12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

45
Tumasik: Sejarah Awal Islam di Singapura (1200-1511 M) Oleh: Asep Saefullah, M.Ag. A. PENDAHULUAN Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menyampaikan harapannya untuk “membangun peradaban dan Islam Nusantara” dalam Senior Official Meeting (SOM) MABIMS ke-36 di Mataram-Lombok, NTB, pada 3-6 Oktober 2011. “Membangun Peradaban dan Islam Nusantara” diangkat menjadi tema SOM MABIMS tersebut. Menurutnya, “Pada masa lalu, Islam tumbuh dan berkembang secara dinamis. Islam Nusantara merupakan rangkaian sejarah panjang peradaban Islam Asia Tenggara, baik secara sosial, intelektual maupun sejarah kebudayaan... Kami, sangat antusias dan menganggap penting setiap penyelenggaraan SOM (Senior Official Meeting). Di pertemuan ini, kita dapat menggali dan berbagi pengalaman tentang solusi-solusi kreatif, agar ke depan, Islam mampu menjadi sumber informasi dan inspirasi. Untuk itu, pada kesempatan SOM kali ini kami sengaja mengusung tema: Membangun Peradaban dan Islam Nusantara.” 1 Sejalan dengan pernyataan Sekjen tersebut, penelusuran dan penulisan kembali sejarah Islam di Nusantara menjadi penting dilakukan. Di antara manfaatnya adalah agar mata rantai sejarah peradaban Islam di kawasan ini dapat dirajut kembali, dan lebih dari itu, generasi muda dan generasi yang akan datang tidak akan kehilangan akar sejarahnya, baik secara sosial, kultural, maupun intelektual. Salah satu wilayah yang patut mendapatkan perhatian dalam konteks sejarah Islam di kawasan Asia Tenggara adalah Singapura. Selain karena kaum Musliminnya sebagai minoritas, persoalan sejarah awal Islam di negara ini 1 “Studi Islam Asia Tenggara”, dalam http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/studi-islam- asia-tenggara/ . NU Online. Upload 6 October 2011, diakses 4 Oktober 2012. 0

Transcript of 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Page 1: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Tumasik: Sejarah Awal Islam di Singapura (1200-1511 M)

Oleh: Asep Saefullah, M.Ag.

A. PENDAHULUAN

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menyampaikan harapannya untuk “membangun peradaban dan Islam Nusantara” dalam Senior Official Meeting (SOM) MABIMS ke-36 di Mataram-Lombok, NTB, pada 3-6 Oktober 2011. “Membangun Peradaban dan Islam Nusantara” diangkat menjadi tema SOM MABIMS tersebut. Menurutnya, “Pada masa lalu, Islam tumbuh dan berkembang secara dinamis. Islam Nusantara merupakan rangkaian sejarah panjang peradaban Islam Asia Tenggara, baik secara sosial, intelektual maupun sejarah kebudayaan... Kami, sangat antusias dan menganggap penting setiap penyelenggaraan SOM (Senior Official Meeting). Di pertemuan ini, kita dapat menggali dan berbagi pengalaman tentang solusi-solusi kreatif, agar ke depan, Islam mampu menjadi sumber informasi dan inspirasi. Untuk itu, pada kesempatan SOM kali ini kami sengaja mengusung tema: Membangun Peradaban dan Islam Nusantara.” 1

Sejalan dengan pernyataan Sekjen tersebut, penelusuran dan penulisan kembali sejarah Islam di Nusantara menjadi penting dilakukan. Di antara manfaatnya adalah agar mata rantai sejarah peradaban Islam di kawasan ini dapat dirajut kembali, dan lebih dari itu, generasi muda dan generasi yang akan datang tidak akan kehilangan akar sejarahnya, baik secara sosial, kultural, maupun intelektual.

Salah satu wilayah yang patut mendapatkan perhatian dalam konteks sejarah Islam di kawasan Asia Tenggara adalah Singapura. Selain karena kaum Musliminnya sebagai minoritas, persoalan sejarah awal Islam di negara ini tergolong kurang mendapat perhatian. Padahal, Singapura pernah menjadi salah satu pusat produksi (pencetakan) kitab-kitab keagamaan sekitar abad ke-19 M sampai awal abad ke-20 M. Menurut Sugihara Yumi, dosen “Sejarah Islam di Indonesia” di Osaka University, Jepang, “Singapore became a vital center of Islamic publications between 1860 and 1900, because it was a meeting point of the political and economic networks cenderning the West and the East, and it was the main port for the outwart-bound journey to Mecca...”.2

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mencoba menelusuri dan mengungkap kembali keberadaan Islam di Singapura dari masa awal (ancient Singapore) sampai penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Pada masa lalu, Singapura dikenal sebagai Tumasik dan terkadang disebut juga Temasek. Sumber historiografi tradisional, seperti dalam Sejarah Melayu (Malay Annals)3 dan Tuhfah al-Nafis4

1 “Studi Islam Asia Tenggara”, dalam http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/studi-islam-asia-tenggara/. NU Online. Upload 6 October 2011, diakses 4 Oktober 2012.

2 Sugahara Yumi, “Publications of Kitabs and Development of Using Jawi and Pegon Scripts”, dalam Kawashima Midori, A Provinsial Catalog of Southeast Asian Kitabs of Sophia University, (Tokyo: Sophia University, 2010), h. 9.

3 Abdul Rahman Haji Ismail, “Sejarah Melayu (Malay Annals)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia,from Angkor Wat to East Timor, (California: ABC-CLIO, Inc., 2004), h. 1182-1183.

4 Ooi Keat Gin, Tuhfat al-Nafis (The Precious Gift), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 1355-1356.

0

Page 2: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

dilafalkan jadi “Temasek”, sedangkan dalam Pararaton,5 dan Negarakertagama,6

dilafalkan “Tumasik”.7 Dalam Southeast Asia, A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, dan sumber lain seperti Ensiclopedia Britanica disebut “Temasek” atau kadang dalam tanda kurung “(Tumasik)”.8 Oleh karena itu, problem pertama yang dikaji adalah masalah sumber sejarah tentang “Tumasik”.9 Problem kedua adalah tentang keberadaan awal Islam di daerah ini.

Posisi Singapura yang berada di ujung Semenanjung Malaya sebelah tenggara Malaysia menjadikannya sebagai tempat yang paling strategis dalam jalur perdagangan dan lalu lintas jalur laut. Karena posisinya yang strategis itulah, Singapura menjadi tempat yang penting di wilayah Asia Tenggara sejak dahulu kala. Karena itu pula, Singapura selalu disinggahi para pedagang dan juga menjadi rebutan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan di sekitarnya, dan kemudian oleh kaum penjajah.

Dalam konteks persebaran Islam di sekitar Selat Malaka, beberapa kesultanan pernah menguasai daerah ini, seperti Kesultanan Malaka (1398-1511), Kesultanan Johor (1511-1699), dan Kesultanan Johor-Riau (1699-1818) atau dari akhir abad ke-14 sampai awal abad ke-17 M. Sebelumnya, sebagai masa kuno Singapura sekitar 1200-1398, dua kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit juga pernah menguasainya. 10

Sebelum membahas dua persoalan pokok di atas, terlebih dahulu akan dibahas beberapa persoalan terkait studi tentang Islam di Asia Tenggara.11 Pembahasan tersebut perlu dilakukan sebagai pra kondisi sebelum masuk pada pembahasan utama. Sebab, dalam konteks kajian sejarah Islam di Singapura secara lebih spesifik, data dan informasi tentang sejarah Islam di Singapura termasuk minim, apalagi tentang sejarah awalnya.

Beberapa Persoalan Kajian Sejarah Islam di Asia TenggaraKajian tentang Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan sesuatu yang menarik

perhatian banyak kalangan, dari agamawan, sejarawan, antropolog, sosiolog, filolog, arkeolog, ahli efigrafi, ahli numistik, budayawan, sastrawan, seniman, dan lain-lain. Dari segi masanya juga demikian, dari masa-masa yang paling awal, konon abad ke-7 M/1 H ketika Islam di Jazirah Arab belum lama lahir sampai masa sekarang ini. Deri segi tema pun sangat beragama, baik pemikiran, pendidikan, hukum, politik, sosial, budaya,

5 Edi Sedyawati, Pararaton (Book of Kings), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 1021.

6 Tentang Negarakretagama, dijelaskan dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., pada entry “Gajah Mada (t. 1331–1364)”, h. 533-534; “Hayâm Wuruk (Râjasanagara)” (r. 1350–1389), h. 567-568; dan “Majapahit (1293–ca. 1520s) , h. 822-824, yang ditulis oleh Edi Sedyawati.

7 Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, A Thesis submitted for the Degree of Master of Arts, Department of History, National University of Singapore, 2012, h. 6. Lihat juga Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 158. Lihat juga The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979). The Gale Group, Inc., 2010 edisi online dalam http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tumasik, entry “Tumasik”. Diakses 11 Oktober 2012.

8 John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 1311.

9 Penjelasan mengenai sumber primer (primary sources) tentang “Tumasik” atau “Temasik”, lihat Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, h. 4-20. Tinjauannya atas Sejarah Melayu, lihat h. 34-39.

10 Jean Abshire, The History of Singapore, Singapore: ABC-CLIO, 2011. Untuk periode klasik (Ancient Singapore) lihat h. 18-23, dan untuk periode kesultanan Islam (Malaka, Johor, dan Johor-Riau), lihat h. 23. Bahkan sampai saat ini, Singapura merupakan salah satu negara Persemakmuran Inggris (Commonwealth) alias salah satu anggota dari negara-negara Persemakmuran Inggris.

11 Pembahasan mengenai beberapa persoalan terkait dengan kajian tentang Islam di Asia tenggara diambil dan diolah dari Desain Operasional “Penelusuran Sejarah Islam di Nusanara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tahun 2012.

1

Page 3: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

sejarah, filologi, arekeologi, dan aspek-aspek ajaran Islam itu sendiri, seperti fikih atau syariah, tasawuf, ilmu kalam, akidah, akhlak, dan lain-lain. Begitu beragam dan kompleksnya persoalan Islam di Asia Tenggara menyebabkan kajian Islam di kawasan ini selalu menarik untuk dilakukan.

Salah satu tema kajian yang sampai saat ini masih menarik untuk diperbincangkan adalah tentang sejarah awal Islam di Asia Tenggara. Tema ini masih menyimpan berbagai kepenasaran, bukan saja karena kelangkaan sumber yang sezaman, tetapi juga karena adanya tarik menarik kepentingan yang sangat kuat antara “bangsa-bangsa di Asia Tenggara” di satu pihak dengan “kaum kolonial” di pihak lain. Demikian juga dengan anggapan sebagian kalangan yang menyebut Islam di kawasan ini sebagai periferi, tidak murni, lapisan tipis luarnya saja, dan tidak menjadi bagian dari Dunia Islam yang besar atau dari “tradisi besar Islam”.12 Sementara itu, sudah banyak ditemukan bukti mengenai intensitas hubungan Islam di kawasan ini dengan Islam di tempat kelahirannya, Timur Tengah, seperti terlihat dalam jaringan ulama Nusantara dengan Haramain.13

Sejarah perkembangan Islam di masa modern di kawasan ini juga sanga menarik antara lain karena munculnya beragam “wajah Islam” di sini, misalnya ”Islam garis keras” atau “radikalisme”, “fundamentalisme”, “terorisme” yang tidak jarang dituduhkan pada Islam dan umanya, “gerakan Islam liberal” atau “liberalisme”, “pluralisme”, “gender”, dan lain-lain. Meskipun kajian tentang tema-tema tersebut telah banyak dilakukan, tetapi karena watak sejarah itu terus “bergerak” dan “mengalami perubahan” sehingga tema-tema itu, khususnya dari perspektif sejarah, tetap saja menjadi aktual dan peting untuk dikaji. Apalagi jika terkait dengan “radikalisme” tidak jarang Islam selalu menjadi yang tertuduh.14

Terkait sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara atau di kawasan yang sekarang menjadi Asia Tenggara merupakan salah satu tema kajian yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Persoalan sejarah awal masuknya Islam di kawasan ini pun hingga sekarang dapat dikatakan belum menemukan kesepakatan terutama mengenai kapan masuknya, siapa pembawanya, wilayah mana yang pertama kali diisalamkan, dan bagaimana proses pengislamannya. Sedangkan terkait dengan perkembangannya, banyak tema yang masih menyisakan berbagai pertanyaan. Misalanya, dari aspek politik, kapan komunitas Islam di wilayah ini mencapai kekuasaan politik dan menjadi sebuah “negara”, wilayah mana saja yang mencapai kekuasaan politik tersebut dan dalam bentuk apa kekuasaan tersebut; bagaimana kekuasaan itu diperoleh dan bagaimana pula hubungannya di atara berbagai wilayah yang memiliki kekuasaan politik tersebut. Sebut saja misalnya kesultanan-kesultanan Islam yang pernah ada, mulai dari Samudera Pasai di Aceh, Malaka di Semenanjung Malaya, Tumasik di Singapura sekarang, Demak, Cirebon, Banten, Aceh Darussalam, Palembang, Riau, Goa-Tallo, Ternate-Tidore, Banjar, Sumbawa, Bima, dan lain-lain di Indonesia sekarang. Demikian juga di kawasan Asia Tenggara yang dulunya menggunakan bahaya Melayu sebagai lingua franka, seperti Pattani di Thailand, Mindanao dan Sulu di Filipina, serta

12 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 56-57.

13 Lihat anra lain Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Mizan, 1994, dan Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, 40(2), Edisi Juni 2009, h. 221–265.

14 Lihat misalnya John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat (Terj. Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM. dari The Future of Islam), (Bandung: Mizan, 2010), h. 23. Tinjauan atas buku ini lihat Asep Saefullah, “Membangun Peradaban Dunia yang Damai: Pentingnya Pembaharuan Islam dan “Kearifan” Barat”, Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, XI(1), 2012, h. 145-154. Lihat juga Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (Eds.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005).

2

Page 4: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

seluruh wilayah yang sekarang menjadi Malaysia dan Brunei Darussalam. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang menarik untuk menelusuri kembali jejak-jejak Islam di wilayah ini.15

Sejauh ini, kajian Islam di Asia Tenggara harus diakui belum mendapatkan perhatian memuaskan dari para sarjana Muslim kawasan ini. Azyumardi Azra menyebutkan empat alasan mengapa kajian Islam di Asia Tenggara minim peminat, yaitu:

Pertama, orang perlu menghabiskan waktu untuk menguasai ilmu lain, semacam bahasa Belanda. Kedua, ia harus siap “berbungkus lumus” mengumpulkan bahan-bahan atau arsip yang terpencar di mana-mana. Ketiga, ia harus siap untuk menambah tebal kaca matanya, karena matanya “rusak” mebaca arsip dan naskah tulisan tangan yang tidak mudah dibaca dan dipahami. Keempat—ini tak kurang pentingnya—ia harus bias “berada” (sic.; “berbeda” [?]) dengan apa yang pernah ditulis orang lain (khususnya sarjana asing) jika ia berharap studinya punya arti penting.16

Dalam melihat proses Islamisasi di Asia Tenggara dapat digunakan konsep pembentukan tradisi. Konsep ini dapat melihat berbagai data dan fakta terkait dengan sejarah awal dan perkembangan Islam di wilayah tertentu dengan memerhatikan kondisi masyarakat setempat serta pandangan hidup mereka dalam melihat masa lalu. Dengan mengutip E. Shils dari bukunya Traditions, Taufik Abdullah menjelaskan bahwa:

Sebagai sesuatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan landasan legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas dan kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberikan makna terhadap kenyataan. Karena proses pembentukan tradisi sesungguhnya merupakan suatu proses seleksi – ketika cita-cita harus senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan di saat kebebasan harus menemukan modus vivendi dengan keharusan-keharusan struktural—maka tradisi dapat pula dilihat sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang menentukan sifat dan corak komunitas kognitif. Tradisilah yang memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal.17

Sementara itu, banyak hasil kajian Islam dari kalangan sarjana Barat yang cenderung menafikan peran Islam di kawasan ini. Pengkerdilan peran Islam di Asia Tenggara hampir dilakukan secara sistematis dengan membangun argumen yang terkesan “ilmiah” dan “akademis”, seperti dilakukan antara lain oleh London (1949), Van Leur (1955), Winstedt (1951), Geertz, atau Snouck Hurgronje. Berbagai kritik telah disampaikan bukan saja dari sarjana kawasan Nusantara tetapi juga dari kalangan sarjana Barat sendiri. Sebut misalnya Edward Said, A.H. John dan Marshall G. Hudgson. Edward Said juga mengkritik secara tajam pandangan para sarjana Barat terhadap Dunia Timur (Oriental) secara umum, juga terhadap Islam dan Dunia Muslim secara khusus.18

Azra kemudian menjelaskan:

Persepsi orientalis terhadap Islam di Asia Tenggara, tak kurang cacatnya. Dibandingkan dengan studi-studi tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim di Timur Tengah yang begitu banyak, Islam di Asia Tenggara masih merupakan lahan yang tak terlalu banyak disentuh kaum orientalis. Dalam skala perbandingan ini, meskipun studi tentang Islam di Asia Tenggara masih relatif sedikit,

15 Dari paragraf ini sampai dengan paragraf sebelum bagian “B. Rumusan Masalah”, diambil dan diolah dari Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah Islam di Nusantara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.

16 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 3.17 Taufik Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan”,

dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (Eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 61 dan 84.

18 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 4.

3

Page 5: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

orientalis tak urung berhasil menciptakan dan membentuk potret yang tak selalu akurat tentang Islam di kawasan ini.

Kemunculan dan pengokohan kolonialisme Inggris dan Belanda di Asia Tenggara juga bertanggung jawab atas terciptanya pandangan yang keliru tentang Islam di Nusantara. Seperti dikemukakan Ellen..., kedua kekuatan kolonial ini menciptakan distorsi-distorsi terhadap Islam sejak pertama kali mereka mencoba secara “sistematis” menggambarkan Islam dan mengungkapkan Islam di Dunia Melayu. Sayangnya, mispersepsi dan distorsi yang mereka ciptakan malah dijadikan kerangka kerja (framework) bagi kesarjanaan dan keilmuan tentang Islam di Asia Tenggara pada masa-masa berikutnya… .19

Pandangan yang kurang berimbang juga terjadi dalam hal penggunaan sumber-sumber lokal tentang Islam di Asia Tenggara. Azra menyebutkan sebagai berikut,

Untuk konteks Asia Tenggara, bahan-bahan—khususnya tentang sejarah awal Islam—bukan tidak ada sama sekali. Terdapat bahan-bahan tertulis selain bukti arkeologi dan epigrafi, baik lokal maupun asing. Bahan-bahan lokal, semacam hikayat, babad, sejarah, tambo, atau historiografi klasik lain memberi informasi tentang konversi penduduk lokal kepada Islam dan perkembangan awal agama ini di tempat tertentu di Nusantara. Tetapi banyak sarjana Barat, seperti dikritik Johns, memandang historiografi lokal ini secara negatif, karena genre literatur tersebut tidak sesuai dengan kategori-kategori Barat tentang sejarah dan historiografi. Bahkan sarjana Barat, seperti de Graaf, bersikeras bahwa historiografi awal Islam di Nusantara tidak terlalu bisa dipercaya. “Terdapat keseragaman bunyi di antara mereka, yang tidak menunjukkan kebenaran.”20

Terlepas dari karakteristiknya yang khas yang berbeda dengan historiografi Barat, sarjana yang serius, jujur, dan objektif tidak bisa mengabaikan historiografi klasik Islam di Nusantara. Karena, bagaimanapun, historiografi klasik memberikan sejumlah informasi tentang watak dan perkembangan Islam; bahkan memberikan semacam pola umum bagaimana Islam diperkenalkan dan berkembang di kawasan Asia Tenggara. Lebih dari itu, historiografi klasik ini memberikan dan mengimbangi informasi dan gambaran tentang Islam dan masyarakat Muslim Nusantara seperti diberikan sumber-sumber asing: Barat, Cina, dan Arab”.21

Sejarah tidak semata-mata mengejar kepastian sejarah mengenai 5 W dan 1 H, yaitu apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Akan tetapi, dengan memerhatikan kondisi masyarakat dan pandangan hidup mereka yang terekam dalam berbagai media, baik benda-benda arkeologis maupun manuskrip-manuskrip atau cerita yang berkembang di masyarakat, maka dapat ditangkap watak zaman di saat suatu peristiwa itu terjadi. Catatan-catatan mengenai pandangan hidup masyarakat terhadap masa lalu di Nusantara khususnya terekam dalam warisan masyarakat itulah historiografi klasik, atau seperti disebut Taufik Abdullah sebagai historiografi tradisional. 22

Pada umumnya, kajian Islam yang dilakukan sarjana asing cenderung bias dan tidak lepas dari maksud-maksud tertentu di luar masalah akademis. Kecenderungan ini telah berlangsung lama sehingga “jelas terdapat keengganan di kalangan orientalis untuk mengakui eksistensi Islam, sebagaimana adanya di Asia Tenggara.” Bahkan, untuk kajian Islam di Timur Tengah pun yang memiliki bahan yang melimpah ruah, tokoh-tokoh sarjana seperti Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Crone, menolak reliabilitas sunah historis dan tradisi sahabat. Sikap seperti ini menunjukkan adanya maksud-masud yang

19 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 4.20 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9, dari A.H. Johns, “The Turningg Image: Myth and

Reality in Malay Perception of the Past”, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.), Perception of the Past in Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books, 1979), h. 43 dan H.J. de Graaf, “South-East Asian Islam to the Eig1hteenth Century”, dalam P.M. Holt et. Al. (Eds.), The Cambridge History of Islam, Vol. II, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h. 123.

21 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9-10.22 Taufik Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara...”, h. 63.

4

Page 6: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

bersifat ideologi dan bertujuan “mengobrak-abrik” basis historis dan sekaligus doktrinal Islam awal.23

Kecenderungan meminggirkan peranan Islam di kawasan Asia Tenggara antara lain karena jauhnya wilayah ini dari pusat perkembangan Islam di Timur Tengah. Tidak jarang pembahasan mengenai peradaban Islam mengabaikan Islam di kawasan Asia Tenggara. Sebenarnya, perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari Timur Tengah. Bukti-bukti mengenai adanya hubungan yang kuat antara Asia Tenggara dan Timur Tengah tidak bisa diragukan lagi. Teoritisasi mengenai kedatangan Islam di kawasan ini—yang hingga saat ini masih diperdebatkan—tidak berangkat dari perspektif yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi perbedaan pendapat, apakah Islam yang masuk ke Indonesia itu berasal dari Arab, India, Gurajat, Persia, atau Cina. Semuanya bisa jadi benar jika diyakini perkembangan Islam di berbagai kawasan di Asia Tenggara terjadi secara simultan. Ketika Islam masuk ke Aceh, misalnya, bisa jadi pada saat yang sama, Islam juga datang di tanah Jawa. Ketika para pedagang Arab berniaga dengan penguasa Sriwijaya di Sumatera, bisa jadi ada ekspedisi lain berlabuh di Celebes (Sulawesi), dan seterusnya. Apalagi jika dilihat bahwa hubungan Asia Tenggara dan Timur Tengah sudah terjadi sejak sebelum Islam lahir di Jazirah Arab.24

Berdasarkan uraian di atas, beberapa masalah yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini antara lain: 1) Bagaimana asal-usul Singapura dalam konteks sejarah Islam di Asia Tenggara?; 2) Bagaimana proses masuknya Islam ke Singapura, dan bagaimana perkembangannya sampai dengan awal abad ke-16 M?; dan 3) Kesultanan atau kekuasaan politik apa saja yang pernah berkuasa di Singapura sebelum abad ke-16 M?

Dengan mengungkapkan sejarah awal Islam di kawasan Nusantara, khususnya di Singapura, dan mendata serta menguraikan kesultanan atau kerajaan bercorak keislaman yang pernah ada dapat dilihat keterkitan berbagai lokasi awal kedatangan dan hubungan di antara berbagai kesultanan tersebut. Hal ini tidak saja bermanfaat sebagai pengetahuan sejarah, tetapi juga sangat berguna bagi penguatan jati diri dan karakter peradaban bangsa-bangsa di kawasan ini, yang pada gilirannya pula dapat semakin mempererat persatuan dan kesatuan serta kerjasama antarnegara di Asia Tenggara yang memiliki akar sejarah yang hampir sama.

Secara kelembangaan, hasil kegiatan ini bermanfaat bagi penyediaan data dan informasi keagamaan, khususnya terkait literatur yang membahas sejarah awal Islam dan perkembangannya berdasarkan sumber-sumber lokal yang berupa historiografi tradisional dan peninggalan arkeologis. Manfaat lain adalah pelestarian khazanah keagamaan, khususnya informasi dalam manuskrip-masnuskrip dan peninggalan-peningalan arekologis tentang sejarah awal Islam dan perkembangannya di Nusantara. Dalam konteks nasional, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber bagi penyempurnaan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III, khususnya, yang membasan tentang Islam dan Perkembangannya di Indonesia.25

B. TUMASIK, NAMA ARKAIK SINGAPURA

1. Asal-Usul Singapura

23 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9.24 Sampai dengan bagian ini merupakan hasil olahan dari Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah

Islam di Nusantara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.25 Penjelasan “Manfaat Penelitian” diambil dari Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah Islam di

Nusantara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.

5

Page 7: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Singapura (Singapore) merupakan nama modern yang digunakan sekarang untuk menyebut negara yang terletak di selat Malaka. Penyebutan “Singapura” sering dihubungkan dengan kekuasaan Thomas Stanford Raffles yang menggagas proyek “singapore” pada tahun 1818 karena kekecewaannya terhadap Belanda yang merebut kembali tanah Jawa dari Inggris. Kemudian, Raffles menandatangani perjanjian dengan Temanggong Sri Maharaja untuk menguasai Pulau Singapura pada 19 Januari 1819.26

Maka, tahun 1819 dipandang sebagai awal penggunaan nama “Singapura” untuk menyebut daerah tersebut. Akan tetapi, asal-usul dan kemunculan istilah “Singapura” untuk pertama kalinya tetapi belum dapat dipastikan.

Menurut salah satu sumber Melayu Lama disebutkan bahwa,

salah seorang keturunan Sang Superba dari Palembang pergi dan tinggal di pulau Bintan, dari sana ia melihat pantai putih di pulau lain. Ketika ia menanyakan tempat itu, ia mengetahui bahwa pulau itu adalah pulau Tumasik, dan ia minta untuk mengunjungi pulau tersebut. Tetapi ketika baru saja berlayar menuju pulau itu, tiba-tiba datang angin topan menerpa kapal mereka. Angin topan begitu dahsyatnya, sampai kemudian mahkota sang pangeran jatuh ke dalam air. Tanpa diduga angin topan itupun tiba-tiba berhenti dan air lautpun kembali tenang. Atas kejadian itu, mereka meyakini bahwa jatuhnya mahkota sang pangeran ke dalam air yang kemudian disertai terhentinya angin topan dan tenangnya kembali air laut, merupakan pertanda diperbolehkannya sang pangeran beserta pengikutnya untuk memasuki pulau tersebut. Ketika memasuki pulau itu, mereka melihat seekor binatang, yang anggun gerakannya, tangkas dan berani, dengan bulu bagian kepalanya yang hitam, putih di bagian lehernya dan coklat di bagian badannya. Mereka terkesan dengan binatang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kemudian seorang tua memberitahukan kepada sang pangeran, bahwa nama binatang itu adalah “Singa”. Kemudian ia memutuskan untuk tinggal di sana dan memberi nama tempat itu dengan Singa-pura, kota-Singa. Dari cerita tersebut kemudian lahir nama Singapura. 27

Penjelasan lain diberikan berdasarkan riwayat yang dikisahkan dalam Sejarah Melayu (the Malay Annals), bahwa suatu ketika seorang Tamil yang merupakan putera raja, yakni Sang Nila Utama dan istrinya yang bernama Wan Sri Bini[?] (puteri Banten [?]) berangkat ke Banten bersama para pengikutnya, kemudian berlabuh terlebih dahulu di sebuah pulau di selatan Semenanjung Malaya. Ketika mereka naik ke daratan, “Sang Nila Utama melihat seekor binatang buas melintasi jalan yang akan mereka lalui; binatang itu lebih besar dari kambing, badan binatang itu berwarna cokelat, lehernya berwarna hitam, dan dadanya berwarna putih, binatang itu ternyata singa. Sang Nila Utama menganggap peristiwa itu merupakan pertanda baik. Maka kemudian ia memberi nama wilayah yang dimasukinya itu dengan Singapura, artinya kota singa...”28

Dalam buku Islam Melayu VS Islam Jawa, Maharsi Resi meringkaskan kisah tentang “Singapura” yang merupakan “cerita ketiga” dari Sejarah Melayu, sebagai berikut:

Sang Nila Utama yang beristrikan Wan Sri Beni bertempat tinggal di Bintang [?]. Pada suatu hari Nila Utama mohon diri kepada permaisuri Iskandar Syah pergi ke Tanjung Bemban untuk berburu binatang. Ketika Sang Nila Utama naik ke pegunungan daerah itu, ia melihat sebuah pantai putih yang

26 Thomas Stanford Raffles, The History of Java (Edisi Indonesia), (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), h. vi-viii.

27 Ajat Sudrajat, “Perkembangan Islam di Singapura”, Kertas Kerja Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY, Yogyakarta. h. 8-9.

28 Muhammad Yusuf, Islam di Singapura: Studi Pembaharuan Pemikiran Islam, IAIN Raden Intan Bandar Lampung, 2004, h. 18, dari Hsu Yun-ts’iao, “Notes on the Historical Position of Singapore,” dalam Malayan History, Singapore, 1962, h. 226. “Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura”, http://www.segenggam-harapan.com/2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html. Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, h. 158. Lihat juga Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 376-377.

6

Page 8: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

sangat indah. Dengan mengendarai perahu, Nila Utama dan rombongan pergi ke pantai itu yang kemudian dinamakan Kuala Tumasik. Di tempat itu mereka melihat seekor binatang menyerupai singa, maka tempat itu dinamakan Singapura. Nila Utama berhasil mendirikan Kerajaan Singapura sebagai kerajaan dagang yang besar dan sangat ramai. Di Kerajaan Singapura, Nila Utama menjadi raja besar bergelar Sri Teribuana.29

Sementara itu, sama-sama bersumber dari Sejarah Melayu (The Malay Annals), juga disebutkan bahwa Singapura pada masa lalu bernama “Temasik” yang merupakan kota perdagangan pertama yang cukup besar di Semenanjung Malaya. Daerah ini selalu berpindah dari penguasaan satu kerajaan ke kerajaan lain. Kerajaan-kerajaan yang tercatat pernah menguasai “Temasik” adalah Sriwijaya, Majapahit dan Melaka. Pada maka kekuasaan Malaka, sultan yang berkuasa saat itu adalah Sultan Iskandar Syah, yang dikonfirmasi juga oleh sumber berita dari Cina, Sejarah Dinasti Ming atau the Ming Annals. Berdasarkan kalkulasi masa waktu antara Sejarah Melayu dan Sejarah Ming, diperkirakan bahwa Sultan Iskandar Syah menguasai Temasik pada tahu 1395 M, sedangkan titi mangsa pendirian Kerajaan Temasik ini adadah pada 1299 M.30

John N. Miksic menjelaskan “Temasik”, dalam Southeast Asia, A Historical Encyclopedia from Angkor Wat to East Timor, sebagai berikut:

The place-name Temasik appears in several sources of the fourteenth century. It can be localized in the area of the south coast of the island of Singapore. Closely associated with it was the name Long Yamen, “Dragon’s Tooth Strait,” whence a mission was sent to Yuan dynasty China around 1320. Later fourteenth-century sources concerning this chiefdom include a reference in the Desawarnana (Nâgarakertâgama), a Majapahit court poem written in 1365 C.E., that lists Temasik as one of the Javanese kingdom’s vassals.31

Nama lain untuk “Temasik” disebutkan pula dalam beberapa sumber dari abad ke-14 M. Daerah yang terletak di ujung Semenanjung Malaya ini disebut juga "Pulau Ujung" (Pu-Lo-Chung), "Salahit" -Selat, dan juga “Temasek”, “Tumasik” (Jawa), serta "Tam-ma-sik" (China). Ia juga disebut Lion City (Kota Singa). Sumber lain menyebutkan bahwa daerah ini merupakan menjadi tempat persinggahan para pedagang Majapahit pada abad ke-14 sehingga ia dinamakan “Singapura” yang bararti “kota” (Pura) “singgah” (Singgah). 32 Sementara itu dalam kitab Tuhfah al-Nafis, nama Singapura pada masa awal adalah Temasik, Tumasek (Jawa), atau Ta-ma-sek (Cina). Pada awal abad ke-19, sekitar tahun 1819, Tumasik di bawah kekuasaan Sultan Husein Syah. 33

Menurut Rose Liang, sumber lain menyebutkan bahwa Wang Dayuan,34 seorang pengembara dari Cina, yang berkunjung pada 1330, ke sebuah tempat yang disebut

29 Maharsi Resi, Islam Melayu vs Islam Jawa, Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 31.

30 John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, h. 1311. Lihat juga “Singapore”, http://www.britannica.com/ EBchecked/topic/545725/Singapore/ 214573/History,

31 John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, h. 1311.

32 Menurut Wheatley (1961), lokasi ini disebut “Pancur”, Wolters (1982) menyebutnya “Temasek”, dan Gibson-Hill (1954) menyebut “Longyamen” ("Dragon's Tooth Strait"). Geoff Wade dan Joyce Zaide (Eds.), Provenance Research on 14th-Century, Greenwares Found in Singapore, (Singapore : The Nalanda-Sriwijaya Centre, Institute of Southeast Asian Studies, 2009), h. 15. Lihat Anonim, “Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura” http://www.segenggam-harapan.com/2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html.

33 Agus Hairi, “Islam di Singapura”, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu, 26 September 2010. Dikases 4 Oktober 2012. Agus Hairi merujuk buku-buku berikut Abd. Ghofur, Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru, 2008; Asmal May dan M. Arifuddin, Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekabaru, 2006; dan Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara. IAIN Pekanbaru, 2002.

34 Deskripsi Wang Lihat Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, h. 39-47.

7

Page 9: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Pancur (berarti “Spring”), sebuah perkampungan Melayu dengan beberapa orang Cina. Demikian juga, Nagarakretagama, sebuah puisi epik Jawa menyebut Singapura sebagai Temasek (“Sea Town”/Kota Laut). Jejak-jejak arkeologis menunjukkan bahwa pada abad keempatbelas, Temasek, sebutan bagi Singapura pada masa lalu, digunakan sebagai kota pelabuhan dan pusat perdangan serta komersial untuk berbagai kepentingan. Sejarah Melayu (Malay Annals), sebuah kronik Melayu abad ketujuh belas mecatat bahwa pada 1299, seorang pangeran dari Sriwijaya, Sri Tri Buana, ketika melihat berpikir untuk memberi nama pulau yang dikunjunginya, ia melihat seekor singa, maka ia memberi nama Singapura (Lion City/Kota Singa) untuk pulau tersebut, dan menjadikannya sebagai pos perdagangan untuk Kerajaan Sriwijaya. 35

Rose Liang juga menjelaskan bahwa selama abad ke-14, Singapura mengalami beberapa kali serangan dari Kerajaan Jawa, Majapahit, yang meluaskan kekuasaannya dari selatan dan perluasan kekuasaan Kerajaan Thai, Ayutthaya ke utara. Sejarah Melayu juga menyebutkan bahwa menjelang akhir abad keempat belas, Parameswara, seorang Pangeran dari Palembang yang pada 1388 melarikan diri dari serangan Kerajaan Jawa, Majapahit, ia mencari perlindungan di Singapura, kemudian ia membunuh dan mengganti penguasanya, yang bisa jadi menjadi vassal Kerajaan Siam. Kerajaan Siam (Thai) melancarkan serangan balasan dan menghancurkan Singapura sehingga daerah ini tidak dihuni lebih dari 400 tahun. Parameswara melarikan diri ke Malaka, kemudian memeluk Islam dan berusaha mengembangkan Kesultanan Malaka, yang pengaruh kekuasaannya meliputi Singapura yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor. 36

Gambar Peta Singapura saat ini yang menunjukkan lokasi situ-situs arkeologi, petunjuk-petunjuk, dan batas-batas wilayah pra-kolonial yang dapat diketahui.

Sumber: Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, 2012, h. 2

Menurut asal katanya, “Singapura” berasal dari bahasa Sansakerta. Nama ini terdiri atas dua dua kata, yaitu “singa”, nama binatang buas, dan “pura” yang berarti “kota”. Dengan demikian, “Singapura” juga berarti “Kota Singa”. Sebelum Kesultanan Malaka

35 Rose Liang, “Change and Continuity in the Culture of Singapore’s Primary School Teachers from 1959 to 2006”, A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Department of Sociology, National University of Singapore, 2007, h. 66.

36 Rose Liang, “Change and Continuity in the Culture...”, h. 66-67. Bandingkan dengan Edi Sedyawati “Majapahit (1293–ca. 1520s)”, h. 822, dan John Villiers, “Melaka”, h. 868, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia.... dan Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, h. 4-6.

8

Page 10: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

dan Kesultanan Johor menguasai daerah ini, diceritakan bahwa di sana pernah berdiri “Kesultanan Tumasik”. Adapun sultan-sultan yang memerintah Tumasik sebelum dikuasai oleh Kesultanan Malaka adalah :1. Raja I Sri Tri Buana (1299-1347);2. Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362); 3. Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375);4. Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388). 5. Raja IV Sri Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (1388-

1391), kemudian di Malaka (1393-1397).37

Sampai di sini, asal usul Singapura masih simpang siur, terlebih masa-masa sebelum kedatangan Portugis pada tahun 1510 di Nusantara, yang setahun kemudian, 1511, menaklukan Malaka. Sebagian penutup subbagian ini, cukup kiranya dikutipkan penjelasan ringkas dalam situs Wikipedia, the free encyclopedia, setidaknya dapat merangkum berbagai keterangan di atas, yakni sebagai berikut ini:

Temasek ('Sea Town' in Old Javanese, spelt Tumasik) was the name of an early city on the site of modern Singapore. From the 14th century, the island has also been known as Singapura, which is derived from Sanskrit and means "Lion City". Legend has it that the name was given by Sang Nila Utama when he visited the island in 1299 and saw an unknown creature, which he mistook as a lion.

While the early history of Singapore is obscured by myth and legend, some conclusions can be drawn from archaeological evidence and from written references by travellers. Archaeology points to an urbanised settlement on the site by the 14th century. Allusions by travellers give some evidence that there may have been a city or town present as early as the 2nd century. At its height, the city boasted a large earthen city wall and moat; many of the buildings were built with stone and brick foundations. Remains of old pottery, coins, jewellery and other artifacts have been found, with many of these artifacts believed to be imported from various parts of China, India, Sri Lanka, and Indonesia. These are sometimes seen as evidence of the city's status as a regional trade centre. An aquatic route which is part of the larger Silk route, passes through Temasek.

From the 7th to the 13th centuries, the island of Singapore was controlled by the Srivijaya empire based in Sumatra. By the emergence of Temasek as a fortified city and trading centre in the 14th century, the Srivijaya empire was in a long period of decline. The city was conquered by the Majapahit empire in 1401 and changed hands several times before coming under the influence of the Sultanate of Malacca in the 15th century. After the fall of Malacca to the Portuguese in 1511, the island came under the control of the Malay Sultanate of Johor.38

2. Gambaran Umum SingapuraNegara-negara di Asia Tenggara ditinjau dari segi sosiokultural dan perkembangan

Islam, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu negara-negara  yang penduduk muslimnya sedikit, seperti Thailand, Kamboja, Burma, dan Filipina; negara-negera yang mayoritas warga negaranya beragama Islam dan memerhatikan masalah agama, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam; dan negara yang pertumbuhan ekonominya cukup lumayan tetapi negara kurang begitu memerhatikan masalah agama, yaitu Singapura.39 Sesuai dengan sasaran penelitian ini, berikut gambaran sekilas mengenai negara yang menjadi sasaran penelitian, yaitu Singapura.

37 Linehan, W. “The Kings of 14th Century Singapore”, dalam T.S.D.M Sheppard (Ed.), Singapore 150 Years, (Singapore: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (1982), h. 60. Lihat juga Agus Hairi, “Islam di Singapura”, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, upload Minggu, 26 September 2010. Akses 4 Oktober 2012. Lihat juga The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979), http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/ Tumasik, diakses 11 Oktober 2012.

38 “Temasek”, http://en.wikipedia.org/wiki/Temasek. Bandingkan dengan Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One, From Early Times to c.1800, (Cambridge: Cambridge University Press 1992; Edisi Singapura, 1994), tentang “The Early Kingdoms”, h. 175-176. Lihat juga “Sang Nila Utama”, http://en.wikipedia.org/wiki/ Sang _ Nila _ Utama .

9

Page 11: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Singapura merupakan sebuah negara imigran karena sebagian penduduknya adalah pendatang. Zaman modern Singapura, yang dulunya disebut Tumasik, seing dihubungkan dan dimulai sejak Thomas Stamford Raffles dari Inggris mulai menancapkan kekuasaan perusahaan negaranya, East India Company (EIC) di Singapura pada tahun 1819. C. M.Turnbull menjelaskan demikian:

Attracted by Singapore’s historical associations as the probable site of the port of Temasek (Tumasik), which was destroyed in the late fourteenth century, on 30 January 1819 Raffles signed a preliminary agreement with the local chieftain permitting the EIC to set up a trading post. Since the sultanate was disputed by two half brothers, with the Dutch supporting the younger claimant, Raffles recognized the elder as sultan and signed a treaty with him on 6 February 1819. Raffles immediately left to negotiate the Aceh treaty, returning briefly in May 1819 with settlers from Penang. In face of vigorous Dutch protests, the British occupation was not recognized until 1824.40

Selanjutnya, pada tahun 1824, seluruh pulau Singapura berada di bawah kekuasaan Inggris melalui perjanjian lebih lanjut dimana Sultan dan Temanggong menyerahkannya kepada British East India Company. Pada 1826, Singapura menjadi bagian dari British Straits Settlements (Negeri-Negeri Selat di bawah kekuasaan Inggris), kemudian menjadi ibukotanya pada 1836. Sebelum Raffles tiba, terdapat sekitar 1.000 orang yang tinggal di Singapura, sebagian besar mereka adalah etnis Melayu, dan beberapa lusin etnis Cina. Menjelang 1869, karena ada migrasi dari Malaysia dan tempat-tempat lain di Asia, penduduk Singapura mencapai 100.000 orang. Imigran Cina dan India datang ke Singapura untuk bekerja, dan keturunan merekalah yang kemudian menambah jumlah populasi penduduk Singapura.41

Gambar Tenda-Tenda Orang Laut Tanjong Rhu(Sumber: Karl Hack, The Singapore Malay Community, h. 4.)

Sebelum tahun 1819, sungai-sungai di Singapura telah dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat yang hidup di atas perahu. Mereka disebut Orang Laut. Orang Laut terutama ditemukan di Sungai Singapura, Sungai Kallang, dan sungai-sungai lain di Singapura. Di samping itu, ada juga komunitas Orang Laut hidden yang hidup di sekitar Telok Blangah (sekarang dekat World Trade Centre). Pada tahun 1830-an, Orang Laut di wilayah ini dikenal sebagai perompak yang sering mengganggu kapal-kapal dagang di tegah-tengah pertumbuhan pelabuhan yang semakin cepat. Seteah menemukan Singapura, Orang Laut di sekitar Sungai Singapura menetap di rumah-rumah perahu mereka. Orang Laut Sungai Singapura akhirnya diusir antara tahun 1842-1843, dan

39 Shamsul A.B., “Convergence of Interest and Sharing a Future: Deepening the Understanding of Islam in Asia and Europe”, ASIEN 100 (Juli 2006), h. 63. Lihat juga Anonim, “Perkembangan Islam di Asia Tenggara”, http://irmasgirljpr.blogspot.com/2011/08/ perkembangan-islam-di-asia-tenggara.html, Jumat, 12 Agustus 2011. Diakses 3 Mei 2012.

40 C. M.Turnbull, “Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (1781–1826)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia...”, h. 1122.

41 C. M.Turnbull, “Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (1781–1826)”, h. 1122.

10

Page 12: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

direlokasi di Tanjong Rhu, Telok Blangah, Selat Sinkeh, Pasir Panjang dan di pulah-pulau sebelah utara seperti Pulau Brani.42

Gambar Keluarga Orang Laut(Sumber: Karl Hack, The Singapore Malay Community, h. 4.)

Singapura mencapai kemerdekaannya dan menjadi Republik Singapura pada 9 Agustus 1965. Sebelumnya pada 31 Agustus 1963, Singapura pernah mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris, dan bergabung dengan Malaya, Sabah, dan Serawak untuk membentuk Ferderasi Malaysia sebagai hasil dari Referendum Penyatuan (Merger Referendum) pada tahun 1962.43 Para pemimpin Singapura memiliki beberapa alasan untuk bergabung dalam federasi baru ini, antara lain sebagai berikut:

Firstly, as a small country, they did not believe that the British would find it viable for Singapore to become independent by itself.

Secondly, they also did not believe that Singapore could survive on its own, due to scarcity of land, water, markets and natural resources.

And lastly, the Singapore government wanted the help of the Malaysian government to flush out the Communists. 44

Selama dua tahun Singapura menjadi bagian dari Malaysia selalu terjadi pertentangan. Bangsa Malaysia sangat pro pada masyarakat Melayu sehingga mereka mendapatkan hak-hak istimewa sebagai Bumiputra. Sementara orang-orang Singapura menginginkan hak yang sama tanpa membedakan etnisnya. Sebagai bagian dari Malaysia, ekonomi Singapura juga mengalami kemunduran karena pemblokiran beberapa macam pembiayaannya. Akibatnya, muncul kerusuhan dan konflik ideologi di antara dua pemerintahan tersebut. Pada tahun 1965, Parlemen Malaysia akhirnya memutusnya melalui pemungutan suara untuk mengeluarkan Singapura dari Malaysia. Hasil pemungutan suara mencapai 100%, yakni 126 lawan 0, menyetujui pemisahan tersebut. Akhirnya Singapura memperoleh kemerdekaannya menjai Republik Singapura, tetapi tetap sebagai anggota Commonwealth pada 9 August 1965, dengan Yusof bin Ishak sebagai Presidennya dan Lee Kuan Yew sebagai Perdana Menterinya.45

Pertambahan jumlah penduduk dilihat dari persentase etnis, penduduk Singapura relatif stabil sejak pertengahan abad ke-19. Pernah terjadi perubahan demografik yang cukup signifikan pada awal abad ke-19, yaitu ketika penduduk Cina mulai mengambil alih komposisi persentase jumlah penduduk sehingga menjadi penduduk mayoritas yang menonjol dibanding etnis Melayu. Pada tahun 1891, jumlah penduduk Cina di Singapura

42 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, versi pdf, Open University, UK, t.th., h. 3-4.

43 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.44 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.45 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.

11

Page 13: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

lebih dari 50 %, yaitu 67.1%, kemudian Melayu 19.7%, India 8.8% dan yang lain-lain. Etnis dari Eropa dan Arab berjumlah 4.3%. Komposisi penduduk ini berubah signifikan sensus dilakukan pada tahun 1990. Penduduk Singapura yang berjumlah 2.7 juta orang terdiri atas mayoritas etnis Cina dengan jumlah 77.7%, etnis Melayu 14.1%, etnis India 7.1 %, dan warga lainnya 1.1%. Pada sensus tahun yang sama, dilihat dari komposisi keagamaannya, persentasenya sebagai berikut: Penganut Buddha 31.1%; Taoisme 22.4%; Islam 15.3%; Kristen 12.5%; Hindu 3.7% dan agama lain 0.6% . Sebagaimana di Indonesia dan Malaysia, etnis Melayu rata-rata memeluk Islam, etnis Melayu identik dengan Islam, seperti di Jawa Barat, Sunda identik dengan Islam, dan di Singapura, identitas kemelayuan dapat dikatakan sebagai identitas keislaman. 46

Pada tahun 2006, jumlah penduduk Singapura mencapai 4.131.200 jiwa, dengan komposisi etnis China sebanyak 79.7%, Melayu 13.9%, India 7.9%, dan etnis lain sekitar 1.5%. Melihat komposisi tersebut, etnis China adalah etnis mayoritas, disusul Melayu dan India. Etnis Melayu sebagian besar berasal dari imigran Sumatera, Sulawesi, Bawean, dan lain-lain.

Pada tahun 2008, penduduk Singapura mencapai 4.839.000 jiwa, sekitar 15 % dari jumlah itu adalah Muslim. Mayoritas kelompok etnik Melayu di Singapura memeluk Islam. Selain itu, pemeluk Islam meliputi kelompok etnik India dan Pakistan, juga sejumlah kecil kelompok etnik Cina, Arab, dan Eurasia. Sekitar 17 % dari jumlah Muslimin Singapura berasal dari kelompok etnik India. Paham keagamaan kaum muslim di Singapura pada umumnya merupakan muslim Sunni yang mengikuti mazhab Syafi’i. Ada sebagian dari mereka yang mengikuti mazhab Hanafi, dan ada juga kelompok muslim yang mengikuti mazhab Syiah. Sedangkan menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Singapura telah mencapai 5.183.700 jiwa, dan 3.257.000 jiwa adalah kelahiran Singapura. 47

Pada dasarnya Singapura adalah negara yang bersikap netral terhadap agama. Negara ini sebenarnya tidak terlalu memerhatikan agama rakyatnya. Akan tetapi, perkembangan Islam di negara ini tergolong maju dan tidak dapat dikatakan mundur, jika dibandingkan denan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia dan Indonesia.

Hal ini dapat terlihat pada sekolah Agama swastanya yang berjumlah dari TK sampai dengan SMA-nya sebanyak 21 buah. Suraunya berjumlah 76 buah dan mesjid 40 buah. Beberapa tahun yang lalu, 23 buah mesjid-mesjid telah dirubuhkan karena terdesak dengn pemodenan kota. Namun 23 mesjid yang menampung 5.830 jamaah yang digusur itu telah berganti dengan 10 buah mesjid baru yang berdaya tamping 26.000 jamaah, kemudian dibangun lagi 5 buah mesjid sekitar tahun 1988 yang dapat menampung 15.000 jamaah.

Selain rumah ibadah untuk umat Islam, Masjid, di Singapura juga terdapat rumah ibadah untuk pemeluk agama yang lain. Kuil Cina (Kelenteng) ada 700 kuil, Pura, rumah ibadahnpenganut agama Hindu ada 27, dan Gereja Kristen ada 19. Terkait dengan pembangunan Masjid, cukup menarik untuk disebutkan bahwa hampir seluruh dananya adalah sumbangan masyarakat yang dikumpulkan oleh The Administation of Muslim Law Act (AMLA). Wujud organisasi ini diakui oleh Parlemen Singapura sejak tahun 1966, yang sekaligus berarti memberikan kedudukan hukum terhadap adanya institusi yang sah dalam rangka melaksanakan hukum dan ajaran Islam bagi pemeluknya. Lembaga ini baru efektif tahun 1968, dengan kewenagannya utamanya menyangkut tiga

46 Anonim, “Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura”, http://www.segenggam-harapan.com/ 2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html

47 “Islam in Singapore”, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.

12

Page 14: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

lembaga keagamaan Islam, yaitu: 1) Majelis Ugama Islam Singapura (the Islamic Religious Council of Singapore), 2) Peradilan Syariah (the Syariah Court), dan 3) Pendaftaran Pernikah Orang-Orang Islam (the Registry of Muslim Marriages). 48

Pengakuan negara atas peran umat Islam tidak terbatas pada kehidupan individu tetapi juga untuk negara, yaitu melalui lembaga yang menghimpul para ulama Singapura yang bernama Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Republik Indonesia. Status legal lembaga ini terdapat dalam konsituti, yakni Article 153, yang menyatakan:

“The Legislature shall by law make provision for regulating Muslim religious affairs and for constituting a Council to advise the President in matters relating to the Muslim religion.”49

Berdasarkan Article 153 ini, MUIS mempunyai otoritas untuk memberikan nasihat kepada Presiden Singapura dalam masalah-masalah Islam dan umatnya.

Fenomena menarik lainnya adalah pertumbuhan organisasi-organisasi Islam di negara yang dianggap sekular ini. Dengan semakian bertambah organisasi-organisasi Islam, kegiatan keagamaan Islam semakin terorganisir, misalnya dakwah yang dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususna teknologi informasi, baik melalui media audio-visual maupun media cetak, dan sarana lainnya seperti internet. Di antara organisasi-organisasi keagamaan Islam di Singapura adalah sebagai berikut:1.    Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS)2.    Majelis Pendidikan Anak-Anak Islam (MENDAKI)3.    Lembaga Beasiswa Kenangan Maulid (LBKM)4.    Persatuan Seruan Islam Singapura (IAMIYAY)5.    Persatuan Guru-Guru Agama Singapura (PERGAS)6.    Persatuan Muhammadiyah7.    Persatuan Pelajar-Pelajar Agama Dewasa Singapura (PERDAUS)8.    Persatuan Taman Pengajian Islam Singapura (PERTAPIS)9.    Darul Arqam10.  Himpunan Belia Islam (HBI)11.  Persatuan Pemudi Islam Singapura (PPIS)12.  Persatuan Muslim Singapura (PERMUSI )13.  Tamil Muslim Jemaah Singapura.50

Sejarah Singapura, yang nama awalnya Tumasik, terus mengalami pergantian penguasa atas daerah ini, mulai Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan Johor, sampai dengan beberapa kesultanan di Nusantara saat ini. Klaim terhadap wilayah Tumasik di Nusantara antara lain muncul dari tiga kerajaan, yaitu Kerajaan Samu-Samu di Maluku, Kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan, dan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Menurut mereka, Singapura merupakan bagian dari wilayah Nusantara berdasarkan dokumen yang terkait dengan wilayah tersebut. Dokumen itu masih tersimpan rapi di Banten. Raja Samu-Samu VI dari Maluku mengatakan, "Dokumen tentang Singapura itu masih ada di Banten", seperti disampaikannya dalam acara “Dialog Budaya Nusantara” di Jakarta pada Kamis, 12 Januari 2012. Ia mewakili tujuh kerajaan di Nusantara, yang hadir dalam acara tersebut yang mengusung tema "Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa Menuju Nusantara Jaya".51

Sejarah panjang Singapura yang selalu berganti penguasa, hingga sekarang secara de facto, dan bahkan de jure, merupakan bagi dari kekuasaan yang lebih besar,

48 “Islam in Singapore”, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.49 “Islam in Singapore”, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.50 “Islam in Singapore”, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.

13

Page 15: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Commonwealth, negara-negara persemakmuran Inggris, antara lain bersama Malaysia dan Australia.

C. TUMASIK: SINGAPURA ISLAM TEMPO DULU

1. Kedatangan Islam di SingapuraMasuknya Islam ke Singapura terkait dengan proses kedatangan Islam di Asia

Tenggara. Tentang proses kedatangan Islam di Asia Tenggara, para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan dan dari mana datangnya. Kajian mengenai teori kedatangan Islam di Asia Tenggara telah banyak dilakukan, baik teori-teorinya mapun tinjauan kritis atas teori-teori tersebut. Oleh karena itu, penjelasan mengenai hal ini disajikan secara ringkas berdasarkan salah satu tinjauan yang pernah ada.52 Berikut ini teori Islamisasi di Asia Tenggara.a. Teori pertama, “Teori Arab”, menyebutkan bahwa Islam datang ke Asia Tenggara

langsung dari Arab, tepatnya dari Hadramaut. Menurut teori ini, Islam masuk ke Asia Tenggara sejak masa abad pertama Hijriah atau abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi. Proses masuknya Islam pada masa ini, ditandai dengan dominasi pedagang Arab dalam perdagangan Barat-Timur. Teori ini didukung dengan fakta dari sumber-sumber Cina yang menyebutkan bahwa menjelang abad ke-7 M, ada seorang pedagang Arab yang menjadi pemimpin pada sebuah pemukiman muslim Arab di pesisir pantai Sumatera. 53

Crawfurd mendukung teori ini, meskipun ia tetap mempertimbangkan adanya peranan kaum Muslimin yang berasal dari pantai timur India, orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Sementara Kaijzer berpendapat bahwa Islam di Asia Tenggara memang berasal dari Timur Tengah, tetapi lebih tepatnya berasal dari Mesir, karena Muslim di Asia Tenggara khususnya di Nusantara mayoritas bermazhab Syafi’i yang sama dengan Mesir. Niemann dan de Hollander sedikit merevisi pandagan Keijzer tersebut, dengan menyatakan bahwa sumber Islam di Nusantara berasal dari Hadramaut. Sedangkan Veth hanya menyebut “orang-orang Arab”, tanpa mengungkapkan lebih dalam apakah dari Hadramaut, Mesir, atau India.

Teori ini juga dipegang kuat oleh Hamka, yang mengatakan bahwa meskipun terdapat peran Persia maupun India, tetapi Islam pertama kali masuk di Asia Tenggara dibawa langsung oleh Muslim Arab. Begitu juga dengan Al-Attas yang menegaskan bahwa Islam masuk Asia Tenggara dibawa langsung oleh Muslim Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan apa yang disebutnya sebagai “Teori umum tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah Pandangan-Dunia Melayu sebagaimana yang terlihat pada perubahan konsep dan istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10 sampai ke-11 M.

51 Feril Nawali, “Tujuh Kerajaan di Indonesia Klaim Singapura Masuk Wilayah Nusantara”, http://www.rmol.co/read/2012/01/12/51797/Tujuh-Kerajaan-di-Indonesia--Klaim-Singapura-Masuk-Wilayah-Nusantara-, Kamis, 12 Januari 2012.

52 Penjelasan mengenai teori kedatangan Islam di Asia Tenggara sepenuhnya diolah dari, termasuk sumbernya, yang dirujuk pada catatan dalam, Boharudin, “Kedatangan Islam dan Islamisasi di Asia Tenggara“ http://boharudin.blogspot.com/2011/04/kedatangan-islam-dan-islamisasi-di-asia.html, Kamis, 21 April 2011, diakses 3 Mei 2012. Akan tetapi teori-teori yang dikemukakannya dikonfirmasi lagi dengan merujuk kepada Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 31-34. Tambahan pula sebagai rujukan, Syamsuddin Arif, “Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi”, Islamia, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, VII(2), 2012, h. 13-25.

53 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 6 (Catatan No. 4 dalam Baharudin, “Kedatangan Islam...”). Lihat juga Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 31.

14

Page 16: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Menurutnya, setelah Islam datang, telah terjadi pergesaran Pandangan Dunia-Melayu. Begitu pula sebelum abad ke-17 M, seluruh literatur Islam yang relevan tentang keagamaan di Asia Tenggara, justru berasal dari nama-nama Arab, bukan dari Muslim India. Bahkan nama-nama dan gelar-gelar yang dibawa oleh para pembawa Islam ke Asia Tenggara adalah Muslim Arab-Persia.

b. Teori kedua, “Teori India” yang dikemukakan oleh beberapa ahli dari Belanda, di antaranya Pijnappel (1872), yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India, tepatnya Gujarat, sehingga teori ini lebih dikenal dengan “Teori Gujarat”. Menurutnya, asal mula Islam menjalin kontak dengan Asia Tenggara berangkat dari wilayah Gujarat dan Malabar. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Batuta, ia menyatakan bahwa orang-orang Arab yang  bermahzab Syafi’i, setelah berimigrasi dan menetap di wilayah Gujarat dan Malabar di India, kemudian membawa Islam ke Nusantara. Dalam pandangan Pijnappel, kontak paling awal tersebut adalah melalui kontak perdagangan. Ia meyakini bahwa melalui perdagangan sangat dimungkinkan terjadinya hubungan antara Islam dan Asia Tenggara, bahkan menurutnya istilah-istilah Persia dari India digunakan dalam  bahasa masyarakat di kota-kota pelabuhan.54

Teori ini dipertegas oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa ketika komunitas Muslim Arab sudah mapan di beberapa kota di pelabuhan Anak Benua India, maka mereka masuk ke wilayah Melayu-Nusantara sebagai penyebar agama Islam pertama. Ia menyebut kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke Nusantara. Setelah itu barulah orang-orang Arab, terutama yang menisbahkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad, yaitu dengan memakai gelar Sayyid dan Syarif, yang menjalankan dan menyelesaikan  proses dakwah Islam, baik sebagai ustaz maupun sebagai Sultan. Morrison, pada 1951, memastikan India sebagai tempat asal Islam di Nusantara. Pantai Koromandel disebutnya sebagai tempat bertolaknya para pedagang Muslim menuju Nusantara. 55

c. Teori ketiga, adalah “Teori Bengal”, disampaikan oleh Q. Qadarullah Fatimi yang memberikan kesimpulan  bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara atau Nusantara melalui Bengal (Banglades). Menurutnya, Islam datang pertama kali di sekitar abad ke-8 H (ke-14 M). Kesimpulan ini ia ambil berdasarkan keterangan Tome Pires yang menyatakan bahwa mayoritas orang terkemuka di Pasai adalah orang  Bengali atau keturunan mereka. Islam muncul pertama kali pada abad ke-11 di Semenajung Malaya adalah dari arah pantai timur, bukan barat (Malaka), yaitu melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Selain itu,  beberapa prasati yang ditemukan di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ada di Leran Jawa Timur.56

d. Teori keempat, “Teori Persia” menyatakan bahwa para pedagang Persialah yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Teori ini didukung oleh data yang kuat mengenai pelayaran orang-orang Persia ke India dan melalui wilayah Asia Tenggara menuju Cina. Menurut berita Cina, Yuan-Tchao yang menulis Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-lou pada abad ke-99, mencatat bahwa sekitar 35 kapal dari Persia telah berlabuh di Palembang pada tahun 99 H (717 M).57

54 Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.55 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 3 (Catatan No. 3 dalam Boharudin,

“Kedatangan Islam...”). Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.56 Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.57 Syamsuddin Arif, “Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi”, h. 17. Lihat juga Azyumardi Azra,

Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32, yang menyebutkan pandangan Pijnappel bahwa masyarakat di kota-kota pelabuhan di Nusantara telah umum menggunakan istilah-istilah Persia, walaupun telah melalui India terlebih dahulu.

15

Page 17: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

e. Teori kelima mengatakan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara didorong oleh “pertarungan” antara Islam dan Kristen untuk mendapat pengikut atau penganut masing-masing agama. Teori ini dikemukakan oleh Schrieke. Ia berpandangan bahwa, pada kenyataannya, ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Portugis, yang kemudian menjadi upaya kolonialisasi, merupakan sebuah kelanjutan dari mata rantai Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, petualangan dan pelayaran yang dilakukan oleh bangsa Portugis ke Asia merupakan ambisi dan keinginannya untuk mencapai sebuah kehormatan yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan. Setelah mereka mampu mengusir kaum Moors (Muslim) dari Semenanjung Iberia, lalu menaklukan beberapa wilayah di sepanjang pesisir barat Afrika hingga sampai mengelilingi Tanjung Harapan, Afrika Selatan, maka kemudian mereka merenuskan kolonialisasi di Asia Tenggara. 58

Pendapat Schrieke diperkuat oleh Reid yang mengatakan bahwa pada paruh abad ke-15 dan ke-17 telah terjadi peningkatan dan penguatan polarisasi serta eksklusivisme agama, terutama agama Islam dan Kristen. Namun teori ini mendapat kritik dari Naquib Al-Attas yang cukup keras. Menurutnnya, Kristen sebagai Agama, bukanlah alasan yang cukup penting untuk menunjukan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Karena, bagi Al-Attas Kristen muncul dan mendapat pengaruhnya dinusantara ketika abad ke-19. Penolakan Al-Attas ini wajar, karena ia bersiteguh bahwa Islam tersebar di Asia Tenggara sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 M. 59

Dalam konteks Islamisasi di Asia Tenggara, Tumasik (Singapura dulu) menempati posisi yang strategis di selat Malaka. “Posisi strategis yang merupakan nilai lebih yang dimiliki Singapura menjadikannya sebagai transit perdagangan dari berbagai kawasan. Pada sisi lain, selain sebagai transit perdagangan letaknya yang strategis juga telah memungkinnya menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, baik pada masa kesultanan Malaka (sebelum kedatangan kolonial Eropa), maka kolonial, sampai pada awal abad ke-20. Peran penting tersebut segera berakhir tatkala Singapura memisahkan diri dari negara federasi Malaysia, umat Islam menjadi minoritas, selanjutnya komunitas muslim yang sebagian besar adalah bangsa melayu menempati posisi kelas dua di bawah etnis Cina. Pada perkembangan selanjutnya, Islam di Singapura disebarkan oleh para ulama dari berbagai belahan Asia Tenggara dan Anak Benua India, seperti Syaikh Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Aminudin, Syaikh Habib Ali Habsi. 60

Berdasarkan teori-teori Islamisasi di atas, dapat dipastikan bahwa para pedagang Muslim dari Arab dan Persia, khususnya, yang melakukan pelayaran ke Selata Malaka antara abad ke-8 sampa abad ke-11 M, juga telah mengunjungi dan singgah di Tumasik. Sebab, Tumasik masa itu telah menjadi kota pelabuhan penting yang diperebutkan oleh Sriwijaya dan Majapahit sebagaimana dijelaskan di atas. Akan tetapi, tentang kedatangan Islam di Tumasik secara khusus, ada beberapa pendapat yang dapat disebutkan, yaitu:

58 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah...,h. 13 (Catatan No. 5 dalam Baharudin, “Kedatangan Islam...”). Teori ini lebih merupakan “Teori Konversi” atau teori perpindahan agama masayarakat Asia Tenggara kepada Islam. Tentang konversi masyarakat Asia Tenggara kepada Islam, lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 37-39.

59 Sampai dengan paragraf ini diolah dari Boharudin, “Kedatangan Islam...” dengan merujuk kembali pada Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., khususnya h. 31-34 dan 36-39, dengan perubahan paragraf dan penambahan data dan informasi, antara lain dari Syamsuddin Arif, “Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi”, Islamia, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, VII(2), 2012, h. 13-25. Paragraf ini dari Catatan No. 6 dalam Boharudin, “Kedatangan Islam...”, bersumber dari Helmiaty, dkk., Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru: Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau bekerjasama dengan Alat Riau, 2006), h. 17-27.

60 Agus Hairi, “Islam di Singapura”, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu, 26 September 2010. Akses 4 Oktober 2012.

16

Page 18: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

a. Menurut Azmi, Islam telah datang sejak abad pertama Hijriah, karena pada pertengahan abad tersebut, orang Arab Islam telah sampai ke gugusan kepulauan Melayu dan bersamaan dengan itu mereka melakukan dakwah Islam.

b. Menurut Fatimi, sekitar abad ke-8 H (14 M). Pendapat ini berpegang pada penemuan batu bersurat di Trengganu yang bertanggal 702 H (1302 M).

c. Menurut Majul, abad ke-15 atau 16 M. Pendapat ini tidak dapat diterima sebab ada juga bukti bahwa Islam sudah masuk sebelum itu (abad ke-8 H/14 M), bahkan sejak abad pertama Hijriah (7 M), yaitu dengan ditemukannya batu nisan di Tanjung Inggris Kedah tahun 1965.61

Perbedaan semacam ini selalu terjadi karena seringkali para ahli tersebut melihatnya dari perspektif yang berbeda-beda atau dari jalur masuknya yang berbeda. Ketika jalur perdagangan mengikuti jalur yang masuk ke Asia Tenggara menyusuri pantai barat Aceh, yaitu melalui Barus, di Sumatera Utara sekarang, maka jalur pelayaran berikutnya akan sampai ke Selat Sunda dan pantai selatan Pulau Jawa. Akan tetapi jika jalur perdagangan ini memasuki Selat Malaka, maka dapat dipastikan bahwa kapal-kapal dagang itu akan singgah di Tumasik sebelum meneruskan pelayaran ke wilayah lain, khususnya yang menuju Cina. Jalur pelayarannya menyusuri pantai timur Sumatera, melewati Malaka, Tumasik, Banten, dan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Oleh karena itu, tidak dapat pula dipastikan kapan Islam masuk ke Singapura. Hanya saja, mengingat aktivitas perdagangan di Tumasik cukup ramai dan berdasarkan sumber di atas bahwa Tumasik juga merupakan kota dagang yang besar pada saat itu, kuat dugaan bahwa komunitas Muslim telah tumbuh di sana antara abad ke-8 dan ke-11 M.

Sebagaimana disebutkan di atas, Singapura (dulu Tumasik) sendiri menempati posisi yang strategis dan karenanya mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Sejak masa kuno, Tumasik telah menjadi kota pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal para pedagang dari berbagai belahan dunia, India, Persia, Arab, dan termasuk Eropa. 62 Bahkan sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, Singapura menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, melaui produksi, reproduksi, dan distribusi kitab-kitab cetak keagamaan, dari dari wilayah Asia Tenggara maupun Timur Tengah dan Eropa.63

Terkait dengan rute perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara tersetbut, dalam “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, Geoff Wade menjelaskan sebagai berikut:

The burgeoning of Islamic trade to Southeast Asia and southern China let us now turn our view westward. André Wink argues that the eighth to eleventh centuries constituted a period of expansion of Muslim (Arab and Persian) commerce on all major routes in the Indian Ocean, turning the Indian Ocean into an ‘Arab Mediterranean’, but suggesting that the Islamic influence during this period was essentially of a commercial nature. Initially settling in Konkan and Gujarat, the Persians and Arabs extended their trading bases and settlements to southern India and Sri Lanka by the eighth century, and to the Tamil lands of the Coromandel Coast by the ninth century, with the trade route extending to Guang-zhou in southern China. The tenth century saw the development of further trade linkages between the Middle East and Southeast Asia through these ports of the Indian subcontinent, with Arabs, Persians and Jews trading along these routes.

One of the few named tenth-century Jewish traders was Ishaq ibn Yahuda, a merchant from Sohar in Oman, who is mentioned by Buzurg ibn Shahriyar, in his Kitab ‘Aja’ib al-Hind (‘Book of the wonders of India’, c. 950 CE), as having travelled to China from Sohar between the years 882 and 912, returning

61 Agus Hairi, “Islam di Singapura” http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu, 26 September 2010. Akses 4 Oktober 2012.

62 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 231-233.63 Sugahara Yumi, “Publications of Kitabs..., h. 9.

17

Page 19: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

to Oman with great wealth. He then departed for China again but was killed en route in Sumatra. George Hourani notes that this route must have grown in importance in the tenth century, ‘when Egypt was gradually replacing Mesopotamia as the center of population and wealth in the Islamic world’.... Muslim merchants established convoy merchant fleets (Karim) for trading to the Indian Ocean and beyond, and the new Fatimid caliphate provided armed escorts for these fleets. The increased security and thus growth of the merchant participants in this endeavour – the so-called Karimis – meant that the convoy system extended further through the Arab lands and that trade between this region and the Indian Ocean increased. At the same time, there is much evidence of a growth in Islamic connections between China and Southeast Asia. Chinese texts of the tenth century record the arrival at the northern Song court (at Kai-feng) of missions from Da-shi (the Arab lands), the Cola empire, Zabaj=Zabag (likely Srivijaya) and Champa, all comprising envoys who bore names which can be reconstructed as being Islamic. These arrivals reflect the great maritime trade route which connected the Arab lands with China, passing through southern India, Zabaj=Srivijaya in Sumatra, and Champa in what is today central Vietnam. Arab texts also provide us with details of the Southeast Asian ports visited by Middle Eastern traders during this period. Claudine Salmon has detailed the trade of Arabs and Persians to China through the ports of India and Southeast Asia. Some evidence of Jewish traders in Indian Ocean trade, extending to Southeast Asia, over the eleventh to thirteenth centuries can be gleaned from the letters found in the Cairo Geniza and translated by S.D. Goitein.64

Kutipan panjang di atas antara lain menjelasakan bahwa sejak abad ke-8 sampai dengan ke-11 M, para pedagang Muslim dari Arab dan Persia telah menempuh pelayaran sampai ke Samudera India. Bangsa India dan Arab mengembangkan basis-basis perdagangan dan pemukiman mereka di sebelah selatan India, Sri Langka, dan Pantai Coromandel, melalui basis mereka di Konkan dan Gujarat. Selanjutnya meraka terus mengembangkan perdagangannya sampai ke Guang-zhou di Cina selatan. Abad ke-10 M merupakan perkembangan lebih lanjut dari hubungan dagang antara Timur Tengah dengan Asia Tenggara, melalui pelabuhan-pelabuhan di Anak Benua India.

Perlu dicatat bahwa Geoff Wade menyertakan catatan perjalanan dari sumber Arab dan sumber Cina yang relatif kurang dimanfaatkan dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, dan khususnya dalam kaitannya dengan Timur Tengah. Ia menyebutkan dan mengutip Kitab ‘Aja’ib al-Hind- nya Buzurg ibn Shahriyar (‘Kitab tentang Keindahan-Keindahan India, ditulis 950 M). Buzurg ibn Shahriyar telah melakukan perjalanan dari Sohar65 ke China pada tahun 882 dan 912 dengan mengarungi Samudera India dan tempat-tempat lain sesudahnya di bagian timur dan tenggara India, dengan fasilitas yang disediakan oleh Khalifah dari Dinasti Fatimiyah di Kairo, Mesir. Sumber Arab juga menginformasikan secara detail pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara yang disinggahi para pedagang Timur Tengah.

Sementara sumber Cina yang dikutip antara lain menyebutkan kedatangan para pendakwah dari Da-shi (tanah Arab) ke sebelah utara benteng Song di Kaifeng, juga dari Kerajaan Cola, Zabaj=Zabag (diduga Sriwijaya) dan Champa. Kedatangan mereka menunjukkan rute perdagangan maritim yang besar yang menghubungkan tanah Arab dengan Cina, dengan melewati India bagian selatan, Zabaj=Sriwijaya di Sumatera, dan Champa yang sekarang berada di Vietnam pusat. Demikian juga Claudin Salmon yang merinci secara lebih detail tentang perdagangang bangsa Arab dan Persia dengan Cina Melalui pelabuhan-pelabuhan di India dan Asia Tenggara.

2. Tumasik Islam: Singapura Tempo Dulu

64 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 231-233.

65 Nama sebuah pelabuhan di Oman. Sohat terletak sekitar 200 km (124 mil) sebelah utara of Muscat, ibu kota Oman, lihat “Sohar”, http://en.wikipedia.org/wiki/Sohar, Diakses 5 Desember 2012.

18

Page 20: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Pada pembahasan sebelumnya telah bahwa pada abad ke-13 dan ke-14 M, atau sebelum itu pada masa Sriwijaya, Tumasik telah menjadi kota perdagangan yang cukup besar di Semenanjung Malaya. Kota ini juga disebut sebagai Kota Laut (Sea Town). Posisinya yang sangat strategis di ujung Semenanjung Malaya, bukan hanya menjadikan Tumasik menggiurkan untuk dikuasai, tetapi dengan sendirinya juga ia merupakan salah satu pelabuhan penting di Asia Tenggara dalam jaringan perdagangan internasional masa itu. 66 Para pedagang Muslim dari Arab dan Persia telah menempuh pelayaran sampai ke Samudera India jauh sebelum masa itu, antara lain pada abad ke-8 M. Melalui salah satu basis pelayaran mereka di Gujarat atau India, mereka meneruskan perjalanan dagangnya sampai ke ke Guang-zhou, Cina. Perkembangan pesat perdagangan Muslim di kawasan Asia Tenggara semakin terlihat sejak abad ke-10 M.67

Sebelum masa Islam, hegemoni perdagangan di sekitar selat Malaka, termasuk Tumasik, dan kemudian Singapura, dipegang oleh Sriwijaya. Dalam “An Early Age of Commerce in Southeast Asia”, Geoff Wade menjelaskan kondisi tersebut:

In some ways, the ports on Sumatra and on the peninsular side of the Straits of Malacca can be seen as having long been maritime trade polities par excellence. They appear to have grown out of and thrived through maritime trade, from the early period when the Kedah and mid-coast Sumatran ports (Po-luo-suo and Gan-Tuo-li) dominated, to the heyday of Srivijaya and through the years of Temasik, Melaka and later Singapore.

During the period we are examining – 900 to 1300 CE – the Chinese note the existence of a polity they knew by the name of San-fo-qi (likely a rendering of the Arabic term Zabaj) and previously was known as Shi-li-fo-shi (frequently rendered as Srivijaya), in southern Sumatra... Pierre-Yves Manguin has detailed ninth-century Guang-dong ceramics (and later Chang-sha wares) excavated in the Srivijayan centre of Palembang, suggesting that this Sumatran port was already a node in long-distance trade networks at the beginnings of the Early Age of Commerce.... 68

Dari kutipan ini, dapat dipahami bahwa hegemoni Sriwijaya atas pelabuhan-pelabuhan penting di Semenanjung Malaya. Hubungan dagang Sriwijaya tidak terbatas dengan para pedagang dari Timur Tengah, tetapi juga sampai ke Cina. Seperti dijelaskan dala kutipan di atas, hasil eskapasi (penggalian arkeologis) di pusat kekuasaan Sriwijaya di Palembang ditemukan kerami-keramik Cina abad ke-9 M dari Guang-dong. Kenyataan tersebut memperlihatkan jaringan perdagangan Sriwijaya yang sangat luas. Pada saat itu, kontrol Sriwijaya atas wilayah-wilayah pinggiran yang dikuasainya cukup ketat sehingga membuat kerajaan ini semakin kaya dan sejahtera berkat perdagangan internasionalnya. 69

Tumasik menjadi salah satu pelabuhan yang dilalui para pedangan yang menyusuri Selat Malaka menuju Cina. Tumasik, dengan demikian, tidak diragukan lagi telah disinggahi oleh para pedagang Muslim, terutama dari Arab dan Persia yang menjalin hubungan dagang dengan Sriwijaya.

Di sepanjang jalur perdagangan ini, Tumasik yang berada di jalur Malaka-Cina merupakan tempat strategis dan menguntungkan bagi para pedagang untuk beristirahat, dan bahkan menempuh kehidupan baru. Pada abad ke-9 M, di setiap pelabuhan di sepanjang  rute perdagangan  dari Malaka ke Cina,  hampir  dapat  dipastikan  ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Ketika dominasi Sriwijaya mulai lemah menjelang

66 John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, h. 1311, juga h. 822, dan h. 868, dan lihat Rose Liang, “Change and Continuity in the Culture of Singapore’s Primary School Teachers...”, h. 66-67. Bandingkan antara kedua sumber ini.

67 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 231-232.68 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 252.69 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 253.

19

Page 21: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

penghujung abad ke-13 M, hegemoni perdagangan di Selat Malaka mulai pindah ke Kesultanan Malaka yang baru tumbuh. 70

Pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-14, Kedah dan Tumasik merupakan pelabuhan-pelabuhan penting di Semenanjung Malaya. Kedah pernah disebut sebagai salah satu pusat aktivitas komersial pada abad ke-12 dan ke-13 M. Di daerah ini ditemukan bukti-bukti arkeologis berupa candi-candi, gelas-gelas kaca dari Timur Tengah, barang-barang pecah belah (glassware) dan manik-manik atau tasbih (beads) import yang menghubungkan situs ini dengan Cina, India, dan Timur Tengah. Lonjakan aktivitas komensial di Semenanjung ini terus berlanjut hingga akhir abad ke-13 M, dan pada abad ke-14 M, aktivitas perdagagan yang masih ada terkonsentrasi di Tumasik, ‘dalam fase yang sama sekali berbeda terkait dengan pelabuhan pintu masuk bagi peradaban Semenanjung.71

Konsentrasi jalur perdagangan di Tumasik pada abad ke-14 M bersamaan dengan kemunculan Malaka sebagai salah satu kekuatan politik dan perdagangan. Dalam The Cambridge History Of Southeast Asia, dijelaskan asal mula kemunculannya sejak Parameswara melarikan diri ke Tumasik karena serangan Majapahit, kemudian pindah lagi ke Malaka karena tekanan Siam, sebagai berikut:

The founder of Melaka, a Malay prince known as Paramesvara, first appears as a vassal of Majapahit at Palembang. In the 1390s he sought to escape Javanese overlordship by shifting to Tumasik (modern Singapore); recent archaeological work in Singapore reveals the late fourteenth century as an especially prosperous time for commercial activity. Tumasik, however, was too exposed to Ayutthaya, and Siamese pressure forced Paramesvara to shift to Melaka, where he presided over a rebirth of Malay political authority under the protection of the Chinese. Paramesvara's close relations with China were the key to his success in competing with Ayutthaya for space on the Malay peninsula.72

Dengan proteksi Cina, Malaka dengan cepat dapat berkembang sebagai versi baru dari model Sriwijaya sebagai pintu masuk perdagangan di Semenanjung Malaya. Kemudian Malaka mengukuhkan supremasinya atas pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Malaya dan pantai utara Sumatera, sebagaimana dijelaskan dalam The Cambridge History of Southeast Asia demikian:

Melaka established its supremacy over other centres of Malay authority along the coasts of the peninsula and the northeastern coast of Sumatra, thereby guaranteeing control of all trade passing through the straits. Firm relationships were developed with Gujerati and Tamil merchants having access to Western markets and with the north Javanese ports that enjoyed access to Maluku (the Moluccas), the spice islands to the east. For the next century, Melaka was the central entrepot for trade in and through Southeast Asia.73

Perkembangan Islam di Selat Malaka dan sekitarnya semakin insentif dan mengalami kemajuan yang pesat di bawah kekuasaan Kesultanan Melaka. Islam kemudian tersebar ke wilayah-wilayah kekuasaannya, mulai Pahang, Trengganu, Kelantan, Selat Malaka, Rokan, Kampar, Siak, Riau-Lingga dan Indragiri.74 Selama abad ke-15 M, Islam telah dianut oleh para penguasa (sultan-sultan) Malaka. Dari sini kemudian Islam menyebar ke bagian-bagian lain di wilayah ini. Berdirinya Malaka dan

70 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, dalam http://m-haritsyah.blogspot.com/ 2012/07/islam-di-singapura-studi-islam-asia.html, Selasa, 03 Juli 2012. Lihat juga Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 254.

71 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 258.72 Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One..., h. 175.73 Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One..., h. 175.74 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, 03 Juli 2012.

20

Page 22: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

kemunculan Islam menandai dimulainya sejarah Melayu sebagaimana sebagaimana pada abad-abad sebelumnya mereka telah memainkan perannya dalam kerangkan hubungan dangan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Arab, Persia, India, dan Cina. Dari perspektif historiografi Islam, banyak dijumpai berbagai kisah dan riwayat tentang orang-orang Melayu pada masa-masa itu, tetapi keberadaan mereka sebelum Islam kurang mendapat perhatian. Sementara catatan sejarah mengenai Melayu, seperti dalam sumber Cina dan Arab, maupun sumber arkeologis, sebagai ingatan kolaktif masyarakat, dapat dimulai dengan Malaka. Ini merupakan “bukti yang memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa Malaka merupakan versi baru tradisi yang sangat kuno dari perilaku para penguasa Melayu, sebuah tradisi tentang bagaimana memusatkan berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan.”75

Sejak kemunculannya di Selat Malaka setidaknya sejak abad ke-14, Malaka terus berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477). Untuk meperkuat armadanya, “Malaka banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa,  Kalimantan  Barat,  Brunei,  Sulu  dan  Mindanau  (Filipina  Selatan).”76

Perkembangan Malaka yang begitu pesat dalam kurun waktu yang relatif singkat merupakan fakta sejarah yang mengagumkan untuk konteks masanya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama sejak lemahnya hegemoni Sriwijaya menjelang akhir abad ke-19 M, dan setelah melalui satu atau dua generasi, Malaka telah tumbuh menjadi wilayah perdagangan internasional, di samping sebagai tempat terpenting penyebaran agama Islam. Wilayah ini mengalami apa yang disebut Geoff Wade “the booming trade” (“ledakan perdagangan” dan menjadi sebuah pelabuhan yang terpenting di Semenanjung Malaya pada abad ke-15. Selain sebagai salah pusat pusat perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara, Malaka juga merupakan pintu masuk utama daengan pelabuhan-pelabuhan penting di sekitarnya yang menjadi tempat transit para pedagang yang akan menuju negeri-negeri penghasil rempah di kawasan timur Nusantara. Oleh karena itu, menurut Duarte Barbosa, sebagaimana dikemukakan M. Haritsyah, untuk menguasai dunia, Malaka harus dikuasai, seperti terlihat dalam ucapannya: “He who is lord of Malacca has his hand on the throat of Venice” (Siapa yang menguasai Melaka, ia dapat menguasai perdagangan dunia").77

Keterlibatan para pedagang Muslim dalam perdagangan internasional pada abad-abad ke-8 sampae ke-16 M, baik ketika Sriwijaya mendominasi wilayah Semenanjung Malaya sampai menjelang akhir abad ke-13, maupun pada masa Kesultanan Malaka sampai awal abad ke-16 (1511 M), tidak hanya dalam kepentingan komersial, tetapi juga dalam politik dan diplomasi. Keterlibatan ini mengasosiasikan Islam dengan “power” atau kekuasaan. Gambaran mengenai hal ini terlihat dalam kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah pesisir, seperti Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Johor, Ternate, Goa, dan lain-lain. Kemunculan kerajaan-kerajaan ini jelas didukung faktor ‘rapid commercializarion’ saat itu, atau apa yang disebut Geoff Wade dalam “An Early Age of Commerce in Southeast Asia” sebagai “the burgeoning of Islamic trade”,78 pada gilirannya membantu menciptakan citra bahwa Islam itu kuat

75 Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One..., h. 176. 76 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, 03 Juli 2012.77 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, 03 Juli 2012. 78 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 231.

21

Page 23: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

(powerful), baik secara spiritual, ekonomi, politik maupun militer. Oleh karena itu, menjadi Islam pada saat itu sangat prestisius.79

Dalam konteks perdagangan internasional itulah, para pedagang dan orang-orang yang singgah dan berdagang di Tumasik, sebagian mareka menetap dan bahkan menikahi wanita-wanita setempat. Kota pelabuhan itu semakin ramai oleh “penduduk baru” yang merupakan generasi selanjutnya yang lahir dari pernikahan tersebut. Dari waktu ke waktu, penduduk setempat terus berkembang. Apalagi ada sebagian dari para pedagang asing tersebut, baik Arab, Persia, India, maupun Eropa, dan juga Cina, yang membawa istri dan anak-anaknya tinggal bermukim di sana. Mereka yang menetap di sana atau generasi baru yang lahir dari pernikahan orang Arab dengan penduduk setempat menjadi orang “Arab-Melayu” dan keturunan dari pernikahan India-Melayu menjadi “Jawi Peranakan“.80

Perlu disampaikan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Arab Muslim atau para pedagang muslim lainnya, baik pendatang maupun generasi yang lahir dari hasil perkawinan semakin menyemarakan kegiatan keislaman di sana. Aktivitas “bisnis” yang mereka lakukan tidak hanya berupa barang, tetapi juga jasa, misalnya jasa pemberangkatan haji. Ketika bangsa Indonesia mengalami pembatasan haji oeh pemerintah kolonial, misalnya, banyak di antara masyarakat Indonesia yang pergi haji melalui Singapura. Kaum muslimin yang akan pergi haji melalui Singapura adakalanya menunggu lama di sana sehingga sebagian dari mereka bekerja dulu sebelum kembali ke Indonesia, dan sebagian yang lain lagi menetap di sana. Kehadiran orang Arab sangat membantu proses pelaksanaan perjalanan haji sehingga meningkatkan reputasi Singapura sebagai salah satu pelabuhan (embarkasi) pemberangkatan haji masyarakat Indonesia sebelum menuju Mekah. Demikian juga dengan para penuntut ilmu dan bahkan ulama yang akan pergi ke Timur Tengah, sebagian mereka transit terlebih dahulu di Singapura. Kondisi ini direkam William Roff dalam Origins Of Malay Nationalisme sebagai berikut:

Para penuntut ilmu agama islam dari seluruh kepulauanYang ingin melanjutkan pelajaran dalam bidang hikum danAsas, telah pergi ke Mekah atau negri selat, maka ramailahRamailah para pelajar muda dating ke singapura, berguruDengan sarjana-sarjanislam yang terlatih dari Timur Tengah.81

Ledakan perdagangan (the booming trade) di wilayah Asia Tenggara umumnya, dan khususnya di Semenanjung Malaya pada masa perdagangan (the age of commerce) memastikan seluruh pelabuhan, kota laut, dan pusat komensial di Selat Malaka dan sekitarnya ikut terlibat dalam perdagangan tersebut. Kota-kota pesisir merupakan wilayah yang pertama kali disinggahi para pedagang yang hilir mudik, baik dari barat (Eropa, Arab, Persia, India) maupun dari timur (Cina). Para pedagang Muslim yang menguasai Samudera India pada masa itu tidak hanya membawa barang dagangan saja, tertapi juga para ilmuan dan ulama. Dalam konteks inilah konversi massal masyarakat Asia Tenggara, secara lebih khusus lagi, konversi massal masyarakat Indo-Melayu kepada Islam dapat dipahami. Konversi ini terjadi berbarengan dengan masa “ledakan perdagangan” di kawasan ini.82

79 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 23, dan Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 231.

80 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, 03 Juli 2012. 81 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, 03 Juli 2012.82 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 21.

22

Page 24: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Dengan demikian, Tumasik Islam, jika dapat disebut demikian, dapat diduga kuat muncul pada masa “ledakan perdagangan” ini karena kota ini merupakan salah satu pelabuhan penting yang dikuasai oleh Malaka saat itu.83 Hal ini dapat dijelaskan dengan meminjam kerangkan pikir sebagaimana dikemukakan oleh Azyumardi Azra, babhwa “Kota-kota di wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan, dan kekuasaan... masa-masa ini tidak hanya mengantarkan wilayah Indo-Melayu ke dalam internasionalisasi perdagangan, tetapi juga kosmopolitanisme kebudayaan-peradaban yang tidak pernah dialami masyarakat kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.”84

Posisi Tumasik sebagai salah satu pusat konsentrasi perdagangan internasional tersebut juga disebutkan oleh Geoff Wade. Ia mengatakan: “This commercial boom was to dissipate in the peninsula at the end of the thirteenth century, and the remaining tradewould concentrate in Temasek in the fourteenth century, ‘in an entirely different phase of the entrepôt port civilization of the Malay Peninsula’”.85 Para pedagang Muslim pada masa-masa ini cukup mendominasi perdagangan di wilayah Semenanjung Malaya. Oleh karena itu, masyarakat Semenanjung Malaya merasa bangga menjadi Muslim karena memiliki keunggulan, kekayaan, dan kekuatan.86 Fakta sejarah ini dan bukti-bukti lain yang diuraikan di atas, kiranya dapat menjadi argumen kuat untuk mengatakan, bahwa “Singapura” dulu, bukan saja merupakan salah satu pintu masuk perdagangan internasional, tetapi juga pusat konsentrasi Muslim dan dapat disebut “Tumasik Islam”. Akar sejaran ini sekaligus dapat menjelaskan, mengapa Singapura pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 menjadi salat satu pusat perkembangan intelektual Islam di Asia Tenggara. Wallahu a’lam

D. PENUTUP

Studi sejarah Islam di Nusantara atau Asia Tenggara sekarang telah banyak sejarahwan dan para ahli. Namun, tema ini sampai saat ini masih menyisakan berbagai misteri dan perdebatan terutama tentang sejarah awal kehadirannya. Penelusuran dan penulisan kembali tema ini dirasa masih relevan dan layak dilakukan. Dalam kerangka inilah dilakukan penulisan kembali “Sejarah Islam Awal di Singapura” ini, dengan fokus studi tentang “Tumasik” sebagai “lokus dan komunitas” Muslim awal di Singapura antara tahun 1200-1500 M (awal abad ke-13 sampai awal abad ke-16, ketika Portugis menduduki Malaka, 1511 M). Berdasarkan data dan informasi sebagaimana diuraikan pada bab-bab terdahulu, dapat diambil beberapa kesimpulan sementara sebagai berikut:1. Asal-usul Singapura dalam konteks sejarah Islam di Asia Tenggara masih terdapat

silang pendapat di kalangan para ahli. Beberapa sumber atau historiografi lokal yang digunakan para ahli adalah naskah-naskah Pararaton, Sejarah Melayu, Negarakretagama, dan Tuhfah al-Nafis. Sumber asing yang digunakan antara lain kisah perjalanan dan kronik dari Arab dan Cina. Berdasarkan beberapa sumber tersebut, dapat dikatakan bahwa “Singapura” pada masa lalu disebut “Tumasik”, walaupun pelafalannya berbeda-beda, yaitu “Temasik” atau “Temasek”. Tumasik adalah sebagai sebuah “negara kota” di Asia Tenggara yang lokusnya

83 M. Haritsyah. “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, 03 Juli 2012.84 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 21.85 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 258.86 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 23, dan Geoff Wade, “An Early Age of Commerce

in Southeast Asia, 900–1300 CE”, h. 231.

23

Page 25: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

sekarang berada di Singapura. Pendapat umum mengatakan Tumasik didirikan pada 1299 M.

Nama “Singapura” sering dihubungkan dengan Thomas Stanford Raffles (Inggris) yang menguasai pulau itu pada tahun 1819 berdasarkan penjanjian Raffles dengan penguasa lokal saat itu, Temanggong Sri Maharaja, ketika Singapura di bawah kekuasaan Sultan Husein Syah, pada 19 Januari 1819. Tahun 1819 sering dipandang sebagai awal penggunaan nama “Singapura”, sementara nama itu “Singapura” telah disebut pada akhir abad ke-14 M. Sumber historiografi lokal, seperti Sejarah Melayu, menceritakan asal-usul Singapura, bahwa seorang Tamil, yakni Sang Nila Utama, dalam perjalanannya menuju Banten, melihat seekor binatang buas melintasi jalan yang akan mereka lalui; Binatang itu adalah singa. Sang Nila Utama kemudian memberi nama tempat itu dengan “Singapura”, yang berarti “Kota Singa”. Masih dalam Sejarah Melayu, juga disebutkan bahwa Singapura pada masa lalu bernama “Temasik”, yang merupakan kota perdagangan yang besar di Semenanjung Malaya. Dalam Nagarakretagama, sebuah karya sastra Jawa, Singapura disebut sebagai “Temasek” (“Sea Town”/Kota Laut). Dalam berita Cina, kota ini disebut "Pulau Ujung" (Pu-Lo-Chung). Nama-nama lain adalah "Salahit" - Selat, dan "Tam-ma-sik" (Cina). Para masa Majapahit, negeri “Singapura” dianggap sebagai “kota” (Pura) dan “singgah” (Singgah), jadi berarti “Kita Singgah”.

2. Proses masuknya Islam di Singapura, sebagaimana di daerah lain di Asia Tenggara, diselimuti legenda dan mitos. Akan tetapi, fakta sejarah dan temuan arkeologis dapat memastikan, atau setidaknya menguatkan perkiraan, bahwa Islam telah hadir di Singapura (dulu Tumasik) sejak masa-masa awal negara pulau di ujung Semenanjung Malaya ini terlibat dalam perdagangan internasional. Pada abad ke-10-14 M, telah terjadi the booming trade (ledakan perdagangan) di wilayah Asia Tenggara umumnya, dan khususnya di Semenanjung Malaya. Hal ini memastikan seluruh pelabuhan, kota laut, dan pusat komersial di Selat Malaka, tak terkecuali Tumasik, ikut terlibat dalam perdagangan tersebut. Kota-kota pesisir merupakan wilayah yang pertama kali disinggahi para pedagang tersebut, yang berasal dari Arab, Persia, India, dan Cina. Pada saat bersamaan, para pedagang Muslim telah terlibat dalam perdagangan internasional di wilayah ini. Perdagangan kaum Muslimin, khususnya Arab dan Persia, di Asia Tenggara mengalami peningkatan yang sangat pesat anatara abad ke-8 s.d. ke-11 M. Mereka mengarungi Samudera India, hilik mudik, dari Laut Mediterania - Arab, dan juga sebaliknya. Kota-kota pesisir dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Malaya menjadi pemukiman-pemukiman bagi para pedagang Muslim tersebut. Sebagian dari mereka bahkan diberitakan menetap dan berkeluarga di sana. Dengan demikian, dapat disimpulkan sementara, bahwa Islam telah hadir di Tumasik (sekarang Singapura) paling awal abad ke-8 M atau paling lambat abad ke 11 M. Hingga permulaan abad ke-16 M, Singapura lama tetap menjadi pemukiman Muslim, bersama para pedagang lain, baik dari Eropa, India, maupun Cina, dan sekaligus menjadi pelabuhan penting di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka, sampai dengan kesultanan ini ditaklukan oleh Portugis pada 1511 M.

3. Singapura lama atau Tumasik sejak zaman Sriwijaya merupakan kota dagang yang penting di Asia Tenggara. Kota pulau di ujung Semenanjung Malaya ini selalu menjadi rebutan berbagai kerajaan di Nusantara hingga Ayutthaya di Tahailand (Siam). Diceritakan—meskipun sumbernya harus diverifikasi—bahwa antara tahun 1299-1388, pernah berdiri Kesultanan Tumasik, dengan lima sultan, yaitu: 1) Raja I Sri Tri Buana (1299-1347); 2) Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362); 3) Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375); 4) Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388); dan 5) Raja V Sri

24

Page 26: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (1388-1391), kemudian di Malaka (1393-1397).

Adapun kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Tumasik dimulai oleh Sriwijaya yang mendominasi wilayah ini sampai akhir abad ke-13 M. Pada abad ke-14 M, Tumasik kemudian berada di bawah kekuasaan Majapahit, sebuah kerajaan di Jawa, yang ingin menguasai seluruh Nusantara lewat legenda Sumpah Palapa yang diucapkan patihnya yang bernama Gajah Mada. Setelah Majapahit mundur, Tumasik berada di bawah kekuasaan Ayutthaya. Selanjutnya pada abad ke-15 M, Tumasik berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka sampai pendudukan Portugis 1511 M. Setelah itu secara beturut-turut, Singapura berada di bawah Kesultanan Johor, (1511-1699), dan Kesultanan Johor-Riau (1699-1818), sampai akhirnya diduduki oleh Britisth East India Company, perusahaan dagang Inggris di Timur, dibawah pimpinan Thomas Stamford Raffles sejak 19 Januari 1819 M.

Penelusuran sumber bacaan, data, dan informasi tentang “Sejarah Islam Awa di Singapura” yang tergolong sulit--karena dari berbagai literatur modern yang membahas asal-usul singapura umumnya merujuk pada empat naskah Nusantara, yaitu Pararaton, Sejarah Melayu, Negarakretagama, dan Tuhfah al-Nafis. Sumber asing yang digunakan antara lain Kitab Aja’ib al-Hind (Arab) dan Sejarah Ming (Cina). Akan tetapi, data tentang “Islam awal”, baik dalam historiografi Nusantara maupun sumber asing, sangat minim. Sementara itu, sumber lain berupa artikel dalam berbagai website masih memerlukan penelaahan dan pembuktian lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam konteks studi sejarah islam pada masa awal di Singapura, perlu disarankan beberapa hal berikut:1. Mempublikasikan data dan informasi sejauh yang dapat ditemukan dari berbagai

sumber melalui institusi resmi, seperti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan itbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Data dan informasi tersebut harus diupayakan diperoleh langsung dari sumber primer, baik historiografi lokal seperti Pararaton, Sejarah Melayu, Negarakretagama, dan Tuhfah al-Nafis, maupun sumber asing, seperti Kitab Aja’ib al-Hind (Arab) dan Sejarah Ming (Cina).

2. Untuk mendukung dan menguatkan data dan informasi tersebut, perlu dilakukan peninjauan lokasi dan situs-situs terkait, baik di Singapura maupun daerah lain di Asia Tenggara.

3. Dalam kerangka penelitian yang lebih besar, tidak hanya sejarah Islam di Singapura, tetapt sejarah Islam di Asia Tenggara secara umum, perlu dilakukan kerjasam dengan lembaga-lembaga terkait, baik di Indonesia maupun di negara lain di kawasan Asia Tenggara, baik dengan lembaga riset/perguruan tinggi maupun pemerintah. Wallahun a’lam, wa huwa yahdi man yasya ila al-sirat al-mustaqim...[]

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Artikel

Abdullah, Taufik, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (Eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989, h. 58-99.

Abshire, Jean, The History of Singapore, Singapore: ABC-CLIO, 2011. Arif, Syamsuddin, “Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi”, Islamia, Jurnal Pemikiran dan

Peradaban Islam, VII(2), 2012, h. 13-25.

25

Page 27: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII , Bandung: Mizan, 1994.

---------, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Desain Operasional “Penelusuran Sejarah Islam di Nusanara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tahun 2012.

Esposito, John L., Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat (Terj. Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM. dari The Future of Islam), Bandung: Mizan, 2010.

Hack, Karl, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, versi pdf, Open University, UK, t.th.

Ismail, Abdul Rahman Haji, “Sejarah Melayu (Malay Annals),” dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, California: ABC-CLIO, Inc., 2004, h. 1182-1183.

Liang, Rose, “Change and Continuity in the Culture of Singapore’s Primary School Teachers from 1959 to 2006”, A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Department of Sociology, National University of Singapore, 2007.

Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, A Thesis submitted for the Degree of Master of Arts, Department of History, National University of Singapore, 2012.

Linehan, W., “The Kings of 14th Century Singapore”, dalam T.S.D.M Sheppard (Ed.), Singapore 150 Years, Singapore: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1982, h. 57-66.

Muljana, Slamet, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, Yogyakarta: LKiS, 2006.Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor,

California: ABC-CLIO, Inc., 2004. ---------, “Tuhfat al-Nafis (The Precious Gift)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical

Encyclopedia..., h. 1355-1356. Raffles, Thomas Stanford, The History of Java (Edisi Indonesia), Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008.Turnbull, C. M., “Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (1781–1826)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.),

Southeast Asia, A Historical Encyclopedia...”, h. 1122-1123.Resi, Maharsi, Islam Melayu vs Islam Jawa, Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.Saefullah, Asep, “Membangun Peradaban Dunia yang Damai: Pentingnya Pembaharuan Islam dan

“Kearifan” Barat”, Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, XI(1), 2012, h. 145-154.Sedyawati, Edi, “Majapahit”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h.

822 -824.Shamsul A.B., “Convergence of Interest and Sharing a Future: Deepening the Understanding of Islam in

Asia and Europe”, ASIEN 100 (Juli 2006), h. 62-69.Sudrajat, Ajat, “Perkembangan Islam di Singapura”, Kertas Kerja Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY,

Yogyakarta. Sugahara Yumi, “Publications of Kitabs and Development of Using Jawi and Pegon Scripts”, dalam

Kawashima Midori, A Provinsial Catalog of Southeast Asian Kitabs of Sophia University, Tokyo: Sophia University, 2010.

Tarling, Nicholas (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One, From Early Times to c.1800, Cambridge: Cambridge University Press 1992; Edisi Singapura, 1994.

Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (Eds.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.Villiers, John, “Melaka”, Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 868-871.Wade, Geoff dan Zaide, Joyce (Eds.), Provenance Research on 14th-Century, Greenwares Found in

Singapore, Singapore : The Nalanda-Sriwijaya Centre, Institute of Southeast Asian Studies, 2009.Wade, Geoff, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, dalam Journal of Southeast

Asian Studies, 40(2), Edisi Juni 2009, h. 221–265.

26

Page 28: 12 TUMASIK Islam di Singapura MAKALAH UNTUK JURNAL LEKTUR 2015.doc

Yusuf, Muhammad, Islam di Singapura: Studi Pembaharuan Pemikiran Islam, Bandar Lampung: IAIN Raden Intan Bandar Lampung, 2004.

Website

Anonim, “Penduduk, Bahasa dan Budaya, Sebuah Kaleidoskop Multikultural“, dalam http://www. yoursingapore.com/content/traveller/id/browse/aboutsingapore/people-lang-culture. html. Diakses 4 Oktober 2012.

Anonim, “Perkembangan Islam di Asia Tenggara”, http://irmasgirljpr.blogspot.com/2011/08/perkem - bangan-islam-di-asia-tenggara.html, Jumat, 12 Agustus 2011. Diakses 3 Mei 2012.

Anonim, “Sebuah Sejarah Ringkas, Napak Tilas ke Masa Lalu Singapura”, dalam http://www. yoursingapore.com/content/traveller/id/browse/aboutsingapore/a-brief-history.html. Diakses 4 Oktober 2012.

Anonim, “Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura” http://www.segenggam-harapan.com/ 2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html. Diakses 4 Oktober 2012.

Anonim, “Studi Islam Asia Tenggara”, dalam http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/studi-islam-asia-tenggara/. NU Online. Upload 6 October 2011, diakses 4 Oktober 2012.

Boharudin, “Kedatangan Islam dan Islamisasi di Asia Tenggara“ http://boharudin.blogspot.com/2011/04/ kedatangan-islam-dan-islamisasi-di-asia.html, Kamis, 21 April 2011, diakses 3 Mei 2012.

Hairi, Agus, “Islam di Singapura”, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu, 26 September 2010. Dikases 4 Oktober 2012.

Haritsyah. M., “Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara)”, dalam http://m-haritsyah.blogspot.com/ 2012/07/islam-di-singapura-studi-islam-asia.html, Selasa, 03 Juli 2012.

“Historical method”, http://en.wikipedia.org/wiki/historical_method. Diakses 3 Maret 2012.“Islam in Singapore”, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore. Diakses 3 Maret 2012.“Nawali, Feril, “Tujuh Kerajaan di Indonesia Klaim Singapura Masuk Wilayah Nusantara”,

http://www.rmol.co/read/2012/01/12/51797/Tujuh-Kerajaan-di-Indonesia--Klaim-Singapura-Masuk-Wilayah-Nusantara-, Kamis, 12 Januari 2012.

“Primary Source”, http://www.statemaster.com/encyclopedia/Primary-source. 3 Maret 2012.“Sang Nila Utama”, http://en.wikipedia.org/wiki/ Sang _ Nila _ Utama . Dikases 4 Oktober 2012. “Secondary Source”, http://www.statemaster.com/encyclopedia/Sec , ondary-source . Dikases 4 Oktober

2012.“Singapore”, http://en.wikipedia.org/ wiki/Singapore . Diakses 3 Mei 2012. “Singapore”, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/545725/Singapore/214573/History. Diakses 3

Mei 2012.“Sohar”, http://en.wikipedia.org/wiki/Sohar, Diakses 5 Desember 2012.“Temasek”, http://en.wikipedia.org/wiki/Temasek. Diakses 4 Oktober 2012. The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979). The Gale Group, Inc., 2010 edisi online dalam

http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tumasik, entry “Tumasik”. Diakses 11 Oktober 2012.

27