Referat Anak Difteri (Isi

29
BAB I PENDAHULUAN Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun karier. Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat 1

Transcript of Referat Anak Difteri (Isi

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,

disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan

pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.

Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia

merupakan salah satu reservoir dari bakteri.

Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada

kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala -

gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang

dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman

antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun

karier.

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan

segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya

yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang

mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-

kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri

banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang

buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri

meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama pada

golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya Program

Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun

secara drastis.

1

BAB II

DIFTERI

2.1. Definisi

Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-

membran pada kulit dan atau mukosa.

2.2. Etiologi

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif,

tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati

pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan

pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V,

atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman

tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada

media yang mengandungK-tellurit atau

media Loeffler. Pada membrane mukosa

manusia Corynebacterium diphtheria

dapat hidup bersama-sama dengan

kuman diphtheroid saprofit yang

mempunyai morfologi serupa, sehingga

untuk membedakan kadang diperlukan

pemeriksaan khusus dengan cara

fermentasi glikogen, kanji, glukosa,

maltose dan sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,

intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas

sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan

mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan

mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.

diphtheria. Ciri khas C. diphtheria adalah kemampuan memproduksi

eksotoksin baik in vivo dan in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein

dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai

Gambar 1. Morfologi

Corynebacterium diphtheria

2

2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-

terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin

dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.

diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

Gambar 2. Toxin difteria dan reseptor toxin pada difteria

2.3. Epidemiologi

Difteria tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun secara

nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian

pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang

perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.

Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria

setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke

tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130

kasus dengan angka kematian 3,08%.

Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun

demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut ilmu

tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi,

pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,

merupakan faktor penting terjadinya penyakit. Angka kesakitan dan

kematian tahun 1992-1996 di Rumah Sakit Provinsi Jakarta, Semarang,

Bandung, Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi.

3

Tabel 1 Jumlah Kasus Difteria dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit

Propinsi di Indonesia

Keterangan :

*m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo,

Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

RSWS = RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo,

Ujung Pandang

RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang

RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang

Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier

melalui droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara.

Muntahan/ debu bisa merupakan wahana penularan (vehicles of

transmission).

2.4. Patogenesis dan Patofisiologis

Kuman C. diphtheria masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta

berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan

mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya

menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.

Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan

protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari

penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang

mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino

ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk pelipeptida

sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi

4

Tahun RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

1991 22 50 28 10.7 0 0 70 8.6 32 21.9

1992 25 32 26 7.7 12 0 34 5.9 19 26.3

1993 19 26.3 18 0 7 0 12 0 16 62.5

1994 16 18.8 12 0 10 10 8 0 13 46.2

1995 2 5 6 0 4 0 9 11.1 7 14.3

1996 7 28.6 3 0 1 0 11 0 14 42.9

ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptide dari

kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim

translokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel degan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi

enzim translokase melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-

EF2(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini

menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk

rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis

tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi

lokal bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang

semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi

semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu

membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, sel radang,

eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi

perdarahan. Selanjutnya membran akan

terlepas sendiri pada masa

penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang

dapat terjadi infeksi sekunder dengan

bakteri (misalnya, Streptococcus

pyogenes). Membran dan jaringan

edematus dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa

terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakea-

bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan

pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri

hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel,

Gambar 3. Patofisiologi Difteria pada tubuh

5

tetapi tidak dapat menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke

dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya

terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-

7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan

degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung

tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan

sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan

fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi

lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia,

kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

2.5. Manifestasi Klinis

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa

bervariasi dari tanpa gejala sampa keadaan/penyakit yang hipertoksik serta

fatal. Sebagai faktor primer adalah

imunitas pejamu terhadap toksin difteria,

virulensi serta toksigenitas C. diphtheria

(kemampuan kuman membentuk toksin),

dan lokasi penyakit secara anatomis.

Faktor lain termasuk umur, penyakit

sistemik penyerta dan penyakit pada

daerah nasofaring yang sudah ada

sebelumnya. Difteria mempunyai masa

tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya

datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.

Demam jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada

lokalisasi penyakit difteria.

2.5.1 Difteria Hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala

pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung

Gambar 3. Manifestasi klinis dari C.

difteria pada manusia

6

berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,

menyebabkan lecet pada nares dan bibis atas. Pada pemeriksaan tampak

membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan

gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

Tabel 2. Distribusi Kelompok Umur Kasus Difteria

Keterangan :

*m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo,

Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

RSWS = RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo,

Ujung Pandang

RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang

RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang

Data tahun 1991-1996

2.5.2 Difteria Tonsil Faring

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan

dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,

berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke

uvula dan palatum molle atau ke bawah ke

laring dan trakea. Usaha melepaskan

membran akan mengakibatkan

pendarahan. Dapat terjadi limfadenitis

servikalis dan submandibular, bila

limfadenitis terjadi bersamaan dengan

edema jaringan lunak leher yang luas,

timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin

dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan

7

Gambar 4. Membran berwarna putih

kelabu yang menutup

tonsil dan dinding faring

pada difteria faringitis

Kelompok

Umur

(Tahun)

RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

<1 3 0 6 16.6 0 0 105 0 15 26.7

1-4 66 31.8 48 8.3 19 0 39 6.7 40 26.3

5-9 30 36.7 30 0 10 10 0 0 42 37.5

>10 2 0 9 0 5 0 0 0 4 38.1

Jumlah 101 31.7 93 5.3 34 2.9 144 6.3 101 34.7

atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun

bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,

kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,

penyembuhan terjadi berangsung-angsur dan bisa disertai penyulit

miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam

7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Gambar 5. (a). Pewarnaan Methylene blue pada Corynebacterium diphtheriae (ukuran

: 1–8 m).μ   (b) Gambaran bentuk Pseudomembrane pada sekitar

trakea. (c) Bull-neck terjadi pada pembesaran kelenjar getah bening region

cervival

Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan

trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria

faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan

toksemia.

2.5.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan difteria

telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit

berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.

Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada

konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva

palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan

berbau

8

Tabel 3. Manifestasi

Klinis Difteria

Keterangan :

*m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo,

Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang

RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang

Data tahun 1991-1996

2.6Diagnosis

Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,

oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien.

Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.

9

Gambar 6. Lesi pada Difteria Kulit

Gejala Klinis RSCM RSHS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

Demam

<2 hari 12 18.2 58 62.4 40 27.8 13 12.9

>2 hari 54 81.8 35 37.6 104 72.3 88 87.1

Obtruksi Laring

Derajat I 7 10.6 0 0 13 9.0 17 16.8

Derajat II 4 6 12 12.9 5 3.5 21 20.8

Derajat III 11 16.7 36 36.7 0 0 18 17.8

Derajat IV 10 15.2 8 6.6 59 3.5 23 22.8

Bullneck 39 59 31 33.3 37 25.7 36 35.6

Miokarditis 29 43.9 12 12.9 5 3.5 29 28.7

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody

technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan

isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan

dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).

(a) (b) (c)

Gambar 7. Pembiakan bakteri difteri dengan (a) agar darah; (b) McLoed’s agar plate

culture; (c) Cystine tellurite plate culture

2.7 Diagnosis Banding

Difteria Hidung

Penyakit yang menyerupai Difteria hidung adalah

rhinorrhea(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam

hidung, snuffles (lues kongenital).

Difteria Faring

Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang

disebabkan oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat),

mononucleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial,

tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca

tonsilektomi.

Difteria Laring

Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai

infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema

pada laring, dan benda asing dalam laring.

Difteria Kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang

disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus.

10

2.8 Penyulit

Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat

aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam

obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan

ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.

Obtruksi jalan nafas

Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria

atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan

servikal.

Dampak toksin

Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa

miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat

dan biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan

pengobatan antitoksin.

Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,

tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada

minggu ke-6.

Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung

redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal

jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi

segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,

terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi

kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi

sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata

biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu

ke-5 dan ke-7.

Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai

hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor

serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke

-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan

kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi

11

kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal

jantung.

Infeksi sekunder bakteri

Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder

bakteri sudah sangat jarang terjadi.

Tabel 4. Penyulit pada Difteria

Keterangan :

*m = Meninggal

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunokusumo,

Jakarta

RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

RSK = RS. Dr. Kariadi, Semarang

RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein, Palembang

Data tahun 1991-1996

2.9 Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik

daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di

Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih

dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.

Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat

disebabkan oleh karena

1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana

difteria

2) adanya miokarditis dan gagal jantung

3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit

difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun

demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

12

Penyulit RSCM RSHS RSK RSU PMH

Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

Obstruksi

Laring

32 46.9 47 2.1 28 17.9 79 31.6

Miokarditis 29 51.7 28 14.2 5 80 29 31.0

Paralisis 1 0 0 0 0 0 9 11.1

2.10 Imuninasi

Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal

terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat

bertahan selama 2-3 hari. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah

menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid

difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji

Moloney.

Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seorang

terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria

yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak

mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan nekrosis jaringan; maka

hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila seorang mempunyai

antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak menimbulkan reaksi dan hasil

dinyatakan negatif.

Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap produk

bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan

toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul

eritema > 10 mm, yang berarti bahwa seorang telah mempunyai

“pengalaman” dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi

hipersensitivitas. Kerugian uji kepekaan Moloney, toksoid difteria bisa

mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria

(alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus

dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP. Potensi toksoid difteria

dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1Lf adalah

jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid

difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara

6,7 – 25 Lf dalam dosis 0,5 ml. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak,

dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan usia 5 tahun

atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6

bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang

13

mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki

kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis.

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata

memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif

0.01 IU). Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid

difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa penelitian

serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu

tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Booster pada sangat

diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik setahun setelah

DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.

Beberapa sediaan vaksin yang berisi toksoid difteria selain DTwP dan

DTaP, antara lain :

Vaksin DT, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 5 tahun (pada

anak yang telah mendapatkan vaksin DTP sebelumnya) atau imunisasi

dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP. Pada

ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali dengan

interval minimal 1 bulan.

Gambar 8. Beberapa jenis vaksin DTP; (a) DTP-HB; (b) Adsorbed Td Vaccine; (c) Adsorbed

DT Vaccine

Vaksin Td, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 7 tahun (pada

anak yang telah mendapatkan vaksin DTP/DT sebelumnya) atau

imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi

DTP/DT. Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal

dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri

hanya seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri pada

14

DTP atau DT. Vaksin ini (adult type diphtheria vaccine) digunakan juga

untuk booster setiap 10 tahun pada seluruh penduduk.

Vaksin TdaP, merupakan vaksin Td yang ditambah dengan komponen

aP, untuk mengatasi masalah pertusis pada dewasa yang merupakan

sumber penularan untuk kelompok bayi dan anak. Digunakan untuk

menguatkan kembali kekebalan terhadap tetanus dan sekaligus difteri

dan pertusis.

Gambar 9. Jadwal Imunisasi Anak Rekomendasi IDAI, tahun 2011

2.11 Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang

terjadi minimal, mengeliminasi C.diptheriae untuk mencegah penularan

serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-

3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria

laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara

dengan menggunakan humidifier.

Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

15

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.

Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian

pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari

hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai

30%.

Tabel 5. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian

Difteria hidung 20.000 Intramuskular

Difteria tonsil 40.000 Intramuskular atau intravena

Difteria faring 40.000 Intramuskular atau intravena

Difteria laring 40.000 Intramuskular atau intravena

Kombinasi lokasi di atas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000 – 120.000 Intravena

Terlambat pengobatan (>72

jam), lokasi dimana saja

80.000 – 120.000 Intravena

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata

terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi

anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam

semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1mL ADS dalam

larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif jika

bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan

dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.

Pada mata lain yang diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila

dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan

lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara

desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas

negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS

ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,

tidak tergantung pada berat badan pasien berkisar antara 20.000 –

120.000 KI seperti yang tertera pada tabel 5.

Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau

100mL glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap

16

kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama

pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula

perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum

sickness).

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,

melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi

toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10

hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan

eritromisin 40 mg/kgBB/hari.

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini

pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus

difteria yang disertai gejala :

o Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak

bullneck)

o Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid

untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan

dosisnya secara bertahap.

Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika

tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel.

Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang

progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

Pengobatan kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai

tindakan berikutnya terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokan

serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,

pemeriksaan serologis dan observasi harian. Anak yang telah mendapat

imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

17

Pengobatan karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai

uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tabel 6. Pengobatan terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-)Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar

diberikan booster toksoid difteria

(+) (-)

Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/ hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1

minggu

(+) (+)Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40

mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+)Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status

imunisasi

2.12 Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah anak

menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga

perlu imunisasi.

Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan

karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap,

mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai

antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan soerang

menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita

difteria ringan.

18

BAB III

KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan

segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam

mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di

berbagai tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena

pada anak yang kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas.

Penyebab dari penyakit difteri adalah C diphtheriae yang merupakan kuman

gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan

memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari,

dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C.

Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,

difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri

konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri

tonsil faring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian

antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari

penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran

bagian dalam (kultur).

Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.

diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif

untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan

penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan

diagnosis, dan perawatan umum.

19

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan

memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan

pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak kurang dari 7 tahun

dan pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih dari 7 tahun.

20

DAFTAR PUSTAKA

Dr. T.H.Rampengan, SpA (k) dan Dr. I.R. Laurentz, SpA. 1992. Penyakit Infeksi

Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18

21