DEGRADABILITAS In Vitro DAN In Sacco PAKAN TERNAK ...

115
DEGRADABILITAS In Vitro DAN In Sacco PAKAN TERNAK RUMINANSIA BERBASIS JERAMI PADI FERMENTASI DAN NON FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRAT PLUS SKRIPSI WINDI SOFIANA PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/ 1439 H

Transcript of DEGRADABILITAS In Vitro DAN In Sacco PAKAN TERNAK ...

DEGRADABILITAS In Vitro DAN In Sacco PAKAN TERNAK

RUMINANSIA BERBASIS JERAMI PADI FERMENTASI DAN

NON FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRAT

PLUS

SKRIPSI

WINDI SOFIANA

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/ 1439 H

DEGRADABILITAS In Vitro DAN In Sacco PAKAN TERNAK

RUMINANSIA BERBASIS JERAMI PADI FERMENTASI DAN

NON FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRAT

PLUS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

WINDI SOFIANA

1112096000026

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/ 1439 H

ABSTRAK

WINDI SOFIANA. Degradabilitas In Vitro dan In Sacco Pakan Ternak Ruminansia

Berbasis Jerami Padi Fermentasi dan Non Fermentasi Dengan Penambahan Konsentrat

Plus. Dibimbing oleh SUHARYONO dan SANDRA HERMANTO.

Rendahnya kandungan protein, mineral dan energi pada jerami padi membutuhkan

penambahan konsentrat untuk meningkatkan nilai nutrisi dari pakan ternak. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrat plus pada jerami padi

fermentasi dan non fermentasi dengan komposisi yang berbeda terhadap nilai degradasi

pakan yang diperoleh. Pada penelitian ini proses inkubasi dilakukan menggunakan

inkubator selama 2 jam dengan metode in vitro dan fermentasi di dalam rumen kerbau

menggunakan kantong nilon dengan metode in sacco. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kandungan protein kasar dengan penambahan konsentrat plus pada jerami padi

non fermentasi dan fermentasi secara berturut-turut sebesar 9,13% dan 9,65%. Hasil uji

in vitro penambahan konsentrat plus meningkatkan nilai pH, N-NH3, TVFA dan

menurunkan populasi protozoa. Hasil uji in sacco nilai degradasi bahan kering dan

bahan organik pada campuran konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi

tertinggi terjadi pada penambahan konsentrat sebanyak 40% dan 30% pada waktu

inkubasi 72 jam (50,90% dan 50,58%). Sedangkan nilai degradasi bahan kering dan

bahan organik pada campuran konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi tertinggi

terjadi pada penambahan konsentrat sebanyak 15% pada waktu inkubasi 72 jam (49,53%

dan 50,09%). Penambahan konsentrat plus sebanyak 40% dan 30% pada jerami padi

fermentasi dan non fermentasi mampu meningkatkan kandungan nutrisi sehingga

meningkatkan nilai degradasi pakan ternak dibandingkan tanpa penambahan konsentrat

plus.

Kata kunci: degradabilitas, in sacco, in vitro, jerami padi, konsentrat plus.

ABSTRACT

WINDI SOFIANA. In Vitro and In Sacco Degradability of Fermented and Non

Fermented Rice Straw Ruminanted Cattle Feed With Concentrate Plus Addition.

Supervised by SUHARYONO and SANDRA HERMANTO.

Low levels of protein, minerals and energy in rice straw need concentrate addition to

improve nutrients from animal feed. This research was intended to see the effect of

concentrate plus on fermented and non fermented rice straw with different composition

to the value of feed degradation. In this research, the incubation stage was done by using

incubator for 2 hours with in vitro method and fermentation in rumen simulated of

buffalo using nylon bag with in sacco method. The results showed that the crude protein

content with the addition concentrate plus on non fermented and fermentation rice straw

were 9,13% and 9,65% respectively. The results of in vitro method the addition of

concentrate plus increased the pH, N-NH3, TVFA and decreased the protozoa

population. The results of in sacco the highest degradation values of dry matter and

organic matter were addition the concentrate plus at 40% and 30% on non fermented

rice straw at 72 hours incubation time (50,90% and 50,58%). While the highest

degradation values of dry matter and organic matter were addition the concentrate plus

at 15% on fermented rice straw with 72 hours incubation time (49,53% and 50,09%).

The addition of 40% and 30% concentrate plus on fermented and non fermented rice

straws increased the nutrient content so that increased the degradation value of animal

feed compared to without concentrate plus addition.

Keywords: degradability, in sacco, in vitro, rice straw, concentrate plus.

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Degradabilitas in Vitro dan in Sacco Pakan Ternak Ruminansia Berbasis Jerami

Padi Fermentasi dan Non Fermentasi dengan Penambahan Konsentrat Plus”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari bantuan banyak

pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Ir. Suharyono, M.Rur, Sci selaku Pembimbing I yang telah memberikan

pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan, bimbingan serta dukungan sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Penguji I sekaligus sebagai Ketua Program Studi

Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Dr. Siti Nurbayti, M.Si selaku Penguji II yang telah memberikan pengarahan,

bimbingan serta dukungan sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

v

6. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yakni Bapak Pendi, Ibu Sri, dan Ojan atas

segala doa, pengorbanan, nasihat, dan motivasinya kepada penulis.

7. Pak Teguh, Mbak Tia, Pak Edi, Pak Nana, dan Pak Irawan yang banyak

memberikan bantuan dan arahan serta waktu untuk berdiskusi selama penelitian.

8. Teman-teman seperjuangan Iin, Dianti, Putri, Reza dan teman-teman Kimia 2012

yang senantiasa memberi dukungan, motivasi dan kebahagiaan kepada penulis

9. Fattiah, Siti, Mega, Fitri, Yana, dan Zahra yang senantiasa menjadi penyemangat

dan penghibur selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Jakarta, April 2018

Penulis

vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv

DAFTAR ISI ................................................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................ 3

1.3 Hipotesis ................................................................................................................. 4

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 4

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5

2.1 Konsentrat Pakan Ternak ........................................................................................ 5

2.2 Jerami Padi .............................................................................................................. 8

2.3 Fermentasi ............................................................................................................... 10

2.4 Aspergillus niger ..................................................................................................... 11

2.4.1 Morfologi dan sifat-sifat Aspergillus niger .................................................. 11

2.4.2 Karakteristik Aspergillus niger ..................................................................... 12

2.5 Metode In Vitro ....................................................................................................... 13

2.6 Metode In Sacco ..................................................................................................... 15

2.7 Ruminansia ............................................................................................................. 16

2.7.1 Produksi VFA (Volatil Fatty Acid) dan NH3 dalam Rumen ......................... 18

vii

2.7.2 Protozoa dalam Rumen ................................................................................ 20

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 24

3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................................. 24

3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................ 24

3.2.1 Alat ................................................................................................................ 24

3.2.3 Bahan ............................................................................................................ 24

3.3 Metode Penelitian ................................................................................................... 25

3.3.1 Desain Penelitian .......................................................................................... 25

3.3.2 Parameter Penelitian .................................................................................... 25

3.4 Prosedur Kerja ........................................................................................................ 26

3.4.1 Preparasi Sampel ........................................................................................... 26

3.4.2 Pengambilan Cairan Rumen ......................................................................... 26

3.4.3 Fermentasi Rumen Kerbau dengan Metode Inkubasi In Vitro ..................... 26

3.4.3.1 Proses Inkubasi ................................................................................. 26

3.4.3.2 Pengukuran pH ................................................................................. 27

3.4.3.3 Pengukuran N-NH3 ........................................................................... 27

3.4.3.4 Pengukuran Total Volatil Fatty Acids (TVFA) ................................ 28

3.4.3.5 Pengukuran Populasi Protozoa ........................................................ 28

3.4.4 Analisis Kandungan Nutrisi .......................................................................... 29

3.4.4.1 Pengukuran Kadar Bahan Kering (BK), Kadar Air, Kadar

Bahan Organik (BO) dan Kadar Abu ............................................... 29

3.4.4.2 Pengukuran Kadar Lemak ................................................................ 29

3.4.4.3 Pengukuran Kadar Protein Kasar ..................................................... 30

3.4.4.4 Pengukuran Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral

Detergent Fiber (NDF) .................................................................. 30

viii

3.4.5 Fermentasi di dalam Rumen Kerbau Secara In Sacco .................................. 31

3.4.5.1 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) dan

Degradasi Bahan Organik (DBO)..................................................... 32

3.4.6 Analisis Statistik ........................................................................................... 32

3.4.7 Diagram Alir Penelitian ................................................................................ 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 34

4.1 Kandungan Nutrisi .................................................................................................. 34

4.2 Kandungan Nutrisi Pakan Campuran Konsentrat Plus dan Jerami Padi Non

Fermentasi ............................................................................................................... 36

4.3 Kandungan Nutrisi Pakan Campuran Konsentrat Plus dan Jerami Padi

Fermentasi ............................................................................................................... 40

4.4 Fermentasi Rumen Kerbau dengan Metode Inkubasi secara In Vitro .................... 43

4.4.1 Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In Vitro dari Pakan Campuran

Konsentrat Plus dengan Jerami Padi Non Fermentasi .................................. 43

4.4.2 Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In Vitro dari Pakan Campuran

Konsentrat Plus dengan Jerami Padi Fermentasi .......................................... 46

4.5 Fermentasi di dalam Rumen Kerbau Secara In Sacco ............................................ 49

4.5.1 Degradasi Bahan Kering (DBK) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Non Fermentasi ......................................................................... 49

4.5.2 Degradasi Bahan Kering (DBK) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Fermentasi ................................................................................. 53

4.5.3 Degradasi Bahan Organik (DBO) Pakan Campuran Konsentrat Plus

dan Jerami Padi Non Fermentasi .................................................................. 56

4.5.4 Degradasi Bahan Organik (DBO) Pakan Campuran Konsentrat Plus

dan Jerami Padi Fermentasi .......................................................................... 58

BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 61

5.1 Simpulan ................................................................................................................. 61

5.2 Saran ....................................................................................................................... 61

ix

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 62

LAMPIRAN ................................................................................................................. 71

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Konsentrat plus .......................................................................................... 6

Gambar 2. Struktur selulosa ........................................................................................ 9

Gambar 3. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase .................................. 11

Gambar 4. Fungi Aspergillus niger ............................................................................. 12

Gambar 5. Perlengkapan dalam metode in sacco ........................................................ 15

Gambar 6. Anatomi ruminansia .................................................................................. 17

Gambar 7. Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan VFA pada

ruminansia ................................................................................................. 18

Gambar 8. Proses metabolisme protein dan pembentukan amonia (NH3) pada

ruminansia ................................................................................................. 20

Gambar 9. Protozoa dalam cairan rumen .................................................................... 21

Gambar 10. Diagram alir penelitian ............................................................................ 33

Gambar 11. Grafik persentase degradasi bahan kering (DBK) konsentrat plus

dan jerami padi non fermentasi ................................................................ 50

Gambar 12. Grafik persentase degradasi bahan kering (DBK) konsentrat plus

dan jerami padi fermentasi....................................................................... 53

Gambar 13. Grafik persentase degradasi bahan organik (DBO) konsentrat plus

dan jerami padi non fermentasi................................................................ 57

Gambar 14. Grafik persentase degradasi bahan organik (DBO) konsentrat plus dan

jerami padi fermentasi ............................................................................. 59

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien konsentrat lokal ...................................... 5

Tabel 2. Komposisi nilai nutrisi jerami padi ................................................................ 9

Tabel 3. Perlakuan penelitian ....................................................................................... 25

Tabel 4. Parameter penelitian yang diuji ...................................................................... 26

Tabel 5. Kandungan nutrisi .......................................................................................... 34

Tabel 6. Kandungan nutrisi konsentrat plus dan jerami padi non fermentasi .............. 37

Tabel 7. Kandungan nutrisi konsentrat plus dan jerami padi fermentasi ..................... 40

Tabel 8. Karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dari pakan campuran

konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi. ...................................... 44

Tabel 9. Karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dari pakan campuran

konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi .............................................. 47

Tabel 10. Persentase degradasi bahan kering (DBK) hasil fermentasi pakan

campuran konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi secara

in sacco pada periode inkubasi 0-72 Jam ..................................................... 51

Tabel 11. Persentase degradasi bahan kering (DBK) hasil fermentasi pakan

campuran konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi secara

in sacco pada periode inkubasi 0-72 jam ..................................................... 54

Tabel 12. Persentase degradasi bahan organik (DBO) hasil fermentasi pakan

campuran konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi secara

in sacco pada periode inkubasi 0-72 jam ..................................................... 58

Tabel 13. Persentase degradasi bahan organik (DBO) hasil fermentasi pakan

campuran konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi secara

in sacco pada periode inkubasi 0-72 jam ..................................................... 60

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Dokumentasi penelitian .......................................................................... 71

Lampiran 2. Hasil pengamatan dan perhitungan ......................................................... 74

Lampiran 3. Data uji statistik IBM SPSS 20,00 .......................................................... 82

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas sawah di Indonesia adalah 13.835.252 ha, produksi per hektar sawah bisa

mencapai 71.279.709 ton jerami padi setiap kali panen, tergantung lokasi dan varietas

tanaman (BPS, 2014). Meskipun produksi jerami padi cukup banyak tetapi

pemanfaatannya masih terbatas sebagai bahan pakan ternak. Pemanfaatan jerami padi

masih sekitar 38% dari jumlah produksi, sehingga jumlah jerami padi yang belum

dimanfaatkan sebesar 62% dari jumlah yang tersedia (Sitorus, 2002).

Jerami padi dapat menggantikan 10% dari hijauan segar bagi kambing dan

domba. Sementara itu apabila digunakan bersamaan dengan konsentrat, maka jerami

padi fermentasi dapat menggantikan rumput segar sebanyak 30% (Martawidjaja, 2003).

Oleh karena itu, perlu ditambahkan dengan bahan pakan lainnya untuk meningkatkan

nilai nutrisi dan daya cerna. Salah satu perlakuan yang dilakukan adalah dengan

menambahkan konsentrat untuk menambah nilai nutrisi dari pakan. Seperti yang

tertuang pada Q.S An Nahl ayat 10:

Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu,

sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya menyuburkan tumbuh tumbuhan,

yang (pada tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu”.

2

Q.S An Nahl ayat 10 menjelaskan bahwa Allah SWT menurunkan hujan dan

menumbuhkan berbagai macam tumbuhan agar manusia dapat memanfaatkannya. Salah

satu contoh tumbuhan yang dapat dimanfaatkan yaitu jerami padi. Pemberian pakan

tunggal jerami padi belum mampu memenuhi kebutuhan nutrien baik bagi mikroba

rumen maupun ternak itu sendiri, sehingga masih dibutuhkan bahan pakan lain sebagai

pelengkap (Christiyanto, 2005). Untuk itu diperlukan pemberian pakan yang bermutu

baik secara kualitas maupun kuantitas. Pemberian konsentrat yang mengandung protein

tinggi mampu mengaktifkan mikroba rumen sehingga meningkatkan deaminasi dan

akhirnya meningkatkan kecernaan pakan.

Kosentrat merupakan pakan yang berasal dari bungkil kelapa, polard tepung

ikan, gaplek, molase dan limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung giling,

tepung kedelai dan bekatul (Suryani et al., 2014). Wahyuni et al., (2014) mengemukakan

bahwa suplementasi merupakan salah satu usaha peningkatan produktivitas ternak

dengan melakukan penambahan bahan di dalam pakan. Pemberian konsentrat dan

perlakuan suplementasi adalah salah satu upaya menyeimbangkan degradasi karbohidrat

dengan degradasi protein.

Penelitian yang dilakukan Momot et al., (2014) menunjukkan bahwa

penggunaan konsentrat dalam pakan rumput benggala dapat meningkatkan kecernaan

bahan kering dan bahan organik dengan kecernaan tertinggi dicapai pada penggunaan

kosentrat 75%. Suryani et al., (2014) mengemukakan bahwa pemberian ransum

mengandung 70% hijauan dengan komposisi beragam + 30% konsentrat menghasilkan

asam propionat sebagai sumber energi yang lebih tinggi pada hewan ruminansia.

Penelitian yang dilakukan Syapura et al., (2013) menunjukkan penggunaan jerami padi

amoniasi yang ditambah konsentrat dapat meningkatkan produk fermentasi rumen serta

meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada ternak kerbau.

3

Penelitian yang dilakukan Suharyono et al., (2015) menunjukkan bahwa

dinamika konsentrasi NH3 dan produksi VFA total konsentrat komersial selalu lebih

rendah dibandingkan KS (konsentrat komersial + suplemen pakan baru). Perlakuan KS

40 (konsentrat komersial 60% + SPB 40%) menghasilkan produksi VFA total sebesar

56,7% lebih tinggi dibanding konsentrat komersial. Penambahan SPB sebesar 40% pada

konsentrat komersial dapat menstabilkan pH, konsentrasi NH3 dan produksi VFA total

cenderung tinggi.

Pengujian degradabilitas bahan pakan dilakukan dengan metode in vitro dan in

sacco. Penggunaan metode in vitro dilakukan dengan mengamati efek suplementasi

konsentrat plus pada pakan terhadap nilai pH, N-NH3, TVFA dan populasi protozoa

sedangkan metode in sacco dilakukan untuk mengamati degradabilitas DBK dan DBO.

Metode in sacco memiliki keungulan yaitu dapat mengetahui besarnya laju degradasi

bahan pakan dalam organ pencernaan pada waktu tertentu, sedangkan metode in vitro

tidak (Wati et al., 2012). Oleh karena itu, dilakukan evaluasi pakan campuran yaitu

konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi dan konsentrat plus dengan jerami

padi fermentasi dengan menganalisis nutrisi yang dapat dicerna secara in vitro dan in

sacco melalui perlakuan yang beragam dan periode waktu yang berbeda.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana nilai degradabilitas pakan dengan pemberian konsentrat plus yang

beragam pada jerami padi fermentasi dan non fermentasi yang diuji secara in

vitro dan in sacco?

2. Apakah penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi dan non

fermentasi mampu meningkatkan degradabilitas dan kualitas pakan jika dilihat

dari peningkatan nilai DBK, DBO, pH, N-NH3 dan TVFA?

4

1.3 Hipotesis

1. Penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi dan non fermentasi

mampu meningkatkan degradabilitas dan kualitas pakan.

2. Penambahan konsentrat plus pada pada jerami padi non fermentasi dan

fermentasi mampu meningkatkan nilai N-NH3, TVFA, degradasi bahan kering

dan bahan organik.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh penambahan konsentrat plus terhadap kandungan nutrisi

jerami padi fermentasi dan non fermentasi berdasarkan peningkatan kadar

protein kasar, ADF dan NDF.

2. Mengetahui pengaruh penambahan konsentrat plus terhadap nilai pH, N-NH3,

TVFA dan populasi protozoa secara in vitro.

3. Mengetahui pengaruh penambahan konsentrat plus terhadap nilai degradasi

bahan kering dan bahan organik secara in sacco.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan mampu mengurangi masalah

keterbatasan pakan hijauan ternak ruminansia dengan memanfaatkan jerami padi yang

keberadaannya melimpah dan kurang dimanfaatkan dengan menambahkan konsentrat

plus untuk meningkatkan kualitas pakan dan degradabilitas pakan.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsentrat Pakan Ternak

Menurut Hartadi et al., (1991) konsentrat adalah suatu bahan pakan yang

dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari

keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai pakan

pelengkap. Sanjaya (2014) mengemukakan bahwa fungsi utama konsentrat bagi ternak

adalah untuk meningkatkan mutu gizi pakan ternak sehingga konsumsi pakan lebih baik

dan mempercepat pertumbuhan pada ternak usia muda. Kandungan nutrien konsentrat

berbahan lokal dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien konsentrat lokal.

Bahan

Penyusun

Komposisi

(%Bahan

Kering)

Protein

Kasar

Total

Digestible

Nutrient

Serat

Kasar

Lemak

Kasar Kalsium Fosfor

% % % % % %

Bungkil Kelapa

Polard

Tepung Ikan

Gaplek

NaCl

Multivitmineral

Molasis

Jumlah

42,50

6,00

1,50

45,50

2,00

0,50

2,00

100,00

9,18

0,90

0,92

1,10

0

0

0,17

12,10

31,03

4,20

1,04

33,40

0

0

1,26

69,67

5,14

0,94

0,04

1,34

0

0

0

7,46

4,34

0,25

0,12

0,36

0

0

0

5,07

0,09

0,01

0,10

0,05

0

0

0

0,25

0,28

0,08

0,07

0,02

0

0

0

0,45

Sumber: Suryani et al., 2014.

Penambahan konsentrat dalam ransum ternak merupakan suatu usaha untuk

mencukupi kebutuhan zat-zat makanan, sehingga akan diperoleh produksi yang tinggi.

Konsentrat sebagai bahan penguat diperlukan bagi ternak karena mudah dicerna dengan

baik. Karena terbuat dari beragam campuran bahan pakan yang berasal dari bahan pakan

yang mengadung sumber energi, protein, vitamin dan mineral. Konsentrat atau pakan

penguat dapat disusun dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan

6

seperti jagung giling, tepung kedelai, kedelai sorghum, bekatul, bungkil kelapa, tetes

dan umbi (Sanjaya, 2014).

Gambar 1. Konsentrat plus (Dokumentasi Pribadi, 2016)

Kosentrat ( Gambar 1) biasanya ditambahkan dengan bahan pakan lainnya untuk

meningkatkan nila nutrisi dari semua bahan pakan lainnya untuk dicampur menjadi satu

bahan pakan pelengkap atau suplemen. Kosentrat ini diberikan dengan maksud untuk

menambah nilai nutrisi pakan. Kosentrat untuk pakan sangat diperlukan oleh ternak

ruminansia khususnya sapi untuk penggemukan, dikarenakan bahan kosentrat tersebut

sangat gampang untuk difermentasikan sehingga akan menaikkan kandungan propionat

yang sangat bermanfaat dalam pembentukan daging, dan akan merangsang dan

meningkatkan jumlah pertumbuhan mikroba rumen, sehingga sumber pakan serat kasar

akan dicerna lebih cepat (Hutabarat, 2015).

Menurut Hartadi et al., (1991) konsentrat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu

konsentrat sumber protein dan konsentrat sumber energi. Konsentrat dikatakan sebagai

sumber energi apabila mempunyai kandungan protein kasar kurang dari 20% dan serat

kasar 18%, sedangkan konsentrat dikatakan sebagai sumber protein karena mempunyai

kandungan protein lebih besar dari 20%.

7

Konsentrat sumber protein adalah semua macam bahan pakan yang mengandung

protein kasar lebih dari 20%. Penggunaan konsentrat protein terutama ditujukan untuk

ternak muda, ternak tumbuh cepat dan ternak produksi tinggi. Berdasarkan sumbernya,

bahan konsentrat protein berasal dari limbah dari ikan laut, hewan darat, tanaman dan

asam amino sintetik (Amoo et al., 2006).

Konsentrat protein dapat dibuat dengan cara menghilangkan komponen

nonprotein seperti lemak, karbohidrat, mineral, dan air, sehingga kandungan protein

produk menjadi lebih tinggi dibandingkan bahan baku aslinya. Penghilangan komponen

nonprotein pada pembuatan konsentrat protein dapat dilakukan dengan proses ekstraksi.

Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan larutan alkohol atau larutan asam.

Pelarut alkohol yaitu aseton merupakan pelarut organik yang bersifat polar yang

memiliki kemampuan untuk memisahkan fraksi gula larut air dan lemak tanpa

melarutkan proteinnya (Amoo et al., 2006).

Konsentrat sumber energi adalah semua macam bahan pakan yang merupakan

sumber energi dan memenuhi syarat tertentu (serat kasar < 18%, dinding sel <35% dan

protein < 20%). Kegunaannya konsentrat sumber energi yaitu untuk menaikkan jumlah

konsumsi energi atau untuk menaikkan densitas energi di dalam ransum. Energi yang

terkandung di dalam konsentrat energi terutama berasal dari karbohidrat yang mudah

larut ataupun minyak dan lemak (Amoo et al., 2006).

Tanaman dapat dijadikan bahan konsentrat yang umum digunakan. Sebagai

sumber energi dapat diperoleh dari biji-bijian, sorghum dan jagung, sedangkan sebagai

sumber protein dapat diperoleh dari kacang giling, kedelai wijen, biji kapas dan biji

karet. Bahan pakan konsentrat yang berasal dari hewani meliputi tepung tulang, tepung

darah dan tepung daging. Kandungan bahan pakan asal hewani proteinya berkualitas

tinggi dan kandungan mineral tinggi (Sanjaya, 2014).

8

Hutabarat (2015) mengemukakan bahwa penambahan kosentrat pakan yang

dikonsumsi oleh ternak nilai nutrisinya menjadi lebih baik, dan lebih mudah dikonsumsi

oleh ternak. Disamping itu, berbagai macam organisme dalam rumen bisa menggunakan

kosentrat terlebih dahulu sebagai energi. Kemudian menggunakan pakan sebagai

sumber serat kasar seperti rumput atau jerami padi.

2.2 Jerami Padi

Jerami padi merupakan limbah hasil pertanian yang sangat potensial untuk

dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Ketersediaan jerami padi cukup melimpah di

Indonesia. Namun demikian, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak belum

optimal karena rendahnya kandungan protein kasar (3 – 4%) dan tingginya kandungan

serat kasar (32 – 40%) sehingga memiliki tingkat kecernaan yang rendah yaitu berkisar

antara 35 – 37% (Agrotekno, 2016).

Jerami segar yang melimpah setelah bulir padinya dirontokkan, biasanya

ditumpuk di tengah petakan sawah atau di pinggir pematang sawah, dan dibiarkan

membusuk dan mengering. Ketersediaan jerami padi cukup potensial bila diawetkan

melalui pengeringan sinar matahari, lalu ditumpuk di tempat yang diberi naungan agar

tidak kehujanan untuk dimanfaatkan sebagai cadangan pakan ternak di saat musim

kemarau (Agus et al., 2000).

Jerami padi memiliki beberapa faktor pembatas dalam pemanfaatannya sebagai

pakan ternak. Faktor pembatas menurut Sutardi (1980) adalah dinding sel diselimuti

kristal silika sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim dalam rumen, dinding sel

mengandung lignin yang membentuk senyawa komplek dengan selulosa sehingga

struktur selulosanya tidak lagi berbentuk amorf dan molekul glukosanya dikokohkan

oleh ikatan hidrogen yang sulit dicerna oleh mikroba, dan memiliki kandungan protein

yang rendah yaitu sekitar 3 – 5%. Selain faktor-faktor pembatas tersebut, jerami padi

9

juga mengandung selulosa (Gambar 2) yang cukup besar, yaitu sekitar 38%,

hemiselulosa 24% dan lignin 18% (Anwar et al., 2010).

Gambar 2. Struktur Selulosa (Chanzy, 2002)

Selain itu jerami padi sebagai limbah pertanian tanaman padi mengandung

protein kasar (PK) 3,6%, lemak kasar (LK) 1,3%, BETN 41,6%, abu 16,4%, lignin

14,9%, serat kasar (SK) 32%, silika 13,5%, kalsium (Ca) 0,24%, kalium (K) 1,20%,

magnesium (Mg) 0,11%, dan phosphor (P) 0,10% (Putro, 2010). Komposisi nilai nutrisi

jerami padi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi nilai nutrisi jerami padi.

Zat-Zat Pakan Komposisi Sumber

BK (Bahan Kering)%

Protein Kasar (PK)%

Serat Kasar (SK)%

Lemak Kasar (LK)%

Hemiselulosa %

Acid Detergent Fiber (ADF)%

Neutral Detergen Fiber (NDF)%

Selulosa %

Lignin %

Abu %

92

4,24

33,48

1,01

24

51,53

73,82

32,1

18

25,06

Sarwono dan Arianto, (2005)

Sudirman dan Imran, (2007)

Sudirman dan Imran, (2007)

Sudirman dan Imran, (2007)

Howard et al., (2003)

Sarwono dan Arianto, (2005)

Sarwono dan Arianto, (2005)

Howard et al., (2003)

Howard et al., (2003)

Sudirman dan Imran, (2007)

Komposisi kimia pada Tabel 2, jerami padi merupakan bahan pakan ruminansia

yang tergolong memiliki kualitas rendah karena dinding selnya tersusun dari selulosa,

hemiselulosa, lignin dan silika. Pemanfaatan jerami padi secara langsung sebagai pakan

tunggal tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada ternak. Hal ini dapat menurunkan

produktivitas ternak (Yunilas, 2009). Untuk itu perlu dilakukan upaya memaksimalkan

pemanfaatan dengan cara optimalisasi pertumbuhan mikroba dalam rumen. Pemberian

10

konsentrat yang mengandung protein tinggi mampu mengaktifkan mikroba rumen

sehingga meningkatkan kecernaan pakan (Ginting, 2015).

2.3 Fermentasi

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel pada keadaan anaerobik

(tanpa oksigen). Pengolahan terhadap limbah sebagai pakan telah banyak dilakukan

yaitu secara fisik, kimia, biologis dan kombinasinya. Pengolahan secara kimia

menghasilkan residu yang menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga pengolahan

secara kimia kurang dianjurkan. Pengolahan secara biologis dengan memanfaatkan

bantuan mikroorganisme saat ini banyak dilakukan, karena lebih ramah terhadap

lingkungan. Salah satu contoh pengolahan pakan secara biologis yang sering di lakukan

adalah fermentasi. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi

sederhana yang melibatkan mikroorganisme, yang bertujuan menghasilkan suatu produk

(bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, tekstur, biological availability yang

lebih baik disamping itu juga menurunkan zat anti nutrisinya (Marhadi, 2009).

Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi

anaerobik atau partial anaerobik karbohidrat yang menghasilkan alkohol serta beberapa

asam, namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak

(Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat

oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa

dan hemiselulosa menjadi gula sederhana (Gambar 3). Selama proses fermentasi terjadi

pertumbuhan jamur yang menghasilkan protein hasil metabolisme sehingga terjadi

peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).

11

Gambar 3. Mekanisme Hidrolisis Selulosa Oleh Enzim Selulase

(Miyamoto,1997)

Idiawati et al., (2014) mengemukakan bahwa fermentasi substrat padat adalah

fermentasi dengan menggunakan substrat yang tidak larut tetapi mengandung air yang

cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganismenya. Oleh karena itu,

adanya air mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus niger untuk menghasilkan enzim

selulase. Bhargav et al., (2008) mengemukakan bahwa tujuan dari Solid State

Fermentation (SSF) adalah untuk membawa fungi atau mikroba yang telah dikultivasi

agar berinteraksi dengan kuat pada substrat yang tidak larut air.

2.4 Aspergillus niger

2.4.1 Morfologi dan sifat-sifat Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah

diidentifikasi dari marga Aspergillus. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC-

37ºC (optimum), 6ºC-8ºC (minimum), 45º-47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen

yang cukup (aerobik) (Hidayat, 2007). Aspergillus niger memiliki bulu dasar berwarna

putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai

12

hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-

bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding

yang halus dan berwarna coklat (Hidayat, 2007). Morfologi jamur Aspergillus niger

dapat dilihat pada Gambar 4. Sistematika Aspergillus niger menurut Samson et al.,

(1996) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Ascomycetes

Ordo : Eurotiales

Famili : Trichocomaceae

Genus : Aspergillus

Spesies : Aspergillus niger

Gambar 4. Fungi Aspergillus niger (Supriyatna, 2017)

2.4.2 Karakteristik Aspergillus Niger

Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat

makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat di sekeliling

hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah

dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan beberapa enzim

ekstraseluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh Aspergillus niger untuk

aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas sel. Aspergillus

niger dapat tumbuh dengan cepat dan digunakan secara komersial dalam produksi asam

13

sitrat, asam glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase,

glukoamilase dan selulase (Hidayat, 2007).

Menurut Fransistika (2012) Aspergillus niger menghasilkan enzim selullolitik,

enzim amilolitik seperti amilase dan glukoaminase. Aspergillus niger menghasilkan

enzim β-glukosidase yang kuat dimana enzim ini berperan untuk mempercepat konversi

selobiosa menjadi glukosa. Berdasarkan hasil penelitian Murwandhono et al., (2006)

bahwa fermentasi Aspergillus niger dapat menaikkan kadar protein kasar, lemak kasar,

dan kadar abu tepung kulit ubi kayu dan terjadi penurunan bahan kering dan serat kasar

tepung kulit ubi kayu.

Hasil penelitian Sugiyanti et al., (2013) menunjukkan adanya peningkatan kadar

protein, semakin tinggi level Aspergillus niger maka semakin meningkat kadar protein

dari limbah soun. Diperoleh hasil dari level 2% mengalami penurunan dan pada level

3% mengalami peningkatan kembali. Namun peningkatan yang terjadi tidaklah begitu

tinggi yaitu dari 3,05% menjadi 5,50% walaupun demikian fermentasi limbah soun

menggunakan jamur Aspergillus niger dengan taraf 1%, 2%, dan 3% mengalami

peningkatan kadar protein kasar.

2.5 Metode In Vitro

Metode in vitro merupakan teknik pengukuran kecernaan pakan ternak yang

dapat dilakukan di laboratorium dengan meniru kondisi rumen sebenarnya (Mulyawati,

2009). Nilai kecernaan adalah tanda awal ketersediaan nutrien dalam bahan pakan ternak

tertentu. Kecernaan yang tinggi menunjukkan besarnya nutrien yang disalurkan pada

ternak, sedangkan kecernaan yang rendah menunjukkan bahan pakan tersebut belum

bisa memberikan nutrien bagi ternak baik untuk hidup pokok ataupun untuk produksi

(Jovitry, 2011).

14

Metode in vitro dikembangkan untuk memperkirakan kecernaan dan tingkat

degradasi pakan dalam rumen serta mempelajari berbagai respon perubahan kondisi

rumen. Metode ini biasa digunakan untuk evaluasi biologis pakan, meneliti mekanisme

fermentasi mikroba dan untuk mempelajari aksi terhadap faktor antinurisi, aditif dan

suplemen pakan (Lopez, 2005).

Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in vivo agar dapat

menghasilkan pola yang sama, sehingga nilai yang didapat juga mendekati sistem in vivo

(Arora, 1989). Kecernaan pakan pada ruminan dapat diukur secara akurat di

laboratorium dengan menggunakan metode two stage in vitro dengan cara

menginkubasikan sampel selama 48 jam dengan larutan buffer cairan rumen dalam

tabung dengan kondisi anaerob (McDonald, 2002).

Pada periode kedua, bakteri dimatikan dengan penambahan asam hidroklorit

(HCI) pada pH 2, lalu diberi larutan pepsin HCI dan diinkubasi selama 48 jam. Periode

kedua ini terjadi di dalam organ pasca rumen (abomasum). Residu bahan yang tidak

larut disaring, kemudian dikeringkan dan dipanaskan hingga substrat tersebut dapat

dipergunakan untuk mengukur kecernaan bahan organik.

Kelebihan metode in vitro adalah hasil penelitian dapat diperoleh dalam waktu

singkat beberapa bahan makanan yang tidak dapat diberikan secara tunggal pada hewan,

kecernaannya dapat diteliti dengan metode in vitro tidak diperlukan pengumpulan feses

atau sisa makanan, sehingga dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Sedangkan

kekurangannya adalah menggunakan waktu standar, padahal waktu lamanya bahan

makanan berada dalam rumen bervariasi menurut jenis dan bentuk makanan, tidak

terjadi penyerapan zat-zat makanan seperti yang terjadi pada hewan hidup (Rusdi, 2000).

15

2.6 Metode In Sacco

Metode in sacco merupakan metode pendugaan kecernaan untuk evaluasi bahan

pakan yang dapat didegradasi di dalam rumen. Metode ini cukup sederhana dan

memiliki beberapa keunggulan yaitu dapat mengevaluasi bahan pakan lebih dari satu

dalam waktu yang bersamaan serta dapat mempertahankan pH rumen dan populasi

mikrobia dibanding in vitro. Pakan yang diuji diinkubasikan secara langsung pada

lingkungan rumen (Soejono, 1990).

Menurut Suparjo (2010) kecenaan secara in sacco dengan menggunakan metode

kantong nilon adalah suatu metode yang sederhana untuk mendapatkan informasi dasar

tentang nilai nutrisi pakan (kecernaan), dengan cara menempatkan kantong nilon berisi

sampel pakan di dalam rumen selama waktu tertentu. Pori-pori kantong nilon berkisar

antara 20- 50 gram yang ditempatkan dalam rumen temak ruminansia meialui canula,

berat sampel yang dimasukkan dalam kantong nilon berkisar 2,5 – 5 gram bahan kering

(Gambar 5).

Gambar 5. Perlengkapan dalam metode in sacco (Suparjo, 2010)

Jenis kantong yang dapat digunakan sebagai kantong nilon buatan (artificial

fibrebag) diantaranya dacron bag, nylon bag dan rumen bag. Prinsipnya kantong harus

16

terbuat dari bahan yang tidak tercerna di dalam rumen. Kantong yang paling umum

digunakan adalah kantong nilon (Suparjo, 2010).

Menurut Suparjo (2010) beberapa faktor yang mempengaruhi kecemaan in sacco

antara lain: lama inkubasi, ukuran sampel dan saat pencucian. Masa inkubasi pakan di

dalam rumen meialui percobaan kecemaan in sacco adalah 12-36 jam untuk konsentrat,

24-60 jam untuk hijauan benilai nutrisi baik dan 48-72 jam untuk hijauan berserat kasar

tinggi, sehingga dengan mengetahui jumlah pakan yang hilang dari kantong nilon, maka

dapat diketahui koefisien kecemaan dan laju degradasi.

2.7 Ruminansia

Hewan ruminansia memiliki 4 bagian perut, yaitu retikulum, rumen, omasum

dan abomasum (Gambar 6). Retikulum, rumen dan omasum disebut perut depan (fore

stomach). Abomasum dikenal dengan lambung sejati karena secara anatomis maupun

fisiologis berfungsi sama dengan lambung non-ruminansia. Proses pencernaan

ruminansia dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pencernaan secara mekanis (di dalam

mulut), fermentative (oleh mikroba di dalam rumen) dan kimiawi (oleh enzim-enzim

pencernaan di abomasum dan usus) (Rianto dan Purbowati, 2009).

Hewan ruminansia menggunakan lidah untuk menarik dan memotong rumput.

Rumput dikunyah sebentar sebelum ditelan, dicampur saliva didalam mulut untuk

melumasinya. Pakan itu kemudian bergerak ke esofagus menuju rumen untuk

dihaluskan, setelah dihaluskan pakan diruminasi yaitu mengalami regurgitasi, resalivasi

dan remastikasi. Kemudian menuju retikulum, omasum, abomasum, usus halus, cecum,

usus besar, dan anus (Delaval, 2006).

17

Gambar 6. Anatomi ruminansia (Fernando, 2010)

Rumen merupakan kantong yang besar sebagai tempat penampungan dan

pencampuran bahan pakan untuk proses fermentasi oleh mikroorganisme. Fungsi utama

rumen adalah tempat untuk mencerna serat kasar dan zat-zat pakan lainnya dengan

bantuan mikroba (Rianto dan Purbowati, 2009). Prihartini et al., (2011) menyatakan

bahwa isi rumen dibagi dalam 4 zona, yaitu zona gas, zona apung, zona cairan dan zona

padatan. Besar kecilnya zona ini sangat bergantung pada macam pakan yang

dikonsumsi.

Pakan di dalam rumen akan bercampur dengan ingesta (cairan rumen) dan

menjadi obyek pencernaan oleh mikroba rumen yang terdiri dari bakteri, protozoa dan

fungi dalam jumlah relatif sedikit. Kemampuan bakteri rumen antara lain mendegradasi

serat kasar untuk membentuk volatile fatty acid (VFA), mensintesis protein, mensintesis,

vitamin B dan mendegradasi komponen beracun dari berbagai pakan (Murti, 2014).

Menurut Aswandi et al., (2012) salah satu faktor yang mempengaruhi pH rumen ialah

sifat fisik, jenis dan komposisi kimia pakan yang dikonsumsi, apabila pakan lebih

banyak mengandung pati atau karbohidrat yang mudah larut maka pH cenderung rendah.

18

2.7.1 Produksi VFA (Volatil Fatty Acid) dan NH3 dalam Rumen

Volatile Fatty Acid merupakan salah satu produk fermentasi karbohidrat di

dalam rumen yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Konsentrasi

VFA pada cairan rumen dapat digunakan sebagai salah satu tolak ukur fermentabilitas

pakan dan sangat erat kaitannya dengan aktifitas mikroba rumen (Parakkasi, 1999).

Karbohidrat yang dimakan sapi perah dapat berupa karbohidrat struktural

(selulosa dan hemiselulosa) dan karbohidrat non-struktural (pati). Sebagian besar

karbohidrat yang dikonsumsi mengalami proses fermentasi oleh mikroba di dalam

rumen mejadi VFA yang terdiri dari asam asetat (C2), asam propionat (C3) dan asam

butirat (C4) (Prihartini et al., 2011). Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan

Volatil Fatty Acid (VFA) pada ternak ruminansia disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan VFA pada ruminansia

(McDonald et al., 2002)

19

Sebagian besar VFA diabsorbsi di retikulo-rumen secara pasif melalui dinding

rumen, kemudian VFA mengalami metabolisme VFA yang mebantu memelihara

konsentrasi antara retikulo-rumen dan plasma darah. Asam asetat dan propionat tidak

mengalami perubahan dalam dinding rumen, tetapi asam butirat mengalami perubahan

menjadi beta-hidroksibutirat (BHBA). Asam asetat dan BHBA melewati hati, menuju

organ dan jaringan melalui sirkulasi darah sistemis, untuk digunakan sebagai sumber

energi atau untuk sintesis asam lemak. Asam propionat dibawa ke hati dan diubah

menjadi glukosa, yang dapat disimpan dalam bentuk glikogen, atau diubah menjadi L-

gliserol-3-fosfat dan digunakan untuk sintesis trigliserida (Chuzaemi, 2012).

Karbohidrat yang tidak terfermentasi akan dicerna di usus halus dengan bantuan

enzim-enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar pankreas (α-amilase) menjadi glukosa dan

diserap melalui mukosa usus halus. Glukosa dibawa ke jaringan untuk dapat digunakan

sebagai sumber energi, sumber untuk mereduksi koenzim nikotinamida adenosin

dinuklotida fosfat (NADPH) di dalam sintesis asam lemak dan untuk sintesis glikogen

(Suwandyastuti dan Rimbawanto, 2015).

Protein pakan yang dikonsumsi sapi perah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu

ruminal undegradable protein (RUP), ruminal degradable protein (RDP) dan non

protein nitrogen (NPN). RDP dan NPN dalam rumen didegradasi oleh mikroba untuk

mensintesis sel tubuhnya dan menjadi protein mikroba. RUP disebut juga sebagai

protein by-pass karena tidak mengalami degradasi mikroba. RUP dan protein mikroba

dicerna di abomasum dengan bantuan enzim pepsin menjadi polipeptida. Polipeptida ini

kemudian masuk ke dalam usus halus dan dicerna oleh enzim-enzim yang disekresikan

oleh kelenjar pankreas menjadi asam-asam amino (Chuzaemi, 2012). Proses

metabolisme protein dan pembentukan amonia (NH3) ditunjukkan pada Gambar 8.

20

Asam-asam amino yang dihasilkan dari pencernaan dalam usus kemudian

mengalami deaminasi. Asam amino yang telah mengalami deaminasi terbagi menjadi

dua jalur, pertama mengarah ke asam piruvat dan membentuk karbohidrat, kemudian

masuk ke dalam siklus glikolisis, membantu dalam menyediakan glukosa dan yang

kedua mengarah ke asam asetoasetat dan asetil koenzim A, kemudian masuk ke dalam

siklus asam sitrat (Frandson, 1996).

Gambar 8. Proses metabolisme protein dan pembentukan amonia (NH3)

pada ruminansia (McDonald et al., 2002)

2.7.2 Protozoa dalam Rumen

Mikroba rumen memiliki peran yang sangat penting pada proses pencernaan

ternak ruminansia. Mikroba rumen dapat merombak serat dari pakan menjadi sumber

energi yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Mikroba rumen mempunyai peran

21

penting sebagai sumber protein mikrobial bagi kecukupan nutrien pada ternak

ruminansia (Rosiyanti et al., 2015).

Protozoa (Gambar 9) memiliki jumlah yang lebih sedikit bila dibandingkan

dengan jumlah bakteri, namun memiliki ukuran yang lebih besar (McDonald et al.,

2002). Populasi protozoa di dalam rumen jumlahnya tidak tetap dan salah satunya

dipengaruhi oleh pakan. Pakan sumber serat biasanya memiliki kandungan pati

(karbohidrat nonstruktural) yang sedikit, sedangkan kandungan serat kasarnya tinggi.

Pati merupakan sumber makanan utama yang dimanfaatkan oleh protozoa rumen. Jika

ketersediaan pati yang dimanfaatkan oleh protozoa rumen telah habis maka protozoa

akan memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Rosiyanti et al., 2015).

Gambar 9. Protozoa dalam cairan rumen (Dokumentasi Pribadi, 2016)

Apabila pakan yang diberikan kepada ternak memiliki kualitas yang rendah

biasanya dilakukan tindakan defaunasi. Defaunasi adalah penghilangan sebagian atau

keseluruhan populasi protozoa rumen dalam rangka meningkatkan kemampuan ternak

untuk memanfaatkan pakan kualitas rendah. Defaunasi dilakukan agar bakteri rumen

tidak banyak dimakan protozoa. Protozoa sering mengganggu ekosistem bakteri di

dalam rumen. Ekosistem bakteri rumen yang terganggu akan berpengaruh terhadap

22

pencernaan serat kasar oleh bakteri, sehingga kecernaan pakan yang kandungan seratnya

tinggi akan rendah (Rosiyanti et al., 2015).

Namun meskipun protozoa sering mengganggu ekosistem bakteri, keberadaan

protozoa tetap memberikan keuntungan. Dore dan Goute (1991) menyatakan bahwa

protozoa dapat memperlambat konversi karbohidrat fermentabel menjadi asam laktat

oleh bakteri rumen, sehingga pH rumen dapat dikontrol.

Menurut Hungate (1966) protozoa yang hidup dalam rumen sangat beragam dan

terbagi menjadi kelompok flagellata dan ciliata, dimana jenis cilata merupakan jumlah

yang terbesar. Mereka hidup dalam keadaan anaerob dan tidak patogenik. Protozoa

ciliata ditandai dengan adanya ciliata di sekeliling tubuhnya (holotricha), atau hanya

terdapat di bagian anterior dan posterior saja (oligotricha). Sedangkan kelompok

flagelata ditandai dengan adanya flagel di bagian anterior. Menurut Arora (1989)

protozoa bersifat anaerob, apabila kadar oksigen maupun nilai pH isi rumen tinggi, maka

protozoa tidak dapat membentuk cyste untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang

jelek, sehingga dengan cepat akan mati. Menurut McDonald et al., (2002) protozoa

memiliki jumlah yang lebih sedikit daripada bakteri. Protozoa memiliki ukuran tubuh

lebih besar sehingga total biomasanya hampir sama dengan bakteri.

Protozoa lebih menggemari substrat yang mudah difermentasi seperti pati dan

gula hal ini dikarenakan untuk menghambat proses fermentasi dalam rumen, selain itu

protozoa juga menghidrolisis selulosa dan menghasilkan produk fermentasi yang sama

dengan yang dihasilkan oleh bakteri, seperti asam asetat, asam butirat, asam laktat, CO2

dan H2. Protozoa sangat peka terhadap situasi asam. Bila pH diturunkan maka

jumlahnya dalam rumen akan menurun. Jenis Entodinium lebih spesifik memakan

bakteri selulotik, sehingga bila dilakukan defaunasi maka aktivitas selulotik dari bakteri

dapat meningkat dan memperbaiki performans ternak terutama pada ransum rendah

23

protein. Namun kecenderungan protozoa dalam memakan bakteri berperan dalam

mengontrol densitas bakteri rumen dan mencegah penurunan konsentrasi amonia (NH3),

sehingga tetap tersedia dalam kadar yang cukup tinggi untuk digunakan kembali oleh

bakteri (Suharyono, 2010).

24

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2016 sampai Oktober 2016 di

Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Bidang Pertanian

Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-BATAN),

yang beralamat di Jalan Lebak Bulus Raya No.49, Jakarta Selatan, Indonesia.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cutting mill, neraca analitik,

cawan petri, spatula, kain kasa, termos, penjepit, erlenmeyer, ember, tabung gas

CO2, corong, inkubator, waterbath, shaker, tabung sentrifuge, gelas ukur, cawan

porselen, desikator, oven, tanur, kertas saring, labu bulat, cawan masir (crusible),

tabung destilat, pH meter (Knick, model 766 kalimatik), pipet tetes, cawan conway,

tabung reaksi, rak tabung reaksi, stirer, vaselin, buret, statif, kamar hitung (counting

chamber), gunting, tali, termos, kantong nilon, sendok dan satu unit komputer

dengan aplikasi Statistical Package for the Social Sciences (SPSS).

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrat plus (koleksi

Laboratorium Kelompok Nutrisi Ternak PAIR BATAN), jerami padi fermentasi

dan jerami padi non fermentasi varietas Sidenuk koleksi Labolatorium koleksi

Laboratorium Kelompok Nutrisi Ternak PAIR BATAN, air panas, Neutral

Detergent Solution (NDS), Acid Detergent Solution (ADS), aseton, petroleum eter,

25

selenium, asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl) 0,1 N, natrium hidroksida

(NaOH) 5%, indikator metil merah, K2CO3 jenuh, H3BO3 4%, metil merah, brom

kresol hijau, HCl 0,014125 N, H2SO4 15%, aquadest, indikator fenolftalein, NaOH

0,4765 N dan Methylgreen Formalin Saline (MFS).

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Desain Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 kali pengulangan.

Perlakuan 1-4 adalah variasi konsentrat plus dan jerami padi non fermentasi dan

perlakuan 5-8 adalah variasi konsentrat plus dan jerami padi fermentasi.

Tabel 3. Perlakuan penelitian

Kode

Sampel

Komposisi (%)

Konsentrat Plus Jerami Padi

Non Fermentasi

Jerami Padi

Fermentasi

P1 - 100 -

P2 15 85 -

P3 30 70 -

P4 40 60 -

P5 - - 100

P6 15 - 85

P7 30 - 70

P8 40 - 60

3.3.2 Parameter Penelitian

Parameter yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu diuji kandungan

nutrisi, hasil fermentasi dalam rumen kerbau secara in vitro dan hasil fermentasi

dalam rumen kerbau secara in sacco.

26

Tabel 4. Parameter penelitian yang diuji

Materi Pengujian Parameter

Konsentrat Plus, Jerami Padi Non

Fermentasi dan Jerami Padi

Fermentasi

Kandungan nutrisi (BK, BO, Kadar Air,

Kadar Abu, lemak, protein kasar, ADF

dan NDF)

Fementasi rumen kerbau dengan

metode inkubasi secara in vitro

Perubahan pH, N-NH3, kadar Total

Volatile Fatty Acid (TVFA) dan populasi

Protozoa

Fementasi di dalam rumen kerbau

secara in sacco

Degradasi Bahan Kering (DBK) dan

Degradasi Bahan Organik (DBO)

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Preparasi Sampel

Jerami padi non fermentasi dan jerami padi fermentasi varietas Si Denuk

diperoleh di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN. Jerami padi dikeringkan dan

dihaluskan dengan cutting mill. Konsentrat plus berbasis bahan lokal yang diperoleh dari

Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN dan jerami padi yang sudah dikeringkan dan

dihaluskan dicampur sesuai dengan komposisi pada Tabel 3.

3.4.2 Pengambilan Cairan Rumen (Tilley and Terry, 1963)

Pengambilan cairan rumen dilakukan pada pagi hari sebelum hewan percobaan

diberi pakan. Pengambilan cairan rumen menggunakan penjepit residu cairan rumen.

Cairan rumen diambil dalam jumlah tertentu dari kerbau yang difistula dan disaring

dengan 4 kasa lapis, kemudian dimasukkan dalam termos dan dialiri dengan gas CO2.

Setelah jumlah cairan rumen mencapai 500 ml, cairan rumen segera dibawa ke

labolatorium untuk diinkubasi.

3.4.3 Fermentasi Rumen Kerbau dengan Metode Inkubasi In Vitro (Tilley

and Terry, 1963)

3.4.3.1 Proses Inkubasi

Pertama-tama inkubator dibersihkan terlebih dahulu dan airnya diganti

sampai tabung sentrifugasi terendam airnya. Temperatur diatur suhunya sampai 37-

27

390C. Dispenser sudah diatur pada volume 20 ml. Cairan rumen yang sebelumnya

sudah dialiri dengan gas CO2 dimasukkan dalam dispenser, hingga siap untuk

dipindahkan ke dalam tabung sentrifugasi.

Cairan rumen dimasukkan dalam tabung sentrifugasi sebanyak 20 ml

kemudian dimasukkan sampel sebanyak 25 mg dan diinkubasi selama 2 jam.

Selama pemindahan ke waterbath juga dialiri dengan gas CO2 selama 1 menit.

Tabung-tabung diinkubasi dalam waterbath selama 2 jam, kemudian dianalisa nilai

pH, N-NH3, TVFA dan populasi protozoa.

3.4.3.2 Pengukuran pH (AOAC, 2005)

Pengukuran pH cairan rumen dari kerbau diambil langsung dari kerbau yang

telah difistula menggunakan alat pH meter (Knick, model 766 kalimatik) setelah

diinkubasi dengan menggunakan inkubator selama 2 jam.

3.4.3.3 Pengukuran N-NH3 (General Labolatory Procedures, 1966)

Penentuan kadar ammonia menggunakan cawan conway. Sebanyak 1 ml

supernatan hasil sentrifugasi produk fermentasi in vitro diletakkan pada salah satu

ujung alur cawan conway, ujung satunya dimasukkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh.

Kemudian cawan kecil di bagian tengah diisi dengan 4% asam borat (H3BO3)

berindikator metil merah dan brom kresol hijau sebanyak 1 ml. Lalu cawan conway

ditutup rapat hingga kedap udara. Selanjutnya cawan conway digoyang-goyang

sampai semua tercampur dan selanjutnya didiamkan 2 jam dalam suhu kamar.

Amonia yang terikat asam borat dititrasi dengan HCl 0,014125 N (Perhitungan di

labolatorium), sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi kemerah-merahan.

Penentuan kadar NH3 dihitung dengan rumus sebagai berikut:

N-NH3 (mg/100 ml) = N HCl x V HCl x BM NH3 x 100

Keterangan:

N-NH3 : Nitrogen dalam amonia

28

N HCl : Normalitas larutan HCl

V HCl : Volume titrasi akhir HCl (ml)

BM NH3 : Berat Molekul NH3

3.4.3.4 Pengukuran Total Volatil Fatty Acids (TVFA) (General Labolatory

Procedures, 1966)

Penentuan TVFA diawali dengan tabung reaksi disiapkan dan 1 ml H2SO4

15% serta sampel sebanyak 5 ml dimasukkan dalam tabung reaksi. Sampel

disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Kemudian supernatan diambil

sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung destilat. Lalu tabung destilat

tersebut dihubungkan dengan labu pendingin dan labu berisi akuades. Proses

destilasi dilakukan dengan cara mengalirkan air yang diuapkan hingga berakhir

sampai destilat yang ditampung mencapai volume 300 ml. Selanjutnya ditambah 1

tetes indikator fenoftalein dan dititrasi dengan NaOH 0,4765 N sampai terjadi

perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah jambu. Penentuan kadar VFA

total dihitung dengan rumus sebagai berikut:

TVFA (mM) = (a-b) x N HCl x (1000/5mM)

Keterangan:

a : Volume HCl saat titrasi blanko (ml)

b : Volume titrasi sampel (ml)

N HCl : Normalitas HCl

3.4.3.5 Pengukuran Populasi Protozoa (Ogimoto dan Imai, 1981)

Cairan rumen dicampur dengan Methylgreen Formalin Saline (MFS)

dengan perbandingan 1:10. Penghitungan dilakukan menggunakan kamar hitung

(counting chamber) dengan ketebalan 0,1 mm dan luas kotak terkecil 0,0025 mm2

(jumlah kotak adalah 5 x 5 buah). Protozoa/ml cairan rumen dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

protozoaml cairan rumen⁄ =

1000 × C × FP

0,1 × 0,0025 × 25

29

Keterangan : C: Jumlah protozoa terhitung dalam counting chamber

FP: Faktor pengenceran sebanyak dua kali

0,0025: Luas kotak terkecil mm2

0,1: ketebalan counting chamber mm

25: Jumlah kotak terbesar

3.4.4 Analisis Kandungan Nutrisi

3.4.4.1 Pengukuran Kadar Bahan Kering (BK), Kadar Air, Kadar Bahan

Organik (BO) dan Kadar Abu (AOAC, 2005)

Pengukuran kadar bahan kering, kadar air, kadar bahan organik dan kadar

abu diawali dengan menimbang cawan porselen kosong yang telah dikeringkan

dalam oven pada suhu 1050C selama 1 hari. Sampel jerami padi fermentasi, jerami

padi non fermentasi dan konsentrat plus dimasukkan ke dalam cawan tersebut

sebanyak 1 g. Selanjutnya dikeringkan dalam oven selama 1 hari pada suhu 1050C.

Sampel yang telah kering dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan

ditimbang. Kemudian diabukan ke dalam tanur selama 6 jam pada suhu 6000C dan

setelah didinginkan dalam desikator selama 30 menit ditimbang. Penentuan kadar

bahan kering (BK), kadar air, kadar bahan organik (BO) dan kadar abu dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar BK (%) = 𝑤2−𝑤0

𝑤1−𝑤0 × 100%

Kadar Air (%) = 100%-%BK

Kadar Abu (%) = 𝑤3−𝑤0

𝑤1−𝑤0 × 100%

Kadar BO (%) = 100%-%BO

Keterangan:

W0 : berat cawan kosong (g)

W1 : berat cawan yang diisi dengan sampel (g)

W2 : berat cawan berisi sampel yang sudah dikeringkan (1000C) (g)

W3 : berat cawan berisi sampel yang sudah jadi abu (6000C) (g)

3.4.4.2 Pengukuran Kadar Lemak (Sudarmadji et al., 1997)

Pengukuran kadar lemak diawali dengan menimbang kertas saring bebas

lemak dan 0,5 g sampel kering dibungkus kertas saring bebas lemak yang telah

ditimbang bobotnya. Kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu

30

1050C dan ditimbang. Ekstrakasi dengan petroleum eter dilakukan selama 6 jam.

Selanjutnya kembali dilakukan proses pengeringan dalam oven selama 24 jam pada

suhu 1050C. Bungkusan sampel yang telah dikeringkan tersebut ditimbang kembali.

Penentuan kadar lemak dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Lemak (%) = (𝑊2−𝑊0)−(𝑊3−𝑊0)

𝑊1−𝑊0 × 100%

Keterangan:

W0 : Bobot kertas saring kosong (g)

W1 : Bobot kertas saring + sampel sebelum dioven (g)

W2 : Bobot kertas saring + sampel setelah dioven (g)

W3 : Kertas saring + sampel setelah direfluks dan dikeringkan (g)

3.4.4.3 Pengukuran Kadar Protein Kasar (Kjehldal, 1883)

Sebanyak 0,5 g sampel kering dicampur dengan 1 g selenium dan 5 ml H2SO4

pekat pada labu bulat. Kemudian didestruksi selama 30 menit. Hasil destruksi

ditambah 10 ml NaOH 50%. Selanjutnya proses destilasi dilakukan selama 15

menit. Destilat yang dihasilkan ditampung pada erlenmeyer yang sebelumnya telah

ditambah 10 ml HCl 0,1 N dan 2 tetes indikator metil merah. Dititrasi dengan NaOH

1 N hingga terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna.

Selanjutnya ditentukan nilai protein kasar dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

Total Nitrogen (%) = (𝑉 𝐻𝐶𝑙−𝑉 𝑁𝑎𝑂𝐻)×𝑁𝐻𝐶𝑙×𝐴𝑟 𝑁

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟)× 100%

Protein Kasar (%) = Total N x 6,25

Keterangan: V HCl : Volume HCl saat destilasi (ml)

N HCl : Normalitas HCl

Ar N : Massa atom relatif Nitrogen

6,25 : Faktor untuk mencari % protein

3.4.4.4 Pengukuran Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral Detergent Fiber

(NDF) (Krisnamoorthy, 2001)

Sampel kering Sebanyak 0,5 g dilarutkan dengan 40 ml Acid Detergent

31

Solution (ADS). Proses refluks dilakukan selama 1 jam. Sampel yang telah direfluks

dimasukkan ke dalam cawan masir yang telah diketahui bobotnya dan dibilas

dengan akuades panas sampai semua filtrat turun. Proses pengeringan dilakukan

didalam oven pada suhu 1050C selama 24 jam lalu ditimbang. Langkah kerja untuk

pengukuran Neutral Detergent Fiber (NDF) sama dengan pengukuran Acid

Detergent Fiber (ADF) tetapi larutan Acid Detergent Solution (ADS) diganti

dengan larutan Neutral Detergent Solution (NDS). Penentuan nilai ADF dan NDF

dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

ADF (%) = 𝑊2−𝑊0

𝑊1×𝐵𝐾× 100%

NDF (%) = 𝑊2−𝑊0

𝑊1×𝐵𝐾× 100%

Keterangan: W0 : Bobot cawan kosong (g)

W1 : Bobot sampel (g)

W2 : Bobot sampel + cawan setelah dioven (g)

BK : Kadar Bahan kering sebelum inkubasi (%)

3.4.5 Fermentasi di dalam Rumen Kerbau Secara In Sacco (Ørskov &

McDonald, 1979)

Sebanyak 5 g campuran jerami padi non fermentasi + kosentrat plus dan

jerami padi fermentasi + konsentrat plus dimasukkan dalam kantong nilon (8x15

cm) yang telah diketahui bobotnya. Proses fermentasi sampel dilakukan dalam

rumen kerbau yang telah difistula pada periode waktu inkubasi 0, 6, 12, 24, 48 dan

72 jam. Sampel yang sudah diinkubasi 0 jam langsung dibilas pada air mengalir dan

dikeringkan dalam oven pada suhu 600C selama 48 jam dan ditimbang sebagai berat

kering sampel setelah diinkubasi. Perlakuan yang sama dilakukan pada sampel yang

telah diinkubasi selama 6, 12, 24, 48 dan 72 jam.

32

3.4.5.1 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Bahan

Organik (DBO) (BSN, 1992)

Sebelum menentukan Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Bahan

Organik (DBO), dilakukan pengukuran Bahan Organik (BO) sampel yang telah

diinkubasi di dalam rumen seperti langkah kerja sebelumnya. Nilai Degradasi

Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Bahan Organik (DBO) pakan ditentukan dari

selisih berat kering sebelum dan sesudah sampel diinkubasi ke dalam rumen, seperti

yang tercantum pada rumus sebagai berikut:

DBK (%) = 𝐴−𝐵

𝐴× 100%

DBO (%) = 𝑋−𝑌

𝑋 100%

Keterangan:

A : Bobot sampel sebelum diinkubasi (g)

B : Bobot sampel setelah diinkubasi (g)

X : Hasil kali A dengan Bahan Organik (BO) sebelum inkubasi (g)

Y : Hasil kali B dengan Bahan Organik (BO) setelah inkubasi (g)

3.4.6 Analisis Statistik

Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan kemudian dianalisis

menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada IBM SPSS versi 20,0 dengan

batas kepercayaan 95% (α = 0,05) dan uji lanjutan Duncan.

Pengujian hipotesis didasarkan pada ketetapan H0 dan H1.

H0 : Penambahan konsentrat plus tidak berpengaruh nyata terhadap

parameter uji

H1 : Penambahan konsentrat plus berpengaruh nyata terhadap

parameter uji Jika p<0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima.

Jika p>0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak.

33

3.4.7 Diagram Alir Penelitian

Gambar 8. Diagram alir penelitian

JPF + Konsentrat Plus

P1

JPNF + Konsentrat Plus

Penghalusan

P4 P7 P8 P2 P3 P5 P6

Analisis kadar air,

abu, BK, BO, lemak,

PK, ADF dan NDF Cairan rumen

Uji in sacco Inkubasi 2 jam

DBK DBO

Uji in vitro

pH

Analisis data statistik

TVFA N-NH3 Populasi

protozoa

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kandungan Nutrisi

Pengujian kandungan nutrisi bertujuan untuk mengetahui komposisi masing-

masing bahan pakan sebelum penambahan konsentrat plus. Hasil penelitian (Tabel 5)

menunjukkan bahwa kandungan Bahan Kering (BK), kadar abu, Acid Detergent Fiber

(ADF) dan Neutral Detergent Fiber (NDF) konsentrat plus lebih rendah dibandingkan

dengan jerami padi fermentasi dan non fermentasi. Sedangkan kandungan Bahan

Organik (BO), kadar air, lemak dan Protein Kasar (PK) konsentrat plus lebih tinggi

dibandingkan dengan jerami padi fermentasi dan non fermentasi.

Tabel 5. Kandungan nutrisi bahan pakan.

Komposisi Nutrisi

(%)

Bahan Pakan

Konsentrat

Plus

Jerami Padi

Non

Fermentasi

Jerami Padi

Fermentasi

Bahan Kering (BK) 90,75±0,02 92,29±0,06 92,60±0,11

Abu 11,94±0,02 20,55±0,10 20,63±0,35

Air 9,25±0,02 7,75±0,05 7,55±0,17

Bahan Organik (BO) 88,06±0,02 79,45±0,10 79,37±0,35

Protein Kasar (PK) 15,39±0,00 4,96±0,78 5,83±0,28

Lemak 0,81±0,30 0,55±0,23 0,05±0,01

Acid Detergent Fiber (ADF) 48,37±0,44 70,87±2,79 65,66±1,13

Neutral Detergent Fiber (NDF) 66,16±2,84 77,70±2,03 80,64±0,47

Kandungan PK jerami padi fermentasi sebesar 5,83% sedangkan non fermentasi

sebesar 4,96%. Hal ini menunjukkan bahwa PK jerami padi fermentasi lebih besar

daripada non fermentasi. Menurut Sukara dan Atmowidjoyo (1980) kandungan protein

kasar setelah fermentasi sering mengalami peningkatan disebabkan mikroba yang

mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik, dapat mengubah lebih

35

banyak komponen penyusun yang berasal dari tubuh mikroba itu sendiri yang akan

meningkatkan kandungan protein kasar dari subtrat.

Hasil penelitian menujukkan kadar air konsentrat plus lebih tinggi dibandingkan

dengan jerami padi fermentasi dan jerami padi non fermentasi. Hal ini dikarenakan

ukuran partikel konsentrat plus lebih kecil dibandingan jerami padi fermentasi dan non

fermentasi. Kumar et al., (2002) mengemukakan bahwa semakin besar ukuran partikel

porositas media akan semakin kecil, sedangkan porositas media yang kecil akan

menurunkan kadar air yang diperoleh. Porositas media ini terkait dengan ukuran pori-

pori substrat yang akan diisi oleh air dan udara. Apabila substrat memiliki tekstur yang

halus dan ukuran yang kecil, maka total ruang porinya tinggi sehingga akan lebih banyak

diisi oleh air dan kadarnya juga semakin meningkat.

Hasil penelitian menujukkan kadar abu jerami padi fermentasi sebesar 20,63%

lebih besar dibandingkan dengan jerami padi non fermentasi dan konsentrat plus. Sesuai

dengan penelitian Murwandhono (2006) selama fermentasi berlangsung, kadar abu

tepung kulit ubi kayu semakin meningkat. Hal ini dikarenakan bertambahnya massa sel

tumbuh kapang dan terjadinya peningkatan konsentrasi di dalam produk karena

perubahan bahan-bahan organik akibat proses biokonversi yang menghasilkan H2O dan

CO2. Selain itu, selama fermentasi juga terjadi peningkatan nilai energi metabolis setelah

fermentasi dilakukan. Hal ini kemungkinan sekali sebagai akibat terjadinya penurunan

kadar serat kasar dan ini menyebabkan peningkatan kadar abu dari bahan seiring dengan

semakin banyaknya populasi Aspergillus niger pada tepung kulit ubi kayu fermentasi.

Hasil penelitian pada Tabel 5 menujukkan kandungan ADF dan NDF konsentrat

plus lebih rendah dibandingkan dengan jerami padi fermentasi dan non fermentasi.

Kandungan ADF konsentrat plus sebesar 48,37% dan NDF sebesar 66,16%. Anas et al.,

(2010) mengemukakan bahwa kandungan NDF dan ADF yang rendah pada bahan pakan

36

memberikan nilai manfaat yang lebih baik bagi ternak karena menandakan bahwa serat

kasarnya rendah. Tetapi pada ternak ruminansia serat kasar juga diperlukan dalam

sistem pencernaan dan berfungsi sebagai sumber energi. Oleh karena itu kandungan

NDF dan ADF yang optimal pada pakan yang diberi pada ternak juga dapat bermanfaat

dengan baik.

4.2 Kandungan Nutrisi Pakan Campuran Konsentrat Plus dan Jerami Padi

Non Fermentasi

Penambahan konsentrat plus mampu meningkatkan kandungan Protein Kasar

(PK), kadar air, Bahan Organik (BO) dan lemak, namun menurunkan Bahan Kering

(BK), Kandungan Acid Detergent Fiber (ADF), Neutral Detergent Fiber (NDF) dan

kadar abu (Tabel 6). Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

(P<0,05) akibat penambahan konsentrat plus pada jerami padi non fermentasi terhadap

kandungan BK, BO dan PK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata BK pada

perlakuan P4 (92,31%) dan P3 (91,47%) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan

P1(92,29%) dan P2 (92,01%). Sesuai dengan Koddang (2008), yang menyatakan bahwa

semakin tinggi tingkat pemberian konsentrat pada sapi Bali akan disertai dengan

semakin meningkatnya BK ransum.

Hasil penelitian menujukkan bahwa penambahan konsentrat plus sebesar 40%

meningkatkan nilai PK pakan campuran. Perlakuan P4 (9,13%) lebih besar kandungan

PK dibandingan dengan P1 (4,96%), P2 (6,53%) dan P3(8,09%). Menurut Momot et al.,

(2014) peningkatan nilai PK pada P2, P3 dan P4 disebabkan oleh kandungan protein

dalam ransum yang samakin tinggi dengan bertambahnya konsentrat. Kandungan

protein kasar yang tinggi mampu meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen sehingga

mengakibatkan aktivitasnya dalam mencerna bahan kering ransum meningkat. Selain

itu, dengan bertambahnya kosentrat dalam ransum maka kandungan karbohidrat non

37

struktural juga akan bertambah. Karbohidrat jenis ini akan difermentasi dengan cepat

menjadi produk akhir fermentasi berupa asam lemak volatil (asetat, propionat dan

butirat) sehingga meningkatkan nilai PK.

Tabel 6. Kandungan nutrisi konsentrat plus dan jerami padi non fermentasi.

Komposisi Nutrisi (%) Perlakuan

P1 P2 P3 P4

Bahan Kering (BK) 92,29±0,06a 92,01±0,25a 91,47±0,37b 92,31±0,24b

Abu 20,55±0,10a 20,37±0,68a 19,12±0,02b 18,48±0,35b

Air 7,75±0,05b 7,99±0,25b 8,53±0,37a 8,69±0,24a

Bahan Organik (BO) 79,45±0,10b 79,63±0,68b 80,88±0,02a 81,52±0,35a

Protein Kasar (PK) 4,96±0,78c 6,53±0,66b 8,09±0,55a 9,13±0,47a

Lemak 0,55±0,23a 0,59±0,18a 0,63±0,15a 0,66±0,14a

Acid Detergent Fiber

(ADF) 70,87±2,79a 67,50±2,38ab 64,12±1,97bc 61,87±1,70c

Neutral Detergent Fiber

(NDF)

77,70±2,03a 75,97±2,12ab 74,24±2,23ab 73,08±2,31c

Keterangan: Superscript huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);

Superscript huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05);

P1 (Jerami Padi Non Fermentasi 100%); P2 (Jerami Padi Non Fermentasi 85% + Konsentrat Plus

15%); P3 (Jerami Padi Non Fermentasi 70% + Konsentrat Plus 30%); P4 (Jerami Padi Non

Fermentasi 60% + Konsentrat Plus 40%).

Hasil penelitian menujukkan bahwa kandungan BO (Tabel 6) perlakuan P1

(79,45%) dan P2 (79,63%) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P3 (80,88%)

dan P4 (81,52%). Perlakuan P1 berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2, perlakuan P3

berbeda tidak nyata dengan perlakuan P4 sedangkan perlakuan P1 dan P2 nyata lebih

rendah dibanding dengan P3 dan P4 (Lampiran 3). Momot et al., (2014) mengemukakan

bahwa peningkatan nilai kandungan nutrisi pada P2, P3 dan P4 diduga karena konsentrat

dapat meningkatkan ketersediaan nutrient esensial yaitu protein yang dibutuhkan oleh

mikroba rumen untuk berkembang biak sehingga meningkatkan populasi dan

aktivitasnya dalam mencerna bahan organik.

Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)

(Lampiran 3) akibat penambahan konsentrat plus pada jerami padi non fermentasi

terhadap kadar air dan abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan

konsentrat plus menurunkan kadar abu pada pakan campuran. Perlakuan P4 (18,48%)

38

dan P3 (19,12%) lebih rendah nilai kadar abu dibandingkan dengan P1 (20,55%) dan P2

(20,37%). Sesuai dengan Supriyatna (2017) bahwa penambahan konsentrat

menyebabkan terjadinya penurunan kadar serat kasar dan ini menyebabkan penurunan

kadar abu. Hasil penelitian menujukkan penambahan konsentrat plus meningkatkan

kadar air pada pakan campuran. Perlakuan P1 (7,75%) dan P2 (7,99%) lebih rendah nilai

kadar air dibandingkan dengan P3 (8,53%) dan P4 (8,69%). Dilihat dari ukuran

partikelnya, diketahui bahwa konsentrat plus memiliki kadar air lebih tinggi daripada

jerami padi non fermentasi (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan

konsentrat plus pada perlakuan P4 dan P3 lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan

P1 dan P2 sehingga kadar air pada perlakuan P3 dan P4 lebih tinggi dibandingkan

perlakuan P1 dan perlakuan P2. Rendahnya kadar air pada perlakuan P1 dan P2

disebabkan oleh kandungan air yang cukup rendah pada jerami padi non fermentasi

dibandingkan kadar air pada konsentrat plus.

Analisis kandungan lemak dengan penambahan konsentrat plus yang disajikan

pada Tabel 6 menunjukkan bahwa penambahan konsentrat plus menaikkan kandungan

lemak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan konsentrat plus dengan

variasi yang berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05)

(Lampiran 3) terhadap kadar lemak pakan campuran. Hasil percobaan rerata kandungan

lemak pada perlakuan P4 (0,66%) dengan penambahan konsentrat plus sebesar 40%

lebih besar dari P1 (0,55%) tanpa penambahan konsentrat plus. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Fariani et al., (2014), pengurangan ukuran pakan berserat dapat

mempercepat laju gerak (rate of passage) pakan dalam rumen, menaikkan konsumsi

pakan dan menurunkan kadar lemak.

Hasil uji statistik Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan

konsentrat plus pada pakan campuran menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

39

(P<0,05) terhadap kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber

(ADF). Adanya pengaruh perlakuan terhadap kandungan NDF dan ADF menunjukkan

bahwa penambahan konsentrat plus dengan variasi yang berbeda mampu mendegradasi

lignoselulosa dengan baik sehingga kandungan NDF dan ADF mengalami penurunan.

Kandungan NDF pada perlakuan P4 (73,08%) lebih rendah dibandingan dengan

perlakuan P1 (77,70%), P2 (75,97%) dan P3 (74,24%). Hal ini menunjukkan bahwa

kandungan NDF pada P1 (jerami padi non fermentasi 100%) lebih besar dibandingan

dengan jerami padi non fermentasi dengan penambahan konsentrat plus. Sesuai dengan

Yanuartono et al., (2017) bahwa kandungan NDF pada jerami padi jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan rumput rumputan maupun dengan limbah tanaman lain.

Kandungan NDF berhubungan erat dengan konsumsi pakan, sebab seluruh

komponennya memenuhi rumen dan lambat dicerna, sehingga semakin rendah

kandungan NDF dalam pakan akan semakin mudah terkonsumsi.

Engsminger and Olentine (1980) menyatakan bahwa ADF dapat digunakan

untuk memperkirakan kecernaan bahan kering dan energi makanan ternak. ADF

ditentukan dengan menggunakan larutan Detergent Acid, dimana residunya terdiri atas

selulosa dan lignin. Kandungan ADF pada perlakuan P4 (61,87%) lebih rendah

dibandingan dengan perlakuan P1 (70,87%), P2 (67,50%) dan P3 (64,12%). Hal ini

menunjukkan bahwa kandungan ADF pada P1 (jerami padi non fermentasi 100%) lebih

besar dibandingan dengan jerami padi non fermentasi dengan penambahan konsentrat

plus. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Crampton and Haris (1969) bahwa semakin

tinggi nilai ADF, maka kualitas daya cerna hijauan makanan ternak semakin rendah.

40

4.3 Kandungan Nutrisi Pakan Campuran Konsentrat Plus dan Jerami Padi

Fermentasi

Penambahan konsentrat plus mampu meningkatkan kandungan Protein Kasar

(PK), kadar air dan Bahan Organik (BO), namun menurunkan Bahan Kering (BK),

lemak, Kandungan Acid Detergent Fiber (ADF), Neutral Detergent Fiber (NDF) dan

kadar abu (Tabel 7). Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

(P<0,05) akibat penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi terhadap

kandungan BK. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P5 (92,60%)

nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan P6 (91,28%), P7 (91,59%), dan P8

(91,08%). Penurunan nilai BK dengan bertambahnya kosentrat plus dalam pakan

campuran menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat non struktural tidak bertambah

seiring dengan pertambahan konsentrat plus sehingga menurunkan nilai BK. Perlakuan

P8 lebih rendah daripada P5 kemungkinan karena dipengaruhi oleh proses respirasi.

Menurut Surono et al., (2003), respirasi akan menyebabkan kandungan nutrien banyak

yang terurai sehingga kadar BK menjadi rendah.

Tabel 7. Kandungan nutrisi konsentrat plus dan jerami padi fermentasi.

Komposisi Nutrisi (%) Perlakuan

P5 P6 P7 P8

Bahan Kering (BK) 92,60±0,11a 91,28±0,36bc 91,59±0,27b 91,08±0,22c

Abu 20,63±0,35a 18,43±0,47b 18,46±0,79b 17,11±0,75c

Air 7,55±0,17b 8,72±0,36a 8,41 ±0,27a 8,92±0,22a

Bahan Organik (BO) 79,37±0,35c 81,57±0,47b 81,54±0,79b 82,89±0,75a

Protein Kasar (PK) 5,83±0,28d 7,26±0,24c 8,70±0,20b 9,65±0,17a

Lemak 0,05±0,01c 0,17±0,05bc 0,28±0,09ab 0,36±0,12a

Acid Detergent Fiber

(ADF) 65,66±1,13a 63,07±0,90b 60,48±0,68c 58,75±0,53d

Neutral Detergent Fiber

(NDF)

80,64±0,47a 78,47±0,41b 76,30±0,74c 74,85±1,02d

Keterangan: Superscript huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);

Superscript huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05);

P5 (Jerami Padi Fermentasi 100%); P6 (Jerami Padi Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P7

(Jerami Padi Fermentasi 70% + Konsentrat Plus 30%); P8 (Jerami Padi Fermentasi 60% +

Konsentrat Plus 40%).

Nilai BO pada perlakuan P8 (82,89%) lebih tinggi dibandingkan dengan

perlakuan P5 (79,37%), P6 (81,57%) dan P7 (81,54%). Hal ini menunjukkan kenaikan

41

nilai BO seiring dengan pertambahan konsentrat plus. Perlakuan P8 dengan penambahan

konsentrat plus sebesar 40% menjadikannya lebih mudah dicerna dalam saluran

pencernaan karena rendahnya kandungan serat kasar, sehingga memudahkan bakteri

untuk melakukan penetrasi ke dalam material pakan untuk proses pencernaan

(Pamungkas et al., 2013). Tillman et al., (1998) menjelaskan, tingkat kecernaan

memiliki kaitan erat dengan kandungan nutrien pakan dan pengaruh yang paling besar

adalah kandungan serat kasar dalam pakan, disamping itu, nilai BK juga relatif memiliki

kesamaan dengan nilai BO. Nilai BO yang tinggi pada perlakuan P4 ternyata tidak

diikuti dengan meningkatnya nilai BK (Tabel 7).

Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) akibat

penambahan konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi terhadap kandungan PK.

Kadar PK pada perlakuan P8 (9,65%) dengan penambahan konsentrat plus sebesar 40%

lebih tinggi dibandingakan dengan P5 (5,83%), P6 (7,26%) dan P7 (8,70%). Prihartini

et al., (2011) menyatakan bahwa kenaikan PK terkait dengan proses penurunan kadar

lignin. Penurunan kadar lignin akan membebaskan senyawa yang terikat ikatan

kompleks lignoselulosa jerami padi yaitu nitrogen, mineral maupun selulosa, sehingga

meningkatkan kandungan PK nutrien pakan campuran.

Analisis kandungan lemak dengan penambahan konsentrat plus pada jerami padi

fermentasi yang disajikan pada Tabel 7 terlihat bahwa penambahan konsentrat plus

menaikkan kandungan lemak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan

konsentrat plus pada pakan campuran menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

(P<0,05) terhadap kadar lemak. Kadar lemak pada perlakuan P5 (0,05%) yaitu jerami

padi fermentasi 100% lebih rendah dibandingkan dengan P6, P7 dan P8. Menurut

Wuryanti (2008), semakin banyak penggunaan bahan pakan yang mengandung glukosa

pada substrat dapat memacu pertumbuhan biomassa kapang yang mengakibatkan

42

produksi enzim lipase semakin banyak sehingga kadar lemak akan semakin menurun

karena dirombak oleh enzim lipase tersebut.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P5 (7,55%) nyata lebih

rendah dibanding dengan perlakuan P6 (8,72%), P7 (8,41%), dan P8 (8,92%). Kenaikan

kadar air seiring dengan pertambahan kosentrat plus dalam pakan campuran

menunjukkan bahwa adanya perbedaan nyata (P<0,05). Kadar air tersebut merupakan

hasil dari metabolisme kapang Aspergillus niger yang ada di dalam substrat jerami padi.

Selain itu jumlah penambahan konsentrat plus pada pakan campuran juga

mempengaruhi kadar air. Semakin banyak presentase konsentrat plus yang dimasukkan,

maka semakin tinggi kadar air yang akan dihasilkan, karena proses fermentasinya akan

semakin cepat dan hasil fermentasi dari kapang semakin banyak (Supriyatna, 2017).

Supriyatna (2017) mengemukakan bahwa selama fermentasi Aspergillus niger memiliki

kemampuan menurunkan lignin dan memetabolisme lignin menjadi CO2 dan H2O (air).

Reaksi kimia dari hasil metabolisme konsorsium kapang Aspergillus niger (Lehninger,

1982) yaitu:

C6H12O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2O + energi (38 ATP)

Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) akibat

penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi terhadap kadar abu. Hasil uji

lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P5 (20,63%) nyata lebih tinggi dibanding

dengan perlakuan P6 (18,43%), P7 (18,46%), dan P8 (17,11%). Perlakuan pada P5

(jerami padi fermentasi 100%) memiliki nilai kadar abu yang paling tinggi. Menurut

Supriyatna (2017), hal ini dikarenakan bertambahnya massa sel tumbuh kapang dan

terjadinya peningkatan konsentrasi di dalam produk karena perubahan bahan-bahan

organik akibat proses biokonversi yang menghasilkan H2O dan CO2. Selain itu, selama

fermentasi juga terjadi peningkatan nilai energi metabolis setelah fermentasi dilakukan.

43

Hal ini kemungkinan sekali sebagai akibat terjadinya penurunan kadar serat kasar dan

ini menyebabkan peningkatan kadar abu dari bahan seiring dengan semakin banyaknya

populasi Aspergillus niger pada jerami padi fermentasi.

Hasil penelitian menujukkan bahwa penambahan konsentrat plus menurunkan

nilai NDF dan ADF (Tabel 7). Hasil uji statistik Duncan menunjukkan bahwa

penambahan konsentrat plus dengan perbedaan presentase penambahan menunjukkan

adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan NDF dan ADF. Adanya

pengaruh perlakuan terhadap kandungan NDF dan ADF bahkan cenderung menurun

menunjukkan bahwa Aspergillus niger mampu mendegradasi lignoselulosa dengan baik

sehingga kandungan NDF dan ADF mengalami penurunan. Sesuai dengan Widayanti

(1996), bahwa dalam proses fermentasi, mikroba dapat memecah komponen yang

kompleks menjadi zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh ternak.

Kandungan NDF dan ADF yang terendah adalah pada perlakuan P8 secara

berturut-turut sebesar 74,85% dan 58,75%. Kandungan NDF dan ADF yang rendah pada

bahan pakan memberikan nilai manfaat yang lebih baik bagi ternak karena menandakan

bahwa serat kasarnya rendah.

4.4 Fermentasi Rumen Kerbau dengan Metode Inkubasi secara In Vitro

Karakteristik fermentasi rumen yang diamati adalah pH, N-NH3 (Konsentrasi N-

Amonia), TVFA (Total Volatile Fatty Acid) dan populasi protozoa yang dihasilkan

setelah 2 jam inkubasi pada 2 pakan campuran yaitu konsentrat plus dengan jerami padi

non fermentasi dan yaitu konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi.

4.4.1 Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In Vitro dari Pakan Campuran

Konsentrat Plus dengan Jerami Padi Non Fermentasi.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pH, N-NH3 (Konsentrasi N-Amonia)

dan populasi protozoa menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) sedangkan nilai

44

TVFA (Total Volatile Fatty Acid) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05)

(Tabel 8).

Tabel 8. Karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dari pakan campuran konsentrat

plus dengan jerami padi non fermentasi.

Parameter Perlakuan

P1 P2 P3 P4

pH 6,40±0,01a 6,30±0,01c 6,33±0,02b 6,33±0,02b

N-NH3 (mg/100ml) 3,76±0,14b 4,48±0,14a 4,48±0,14a 4,64±0,14a

TVFA (mM) 73,33±20,82a 60,00±10,00a 80,00±10,00a 76,67±15,28a

Populasi Protozoa

(sel/ml)

2,5×107±3,06

×106a

1,9×107±1,15

×106b

1,8×107±2,00

×106b

1,7×107±1,15

×106b

Keterangan: Superscript huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); Superscript

huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); P1 (Jerami Padi

Non Fermentasi 100%); P2 (Jerami Padi Non Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P3 (Jerami Padi

Non Fermentasi 70% + Konsentrat Plus 30%); P4 (Jerami Padi Non Fermentasi 60% + Konsentrat Plus

40%); N-NH3 (Konsentrasi N-Amonia); TVFA (Total Volatile Fatty Acid).

Nilai derajat keasaman (pH) selama 2 jam waktu inkubasi secara in vitro

menunjukkan nilai yang stabil (Tabel 8). Hasil uji statistik Duncan menunjukkan bahwa

penambahan konsentrat plus dengan variasi yang berbeda menunjukkan adanya

perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap nilai pH. Perlakuan P1 (6,40) yaitu tanpa

penambahan konsentrat plus nilai pH lebih besar dibandingkan dengan penambahan

konsentrat (P1, P2 dan P3). Meng et al., (1999) menyatakan bahwa fermentasi di dalam

rumen membutuhkan pH dengan kisaran 5-7,5. Sedangkan nilai pH dari keempat

perlakuan berkisar antara 6,30-6,40. Sesuai dengan Fondivila et al., (2002) menyatakan

bahwa kondisi optimum untuk aktivitas mikroba mensintesis protein di dalam rumen pH

6,13 - 6,35.

Penambahan konsentrat plus pada pakan campuran cenderung menurunkan nilai

pH. Sunaryadi (1999) menyatakan bahwa penurunan pH diduga karena populasi

protozoa menurun, sehingga pemanfaatan produk fermentasi rumen menjadi berkurang

dan dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi asam laktat yang diproduksi oleh bakteri.

Hal ini sesuai dengan hasil percobaan (Table 8), populasi protozoa paling tinggi pada

perlakuan P1 (2,5×107) yaitu tanpa penambahan konsentrat plus sedangkan pada dengan

45

penambahan konsentrat plus secara berturut-turut populasi protozoa sebesar P2

(1,9×107), P3 (1,8×107) dan P4 (1,7×107). Fondevila et al., (2002) mengemukakan,

perubahan pakan dapat mengakibatkan pergeseran populasi mikrobia selulolitik dan

amilolitik di rumen. Jumlah mikrobia selulolitik menurun jika terjadi fermentasi pati di

dalam rumen, yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi pH dalam rumen.

Hasil penelitian menujukkan bahwa konsentrasi N-NH3 perlakuan P1 (3,76

mg/100ml) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P2 (4,48 mg/100ml), P3 (4,48

mg/100ml) dan P4 (4,64 mg/100ml). Hasil N-NH3 berkisar antara 3,76-4,64 mg/100ml.

Sesuai dengan Wanapat dan Pimpa (1999), konsentrasi N-NH3 optimal untuk

fermentasi mikroba dalam kultur sistem tertutup adalah 5 mg/100ml. Hasil uji lanjut

Duncan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) terhadap penambahan konsentrat plus

pada pakan ternak.

Riswandi et al., (2015) menyatakan bahwa amonia (NH3) merupakan produk

utama hasil fermentasi protein pakan di dalam rumen oleh mikroba rumen, dimana

semakin tinggi konsentrasi NH3 semakin tinggi protein pakan mengalami fermentasi di

dalam rumen. Produk NH3, ini di dalam rumen akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen

untuk sintesis tubuhnya. Tingginya nilai konsentrasi NH3 sesuai dengan Tabel 8 dimana

semakin tinggi jumlah penambahan konsentrat plus semakin tinggi pula konsentrasi N-

Amonia. Setiap proses fermentasi asam amino dalam rumen akan selalu terbentuk

amonia. Amonia tersebut merupakan sumber nitrogen yang utama dan sangat penting

untuk sintesis protein mikroorganisme rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen

merupakan keseimbangan antara jumlah yang diproduksi dengan yang digunakan oleh

mikroorganisme dan yang diserap oleh rumen.

Hasil uji lanjutan Duncan menunjukkan produksi Total Volatile Fatty Acid

(TVFA) pada keempat perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05), hal ini menunjukkan

46

bahwa penambahan konsentrat plus pada jerami padi non fermentasi tidak berpengaruh

terhadap nilai TVFA. Secara keseluruhan nilai TVFA yang diperoleh cukup tinggi yaitu

berkisar 73,33-80,00 mM. Tingginya nilai TVFA tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Chanthakhoun dan Wanapat (2012), dimana rumen kerbau yang diberi

pakan jerami padi, jerami padi fermentasi dan konsentrat menghasilkan konsentrasi

TVFA berturut-turut 44,8; 48,9 dan 55,9 mM. Pola produksi TVFA yang fluktuatif

(Tabel 8) dimungkinkan karena adanya pengaruh oksigen dari luar yang masuk ke dalam

rumen sehingga akan mengganggu aktivitas mikroba anaerob di dalam rumen dan akan

berpengaruh terhadap produk fermentasi yang dihasilkan. Menurut Machmuller et al.,

(1998) salah satu kendala dalam teknik RUSITEC adalah mempertahankan ekosistem

mikroba terutama bakteri-bakteri anaerob dan protozoa. Hal tersebut direpresentasikan

oleh menurunnya proporsi produk produk fermentasi karbohidrat yang terkandung

dalam pakan.

4.4.2 Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In Vitro dari Pakan Campuran

Konsentrat Plus dengan Jerami Padi Fermentasi.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pH, N-NH3 (Konsentrasi N-

Amonia), TVFA (Total Volatile Fatty Acid) dan populasi protozoa menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) (Tabel 9). Nilai derajat keasaman (pH) selama 2 jam

waktu inkubasi secara in vitro menunjukkan nilai yang stabil (Tabel 8).

Hasil uji statistik Duncan menunjukkan pada perlakuan P7 (7,14) nilai pH nyata

lebih tinggi dibandingakan dengan P5 (6,80), P6 (6,69) dan P8 (6,90), hal ini

menunjukkan bahwa penambahan konsentrat plus mempengaruhi nilai pH. Secara

keseluruhan nilai pH dari keempat perlakauan berkisar antara 6,80-7,14. Hal ini tidak

sesuai Fondivila et al., (2002) bahwa kondisi optimum untuk aktivitas mikroba

mensintesis protein di dalam rumen pH 6,13 - 6,35.

47

Tabel 9. Karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dari pakan campuran konsentrat

plus dengan jerami padi fermentasi.

Parameter Perlakuan

P5 P6 P7 P8

pH 6,80±0,03d 6,99±0,03b 7,14±0,02a 6,90±0,01c

N-NH3 (mg/100ml) 4,16±0,14a 3,68±0,14b 3,36±0,24c 3,36±0,00c

TVFA (mM) 103,33±5,77a 83,33±11,55b 76,67±5,77b 91,11±11,00ab

Populasi Protozoa

(sel/ml)

3,4×107±5,29

×106a

3,1×107±1,15

×106ab

2,7×107±1,15

×106b

1,2×107±2,00×

106c

Keterangan: Superscript huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); Superscript

huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); P5 (Jerami Padi

Fermentasi 100%); P6 (Jerami Padi Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P7 (Jerami Padi

Fermentasi 70% + Konsentrat Plus 30%); P8 (Jerami Padi Fermentasi 60% + Konsentrat Plus 40%); N-

NH3 (Konsentrasi N-Amonia); TVFA (Total Volatile Fatty Acid).

Nilai pH pada pakan campuran konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi

cenderung kearah 7, hal ini dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan campuran. Menurut

Maharani et al., (2015) faktor yang mempengaruhi pH rumen ialah sifat fisik, jenis dan

komposisi kimia pakan yang dikonsumsi. Menurut Theodorou et al., (1994) bila ternak

mengkonsumsi pakan banyak mengandung serat atau karbohidrat struktural maka pH

cenderung kearah 7,5 tetapi bila pakan lebih banyak mengandung pati atau karbohidrat

yang mudah larut maka pH cenderung kearah 5.

Hasil penelitian pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa rata-rata populasi protozoa

yaitu berkisar antara 1,2×107 sampai 3,4×107 sel/ml cairan rumen. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa populasi protozoa yang dihasilkan berada di atas kisaran normal.

McDonald et al., (2002) menyatakan bahwa kisaran normal untuk populasi protozoa

yaitu 105 -106 sel/ml cairan rumen. Hasil uji statistik menunjukan adanya pengaruh

penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi terhadap populasi protozoa

(P<0,05). Populasi protozoa pada perlakuan P8 (1,2×107 sel/ ml cairan rumen) nyata

lebih rendah dibandingkan dengan P5, P6 dan P7. Tingginya populasi protozoa tanpa

penambahan konsentrat plus menunjukkan bahwa kualitas pakan ternak rendah karena

kandungan pati rendah. Rosiyanti et al., (2015) menyatakan bahwa ketersediaan pati

yang rendah menghasilkan jumlah populasi protozoa yang tinggi. Hal ini dikarenakan

48

kandungan nutrien utama yang dimanfaatkan oleh protozoa adalah karbohidrat siap

cerna seperti pati. Menurut Putro (2010) kandungan pati (BETN) jerami padi 41,6%.

Arora (1995) menyatakan bahwa protozoa dapat mencerna pati karena

mempunyai aktivitas α-amylase yang kuat. Pakan sumber serat biasanya memiliki

kandungan pati (karbohidrat nonstruktural) yang sedikit, sedangkan kandungan serat

kasarnya tinggi. Pati merupakan sumber makanan utama yang dimanfaatkan oleh

protozoa rumen. Jika ketersediaan pati yang dimanfaatkan oleh protozoa rumen telah

habis maka protozoa akan memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Protozoa sering mengganggu ekosistem bakteri di dalam rumen. Ekosistem bakteri

rumen yang terganggu akan berpengaruh terhadap pencernaan serat kasar oleh bakteri,

sehingga kecernaan pakan yang kandungan seratnya tinggi akan rendah. Namun

meskipun protozoa sering mengganggu ekosistem bakteri, keberadaan protozoa tetap

memberikan keuntungan. Menurut Dore dan Goute (1991) protozoa dapat

memperlambat konversi karbohidrat fermentabel menjadi asam laktat oleh bakteri

rumen, sehingga pH rumen dapat dikontrol.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

terhadap penambahan konsentrat plus pada pakan ternak. Konsentrasi N-NH3 perlakuan

P5 (4,16 mg/100ml) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P6 (3,68

mg/100ml), P7 (3,36 mg/100ml) dan P8 (3,36 mg/100ml). Konsentrasi N-NH3 dibawah

kisaran normal yaitu antara 3,36-4,16 mg/100ml. Wanapat dan Pimpa (1999)

menyatakan bahwa konsentrasi N-NH3 optimal untuk fermentasi mikroba dalam kultur

sistem tertutup adalah 5 mg/100ml.

Suryani et al., (2014) menyatakan bahwa sumber N-NH3 rumen selain berasal

dari degradasi protein pakan, juga berasal dari degradasi protoplasma mikroba terutama

protozoa. Protozoa mempunyai kemampuan memangsa molekul-molekul besar dari

49

protein, karbohidrat, bahkan bakteri rumen. Dengan demikian, protozoa berperan dalam

mengatur laju pergerakan N di dalam rumen dan memasok protein mudah larut untuk

mempertahankan pertumbuhan bakteri. Menurut Jouany (1996) protein protozoa lebih

banyak tertahan di dalam rumen, hanya sekitar 20–40% sel protozoa yang menuju

intestinum. Itulah sebabnya peningkatan jumlah protozoa pada P5 (Tabel 9) turut

menyumbangkan peningkatan konsentrasi N-NH3 rumen pada perlakuan P5.

Hasil uji lanjutan Duncan menunjukkan produksi TVFA pada keempat perlakuan

berbeda nyata (P<0,05), hal ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrat plus pada

jerami padi fermentasi berpengaruh terhadap nilai TVFA. Secara keseluruhan nilai

TVFA yang diperoleh cukup tinggi yaitu berkisar 76,67-103,33 mM. Tingginya nilai

TVFA tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chanthakhoun dan Wanapat

(2012), dimana rumen kerbau yang diberi pakan jerami padi, jerami padi fermentasi dan

konsentrat menghasilkan konsentrasi TVFA berturut-turut 44,8; 48,9 dan 55,9 mM.

Menurut Bannink et al., (2008) tingginya nilai TVFA di dalam rumen dipengaruhi oleh

substrat yang difermentasi, populasi mikroba dan ekologi rumen.

4.5 Fermentasi di dalam Rumen Kerbau Secara In Sacco

4.5.1 Degradasi Bahan Kering (DBK) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Non Fermentasi

Pengujian pakan campuran konsentrat plus dan jerami padi non fermentasi

kembali dilakukan secara in sacco yang bertujuan untuk mengetahui tingkat

degradabilitas pakan. Grafik persentase DBK secara keseluruhan terjadi kenaikan

seiring ditingkatkannya waktu inkubasi (Gambar 11). Perhitungan nilai DBK terdapat

pada Lampiran 2.

50

Gambar 11. Grafik persentase degradasi bahan kering (DBK) konsentrat plus dan

jerami padi non fermentasi.

Hasil percobaan menujukkan semakin lama waktu inkubasi membuat nilai DBK

pakan campuran konsentrat plus dan jerami padi non fermentasi semakin meningkat

(Gambar 11). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mehrez (1977) bahwa makin lama waktu

inkubasi maka degradasi pakan oleh mikroba rumen makin tinggi. Menurut pernyataan

Zulkarnain et al., (2014) meningkatnya degradasi pakan terjadi karena subsrat pakan

akan semakin berkurang sebagai akibat aktivitas mikroba di dalam rumen seiring dengan

meningkatnya waktu inkubasi.

Hasil penelitian pada Tabel 10 menujukkan nilai DBK pada periode inkubasi 6,

12 dan 48 jam terlihat berbeda nyata (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi

penambahan konsentrat plus pada jerami padi non fermentasi mempengaruhi nilai

Degradasi Bahan Kering (DBK), namun pada periode waktu inkibasi 0, 24 dan 72 jam

terlihat tidak berbeda nyata (P>0,05). Persentase kenaikan nilai DBK tertinggi terjadi

pada perlakuan P4 sebesar 50,90% pada periode waktu inkubasi 72 jam dan terendah

terjadi pada perlakuan P2 yaitu sebesar 15,79% pada waktu inkubasi 0 jam.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 6 12 24 48 72

DB

K %

Waktu Inkubasi (Jam)

P1

P2

P3

P4

51

Tabel 10. Persentase degradasi bahan kering (DBK) hasil fermentasi pakan campuran

konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi secara in sacco pada

periode inkubasi 0-72 jam.

Waktu

Inkubasi

(Jam)

DBK (%)

Perlakuan

P1 P2 P3 P4

0 16,62±1,74a 15,79±1,96a 16,40±0,60a 15,97±1,18a

6 23,05±1,33b 23,46±0,39b 24,69±1,15b 27,71±0,39a

12 25,12±0,06b 26,37±1,23b 29,81±2,21a 30,15±1,06a

24 37,34±2,73a 35,92±3,97a 36,03±3,20a 41,11±1,59a

48 40,35±1,08b 44,98±2,46a 43,97±1,24a 44,27±0,70a

72 47,35±2,87a 46,90±5,82a 48,78±1,23a 50,90±2,02a

Keterangan: Superscript huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); huruf

yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); P1 (Jerami Padi Non

Fermentasi 100%); P2 (Jerami Padi Non Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P3 (Jerami Padi Non

Fermentasi 70% + Konsentrat Plus 30%); P4 (Jerami Padi Non Fermentasi 60% + Konsentrat Plus

40%); DBK (Degradasi Bahan Kering).

Hasil penelitian pada Tabel 10 terlihat bahwa secara keseluruhan jerami padi non

fermentasi dengan penambahan konsentrat plus sebesar 40% memiliki nilai DBK lebih

tinggi daripada dengan tanpa penembahan konsentrat maupun penambahan konsentrat

sebesar 15% dan 30%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Raharjo et al., (2013) bahwa

semakin meningkatnya rasio konsentrat semakin meningkat degradasi bahan kering hal

ini diduga konsentrat mampu merangsang pertumbuhan mikroba rumen sehingga

aktivitas pencernaan fermentatif meningkat, yang pada akhirnya makin banyak bahan

kering ransum yang dapat dicerna.

Nilai degradasi bahan kering (DBK) tertinggi pada periode waktu inkubasi 6, 12,

24 dan 72 jam terjadi pada perlakuan P4, masing-masing secara berturut-turut sebesar

27,71%; 30,15%; 41,11% dan 50,90%. Lebih tinggi daripada nilai DBK perlakuan P1

dengan masing-masing nilai sebesar 23,05%; 25,12%; 37,34% dan 47,35%. Hal ini

sesuai dengan peningkatan kadar protein yang terjadi (Tabel 6), dimana peningkatan

kadar protein kasar (PK) perlakuan P4 sebesar 9,13% lebih tinggi daripada perlakuan P1

yaitu sebesar 4,96%. Menurut Ørskov dan McDonald (1979) peningkatan daya cerna

bahan kering ransum akibat bertambahnya jumlah pemberian konsentrat disebabkan

52

karena konsentrat mempunyai nilai kecernaan yang tinggi dalam saluran pencernaan

ternak ruminansia. Konsentrat merupakan bahan pakan yang kaya akan zat-zat makanan

terutama protein dan energi, memiliki kadar serat kasar yang rendah sehingga

kecernaannya dalam saluran pencernaan cukup tinggi. Menurut Arora (1989), di dalam

rumen protein akan dihidrolisa menjadi oligopeptida oleh enzim proteolitik yang

dihasilkan mikroba, dan oligopeptida ini dihidrolisa menjadi asam-asma amino.

Mikroba rumen inilah yang kemudian menjadi sumber protein untuk diserap oleh induk

inangnya, selain itu induk inang dapat memanfaatkan molekul kecil asal oligopeptida,

asam-asam amino, asam alfa keto dan asam hidroxi alfa yang mungkin tidak

terdegradasi di rumen.

Pada periode waktu inkubasi 0 jam nilai DBK perlakuan P1 (16,62%) lebih

tinggi dari pada perlakuan P4 (15,97%) dan pada periode waktu inkubasi 48 jam nilai

DBK perlakuan P2 (44,98%) lebih tinggi daripada perlakuan P4 (44,27%). Walaupun

rendahnya kadar protein kasar pada perlakuan P1 dan P2 membuat nilai DBK P1 dan P2

tinggi, namun semakin lama waktu inkubasi juga ternyata mampu membuat DBK pada

perlakuan P4 lebih tinggi daripada perlakuan P1 maupun P2. Menurut Raharjo et al.,

(2013) kecernaan pakan yang memiliki kualitas relatif rendah umumnya meningkat

dengan pemberian pakan konsentrat. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa

dengan penambahan konsentrat pada jerami padi non fermenetasi akan meningkatkan

daya cerna. Namun dari hasil yang disajikan pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai DBK

pada periode waktu inkubasi 0 dan 48 jam yang dipengaruhi penambahan konsentrat

plus cenderung fluktuatif dan dari uji Duncan (Lampiran 3) juga tidak memberikan

pengaruh yang nyata (P>0,05). Menurut Tillman et al., (1998) faktor-faktor yang

mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, daya cerna protein kasar, lemak,

komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor hewan dan jumlah pakan yang diberikan.

53

4.5.2 Degradasi Bahan Kering (DBK) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Fermentasi

Pengujian pakan campuran konsentrat plus dan jerami padi fermentasi kembali

dilakukan secara in sacco yang bertujuan untuk mengetahui tingkat degradabilitas

pakan. Grafik persentase DBK secara keseluruhan terlihat terjadi kenaikan seiring

ditingkatkannya waktu inkubasi (Gambar 12). Perhitungan nilai DBK terdapat pada

Lampiran 2.

Gambar 12. Grafik persentase degradasi bahan kering (DBK) konsentrat plus dan

jerami padi fermentasi.

Hasil percobaan menujukkan semakin lama waktu inkubasi membuat nilai DBK

pakan campuran konsentrat plus dan jerami padi non fermentasi semakin meningkat

(Gambar 12). Menurut Yusmadi (2008) semakin tinggi persentase kecernaan bahan

kering suatu bahan pakan, menunjukkan bahwa semakin tinggi pula kualitas bahan

pakan tersebut. Kecernaan yang mempunyai nilai tinggi mencerminkan besarnya

sumbangan nutrien tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai

kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien

untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 6 12 24 48 72

DB

K %

Waktu Inkubasi (Jam)

P5

P6

P7

P8

54

Tabel 11. Persentase degradasi bahan kering (DBK) hasil fermentasi pakan campuran

konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi secara in sacco pada periode

inkubasi 0-72 Jam.

Waktu

Inkubasi

(Jam)

DBK (%)

Perlakuan

P5 P6 P7 P8

0 12,18±1,22a 14,45±1,51a 14,75±0,82a 14,01±2,25a

6 20,67±2,05c 21,52±0,60bc 23,07±0,24ab 23,90±0,51a

12 24,51±1,86b 26,29±0,88b 29,61±1,47a 29,58±1,18a

24 31,13±0,84a 31,29±4,31a 32,79±2,50a 33,75±2,56a

48 43,83±1,05a 43,27±2,49a 43,32±4,26a 41,70±1,68a

72 48,08±1,30ab 49,53±0,94a 49,23±0,63a 46,86±0,28b

Keterangan: Superscript huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); huruf

yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); P5 (Jerami Padi Fermentasi

100%); P6 (Jerami Padi Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P7 (Jerami Padi Fermentasi 70% +

Konsentrat Plus 30%); P8 (Jerami Padi Fermentasi 60% + Konsentrat Plus 40%); DBK (Degradasi

Bahan Kering).

Nilai DBK pada periode inkubasi 6, 12 dan 72 jam terlihat berbeda nyata

(P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi penambahan konsentrat plus pada

jerami padi fermentasi mempengaruhi nilai DBK, namun pada periode waktu inkibasi

0, 24 dan 48 jam terlihat tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian konsentrat plus pada jerami padi fermentasi terhadap kecernaan bahan kering

adalah sama, sehingga menyebabkan tidak adanya perbedaan disetiap perlakuan.

Persentase kenaikan nilai DBK tertinggi terjadi pada perlakuan P6 sebesar 49,53% pada

periode waktu inkubasi 72 jam dan terendah terjadi pada perlakuan P5 yaitu sebesar

12,18% pada waktu inkubasi 0 jam.

Hasil penelitian pada Tabel 11 terlihat bahwa secara keseluruhan jerami padi

fermentasi dengan penambahan konsentrat plus memiliki nilai DBK lebih tinggi

daripada tanpa penambahan konsentrat plus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Raharjo

et al., (2013) bahwa meningkatnya degradasi bahan kering pada ransum yang

menggunakan imbangan hijauan - konsentrat dengan komposisi berbeda selain dapat

disebabkan oleh peningkatan kecernaan bahan kering juga disebabkan oleh

meningkatnya proporsi konsentrat dalam ransum.

55

Nilai DBK tertinggi pada periode waktu inkubasi 0, 6, 12, 24 dan 72 jam secara

keseluruhan terjadi pada perlakuan P7 dan P8, masing-masing secara berturut-turut

sebesar 14,75%; 23,90%; 29,61%; 33,75% dan 49,53%. Lebih tinggi daripada nilai DBK

pada perlakuan P5 dengan masing-masing nilai sebesar 12,18%; 20,67%; 24,51%;

31,13% dan 48,08%. Hal ini sesuai dengan peningkatan kadar protein kasar yang terjadi

(Tabel 7), dimana terjadi peningkatan kadar protein kasar pada perlakuan P5 sebesar

5,85% menjadi 9,65% pada perlakuan P8. Menurut Bennrjee (1987) pakan yang

berkadar protein tinggi akan menaikkan jumlah mikrobia dibandingkan dengan pakan

yang rendah proteinnya karena protein merupakan salah satu senyawa yang esensial

untuk perkembangan mikrobia rumen. Ketersediaan senyawa tersebut dalam jumlah

yang memadai akan menopang perkembangan mikrobia rumen sehingga meningkatkan

aktivitas fermentasi di dalam rumen.

Namun hasil berbeda terjadi pada perlakuan P5 dengan waktu inkubasi 48 jam,

dimana jerami padi fermentasi tanpa penambahan konsentrat plus memiliki nilai DBK

lebih tinggi daripada dengan penambahan konsentrat plus. Hal ini terjadi mungkin

karena selama penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi dengan

Aspergillus niger mengalami akumulasi yang membuat proses respirasi jamur terganggu

sehingga aktivitas jamur dalam memproduksi enzim selulase juga terhambat. Hal

tersebut membuat degradasi pakannya tidak lebih tinggi dari pada tanpa penambahan

konsentrat plus. Namun seiring dengan ditingkatkannya waktu inkubasi membuat nilai

DBK dengan penambahan konsentrat plus lebih tinggi daripada jerami padi fermentasi

tanpa penambahan konsentrat plus yang dipengaruhi oleh aktivitas mikroba di dalam

rumen yang semakin aktif.

Faktor internal yang mempengaruhi degradasi nutrien secara in sacco antara lain

berupa konsentrasi N-NH3, TVFA, pH rumen dan laju partikel pakan keluar dari rumen

56

(Rahmadi et al., 2010). Pada penelitian yang dilakukan terlihat dinamika DBK tidak

selaras dengan dinamika N-NH3, TVFA dan populasi protozoa yang diperoleh, dimana

nilai kadar N-NH3, TVFA dan populasi protozoa terlihat fluktuatif (Tabel 9). Hal ini

kemungkinan terjadi karena kondisi ekosistem mikroba rumen yang berubah-rubah

sehingga belum mempresentasikan pengaruh yang lebih mendalam terutama terhadap

berbagai peubah fermentasi rumen seperti N-NH3, TVFA dan populasi protozoa.

Menurut Frannzolin dan Aves (2010), kadar N-NH3 merupakan indikator proses

degradasi dan sintesis protein oleh mikroba rumen. Sedangkan menurut Haryanto (2009)

Degradasi Bahan Kering (DBK) merupakan representasi dari optimalnya kondisi

fermentasi di dalam rumen. Lingkungan rumen yang kondusif mendukung mikroba

berfungsi optimal yaitu kandungan N-NH3, pH, TVFA dan populasi protozoa yang

optimal.

4.5.3 Degradasi Bahan Organik (DBO) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Non Fermentasi

Secara keseluruhan terjadi peningkatan persentase Degradasi Bahan Organik

(DBO) seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi (Gambar 13). Pada gambar

tersebut dapat diketahui bahwa penambahan konsentrat plus mampu meningkatkan

Degradasi Bahan Organik (DBO) pakan campuran. Perhitungan nilai DBO terdapat pada

Lampiran 2. Hasil uji statistik menujukkan nilai Degradasi Bahan Organik (DBO) pada

periode inkubasi 0, 48 dan 72 jam tidak berbeda nyata (P>0,05). Sedangkan nilai DBO

pada periode inkubasi 6, 12 dan 24 jam berbeda nyata (P<0,05). Secara keseluruhan

terjadi kenaikan persentase setiap bertambah lamanya waktu inkubasi (Tabel 12). Hal

ini sesuai dengan pernyataan Mehrez (1977) bahwa makin lama waktu inkubasi maka

degradasi pakan oleh mikroba rumen makin tinggi.

57

Gambar 13. Grafik persentase degradasi bahan organik (DBO) konsentrat plus dan

jerami padi non fermentasi.

Hasil penelitian menujukkan bahwa pada periode waktu inkubasi 0 jam nilai

DBO tertinggi terjadi pada jerami padi non fermentasi tanpa penambahan konsentrat

plus yaitu perlakuan P1, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai DBO

yang diperoleh pada perlakuan lainya. Lebih rendahnya nilai DBO dengan penambahan

konsentrat plus daripada tanpa penambahan konsentrat plus ini kemungkinan karena

aktivitas mikroba dalam menerima nutrisi terlalu tinggi. Dewi et al., (2012) menyatakan

bahwa penurunan degradasi bahan organik diduga karena kemampuan mikroba dalam

menerima nutrisi melebihi batas maksimal sehingga menyebabkan terjadinya penurunan

aktivitas mikroba. Mikroba sendiri mendegradasi bahan kering dan bahan organik

terutama karbohidrat kemudian hasil dari degradasi tersebut digunakan sebagai sumber

karbon dan energi untuk pertumbuhannya.

Nilai degradasi bahan organik (DBO) tertinggi pada periode waktu inkubasi 0

jam terjadi pada P1 yaitu sebesar 15,27%; pada periode waktu inkubasi 6, 12 dan 24 jam

tertinggi pada P4 yaitu masing-masing sebesar 24,52%; 29,65% dan 40,97%; sedangkan

pada periode waktu inkubasi 48 dan 72 jam tertinggi pada P3 yaitu masing-masing

sebesar 45,26% dan 50,58%. Tingginya nilai DBO pada waktu inkubasi 6, 12, 24, 48

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 6 12 24 48 72

DB

O %

Waktu Inkubasi (Jam)

P1

P2

P3

P4

58

dan 72 jam yang terjadi pada perlakuan P3 dan P4 sesuai dengan tingginya nilai protein

kasar yang diperoleh.

Tabel 12. Persentase degradasi bahan organik (DBO) hasil fermentasi pakan campuran

konsentrat plus dengan jerami padi non fermentasi secara in sacco pada

periode inkubasi 0-72 jam.

Waktu

Inkubasi

(Jam)

DBO (%)

Perlakuan

P1 P2 P3 P4

0 15,27±0,93a 13,09±4,15a 13,57±0,86a 14,37±1,78a

6 18,50±1,38c 19,03±0,27c 22,38±1,25b 24,52±1,00a

12 20,76±1,50b 22,63±0,44b 28,60±3,56a 29,65±1,84a

24 33,86±3,55b 31,27±3,68b 33,60±5,03b 40,97±1,31a

48 39,60±2,02a 44,88±2,78a 45,26±2,58a 42,52±4,00a

72 47,74±2,43a 49,64±5,60a 50,58±1,32a 50,23±2,03a

Keterangan: Superscript huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); huruf

yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); P1 (Jerami Padi Non

Fermentasi 100%); P2 (Jerami Padi Non Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P3 (Jerami Padi Non

Fermentasi 70% + Konsentrat Plus 30%); P4 (Jerami Padi Non Fermentasi 60% + Konsentrat Plus

40%); DBO (Degradasi Bahan Organik).

Periode waktu inkubasi 6, 12 dan 24 jam menujukkan nilai DBO tertinggi terjadi

pada perlakuan P4. Nilai tersebut selaras dengan tingginya nilai DBK yang diperoleh

pada periode waktu tersebut. Hal ini sesuai dengan Afdal et al., (2008) yang menyatakan

bahwa kenaikan degradasi bahan organik mengakibatkan degradasi bahan kering

mengalami kenaikan atau sebaliknya juga sejalan dengan Sukanto (2004) yang

menyatakan bahwa bahwa degradasi bahan organik erat kaitannya dengan degradasi

bahan kering.

4.5.4 Degradasi Bahan Organik (DBO) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Fermentasi

Degradasi bahan organik erat kaitannya dengan degradasi bahan kering, karena

sebagian bahan kering adalah bahan organik yang terdiri atas protein kasar, lemak kasar

dan serat kasar. Degradasi bahan organik menunjukkan jumlah nutrien seperti lemak,

karbohidrat dan protein yang dapat dicerna oleh ternak (Elita, 2006). Berdasarkan hasil

penelitian secara keseluruhan terjadi peningkatan persentase Degradasi Bahan Organik

(DBO) seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi (Gambar 14). Pada gambar

59

tersebut dapat diketahui bahwa penambahan konsentrat plus mampu meningkatkan

degradasi bahan organik (DBO) pakan campuran.

Hasil uji statistik (Lampiran 3) menujukkan bahwa nilai degradasi bahan organik

(DBO) pada periode inkubasi 0 dan 48 jam tidak berbeda nyata (P>0,05). Sedangkan

nilai DBO pada periode inkubasi 6, 12, 24 dan 48 jam berbeda nyata (P<0,05). Nilai

degradasi bahan organik (DBO) tertinggi pada periode waktu inkubasi 0 dan 72 jam

terjadi pada perlakuan P6 yaitu masing-masing sebesar 15,09% dan 50,09%; pada

periode waktu inkubasi 6, 12 dan 24 jam tertinggi pada perlakuan P8 yaitu masing-

masing sebesar 21,37%; 29,21% dan 39,66%; sedangkan pada periode waktu inkubasi

48 jam tertinggi pada perlakuan P7 yaitu sebesar 43,59%. Tingginya nilai degradasi

bahan organik (DBO) pada waktu inkubasi 6, 12, 24 dan 48 jam yang terjadi pada

perlakuan P7 dan P8 sesuai dengan tingginya protein kasar yang diperoleh.

Gambar 14. Grafik persentase degradasi bahan organik (DBO) konsentrat plus dan

jerami padi fermentasi.

Periode waktu inkubasi 6,12 dan 24 jam menujukkan nilai degradasi bahan

organik (DBO) tertinggi terjadi pada perlakuan P8. Nilai tersebut selaras dengan

tingginya nilai degradasi bahan kering (DBK) yang diperoleh pada periode waktu

tersebut. Menurut Riswandi et al., (2015) bahwa peningkatan degradasi bahan organik

dikarenakan degradasi bahan kering juga meningkat. Adanya peningkatan kandungan

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0 6 12 24 48 72

DB

O %

Waktu Inkubasi (Jam)

P5

P6

P7

P8

60

protein kasar akan menyebabkan meningkatnya aktivitas mikrobia rumen, digesti

terhadap bahan organik hal ini juga sejalan dengan pernyataan Tillman et. al., (1998)

bahwa degradasi bahan organik mencerminkan banyaknya zat yang tercerna terutama

senyawa nitrogen, karbohidrat, lemak dan vitamin.

Tabel 13. Persentase degradasi bahan organik (DBO) hasil fermentasi pakan campuran

konsentrat plus dengan jerami padi fermentasi secara in sacco pada periode

inkubasi 0-72 jam.

Waktu

Inkubasi

(Jam)

DBO (%)

Perlakuan

P5 P6 P7 P8

0 10,48±2,32a 15,09±2,14a 13,45±1,40a 11,57±3,04a

6 16,97±2,54b 19,31±0,62ab 20,14±1,33a 21,37±0,17a

12 20,42±3,05c 24,57±1,77b 26,67±1,20ab 29,21±1,43a

24 34,18±2,90b 35,29±3,34ab 34,97±2,39ab 39,66±1,72a

48 42,89±1,42a 42,52±4,00a 43,59±2,89a 41,28±1,69a

72 47,94±1,35ab 50,09±0,35a 48,60±1,64ab 46,33±0,87b

Keterangan: Superscript huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); huruf

yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); ); P5 (Jerami Padi Fermentasi

100%); P6 (Jerami Padi Fermentasi 85% + Konsentrat Plus 15%); P7 (Jerami Padi Fermentasi 70% +

Konsentrat Plus 30%); P8 (Jerami Padi Fermentasi 60% + Konsentrat Plus 40%); DBO (Degradasi

Bahan Organik).

Hasil penelitian pada Tabel 13 terlihat periode waktu inkubasi 0, 48 dan 72 jam

nilai DBO mengalami penurunan hal ini sesuai dengan nilai DBK (Tabel 11). Hasil

tersebut diduga karena degradasi bahan organik sangat erat hubungannya dengan

degradasi bahan kering. Fathul dan Wajizah (2010) menyatakan bahwa bahan organik

merupakan bagian dari bahan kering, sehingga apabila bahan kering meningkat akan

meningkatkan bahan organik begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, hal tersebut juga

akan berlaku pada nilai degradasinya apabila degradasi bahan kering meningkat tentu

degradasi bahan organik juga meningkat. Menurut Munasik (2007) bahan pakan yang

memiliki kandungan nutrien yang sama memungkinkan nilai DBO mengikuti DBK,

namun juga dapat terjadi perbedaan karena dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran fisik

pakan, tingkat kedewasaan tanaman, jumlah dan jenis mikroba pakan yang terdapat

dalam rumen.

61

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

1. Penambahan konsentrat plus sebesar 40% pada jerami padi non fermentasi dan

fermentasi mampu meningkatkan kadar protein kasar lebih tinggi (9,13% dan

9,65%) dibandingkan tanpa penambahan konsentrat plus (4,96% dan 5,83%) .

Hasil uji in sacco menujukkan nilai DBK dan DBO yang diperoleh juga lebih

tinggi dibandingkan tanpa penambahan konsentrat plus.

2. Hasil uji in vitro menujukkan penambahan konsentrat plus mampu meningkatkan

nilai pH, N-NH3, TVFA dan menurunkan populasi protozoa sehingga nilai

degradabilitas pakan lebih baik.

3. Perlakuan P4/P8 yaitu penambahan konsentrat plus sebesar 40% pada jerami padi

non fermentasi dan fermentasi menghasilkan nilai degradabilitas terbaik

dibandingkan dengan perlakuan lain.

4. Penambahan konsentrat plus pada jerami padi fermentasi menghasilkan nilai

degradabilitas terbaik dibandingkan jerami padi non fermentasi.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penambahan bahan pakan lain selain konsentrat plus pada jerami

padi fermentasi maupun non fermentasi untuk meningkatkan degradabilitas dan kualitas

pakan ternak, serta perlu dilakukan pengujian secara in vivo untuk mengetahui

pengaruhnya terhadap produktivitas ternak dan penurunan gas metana.

62

DAFTAR PUSTAKA

Afdal. M dan Erwan. E, 2008. Penggunaan Feses Sebagai Pengganti Cairan Rumen

Pada Teknik In Vitro: Estimasi Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Beberapa Jenis Rumput. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Mandalo Darat

Jambi.

Agrotekno. 2016. Artikel Ilmiah. Fermentasi Pakan Hewan Ternak Ruminansia dengan

Aspergillus niger. (http://www.agrotekno.net/2016/05/fermentasi-pakan-hewan-

ternak.html, diakses tanggal 24 Oktober 2017).

Agus, A., Muhson, Jauhari dan S. Padmonowijono. 2000. Komposisi Kimia dan

Degradasi In Sacco Jerami Padi Segar Fermentasi. Pros. Seminar Nasional

Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, hlm. 353−361. Bogor.

Amoo I.A., O.T Adebayo dan A.O Oyeleye. 2006. Chemical Evaluation of Winged

Beans (Psophocarous tetragonolabus), Pitanga Cherries (Eugenia uniflora) and

Orchid Fruit (Orchid fruit myristica). African. J food Agr.Nutr.Dvlpmnt. 2:1-12.

Anas, S. dan Andy. 2010. Kandungan NDF dan ADF silase campuran jerami jagung

(Zea Mays) dengan beberapa level daun gamal (Grilicidia maculata). Jurnal

Sistem Agrisistem. 6(2):77-81.

Anwar, Nadiem, Arief Widjaja, dan Sugeng Winardi. 2010. Peningkatan Unjuk Kerja

Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi Menggunakan Campuran Selulase Kasar dari

Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger. Makara, Sains, Vol. 14, No. 2,

November 2010: 113-116.

AOAC. 2005. Official Method of Analysis. Maryland: Association of Official Analytical

Chemists.

Arora, S.P. 1989. Pencemaran Mikrob pada Ruminansia. Gadjah Mada University

Press: Yogyakarta.Atlas dan Bartha.

Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Aswandi, C., I. Sutrisno dan A. Joela. 2012. Efek Complete Feed Bongol Berbagai

Varietas Tanaman Pisang Terhadap pH, NH3, dan VFA pada Kambing Kacang.

Jornal of Interactive Technology and Pedagogy. 2: 99-109.

Badan Pusat Statistik. 2014. Survey Pertanian. Produksi Pertanian Padi dan Palawija

di Indonesia. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 012891-

1992.

63

Bannink, A., France, J., López, S., Gerrits, W.J.J., Kebreab, E., Tamminga, S., and

Dijkstra, J. 2008. Modelling The Implications of Feeding Strategy on Rumen

Fermentation and Functioning of The Rumen Wall. Anim. Feed Sci. Technol.

143:3–26.

Bennrjee. 1987. Animal Nutrition. New Delhi: Oxford and IBH Publising Co.

Bhargav, S., Panda, B.P., Ali, M. dan Javed, S. 2008. Solid State Fermentation: An

Overview. Chem, Biochem, Eng. 22:49-70.

Chanthakhoun, V. dan Wanapat, M. 2012. The In Vitro Gas Production and Ruminal

Fermentation of Various Feeds Using Rumen Liquor from Swamp Buffalo and

Cattle. Asian J Anim Vet Adv. 7 (1): 54-60.

Chanzy, H. 2002. Crystal structure and hydrogen-bonding system in cellulose Iβ from

synchrotron X-ray and neutron fiber diffraction. J Anim Chem. Soc.

Christiyanto, M., Soejono, M., Utomo, R., Hartadi, H dan Widyobroto, B.P. 2005.

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum yang Berbeda Prekrusor Protein-

Energi dengan Pakan Basal Rumput Raja pada Sapi Perah. J. Indon. Trop. Anim.

Agric. 30:242-247.

Chuzaemi, S. 2012. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. Universitas Brawijaya Press. Malang.

Crampton, E. W and Haris, L. E. 1969. Applied Animal Nutrition. Ed. 1st The

Engsminger Publishing Company. California, U.S.A.

Crowder, L.V. and H. R. Cheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. First Published,

United State of America, by Longman Inc., New York.

Delaval. 2006. Efficient feeding. Artikel Ilmiah (http//www.delaval.com/Dairy

Knowledge/Efficient Feeding/Basic Physiology.htm, diakses tanggal 8 Maret

2016).

Dewi, N.K. Mukodiningsih, S. dan Sutrisno, C.I. 2012. Pengaruh Fermentasi Kombinasi

Jerami Padi dan Jerami Jagung dengan Aras Isi Rumen Kerbau Terhadap

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In Vitro. Animal Agriculture

Journal. 1(2): 134-140.

Dore, J and P.H. Goute, 1991. Microbial Interaction in the Rumen. In: Rumen Microbial

Metabolism and Ruminant Digestion. Jouany. (Ed). INRA, Paris. Pp. 71-88.

Elita, A.S. 2006. Studi Perbandingan Penampilan Umum dan Kecernaan Pakan pada

Kambing dan Domba Lokal. (Tidak Dipublikasi). Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Engsminger, M. E., and Olentine, C. G. 1980. Feed and Nutrition. 1st Ed. The

Engsminger Publishing Company. California. U.S.A.

64

Fariani, A., Astuti, W., Muslim, G. dan Abrar, A. 2014. Kualitas Kecernaan Complete

Feed Block (CFB) Berbasis Limbah Industri Gula sebagai Pakan Ternak

Ruminansia secara In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal.

Palembang. 26-27 September 2014.

Fernando, S. 2010. Rumen Microbial Population Dynamics during Adaptation to A

High-Grain Diet. Environmental Microbiology, Vol. 76, No. 22.

Fathul, F dan S. Wajizah. 2010. Penambahan Mikromineral Mn dan Cu dalam Ransum

terhadap Aktivitas Biofermentasi Rumen Domba secara In Vitro. JITV 15(1) : 9-

15.

Fondevila, M., Barrios-Urdaneta, A., Balcells, J., Castrillo, C., 2002. Gas Production

From Straw Incubated In Vitro With Different Levels of Purified Carbohydrates.

Anim. Feed Sci. Technol. 101: 1 – 15.

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-7, diterjemahkan oleh

Srigandono, B dan Praseno, K. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Frannzolin, R. dan Alves T.C. 2010. The Ruminal Physiology in Buffalo Compared with

Cattle. April 2010. Proceeding 9th Wold Buffalo Congress. Buenos Aires (AR).

Fransistika, R. 2012. Pengaruh Waktu Fermentasi Campuran Trichoderma ressei dan

Aspergillus niger terhadap Kandungan Protein dan Serat Kasar Ampas Sagu.

JKK. Volume 1 (1), hal 35-39.

General Laboratory Procedure. 1966. Department of Dairy Sciences. Madison:

University of Wisconsin.

Ginting, S.P. 2005. Sinkronisasi Degradasi Protein dan Energi dalam Rumen untuk

Memaksimalkan Produksi Protein Mikroba. Wartazoa 15 No. 1: 1-10.

Hartadi, H.S, Reksohadiprojo dan A.D. Thillman. 1991. Tabel Komposisi Pakan untuk

Indonesia. U.G.M. Universitas Gajah Mada Press.

Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman-

Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. PIP.

2(3): 163-176.

Hidayat, N. 2007. Artilkel Ilmiah. Aspergillus niger. (www.wordpress.com, diakses

tanggal 20 Oktober 2017).

Howard, R.L., Abotsi, E., Resenburg, J.V., Howard, S. 2003. Lignocellulose

Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme Production. African

Journal of Biotechnology. Vol. 2 (12). Pp.602-619.

65

Hungate, R. E. 1996. The Rumen and Its Microbes. New York: Departement of

Bacteriology and Agriculture Experiment Univ. Of California Academic

Press.

Hutabarat, S.R. 2015. Artikel Ilmiah. Ransum dan Konnsentrat untuk Pakan Sapi

Potong. (https://www.peternakankita.com/ransum-dan-kosentrat-untuk-pakan-

sapi-potong/, diakses tanggal 30 September 2017).

Idiawati, N., Murni, E.H. dan Arianie, L. 2014. Produksi Enzim Selulase oleh

Aspergillus Niger pada Ampas Sagu. Jurnal Natur Indonesia. Vol: 16(1): 1-9.

Jovitry, I. 2011. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Daun Tanaman Indigofera

sp.yang Mendapat Perlakuan Pupuk Cair untuk Daun. [Skripsi]. Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Jouany, J. P. 1996. Effect of Rumen Protozoa on Nitrogen Utilization by Ruminants. JN

The J. of Nut. American Institute of Nutrition. 1335S-1346S.

Kjeldahl, J. 1883. A New Method for The Estimation of Nitrogen In Organic

Compounds. J. Anal. Chem. 22:366.

Krishnamoorthy, U. 2001. RCA Training Workshop on In Vitro Techniques for Feed

Evaluation. April 23-27th. The International Atomic Energy Agency: Jakarta

(ID):17.

Kumar, D., Jain, V.K., Shanker, G. dan Srivastava, A. 2002. Citric Acid Production by

Solid State Fermentation Using Sugarcane Bagasse. (www.sciencedirect.com.

Diakses pada tanggal 26 September 2017).

Koddang, A. Y. M. 2008. Pengaruh Tingkat Pemberian Kosentrat Terhadap Daya Cerna

Bahan Kering dan Protein Kasar Ransum Pada Sapi Bali Jantan yang

Mendapatkan Rumput Raja (Pennisetum Parpurephoides) ad- libitum. Jurnal

Agroland 15 (4) :343- 348.

Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia, Jlilid 1. Alih Bahasa: Maggi

Thenawijaya. Erlangga. Jakarta.

Lopez, S. 2005. In Vitro And In Situ Techniques For Estimating Digestibility. In

‘Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism’ (Ed. J. Dijkstra, J.

M. Forbes, and J. France). 2nd Edition. ISBN 0-85199-8143. London: CABI

Publishing.

Machmuller, A., Ossowski, D.A., Wanner, M. dan Kreuzer, M. 1998. Potential of

Various Fatty Feeds to Reduce Methane Release from Rumen Fermentation In

Vitro RUSITEC. Anim Feed Sci Tech. 71: 117–130.

Maharani, N., Achmadi, J dan Mukodiningsih, S. 2015. Uji Biologis Konsumsi Pakan,

Populasi Bakteri Rumen dan pH Pellet Complete Calf Starter pada Pedet Friesian

Holstein Pra Sapih. Jurnal Agripet: Vol (15) No. 1 : 61-65.

66

Marhadi, 2009. Artikel Ilmiah. Potensi Fermentasi Jerami Padi Sebagai Sumber Pakan

Untuk Usaha Penggemukan Sapi Potong. (http://marhadi nutrisi 06.

blogspot.com/2009/05/jerami.html, diakses tanggal 12 September 2017).

Martawidjaja, M. 2003. Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Pengganti Rumput Untuk

Ternak Ruminansia Kecil. Wartazoa, Vol. 13 No. 3 Th. 2003: 119-127.

Mehrez, A.Z., Orskov, E.R dan McDonald, I. 1977. Rate of Rumen Fermentation In

Relation to Amonia Concentration. British J Nutr. 3(38): 437-443.

Meng, Q., M.S. Kerley, P.A. Ludden, and R. L. Belyea. 1999. Fermentation Substrate

and Dilution Rate Interact to Affect Microbial Growth and Efficiency. Anim Sci

77: 206-214.

McDonald, P., Edwards, R.A., Greenhalgh, J.F.D., dan Morgan, C.A. 2002. Animal

Nutrition. 6111th ed. Ashford Colour Press. Gosport.

Miyamoto, K. 1997. Renewable Biological Systems for Alternative Sustainable Energy

Production. FAO-Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Momot, A.Jems., Maaruf, K., Waani, M.R dan Pontoh, Ch.J. 2014. Pengaruh

Penggunaan Konsentrat dalam Pakan Rumput Benggala (Panicum Maximum)

Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Kambing

Lokal. Jurnal Zootek, Vol 34 (edisi khusus): 108 - 114 (Mei 2014).

Muchtadi, T.R dan Ayustaningwarno, F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.

Alfabeta. Bandung.

Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral

Dienkapsulasi. [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Munasik. 2007. Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Sorgum Manis

(Shorgum bicolor L. Moench) Variets RGU. Prosiding Seminar Nasional: 248-

253.

Murti, T. W. 2014. Ilmu Manajemen dan Industri Ternak Perah. Pustaka Reka Cipta.

Bandung.

Murwandhono, Edhy, Irawati Bachri, dan Darwanto Situmorang. 2006. Uji Nilai Nutrisi

Kulit Ubi Kayu yang Difermentasikan dengan Aspergillus niger. Jurnal

Agribisnis Peternakan. Vol. 2, No. 3: 91-95. Desember 2006.

Ogimoto, K. and Imai, S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientifict Societies

Press. Tokyo.

Ørskov, E.R. dan McDonald, I. 1979. The Estimation of Protein Degradability In The

Rumen from Incubation Measurements Weighted According to The Rate of

Passage. J Agric Sci Camb. 92: 499-503.

67

Pamungkas, D., Mariyono, Antari R. dan Sulistya T.A. 2013. Imbangan Pakan Serat

Dengan Penguat yang Berbeda dalam Ransum Terhadap Tampilan Sapi

Peranakan Ongole Jantan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner: 107-115.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta: Universitas

Indonesia Press.

Prihartini, I., Soebarinoto, Chuzaemi, S. dan Winugroho, M. 2011. Karakteristik Nutrisi

dan Degradasi Jerami Padi Fermentasi oleh Inokulum Lignolitik TLiD dan

BOpR. Fakultas Peternakan Perikanan UMM Malang. Animal Production

Journal. 11(1): 7.

Putro, Galih Aryo. 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Cair Em4 Terhadap

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Domba Lokal Jantan.

[Skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Raharjo, Wijoyo, A.T., Suryapratama, W dan Widiyastuti, T. 2013. Pengaruh Imbangan

Rumput Lapang – Konsentrat Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan

Organik Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 796–803, September

2013.

Rahmadi, D., Sunarso, J., Achmadi, E., Pangestu, A., Muktiani, M., Christiyanto.,

Surono dan Surahmanto. 2010. Ruminologi Dasar. Fakultas Peternakan

Universitas Diponegoro, Semarang.

Rianto, E dan Purbowati, E. 2009. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Riswandi., Muhakka dan Lehan,M. 2015. Evaluasi Nilai Kecernaan Secara In Vitro

Ransum Ternak Sapi Bali yang Disuplementasi dengan Probiotik Bioplus. Jurnal

Peternakan Sriwijaya. Vol. 4, No. 1, Juni 2015, pp. 35-46.

Rosiyanti, N., Ayuningsih, B dan Hidayat, R. 2015. The Influence Of Various

Defoliation Time Of Ramie Plant (Boehmeria Nivea) On Bacteria And Protozoa

Population Of Rumen Sheep Liquor (In Vitro). Hal: 1-10. Universitas

Padjadjaran. Bandung.

Rusdi, M. 2000. Kecernaan Bahan Kering In Vitro Silase Rumput Gajah Pada Berbagai

Umur Pemotongan. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Samson, R.A., Hoekstra, E.S. dan Oorschot, C.A.N. 1996. Introduction to Food Borne

Fungi. Netherland: Centra Albureau for Schimmcl Cultures.

Sanjaya, A. 2014. Artikel Ilmiah. Konsentrat sebagai Pakan Ternak. (http://www.situs-

peternakan.com/2014/11/konsentrat-sebagai-pakan-ternak.html, diakses tanggal

24 Oktober 2017).

Sarwono, B. dan Ariyanto, N.B. 2005. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.

Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

68

Sembiring, 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan Phanerochaete

Chrysosporium dan Implikasinya Terhadap Permormans ayam Broiler.

[Disertasi Dokter]. Universitas Padjajaran Bandung.

Sitorus, Tunggul Ferry. 2002. Peningkatan Nilai Nutrisi Jerami Padi Dengan

Fermentasi Ragi Isi Rumen. [Tesis]. Universitas Diponegoro. Semarang.

Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratotium Analisis dan Evaluasi Pakan. Yogyakarta:

Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan

Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Sudirman dan Imran. 2007. Kerbau Sumbawa sebagai Converter Sejati Pakan Berserat.

LokaKarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan

Daging Sapi. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Nusa Tenggara Barat.

Sugiyanti, Suparwi dan Tri Rahardjo Sutardi. 2013. Fermentasi Limbah Soun Dengan

Aspergillus niger Ditinjau Dari Kecernaan Bahan Kering Dan Kecernaan Bahan

Organik Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (3): 881-888, September

2013.

Suharyono. 2010. Pengembangan Suplemen Pakan Untuk Ternak Ruminansia dan

Pengenalannya Kepada Peternak. Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan

Peneliti. Presentasi IImiah Jabatan Peneliti: 1-39. Pusat Aplikasi Teknologi

Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta.

Suharyono., Hardani, NW, Shintia dan Wahyono, Teguh. 2015. Dinamika Hasil

Fermentasi Rumen pada Konsentrat yang Mengandung Suplemen Pakan Baru

(SPB). Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 11 No. 2: 99-112,

Desember 2015.

Sukanto. 2004. Pengaruh Imbangan Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrat Terhadap

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara In-Vitro. [Skripsi].

Fakultas Peternakan. Universitas Jenderal Soedirman.

Sukara, E dan E. T. Atmowidjoyo, 1980. Pemanfaatan Ubi Kayu Produksi Enzim

Emylase, Optimasi Nutrisi untuk Fermentasi Substrat Cair dengan

Menggunakan Kapang Rhizopus sp. Prosiding Seminar Nasional UPT-RRP.

Sunaryadi. 1999. Ekstraksi dan Isolasi Saponin Buah Lerak (Sapindus rarak) Serta

Pengujian Daya Defaunasinya. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Suparjo. 2010. Evaluasi Pakan Secara In Sacco. Jambi: Fakultas Peternakan Universitas

Jambi.

Supriyatna, A. 2017. Peningkatan Nutrisi Jerami Padi Melalui Fermentasi Dengan

Menggunakan Konsorsium Jamur Phanerochaete Chrysosporium Dan

Aspergillus Niger, Volume X No. 2: 166-177. Edisi Juni 2017.

69

Surono., Soejono, M. dan Budi, S.P.S. 2003. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan

Organik In Vitro Silase Rumput Gajah pada Umur Potong dan Level Aditif yang

Berbeda. J.Indon.Trop.Anim. Agric. 28(4): 204-208.

Suryani, N.N., Budiasa, I Ketut, M dan Astawa, I Putu, A. 2014. Fermentasi Rumen dan

Sintesis Protein Mikroba Kambing Peranakan Ettawa yang Diberi Pakan dengan

Komposisi Hijauan Beragam dan Level Konsentrat Berbeda. Majalah Ilmiah

Peternakan. Jurnal Agripet, Volume 17 Nomor 2: 56-60.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi, Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak.

Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.

Suwandyastuti, S.N.O dan Rimbawanto, E.A. 2015. Produk Metabolisme Rumen pada

Sapi Perah Laktasi. Jurnal Agripet. Vol (15) No. 1:1-6.

Syapura., Bata, M dan Pratama W.S. 2013. Peningkatan Kualitas Jerami Padi dan

Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen

Kerbau dengan Feces Sebagai Sumber Inokulum. Jurnal Agripet, Vol (13) No.

2: 59-67.

Theodorou, M. K., B. A. Williams, M. S. Dhanoa, A. D. B. McAlan, and J. France. 1994.

A Simple Gas Production Method Using A Pressure Transducer to Determine

The Fermentation Kinetics of Ruminant Feeds. Anim. Feed Sci. Technol. 48: 185

– 197.

Tilley, J.M.A, and R.A, Terry. 1963. A Two Stage Technique for The In Vitro Digestion

of Forage Crop. Journal of British Grassland. 18:104–111.

Tilman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.

1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wahyuni, I.D.M., Muktiani, A dan Christiyanto. M. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan

Bahan Organik dan Degradabilitas Serat pada Pakan yang Disuplementasi Tanin

dan Saponin. Jurnal Agripet Vol 14, No. 2, Oktober 2014: 115-124.

Wanapat, M. dan Pimpa, O. 1999. Effect of Ruminal NH3-N Levels on Ruminal

Fermentaion, Purine Derivatives, Digestibility and Rice Straw Intake In Swamp

Buffaloes. Asian-Aust J Anim Sci. 12: 904-907.

Wati, N.E., Achmadi, J. dan Pangestu, E. 2012. Degradasi Nutrien Bahan Pakan Limbah

Pertanian dalam Rumen Kambing secara In Sacco. Animal Agriculture Journal.

1(1): 485-498.

Widayanti, E. dan Widalestari, Y. 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Surabaya: Trubus

Agrisarana.

Wuryanti. 2008. Pengaruh Penambahan Biotin pada Media Pertumbuhan terhadap

Produksi Sel Aspergillus niger. Jurnal Bioma. Vol: 10 (2): 46-50.

70

Yanuartono., Purnamaningsih, H., Indarjulianto, S dan Nururrozi, A. 2017. Potensi

Jerami Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (1):40 –

62. DOI: 10.21776/ub.jiip.2017.027.01.05.

Yunilas. 2009. Bioteknologi Jerami Padi melalui Fermentasi sebagai Bahan Pakan

Ternak Ruminansia. Karya Ilmiah. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Yusmadi. 2008. Kajian Mutu dan Palatabilitas Silase dan Hay Ransum Komplit

Berbasis Sampah Organik Primer pada Kambing PE. [Tesis]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zulkarnain, D.R., Ismartoyo dan Harfiah. 2014. Karakteristik Degradasi Tiga Jenis

Pakan yang Disuplementasi Daun Gamal (Gliricidia Maculata) dalam Rumen

Kambing secara In Sacco. Jurnal Internasional Teknik Pakan. 3(3): 149-153.

71

LAMPIRAN 1. DOKUMENTASI PENELITIAN

Konsentrat Plus Mikroskop Cahaya

Jerami Padi Fermentasi Cawan conway

Proses Destilasi Uji TVFA Cawan masir

72

Kantung Nilon Proses memasukan sampel

kedalam rumen kerbau

Kamar hitung (counting chamber) Sentrifuge (IEC Clinical)

Desikator Neraca Analitik

Tanur Labu soklet

73

Pengamatan mikroskopis Inkubator

populasi protozoa

Jerami Padi Non Fermentasi Cawan Porselen

Uji Kadar Protein Kasar

74

LAMPIRAN 2. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

1. Kadar Air, Abu, BK dan BO sampel konsentrat plus

Uraian Ulangan Konsentrat Plus

W0, g 1 36,58

2 32,62

3 29,84

W1, g 1 37,59

2 33,63

3 30,86

W2, g 1 37,50

2 33,54

3 30,76

W3, g 1 36,70

2 32,74

3 29,96

1.a. Perhitungan kadar air konsetrat plus ulangan 1

% Kadar BK = 𝑊2−𝑊0

𝑊1−𝑊0× 100%

= 37,50−36,58

37,59−36,58× 100%

= 0,91

1,00× 100%

= 90,74%

% Kadar Air = 100% - %BK

= 100% - 90,74%

= 9,26%

% Kadar Abu = 𝑊3−𝑊0

𝑊1−𝑊0× 100%

= 36,70−36,58

37,59−36,58× 100%

= 0,12

1,00× 100%

= 11,94%

% Kadar BO = 100% - %Kadar Abu

= 100% - 11,94%

= 88,06%

75

2. Kadar protein kasar sampel jerami padi fermentasi

Uraian Ulangan Jerami Padi Fermentasi

W sampel, mg 1 504,9

2 504,5

3 504,4

V HCl 0,1N, ml 1 10

2 10

3 10

V NaOH 5%, ml 1 8,40

2 8,24

3 9,04

Nitrogen, % 1 0,44

2 0,49

3 0,27

Protein Kasar, % 1 5,55

2 6,11

3 5,83

Rerata 5,83

STDEV 0,28

Perhitungan kadar protein kasar sampel jerami padi fermentasi ulangan 1:

Nitrogen (N%) = ( 𝑉 𝐻𝐶𝑙−𝑉 𝑁𝑎𝑂𝐻)×𝑁 𝐻𝐶𝑙 ×𝐴𝑟 𝑁

𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑔)× 100%

= ( 10−8,40)×0,1 ×14

504,9× 100%

= 0,44%

Protein Kasar (%) = %N × 6,25

= 0,44% × 6,25

= 5,55%

76

3. Kadar lemak sampel jerami padi non fermentasi

Uraian Ulangan Jerami Padi Non Fermentasi

W0, g 1 1,24

2 1,20

3 1,24

W1, g 1 1,74

2 1,70

3 1,74

W2, g 1 1,62

2 1,58

3 1,63

W3, g 1 1,62

2 1,58

3 1,62

Lemak, % 1 0,40

2 0,82

3 0,44

Rerata 0,55

STDEV 0,23

Perhitungan kadar lemak sampel jerami padi non fermentasi ulangan 1:

%Lemak = (𝑊2−𝑊0)−(𝑊3−𝑊0)

(𝑊1−𝑊0)× 100%

= (1,62−1,24)−(1,62−1,24)

(1,74−1,24)× 100%

= 0,40%

77

4. Hasil Pengukuran Acid Detergen Fiber (ADF ) Sampel Jerami Padi Non Fermentasi

Uraian Ulangan Jerami Padi Non Fermentasi

W0, g 1 49,61

2 50,21

3 50,22

W1, g 1 0,50

2 0,51

3 0,51

W2, g 1 49,96

2 50,54

3 50,54

W3, g 1 49,69

2 50,28

3 50,52

Rerata BK, % 1 92,33

2 92,33

3 92,33

a, g 1 0,46

2 0,47

3 0,47

b, g 1 0,34

2 0,33

3 0,32

ADF, % 1 73,79

2 70,61

3 68,22

Rerata 70,87

STDEV 2,79

Perhitungan ADF sampel jerami padi non fermentasi ulangan 1:

ADF (%) = 𝑊2−𝑊0

𝑊1×𝐵𝐾× 100%

= 49,96−49,61

0,50×92,33%× 100%

= 73,79%

78

5. Hasil Pengukuran Neutral Detergen Fiber (NDF ) Sampel Jerami Padi Non

Fermentasi

Uraian Ulangan Jerami Padi Non Fermentasi

W0, g 1 50,53

2 50,42

3 49,57

W1, g 1 0,51

2 0,51

3 0,51

W2, g 1 50,89

2 50,80

3 49,94

W3, g 1 49,96

2 50,47

3 49,61

Rerata BK, % 1 92,33

2 92,33

3 92,33

a, g 1 0,47

2 0,47

3 0,47

b, g 1 0,35

2 0,37

3 0,37

ADF, % 1 75,38

2 79,11

3 78,61

Rerata 77,70

STDEV 2,03

Perhitungan NDF sampel jerami padi non fermentasi ulangan 1:

ADF (%) = 𝑊2−𝑊0

𝑊1×𝐵𝐾× 100%

= 50,89−50,53

0,51×92,33%× 100%

= 75,38%

79

6. Hasil Pengukuran pH Campuran Konsentrat Plus dan Jerami Padi Non Fermentasi

secara in vitro

Ulangan P1 P2 P3 P4

1 6,39 6,30 6,33 6,36

2 6,40 6,30 6,34 6,32

3 6,42 6,29 6,31 6,32

Rerata 6,40a 6,30c 6,33b 6,33b

STDEV 0,01 0,01 0,02 0,02

7. Pengukuran N-NH3 Sampel Jerami Padi Non Fermentasi Secara In Vitro

Uraian Ulangan Jerami Padi Non Fermentasi

V titrasi HCl, ml 1 0,16

2 0,16

3 0,15

Normalitas HCl, N 1 0,014125

2 0,014125

3 0,014125

N-NH3, mmol/100 ml 1 3,84

2 3,84

3 3,60

Rerata 3,76

STDEV 0,14

Perhitungan kadar N-NH3 sampel jerami padi non fermentasi ulangan 1:

N-NH3 (mmol/100 ml) = V HCl× N HCl × BM NH3× 100

= 0,16 × 0,014125× 17 × 100

= 3,84 mmol/100 ml

8. Pengukuran TVFA Sampel Jerami Padi Non Fermentasi Secara In Vitro

Uraian Ulangan Jerami Padi Non Fermentasi

V titrasi HCl, ml 1 4,1

2 4,5

3 4,2

Normalitas HCl, N 1 0,5

2 0,5

3 0,5

V titrasi balnko, ml 1 5

2 5

3 5

TVFA, mM 1 90

2 50

3 80

Rerata 73,33

STDEV 20,82

80

Perhitungan kadar TVFA sampel jerami padi non fermentasi ulangan 1:

TVFA (mM) = (V blanko – V HCl) × N HCl × (1000/5 mM)

= (5 – 4,1) × 0,5 × 200

= 90 mM

9. Pengukuran Populasi Protozoa Sampel Jerami Padi Non Fermentasi Secara In Vitro

Uraian Ulangan Jerami Padi Non Fermentasi

C, jumlah protozoa 1 11

2 14

3 12

FP, faktor pengenceran 1 2

2 2

3 2

Populasi protozoa, jumlah sel/ml 1 2,2×107

2 2,8×107

3 2,4×107

Rerata 2,5×107

STDEV 3,06×106

Perhitungan populasi protozoa sampel jerami padi non fermentasi ulangan 1:

Populasi protozoa (jumlah sel/ml) = 1000×𝐶×𝐹𝑃

0,1×0,0025×25

= 1000×11×2

0,1×0,0025×25

= 2,2×107 jumlah sel/ml

10. Hasil Perhitungan Degradasi Bahan Kering Perlakuan P1 Ulangan 1 pada Waktu

Inkubasi 0 Jam

Massa sampel basah (A) = 5,02 gr

Massa sampel kering (B) = (nilon+pemberat+sampel setelah inkubasi) -

(nilon+pemberat)

= 11,43 gr – 7,28 gr

= 4,16 gr

DBK (%) = 𝐴−𝐵

𝐴 × 100%

= 5,02−4,16

5,02 × 100%

= 17,18%

81

11. Hasil Perhitungan Degradasi Bahan Organik Perlakuan P1 Ulangan 1 pada Waktu

Inkubasi 0 Jam

Massa BO sebelum inkubasi (X) = massa sampel basah (gr) × BO sebelum inkubasi

(%)

= 5,02 × 79,40%

= 3,99 gr

Massa BO setelah inkubasi (Y) = massa sampel kering (B) (gr) × BO setelah inkubasi

= 4,16 gr × 80,50%

= 3,35 gr

DBO (%) = 𝑋−𝑌

𝑋 × 100%

= 3,99−3,35

3,99 × 100%

= 16,01%

82

LAMPIRAN 3. DATA UJI STATISTIK IBM SPSS 20,00

1. Pengaruh Penambahan Konsentrat Plus pada Jerami Padi Non Fermentasi

terhadap Kandungan Nutrisi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

BK

Between Groups 1.905 3 .635 9.494 .005

Within Groups .535 8 .067

Total 2.440 11

Abu

Between Groups 8.951 3 2.984 19.954 .000

Within Groups 1.196 8 .150

Total 10.147 11

Air

Between Groups 1.773 3 .591 8.895 .006

Within Groups .532 8 .066

Total 2.305 11

BO

Between Groups 8.951 3 2.984 19.954 .000

Within Groups 1.196 8 .150

Total 10.147 11

PK

Between Groups 29.957 3 9.986 25.376 .000

Within Groups 3.148 8 .394

Total 33.105 11

Lemak

Between Groups .018 3 .006 .184 .904

Within Groups .254 8 .032

Total .272 11

ADF

Between Groups 139.521 3 46.507 9.183 .006

Within Groups 40.516 8 5.064

Total 180.037 11

NDF

Between Groups 36.726 3 12.242 2.591 .125

Within Groups 37.805 8 4.726

Total 74.531 11

BK

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P4 3 91.3100

P3 3 91.4667

P2 3 92.0100

P1 3 92.2933

Sig. .479 .217

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Air

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 7.7500

P2 3 7.9900

P3 3 8.5333

P4 3 8.6900

Sig. .287 .478

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

83

Abu

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P4 3 18.4767

P3 3 19.1267

P2 3 20.3700

P1 3 20.5533

Sig. .074 .577

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

PK

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P1 3 4.9600

P2 3 6.5267

P3 3 8.0900

P4 3 9.1300

Sig. 1.000 1.000 .077

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lemak

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1

P1 3 .5533

P2 3 .5900

P3 3 .6300

P4 3 .6533

Sig. .535

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

BO

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 79.4467

P2 3 79.6300

P3 3 80.8733

P4 3 81.5233

Sig. .577 .074

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

84

ADF Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P4 3 61.8733

P3 3 64.1233 64.1233

P2 3 67.4967 67.4967

P1 3 70.8733

Sig. .256 .104 .103

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

NDF

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P4 3 73.0833

P3 3 74.2367 74.2367

P2 3 75.9700 75.9700

P1 3 77.7000

Sig. .157 .098

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

2. Pengaruh Penambahan Konsentrat Plus pada Jerami Padi Fermentasi

terhadap Kandungan Nutrisi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

BK

Between Groups 4.089 3 1.363 20.960 .000

Within Groups .520 8 .065

Total 4.609 11

Abu

Between Groups 19.090 3 6.363 16.837 .001

Within Groups 3.024 8 .378

Total 22.114 11

Air

Between Groups 3.275 3 1.092 15.789 .001

Within Groups .553 8 .069

Total 3.829 11

BO

Between Groups 19.090 3 6.363 16.837 .001

Within Groups 3.024 8 .378

Total 22.114 11

PK

Between Groups 25.191 3 8.397 166.882 .000

Within Groups .403 8 .050

Total 25.593 11

Lemak

Between Groups .158 3 .053 7.875 .009

Within Groups .054 8 .007

Total .212 11

ADF

Between Groups 82.407 3 27.469 38.659 .000

Within Groups 5.684 8 .711

Total 88.092 11

NDF

Between Groups 57.775 3 19.258 38.619 .000

Within Groups 3.989 8 .499

Total 61.764 11

85

BK Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P8 3 91.0800

P6 3 91.2767 91.2767

P7 3 91.5933

P5 3 92.5967

Sig. .373 .167 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Abu

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P8 3 17.1100

P6 3

18.4267

P7 3

18.4633

P5 3 20.6267

Sig.

1.000 .944 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Air

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P5 3 7.5533 P7 3 8.4067

P6 3 8.7233

P8 3 8.9200

Sig. 1.000 .051

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

BO

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P5 3 79.3733 P7 3 81.5367 P6 3 81.5733 P8 3 82.8900

Sig. 1.000 .944 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

86

PK Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

P5 3 5.8300

P6 3 7.2600

P7 3 8.6967

P8 3 9.6533

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lemak

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P5 3 .0533 P6 3 .1667 .1667 P7 3 .2800 .2800

P8 3 .3567

Sig. .128 .128 .284

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

ADF

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

P8 3 58.7467

P7 3 60.4767

P6 3 63.0700

P5 3 65.6633

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

NDF

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

P8 3 74.8467

P7 3 76.3000

P6 3 78.4667

P5 3 80.6400

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

87

3. Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In Vitro dari Pakan Campuran

Konsentrat Plus dengan Jerami Padi Non Fermentasi ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

pH

Between Groups .017 3 .006 25.321 .000

Within Groups .002 8 .000

Total .019 11

NH3

Between Groups 1.397 3 .466 24.250 .000

Within Groups .154 8 .019

Total 1.550 11

TVFA

Between Groups 691.667 3 230.556 1.064 .417

Within Groups 1733.333 8 216.667

Total 2425.000 11

Protozoa

Between Groups 99666666666666.

720 3

332222222222

22.240 8.306 .008

Within Groups 32000000000000.

000 8

400000000000

0.000

Total 131666666666666

.720 11

pH Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P2 3 6.2967 P3 3 6.3267 P4 3 6.3333 P1 3 6.4000

Sig. 1.000 .601 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

NH3

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 3.7600 P2 3 4.4800

P3 3 4.4800

P4 3 4.6400

Sig. 1.000 .212

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

TVFA

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P2 3 60.0000

P1 3 73.3333

P4 3 76.6667

P3 3 80.0000

Sig. .156

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

88

Protozoa

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P4 3 17333333.3333 P3 3 18000000.0000 P2 3 19333333.3333 P1 3 24666666.6667

Sig. .274 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

4. Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In Vitro dari Pakan Campuran

Konsentrat Plus dengan Jerami Padi Fermentasi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

pH

Between Groups .191 3 .064 86.636 .000

Within Groups .006 8 .001

Total .196 11

NH3

Between Groups 1.286 3 .429 17.867 .001

Within Groups .192 8 .024

Total 1.478 11

TVFA

Between Groups 1178.917 3 392.972 4.897 .032

Within Groups 642.000 8 80.250

Total 1820.917 11

Protozoa

Between Groups 8506666666666

66.800 3

283555555555

555.560 32.718 .000

Within Groups 6933333333333

3.336 8

866666666666

6.667

Total 9200000000000

00.100 11

pH

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

P5 3 6.7967

P8 3 6.9000

P6 3 6.9900

P7 3 7.1400

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

NH3

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P7 3 3.3600 P8 3 3.3600 P6 3 3.6800 P5 3 4.1600

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

89

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

TVFA

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P7 3 76.6667 P6 3 83.3333 P8 3 91.0000 91.0000

P5 3 103.3333

Sig. .097 .130

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Protozoa

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P8 3 12000000.0000 P7 3 27333333.3333 P6 3 30666666.6667 30666666.6667

P5 3 34000000.0000

Sig. 1.000 .203 .203

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

5. Degradasi Bahan Kering (DBK) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Non Fermentasi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

0 Jam

Between Groups 1.304 3 .435 .201 .893

Within Groups 17.262 8 2.158

Total 18.566 11

6 Jam

Between Groups 39.833 3 13.278 15.545 .001

Within Groups 6.833 8 .854

Total 46.667 11

12 Jam

Between Groups 56.236 3 18.745 9.953 .004

Within Groups 15.068 8 1.883

Total 71.304 11

24 Jam

Between Groups 52.991 3 17.664 1.961 .198

Within Groups 72.051 8 9.006

Total 125.042 11

48 Jam

Between Groups 38.598 3 12.866 5.572 .023

Within Groups 18.474 8 2.309

Total 57.072 11

72 Jam

Between Groups 29.148 3 9.716 .816 .520

Within Groups 95.251 8 11.906

Total 124.400 11

90

0 Jam Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P2 3 15.7933

P4 3 15.9700

P3 3 16.4000

P1 3 16.6200

Sig. .533

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

6 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 23.0533 P2 3 23.4633 P3 3 24.6900 P4 3 27.7067

Sig. .071 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

12 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 25.1233 P2 3 26.3700 P3 3 29.8033

P4 3 30.1533

Sig. .298 .763

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

24 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P2 3 35.9267

P3 3 36.0333

P1 3 37.3433

P4 3 41.1133

Sig. .082

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

91

48 Jam Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 40.3500 P3 3 43.9667

P4 3 44.2700

P2 3 44.9767

Sig. 1.000 .457

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

72 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P2 3 46.8967

P1 3 47.3500

P3 3 48.7833

P4 3 50.8967

Sig. .218

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

6. Degradasi Bahan Kering (DBK) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Fermentasi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

0 Jam

Between Groups 11.950 3 3.983 1.675 .249

Within Groups 19.022 8 2.378

Total 30.972 11

6 Jam

Between Groups 19.317 3 6.439 5.257 .027

Within Groups 9.798 8 1.225

Total 29.115 11

12 Jam

Between Groups 57.506 3 19.169 9.864 .005

Within Groups 15.546 8 1.943

Total 73.052 11

24 Jam

Between Groups 14.137 3 4.712 .588 .640

Within Groups 64.111 8 8.014

Total 78.249 11

48 Jam

Between Groups 7.604 3 2.535 .358 .785

Within Groups 56.624 8 7.078

Total 64.228 11

72 Jam

Between Groups 13.236 3 4.412 5.821 .021

Within Groups 6.063 8 .758

Total 19.299 11

92

0 Jam Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P5 3 12.1833

P8 3 14.0100

P6 3 14.4533

P7 3 14.7533

Sig. .092

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

6 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P5 3 20.6633 P6 3 21.5167 21.5167 P7 3 23.0733 23.0733

P8 3 23.8967

Sig. .373 .123 .389

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

12 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P5 3 24.5100 P6 3 26.2900 P8 3 29.5800

P7 3 29.6067

Sig. .156 .982

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

24 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P5 3 31.1333

P6 3 31.2867

P7 3 32.7867

P8 3 33.7500

Sig. .317

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

93

48 Jam Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P8 3 41.7033

P6 3 43.2667

P7 3 43.3200

P5 3 43.8267

Sig. .384

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

72 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P8 3 46.8633 P5 3 48.0833 48.0833

P7 3 49.2267

P6 3 49.5267

Sig. .124 .087

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

7. Degradasi Bahan Organik (DBO) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Non Fermentasi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

0 Jam

Between Groups 8.251 3 2.750 .501 .692

Within Groups 43.898 8 5.487

Total 52.148 11

6 Jam

Between Groups 73.030 3 24.343 21.524 .000

Within Groups 9.048 8 1.131

Total 82.078 11

12 Jam

Between Groups 172.933 3 57.644 12.477 .002

Within Groups 36.959 8 4.620

Total 209.893 11

24 Jam

Between Groups 158.495 3 52.832 3.979 .053

Within Groups 106.225 8 13.278

Total 264.720 11

48 Jam

Between Groups 61.327 3 20.442 2.372 .146

Within Groups 68.949 8 8.619

Total 130.275 11

72 Jam

Between Groups 14.402 3 4.801 .445 .728

Within Groups 86.387 8 10.798

Total 100.789 11

94

0 Jam Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P2 3 13.0867

P3 3 13.5667

P4 3 14.3700

P1 3 15.2700

Sig. .313

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

6 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P1 3 18.5000 P2 3 19.0367 P3 3 22.3767 P4 3 24.5200

Sig. .554 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

12 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P1 3 20.7533 P2 3 22.6300 P3 3 28.6033

P4 3 29.6567

Sig. .316 .565

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

24 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P2 3 31.2733 P3 3 33.5933 P1 3 33.8567 P4 3 40.9733

Sig. .429 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

95

48 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P1 3 39.5967

P4 3 42.5167

P2 3 44.8800

P3 3 45.2600

Sig. .057

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

72 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P1 3 47.7400

P2 3 49.6400

P4 3 50.2300

P3 3 50.5767

Sig. .348

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

8. Degradasi Bahan Organik (DBO) Pakan Campuran Konsentrat Plus dan

Jerami Padi Fermentasi

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

0 Jam

Between Groups 37.320 3 12.440 2.348 .149

Within Groups 42.394 8 5.299

Total 79.714 11

6 Jam

Between Groups 31.099 3 10.366 4.793 .034

Within Groups 17.304 8 2.163

Total 48.404 11

12 Jam

Between Groups 124.267 3 41.422 10.395 .004

Within Groups 31.879 8 3.985

Total 156.146 11

24 Jam

Between Groups 54.891 3 18.297 2.597 .125

Within Groups 56.352 8 7.044

Total 111.243 11

48 Jam

Between Groups 8.436 3 2.812 .385 .767

Within Groups 58.416 8 7.302

Total 66.852 11

72 Jam

Between Groups 21.934 3 7.311 5.434 .025

Within Groups 10.764 8 1.345

Total 32.698 11

96

0 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P5 3 10.4833

P8 3 11.5767

P7 3 13.4500

P6 3 15.0900

Sig. .050

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

6 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P5 3 16.9667 P6 3 19.3100 19.3100

P7 3 20.1433

P8 3 21.3733

Sig. .087 .138

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

12 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

P5 3 20.4200 P6 3 24.5700 P7 3 26.6667 26.6667

P8 3 29.2033

Sig. 1.000 .234 .158

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

24 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P5 3 34.1800 P7 3 34.9667 34.9667

P6 3 35.2933 35.2933

P8 3 39.6633

Sig. .635 .071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

97

48 Jam Duncan

Perlakuan N Subset for alpha =

0.05

1

P8 3 41.2800

P6 3 42.5167

P5 3 42.8933

P7 3 43.5900

Sig. .353

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

72 Jam

Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

P8 3 46.3233 P5 3 47.9433 47.9433

P7 3 48.5967 48.5967

P6 3 50.0900

Sig. .050 .061

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

BIODATA MAHASISWA

IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Windi Sofiana

Tempat Tanggal Lahir : Bogor, 11 Mei 1994

NIM : 1112096000026

Anak ke- : 1 dari 2 bersaudara

Alamat Rumah : Gang Asem RT 07/ RW 07 No.133, Kebagusan, Pasar

Minggu, Jakarta Selatan 12520

Telp/HP : 082110303628

Email : [email protected]

PENDIDIKAN FORMAL

Sekolah Dasar : SDN 05 Petang Jakarta Lulus tahun 2006

Sekolah Menengah Pertama : SMPN 175 Jakarta Lulus tahun 2009

SLTA/SMK : SMAN 49 Jakarta Lulus tahun 2012

Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masuk tahun 2012

PENDIDIKAN NON FORMAL

Kursus/Pelatihan

1. SMK3 (OHSAS 18001:2007) : No. Sertifikat 068/ISP-S/IX/2016

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Himpunan Mahasiswa Kimia : Jabatan Anggota Bidang Keagamaan (2014)

PENGALAMAN KERJA

1. Praktek Kerja Lapangan (PKL) : Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Kementrian

Perindustrian, Jln Balai Kimia No.1, Pekayon, Pasar

Rebo, Jakarta 13069/2015

Judul PKL: Verifikasi Migrasi Global pada Produk

Melamin dengan Simulan Air Suling sesuai SNI 7322:

2008.

2. Pengajar di A&B Privat : Jln. RC Veteran No.32 Bintaro Jakarta Selatan/2015

3. Pengajar di Rocket Privat : Jln. Juraganan, Patal Senayan RT12/RW08 No.14,

Kebayoran Lama, Jakarta Selatan/2016

SEMINAR/LOKAKARYA

1. Seminar Safety and Security Labolatory : 18-19 September 2012

2. Seminar Diskusi Panel Pangan Halal : 13 September 2012

3. Seminar Nasional Biokimia 2014 : 22 Mei 2014

*Keterangan Tambahan : ………………………………………………………………………....

…………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………