198378180 Trauma Maxillofacial
Embed Size (px)
Transcript of 198378180 Trauma Maxillofacial
-
PENATALAKSANAAN PARIPURNA TRAUMA MAXILLOFACIAL
Penanganan trauma pada wajah dapat menjadi sulit. Tujuan terapi dapat dibagi menjadi tiga.
Pertama, mengembalikan bentuk asli wajah agar sedekat mungkin seperti semula dan tetap
memperhatikan fungsi estetika. Kedua, fungsi dari tulang-tulang wajah dan jaringan lunaknya
(soft tissue) harus dipulihkan. Tujuan akhirnya adalah meminimalisasi periode disabilitas.
PENDAHULUAN
Mekanisme Trauma
Penyebab tersering dari trauma maxillofacial adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab
lainnya antara lain perkelahian, kecelakaan sepeda motor atau sepeda, kecelakaan industri, dan
kecelakaan olahraga.
Pola dari perlukaan jaringan lunak (soft tissue) biasanya terletak pada daerah T, yang
meliputi dahi, area periorbita, hidung, bibir dan dagu. Lim et. al. menemukan dari
pengamatannya, bahwa lebih dari 50% korban kecelakaan kendaraan bermotor mengalami
trauma pada kepala dan tulang leher bersamaan dengan trauma pada wajah. Faktor-faktor yang
berperan adalah penggunaan alkohol dan obat-obatan serta masalah emosional.
Trauma Lain Yang Berhubungan
Sebagaimana halnya dengan semua pasien trauma, korban dengan trauma wajah harus diperiksa
menyeluruh untuk menyingkirkan adanya luka-luka lainnya. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh
dan pemeriksaan penunjang lainnya sangat penting. Hal ini termasuk pemeriksaan jalan napas,
mencari adanya sumber-sumber perdarahan, dan mendiagnosa adanya trauma pada otak dan
servikal.
Jalan Nafas (Airway)
Ancaman terjadinya asfiksia semakin besar dengan trauma yang luas pada mandibula atau
midfasial. Rongga mulut dan saluran hidung harus dibersihkan dari benda asing, gigi yang patah,
atau bekuan darah yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan. Fraktur mandibula yang tidak
stabil dapat mendorong lidah ke posterior dan menghalangi jalan napas. Pasien seperti ini
biasanya akan lebih senang untuk duduk. Hal ini dapat dilakukan jika dengan duduk tidak akan
1
-
menyebabkan trauma lainnya bertambah parah. Traksi rahang dan lidah ke anterior dan
penempatan oropharyngeal airway merupakan alternatif lain jika pasien tidak dapat duduk atau
dalam posisi telungkup. Pasien dengan perdarahan masif atau fraktur tulang hidung, maksila dan
mandibula dengan akibat edema soft tissue sangat riskan mangalami asfiksia. Intubasi
endotracheal atau pembebasan jalan nafas darurat lainnya seperti krikotiroidotomi diindikasikan,
khususnya pada pasien dengan trauma kepala dan reflek-reflek yang menurun.
Untuk fiksasi pada fraktur maksila dan mandibula, intubasi yang biasanya digunakan
adalah nasotracheal. Namun, intubasi orotracheal masih dapat digunakan bahkan pada kasus-
kasus dimana maxillomandibular fixation (MMF) diperlukan jika tube dapat diletakkan pada
celah antara gigi atau dibelakang molar terakhir. Teknik lainnya, dengan meletakkan tube di
sepanjang dasar mulut dengan insisi di daerah submental. Trakeostomi diindikasikan untuk
pasien dengan fraktur panfasial atau jika pemasangan endotracheal tube (ETT) akan
mengganggu jalannya operasi perbaikan, atau dengan trauma kepala atau dada yang tidak dapat
melindungi jalan napas mereka.
Perdarahan
Patah tulang displaced dan robekan pada wajah dapat menyebabkan kehilangan darah yang
banyak. Perdarahan yang mengancam jiwa ditemukan pada 5% fraktur maxilla tipe Le Fort.
Tujuh puluh persen dari perdarahan ini bersumber dari a. maxillari interna dan cabang-
cabangnya. Jika sumber perdarahan terletak superfisial, penekanan lokal, tampon atau ligasi
dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan. Reduksi temporer fraktur dapat
memperlambat perdarahan dari garis fraktur. Untuk perdarahan dari anterior hidung, tampon
hidung dapat digunakan untuk menghentikan sementara perdarahannya. Jika perdarahan
berhenti, tampon dapat dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari. Perdarahan posterior biasanya
bersumber dari a. maxillari interna. Daerah ini sulit untuk dijangkau dan dikendalikan. Untuk
penanganannya digunakan kateter Foley yang dipasang pada tiap-tiap lubang hidung, dan
balonnya dikembangkan sekitar 30-50 ml ditambah dengan pemasangan tampon disebelah
anterior dari balon. Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan ini ialah nekrosis palatum atau
columella.
Metode lainnya yang juga digunakan untuk mengendalikan perdarahan adalah
menggunakan dressing kompresi eksrternal atau Barton bandages yang mengelilingi kepala.
Tehnik ini sekarang sudah ditinggalkan dan jarang dilakukan. Untuk pasien yang perdarahannya
2
-
tidak dapat berhenti dengan tehnik-konservatif, embolisasi dengan tehnik radiografi merupakan
langkah selanjutnya. Namun tindakan ini memiliki komplikasi seperti palsi N. fasialis, nekrosis
lidah, dan stroke.
Trauma Otak
Ketika pasien dengan patah tulang wajah bersamaan dengan adanya trauma kepala, fokus
penatalaksanaan ditujukan untuk meminimalkan terjadinya iskemia sekunder karena edema otak,
lesi massa, dan hipothermi. Pasien dengan trauma kepala digolongkan berdasarkan Glasgow
Coma Scale (GCS). Sistem penggolongan ini penting dalam meramalkan prognosis, dan pasien
dengan GCS 3 memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk bertahan hidup. Prognosis juga
diperburuk dengan meningkatnya usia, penurunan tekanan darah arterial, hipertensi intrakranial,
dan posisi tubuh yang abnormal. Harus diingat bahwa, walaupun pasien berada dalam keadaan
koma, terapi pembedahan terhadap trauma fasial tidak merupakan suatu kontraindikasi. Pasien
dapat dimonitor tekanan intrakranialnya selama operasi.
Trauma Servikal
Pasien dengan trauma multipel, khususnya dengan trauma pada kepala dan wajah, harus
dianggap mengalami trauma medulla spinalis sampai terbukti sebaliknya. Diperkirakan sekitar
10% pasien dengan trauma wajah juga menderita trauma servikal. Sebaliknya 18 % pasien
dengan trauma servikal juga dengan trauma pada wajah. Fraktur mandibula dihubungkan secara
spesifik dengan trauma vertebra servikalis bagian atas (C1-2). Penelitian menunjukkan bahwa
trauma servikal ini sering diabaikan. Oleh karenanya, sangat penting untuk melakukan
penatalaksanaan pada pasien multitrauma seperti ini dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Timing Intervensi Pembedahan
Pada penatalaksanaan pasien dengan multitrauma, trauma yang mengancam nyawa mendapatkan
prioritas utama untuk mengoptimalkan survival. Setelah pasien distabilkan dan pasien dapat
mentoleransi pembedahan, trauma pada wajah dan fraktur yang ada harus diterapi secepatnya.
Hal ini akan mengoptimalkan estetika hasil, fungsi, dan membuat fiksasi terhadap fraktur
menjadi lebih mudah. Pasien lainnya mungkin tidak dapat dilakukan operasi karena luka yang
lebih dalam dan memerlukan terapi definitif. Robekan yang ada pada wajah pasien seperti ini
harus ditutup, dan fraktur yang ada secara kasar direduksi, dan bahkan bila perlu dipasang
maxillomandibular fixation (MMF). Kebanyakan dari ahli bedah akan memilih untuk menunggu
3
-
sampai edema menghilang, sebelum melakukan operasi pada tulang-tulang wajah. Pada kasus
apa saja, tidak direkomendasikan menunggu lebih lama dari dua minggu postrauma sebelum
dilakukan fiksasi tulang untuk menghindari terjadinya malunion, kontraksi jaringan, dan jaringan
parut.
Evaluasi Diagnostik Pasien Dengan Trauma Wajah
Diagnosis trauma wajah didasarkan atas pemeriksaan fisik menyeluruh dan penunjang
radiologis. Walaupun ada berbagai proyeksi foto wajah dan kepala, semua informasi yang
dibutuhkan dapat diperoleh dari CT-scan irisan coronal, axial dan sagital. Satu-satunya gambaran
radiologis yang dibenarkan adalah foto panorex mandibula dan tampak gigi.
Diagnosis trauma wajah lebih sulit pada anak-anak dan orang tua. Walaupun hanya
terlihat luka kecil seperti abrasi atau memar, bisa saja terjadi fraktur tulang. Pengobatan terhadap
robekan wajah tidak boleh ditunda dan bahkan dapat dilakukan di unit gawat darurat. Laserasi
dan luka-luka lain yang ada harus banyak diirigasi, dibersihkan,dan ditutup lapis demi lapis
untuk memperoleh hasil yang baik.
Tanda dan gejala dari trauma facial termasuk nyeri, krepitus, paralise dari saraf motorik
spesifik, hipo atau hiperestesia, gangguan tajam penglihatan, diplopia, maloklusi gigi, deformitas
wajah atau asimetri, robekan, memar, perdarahan, edema, ekimosis, dan kesulitan bernafas.
Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi terhadap adanya asimetri wajah dan deformitas.
Dilanjutkan dengan palpasi terhadap penonjolan tulang yaitu: os frontalis, rima orbita superior,
lateral, inferior dan medial, os nasal, arkus zygomaticus, eminentia malaris, maxillaris, tepi
mandibula, proc. alveolaris pada maxilla dan mandibula.
Pemeriksaan dan palpasi pada daerah periorbita harus dilakukan untuk memeriksa adanya
nyeri tekan, defek kontur, dan krepitus. Mungkin dapat ditemukan adanya dystopia (kedua bola
mata tidak dalam kedudukan yang sejajar), enophtalmus, proptosis, atau diplopia, yang
kesemuanya mengindikasikan adanya fraktur orbita, zygomaticum, atau maxillaris. Diperlukan
konsultasi ke bagian mata pada pasien dengan trauma di daerah tersebut.
Pemeriksaan hidung meliputi pemeriksaan intranasal untuk mencari adanya robekan atau
hematoma. Pemeriksaan eksternal meliputi pemeriksaan terhadap dorsum nasi, untuk mencari
adanya deformitas, deviasi, kolaps os nasi atau instabilitas, dan robekan.
4
-
Pada pasien yang sadar, otot-otot wajah (N VII) dan fungsi lidah (N XII) dapat dengan
mudah diperiksa. Pada pasien yang tidak sadar, evaluasi awal nervus kranialis menjadi tidak
mungkin. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan serial selang beberapa hari untuk memeriksa
fungsi saraf kranialis, saat pasien telah sadar dan kooperatif.
Pada pemeriksaan fungsi mengunyah, arkus dentis maksila dan mandibula diperiksa
untuk mencari adanya ketidakteraturan tulang, robekan, gigi yang goyah, hematom,
pembengkakan, krepitus, dan nyeri tekan atau goyang. Penutupan antar gigi geligi dan hubungan
antar mahkota gigi juga diperiksa, dan mungkin merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.
Trismus juga didapatkan pada fraktur maxillaris, mandibula, dan zygomaticum.
Pemeriksaan gigi yang hati-hati dilakukan untuk mencari adanya gigi yang berlubang, patah atau
lepas. Pada fraktur condyler dan subcondyler, menempatkan satu jari pada lubang telinga dan jari
lainnya pada caput condyler, memungkinkan pemeriksa untuk merasakan pergerakan rahang atau
krepitus. Sebagai tambahan, dapat pula ditemukan adanya darah atau cairan yang keluar dari
lubang telinga, yang dapat menunjukkan adanya laserasi, fraktur fossa kranialis media dengan
akibat kebocoran liquor, atau dislokasi condyler. Perdarahan dari hidung dapat menunjukkan
adanya trauma os nasi, fraktur Le Fort, fraktur orbital dan nasoethmoidale, atau fraktur fossa
cranii anterior. Pemeriksaan mobilitas maksila juga dilakukan untuk menentukan ada tidaknya
fraktur Le Fort. Akhirnya, adanya rhinorea karena kebocoran cerebrospinal fluid (CSF), dapat
dilihat pada keadaan fraktur basis anterior dan media, atau fraktur cribriform plate.
Pada pemeriksaan neurosensoris, mungkin ditemukan adanya hipoestesia atau anesthesia
pada distribusi salah satu cabang dari saraf trigeminal (N V). Hal ini menunjukkan adanya
fraktur yang terletak disepanjang tulang yang dilalui oleh saraf tersebut atau trauma yang
diakibatkan oleh laserasi jaringan lunak. Saraf ini bisa saja robek atau hanya mengalami kontusi,
yang dapat diduga dari adanya neuropraxia. Saraf yang mengalami neuropraxia umumnya dapat
pulih kembali. Cabang-cabang saraf ini berjalan melalui foramina, yang merupakan bagian
lemah dari tulang, sehingga ketika terjadi fraktur, dapat merusak saraf tersebut.
Imaging
Dengan ketersediaan kualitas dan resolusi gambar yang ada saat ini. CT scan telah menggantikan
peran foto polos biasa dalam membantu menegakkan diagnosis trauma maxillofacial. CT scan
kraniofasial meliputi irisan aksial, koronal dan sagital dengan tulang dan jaringan sebagai
5
-
jendelanya (soft tissue dan bone window). Pemeriksaan ini harus terlebih dahulu dilakukan
sebelum tindakan pembedahan. Jendela tulang (bone window) memungkinkan untuk secara
akurat melihat adanya fraktur. Proyeksi khusus semisal apek orbital, memungkinkan pembesaran
gambaran di daerah ini.
TRAUMA JARINGAN LUNAK
Etiopatogenesis
Penyebab terbanyak perlukaan jaringan lunak pada wajah adalah kecelakaan kendaraan
bermotor. Perlukaan ini meliputi: laserasi, abrasi, memar dan avulsi. Pendekatan terapi dan
komplikasi yang mungkin terjadi, sering tergantung dari jenis perlukaan. Oleh karenanya, mutlak
diperlukan deskripsi luka yang akurat. Secara kasar, 25 % dari laserasi wajah, juga diikuti oleh
adanya fraktur. Pengetahuan tentang anatomi wajah akan membantu evaluasi trauma soft tissue
yang potensial melibatkan saluran air liur, Nn kranialis V dan VII, otot-otot dan pembuluh darah
besar.
Anatomi
Penatalaksanaan trauma jaringan lunak memerlukan pengetahuan yang menyeluruh mengenai
anatomi wajah. Dari luar ke dalam berturut-turut: kulit, jaringan subkutan, superficial
musculoaponeurotic system (SMAS), jaringan areolar halus, dan mukosa. Memahami hal ini
akan membantu mengidentifikasi struktur yang terlibat dan memastikan luka-luka yang ada telah
ditutup dengan baik.
Nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stylomastoideus, memasuki
kelenjar parotis, berjalan pada sisi lateral wajah, ke dalam menuju otot-otot mimik wajah, dan
menginervasinya pada permukaan sebelah dalam. Perkecualian pada inervasi sisi dalam ini
adalah pada m. buccinators, levator labii superioris, orbicularis oris, dan depressor angularis oris.
Kelenjar parotis terletak pada sisi lateral dari wajah dari arkus zygomatikus di superior,
sampai angulus mandibula di inferior, dan telinga di posteriornya dan pertengahan pipi sebagai
batas anteriornya. Saluran kelenjar parotis berjalan sepanjang garis melintang, mulai dari tragus
sampai ke pertengahan bibir atas dan bermuara ke rongga mulut, dan melalui duktus Stensen,
berlawanan dengan molar kedua maksila. Duktus ini sering berjalan bersamaan dengan cabang
6
-
buccal dari N. fasialis dan sering terjadi keduanya terluka bersamaan pada saat terjadinya laserasi
pada sisi lateral dari wajah.
Suplai darah berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna- facial, maxillaris interna,
dan temporalis superfisialis. Pada daerah basis cranii, cabang-cabang dari V. Jugularis Interna
dan sirkulasi intrakranial memiliki komunikasi tanpa katup.
Pembuluh limfe bermuara ke posterior dan lateral. Jaringan yang terlepas dapat
menghambat drainase limfa, yang sering mengakibatkan lymphedema. Kelainan kontur wajah
dapat terjadi sebagai akibat deformitas oleh karena adanya bulging jaringan lunak.
Gambar 1. Anatomi maxillofacial
7
-
Gambar 2. Vaskularisasi
Diagnosis
Sebelum pemeriksaan trauma fasial, terapi awal dari pasien dengan trauma wajah difokuskan
pada manajemen kondisi yang mengancam jiwa. Setelah dilakukan pemeriksaan awal ini,
pemeriksaan terhadap trauma wajah dapat dilakukan. Pemeriksaan harus dilakukan menyeluruh
dan teliti serta sistematis untuk menghindari adanya trauma yang terlewatkan. Pemeriksaan dapat
dimulai dari vertek dan berlanjut ke kaudal dari puncak kulit kepala sampai dasar leher.
Tujuan dilaksanakannya pemeriksaan luka pada jaringan lunak adalah untuk
mengidentifikasi kerusakan yang terjadi dan keberadaan benda-benda asing. Ujung struktur yang
terpotong, jika diisolasi dapat dibuat untuk bisa diperbaiki di kemudian hari. Benda-benda asing
dapat menyebabkan risiko terjadinya infeksi bertambah karena jumlah inokulum yang diperlukan
menjadi berkurang dari 105 menjadi 102 per gram jaringan.
Perdarahan yang terjadi dikontrol terlebih dahulu dengan penekanan (kompresi), namun
pada akhirnya harus diligasi secara hati-hati. Tehnik hemostasis dengan menggunakan kauter,
harus berhati-hati, karena berisiko merusak saraf, lemak atau otot di sekelilingnya. Jika
perdarahan berlangsung lama, maka penyelidikan lebih lanjut dengan arteriografi diperlukan.
8
-
Hemostasis yang buruk dapat berakibat terjadinya hematoma. Seperti hematoma di derah
lain dari tubuh. Hematoma yang terjadi di daerah wajah merupakan daerah yang tanpa
vaskularisasi, sulit dicapai oleh antibiotik dan sel darah putih. Biasanya hematoma akan hilang
sendiri, namun memerlukan waktu yang agak lama. Waktu ini dapat dipersingkat dengan
meletakkan pemanas dengan kehangatan dan kelembaban yang cukup, dimulai dari hari ke-3
setelah trauma. Terkadang hematoma terlokalisir dan dianggap sesuai untuk evakuasi. Proses ini
dilakukan dengan anestesi umum, dengan ujung suction dimasukkan ke daerah hematom melalui
insisi. Pasien harus diingatkan tentang risiko terjadinya hiperpigmentasi ketika hematom terpapar
sinar matahari.
Anestesi umum atau lokal khususnya diperlukan sewaktu proses pemeriksaan pada pasien
pediatri. Dokumentasi imaging yang cukup baik dalam hal kualitas dan kuantitas, juga
diperlukan dalam pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan bagi pasien, untuk mengetahui
luasnya luka dan efektivitas pengobatan yang dilakukan.
Kontaminasi tergantung dari waktu yang terlewat setelah terjadinya trauma. Semakin
lama jarak waktu antara terjadinya perlukaan dan saat pembersihan luka, maka akan semakin
besar pula risiko kontaminasi. Semakin lama waktunya, maka diperlukan tindakan pembersihan
yang lebih agresif seperti misalnya, debridemen, irigasi tekanan tinggi, dan scrubbing
(menyikat).
Permukaan kulit yang terkontaminasi, harus dibersihkan dari benda-benda asing.
Dermabrasi superfisial yang terjadi berisiko untuk meluas sampai ke lapisan lebih dalam dan
menyebabkan jaringan parut hipertrofi yang menonjol. Sisi luka yang koyak dan mati harus di
eksisi tajam. Biasanya dengan melakukan 1-2mm eksisi pada tepi luka, sudah mencukupi untuk
mengubah luka traumatik menjadi luka eksisi bedah yang akan menghasilkan penyembuhan dan
tampilan kosmetik yang lebih baik. Eksisi yang sangat konservatif direkomendasikan pada
daerah-daerah kritis seperti: palpebra, alis, cuping hidung dan vermillion border. Pertimbangan
pemberian imunisasi tetanus pada semua trauma facial juga diperlukan, oleh karena potensi
kontaminasi pada luka. Dengan adanya kontaminasi yang jelas dan tanpa riwayat imunisasi
sebelumnya, maka direkomendasikan untuk diberikan injeksi 250 IU tetanus Ig, bersamaan
dengan 0,5 ml vaksin tetanus. Imunisasi diselesaikan dengan dua booster tambahan pada interval
bulanan.
9
-
JENIS - JENIS TRAUMA JARINGAN LUNAK WAJAH DAN
PENATALAKSANAANNYA
Laserasi
Hal yang paling penting untuk diingat dalam memperbaiki luka robekan pada wajah adalah
eksisi tepi marginal luka dan penutupan berlapis. Luka dengan tepi tidak teratur, hancur dan
mengandung jaringan mati diubah menjadi lurus dengan insisi yang akan meningkatkan
kosmetik pada waktu penutupan dan juga mengurangi risiko terjadinya infeksi. Tahapan dasar
dalam penutupan luka meliputi perbaikan struktur-struktur yang lebih dalam terlebih dahulu
yaitu; tulang, kelenjar, duktus dan saraf. Diikuti dengan aproksimasi terhadap otot, lemak,
dermis dan epidermis. Penggunaan jahitan dengan benang halus yang dapat diserap hendaknya
cukup kuat untuk mempertahankan penyatuan kulit setelah jahitan kulit dilepaskan pada hari ke-
3 dan ke-5. Pengangkatan jahitan lebih dini, yaitu pada hari ke-5 dan ke-7 post operasi,
mencegah terbentuknya bekas jahitan dan jaringan parut. Dokter harus selalu menginformasikan
kepada pasien atau anggota keluarganya bahwa, mungkin akan diperlukan rekonstruksi ulang
dikemudian hari.
Luka Gigitan
Luka gigitan binatang atau manusia sering dijumpai. Point penting yang harus diingat adalah (a)
kemungkinan terjadinya kontaminasi yang tinggi oleh karena flora oral yang banyak, dan (b)
penggunaan antibiotika sistemik merupakan terapi standar. Irigasi yang banyak dan eksisi tajam
dari tepi luka yang terkontaminasi, selanjutnya diikuti dengan pemberian profilaktik antibiotika
dengan Penicillin untuk mencegah potensi infeksi dari Pasteurella multocida dari gigitan kucing,
dan antibiotika spektrum luas untuk gigitan manusia (gram +, gram -, bakteri aerob dan anaerob).
Wajah adalah salah satunya daerah yang dipertimbangkan untuk penutupan luka secara primer,
namun debridemen dan irigasi harus menyeluruh.
Trauma Nervus Fasialis Dan Otot
Inspeksi yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik, mungkin menunjukkan adanya robekan
dari nervus facialis. Pada daerah di sebelah distal dari garis yang ditarik secara vertikal dari
kantus lateral, memiliki percabangan-percabangan dan komunikasi saraf yang luas, sehingga
mengurangi terjadinya defisit fungsional saraf ketika terjadinya luka pada daerah ini. Walaupun
10
-
demikian, jika ditemukan luka, maka hendaknya ujung saraf yang terpotong harus diisolasi dan
disambungkan dengan tehnik microsurgery dalam waktu 72 jam.
Penyambungan otot akan memungkinkan regenerasi saraf pada taraf tertentu melalui
neurotisasi. Selain itu, keseimbangan dan aktivitas pergerakan otot-otot wajah akan lebih baik
dipulihkan dengan penyatuan otot-otot.
Trauma Nervus Trigeminus
Saraf sensoris pada wajah memiliki percabangan yang luas, yang menimbulkan pertanyaan
apakah mutlak diperlukan suatu perbaikan. Perkecualian dibuat jika laserasi saraf terjadi
berdekatan dengan foramen-foramen tengkorak (supraorbital, infraorbital, dan mental).
Umumnya, seseorang melakukan perbaikan saraf sensoris, dengan maksud untuk mencegah
terbentuknya neuroma yang menyakitkan.
Trauma Kelenjar Parotis
Bukti adanya trauma pada duktus parotideus bisa dikonfirmasi dengan melakukan irigasi
retrograde pada duktus Stensen, walaupun untuk melihat ekstravasasi cairan yang menuju ke
luka. Perbaikan pada duktus diikuti dengan perbaikan pada tulang. Duktus parotideus berjalan
sepanjang garis tengah ketiga dari tragus ke titik tengah bibir bagian atas. Saraf fasial cabang
buccalis terletak sangat dekat dengan duktus parotideus pada daerah tersebut.
Perbaikan pada duktus parotideus meliputi dilatasi pada orifisium intraoral dengan
lakrimal dilator, yaitu insersi tube kecil silikon ke ujung duktus yang berfungsi sebagai stent dan
menjahit ujung duktus diatas tube silikon dengan benang 8.0 yang tidak diabsorbsi. Tehnik
microsurgery dapat digunakan. Ligasi duktus parotideus tidak direkomendasikan untuk dua
alasan. Pertama, adanya pertimbangan dapat terjadinya pembengkakan kelenjar dengan atropi
sekunder dan yang kedua, munculnya infeksi kronis yang memerlukan dilakukannya
parotidectomy. Sebaliknya, kerusakan terhadap kelenjar atau pembuluh darah submandibular
dapat diatasi dengan ligasi pembuluh. Eksisi kelenjar merupakan pilihan lain untuk trauma
kelenjar submandibular.
Trauma Kelopak Mata
11
-
Sebelum kelopak mata diperbaiki, inspeksi dan pemeriksaan bola mata yang teliti adalah hal
yang terpenting. Hal ini harus didahulukan daripada perbaikan jaringan lunak. Konjungtiva,
tarsal, septal, levator, dan orbicularis oris dapat diperbaiki dengan menggunakan benang yang
dapat diabsorbsi. Terjadinya ptosis akibat gangguan pada levator jika tidak dilakukan perbaikan.
Dalam penutupan lapisan eksternal, menjarit dengan mengikat bola mata untuk menghindari
iritasi kornea dan konjungtiva.
Kecacatan kelopak mata dapat ditutupi dengan mobilisasi kelopak dan lateral
canthotomy. Hal tersebut melepas sisa kelopak bawah untuk mobilisasi medial. Penutupan kulit
dilakukan dengan penjaritan yang hati-hati. Ketepatan alignment of gray line, batas kelopak
internal, dan silia merupakan hal yang krusial untuk estetika dan reparasi fungsional. Dalam
menutup kecacatan kelopak mata, potensial untuk terjadinya ektropion sehingga harus
diwaspadai. Ektropion dapat terjadi bila kelopak mata berkontraksi terhadap jaringan parut dan
sklera bisa terlihat. Teknik untuk mencegah komplikasi tersebut adalah berhati-hati dan haruslah
sangat cermat serta teliti dalam menutup semua lapisan anatomi setelah lingkaran orbita inferior
terpapar yang dapat dilakukan dengan tehnik Frost sutura (gambar 3) pada margin kelopak mata
selama 24 sampai 48 jam untuk mempertahankan panjang kelopak yang tepat. Adanya perawatan
dan campur tangan dari ahli bedah plastik dapat membantu memberikan hasil akhir yang
optimal.
Gambar 3. Frost suture
Trauma Sistem Lakrimal
12
-
Trauma pada daerah kantus medial dapat menyebabkan kerusakan pada kanalikuli lakrimale atau
kantungnya. Hal ini dapat dinilai dengan kanulasi punktum pada pemeriksaan lakrimale. Adanya
laserasi dibuktikan dengan pemeriksaan visualisasi pada luka. Jika terdapat trauma, punktum
dikanulasi dengan tube Crawford yang terpasang melalui hidung dan dibiarkan selama 4 minggu.
Jika kanulasi tidak mungkin dilakukan, tetap dilakukan perbaikan pada laserasi. Perlu
dilakukannya dacryocystorhinostomy jika terjadi epifora.
Laserasi Nasal
Karena letaknya menonjol, hidung biasanya disertai dengan trauma jaringan lunak yang lainnya
pada wajah. Untuk mempertahankan kontur nasal diperlukan penanganan terpisah terhadap
kecacatan pada kulit, kartilage, dan mukosa membrane dan debridemen sebaiknya dilakukan
minimal. Mukosa nasal direparasi dengan chromic suture. Sedangkan kartilage direparasi dengan
monofilament suture. Untuk kulit juga direparasi dengan monofilament suture dengan eversi
yang baik dari tepi kulit. Avulsi jaringan lunak dapat direkonstruksi dengan flap lokal atau
regional untuk memperbaiki mukosa, tulang rangka, dan kulit eksternal. Penggunaan cartilage
graft terkadang diperlukan. Adanya hematom septum sebaiknya dievakuasi untuk mencegah
perforasi septum yang potensial.
Laserasi Bibir
Reparasi jaringan lunak wajah yang didiskusikan pada hal ini mempunyai pokok-pokok yang
harus diperhatikan yaitu penutupan lapisan dan penjajaran tepi yang tetap. Tidak dimanapun
pada wajah, perhatian terhadap rinciannya lebih penting daripada margin vermilion bibir. Kulit,
orbikularis oris, dan mukosa seharusnya dijajarkan dan direparasi dengan tepat, khususnya pada
pars orbikularis oris (anyaman tebal otot orbikularis) disebelah bawah dari vermilion bibir.
Vermilion sebaiknya diberi tanda dengan methylene blue sebelum pemberian anastesi lokal,
yang dapat mengubah petunjuk. Walaupun posisi vermilion yang tepat sangatlah penting, satu
hal yang perlu diingat bahwa perkiraan otot orbikularis membentuk penjajaran vermilion. Seperti
pernyataan sebelumnya, debridemen pada daerah bibir sebaiknya diminimalkan, khususnya pada
area Cupid bow (simpul). Bisa terjadi kelainan bentuk yang tidak dapat dikoreksi.
Trauma Alis
13
-
Seperti pada robekan bibir, trauma pada alis harus diterapi dengan debridemen yang minimal.
Ketebalan alis bervariasi menurut panjangnya. Adanya reseksi yang dilakukan akan
menyebabkan timbulnya deformitas alis yang berupa terpotongnya sebagian alis. Deformitas
demikian hanya dapat diperbaiki dengan transplantasi alis. Penyambungan luka yang dilakukan
harus memperhatikan adanya trauma pada N. Supraorbital.
Trauma Daun Telinga
Seperti trauma yang terjadi pada hidung, penonjolan aurikula akan menyebabkan sering terjadi
trauma. Sering terjadi pula terbentuk hematoma. Hematoma yang terjadi harus dievakuasi dan
dicegah supaya tidak terjadi lagi. Bisa juga dilakukan pemasangan drain selama 24 jam untuk
mengurangi pembentukan hematoma. Hematoma yang tidak dievakuasi dapat menyebabkan
deformitas berupa fibrosis dan cauliflower ear. Apabila terjadi avulsi jaringan, maka jaringan
ini dibungkus dengan gaas steril yang telah dibasahi saline steril, kemudian ditempatkan dalam
kantong plastik, sebelum ditaruh dalam wadah berisi es. Jika luka yang terjadi sampai ke liang
telinga, laserasi yang terjadi diperbaiki dan kanalis diberikan penyangga (stent) untuk mencegah
stenosis.
Avulsi Jaringan
Trauma avulsi atau kehilangan jaringan yang menyebabkan penutupan primer tidak dapat
dilakukan, dapat terjadi. Luka besar ini dapat diperbaiki dengan undermining local, flap lokal
atau skin graft. Daerah dengan vaskularisasi yang jelek dapat ditutup dengan penutupan primer
tertunda.
TRAUMA PADA TULANG WAJAH
Fraktur Sinus Frontalis
Epidemiologi
Fraktur sinus frontalis relatif jarang sebagai kelanjutan trauma fasial, sekitar 5-15% dari fraktur
fasial. Pada umumnya, 60% cedera pada sinus frontalis meliputi trauma pada lapisan anterior
dan posterior. Fraktur pada lapisan anterior terjadi pada 33% kasus, dan sisanya terjadi pada
lapisan posterior.
14
-
Anatomi
Sepasang sinus frontalis tidak berisi udara hingga berusia 2 tahun. Sinus frontalis secara
radiografi baru dapat terlihat berisi udara setelah usia 8 tahun Pneumatisasi tidak terjadi hingga
berusia 15 tahun, dengan maksimal ekspansi tidak tercapai sampai usia 19 tahun. Struktur sinus
frontalis dibatasi pada bagian anterior dengan lapisan anterior dan bagian posterior dengan
lapisan posterior, bagian superior oleh dasar fossa cranii anterior, bagian inferior oleh atap orbita,
dan pada bagian medial oleh septum intersinus.
Jika terdapat cedera sangat penting dilakukan identifikasi terhadap frontonasal duct
(FND). Sebab struktur tersebut merupakan bagian yang paling anterior dan superior dari
komplek ethmoidale anterior, yang berperan utama dalam pengaliran sinus frontalis menuju
meatus media. Batas-batasnya adalah processus uncinatus pada bagian anterior, anterior
ethmoidale air cells pada bagian posterior, bagian medial dari middle turbinate pada medial, dan
lamina papyracea atau suprainfudibular plate pada bagian lateral.
Arteri yang mensuplai sinus frontalis berasal dari arteri supraorbital, supratrochlear, dan
ethmoidale anterior. Sedangkan sistem vena terbagi menjadi vena superfisial dan profunda.
Aliran vena superfisial melewati vena angular, sedangkan vena profunda menuju sistem vena
subdural melalui foramina Breschet. Aliran limfe mengikuti meningeal dan limfe rongga hidung.
Kompleksitas dari sistem-sistem tersebut berisiko untuk terjadinya meningitis atau abses otak
setelah terjadinya fraktur sinus frontalis walau tidak adanya fraktur dinding posterior.
Diagnosis
Setiap laserasi, hematoma, atau ekimosis dari daerah dahi dan regio glabella, harus diwaspadai
untuk kemungkinan terjadinya fraktur. Dapat terjadi ekimosis subkonjungtival dan adanya
kebocoran liquor dari hidung. Jika dicurigai adanya kebocoran liquor, uji halo atau analisa
laboratorium dari cairan yang diambil dari hidung untuk deteksi beta-2 transferin, dapat
digunakan untuk mengenali liquor. Sebagai tambahan, seluruh daerah harus dipalpasi untuk
mencari adanya ketidakteraturan tulang (mis, deppresi, krepitus), dengan perhatian ditujukan
pada rima orbitalis superior. Dapat terjadi anesthesia pada disribusi dari nervus supraorbital.
Pembengkakan yang terjadi dapat mengaburkan adanya depresi pada beberapa hari pertama
setelah trauma. Dalam mendiagnosis fraktur sinus frontalis tidak cukup dengan pemeriksaan fisik
yang baik namun diperlukan pemeriksaan tambahan imaging.
Analisis Radiografi
15
-
Untuk penilaian pada trauma sinus frontalis, pemeriksaan imaging yang utama adalah CT-scan
irisan axial dan coronal. Evaluasi lengkapt meliputi penentuan terlibatnya dinding anterior dan
posterior, ada tidaknya fraktur displaced, dan trauma pada intrakranial atau FND. Tidak
berfungsinya duktus ditunjukkan dengan adanya air-fluid level pada sinus frontalis.
Patognomonis FND pada CT meliputi adanya fraktur komplek ethmoidale anterior dan fraktur
dasar sinus frontalis. Pada fraktur yang kecil tidak selalu dapat diidentifikasi dengan radiografi,
terutama nondisplaced.
Penatalaksanaan
Pilihan terapi yang ada meliputi bedah dan non bedah. Adanya fraktur pada tabula anterior,
posterior, dan FND mengindikasikan perlunya intervensi bedah yang harus dilakukan paling
tidak dalam minggu-minggu pertama. Terapi dini menurunkan insiden komplikasi jangka
panjang.
Adapun indikasi dilakukannya intervensi bedah yaitu depresi pada tabula anterior,
keterlibatan FND pada pemeriksaan radiografi, teridentifikasi obstruksi FND dengan
ditemukannya persisten air-fluid level atau terbentuknya mucocele, fraktur displaced pada tabula
posterior yang yang kemungkinan mencederai duramater, dan adanya kebocoran CSF tanpa
resolusi setelah hari ke 4 hingga ke 7. Pada fraktur yang nondisplaced dan simpel linear
seringkali tidak memerlukan pembedahan.
Fraktur Dinding Anterior
Intervensi pembedahan untuk fraktur dinding anterior ditentukan oleh derajat displacement
tulang dan kominutif begitu pula dengan lokasi fraktur (mis. fraktur rima supraorbital). Fraktur
dinding anterior yang nondisplaced diterapi secara konservatif, dengan pemberian antibiotika
selama 7 hari dan dilakukan follow up dengan CT-scan lanjutan setelah 12 bulan. Perhatian
ditujukan kepada ada tidaknya infeksi lanjut dan pembentukan mucocele, yang memerlukan
follow up jangka panjang.
Biasanya, gangguan fungsi estetika yang disebabkan oleh adanya depresi tabula anterior,
memerlukan perbaikan dengan pembedahan untuk mengembalikan kontur dari dahi. Eksposure
yang baik dari lapangan operasi sangat diperlukan untuk menjamin kontur tulang yang baik.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan kontur yang tepat agar tidak mengganggu fungsi
kosmetis dari os frontal dan derah fronto-orbital. Bone graft mungkin diperlukan jika terjadi
fraktur kominutif atau kontaminasi pada tulang yang patah.
16
-
Fraktur Dinding Posterior
Fraktur dinding posterior yang terisolasi jarang terjadi. Fraktur dinding posterior biasanya
disertai juga dengan fraktur dinding anterior. Jika fraktur dinding posterior adalah nondisplaced,
adanya kerusakan FND dan/atau kebocoran liquor mengarahkan dilakukannya intervensi
pembedahan. Fraktur nondisplaced tanpa kebocoran liquor diterapi secara konservatif dengan
pengawasan ketat. Rhinorrhea liquor, jika ada, dapat diterapi awal dengan elevasi kepala 30
derajat, dan pasien diharuskan tirah baring total. Jika kebocoran terjadi melebihi 4 hari, drainase
spinal dapat dipertimbangkan untuk mempercepat resolusi.
Pembedahan diperlukan pada fraktur dinding posterior dengan displaced yang bermakna,
fraktur kominutif, atau fraktur yang nondisplaced dengan kebocoran liquor yang persisten.
Tatalaksana terdiri dari kranialisasi dari sinus frontal. Prosedur ini melibatkan pengangkatan dari
keseluruhan dinding posterior diikuti dengan perbaikan robekan dura oleh ahli bedah saraf.
Fraktur Duktus Frontonasal
Pentingnya mengidentifikasi fraktur FND pada trauma sinus frontal tidak boleh terlalu
ditekankan sebagai indikasi absolut pembedahan. Lebih jauh, oleh karena trauma FND
menyertai sekitar 55% dari keseluruhan fraktur sinus frontal, maka diperlukan kemampuan untuk
mengenali FND trauma baik secara radiologis maupun intraoperatif.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya fraktur sinus frontalis yaitu deformitas kontur
sehingga tidak estetika, infeksi, terbentuknya mucocele, trauma intrakranial, kebocoran CSF, dan
cedera pada mata.
Fraktur Orbita
Anatomi
Orbita (lekuk mata) terbentuk dari maxilla, zygomaticum, ethmoidale, os frontal, os lacrimale,
ala major dan minor osiss sphenoidalis, dan os palatinum. Rongga orbita seperti cone, namun
batas-batasnya jelas baik dinding medial, lateral, superior, dan inferior (gambar 4). Dinding
superior cukup tipis namun jarang terjadi fraktur pada regio tersebut sebab adanya proteksi dari
os frontal dan sinus dan rima orbita yang tebal. Anak-anak predisposisi terjadi fraktur atap
karena craniumnya lebih besar dan sinus frontal tidak terdapat udara. Dinding lateral dibentuk
oleh os frontal, zygomatikum, dan ala major osiss sphenoidalis, sehingga dinding lateral menjadi
17
-
kuat dan jarang terjadi fraktur. Yang umum terjadi adalah fraktur zygomatikum, dimana zygoma
berartikulasi dengan ala major osiss sphenoidalis.
Dinding inferior relatif lemah dan rentan terjadi fraktur. Sama halnya dengan dinding
medial yang lemah dibentuk dari os lacrimale dan lamina papyracea dari ethmoidale yang tipis.
Pada regio tersebut, sakus lacrimale dapat menglami trauma. Begitu juga, tendon kantus medial
dapat mengalami avulsi atau disrupsi.
Gambar 4. Anatomi os orbita
Biomekanika Trauma
Mekanisme terjadinya fraktur pada dasar dan dinding medial, melalui transmisi kekuatan
langsung pada rima orbita dan transmisi kekuatan dari bola mata dan isi orbita yang lainnya
(gambar 5).
18
-
Gambar 5. Blowout fraktur
Evaluasi Klinis
Gejala klinis fraktur blowout yang paling umum adalah diplopia dan enopthalmos. Selain itu,
dapat ditemukan terjadinya epistaksis, emfisema orbita yang dapat menyebabkan oklusi arteri
retina, neuropati trauma optikal, kebutaan retrobulbar, dan hipo- atau anatesia pada distribusi
persarafan infraorbita. Darah dapat berakumulasi pada sinus maxillaris dan menyebabkan
epistaksis.
Emery, dkk mengobservasi diplopia pada fraktur blowout, bahwa terjadi perbaikan dalam
15 hari pada 55% pasien dan persisten pada 27%. Diplopia terjadi akibat adanya restriksi
pergerakan okuli. Bermanifestasi pada penglihatan sentral, yang sangat bermasalah atau pada
pandangan perifer. Penyebab mekanis diplopia adalah restriksi pergerakan akibat
terperangkapnya isi intraorbita (otot rektus, ligament Lockwood, lemak periorbita, atau kapsula
Tenon) oleh fraktur, yang dapat dibuktikan dengan tes forced duction, yaitu gagalnya bola mata
untuk bergerak pada arah yang ditentukan. Namun tes tersebut tidak selalu akurat pada keadaan
akut. Penyebab nonmekanis diplopia akibat cedera pada otot ekstraokuli, cedera saraf pada otot
ekstraokuli, edema, dan hematoma.
Enopthalmus diukur dari perbedaan antara permukaan kornea dan rima orbita lateral.
Pada pemeriksaan didapatkan pseudoptosis dan sulkus superior diatas kelopak mata bagian atas.
Enopthalmus dapat dinilai secara objektif menggunakan Herthel exophthalmometer, yang
bermakna jika terdapat perbedaan 3 mm antara kedua mata.
19
-
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada mata seperti tajam penglihatan (visual acuity),
reaktivasi pupil, pergerakan mata, lapang pandang, tekanan intraokuli (TIO), dan fundoskopi.
Tes forced duction dengan anastesi topikal dapat dilakukan sebelum pemeriksaan seperti diatas
dilakukan. Jika adanya pergerakan mata yang abnormal dapat disimpulkan adanya cedera pada
otot okuli atau pada saraf 3, 4, atau 6.
Evaluasi radiografi sangatlah penting dengan CT-scan irisan axial dan coronal. CT-scan
adalah gold standar untuk diagnosis fraktur blowout dan pemeriksaan radiografi lainnya kadang
tidak dibutuhkan. Pada CT-scan dapat dilihat karakteristik fraktur dan visualisasi adanya cedera
pada soft tissue seperti otot ekstraokuli. Pada irisan sagittal dapat dilihat adanya hubungan antara
fraktur dan axis dari bola mata, dimana pada fraktur blowout hubungan tersebut berpengaruh
pada pasien yang predisposisi terjadi enopthalmos. Volume orbita dapat diperkirakan dengan
CT-scan. Jika terdapat defek >1 cm2 pada dasar orbita direkomendasikan untuk dilakukan
pembedahan.
Tatalaksana
Indikasi dilakukan pembedahan pada fraktur orbita jika terdapat enopthalmos > 2mm, diplopia
yang persisten (>2 minggu), terbukti adanya penjeratan soft tissue pada CT-scan atau tes forced
duction, ditemukan defek pada dasar orbita yang besar (>1 cm2), dan hipoglobus yang bermakna.
Insisi yang digunakan saat ini melalui insisi transkonjungtiva, subsiliari, dan subtarsal.
Dasar orbita dapat dicapai dengan pendekatan Caldwell-Luc, yaitu insisi pada gingivobuccal atas
dan menilai dasar orbita dengan antrotomy maxillaris. Selain itu bisa menggunakan endoskopi.
Insisi transkonjungtiva tidak meninggalkan jaringan parut tetapi bisa terjadi pemendekan kelopak
mata bagian bawah dan enteropion.
Metode primer untuk memfiksasi fraktur dasar orbita adalah rekonstruksi dasar pada
tulang atau menggunakan material alloplastik. Material graft autogenous antara lain split
cranium membranous bone, iliac bone, split rib, kartilage, dan fasia lata, yang memiliki risiko
infeksi rendah namun dapat diserap. Sedangkan implan alloplastik seperti titanium mesh,
polymer yang dapat dan atau tidak terabsorbsi, Teflon, Supramyd, Silastic, Gelfilm, dan lain-
lainnya, yang memberi keuntungan tidak menyebabkan morbiditas pada donor dibandingkan
dengan graft autogenous.
Komplikasi
20
-
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi, tidak tumbuhnya vaskularitas, persisten diplopia,
persisten enopthalmos, retraksi pada kelopak mata bawah, dan superior orbital fissure syndrome
(SOFS).
Infeksi terjadi karena pemasangan implan yang memiliki pseudokapsul, seperti silikon
atau Teflon, yang juga mencegah tumbuhnya vaskularisasi. Selain itu, high-density porous
polyethylene (MedPor2) dan coralline hidroxyapatite juga menyebabkan terhambatnya
vaskularisasi.
Persistensi diplopia setelah terapi pembedahan akibat adanya tidak komplitnya pelepasan
jaringan lunak yang terperangkap, adanya adesi antara jaringan lunak dengan graft rekontruksi.
Tes forced duction dapat dilakukan pada akhir pembedahan untuk menyingkirkan adanya residu
atau terjeratnya yang baru. Jika tes telah dilakukan, postoperative diplopia diakibatkan karena
adanya edema atau neuropraxia dan dapat diterapi dengan konservatif. Neuropraxia dapat
menghilang dalam beberapa bulan.
Persistensi enopthalmos postoperative dipengaruhi oleh kontraktur jaringan parut,
hilangnya ligamen penyokong, atropi lemak, dan pemilihan waktu untuk perbaikan. Pemilihan
waktu sangatlah berperan penting karena perbaikan yang terlamabat menyebabkan lebih banyak
terbentuknya fibrosis pada otot ekstraokuli sehingga membatasi kemampuan mata untuk
berdimensi anteroposterior.
Terjadinya retraksi pada kelopak mata bawah akibat adanya jaringan parut pada kelopak
terhadap rima orbita. Untuk pencegahannya dapat dilakukan Frost suture pada regio siliari dari
kelopak mata bawah yang diikat hingga dahi selama 24 sampai 48 jam.
Perluasan fraktur hingga fissura superior orbita dan adanya cedera pada saraf pusat III,
IV, V1, dan VI dapat menyebabkan komplikasi superior orbital fissure syndrome (SOFS). SOFS
memberikan gejala seperti opthalmoplegi, proptosis, ptosis kelopak mata atas, penurunan sensasi
pada distribusi persarafan VI, dan pupil dilatasi. Pada mata yang sakit biasanya tidak ada respon
terhadap cahaya dan mata kontralateral terdapat reflek konsensuil. Pada SOFS dilakukan terapi
konservatif.
Fraktur Nasal
21
-
Secara terstruktur hidung dapat dibagi menjadi 3 ruangan yaitu atas, tengah, dan bawah. Pada
bagian atas terdiri dari os nasal, ujung atas septum, os ethmoidale, dan vomer. Bagian tengah
terbentuk dari kartilage lateral atas, septum, dan processus frontal maxillaries. Sedangkan bagian
bawah terdiri dari batas septum bawah dan kartilage lateral bawah. Klasifikasi fraktur nasal oleh
Stranc dan Robertson yaitu akibat tubrukan frontal dan lateral. Cedera pada tubrukan frontal
lebih menyebabkan kerusakan septum yang harus dilakukan perbaikan dan melibatkan komplek
nasoorbitoethmoid (NOE).
Diagnosis fraktur nasal berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang sepeti X-
ray kadang tidak diperlukan. Adanya CT-scan untuk menilai cedera lainnya dapat dipakai
pelengkap pemeriksaan. Sebelum melakukan pemeriksaan intranasal dilakukan vasokontriksi
mukosa dengan obat topikal. Septal hematoma harus dilakukan drainase untuk mencegah
resorpsi kartilage dan deformitas saddle nose.
Kebanyakan ahli bedah melakukan reduksi tertutup pada fraktur nasal, reduksi terbuka
dilakukan pada laserasi yang luas. Reduksi dilakukan pada 2 jam pertama sebelum terjadinya
pembengkakan atau secara defintif dalam 2 minggu trauma setelah edema berkurang. Reduksi
dilakukan dengan sedasi melalui intravena dan lokal anastesi atau dengan anastesi umum, seperti
cocaine pledget (40%). Fragmen yang terdepresi dilakukan elevasi dan reposisi septum
menggunakan elevator berujung tumpul atau scalpel handle.
Jika postoperasi fragmen tidak stabil, hidung dibungkus dengan impregnasi-antibiotik
untuk beberapa hari. Pemasangan splint eksternal juga dilakukan selama 1 minggu untuk
mencegah hidung terkena trauma yang lainnya. Jika terdapat banyak manipulai pada septum
dapat digunakan splint intranasal. Dikemudian hari pasien mungkin akan memerlukan
dilakukannya operasi rhinoplasty. Dalam suatu penelitian didapatkan sekitar 107 pasien dengan
reduksi nasal tertutup, 70% terjadi deviasi dan 50% mengalami pernafasan yang abnormal.
Fraktur Nasoorbitoethmoidale
Anatomi
Komplek nasoorbitoethmoid (NOE) memiliki batas anatomi yang jelas. Bagian anterior dibatasi
processus nasalis, proc. frontalis maxilla, dan spina os frontalis. Bagian inferior dibatasi oleh
labirin ethmoidale batas bawah, dan bagian lateral dibatasi oleh lamina papyraceae dan fossa
lacrimale. Pembuluh darah terjadi robekan pada fraktur NOE, meninggalkan foramina
22
-
ethmoidale anterior dan posterior pada lamina papyraceae batas atas. Lamina papyraceae adalah
tulang yang sangat tipis yang terletak dibelakang fossa lacrimale. Fraktur pada NOE terjadi
akibat pukulan pada pangkal hidung. Jika terdapat fraktur os nasal pada pangkal hidung biasanya
komplek NOE juga mengalami fraktur.
Diagnosis
Pasien datang dengan keadaan hidung atas datar dan bengkak di regio kantus medial. Telekantus
tertutupi oleh pembengkakan. Pada palpasi didapatkan krepitasi dan hilangnya penyangga
hidung atas. Dilakukan pemeriksaan pada tendon cantus medial dengan menggenggam kelopak
mata bawah dan secara hati-hati menarik lateral. Curiga gangguan bila tendon cantus medial
tidak dapat ditarik.
Klasifikasi
Markowitz, dkk mengklasifikasi fraktur NOE menjadi tiga tipe. Fraktur tipe I meliputi satu
segmen fraktur. Tipe II yaitu segmen sentral kominutif dan tipe III adanya avulsi tendon cantus
medial. Klasifikasi ini digunakan ahli bedah untuk stratifikasi terapi.
Gambar 6. Fraktur NOE
Tatalaksana
Pendekatan open sky atau insisi transversal melewati pangkal hidung tidak lagi
direkomendasikan. Fraktur tipe I mengharuskan stabilisasi segmen tulang untuk melokalisir
23
-
ulang tendon cantus medial dan difiksasi dengan fiksasi miniplate. Pada tipe II dan III
mengharuskan transnasal canthopexy. Tipe II memerlukan fiksasi dengan interfragmen wire atau
miniplate dan menyambung plate ke os frontalis, rima orbita, dan maxilla tipe Le Fort I. Pada
tipe III, tendon cantus dirobek untuk reduksi karena fragmen fraktur kecil, kemudian tendon
cantus direkatkan kembali dengan transnasal wire dan jarak reduksi tulang intercantal sebaiknya
5 hingga 7 mm lebih sedikit dari jarak soft tissue pada masing-masing sisi.
Sistem lacrimale mungkin juga mengalami cedera atau laserasi pada fraktur NOE,
sehingga perlu diperbaiki. Orbita internal dapat direkontruksi dengan menempatkan bone graft
dibelakang rima orbita.
Komplikasi
Fraktur NOE dapat merusak sistem lacrimale akibat adanya obstruksi langsung atau avulsi
pompa otot tendon-orbicularis okuli pada 20 % pasien. Pada obstruksi yang persisten atau
dakriosistitis dapat dilakukan dacryocystorhinostomy atau conjunctivodacryocystorhinostomy.
Postraumatik telecantus tampak peningkatan jarak intercantal, pangkal hidung yang datar,
dan disfungsi system lakrimal. Secara klinis terlihat palpebra terbuka sempit atau terbatas dan
terdapai epifora.
Fraktur Zygomatikum
Anatomi
Os zygomaticum memberikan penonjolan pada pipi, yang berartikulasi dengan maxillaris, ala
major ossis sphenoidalis, os frontalis, dan os temporalis. Os zygomaticum memiliki permukaan
lateral atau malar dan orbita medial. Pada os zygomaticum melekat otot-otot masseter,
temporalis, zygomaticus, dan superior quadrates labii. Otot masseter melekat pada batas inferior
dari arkus zygomaticum dan paling predominan terjadi deformitas pada fraktur zygomaticum.
Pada batas superior melekat fasia temporalis.
Ungley dan Suggit, 1944 menciptakan istilah tripod untuk menyebut fraktur pada os
zygomaticum. Namun berdasarkan anatomi yang benar, zygomaticum disebut sebagai pentapod
sebab memiliki lima artikulasio.
Diagnosis
Pasien dengan fraktur zygomaticomaxillary complex (ZMC) sering mengeluh mati rasa pada
daerah persarafan infraorbita dan sering terlihat edema periorbita. Palpasi pada rima infraorbita
24
-
atau jahitan frontozygomaticum dapat dilakukan jika bengkak telah berkurang. Daerah malar
juga terlihat tertekan atau mengalami depresi dibadingkan bagian yang kontralateral. Tampak
sekunder trismus yang mengenai os zygomaticum pada processus coronoideus.
Kunci dari pemeriksaan fraktur ZMC adalah dilakukannya pemeriksaan okuli dengan
hati-hati. Dapat terjadi enopthalmos jika volume orbita meningkat, yang dapat dibuktikan dengan
membandingkan kornea tampak basal. Pemeriksaan dapat menyebabkan diplopia. Hipoglobus
atau pergeseran bola mata inferior dapat terjadi. Pemeriksaan penunjang dengan X-ray masih
kontroversi.
Gambar 7. Fraktur ZMC
Tatalaksana
Pada fraktur nondisplaced biasanya dengan nonoperatif sedangkan pada fraktur displaced
dilakukan pembedahan. Pasien dengan fraktur nondisplaced perlu diobservasi ketat, diet lunak,
dan melindungi regio malar selama 6 minggu, terutama saat tidur. Pada fraktur malar displaced
diperlukan pendekatan multiple dalam melakukan fiksasi.
Komplikasi
Menurut Barclay, sekitar 10% pasien mengalami diplopia dan persisten pada setengah dari
pasien (5%). Permanen diplopia sering disebabkan karena terjeratnya otot rectus inferior jika
dasar orbita terkena. Selain itu, juga disebabkan karena cedera pada otot atau saraf ekstraokuli
25
-
dan adanya otot yang mengalami jaringan parut pada fragmen tulang. Jika persisten selama 4-6
minggu, diindikasikan untuk dilakukannya rebalancing otot ekstraokuli.
Komplikasi yang lainnya meliputi terjadinya enopthalmos pada 33% pasien dengan
fraktur os zygomaticum, mati rasa pada daerah pipi dan bibir bagian atas (24%), bradikardi,
mual, dan sinkop.
FRAKTUR MAXILLARIS
Pendahuluan
Maxillaris telah dianggap sebagai clinical keystone of the face oleh karena maksila
menghubungkan basis kranii pada mandibulae inferior. Metode awal fiksasi, terdiri dari eksternal
fiksasi, internal wiring, dan tehnik suspensi. Pada tahun 1970, Ferraro dan Berggren
memperkenalkan rigid internal fiksasi dengan bone graft untuk memperbaiki fraktur fasial
komplek yang menjadi standar pelayanan. Prinsip perbaikan adalah reparasi fase awal tunggal,
reduksi anatomi yang akurat, rigid fiksasi, eksposur luas pada fraktur, bone graft autogenous
dengan segera. Menurut Manson, Hoopes, dan Su maxillaris terbentuk dari 3 pilar vertikal, yaitu
nasomaxillaris, zygomaticomaxillaris, dan pterigomaxillaris.
Pilar tersebut menahan stress vertikal saat terjadinya trauma. Kekuatan perpendicular
dapat menyebabkan maxillaris menjadi tidak nyambung. Manson dkk, menjelaskan bahwa pilar
horizontal terdiri atas frontal bar, rima infraorbital, arkus zygomaticum, dan corpus mandibulae.
Lebarnya midfasial dan proyeknya ditentukan oleh pilar horizontal dan komplek NOE, arkus
maxillarisdan palatum. Tidak seperti mandibula, pilar dari midfasial relatif tipis dan rapuh.
Epidemiologi
Sekitar 40 % fraktur pada wajah meliputi midfasial, yang merupakan 1/3 dari kasus, tidak
termasuk fraktur nasal. Fraktur pada wajah menunjukkan bahwa fraktur Le Fort II umumnya
lebih banyak daripada Le Fort I, namun Le Fort I lebih umum dari Le Fort III. Menurut Steidler
dkk, adapun trauma-trauma yang menyertai adalah kepala (51%), dada (12%), dan trauma
abdomen (5%). Poon dkk, melaporkan 55% angka insiden trauma okuli atau orbita disertai
dengan trauma midfasial. Trauma spine sevikal ditemukan sekitar 12-18 %.
26
-
Biomekanis
Nahum mengungkapkan mengenai kerentanan tulang-tulang wajah terhadap kekuatan tubrukan
yaitu wanita mempunyai toleransi yang lebih rendah daripada pria, pembungkus jaringan lunak
membantu meredam beberapa energi tubrukan, os nasal lebih fragil diikuti dengan arkus
zygomaticum, maxillaris lebih sensitif untuk melokalisasi trauma horizontal, mandibula kurang
peka terhadap gaya lateral daripada fontal. Fraktur-fraktur berkekuatan tinggi ditemukan pada os
frontalis, maxillaris, dan mandibulae anterior. Sedangkan fraktur-fraktur berkekuatan rendah
ditemukan pada os nasal, zygomaticum, sinus frontal, dan regio nasoethmoid. Yang menarik
untuk diketahui bahwa tabrakan berkekuatan 30 mil per jam akan melebihi toleransi tubrukan
pada sebagian besar tulang-tulang wajah.
Evaluasi Klinis
Pada fraktur Le Fort I, kita dapat melihat adanya edema pada midfasial dan pasien biasanya
mengeluh nyeri dan nyeri tekan pada area tersebut. Tipe fraktur ini terjadi pada maxillaris dan
palatum menjadi terapung. Fraktur Le Fort II terjadi sepanjang orbita dan regio nasoetmoidale
yang memisahkan midfasial. Pada fraktur Le Fort III memisahkan wajah dari cranium yang
diperluas hingga dinding lateral orbita. Kebanyakan fraktur midfasial komplek, terdiri dari
kombinasi lebih dari satu tipe fraktur dibandingkan satu kategori khusus. Pada fraktur Le Fort II
dan Le Fort III secara klinis dapat dilihat adanya ekimosis periorbital dan subkonjuntival, edema
dan memperlebar wajah serta terjadi maloklusi. Gejala klinis tersebut sering disebut sebagai
panda facies. Sebaiknya dilakukan palpasi pada maxillaris dengan posisi tangan yang satunya
pada maxillaris anterior dan yang satunya lagi pada pangkal hidung. Pada fraktur Le Fort I,
terjadi pergerakan dari maxillaris bawah dan palatum tetapi pangkal hidung tidak. Sedangkan
pada fraktur Le Fort II terjadi pergerakan pangkal hidung dan fraktur akan terasa pada rima
infraorbital. Begitu juga pada fraktur Le Fort III terjadi pergerakan pangkal hidung dan lateral
rima orbita.
27
-
Gambar 8. Le Fort I, II, III
Penatalaksanaan
Setelah jalan nafas (airway) aman dan trauma yang potensial mengancam nyawa teratasi, tujuan
terapi selanjutnya adalah untuk menentukan oklusi pretrauma, mempertahankan fungsi
mengunyah, tinggi dan lebar wajah serta mampunya untuk berkomunikasi. Rima orbita inferior
dapat dicapai melalui insisi transkonjungtival, subsiliari, atau subtarsal. Pemilihan insisi tersebut
tergantung pada pilihan ahli bedah yang sebaiknya dengan tidak melukai saraf infraorbital.
Fraktur nasoetmoidale dapat terlihat melalui insisi koronal atau laserasi trauma kulit. Insisi
lateral canthotomy atau insisi blepharoplasty luas bagian atas lateral dapat digunakan untuk
28
-
menilai fraktur pada garis sutura zygomaticofrontalis. Trauma tersebut juga dapat ditemukan
melalui insisi koronal yang juga dapat dilakukan untuk trauma yang lainnya. Dahulu,
penatalaksanaan fraktur midfasial terdiri dari MMF dan suspensi kraniofasial. Namun saat ini,
penatalaksanaan utama meliputi rigid fiksasi. Fiksasi dengan plate harus mencegah enam
pergerakan yang berbeda, yang terdiri dari tiga gerakan translasional dan tiga gerakan rotasional
sepanjang sumbu x, y, dan z. unttuk mencegah terjadinya rotasi, plate harus memfiksasi fraktur
pada tiga titik yang tidak berada pada satu garis. Kompresi tulang tidak dibutuhkan untuk
penyembuhan dan celah yang kecil (< 5 mm) masih dapat diterima. Paling tidak dua screw
sebaiknya diletakkan pada tiap sisi fraktur dan tulang akan mulai menyembuh dengan tulang
langsung berunion. Fraktur pilar kominutif sebaiknya dilakukan bone graft. Menurut Manson,
midfasial sebaiknya distabilkan dengan MMF pada mandibula sebelum dilakukannya fiksasi
plate terhadap midfasial, yang akan menjamin terjadinya oklusi pretauma dan mencegah
terjadinya retrusi midfasial.
Hendrickson menjabarkan enam tipe fraktur palatal: tipe I yaitu anterior dan
posterolateral alveolar; tipe II yaitu sagital; tipe III yaitu parasagital; tipe IV yaitu para alveolar;
tipe V yaitu komplek, tipe VI yaitu tranversal. Thornton dan Hollier merasa bahwa fraktur
dengan orientasi anterior-posterior dan tanpa kominutif sebaiknya dilkukan fiksasi internal.
Sebaliknya, pada fraktur komplek atau kominutif sebaiknya dilakukan splint palatum. Perawatan
yang dilakukan tidak untuk devaskularisasi buccal, gingival, atau mukosa palatum selama
dilakukannya proses pembedahan. Kadang-kadang, insisi ginggivobuccal harus berorientasi
secara vertikal pada garis dengan laserasi traumatik. Pada kubah palatum, insisi yang dilakukan
sebaiknya secara longitudinal langsung dan terlokalisasi sentral untuk mencegah terjadinya
trauma pada arteri palatum yang lebih besar, yang berjalan di sebelah anteroposterior diatas
mukoperiosteum palatum. Untuk fraktur alveolar, reduksi tertutup dan immobilisasi selama 4
hingga 6 minggu sudah mencukupi. Dengan reduksi yang adekuat, arkus gigi, kubah palatum,
dan empat dinding penopang anterior vertikal dapat direduksi dan distabilkan. Splint intraoral
juga berguna untuk menambahkan stabilisasi palatum setelah direduksi dan difiksasi.
Fraktur midfasial komplek biasanya disebabkan oleh mekanisme berkecepatan tinggi
seperti luka tembak atau tabrakan kendaraan bermotor. Fraktur-fraktur yang terjadi biasanya
kominutif dan tidak stabil. GCS yang rendah bukan suatu kontraindikasi untuk dilakukannya
29
-
intervensi penmbedahan kecuali jika prognosis sangatlah buruk. Tekanan intrakranial harus
dimonitor dan sebaiknya terjaga pada tekanan < 25 mmHg.
Untuk penatalaksanaan fraktur midfasial komplek yang adekuat, diagnostik imaging
sebaiknya digunakan untuk menghasilkan konfigurasi fraktur tiga dimensi. Marciani dan Gonty
menguraikan garis besar prinsip penatalaksanaan yang baik yaitu meliputi perbaikan definitif
awal, perbaikan anatomi trauma NOE, pemaparan luas fraktur, dan fiksasi stabil pada semua
bidang. Pollock dan Gruss merekomendasikan urutan langkah-langkah untuk penatalaksanaan
fraktur midfasial komplek. Stabilisasi pertama pada mandibula dan beberapa fraktur dengan rigid
fiksasi. Penempatan maksila haruslah teroklusi dengan tepat dalam berhubungan dengan
mandibula dan penstabilisasian dengan arch bars-palang. Fraktur zygomatikum dan beberapa
fragmen yang mungkin mengganggu reduksi fragmen maxillaris haruslah direduksi dan
dilakukan pemasangan plate. Dinding penopang maxillaris direduksi dan dilakukan rigid fiksasi
dengan miniplate. Komplek NOE dilakukan rekontruksi dan tendon cantus medial diikat kembali
jika ada indikasi. Fraktur nasal direduksi dan beberapa pemisah nasofrontalis juga direduksi. Os
frontalis dan fraktur sinus juga diterapi. Laserasi fasial dan avulsi jaringan lunak haruslah
diperbaiki.
Setelah dilakukan fiksasi, MMF dilepaskan kecuali kalau stabilisasi tulang sangatlah sulit
untuk mendapatkannya karena fraktur kominutif atau komplek. Pelepasan MMF mempermudah
penanganan jalan nafas (airway) dan menyingkirkan kebutuhan untuk trakeostomi.
Fraktur Pada Anak
Pada anak yang berumur < 5 tahun, fraktur fasial relatif jarang terjadi (< 1 % dari trauma fasial).
Saat anak-anak mulai masuk sekolah, insiden meningkat terus hingga usia dewasa muda. Fraktur
fasial ini terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Parker dan Lehman
mengemukakan adanya perbedaan distribusi anatomi fraktur fasial pada anak dibandingkan
orang dewasa. Pada bayi yang baru lahir mempunyai volume tulang wajah yang lebih kecil bila
dihubungkan dengan kranium. Sutura kranial tidaklah menyatu dan tulangnya masih lunak.
Anak-anak berumur 6 dan 12 tahun memiliki mixed yang temporer dan pertumbuhan gigi yang
permanen. Oleh karena itu, fraktur midfasial jarang terjadi.
Penilaian terhadap fraktur midfasial pada anak seringkali memerlukan sedasi dan
terkadang bahkan menggunakan anastesi umum. Penggunaan foto polos pada anak-anak kurang
30
-
berguna dibandingkan pada orang dewasa dan untuk mengevaluasi biasanya dibutuhkan CT-
scan. Anak-anak cenderung muntah dan teraspirasi dari distensi lambung sehingga jalan nafas
(airway) haruslah dinilai dan diamankan secara awal dan cepat. Fraktur dengan displace
minimal, penatalaksanaannya tanpa dilakukan operasi. Pada fraktur kominutif atau displace
sebaiknya dilakukan penatalaksanaan yang terbaik dan tepat guna sebab penyembuhan tulang
pada anak lebih cepat daripada pada orang dewasa. MMF atau fiksasi dengan bahan logam
ditempatkan tidak berdekatan dengan tunas gigi untuk mencegah kerusakan pertumbuhan gigi.
MMF dikerjakan dengan splint acrylic dan piriformis aperture atau circumandibular wire.
Setelah plate dan screw terfiksasi, beberapa penulis merekomendasikan pengambilan kembali
bahan logam setelah fraktur menyembuh. Beberapa klinisi, lebih memilih untuk menggunakan
splint atau sistem non rigid untuk perbaikan fraktur.
Komplikasi
Pasien dengan fraktur midfasial seringkali mengeluh mati rasa dan parastesi pada distribusi saraf
infraorbital. Hal tersebut merupakan masalah persarafan yang umum terjadi pada trauma fasial,
yang khususnya pasti terjadi pada trauma fasial dengan fraktur zygomaticum. Permasalahan pada
okuli juga umum terjadi dari 17 % hingga 55 %, yang meliputi diplopia, enopthalmos, kebutaan,
pandangan kabur, telecanthus, dan epifora. Menurut literatur, insiden kebutaan adalah 1 %.
Rinorhea CSF juga relatif umum terjadi pada fraktur fasial yang berat. Menurut
penelitian dari Morgan, angka insidennya adalah 35 %. Dalam penelitiannya tersebut, rinorhea
akan menghilang pada hari ke lima pada 66 % pasien dan tetap ada > 10 hari pada 13 % pasien.
Pembedahan pada dura merupakan indikasi jika penyaliran berakhir > 2 minggu atau tetap ada
dengan penempatan drain lumbar.
Infeksi relatif jarang terjadi pada fraktur fasial. Meningitis pernah ditemukan pada 1 dari
240 pasien menurut penelitian yang dilakukan oleh Steidler. Sedangkan sinusitis juga pernah
ditemukan pada 1,7 % pasien. Pada pembedahan, fiksasi dengan bahan logam bisa menjadi
terinfeksi, menonjol, terpapar, dan berpindah dari posisi yang diharapkan. Sebuah penelitian
retrospektif terhadap 1,112 fraktur menunjukkan bahwa 12 % insiden komplikasi memerlukan
pengambilan kembali bahan logam. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian antibiotik
preoperasi, penempatan bahan logam yang adekuat dan tepat, dan pencakupan jaringan lunak
yang baik. Adapun komplikasi yang lain yaitu terjadinya maloklusi pada fraktur mandibular.
31
-
Dibutuhkan perhatian yang teliti dan berhati-hati terhadap hubungan oklusi sebelum memfiksasi
dapat meminimalkan permasalahan maloklusi.
FRAKTUR MANDIBULAR
Epidemiologi
Fraktur mandibula merupakan trauma yang umum terjadi dikarenakan penonjolan tulang
mandibula dan rentannya terhadap trauma eksternal. Lebih dari setengah fraktur mandibula
disebabkan karena penyerangan. Tabrakan kendaraan bermotor juga penyebab trauma mandibula
dalam jumlah yang bermakna. Fraktur mandibula terjadi pada corpus, angulus, condylus, ramus,
symphisis, processus alveolaris, dan processus coronoideus.
Anatomi
Mandibula adalah tulang yang berbentuk-U panjang dengan beberapa bagian menopang gigi dan
ada yang tidak menopang gigi. Pada bagian yang menopang gigi memiliki karakteristik batas
anterior yang tebal dan padat menyokong processus alveolaris. Mandibula terbagi menjadi
symphysis (mentalis), corpus, angulus, vertikal ramus, processus coronoideus, dan prosesus
condylaris. Tempat-tempat perlekatan untuk otot-otot mengunyah yaitu angulus mandibularis,
ramus, pocessus coronoideus dan processus condylaris yang berartikulasi dengan cranium pada
temporomandibular joint (TMJ). Sendi ini menekan discus fibrosa yang terletak antara condilus
mandibula dan fossa temporalis.
Penyedia darah untuk mandibula berasal dari arteri alveolar inferior, yang merupakan
cabang dari arteri maxillaris dan dari perlekatan otot yang melewati cabang-cabang arteri-arteri
periosteal. Arteri masuk ke foramen mandibular dan keluar ke foramen mentalis, begitu juga
dengan saraf alveolar inferior dan saraf mentalis. Saraf alveolar inferior menginervasi mandibula
dan gigi-gigi pada mandibular.
Kunci dalam penatalaksanaan trauma mandibular adalah menjaga hubungan untuk oklusi
mandibular dan gigi pada maxillaris. Klasifikasi Angle menstratifikasi menjadi hubungan yang
normal dan abnormal. Klasifikasi tersebut berdasarkan adanya hubungan cuspis buccal mesial
dari molar pertama maxillaris terhadap sulcus buccal mesial dari molar pertama mandibular.
Kelas I atau oklusi normal adalah pada satu tempat cuspis buccal mesial terletak di atas sulcus
32
-
buccal mesial. Kelas II atau oklusi distal adalah cuspis mesial terletak sebelah anterior dari
sulcus buccal mesial sehingga terlihat suatu retrusi atau mandibula seperti kurang maju.
Sedangkan kelas III atau disebut maloklusi adalah adanya suatu protrusi dan cuspis buccal
mesial terletak sebelah posrerior dari sulcus. Suatu oklusi lateral abnormal yang disebut sebagai
crossbite atau laterognathism atau tidak adanya kontak dimanapun sebaiknya dikemukakan.
Hubungan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan baik pre dan postoperasi sehingga
oklusi dentis yang sebelumnya dapat ditentukan.
Gambar 9. Anatomi mandibulae
Gambar 10. Klasifikasi Angle kelas I, II, III
Biomekanika
33
-
Dalam perkembangan mandibular yang normal, tulang mandibula seharusnya memiliki jaringan
lunak dan terbungkus otot yang adekuat. Jika tidak, dapat menyebabkan terjadi perubahan
bentuk. Secara umum, gaya regang predominan di sepanjang alveolus dan superior border,
sedangkan gaya tekan predominan pada inferior border. Gaya tersebut mempengaruhi
pergesaran tempat dan stabilisasi pola fraktur yang berbeda.
TMJ berfungsi selain sebagai engsel juga mentranslasikan. Awal mandibula terbuka,
condylaris berotasi seperti engsel. Semakin lebar terbuka, condylar bergerak anterior dan inferior
sepanjang fossa temporalis.
Tipe penyembuhan tulang pada fraktur mandibular tergantung pada kontak tulang dan
derajat pergerakan. Penyembuhan tulang primer terdiri dari pembentukan tulang langsung tanpa
disertai diferensiasi dari jaringan lunak dan kartilage, sehingga tidak terbentuk kalus. Tipe
penyembuhan ini hanya terjadi pada stabilitas absolute pada tempat yang fraktur sama halnya
dengan fiksasi rigid plate dan screw. Penyembuhan yang kedua terjadi melalui beberapa staging
yaitu adanya resopsi tulang, pembentukan kalus, dan difrensiasi sel osteogenik menjadi
osteoblast dan chondroblast yang akan membentuk kartilage, yang pada akhirnya kartilage akan
digantikan oleh tulang. Tipe penyembuhan tulang ini tidaklah lambat dan terjadi pada fraktur
yang tidak stabil seperti pada MMF atau fiksasi dengan wire.
Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur pada mandibula yaitu terbuka dan tertutup, displaced dan nondisplaced, linear
atau kominutif, dan komplit atau inkomplit. Pada fraktur terbuka terdapat hubungan dengan
lingkungan walau robekan terjadi pada mukosa atau kulit dan adanya hubungan dengan rongga
gigi secara klinis dan radiografi. Fraktur yang terjadi mungkin displaced atau undisplaced
tergantung pada tingkat kominutif dan orientasi fraktur berkenaan dengan otot pengunyah.
Kontraksi otot dan perjalanan trauma bertanggung jawab terhadap pergeseran tempat. Sebagai
contoh, otot pterygoid lateral bertanggung jawab terhadap pergeseran komponen superior fraktur
subcondylaris anterior dan medial.
Evaluasi Klinis
34
-
Gambaran klinis dari trauma mandibular meliputi nyeri, nyeri tekan, trismus, maloklusi, edema,
parestesi, anastesi, ekimosis, dan perdarahan. Penilaian fungsi dengan melihat pembukaan gigi
dan penyimpangan lateral. Saat membuka mulut, adanya protrusi dan deviasi dagu
mengindikasikan translasi yang terbatas dari condylaris ipsilateral yang mungkin dikarenakan
adanya fraktur condylaris. TMJ akan terpalpasi pada area prearicularis melewati kanalis auditori
eksternal. Pada pemeriksaan intraoral, dicari dan dibuktikan apakah terdapat fraktur, avulsi, atau
gigi yang goyang. Maloklusi juga harus diperiksa, dibuktikan dan dibandingkan terhadap oklusi
pretrauma. Maloklusi tidaklah selalu akibat dari trauma dan seringkali terjadi pada populasi
umum. Oklusi pretrauma diperkirakan dengan membandingkan permukaan yang rata dari gigi
pada maxillaris dan mandibula. Terkadang model dentis diperlukan untuk menentukan oklusi
pretrauma.
Penatalaksanaan
Sasaran penatalaksanaan dari fraktur mandibula adalah untuk mencapai reduksi dan stabilisasi
secara anatomi, menentukan oklusi pretrauma, mengembalikan tinggi wajah dan proyeksi, dan
mencapai keseimbangan kontur dan simetris wajah. Penatalaksanaan tanpa operasi diindikasikan
bila fraktur yang terjadi non atau minimal displaced, range of motion (ROM) dari mandibular
masih normal, dan oklusi pretrauma dapat dipertahankan. Pasien dibatasi hanya makan diet cair
atau lunak selama 30 hari. Membuka mulut harus dibatasi dan tetap menjaga higienis mulut yang
baik.
Fraktur Mandibular Pada Anak
Fraktur mandibula terjadi sebanyak 50 % dari fraktur wajah pada anak-anak. Penyebab yang
paling sering adalah karena tabrakan kendaraan bermotor. Mandibula pada anak-anak masih
relatif lemah karena kurangnya kandungan tulang selama gigi yang tidak erupsi berkembang.
Bagaimanapun juga, fraktur mandibula cenderung menjadi inkomplit dan minimal displaced
karena mandibula sedikit mengandung tulang kortikal dan lebih elastis. Pada anak yang berusia
kurang dari 10 tahun, fraktur condylaris rmerupakan dua pertiga dari fraktur mandibular.
Berbedanya penatalaksanaan fraktur pada anak-anak karena adanya pergantian dan gigi yang
tidak erupsi. Kebanyakan penatalaksanaan fraktur dengan reduksi tertutup, juga karena
penyembuhan fraktur pada anak-anak lebih cepat dan risiko tergangunya pertumbuhan
35
-
mandibula dengan adanya intervensi pembedahan. Stabilisasi dapat tercapai dengan MMF atau
lingual splint. Diperlukan perawatan yang terlatih dalam mempergunakan MMF wire pada anak-
anak karena giginya dapat terekstraksi pada pemasangan wire yang rapat dan ketat. Fraktur
condylaris dan subcondylar secara khusus dapat diterapi tanpa operasi karena adanya risiko
ankilosis dan retardasi pertumbuhan. Sebaliknya, pada fraktur kominutif atau displaced
memerlukan pemasangan ORIF pada populasi anak-anak.
Pasien yang Ompong
Tatalaksana fraktur pada pasien yang ompong merupakan suatu tantangan karena tidak adanya
gigi yang menopang MMF; mandibula yang ompong secara primer terbuat dari tulang kortikal
dan memiliki potensial yang kecil untuk perbaikan; krista alveolar mengalami atropi dan
fragmennya dengan mudah terjadi pergeseran oleh tarikan otot; pasien yang ompong biasanya
orang lanjut usia dan terdapat komorbid yang lainnya. Stabilisasi fraktur dapat dicapai dengan
menggunakan gigi palsu, Gunning splint, atau fiksasi eksternal seperti aplikasi Morris. Thornton
dan Hollier menganjurkan penggunaan rigid fiksasi dengan plate dan screw karena dapat
menyingkirkan kebutuhan pemakaian splint yang dapat mempercepat penyembuhan dan
memperpendek waktu kecacatan dan tentunya mendapatkan fungsi yang lebih baik.
Perawatan Post Operatif dan Komplikasi
Pasien dengan MMF sebaiknya tidak dilakukan extubasi sampai mata terbuka. Sebelum
melakukan extubasi sebaiknya dilakukan aspirasi lambung untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Pemberian antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan luka pada wajah yang terbuka. Pada
pasien dengan MMF diinstruksikan untuk mendapatkan dan mempertahankan nutrisi yang baik
dengan diet tinggi protein dan makanan cair, sebab jika nutrisinya buruk dapat menurunkan berat
badan yang bermakna. MMF dipertahankan minimal 3 minggu postoperasi.
Komplikasi yang paling sering pada fraktur mandibula adalah terjadinya maloklusi,
infeksi, malunion, nonunion, perlukaan pada saraf, dan terpaparnya plate. Angka insiden
nonunion sekitar 3,2 % dan terjadi paling sering pada corpus mandibula. Penyebabnya meliputi
tidak adekuatnya penjajaran dan stabilisasi fraktur, interposisi jaringan, hilangnya tulang
segmental, infeksi, dan tidak benarnya pemasangan plate. Selan itu, pasien dengan alkohol dan
kecanduan obat berisiko tinggi terjadinya fraktur. Penatalaksanaan pada fraktur nonunion adalah
36
-
menghilangkan gigi yang terinfeksi, debridemen fraktur, dan rigid internal fiksasi dengan atau
tanpa bone graft.
Pada 56 % pasien terdapat defisit saraf sensoris alveolar inferior dan persisten pada 19 %
pasien. Maloklusi biasanya terjadi disebabkan karena buruknya penempatan plate fiksasi yang
menghasilkan reduksi tulang dan pergerakan gigi yang tidak tepat.
KESIMPULAN
Tentunya penatalaksanaan pasien dengan trauma maxillofacial tidak hanya memerlukan
pendekatan tim tetapi juga pengertian tentang anatomi dan mekanisme trauma yang terlibat.
Perhatian primer yang pertama kali diperlukan adalah mengatasi trauma yang mengancam
nyawa. Walaupun kebanyakan trauma maxillofacial tidak mengancam nyawa, namun trauma ini
dapat menyebabkan kecacatan yang bermakna dan hilangnya fungsional.
37