598523

39859842

39621511

39553181

39918548

39895501

Rata-rata 3,636 39714826,86

SD 0,34406533 167604,908

SBR 0,946237112 0,422021029

17

Page 18: MAI 3.1.docx

Nilai SBR < 2,0 % = maka sistem memenuhi syarat

B. Analisis Kualitatif

1. Pembuatan Larutan Standard dan Baku Pembanding

Bobot Baku Pembanding Paracetamol (uji) = 25,64 mg

Bobot Standar Paracetamol = 25,73 mg

Perhitungan Konsentrasi (PPM)

Standar =25,730,05 L = 514,6 PPM

Baku Pembanding (uji) =25,640,05 L

=512,8 PPM

2. Hasil Kromatogram

Berdasarkan pengujian dengan KCKT, waktu retensi puncak larutan

uji hampir sama (tidak jauh berbeda) dengan waktu retensi puncak

larutan standar paracetamol.

C. Analisis Kuantitatif

1. Pengenceran Larutan Standar

Pengenceran Berbagai Konsentrasi

1) V1.N1 = V2.N2

0,2. 514,6 = 10. N2

N2 = 10,292 PPM

2) V1.N1 = V2.N2

0,4. 514,6 = 10. N2

N2 = 20,584 PPM

18

Page 19: MAI 3.1.docx

3) V1.N1 = V2.N2

0,6. 514,6 = 10. N2

N2 = 30,876 PPM

4) V1.N1 = V2.N2

0,8. 514,6 = 10. N2

N2 = 41,168 PPM

5) V1.N1 = V2.N2

1,0. 514,6 = 10. N2

N2 = 51,46 PPM

6) V1.N1 = V2.N2

1,2. 514,6 = 10. N2

N2 = 61,752 PPM

2. Tabel dan Kurva Kalibrasi

[PPM] (x) LUAS AREA (y)

10,292

20,584

30,876

41,168

51,46

61,752

8823355

17009955

23471257

33161417

42046977

50185029

19

Page 20: MAI 3.1.docx

0.000 20.000 40.000 60.000 80.0000

100000002000000030000000400000005000000060000000

f(x) = 809531.94159125 x − 44627.9333333373R² = 0.99762813118317

Kurva Kalibrasi

Series2Linear (Series2)

Konsentrasi (ppm)

Luas

Are

a

3. Metode Kurva Kalibrasi

Waktu retensi larutan uji = 3,590

Luas area larutan uji (y) = 40531749

Maka konsentrasi larutan uji (x) adalah :

y = 809532x - 44628

809532x = y + 44628

809532x = 40531749 + 44628

809532x = 40576377

x = 40576377

809532

= 50,123 ppm

Kadar Uji (%) = 50,12325,64 x 100 %

= 195,48 %

4. Metode One Point

Cu = LuLs x Cs

= 4053174942046977 x 51,46 ppm

= 49,6055

20

y = 809532x - 44628

R² = 0,9976

Page 21: MAI 3.1.docx

Kadar Uji (%) = 49,6055

25,64 x 100 %

= 193,44 %

VII. Pembahasan

Pada percobaan ini dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif

terhadap sampel paracetamol dan pembanding paracetamol (standar) dengan

menggunakan instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Prinsip

dasar kromatografi Cair Kinerja Tinggi adalah pemisahan berdasarkan

perbedaan kepolaran komponennya. Dengan kata lain KCKT merupakan

suatu teknik pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan

kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fase diam dengan bantuan

dorongan dari pompa bertekanan tinggi. Adanya bahan pengisi didalam

kolom yang lebih kecil memperbaiki kecepatan analisis dan menghasilkan

pemisahan dengan daya pisah yang lebih baik. Ukuran kolom yang sangat

kecil menyebabkan diperlukan tekanan tinggi untuk mengalirkan fase gerak

melalui kolom. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan dan

pemurnian senyawa obat serta untuk analisis kuantitatif senyawa obat dalam

sediaan farmasetika. Selain itu KCKT juga digunakan dalam analisis

kualitatif senyawa berdasarkan pada parameter waktu retensi senyawa obat

sampel dan senyawa obat standar.

Salah satu alasan paracetamol dapat dianalisis dengan KCKT karena

paracetamol memiliki sifat polar dan gugus kromofor yang memiliki

kemampuan menyerap sinar uv yang terdapat pada detektor KCKT. Selain

itu paracetamol merupakan zat yang tidak mudah menguap dan mudah

dilarutkan dalam air dan memiliki berat molekul yang ringan. Dari beberapa

data yang menginformasikan sifat sampel, maka instrumen yang tepat

digunakan adalah KCKT dengan jenis kromatografi partisi fasa terbalik.

Fase terbalik merupakan kondisi dimana fase diam kurang polar

dibandingkan fase gerak. Penggunaan jenis kromatografi fasa terbalik ini

karena sample yang akan dipisahkan bersifat polar, oleh karena itu dalam

21

Page 22: MAI 3.1.docx

jenis kromatografi ini fasa gerak yang digunakan memiliki sifat yang polar

yaitu campuran antara air dan methanol dengan perbandingan 3 : 1. Air

merupakan senyawa yang bersifat polar dan metanol juga merupakan

senyawa polar sehingga campuran keduanya menghasilkan fase gerak polar.

Dalam fase terbalik, fase diam bersifat kurang polar, maka dapat digunakan

fase diam ODS atau C18. Fase diam Oktadesil silika (ODS atau C18)

merupakan kolom berisi silika yang bersifat polar yang kemudian

ditambahkan 18 atom C sehingga ODS bersifat non polar. Oktadesil silika

banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan

kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Oktadesil silika digunakan

pada percobaan karena sifat paracetamol yang polar sehingga senyawa

paracetamol tidak akan tertahan pada fase diam tetapi ikut keluar dengan

fase gerak yaitu campuran air dan methanol dan dideteksi oleh detektor,

sementara itu senyawa lain yang kurang polar akan tertahan pada oktadesil

silica (ODS).

Sebelum melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif maka dilakukan

terlebih dahulu uji kesesuaian sistem. Uji ini dilakukan dengan

menginjeksikan larutan standar secara berturut-turut sebanyak 7 kali

kedalam instrumen KCKT. Fungsi dari uji ini adalah untuk menilah apakah

sistem kromatografi yang diset sudah memenuhi syarat atau tidak. Dari hasil

pengamatan, nilai SBR pada uji kesesuaian sistem telah memenuhi syarat

yaitu < 2%. Pada SBR luas area didapat nilai 0,4220 % dan waktu retensi

0,94623 %. Hal ini menunjukan bahwa sistem kromatogram siap digunakan.

Pengujian pada larutan uji diawali dengan analisis kualitatif. Analisis

diawali dengan pembuatan sampel. Pada pembuatan sampel perlu dilakukan

penyaringan dengan PTFE 0,45 µm. Penyaringan ini dilakukan agar tidak

terjadi penyumbatan didalam kolom akibat ukuran partikel yang tidak

seragam dan terlalu besar. Dengan bantuan pompa bertekanan tinggi,

sampel masuk ke dalam kolom. Didalam kolom komponen-komponen

sampel dipisahkan berdasarkan kepolarannya. Paracetamol yang bersifat

22

Page 23: MAI 3.1.docx

polar akan keluar lebih dahulu bersama fase gerak dan dideteksi oleh

detektor.

Pada pengujian detektor yang digunakan adalah detektor UV-Vis

dengan panjang gelombang 243 nm. Detektor UV-Vis digunakan karena

paracetamol memiliki gugus kromofor yang dapat terbaca oleh detektor UV.

Panjang gelombang yang digunakan 243 nm karena merupakan panjang

gelombang maksimum dari paracetamol, dimana pada panjang gelombang

maksimum kepekaannya juga maksimal, serta hasil pengukuran akan linier

dan memenuhi hukum Lambert-Beer.

Hasil pengujian dengan KCKT menunjukkan bahwa kromatogram

dari larutan standar dan larutan uji hampir sama, selain itu waktu retensi

puncak larutan uji sama (tidak jauh berbeda) dengan waktu retensi puncak

larutan standar paracetamol. Hal ini menunjukkan bahwa dalam larutan

yang diuji terdapat senyawa yang sama seperti yang terdapat dalam larutan

stadar yang digunakan yaitu paracetamol.

Pengujian selanjutnya dilakukan dengan analisis kuantitatif untuk

menentukan kadar paracetamol dalam larutan uji. Analisis kuantitatif dapat

dilakukan dengan dua metode, yaitu metode kurva kalibrasi dan metode

‘one point’. Metode kurva kalibrasi yaitu dengan cara mengukur Absorban

(A) sampel pada beberapa konsentrasi (C), kemudian dibuat kurva kalibrasi

konsentrasi (C) terhadap absorban (A). Jika absorptivitas (a) suatu senyawa

pada lmax telah diketahui dari perhitungan atau literatur, maka kadar larutan

senyawa yang sama dapat dihitung. Larutan senyawa dengan kadar tidak

diketahui dibuat dalam pelarut yang sama dengan larutan senyawa yang

diketahui kadarnya. Kadar larutan pembanding harus dibuat sesuai dengan

kadar dimana hukum Lambert-Beer masih dipenuhi. Sedangkan metode One

Point digunakan untuk penentuan kadar secara rutin pada lmax, suhu pelarut,

dan instrumen yang sama. Larutan uji dibandingkan terhadap larutan baku

yang telah diketahui kadar dan kemurniannya.

Sebelum dilakukan analisis pada sampel, dibuat terlebih dahulu

larutan standar paracetamol dengan enam konsentrasi berbeda-beda.

23

Page 24: MAI 3.1.docx

Kemudian enam larutan standar tersebut di uji dengan KCKT dan didapat

luas area yang berbeda-beda. Dari nilai konsentrasi dan luas area inilah

dibuat kurva kalibrasi. Dimana konsentrasi bertindak sebagai sumbu x dan

luas area bertindak sebagai sumbu y. Dari hasil kurva kalibrasi tersebut

didapatkan persamaan regresi adalah y = 809532x - 44628. Dari persamaan

ini dapat ditentukan kadar dari paracetamol dalam larutan uji. Kemudian

larutan uji yang telah siap di uji dengan KCKT dan didapat luas areanya

40531749. Nilai tersebut dimasukkan kedalam persamaan regresi untuk

memperoleh kadar paracetamol dalam larutan uji. Dengan metode kurva

kalibrasi ini didapatkan kadar dari paracetamol dalam larutan uji adalah

195,48 %.

Kromatorgam yang baik memiliki puncak yang rucing atau lancip dan

kembali kegaris awal. Dalam kromatogram juga biasanya terdapat nilai

faktor pengekoran (tailing factor, TF). Kromatogram yang memberikan

harga TF =1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup

atau simetris. Harga TF > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami

pengekoran (tailing).  Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai

semakin kurang efisien. Dengan demikian harga TF dapat digunakan untuk

melihat efisiensi kolom kromatografi.

Selain itu penentuan kadar juga dilakukan dengan metode ‘one point’

menggunakan salah satu luas area dari larutan standar. Hasil yang

didapatkan dari metode ini adalah 193,44 %.

Hasil penentuan kadar larutan uji dengan metode kurva kalibrasi

adaalah 195,48 % sedangkan dengan ‘one point’ didapat 193,44%. Dari

hasil tersebut terdapat perbedaan hasil antara metode kurva kalibrasi dan

metode ‘one point’. Hal ini dapat dikarenakan pada metode ‘one point’

hanya menggunakan satu luas area dari larutan standar saja sebagai

pembanding yaitu larutan uji sandar 51,46 ppm, sedangkan pada metode

kurva kalibrasi menggunakan semua nilai luas area larutan standar pada

berbagai konsentrasi. 

24

Page 25: MAI 3.1.docx

Dari hasil analisis, didapatkan kadar parasetamol dalam bahan uji

adalah 195,48 %. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV persyaratan kadar

untuk parasetamol adalah mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak

lebih dari 101,0 %. Untuk itu dapat dinyatakan bahwa bahan uji yang

mengandung paracetamol tersebut tidak memenuhi persyaratan kadar yang

ditetapkan oleh Farmakope Indonesia IV.

VIII.Kesimpulan

Analisis Parasetamol dengan KCKT menggunakan fase terbalik

dimana fase gerak lebih polar dari fase diam.

Waktu retensi puncak larutan uji hampir sama (tidak jauh berbeda)

dengan waktu retensi puncak larutan standar paracetamol yang

menunjukkan Pbahwa sediaan uji mengandung paracetamol.

Kadar paracetamol dalam bahan uji menurut metode kurva kalibrasi

adalah 195, 48 %.

Kadar paracetamol dalam bahan uji menurut metode ‘one point’ adalah

193,44 %.

Bahan uji paracetamol tersebut tidak memenuhi persyaratan kadar

yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia IV.

IX. Daftar Pustaka

A.I,M. Keulemas. (1959). Gas Chromatography, Edisi ke-2, Reinhold

Publishing Corp, New York, Hal 2.

Cranswick, N., Coghlan D. (2000). Paracetamol Efficacy and Safety in

Children: the first 40 years, Clinical Pharmacologist, Royal

Children’s Hospital, Victoria, Hal 27.

Darsono, L., (2002). Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan

Parasetamol, JurnalIlmiah, Universitas Kristen Maranatha, Bandung,

Hal 33.

25

Page 26: MAI 3.1.docx

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta, Hal 649-650.

Ibnu G.G, Abdul. R, (2011). Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, Hal 378.

Johnsons. E.l dan Steveenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Institut

Teknologi Bandung, Bandung, Hal 52-54.

Katzung, BG. (2011). Farmakologi Dasa r & Klinik Edisi 10.

Diterjemahkan oleh AryandhitoWidhi N, Leo Rendy, Linda

Dwijayanthi, Buku Kedokteran EGD, Jakarta, Hal 484.

Mardjono M,. (1971). Neurologi Klinis Dasar. Dalam: Apparavo, P. 2011.

Penggunaan Parasetamol Oleh Pelajar SMA dan Tukang Becak,

Jurnal Ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan, Hal 15.

Merck. (2012). Lembar Data Keselamatan Bahan Menurut Persatuan (UE)

no.19071/2006. Dalam www.merck.chemicals.com (Diunduh hari

kamis, 10 maret 2016 pukul 19.43 WIB).

Rowe, Raymond., Shesky, Poul J., dan Quinn, Marian. (2009). Handbook

Of Pharmaceutical Exipients 6th ed, Pharmaceutical Press, Hal 776

dan 1189.

Rucker, G. (1988). Instrumentelle pharmazeutische Analytik : lehbuch zu

spektroskop, chrotograph.u. elektrochem.Analysemethoden/von, G.

Rucker. M. Neugebauer ; G.G. Wilems . Stuttgart : Wiss. Verl – Ges.,

Germany, Hal 165-168.

Sartono. (1996). Obat-obat Bebas dan Bebas Terbatas, Penerbit

PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 79.

Tjay T.H. (2002). Obat-obatan Penting Edisi Kelima, Cetakan Pertama.

PT.Elex Media Kommputindo. Jakarta. Hal : 135.

Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Non

Steroid dan Obat Pirai : Farmakologi dan Terapi edisi ke 4, Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal

217.

26

Page 27: MAI 3.1.docx

Yulida A.N. (2009). Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol Dalam Obat

Sediaan Oral Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT). USU Repository. Dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/

123456789/13985/1/09E02171.pdf. Hal : 11 (Diakses hari sabtu, 19

maret 2016 pukul 16.43 WIB).

27