11. DIFTERI ANAK
-
Upload
amhyer-poex -
Category
Documents
-
view
8 -
download
0
description
Transcript of 11. DIFTERI ANAK
PENATALAKSANAAN DIFTERI PADA ANAK
I. PENGERTIAN
Difteri ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtherriae. Gejala klinik yang timbul, lokal dan umum
merupakan akibat dari hasil kerja toksin yang diproduksi oleh kuman
difteri.
II. KLASIFIKASI 2,4,9,10
Secara klinik difteri dapat diklasifikasikan berdasarkan lokalisasi
membran :
1. Difteri respiratorik yaitu :
Difteri hidung.
Difteri tonsil dan faring
Difteri laring / trakea
2. Difteri non respiratorik yaitu :
Difteri bentuk lain (jarang) : difteri kulit, konyungtiva, genital.
Secara praktis penderita yang dirawat di rumah sakit adalah difteri
respiratorik yaitu difteri tonsil, faring dan laring / trakea.
III.DIAGNOSIS 2,4,5,9,10
III.I. Klinik
1.1. Gejala Utama :
Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan
sifat – sifat: membran tebal putih kelabu, pinggir hiperemis dan
udem, sukar diangkat dan mudah berdarah.
1.2. Gejala tambahan tergantung lokalisasinya :
Difteri hidung :
Sekret serosaguinus dari lubang hidung dan tanda – tanda
iritasi pada lubang hidung dan bibir atas.
73
Difteri tonsil dan faring :
demam sub febril
anoreksia, sakit menelan
pembesaran kelenjar limfe servikal / submandibula
bull neck (adenitis servikal, peri adenitis dan udem jaringan
sekitarnya). Secara klinik, dapat dikenal bilamana
pembengkakan tersebut sedemikian, sehingga batas –
batas m. sternokleidomastoideus, angulus mandibula dan
medial klavikula tidak jelas lagi.
Difteri laring memberikan gejala – gelaja berupa :
batuk menggonggong
suara serak, stridor
tanda – tanda obstruksi pernapasan : sesak, retraksi dinding
toraks, sianosis.
Difteri laring mudah didiagnosis secara klinik bila ada difteri
tonsil dan faring. Bilamana tidak ada tanda – tanda difteri
tonsil dan maka diagonosis difteri laring harus dibantu dengan
pemeriksaan laringoskopi.
III.2. Bakteriologik
Preparat apusan langsung dan biakan (isolasi kuman difteri) dari
bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (naso faringeal swab).
Dalam penanganan penyakit difteri, gambaran klinik merupakan
pegangan utama dalam menegakkan diagnosis, karena setiap
keterlambatan pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita.
Pemeriksaan laboratorium bertujuan sebagai pemeriksaan
penunjang / konfirmasi diagnosis klinik.
IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG PENATALAKSANAAN 2,4,5,9,10
74
IV.1. Tujuan :
untuk konfirmasi diagnosis
untuk menentukan adanya komplikasi
untuk pengamatan lanjut selama perawatan
untuk mempertimbangkan prognosis
IV.2. Jenis Pemeriksaan
IV.2.1. Pemeriksaan bakteriologis : berupa preparat apusan dan
biakan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorokan (nasofaringeal swab).
2.2. Darah rutin (Hb, leukosit, hitung jenis).
2.3. Urine lengkap (aspek, protein & sedimen)
2.4. Enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit
2.5. Ureum dan kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal.
2.6. EKG dilakukan sejak hari I perawatan kemudian secara
serial minimal 1x / minggu kecuali bila ada indikasi bisa
dilakukan 2-3x / minggu.
V. PENATALAKSANAAN 2,4,5,6,7,8,9,10,11,13,14,15,16
Ada dua tindakan :
V.1. Spesifik.
V.2. Umum
V.1. Spesifik
V.1.1. Tujuan :
menetralisasi toksin
eradikasi kuman
menanggulangi infeksi sekunder
V.1.2. Jenis tindakan :
Ada 3 jenis pengobatan :
V.1.2.1. Serum Anti Difteri (SAD)
75
Dosis diberikan berdasarkan atas luasnya membran dan
beratnya penyakit :
- Dosis 40.000 IU (untuk difteri sedang) : bila membran
terbatas pada tonsil saja yaitu sebagian / seluruh tonsil
secara unilateral atau bilateral.
- Dosis 80.000 IU (untuk difteri berat) : bila membran meluas
melewati tonsil yaitu meluas ke uvula, palatum molle,
dinding faring.
- Dosis 120.000 IU (untuk difteri sangat berat) : bila ada bull
neck, kombinasi difteri faring dan laring, komplikasi berupa
miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus – kasus lanjut.
SAD diberikan dosis tunggal melalui IV (drips)
dengan cara melarutkan dalam 200 cc NaCI 0,9%, pemberian
selesai dalam waktu 2 jam (34 tetes permenit).
SAD merupakan serum heterolog dapat menimbulkan efek
samping berbahaya, karena itu setiap pemberian SAD harus
dilakukan :
1. Uji kepekaan sebelum pemberian SAD untuk menentukan
kemungkinan peka/serasi terhadap serum heterolog.
2. Pengawasan (tanda – tanda vital dan reaksi lain) selama dan
setelah pemberian SAD (terutama sampai 2 jam setelah
pemberian SAD).
3. Adrenalin 0,01 cc/kg BB secara I.M. maksimal diulang sampai
3 x dengan interval 5-15 menit.
4. Sarana dan penanggulangan reaksi renjatan anafilaktik harus
tersedia.
Uji kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Test kulit :
0,1 cc pengenceran 1 : 10 SAD dengan NaCI
0,9% secara intrakutan.
Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
76
Dianggap positif bila teraba indurasi dengan
diameter paling sedikit 10 mm.
Test mata :
1 tetes pengenceran 1 : 10 SAD dengan NaCI 0,9 %
diteteskan pada salah satu kelopak bagian bawah.
1 tetes NaCI 0,9 % digunakan sebagai kontrol pada
mata lain.
Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
Dianggap positif bila mata yang ditetesi SAD
menunjukkan tanda – tanda konyungtivitis (merah +
bengkak + lakrimasi) bila positif di obati dengan 1
tetes adrenalin 1 : 1000.
Bila salah satu uji kepekaan positif, SAD tidak boleh diberikan
sekaligus tapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang
ditingkatkan secara perlahan – lahan (desensibilisasi) dengan
interval 20 menit, SAD diencerkan dalam NaCI 0,9 % sebagai
berikut :
0,05 cc dari pengenceran 1 : 20 secara s.c.
0,1 cc dari pengenceran 1 : 20 secara s.c.
0,1 cc dari pengenceran 1 : 10 secara s.c.
0,1 cc tanpa pengenceran secara s.c.
0,3 cc tanpa pengenceran secara i.m.
0,5 cc tanpa pengenceran secara i.m.
0,1 cc tanpa pengenceran secara i.v.
SAD yang sisa diberikan melalui i.v secara drips. Jika ada
reaksi dari penderita (tanda – tanda anafilaktik) segera
berikan adrenalin 1 : 1.000.
V.1.2.2. Antibiotik
Penisilin prokain 100.000 SI/kg BB / hari i.m selama
10 hari, dosis maksimal 3 gr / hari.
77
Bila alergi terhadap penisilin maka diberikan
eritromisin 50 mg / kg BB/hr, secara oral 3-4x / hari selama
10 hari.
V.1.2.3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian pada difteri berat dan sangat berat
(membran luas, komplikasi & bull neck).
Dosis prednison 2 mg/kg BB/hari selama 3 minggu atau
deksametason 0,5-1 mg/kg BB/hari secara IV (terutama
untuk toksemia).
V.2. Pengobatan Umum
2.1. Tujuan :
Mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi.
Mempertahankan / memperbaiki keadaan umum.
Mengatasi gejala atau akibat yang timbul.
2.2. Jenis tindakan
2.2.1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu. Penderita
dirawat dalam ruang isolasi.
2.2.2. Menjamin masukan cairan dan makanan penderita.
Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk
hal ini dapat diberi makanan lunak, saring / cair, bila
perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan
(terutama paralisis palatum molle dan otot – otot faring).
2.2.3. Menjamin kemudahan defekasi penderita. Untuk ini
kalau perlu diberikan obat – obat membantu defekasi
(misalnya klisma, laksansia atau stool softener) untuk
mencegah mengedan berlebihan.
2.2.4. Bila anak gelisah beri sedatif, diazepam atau luminal.
2.2.5. Pemberian antitusif untuk mengurangi batuk (difteri
laring).
78
2.2.6. Aspirasi sekret secara periodik terutama untuk difteri
laring.
2.2.7. Bila ada tanda – tanda obstruksi jalan napas:
Oksien
Tindakan trakeostomi disesuaikan dengan tingkat
dispnu laringeal menurut Jackson :
I. Penderita tenang dengan cekungan ringan
suprasternal.
II. Retraksi suprasternal lebih dalam
ditambah cekungan epigastrum dan penderita
mulai gelisah.
III. Retraksi supra dan infrasternal,
supraklavikular, interkostal dan sangat gelisah.
IV. Penderita sangat gelisah, kekuatan, muka
pucat kelabu, kemudian akibat kehabisan tenaga
nampak seolah – olah tenang, tertidur dan
akhirnya meninggal karena asfiksia.
Indikasi trakeostomi bilamana penderita sudah
masuk ke tingkat II dan ke III.
VI. PENGAMATAN LANJUT 2,4,5,11,12,15
VI.1. Tujuan :
Untuk mengevaluasi penyembuhan.
Untuk mengawasi kemungkinan terjadinya
komplikasi.
VI.2. Jenis Tindakan
2.1. Pemeriksaan fisis terdiri dari :
Aktivitas / kesadaran, suhu, nadi, tekanan darah,
pernapasan (perubahan respirasi, stridor dan tanda – tanda
retraksi).
79
Terbentuknya membran baru (minimal 12 jam
selesai pemberian SAD).
Perubahan suara dan cara makan penderita.
Kelancaran defekasi.
Bunyi jantung, irama jantung, frekuensi jantung dan
pembesaran jantung.
Pengawasan harus dilakukan secara terus menerus.
2.2. Pemeriksaan EKG secara serial.
VII. PERAWATAN PASCA TRAKEOSTOMI 3,11,13
Memerlukan perhatian lebih banyak
Kanula diikat kuat di belakang leher dan diusahakan jangan sampai
terlepas waktu batuk / ditarik oleh anak sendiri.
Mengusahakan agar keluar masuknya udara pernapasan cukup lambat
dan bersih dengan cara menutup lubang kanula dengan kasa yang
dilembabkan.
Oksigen tambahan perlu untuk meringankan pernapasan penderita.
Aspirasi lendir secara steril, kateter yang masuk lebih kurang 2x
panjang kanula (3-4 inchi) kemudian ditarik 1 cm dan sedapat mungkin
diputar 3600 pada waktu pengisapan, agar semua permukaan terkena
isapan. Lamanya pengisapan 5-10 detik (maksimum 15 detik),
diberikan tenggang waktu minimal 3 detik untuk pengisapan
selanjutnya.
Awasi tanda – tanda sumbatan pada kanula maupun jalan napas
bagian bawah a.l : perubahan respirasi, retraksi supra sternal,
perubahan warna kulit dan kegelisahan.
Anak kanula harus dilepas minimal 3x / hari dan dicuci bersih dengan
Hidrogen peroksida, dikeringkan dan dipasang kembali.
Kanula dilepas bila tidak tampak lagi tanda – tanda obstruksi
pernapasan.
80
Luka trakeostomi setelah kanula diangkat tidak dijahit tapi dibiarkan
menutup sendiri. Perawatan luka cukup dengan menutup kasa steril.
VIII. TINDAKAN KHUSUS 2,4,9,10,14,18,19
1. Miokarditis
Biasanya timbul pada akhir minggu II atau awal minggu III
perjalanan penyakit difteri.
Pemeriksaan fisis : Irama derap, bunyi jantung melemah dan
redup, kadang – kadang ditemukan tanda – tanda payah jantung.
Gambaran EKG : depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok
AV, BBB, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan
interval DT.
Laboratorium : kadar enzim jantung meningkat (LDH, CPK, SGPT,
SGOT).
Radiologi : dapat ditemukan jantung membesar bila terdapat
gagal jantung.
2. Kolaps perifer.
Terjadi pada akhir minggu I perjalanan penyakit.
Tanda – tanda renjatan berupa tekanan darah menurun (sistol
80 mmHg) dan tekanan nadi menurun ( 20 mmHg), kulit
berwarna keabu – abuan, dingin dan basah disertai anak gelisah.
Jenis tindakan :
Tirah baring minimal 2 minggu.
Hindari kerja jantung berlebihan (makanan lunak, klisma dan obat
penenang).
Kortikosteroid, yaitu deksametason 1 mg/kg BB / hari secara IV.
Digitalisasi diberikan hati – hati untuk mengatasi payah jantung.
Atasi renjatan yang timbul dengan :
Pemberian cairan IVFD (tergantung dari derajat renjatan).
81
Berikan obat – obat inotropik, misal : dopamine 5-20 ug/kg
BB/menit per drips.
Pemberian oksigen.
Bila perlu dipasang pace maker untuk mengatasi aritmia yang
berat.
IX. PEMULANGAN PENDERITA
Bila kelainan klinis / fisis telah menghilang.
Biakan 2x berturut – turut negatif (bila keadaan
memungkinkan).
EKG 3x berturut – turut normal.
Tidak ada kesulitan dalam pemberian makanan dan
defekasi.
Sebelum penderita dipulangkan, penderita dan
saudara – saudaranya atau anggota keluarga lain yang serumah
(nonimun) diberikan vaksinasi dasar difteri dan booster.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amrin Alkamar, Pelupessy JMCH, Makaliwy Ch.
Difteri di bagian anak RSU Ujung Pandang.
LIKA FK-UNHAS, 1985; 2 : 273-81.
2. Behrman RE, Vaughan VC, eds.
Nelson textbook of pediatrics. 13 th ed.
Tokyo, Sydney : Igaku – Shoin, 1987 : 593-6.
3. Faried Kaspan, Dwi Atmaji S, Moersintowarti BN, Parwati Setiono,
Ismoedijianto, Soegeng S, Widodo Darmo W, Partana L.
Difteri. Pedoman diagnosis dan terapi.
Surabaya : Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak FK-UNAIR 1988 : 14-7.
4. Feigin RD, Stechenberg BW.
Diphtheria.
82
In : Feigin RD and Cherry JD, eds.
Test book of pediatric infectious diseases. 2nd ed.
Philadelphia, London, Toronto : WB Saunders Co, 1987 : 1134-40.
5. Forbes JA
Diphtheria.
Medicine Internastional, 1989; 3 : 2141-4.
6. Hamson Hamzah, Hurtaman Tjokrohusada.
Efektifitas pengobatan difteri berat dengan ADS dosis tunggal dan
tinggi.
MKB, 1986 : 19 (2) : 96-9.
7. Husain Albar, Makaliwy Ch, Pelupessy JMCH.
Difteri farings larings.
LIKA FK-UNHAS, 1986; 3 : 28-34.
8. Ismoedijanto, Parwati SE, Dwi Atmadji Soejoso, Moersintowarti
BN, Faried Kaspan.
Tatalaksana penderita difteri.
Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak, 1984; 9 : 41-51.
9. Kempe CH, Silver HK, O Brien D, Fulginiti VA.
Current pediatric diagnosis and treatment. 9 tahun ed.
Singapore : Maruzen Asia Edition, 1987 : 864-5.
10. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfert
CM.
Infectious diseases of children. 8th ed.
Saint Louis : CV Mosby Co, 1985 : 22-31.
11. Lubis CP, Nurbafri Ny. Yazid E, Siregar Z.
Penatalaksanaan difteri pada anak di BIKA FK-USU/RS
Dr. Pirgadi Medan.
Majalah Dokter Keluarga, 1986; 5 (10) : 542-4.
12. Lubis CP, Manihar D, Marbun, Sutanto AH.
Anti difteri serum (ADS) intravena pada difteri.
Medika Februari, 1989; 2 : 138-41.
83
13. Makaliwy CH.
Difteri.
Diktat Kuliah infeksi Ilmu Kesehatan Anak FK-UNHAS 1987
14. Nalley SW.
Kortikosteroid pada penyakit difteri.
Karya akhir Dokter Spesialis I.
Fakultas Pasca sarjana UNHAS Ujung Pandang 1987.
15. Parwati SB, Dwi Atmaji S, Widodo DW.
Pengalaman penggunaan DAS intravena pada anak.
Surabaya : Laporan penelitian aboratorium Ilmu Kesehatan Anak Unair
1987.
16. Sirisanthana V.
Prevention and Management of difteria.
J Pediatr Obstert Gynaecol, 1987; 13 (4) : 12-20.
17. Sudiantoro JE, Teluk Sebodo, Saryanto,
Setiyono, Saliki Ismangoen.
Intramuscular and Intravenous ADS Treatment A Comparison of
Efficacy.
Paediatr Indones, 1986; 26 : 2-8.
18. Thehumury D, Pelupessy JMCh, Makaliwy
Ch.
Miokarditis difteri.
LIKA FK-UNHAS, 1984 : 9-14.
19. Zainal A. Amiruddin, Pelupessy JMCh,
Makaliwy Ch.
Difteri faring.
LIKA FK-UNHAS, 1984; 1 : 301-4.
84