12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

14
219 Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia STUDI PEMANFAATAN GAMBUT ASAL SUMATERA: TINJAUAN FUNGSI GAMBUT SEBAGAI BAHAN EKSTRAKTIF, MEDIA BUDIDAYA DAN PERANANNYA DALAM RETENSI CARBON Iin P. Handayani Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Sumatera E-mail : [email protected] Abstrak Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat baik secara in-situ (untuk budidaya pertanian dalam kondisi tergenang atau terdrainase) dan eks-situ (sebagai bahan ekstraktif). Serangkaian riset telah dilaksanakan di Sumatra dengan menggunakan gambut yang berasal dari wilayah Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatra Selatan dan Lampung guna mengkaji aspek pemanfaatan gambut untuk budidaya tanaman melalui berbagai aktivitas, seperti drainase dan pemupukan serta kajian potensi gambut sebagai bahan amelioran dan asam humat untuk penstimulan proses agradasi lahan kering marginal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan drainase pada tanah gambut dapat meningkatkan emisi gas karbondioksida hingga 15-20% dibandingkan apabila tidak didrainase. Pemanfaatan air gambut asal Lampung Utara sebagai bahan humat yang dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat tanah Latosol. Pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar, kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P-tersedia. Pemberian pupuk Cu dosis 10 kg ha -1 CuSO 4 telah menunjukkan perbaikan pertumbuhan dan keragaan tanaman padi. Pemupukan dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P 2 O 5 /ha telah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA dosis 135 kg P 2 O 5 /ha tidak berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah meningkatkan kadar N total, dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K tersedia. Varietas-varietas padi lokal yang mampu beradaptasi dengan potensi hasil tinggi pada lahan gambut di Bengkulu adalah padi Batik, Jambi Alus, Bugis dan Duku. Sedangkan varietas padi yang adaptif dan berumur genjah adalah padi Siam dan Gembira Kuning. Penggunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran untuk perbaikan kesuburan tanah marginal Ultisol menunjukkan gambaran hasil terbaik setelah 30-40 hari aplikasi dengan pemberian aktivator asal ruminansia dan batuan fosfat dosis 10%. Perbaikan kesuburan tanah nampak terjadi pada kemasaman tanah, kandungan bahan organik, fosfor, sulfur dan kalium. Asam humat yang diekstraksi dari air gambut asal wilayah Lampung memberikan pengaruh yang bervariasi pada tanaman, tetapi secara umum berpotensi sebagai zat pengatur tumbuh alami. Pola perubahan lahan gambut mempengaruhi potensi mineralisasi N dan C, dengan indikasi tertinggi pada kondisi aerob suhu 30 o C. Aplikasi bahan ameliorasi berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menekan kehilangan C dari gambut dalam bentuk CO 2 dan CH 4 hingga 27%. Namun demikian kajian yang lebih komprehensif- multidisiplin masih diperlukan. Hasil-hasil penelitian juga menggambarkan bahwa pendayagunaan gambut asal Sumatra telah meluas sehingga dampaknya terhadap lingkungan secara global perlu ditinjau kembali. Pembenahan di dalam program pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan faktor keamanan ekologis, sehingga lahan- lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung stabilitas lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek aboveground biomass dan belowground. Selanjutnya, upaya-upaya pengelolaan gambut secara terpadu diharapkan dapat menekan resiko pencemaran lingkungan, dalam kaitannya dengan penurunan dampak gas rumah kaca, sekaligus tetap dapat mempertahankan fungsi sumber daya gambut sebagai aset alam untuk budidaya. Kata-kata kunci : CuSO 4 , Gambut, Karbondioksida, Metan, Nitrogen, Fosfat, Padi, Sumatra, Ultisol

Transcript of 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

Page 1: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

219

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

STUDI PEMANFAATAN GAMBUT ASAL SUMATERA: TINJAUAN FUNGSI GAMBUT SEBAGAI BAHAN EKSTRAKTIF, MEDIA BUDIDAYA

DAN PERANANNYA DALAM RETENSI CARBON

Iin P. Handayani Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Sumatera

E-mail : [email protected]

Abstrak

Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat baik secara in-situ (untuk budidaya pertanian dalam kondisi tergenang atau terdrainase) dan eks-situ (sebagai bahan ekstraktif). Serangkaian riset telah dilaksanakan di Sumatra dengan menggunakan gambut yang berasal dari wilayah Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatra Selatan dan Lampung guna mengkaji aspek pemanfaatan gambut untuk budidaya tanaman melalui berbagai aktivitas, seperti drainase dan pemupukan serta kajian potensi gambut sebagai bahan amelioran dan asam humat untuk penstimulan proses agradasi lahan kering marginal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan drainase pada tanah gambut dapat meningkatkan emisi gas karbondioksida hingga 15-20% dibandingkan apabila tidak didrainase. Pemanfaatan air gambut asal Lampung Utara sebagai bahan humat yang dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat tanah Latosol. Pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar, kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P-tersedia. Pemberian pupuk Cu dosis 10 kg ha -1 CuSO4 telah menunjukkan perbaikan pertumbuhan dan keragaan tanaman padi. Pemupukan dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P2O5/ha telah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA dosis 135 kg P2O5/ha tidak berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah meningkatkan kadar N total, dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K tersedia. Varietas-varietas padi lokal yang mampu beradaptasi dengan potensi hasil tinggi pada lahan gambut di Bengkulu adalah padi Batik, Jambi Alus, Bugis dan Duku. Sedangkan varietas padi yang adaptif dan berumur genjah adalah padi Siam dan Gembira Kuning. Penggunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran untuk perbaikan kesuburan tanah marginal Ultisol menunjukkan gambaran hasil terbaik setelah 30-40 hari aplikasi dengan pemberian aktivator asal ruminansia dan batuan fosfat dosis 10%. Perbaikan kesuburan tanah nampak terjadi pada kemasaman tanah, kandungan bahan organik, fosfor, sulfur dan kalium. Asam humat yang diekstraksi dari air gambut asal wilayah Lampung memberikan pengaruh yang bervariasi pada tanaman, tetapi secara umum berpotensi sebagai zat pengatur tumbuh alami. Pola perubahan lahan gambut mempengaruhi potensi mineralisasi N dan C, dengan indikasi tertinggi pada kondisi aerob suhu 30oC. Aplikasi bahan ameliorasi berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menekan kehilangan C dari gambut dalam bentuk CO2 dan CH4 hingga 27%. Namun demikian kajian yang lebih komprehensif-multidisiplin masih diperlukan. Hasil-hasil penelitian juga menggambarkan bahwa pendayagunaan gambut asal Sumatra telah meluas sehingga dampaknya terhadap lingkungan secara global perlu ditinjau kembali. Pembenahan di dalam program pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan faktor keamanan ekologis, sehingga lahan-lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung stabilitas lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek aboveground biomass dan belowground. Selanjutnya, upaya-upaya pengelolaan gambut secara terpadu diharapkan dapat menekan resiko pencemaran lingkungan, dalam kaitannya dengan penurunan dampak gas rumah kaca, sekaligus tetap dapat mempertahankan fungsi sumber daya gambut sebagai aset alam untuk budidaya. Kata-kata kunci : CuSO4, Gambut, Karbondioksida, Metan, Nitrogen, Fosfat, Padi, Sumatra,

Ultisol

Page 2: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

220

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

PENDAHULUAN

Luasan lahan gambut di dunia adalah sekitar 424 juta ha (Kalmari, 1982) dan sekitar 38 juta ha terdapat di wilayah tropis (Friends of the Earth, 1983). Sebagian besar lahan gambut di wilayah tropis terdapat di Indonesia yaitu seluas 20,10 juta ha dan di Malaysia dengan luasan sekitar 2,7 juta ha (Vijarnsorn,1996). Di Indonesia, mayoritas lahan gambut ditemukan di luar P. Jawa dengan luasan sekitar 6,45% dari luas lahan gambut di dunia (Neue et al., 1997).

Ditinjau dari potensi pemanfaatan gambut yang beragam maka lahan gambut merupakan sumberdaya penting yang harus dilestarikan fungsinya, walaupun pada awal dekade 1970-an, lahan gambut yang merupakan bagian dari lahan-lahan basah atau rawa dianggap sebagai Awastelands@. Saat ini lahan gambut telah menjadi pusat perhatian dunia karena fungsi dan peranannya dalam perbaikan atau penurunan kualitas lingkungan global tergantung pada pola pengelolaan gambut, terutama di wilayah tropis.

Tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2,8 – 4,5 dan kemasaman potensial mencapai >50 cmol kg-1. Ketersediaan unsur-unsur makro, N,P, dan K serta sejumlah unsur mikro pada umumnya juga rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut cukup tinggi apabila dihitung berdasarkan berat bahan kering mutlak (115-270 cmol kg-1), tetapi relatif lebih rendah bila dihitung berdasarkan berat volume tanah di lapangan. Kejebuhan basa (KB) tanah gambut biasanya rendah pada kisaran 5,4 - 13% dengan rasio C/N tinggi yaitu 24-33.4 (Suhardjo & Widjaya-Adhi, 1976). Gambut Indonesia memiliki karbohidrat yang sangat rendah, dan sifatnya berbeda dengan gambut yang berada di daerah subtropis.

Page 3: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

221

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal, bahkan akhir-akhir ini pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk ekstensifikasi usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Selain itu, pemanfaatan gambut sebagai bahan amelioran juga banyak dilakukan, khususnya untuk perbaikan teknologi budidaya pada tanah-tanah mineral. Namun demikian, keberhasilan pemanfaatan gambut baik untuk usaha budidaya maupun sebagai bahan ekstraksi masih jauh dari yang diharapkan, karena ada kendala yang berasal dari sifat-sifat gambut bawaan (inherent properties) serta paket teknologi reklamasi yang diterapkan belum memadai. Penerapan paket teknologi untuk reklamasi gambut biasanya menyebabkan dekomposisi lanjutan berlangsung lambat, baik secara fisik maupun biokimia, karena bahan dasar gambut didominasi oleh lignin dengan konsentrasi sekitar 64 - 74% (Driessen & Suhardjo, 1976).

Keragaman pemanfaatan gambut baik secara eks situ maupun in situ telah berdampak pada lingkungan dan sekaligus turut merubah sifat-sifat gambut. Oleh karena itu, kuantifikasi dampak pemanfaatan gambut perlu diungkap agar dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut di masa mendatang dapat lebih menyelaraskan antara kepentingan berbasis nilai manfaat ekonomis dengan nilai fungsi ekologis gambut sebagai suatu aset budidaya.

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas berbagai studi yang telah dilaksanakan, baik dari aspek manfaat gambut sebagai bahan ekstraksi dan media tempat tumbuh tanaman serta peranannya dalam melepaskan dan menyimpan C dalam kaitannya dengan aktivitas reklamasi. Dalam hal ini rangkaian studi yang diketengahkan akan difokuskan pada tanah-tanah gambut kawasan tropis, khususnya gambut asal Sumatera (Bengkulu, Lampung, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi).

PROSES PEMBENTUKAN TANAH GAMBUT

Gambut terbentuk akibat proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Vegetasi pembentuk gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau tergenang, seperti bakau (mangrove), rumput-rumput rawa dan hutan air tawar.

Di daerah pantai dan dataran rendah, akumulasi bahan organik akan membentuk gambut ombrogen di atas gambut topogen dengan hamparan yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun dengan ketebalan hingga puluhan meter. Gambut tersebut terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya tergantung pada input unsur hara dari air hujan dan bukan dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air tanah, sehingga tanahnya menjadi miskin hara dan bersifat masam.

Page 4: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

222

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Gambut ombrogen umumnya terbentuk dari akumulasi bahan-bahan berkayu selama kurang lebih 4000 -5000 tahun yang lalu (Anderson, 1983). Menurut klasifikasi FAO - UNESCO, tanah gambut termasuk ordo Histosol dengan kandungan bahan organik >30% dalam lapisan setebal 40 cm dari bagian 80 cm. teratas profil tanah. Berdasarkan tingkat dekomposisinya histosol dibagi menjadi 3 subordo, yaitu fibrik < hemik < saprik. Tanah-tanah gambut di Sumatra termasuk subordo Terric Tropohemist, Terric Sulfihemist, Typic Tropohemist, Terric Troposaprist dan Typic Tropofibrist (Hardjowigeno, 1989). Secara umum, tingkat dekomposisi menentukan sifat-sifat fisik, biologi dan kimia gambut.

PEMANFAATAN GAMBUT SEBAGAI BAHAN EKSTRAKTIF

Pemanfaatan gambut asal Sumatra sebagai bahan ekstraktif pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman budidaya melalui perbaikan pada sifat-sifat tanah mineral asal lahan kering marginal. Pemanfaatan air gambut asal Lampung Utara sebagai bahan humat yang dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat tanah Latosol (Oxic Dystropepts) (Herudjito, 1999). Pemberian bahan humat dosis 1% dapat meningkatkan pori tersedia sebesar 36% dari 6,07 menjadi 8,24% volume, menurunkan Al-P sebesar 2% dari 29,0 menjadi 27 ppm dan Fe-P sebesar 20% dari 0,20 menjadi 0,16 me/100g. Aplikasi kapur 0,5 Al-dd dapat memperbaiki sifat-sifat kimia dan fisik tanah latosol. Kemasaman tanah menurun 2% dari 5,0 menjadi 5,1, Al-dd menurun 30% dari 0,20 menjadi 0,14 me/100g, P-tersedia naik 5% dari 19,73 menjadi 20,70 ppm, Fe-P turun 16% dari 298,1 menjadi 346,9 ppm.

Page 5: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

223

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Pendayagunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran (kompos) telah dilakukan dengan memanfaatkan tiga jenis aktivator yaitu manure ayam, manure ruminansia dan batuan fosfat (Hendarto, 1996; Iswariyanto, 1996; Widiono, 1996). Pemberian bahan aktivator manure ayam dosis 10% pada gambut saprik telah menghasilkan kompos dengan pH 5,0; KTK 104 me/100g dan rasio C/N 17 setelah inkubasi 9 minggu. Aplikasi aktivator manure ruminansia dosis 10% pada gambut saprik telah menghasilkan kompos dengan pH 4,8; KTK 100,63 me/100g dan rasio C/N 18,57 setelah inkubasi 9 minggu. Selanjutnya, gambut yang diberi batuan fosfat dosis 10% selama 9 minggu dapat menghasilkan kualitas kompos dengan nilai pH 5,3; KTK 98,40 me/100 g dan rasio C/N 17,58. Hasil percobaan tersebut memberikan implikasi bahwa penggunaan aktivator manure ayam, ruminansia dan batuan fosfat memiliki pengaruh yang relatif sama terhadap komposisi nutrisi dan kualitas kompos yang dihasilkan dari gambut saprik untuk masa inkubasi selama tiga bulan.

Studi penggunaan gambut sebagai bahan campuran pada media semai untuk tanaman kehutanan telah dilakukan pada gambut asal Sumatera Selatan dari kedalaman 0 - 40 cm. (Bastoni, 1999). Gambut tersebut selanjutnya dicampur lumpur dengan rasio 1:5 hingga 1:2 (lumpur:gambut). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar, kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P-tersedia. Perpanjangan periode masa inkubasi dari 2 hingga 8 minggu dapat meningkatkan kadar P-tersedia dan KTK secara nyata, tetapi menurunkan pH, kejenuhan basa dan kation-kation tertukar terutama Ca dan Mg. Kandungan unsur hara tanah (terutama unsur-unsur basa) dari campuran gambut + lumpur lebih tinggi dibandingkan gambut tanpa lumpur. Dalam hal ini penambahan lumpur disarankan untuk tidak melebihi dari 30% karena lumpur tersebut umumnya mengandung pirit tinggi. Penambahan lumpur> 30% juga akan mengakibatkan pH tanah menurun dengan drastis akibat oksidasi pirit, yang selanjutnya akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan bibit yang akan ditanam.

Pengembangan zat pengatur tumbuh alami juga telah dilakukan dengan memanfaatkan ekstrak- air gambut saprik asal Lampung (Yusnaini & Sutopo, 1994). Hasil percobaan menunjukkan bahwa campuran ekstrak-air gambut dan larutan hara hidroponik rasio 1:4 telah meracuni perkecambahan benih dan pertumbuhan awal tanaman jagung, padi ladang, kedelai dan kacang tanah. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa konsentrasi bahan tersebut terlalu pekat. Gejala keracunan yang ditunjukkan adalah rusaknya akar, nekrosis pada ujung akar, rusaknya sel-sel epidermis dan akhirnya ujung akar mati. Tetapi, kenampakan visual menggambarkan bahwa tanaman jagung relatif lebih tahan terhadap efek racun dari ekstrak-air gambut saprik dibandingkan tanaman padi, kedelai dan kacang tanah.

STUDI GAMBUT SEBAGAI MEDIA BUDIDAYA

Tanah gambut sebagai media tumbuh tanaman memerlukan berbagai input untuk menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Variasi input yang pernah dilakukan adalah pemberian pupuk P, Cu, pengapuran, pemberian abu, aplikasi manure, pemberian tanah mineral, pengolahan tanah serta melakukan seleksi pada tanaman budidaya yang mampu beradaptasi pada lingkungan tanah gambut.

Rendahnya tingkat kesuburan gambut, terutama unsur P merupakan faktor pembatas pada proses budidaya, khususnya tanaman pangan. Astiana & Rochim (1979) melaporkan bahwa pemupukan P pada tanah gambut Delta Upang Sumatera Selatan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi varietas Pelita. Sarno (1996) mencoba menggunakan dua sumber P, yaitu batuan fosfat alam (BFA) dan TSP untuk meningkatkan produksi padi tahun pertama yang di tanam di lahan gambut asal rawa Jitu Lampung Utara. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa pemupukan dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P2O5/ha telah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA dosis 135 kg P2O5/ha tidak berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah meningkatkan kadar N-total, dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K-tersedia. Gambaran data tentang pengaruh pemberian BFA dan TSP pada tanah gambut tergenang dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 6: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

224

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Tabel 1. Kadar N total, P dan K tersedia serta pH setelah percobaan pemupukan BFA dan TSP terhadap padi pada tanah gambut dalam keadaan tergenang.

Pupuk (kg P2O5/ha) pH N (%) P (ppm) K (me/100g)

Tanpa P 3.94 2.12 44.67 0.18 45 3.98 2.03 38.31 0.19 90 3.88 2.08 58.29 0.18

BFA

135 3.97 2.22 78.51 0.20 45 3.94 2.22 41.31 0.19 90 3.94 2.36 59.17 0.18

TSP

135 4.02 2.43 95.78 0.18

(Sumber: Sarno, 1996)

Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pemberian BFA relatif kurang memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat kesuburan tanah gambut, sedangkan aplikasi TSP dosis 135 kg. P2O5/ha secara tegas menampakan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah.

Hasibuan (1999) selanjutnya melaporkan bahwa pemberian BFA dapat meningkatkan pH Histosol dari pH 3,18 menjadi 3,32. BFA dosis 600 ppm P2O5 juga lebih meningkatkan konsentrasi P-tersedia pada Histosol (204,5 ppm) dibandingkan apabila diaplikasikan pada tanah Inceptisol (33,50 ppm) dan tanah Oxisol (65,5 ppm). Walaupun konsentrasi P-tersedia pada Histosol lebih tinggi dibandingkan kedua jenis tanah lainnya, namun serapan P oleh tanaman jagung pada Histosol tergolong rendah (46,00mg/pot), sementara pada oxisol adalah 168,39 mg/pot dan Inceptisol sebesar 110,29 mg/pot. Fenomena tersebut terjadi karena tanah Histosol tidak memberikan lingkungan tumbuh optimal bagi tanaman jagung, yang ditandai dengan rendahnya berat kering tanaman, akibat pH yang rendah (3,18). Biasanya tanaman jagung akan tumbuh dengan baik apabila pH tanah berkisar antara 5,5 – 7,0. Fakta lain juga menunjukkan bahwa pemberian NPK + unsur mikro tidak memperbaiki pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah gambut apabila tidak dikombinasikan dengan pemberian kapur untuk meningkatkan pH.

Pengujian efektivitas berbagai sumber bahan ameliorasi tanah gambut juga telah dilakukan oleh Hartatik & Nugroho (2001) dengan menggunakan gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan. Hasil percobaan lapang selama periode Oktober 1999 hingga Januari 2000 menunjukkan bahwa aplikasi dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral pada dosis 0,5 dan 1,5 ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Tetapi pemberian bahan ameliorasi abu kayu pada dosis 5 dan 10 ton/ha secara nyata meningkatkan berat biji kering jagung, masing-masing sebesar 3,9 dan 4,5 ton/ha. Tanpa aplikasi abu produksi biji kering jagung hanya mencapai 2,5 ton/ha. Pemberian bahan ameliorasi dolomite, manure dan tanah mineral pada dosis 5,10 dan 15 ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi dan berat biomasa tanaman jagung. Hasil penelitian ini juga memberikan indikasi bahwa efektivitas sumber-sumber bahan ameliorasi untuk lahan gambut bervariasi tergantung jenis tanaman yang dibudidayakan serta kandungan nutrisi yang dimiliki oleh bahan-bahan tersebut (Tabel 2.). Abu kayu lebih banyak mengandung N-total, P2O5, K,Ca dan Mg dan unsur hara mikro, Fe,Mn,Cu dan Zn dibandingkan manure. Tanah mineral mengandung Fe, Mn,Cu dan Zn lebih tinggi dibandingkan bahan ameliorasi yang lainnya. Tingginya konsentrasi Fe pada tanah mineral dapat menurunkan aktivitas asam fenol. Kandungan Ca dan Mg yang tinggi pada dolomite diharapkan dapat meningkatkan pH tanah dan menyediakan Ca lebih banyak untuk tanaman.

Tabel 2. Komposisi unsur-unsur hara pada dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral.

Jenis Bahan Ameliorasi

N-total (%)

P2O5 (%)

K (%)

Ca (%)

Mg (%)

Fe (ppm)

Mn (ppm)

Cu (ppm)

Zn (ppm)

Dolomite - - - 19,29 11,07 645 42 3 33 Abu 0,78 0,96 0,24 0,83 0,44 815 420 18 86 Manure 0,65 0,25 0,39 0,29 0,24 305 60 5 60 Tanah Mineral 0,16 0,11 0,09 0,02 0,10 1164 850 114 302

Sumber : Hartatik & Nugroho (2001)

Page 7: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

225

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Sistem tanpa olah tanah yang diterapkan untuk budidaya padi pada lahan gambut di Bengkulu terbukti dapat menekan pertumbuhan gulma secara nyata apabila herbisida gliposat dan paraquat digunakan, tetapi pengaruhnya tidak nyata terhadap hasil gabah kering (Simarmata, 1997). Pengendalian gulma dengan penyiangan 2x secara manual maupun dengan herbisida 2,4 D mampu menekan pertumbuhan gulma lebih dari 80%. Jika pengendalian guma tidak dilakukan maka dapat menyebabkan penurunan jumlah anakan, jumlah malai dan hasil masing-masing 18,28, dan 32%, sedangkan gabah hampa meningkat 28% dibandingkan dengan penyiangan 2x. Penggunaan herbisida 2,4 D tidak menunjukkan perbedaan nyata pada hasil gabah dibandingkan dengan penyiangan 2x.

Perubahan pola penggunaan lahan gambut di Bengkulu dari lahan hutan ke non-hutan telah mempengaruhi siklus hara nitrogen, terutama transformasi internal N; laju mineralisasi. Kandungan N total pada tanah-tanah gambut umumnya tinggi tetapi bukan berarti ketersediaan N tinggi (Tiem & Lim, 1992). Penelitian Suhardi (2000) di Bengkulu menunjukkan bahwa terjadi penurunan potensi mineralisasi N akibat peralihan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Potensi mineralisasi N tertinggi terjadi pada lahan hutan, yaitu 44.094 me NO3/100g dan terendah pada lahan kelapa sawit (8.967 me NO3/100g) dan pertanian tanaman semusim (sayur-mayur) (8.394 me NO3/100g). Data juga menggambarkan bahwa proses drainase dan pengolahan lahan gambut telah menurunkan jumlah N-labil hingga 19-60% apabila lahan terkonversi menjadi kebun kelapa sawit dan sebesar 21-43% apabila lahan diusahan sebagai kebun sayur-mayur. Sementara itu, adanya proses pengeringan-pembasahan secara berulang-ulang sepanjang 10 tahun telah menurunkan potensi mineralisasi N sebesar 28-67% bila lahan dijadikan sawah. Hasil penelitian ini menyiratkan fakta adanya penurunan cadangan N yang dapat termineralisasi akibat proses aerobiosis yang senantiasa terjadi pada saat lahan diolah atau terkonversi. Percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa peralihan fungsi lahan gambut dari lahan hutan ke bentuk lahan pertanian menurunkan waktu penyediaan N serta memacu aktivitas mineralisasi N. Peningkatan aktivitas mineralisasi N berkaitan erat dengan proses drainase (konsentrasi oksigen), perbaikan ketersediaan hara melalui pemupukan serta perbaikan kemasaman tanah karena pengapuran.

Ketersediaan kebanyakan hara dalam tanah gambut, terutama N,P,K, Ca dan Cu rendah (Yonebashi et al., 1997). Tanah-tanah gambut tropika pada umumnya mempunyai kapasitas menyemat Cu yang tinggi karena sifat ikatannya yang kuat dengan bahan organik. Bertham (1996) melaporkan bahwa pemberian pupuk CuSO4 dosis 10 kg./ha. pada lahan gambut Air Hitam Bengkulu dapat memperbaiki keragaan dan pertumbuhan tanaman padi sawah. Kenampakan yang nyata terjadi pada peningkatan jumlah anakan setelah 30 HST dan tinggi tanaman pada 60 HST. Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk Cu telah mengurangi jumlah gabah hampa. Hal ini memberikan indikasi bahwa peningkatan produksi padi sawah di lahan gambut memerlukan input unsur mikro, khususnya Cu. Hasil percobaan di rumah kaca dengan menggunakan tanah Gambut asal Riau menunjukkan bahwa tanaman padi respon terhadap pemupukan NPKS, pengapuran dan pemupukan Cu (Riwandi, 2002, komunikasi pribadi). Pemupukan Cu juga meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap serangan hama dan penyakit akibat adanya peningkatan lignin pada dinding sel tanaman (Bertham, 1996).

Secara umum mayoritas penggunaan lahan gambut adalah untuk budidaya padi sawah. Sebagai contoh, propinsi Bengkulu memiliki 163.370 ha. lahan gambut dan 80.307 ha. diantaranya sudah diusahan untuk pertanian dan sekitar 75% digunakan untuk budidaya padi sawah yang dikelola secara tradisional (Busri et al., 1999). Dalam pengembangannya, kendala utama yang muncul adalah rendahnya mutu benih dan produktivitas padi yang ditanam di lahan gambut. Lahan gambut dengan segala keterbatasannya memerlukan benih yang memiliki kemampuan untuk mengatasi keterbatasan tersebut sehingga padi masih dapat berproduksi dengan baik. Untuk itu diperlukan seleksi tanaman-tanaman padi yang dapat beradaptasi dengan baik di lahan gambut, terutama melalui seleksi benih unggul lokal. Hal ini penting, karena keragaman padi lokal, terutama yang beredar di Bengkulu belum terungkap secara ilmiah potensi produksinya. Menurut Effendi et al.(1996), Bengkulu memiliki 20 galur/varietas padi, antara lain Cina Lamo, Dangko, Cina Abang, Madu/Lebah, Tambuku, Kemang, Bengkulu, Semail, Siam, Kuning Pandak, Gembira Putiak, Rimbo, pandak Kelabu, Batik, Galinggung, Jambi Alus, Duku, Bugis, Patik dan Gembira Kuning yang berasal dari daerah Bengkulu Selatan (12 varietas) dan Bengkulu Utara (8 varietas). Terdapat 19 varietas padi yang mempunyai tinggi tanaman 111,9 (padi Gembira Kuning) hingga 174,4 (padi Cina Lamo) dan hanya 1 varietas yang memiliki tinggi dibawah rata-rata yaitu 85 cm. Pada pengelolaan lahan gambut, masalah tata air merupakan

Page 8: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

226

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

masalah yang serius dan seringkali ketinggian air berubah secara mendadak. Sehubungan dengan hal tersebut maka varietas padi dengan tinggi diatas 150 cm. memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di lahan gambut. Tetapi, tanaman padi yang tinggi sering menimbulkan masalah lain yaitu mudah rebah. Data menunjukkan bahwa 2 varietas padi, yaitu padi Siam dan Gembira Kuning berumur genjah, sementara varietas yang lain berumur sangat dalam dengan saat mulai berbunga antara 83-125,3 HST. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya varietas-varietas yang memiliki potensi hasil sangat tinggi, antara lain padi Batik, padi Jambi Alus, padi Bugis dan padi Duku dengan jumlah anakan produktif berkisar antara 34 sampai 40 malai per rumpun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul nasional seperti IR64/36 yang mampu membentuk anakan produktif pada tanah di P. Jawa antara 15-21 anakan per rumpun (Anwari, 1993). Hasil percobaan ini juga memberikan gambaran bahwa jumlah anakan produktif berkorelasi positif dengan potensi hasil padi. Daya adaptasi dan potensi hasil yang baik pada beberapa varietas padi lokal tersebut, selanjutnya merupakan sumber plasma nutfah penting untuk bahan tetua bagi persilangan dalam upaya pengembangan varietas-varietas padi unggul lahan gambut.

REKLAMASI GAMBUT DAN KAITANNYA DENGAN DINAMIKA CARBON

Reklamasi lahan gambut untuk budidaya pertanian dan perkebunan biasanya diawali dengan proses drainase, pembukaan lahan (land clearing) dan persiapan lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Khusus untuk budidaya tanaman keras, seperti kelapa sawit, pemadatan harus dilakukan pada jalur pertanaman sebelum penanaman bibit (Vijarnsorn, 1996). Drainase yang dilakukan harus memenuhi dua syarat, yaitu (1) membuang kelebihan air dari hujan secara tepat waktu dan efisien serta (2) mengendalikan muka air tanah agar dapat mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman (Tie & Lim, 1992). Adanya proses usikan selama aktivitas reklamasi lahan gambut, yang meliputi pengatusan, pengeringan, pembersihan, penggenangan dan pengolahan lahan gambut, selanjutnya akan berdampak pada proses biologi tanah, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas oksidasi-reduksi bahan organik dari gambut. Salah satu masalah penting yang telah menjadi perhatian secara global adalah terjadinya emisi CO2 dan CH4 sebagai produk dari proses oksidasi-reduksi. Sebagai contoh, lahan gambut di Eropa Utara telah menyumbangkan sekitar 30% emisi CH4 dari total yang dihasilkan lahan gambut dunia. Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton CH4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30,9 juta ton CH4, sementara pada tanah alluvial hanya sebesar 5,0 juta ton CH4 (Barlett & Harris,1993). Selanjutnya , kuantitas C yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat proses konversi lahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Estimasi kehilangan C akibat konversi lahan gambut.

Luas lahan sebelumnya

(juta ha)

Luas lahan yang hilang

(juta ha)

Akumulasi C yang hilang akibat emisi

(juta ton C) C hilang /tahun

(juta ton C)

Pertanian/Kehutanan Subtropis 399 20 4140-5600 63-85

Tropis 44 1,76-3,8 746 53-114 Bahan bakar 5 590 -780 32-39 Hortikultura 5 > 100 33 Total 5476-7126 181-271

Sumber : Maltby & Immirzi (1993)

Data pada Tabel 3. memberikan gambaran bahwa proses kehilangan C menjadi sangat penting pada saat lahan gambut mengalami perubahan dalam pola penggunaannya. Secara global, konversi lahan menyebabkan laju emisi C lebih tinggi dibandingkan C-sequestration. Oleh karena itu perubahan tata guna lahan berpotensi untuk menciptakan sumber C tetapi juga sebagai penyebab kehilangan sumber C. Semakin produktif suatu lahan gambut (dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman) maka kian tinggi laju emisi CH4. Tanaman juga dapat berperan dalam melepaskan CH4 melalui akar dan batangnya (Adger & Brown, 1995). Laju produksi CH4 juga meningkat seiring dengan bertambahnya akumulasi serasah dan bahan organik dibawah zona anaerobik. Menurut Maltby & Immirzi (1993) luas lahan gambut selalu berkurang akibat adanya ekstensifikasi pertanian, perkebunan dan kehutanan. Secara global kerusakan yang terjadi telah mencapai sekitar 25 juta ha. hingga tahun 1980. Luasan lahan gambut yang kini tertinggal, baik di daerah sedang maupun tropis hanya dapat melakukan C-sequestration sekitar 125 juta ton C per tahunnya.

Page 9: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

227

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Secara umum emisi gas CO2 dan CH4 sangat dipengaruhi faktor lingkungan, terutama suhu dan curah hujan, dan lahan gambut sensitif terhadap keduanya (Adger & Brown, 1995). Di Indonesia penelitian-penelitian yang mengkaji tentang masalah emisi CO2 dan CH4 dari lahan gambut masih terbatas dan relatif belum bersifat komprehensif-terpadu-multidisipliner. Namun demikian, dalam tulisan ini akan diketengahkan fenomena reklamasi tanah gambut asal Jambi dalam hubungannya dengan emisi CO2 dan CH4 dalam eksperimen terkontrol.

Dalam penelitiannya Sabiham et.al. (2000) mengkaji dampak proses oksidasi-reduksi pada suhu terkontrol (20oC dan 30oC) serta pemberian kation Fe 3+ terhadap emisi gas CO2 dan CH4. Estimasi laju pelepasan CO2 dan CH4 dari tanah gambut untuk setiap kondisi lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3. Secara umum, data menggambarkan bahwa kehilangan C tertinggi dalam bentuk CO2 terjadi pada proses oksidasi suhu 30oC, sementara pola pelepasan CH4 cenderung tidak berpola. Estimasi total pelepasan gas dalam bentuk CO2 dan CH4 terjadi pada kondisi oksidasi ditemukan pada perlakuan oksidasi suhu 30oC dengan nilai tertinggi 3,62 kg C/ton C dan terendah pada kondisi reduksi suhu 20oC dengan nilai 2.47 kgC/ton C. Secara teoritik hal ini dapat dimengerti karena pada kondisi lingkungan tersebut mikroorganisme aerob terpacu untuk melakukan mineralisasi karena suhu optimum bagi aktivitas mikrobia aerob tersebut adalah berkisar 30-35oC (Handayani, 1991; 1996; Handayani et al., 2001).

Kehilangan C tertinggi terjadi pada gambut fibrik dengan nilai 3,13 kg C/ton C, yang berasal dari gas CO2 (1.446 ton/ha./hari) dan CH4 (0.524 ton/ha./hari) (Tabel 4). Menurut Sabiham (1997) tingginya pelepasan gas CO2 dan CH4 dari gambut fibrik disebabkan karena fibrik memiliki kandungan serat, C-organik dan rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan gambut hemik dan saprik. Flaig et al. (1977) menyatakan bahwa fibrik adalah bahan organik yang masih sedikit mengalami dekomposisi, mengandung serat lebih dari 2/3 volume. Saprik adalah bahan organik yang telah terdekomposisi lanjut dengan kandungan serat kurang dari 1/3 volume. Hal ini menyebabkan mikrobia yang berada pada gambut saprik dapat memperoleh substrat yang lebih banyak, sehingga dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat (Sabiham, 1997).

Tabel 3. Dinamika pelepasan C dari gambut asal Jambi dalam bentuk gas CO2 dan CH4.

Proses Suhu (oC)

CO2 (ton/ha/hari)

Kehilangan C* (kg/ton)

CH4 (ton/ha/hari)

Kehilangan C** (kg/ton)

Total Kehilangan C ***

(kg/ton) Lokasi I Oksidasi 20 1,527 2,4 0,298 0,47 2,87 Oksidasi 30 1,825 2,9 0,344 0,54 3,44 Reduksi 20 1,248 2,0 0,295 0,47 2,47 Lokasi II Oksidasi 20 1,524 2,4 0,343 0,54 2,94 Oksidasi 30 1,906 3,0 0,391 0,62 3,62 Reduksi 20 1,242 2,0 0,459 0,73 2,73 Lokasi III Oksidasi 20 1,527 2,4 0,456 0,73 3,13 Oksidasi 30 1,849 2,9 0,325 0,52 3,42 Reduksi 20 1,217 2,0 0,345 0,56 2,76

* Pelepasan C dalam bentuk CO2, ** Pelepasan C dalam bentuk CH4, *** Pelepasan C dalam bentuk gas CO2 dan CH4.*,**,*** per hari. Satuan ha menggunakan asumsi lapisan profil 0-40 cm dengan berat volume 0.28.

Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)

Pelepasan CO2 tertinggi terjadi pada inkubasi aerob suhu 30oC. Hal ini disebabkan karena pada kondisi aerob, mikroorganisme pelaku mineralisasi lebih aktif dibandingkan suasana anaerob. Dengan demikian hasil mineralisasi yaitu CO2 jadi lebih tinggi (Magnuson, 1993). Sebaliknya tingginya CO2 pada kondisi anaerob disebabkan tidak tersedianya oksigen dalam lingkungan tersebut sehingga hanya golongan bakteri anaerob yang aktif, seperti bakteri penghasil methane/methanogen. Bakteri tersebut dapat bekerja secara aktif pada kondisi anaerob dengan redoks potensial - 200 mV. (Tsutsuki & Ponnamperuma, 1987).

Page 10: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

228

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Menurut Tan (1993) dan Stevenson (1994), gambut banyak mengandung senyawa organik yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation logam. Gugus fungsi yang mengandung oksigen seperti C=O, -OH, serta -COOH merupakan tapak reaktif dalam pengikatan ion.

Tabel 4. Dinamika pelepasan C dari gambut asal Jambi dalam bentuk gas CO2 dan CH4 pada berbagai tingkat dekomposisi gambut dan kondisi inkubasi.

Perlakuan Suhu

(oC) CO2

(ton/ha/hari) Kehilangan C *

(kg/ton) CH4

(ton/ha/hari) Kehilangan C**

kg/ton Total

Kehilangan C *** kg/ton

Tingkat Dekomposisi Fibrik - 1,446 2,3 0,524 0,83 3,13 Hemik - 1,328 2,1 0,401 0,63 2,73 Saprik - 1,210 1,96 0,316 0,51 2,47 Jenis inkubasi Aerob 20 1,553 - 0,312 - - Aerob 30 1,860 - 0,353 - Anaerob 20 1,235 - 0,420 -

Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)

Sabiham & Sulistyono (2000) berpendapat bahwa kation Fe 3+ mempunyai urutan kekuatan ikatan kation dan kestabilan kompleks logam-organik yang paling tinggi daripada kation logam lainnya. Pemberian Fe 3+ pada gambut saprik asal Jambi sebanyak 2,5% dan 5% dari erapan maksimum, terbukti mampu mengatasi masalah toksisitas asam fenolat pada gambut dengan membentuk senyawa kompleks. Selanjutnya, pemberian kation tersebut dianggap paling efektif untuk reklamasi gambut khususnya dalam rangka mengupayakan stabilisasi gambut melalui decomposition prevention, sehingga pelepasan gas CO2 dan CH4 dapat ditekan (Sabiham, 1997).

Data pada Tabel 5. menggambarkan pengaruh kation Fe 3+ terhadap penurunan emisi gas CO2 dan CH4. Pemberian kation Fe 3+ dalam bentuk senyawa FeCl3.6H2O dengan dosis 25 sampai 75 g./kg. telah menurunkan pelepasan C sebesar 10-27%. Menurut Sabiham & Sulistyono (2000) penurunan ini diduga karena telah terjadi ikatan kompleks yang stabil antara kation Fe 3+ dengan ligan-ligan organik pada tanah gambut. Stevenson (1994) mengungkapkan bahwa kompleks yang terbentuk ini merupakan ikatan kovalen yang lebih kuat dan cenderung stabil, sehingga lebih sulit untuk diputuskan atau dipertukarkan. Adanya pembentukan kompleks tersebut dapat menyebakan gambut lebih tahan terhadap proses dekomposisi, yang akhirnya dapat turut menekan pelepasan gas CO2 dan CH4 ke atmosfir. Oleh karena itu, dari segi manfaat praktis bahan-bahan ameliorasi berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi produksi gas CO2 dan CH4, dengan dosis anjuran sekitar 50 g./kg.

Tabel 5. Pengaruh pemberian kation Fe 3+ terhadap laju pelepasan gas CO2 dan CH4 pada tanah gambut asal Jambi

Dosis Fe 3+ CO2 (ton/ha/hari)

CH4 (ton/ha/hari)

Total Emisi (ton/ha/hari)

Tanpa 1,076 0,530 1,607 25 g./kg. 0,973 0,479 1,453 50 g./kg. 0,829 0,408 1,238 75 g./kg. 0,767 0,397 1,165

Sumber data: Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)

Hasil penelitian ini menawarkan suatu permasalahan lingkungan yang cukup mendasar sebagai akibat aktivitas penanganan lahan gambut, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan emisi gas rumah kaca. Fakta-fakta yang digulirkan juga menunjukkan bahwa lahan gambut dapat bersifat sebagai C-source dan C-sink, dimana antar keduanya melibatkan berbagai input yang diberikan pada gambut. Berpangkal dari dilema tersebut maka upaya pembenahan di dalam program pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan faktor keamanan ekologis, sehingga lahan-lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung stabilitas

Page 11: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

229

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek aboveground biomass dan belowground.

KESIMPULAN

Lahan gambut di Indonesia, khususnya di Sumatra merupakan sumberdaya alam tropika yang semakin penting untuk perluasan budidaya baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun kehutanan, karena ketersediaan lahan kering subur kian menurun dari tahun ke tahun. Tetapi, tumpuan harapan terhadap potensi lahan gambut sebagai media budidaya telah menyebabkan berbagai permasalahan baik dari segi produktivitas tanaman maupun kualitas lingkungan global. Reklamasi lahan gambut serta pemanfataannya sebagai bahan ameliorasi telah berdampak pada keberlanjutan fungsi gambut, yang akhirnya membuat posisi lahan gambut semakin rapuh. Untuk itu, diperlukan strategi pengelolaan yang dapat menjamin keselarasan antara fungsi gambut sebagai media budidaya untuk menghasilkan produktivitas tanaman secara berkelanjutan sekaligus sebagai agensia penyelamat iklim global, khususnya dalam rangka mitigasi gas rumah CO2 dan CH4.

Penyusunan agenda pengelolaan lahan gambut selanjutnya harus bertumpu pada aspek kesesuaian komoditas tanaman, konservasi gambut, pencegahan terjadinya penurunan pada sifat-sifat tanah gambut akibat reklamasi dan praktek budidaya serta akselerasi C-sequestration melalui pemberdayaan model revegetasi yang adaptif. Selanjutnya, teknologi-teknologi berbasis multidisciplinary strategies diharapkan dapat membantu mendukung tujuan pengelolaan gambut secara berkelanjutan, khususnya dalam upaya pencarian tanaman-tanaman toleran gambut, pengaturan dan pengendalian tata air yang optimal agar oksidasi tidak terjadi secara berkepanjangan, serta pendayagunaan bahan ameliorasi yang efektif dan efisien berbasis sumberdaya alam lokal.

Page 12: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

230

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

PUSTAKA ACUAN

Adger, N.E., & K.Brown. 1995. Land use and the causes of global warming. John Wiley and Sons, New York. h. 96-111.

Anderson, J.A.R. 1983. The tropical peat swamps of Western Malesia. Dalam: Gore, A.J.P. (Ed.), Mires:Swamp, Bog, Fen and Moor. Regional Studies. Vol. 4B. Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam, h. 181-199.

Anwari, M. 1993. Evaluasi daya hasil lanjutan galur-galur padi. Risalah Seminar:KOmponen teknologi budidaya tanaman pangan di Propinsi bali. Balai Penelitian tanaman pangan Malang. h. 173-177.

Astiana & A.Rochim. 1979. Pengaruh pemupukan fosfor pada tanah gambut terhadap padi varietas Pelita I-1. Makalah Jur.Ilmu Tanah, IPB. Bogor. 17 hal.

Bartlett, K.B., & R.C. Harris. 1993. Review and assessment of methane emissions from wetlands. Chemosphere 26:261-320.

Bastoni. 1999. Studi aspek kimia dan kesuburan campuran tanah organik (gambut) dan mineral (lumpur) yang digunakan untuk media tumbuh. Bulletin Reboisasi 7:21-33.

Bertham, Y.H. 1996. Manfaat unsur tembaga (Cu) dalam meningkatkan hasil padi sawah di lahan gambut Air Hitam Bengkulu. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UNIB.

Driessen, P.M., & H.Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Bulletin 3. Soil Research Institute. Bogor. h. 20-44.

Flaig, W., B.Nagar, H.Sochtig & C.Tientjen. 1977. Organic materials and soil productivity. D.O.A. Soil Bull. 35:1-63.

Friends of the Earth. 1992. The global status of peatlands and their role in carbon cycling. A report prepared by The Wetland Ecosystems Research Group. Department of Geography, University of Exeter. h. 145.

Effendi, F., H.Wicaksono, D.Suryati, F.Barchia & Fahrurrozi. 1996. Penampilan beberapa varietas padi lokal Bengkulu pada lahan gambut. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian UNIB.

Handayani, I.P. 1991. Temporal variability of soil properties as affected by cropping. Master Thesis. University of Arkansas, Fayetteville, USA.

Handayani, I.P. 1996. Carbon and N pools and Transformation after 23 years of no-till and conventional tillage. Dissertation. University of Kentucky, Lexington, USA.

Handayani, I.P., P. Prawito, P. Lestari. 2001. Daya suplai nitrogen dan fraksionasi pool C-N labil pada lahan kritis. Laporan akhir Riset Unggulan Terpadu (RUT VII). Kementrian Riset dan Teknologi-LIPI-Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu.

Page 13: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

231

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Hardjowigeno, S. 1989. Sifat-sifat tanah dan potensi tanah gambut Sumatra untuk pengembangan pertanian. Prosiding Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fakultas Pertanian UISU, Medan. h. 14-42.

Hartatik, W., & K.Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize growth in peat soil from Air Sugihan kiri, South Sumatra. Dalam: Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatlands. J.O. Rieley & S.E.Page (Eds.). Jakarta. August 22-23.

Hasibuan, B.E. 1999. Tanggap histosol, Oksisol dan inceptisol terhadap fosfat alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Prosiding Kongres Nasional VII HITI. Buku II. hal. 831-843.

Hendarto, K. 1996. Pengaruh manure ayam terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB.

Herudjito, D. 1999. Pengaruh bahan humat dari air gambut dan kapur terhadap sifat-sifat tanah latosol (Oxic Dystropept). Prosiding Kongres Nasional VII HITI. Buku II. hal. 547-561.

Iswahriyanto, A. 1996. Pengaruh aktivator ruminansia terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB

Kalmari, A. 1982. Energy use of peat in the world and possibility in the developing countries. Seminar on Peat for Energy Use. Bandung, June 29-30.

Magnuson, T. 1993. Carbon dioxide and methane formation in forest mineral and peat soils during aerobic and anaerobic incubations. Soil Biol. Biochem. 25(7):877-883.

Maltby, E., & C.P.Immirzi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetland soils:regional and global perspectives. Chemosphere 27:999-1023.

Neue, H.U., Z.P.wang, P.Becker-Heidmann, & C. Quijano. 1997. Carbon in tropical wetlands. Geoderma 79:163-185.

Sabiham, S. 1997. Penggunaan kation terpilih untuk menurunkan asam-asam fenolat toksik dalam tanah gambut dari Jambi. J.Il. Indon. 7(1): 19-27.

Sabiham & Sulistyiono. 2000. Kajian beberapa sifat inheren dan perilaku gambut: Kehilangan karbondioksida dan Metana melalui proses reduksi-oksidasi. J.Tanah Tropika 5(10)127-136.

Sarno. 1996. Pemupukan batuan fosfat alam (BFA) pada tanaman padi di tanah gambut dalam keadaan tergenang. Jurnal Tanah Tropika 2(2):19-25.

Simarmata, M. 1997. Budidaya tanpa olah tanah (TOT) dan cara pengendalian gulma pada tanaman padi di lahan rawa Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB 9:23-29.

Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, reaction. A Wiley-Interscience Publ. John Wiley & Sons. 2nd ed. New York. hal 496.

Page 14: 12_Peatlands Utilisation in Sumatra_Handayani.pdf

232

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Suhardi. 2000. Pola perubahan laju mineralisasi nitrogen pada peralihan fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian. Kumpulan artikel penelitian berbagai bidang ilmu (BBI). Lembaga Penelitian UNIB.

Suhardjo, H., & I.P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat soils from Riau. Dalam: Peat and Podzolic Soils and Their Potential for Agriculture in Indonesia. Proceedings ATA 106

Midterm Seminar, Soil Research Institute, Bogor. h. 74-92.

Tan, K.H. 1993. Principles of soil chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York. hal 362.

Tie, Y.L., & J.S. Lim. 1992. Characteristics and clasification of organic soils in Malaysia. Dalam:Tropical Peat, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, Kuching. Malaysia. h. 107-113.

Tsutsuki & F.N. Ponnamperuma. 1987. Behavior of anaerobic decomposition products in submerged soils. Soil Sci. Plant. Nutr. 33(1):13-33.

Vijarnsorn, P. 1996. Peatlands in Southeast Asia : a regional perspective. Dalam: Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia (E.Maltby et al., Eds), IUCN. Gland Switzerland. h. 75-92.

Widiono, H. 1996. Pengaruh fosfat alam terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB.

Yonebayashi, K., M.Okazaki, N.Kaneko & S.Funakawa. 1997. Tropical peatland soil ecosystems in Southeast Asia: Their characterization and sustainable utilization. Dalam: Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. J.O riely & S.E.Page (Eds.). Samara Publ. Ltd. Cardigan. h. 103-111.

Yusnaini, S., & G,N.Sutopo. 1993. Pengembangan zat pengatur tumbuh alami asal humus dan mikroorganisme: pengaruh ekstrak air gambut saprik, kompos sampah kota, pupuk kandang, kotoran cacing tanah terhadap kecambah bebijian dan pepolongan. Ringkasan hasil penelitian 1992-1993. Buku II. DP4M-DIKTI. hal. 160-162.