lambosetungkung.weebly.comlambosetungkung.weebly.com/.../4124636/karya_ilmiah_13.docx · Web...
Transcript of lambosetungkung.weebly.comlambosetungkung.weebly.com/.../4124636/karya_ilmiah_13.docx · Web...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Mengenal Cerpen adalah
Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya. Artinya, pengarang tidak
dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius yang kemudian dengan elegannya menciptakan
suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pemikiran,
refleksi, dan rekaman budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya
sendiri dan masyarakat. Karya sastra juga merupakan suatu kerucutisasi subjektif pengarang
dalam memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan terhadap suatu hal.
Menurut Zainuddin (1992:99), sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa
kesusastraan. Standar kesusastraan yang dimaksud adalah penggunaan kata-kata yang indah,
gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik. Sedangkan menurut Walek dan Warren
(1995:109), sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan
gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kehidupan sosial.
Salah satu negara di Asia yang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan yang karya sastranya
telah banyak dibaca dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa adalah Jepang. Jepang
mengenal kesusastraan lisan dan kesusastraan tulisan.
Pada umumnya, karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua bagian yaitu, karya
sastra yang bersifat fiksi dan nonfiksi. Karya sastra yang bersifat fiksi berupa novel, cerpen,
esei, dan cerita rakyat. Sedangkan karya sastra yang bersifat nonfiksi berupa puisi, drama dan
lagu (articlesarchive.desihanara.com).
Menurut Aminuddin (2000:66), fiksi adalah kisah cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku
yang tertentu yang bertolak dari imajinasi pengarang sehingga menjalin suatu cerita. Dengan
demikian karya sastra fiksi merupakan suatu karya sastra naratif yang bersifat rekaan,
khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi bukan karena keadaan yang nyata sehingga tidak
perlu dicari kebenarannnya, karena tokoh, peristiwa, tempat yang mendukung cerita itu
seluruhnya bersifat imajiner.
Salah satu karya sastra fiksi adalah cerpen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerpen
adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal yang dominant dan memusatkan diri
pada satu tokoh dalam satu situasi.
Ajip Rosidi dalam Zen (2006:2) mengatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang
pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan
1
bahwa di dalam sebuah cerita pendek terdapat suatu kesatuan yang utuh yang mampu
menampilkan cerita yang baik dan menarik dengan isi cerita yang pendek.
Ada dua unsur yang membangun dan sangat berpengaruh dalam suatu karya sastra, yaitu
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri atau dengan kata lain unsur-unsur yang secara langsung turut serta
membangun cerita. Unsur-unsur yang dimaksud misalnya, tema, plot, latar, penokohan, sudut
pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik
adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi karya sastra tersebut atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai unsur-
unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi
bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut adalah kebudayaan, sosial, psikologis,
ekonomi, politik, agama, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengarang dalam karya
yang ditulisnya.
Cerpen mempunyai kedua unsur tersebut. Unsur intrinsik yang akan ditelaah dalam cerpen
adalah tokoh. Dalam Aminuddin (2000:79), tokoh merupakan pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita. Walaupun
tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia tetap
seorang tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari
darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Tokoh yang ditampilkan pengarang
dalam karyanya merupakan kebebasan kreativitas seorang pengarang. Pengarang bebas
menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-
tokoh cerita sesuai dengan keinginannya, bagaimanapun perwatakan, permasalahan yang
dihadapi, kondisi sosial masyarakat, dan lain-lain merupakan kebebasan dari pengarang.
Berbicara tentang hubungan manusia dalam masyarakat dalam suatu karya sastra berarti kita
berbicara tentang unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Hubungan manusia dalam
masyarakat pada karya sastra merupakan suatu unsur yang tidak berada di dalam karya sastra
tersebut tetapi mempengaruhi bangun cerita dari karya sastra tersebut.
Hubungan manusia yang terdapat dalam karya sastra fiksi merupakan hak seorang pengarang
untuk menampilkan bagaimana hubungan manusia/ tokohnya sehingga terdapat keserasian
dan kesesuaian antara tokoh dan jalan cerita yang dibuat oleh pengarang tersebut. Kondisi
sosiologis dapat kita lihat dari hubungan timbal balik dan hubungan yang tak terpisahkan
antara tokoh dan masyarakat di dalam cerita fiksi tersebut.
Salah satu sastrawan Jepang yang terkenal adalah Akutagawa Ryunosuke yang telah
memberikan banyak sumbangan dalam dunia sastra yang berupa karya sastra fiksi. Karya
2
sastra fiksi Ryunosuke banyak dikagumi oleh pembaca karya sastra di seluruh dunia. Salah
satu hasil karya sastra fiksi Ryunosuke adalah cerita pendek (cerpen). Banyak cerpen yang
telah dihasilkan Ryunosuke, salah satunya adalah cerpen yang berjudul “Imogayu”.
Cerpen “Imogayu” yang ditulis Akutagawa Ryunosuke merupakan cerpen yang berlatar pada
zaman Heian (794-1192). Tokoh utamanya adalah seorang goi (samurai pada zaman Heian
yang menduduki kelas paling rendah) yang tidak diketahui namanya dengan jelas. Goi itu
adalah seorang lelaki yang penampilannya sangat tidak menarik. Pertama, tubuhnya pendek,
hidungnya merah, ekor matanya turun, dan berkumis tipis. Pipinya yang cekung
menyebabkan dagunya tampak panjang, tidak seperti orang kebanyakan. Tampangnya sangat
aneh dan tidak menarik. Pakaian yang dikenakannya membuatnya semakin tidak menarik.
Dari hari ke hari yang dilakukan hanya melakukan pekerjaan yang sama. Siapapun yang
melihatnya tidak akan pernah berpikir bahwa ia pernah muda. Sepertinya, sejak lahir ia telah
memiliki hidung merah seperti orang kedinginan dan kumis tipis yang diembus angin sekitar
jalan Shujaku. Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya, ia
bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai sekelasnya tidak
mengacuhkan dan menganggapnya cuma bagaikan seekor lalat. Bahkan para pembantu yang
masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20
orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya. Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka,
mereka tidak peduli dan tetap saja mengobrol. Bagi mereka keberadaannya tampak seperti
udara belaka, seolah tidak kasat mata. Kalau para pembantu saja bersikap seperti itu, tentu
saja para samurai kelas atas jauh lebih tidak menghargainya lagi. Keberadaannya diabaikan
oleh hampir-hampir layaknya anak kecil yang tidak punya arti apa-apa. Mereka tidak
memikirkan Goi sama sekali. Padahal tidak sepenuhnya Goi bersalah karena terlahir dengan
fisik seperti itu. Tidak ada rasa sosial sama sekali. Berdasarkan itulah penulis tertarik dalam
skripsi yang berjudul “Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen ‘Imogayu’ Karya
Akutagawa Ryunosuke” dengan harapan dapat memberikan pandangan dan informasi kepada
pembaca tentang kondisi sosial tokoh Goi yang digambarkan Akutagawa Ryunosuke dalam
karya sastra yang telah melejitkan kepopulerannya itu.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1. Apa Definisi Cerpen ?
1.2.2. Apa Anatomi Cerpen?
1.2.3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Cerpen ?
1.2.4. Apa maksud dari Cerpen Konstelasi Sastra Indonesia?
3
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Fabel, diambil dari bahasa Belanda adalah cerita yang menggunakan hewan sebagai tokoh
utamanya. Misalkan cerita kancil atau cerita Tantri di Indonesia.
Banyak satrawan dan penulis dunia yang juga memanfaatkan bentuk fabel dalam
karangannya. Salah seorang pengarang fabel yang terkenal adalah Michael de La Fontaine
dari Perancis. Penyair Sufi Fariduddin Attar dari Persia juga menuliskan karyanya yang
termashur yakni Musyawarah Burung dalam bentuk fabel.
Biasa pada sebuah fabel tersirat moral atau makna yang lebih mendalam.
Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm)
yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata
prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa
biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide.
Fiksi adalah sebuah istilah sastra yang berarti tidak benar terjadi atau sebuah karangan
belaka.
Kata sifatnya atau adjektif adalah fiktif.
Fiktif adalah sebuah istilah sastra. Kata sifat adjektif ini berarti tidak benar terjadi atau
sebuah karangan belaka.
Kata nominalnya adalah fiksi.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir semester genap
1.5. Sistematika Penyajian
Karya ilmiah ini terdiri dari 3 Bab,yaitu BAB I Pendahuluan,BAB II
Pembahasan,BAB III Penutup.Masing-masing bab memiliki subbab dengan garis besar isinya
sebagai berikut,yaitu :
BAB I Berisi pendahuluan.Pada bab ini diuraikan Latar Belakang Masalah,Rumusan
Masalah,Ruang Lingkup Masalah,Tujuan Penelitian,Metode Penelitian dan Sitematika
Penyajian.
BAB II Memaparkan pembahasan.Pada bab ini diuraikan beberapa penjelasan.
Selanjutnya,bagian terakhir yaitu BAB III.
BAB III menguraikan kesimpulan dari penulis dan saran-saran yang ditujukan bagi
para pembaca dan penulis lain.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
Cerita pendek
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.
Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi
yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya,
cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema,
bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya
bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan
cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya
novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-
contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.
Sejarah
Asal-usul
Cerita pendek bermula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal
seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi
yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk
mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-
naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya
baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon
dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani
yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari
bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal
sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah
Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang
binatang sebagai pemeran(tokoh) utama. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil,
dan sebagainya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita
kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau Mitos lebih mengarah pada cerita yang
terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul.
5
Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul
terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran
Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang
mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan
dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di
Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley
diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal
abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan
karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang
terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang
ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun
perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian
dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis
karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan,
istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang
diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-
an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling
terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu
Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12)
menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire,
Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.
Cerita-cerita pendek modern
Cerita-cerita pendek modern muncul sebagai genrenya sendiri pada awal abad ke-19. Contoh-
contoh awal dari kumpulan cerita pendek termasuk Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara
(1824–1826), Evenings on a Farm Near Dikanka (1831-1832) karya Nikolai Gogol, Tales of
the Grotesque and Arabesque (1836), karya Edgar Allan Poe dan Twice Told Tales (1842)
karya Nathaniel Hawthorne. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan majalah dan jurnal
melahirkan permintaan pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000 hingga 15.000 kata
panjangnya. Di antara cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada periode ini adalah
"Kamar No. 6" karya Anton Chekhov.Pada paruhan pertama abad ke-20, sejumlah majalah
terkemuka, seperti The Atlantic Monthly, Scribner's, dan The Saturday Evening Post,
6
semuanya menerbitkan cerita pendek dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita
pendek yang bermutu begitu besar, dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga
F. Scott Fitzgerald berulang-ulang menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai
utangnya.Permintaan akan cerita-cerita pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada
pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952 majalah Life menerbitkan long cerita pendek
Ernest Hemingway yang panjang (atau novella) Lelaki Tua dan Laut. Terbitan yang memuat
cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam dua hari.Sejak itu, jumlah majalah komersial
yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah berkurang, meskipun beberapa majalah terkenal
seperti The New Yorker terus memuatnya. Majalah sastra juga memberikan tempat kepada
cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita pendek belakangan ini telah menemukan napas
baru lewat penerbitan online. Cerita pendek dapat ditemukan dalam majalah online, dalam
kumpulan-kumpulan yang diorganisir menurut pengarangnya ataupun temanya, dan dalam
blog.
Unsur dan ciri khas
Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek
biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang
tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.
Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti
tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya),
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh utama);
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat,
krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu
langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang
mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik
dipecahkan); dan moralnya.
Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak. Sebagai
contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum
adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-
cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks, atau titik balik.
Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat
mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.
Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuath cerita pendek berbeda-beda
menurut pengarangnya.
Cerpen juga memiliki [unsur intrinsik] cerpen.
7
Ukuran
Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang
adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia
harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai
Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi lainnya
menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam
penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang
panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.
Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction).
Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam
novelette, novella, atau novel.
Genre
Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling banyak
diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dan lain-lain. Cerita
pendek kini juga mencakup bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa liris dan varian-
varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.
Cerita pendek
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.
Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi
yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya,
cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema,
bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya
bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan
cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya
novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-
contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.
Sejarah
Asal-usul
Cerita pendek bermula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal
seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi
yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk
mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-
8
naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya
baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon
dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani
yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari
bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal
sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah
Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang
binatang sebagai pemeran(tokoh) utama. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil,
dan sebagainya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita
kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau Mitos lebih mengarah pada cerita yang
terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul.
Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul
terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran
Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang
mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan
dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di
Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley
diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal
abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan
karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang
terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang
ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun
perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian
dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis
karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan,
istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang
diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-
an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling
terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu
9
Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12)
menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire,
Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.
Cerita-cerita pendek modern
Cerita-cerita pendek modern muncul sebagai genrenya sendiri pada awal abad ke-19. Contoh-
contoh awal dari kumpulan cerita pendek termasuk Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara
(1824–1826), Evenings on a Farm Near Dikanka (1831-1832) karya Nikolai Gogol, Tales of
the Grotesque and Arabesque (1836), karya Edgar Allan Poe dan Twice Told Tales (1842)
karya Nathaniel Hawthorne. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan majalah dan jurnal
melahirkan permintaan pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000 hingga 15.000 kata
panjangnya. Di antara cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada periode ini adalah
"Kamar No. 6" karya Anton Chekhov.Pada paruhan pertama abad ke-20, sejumlah majalah
terkemuka, seperti The Atlantic Monthly, Scribner's, dan The Saturday Evening Post,
semuanya menerbitkan cerita pendek dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita
pendek yang bermutu begitu besar, dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga
F. Scott Fitzgerald berulang-ulang menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai
utangnya.Permintaan akan cerita-cerita pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada
pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952 majalah Life menerbitkan long cerita pendek
Ernest Hemingway yang panjang (atau novella) Lelaki Tua dan Laut. Terbitan yang memuat
cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam dua hari.Sejak itu, jumlah majalah komersial
yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah berkurang, meskipun beberapa majalah terkenal
seperti The New Yorker terus memuatnya. Majalah sastra juga memberikan tempat kepada
cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita pendek belakangan ini telah menemukan napas
baru lewat penerbitan online. Cerita pendek dapat ditemukan dalam majalah online, dalam
kumpulan-kumpulan yang diorganisir menurut pengarangnya ataupun temanya, dan dalam
blog.
Unsur dan ciri khas
Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek
biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang
tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.
Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti
tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya),
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh utama);
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat,
10
krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu
langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang
mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik
dipecahkan); dan moralnya.
Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak. Sebagai
contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum
adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-
cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks, atau titik balik.
Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat
mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.
Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuath cerita pendek berbeda-beda
menurut pengarangnya.
Cerpen juga memiliki [unsur intrinsik] cerpen.
Ukuran
Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang
adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia
harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai
Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi lainnya
menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam
penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang
panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.
Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction).
Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam
novelette, novella, atau novel.
Genre
Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling banyak
diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dan lain-lain. Cerita
pendek kini juga mencakup bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa liris dan varian-
varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.
11
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sumber data
Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan dengan cara peninjauan
dan cara tinjaua kepustakaan menurut buku………………………………tinjauan
kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu mencari data dari kepustakaan misalnya
dari data buku jurnal masalah dan lain-lain.
Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan yang diteliti
namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat diolah.
3.2 Cara memperoleh data
a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang relevan dengan penelitian
yang akan dilakukan.
b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode penelitian
pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan satuan data
c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan bidang penelitian.
d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang tertera(analisis berpikir secara
kronologis)
3.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek penelitiannya berupa
pustaka yang memerlukan pemahaman dan penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal
yang berhubungan dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang
berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh data dikumpulkan dalam
catatan khusus.
3.4 Analisis data
` Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya dianalisis,proses analisis
dilakukan dengan cermat dan dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis
yang representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi.
12
BAB IV
PEMBAHASAN
Definisi Cerpen
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif
fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya
fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel.
Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra
seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang
lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan
cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya
novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-
contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.
13
Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan
memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan
bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan
penyelesaian. A. Bakar Hamid dalam tulisan “Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang
disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai:
antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan.
Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita
rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang
merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling
bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa
cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.1.1 Jenis
Cerpen
Jenis-jenis cerpen ada 3, yaitu :
Cerpen Kedaerahan
Contoh : - Rumah Untuk Kemenakan
- Gampong
- Orang Kaya Baru, dll
Cerpen Nasional
Contoh : - Jalan Soeprapto
- Jiwa Yang Terguncang
- Senyuman Terakhir, dll
Cerpen Pop
Contoh : - Perempuan Disimpang Tiga
- Roda Kehidupan
- Pelabuhan Makin Jauh
- Anggap Aku Bulan
- Kisah Dikantor Pos, dll
Anatomi Cerpen
Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang wajib ada
dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk menciptakan sebuah
cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga
disebut struktur cerita. Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya,
14
apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi
sebagai berikut:
1. Situasi (pengarang membuka cerita)
2. Peristiwa-peristiwa terjadi
3. Peristiwa-peristiwa memuncak
4. Klimaks
5. Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai
berikut:
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Penyelesaian
Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang seimbang.
Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita ini. KARAKTERISTIK
CERPEN2.1 Unsur-unsur Cerpen
Unsur-unsur yang terdapat pada cerpen ada 2, yaitu :
a. Unsur Intrinsik
b. Unsur Intrinsik adalah unsur yang mendukung dari dalam tubuh cerita tersebut.
Bagian-bagian unsur interinsik antara lain, :
1.. Tema :
Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi
sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi.
Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan
atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk
bercerita.
2. Amanat :
Yaitu pesan atau amanat yang ingin di sampaikan pengarang dalam bentuk tulisan.
3. Alur atau plot :
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu
atau sambung sinambungnya suatu cerita, dimana tidak hanya menjelaskan kenapa hal
itu terjadi, tetapi juga menjelaskan bagaimana hal itu terjadi.
Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
15
1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya:
cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen
Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio
Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2. Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun
tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga
pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam,
cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant,
pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan
lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya
R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.
Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup
dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan
cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita.
Contoh Godlobnya Danarto.
3. Campuran keduanya.
4. Penokohan :
Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata
hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya
sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan
karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting
bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin
(watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara,
diantaranya melalui:
1. Tindakan, ucapan dan pikirannya
2. Tempat tokoh tersebut berada
3. Benda-benda di sekitar tokoh
4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya
5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
5. Latar atau setting :
16
yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada
dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar
harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal,
padat, dan berkualitas.
6. Sudut Pandang Pengarang :
Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah
sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini
merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh
bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Ada 4 macam sudut pandang dalam bercerita :
1. Sudut pandang dari Yang Maha Kuasa : Pengarang seolah –olah maha tau,
pengarang ini menggambarkan semua tingkah laku para tokoh dan juga mengerti apa
yang dikerjakan oleh tokoh.
2. Sudut pandang dari Orang pertama : Pengarang menggunakan gaya akudalam
bercerita, sipengarang disini tidak tidak mewakili dari pribadinya tetapi seluruh
ceritanya itu tergantung pada watak tokoh aku.
3. Sudut pandang dari Orang ketiga atau peninjau : seorang pengarang menggunakan
gaya dia dalm bercerita, sudut pandang ini gabungan dari Yang Maha Kuasa dan Aku
yang dapat melukiskan jiwa dia tapi tidak dapat melukiskan yang lain.
4. Sudut pandang Objektif : Pengarang bertindak seperti dalam sudut pandang Yang
Maha Kuasa, tetapi pengarang tidak sampai menuliskan bathin tokoh-tokoh yang ada
dalam cerita.
7. Gaya Bahasa :
Yaitu cara khas pengungkapan seseorang, hal ini tercermin dalam pengarang memilih
kata-kata, tema, dan memandang persoalan.
Gaya Bahasa ada 2:
Gaya pengarang dalam bercerita
Gaya pengarang dalam bercerita biasanya menggunakan sudut pandang yang sudah
dijelaskan didepan tadi.
Gaya Bahasa pengarang dalam bercerita.
Gaya bahasa pengarang dalam bercerita diperlukan karena untuk memperkuat daya lukis agar
tercapai efek yang dikehendaki. Biasanya pengarang menggunakan kata-kata khusus karena
semakin umum istilah yang dipakai, semakin kabur gambaran cerita yang kita sajikan.
Sebaliknya semakin khusussemakin hidup lukisan gambaran ceritanya. Makna-makna khusus
17
tersebut terdapat pada bahasa yang menggunakan majas. Gaya bahasa yang sering dipakai
dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
Majas Perumpamaan / Asosiasi
yaitu gaya bahasa yang memperbandingkan benda yang satu dengan benda yang lain dengan
apa yang dilukiskan. Contoh :
Bibirnya merah bagai buah delima.
Kedua anak itu seperti pinang dibelah dua.
Majas Metafora
yaitu gaya bahasa perbandingan yang singkat dan padat yang dinyatakan secara implisit.
Contoh:
Pukul delapan malam dewi malam mulai memancarkan sinarnya.
Si jago merah telah melalap rumah itu.
Majas Personifikasi
yaitu gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat
sifat seperti manusia. Contoh :
Angin semilir menerpa mukaku.
Pohon nyiur melambai-lambai dipantai.
Majas Alegori
yaitu gaya bahasa perbandingan yang biasa memakai cerita untuk simbol-simbol untuk
menyampaikan maksud tertentu. Contoh :
Orang itu bagaikan kancil.
Orang itu termenung seribu satu malam.
Majas Pleonasme
yaitu gaya pemakaian bahasa secara berlebih-lebihan.
Saya melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.
Walau keadaannya gelap gulita dia masih tetap meneruskan perjalanannya.
Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan dapat dibagi menjadi3, yaitu :
Majas Hiperbola
yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud
memberi
18
penekanan. Contoh :
Kini hidupnya benar-benar bermandikan uang.
Air matanya menganak sungai.
Majas Litotes
yaitu gaya bahasa pertentangan yang biasa memakai pernyataan untuk memperkecil sesuatu.
Contoh :
Terimalah hadiahku yang sederhana ini.
Kalau sampai disana mampirlah kegubukku.
Majas Ironi
yaitu gaya bahasa pertentangan yang mengungkapkan pernyataan pertentangan dengan
maksud mencemoh. Contoh :
Bagus sekali tulisanmu sampai-sampai aku tidak bisa membacanya.
Rapi benar kamarmu seperti kapal pecah.
Gaya Bahasa Pertautan
Gaya bahasa pertautan dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Majas Sinekdoke
Majas Metonimia
yaitu gaya bahasa dengan menggunakan nama cirri atau nama hal yang ditautkan dengan
orang atau barang.
Sambil mengisap djarum dalam-dalam dibukanya lembaran-lembaran kompas.
Selain majas-majas yang disebutkan diatas juga ada jenis majas yang lain, misalnya :
1. Majas Eufemisme
yaitu gaya bahasa yang menggunakan bahasa sebagai pengganti kata lain dengan maksud
untuk memperhalus atau menghindari hal-hal tabu. Contoh :
Para TKI ilegal banyak yang diamankan oleh pihak keamanan Malaysia.
2. Majas Alusio
yaitu gaya bahasa yang merujuk pada suatu karya sastra, tokoh, atau suatu peristiwa. Contoh :
Dia sering bersifat kura-kura dalam perahu, sudah tahu tapi masih saja bertanya.
3. Majas Repetisi
yaitu gaya bahasa dengan melakukan pengulangan kata atau kelompok kata. Contoh :
Mengapa harus putus asa? Aku masih muda dan kuat! Mengapa harus putus asa? Mengapa
harus putus asa?
4. Majas Klimaks
19
yaitu gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung
penekanan. Contoh :
Jangankan uang, rumah, harta kekayaan, nyawa pun akan kukorbankan demi kebaikan
keluarga.
Sejak lahir, bayi, balita, remaja ibunya sendiri yang mengasuhnya.
Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik adalah unsur yang mendukung dari luar cerita tersebut. Contoh unsur-unsur
ekstrinsik, yaitu :
1. Biografi Pengarang
2. Sosial Budaya
3. Moral
4. Agama
Sejarah Perkembangan Cerpen
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan
cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya
novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-
contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.
Asal-usul
Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah
terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam
bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang
untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada
naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan
kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon
dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani
yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari
bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal
sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah
Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang
binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.Selanjutnya,
jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita
kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite lebih menyaran pada cerita yang terkait dengan
20
kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan
legenda mengandung pengertian sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat.
Contoh Banyuwangi.Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada
masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis
yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang
bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14.
Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi
karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang
menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya
Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku
ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi
sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar
(sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua
penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di
Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam
terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada
cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang
diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-
an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling
terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu
Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12)
menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire,
Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.Cerita-cerita pendek modernCerita-cerita pendek
modern muncul sebagai genrenya sendiri pada awal abad ke-19. Contoh-contoh awal dari
kumpulan cerita pendek termasuk Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara (1824–1826),
Evenings on a Farm Near Dikanka (1831-1832) karya Nikolai Gogol, Tales of the Grotesque
and Arabesque (1836), karya Edgar Allan Poe dan Twice Told Tales (1842) karya Nathaniel
Hawthorne. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan majalah dan jurnal melahirkan permintaan
pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000 hingga 15.000 kata panjangnya. Di antara
cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada periode ini adalah "Kamar No. 6" karya
Anton Chekhov.
Pada paruhan pertama abad ke-20, sejumlah majalah terkemuka, seperti The Atlantic
Monthly, Scribner's, dan The Saturday Evening Post, semuanya menerbitkan cerita pendek
21
dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita pendek yang bermutu begitu besar,
dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga F. Scott Fitzgerald berulang-ulang
menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai utangnya.Permintaan akan cerita-cerita
pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952
majalah Life menerbitkan long cerita pendek Ernest Hemingway yang panjang (atau novella)
Lelaki Tua dan Laut. Terbitan yang memuat cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam
dua hari.
Sejak itu, jumlah majalah komersial yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah berkurang,
meskipun beberapa majalah terkenal seperti The New Yorker terus memuatnya. Majalah
sastra juga memberikan tempat kepada cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita pendek
belakangan ini telah menemukan napas baru lewat penerbitan online. Cerita pendek dapat
ditemukan dalam majalah online, dalam kumpulan-kumpulan yang diorganisir menurut
pengarangnya ataupun temanya, dan dalam blog.
Unsur dan ciri khas
Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek
biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang
tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.
Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti
tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya),
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh utama);
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat,
krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu
langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang
mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik
dipecahkan); dan moralnya.Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau
mungkin pula tidak. Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung
eksposisi. Yang lebih umum adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di
tengah aksi. Seperti dalam cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga
mengandung klimaks, atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek
biasanya mendadak dan terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral
atau pelajaran praktis.
Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuath cerita pendek berbeda-beda
menurut pengarangnya.Cerpen juga memiliki [unsur intrinsik] cerpen.
Ukuran
22
Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang
adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia
harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai
Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi lainnya
menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam
penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang
panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.Cerita yang
pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Fiksi yang
melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam novelette,
novella, atau novel.
Genre
Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling banyak
diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dan lain-lain. Cerita
pendek kini juga mencakup bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa liris dan varian-
varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.
Cerpen Konstelasi Sastra Indonesia
Di awal abad ke-21 ini, cerpen Indonesia makin menunjukkan signifikansinya.Ia hadir tidak
hanya lantaran derasnya penerbitan buku antologi cerpen, tetapi juga lebih disebabkan oleh
kuatnya kecenderungan untuk terbebas dari mainstream. Kondisi itu tentu saja bukan tanpa
alasan. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.
Penerbitan naskah drama berikut pementasannya yang makin lesu dan terjadinya inflasi
antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang
mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke-21.
Meski dalam tiga tahun terakhir ini, muncul novel-novel penting yang menjadi bahan
perdebatan, seperti yang diperlihatkan Ayu Utami (Saman, 1998), Taufik Ikram Jamil
(Hempasan Gelombang, 1999), Gus tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000), Korrie
Layun Rampan (Perawan, 2000), Dewi Lestari (Supernova, 2001), dilihat dari segi jumlah,
tetap kalah jauh dibandingkan penerbitan cerpen.
Kondisinya itu disemarakkan pula oleh usaha Kompas yang sejak tahun 1992 (Kado
Istimewa) sampai tahun 2000 (Dua Tengkorak Kepala) melangkah dengan tradisi memilih
dan menerbitkan cerpen terbaiknya. Kegiatan itu diikuti pula dengan diskusi dan peluncuran
23
buku bersangkutan. Itulah yang mendorong cerpen Indonesia melaju meninggalkan drama,
puisi, dan novel.
Bagaimana pula dengan perkembangan di tahun-tahun mendatang? Mencermati fenomena
yang terjadi dalam dua dasawarsa belakangan ini, drama tampak makin terpuruk. Selepas
dasawarsa 1970-an dan 1980-an, Arifin C. Noer lewat Kapai-Kapai-nya –sekadar menyebut
salah satunya, Putu Wijaya lewat Dag-Dig-Dug, dan Rendra lewat mini katanya,
eksperimentasi seolah-olah sudah kehilangan tenaganya lagi. Memang Rendra masih
mencoba dengan Panembahan Reso-nya, kemudian N. Riantiarno dengan Opera Kecoa dan
Opera Sembelit, Putu Wijaya dengan monolog Dar-Der-Dor dan Zat atau Wisran Hadi
dengan Jalan Lurus, semua seolah-olah tanpa gaung atau cuma bergema sesaat. Praktis, kini
tinggal Riantiarno yang masih bertahan dan terus melakukan pementasan karya terbarunya.
Kegairahannya tak cukup kuat untuk menumbuhkan semangat generasi di bawahnya. Budi S.
Otong dan Radhar Panca Dahana yang coba melakukan estafet, mendadak tengge-lam di
tengah jalan dan kini entah di mana. Tentu kita masih berharap pada keduanya. Yang muncul
belakangan, Butet Kartaredja, berpotensi untuk menghasilkan karya monumental.
Puisi, kharismanya masih didominasi para penyair mapan. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri,
Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Abdul Hadi, D. Zawawi
Imron, dan deretan nama lain, masih akan tetap menyedot perhatian kita. Sementara generasi
berikutnya, macam Darmanto Jatman, Eka Budianta, Hamid Jabbar, Afrizal Malna, Soni
Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Y. Herfanda, F. Rahardi, belum cukup kuat
menggoyangkan kemapanan para penyair senior itu.
Jika demikian, maka deretan berikutnya seperti Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Gus tf,
Taufik Ikram Jamil, sangat mungkin masih akan tetap berada di bawah bayang-bayang nama-
nama mapan tadi. Tentu saja itu menyulitkan kita membayangkan lahirnya gebrakan besar
seperti keberhasilan Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an. Afrizal Malna tahun 1980-an,
coba membangkitkan kembali gebrakan itu. Memang ada dampaknya dengan munculnya
begitu banyak puisi gelap. Selepas itu, tak ada pula kabar beritanya.
Menapaki abad ke-21 ini, peta puisi kita akan dibanjiri oleh begitu banyaknya penulis puisi.
Dari deretan nama yang melimpah itu, sekitar sepuluhan yang sangat pantas mendapat
predikat penyair, selebihnya masuk kategori: penulis puisi. Meskipun begitu, beberapa nama
telah mendatangkan optimisme; prospek puisi Indonesia akan jauh lebih cerah. Periksa saja
karya-karya Gus tf (Sangkar Daging, 1997), Mathori A Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997;
Rajah Negeri Istighfar, 2000), Zeffry J. Alkatiri (Pintu Etalase Batavia Centrum, 1998), Joko
Pinurbo (Celana, 1999), Dorothea Rosa Herliany (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999; Kill the
24
Radio, 2001), Hoezinar Hood (Tarian Orang Lagoi, 1999), Arif B. Prasetyo (Mahasukka,
2000) dan sederetan nama lain yang juga tak kalah menjanjikannya. Sebut saja, di antaranya,
Cecep Samsul Hari, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Medy Loekito, Nenden Lilis A.,
Oka Rusmini, Radhar Panca Dahana, Syaukani Al Karim, Tomy Tamara, Ulfatin Ch., dan
Wowok Hesti Prabowo.
Sejalan dengan itu, kita juga melihat makin redupnya sejumlah nama yang agaknya sudah
kehabisan energi. Jika dalam dua-tiga tahun ini, mereka tidak menghasilkan apa-apa,
barangkali mereka sedang bersiap gantung sepatu. Revolusi puisi sangat mungkin baru akan
terjadi dalam waktu yang masih panjang. Selama menunggu gebrakan itu, panorama puisi
Indonesia, akan lebih banyak berhias nama dan peristiwa yang terjadi di seputar pertemuan-
pertemuan berkala. Gaungnya akan hilang dalam sekejap, meski di sana-sini akan tetap lahir
beberapa monumen yang dihasilkan sejumlah nama tadi.
Novel, juga punya harapan cerah. Sejumlah nama masih menyimpan potensi besar untuk
membangun sebuah tonggak penting. Ayu Utami, Taufik Ikram Jamil, Korrie Layun
Rampan, Dewi Lestari, Gus tf Sakai logikanya masih akan memberi sumbangan berarti.
Demikian juga Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Budi Darma, Darman Moenir, Danarto atau
Wisran Hadi. Mereka masih akan terus berkarya. Nh. Dini dan Titis Basino juga masih akan
mengalirkan karyanya meski tetap dengan konvensi yang sama.
Harapan lebih besar justru terletak pada sejumlah cerpenis. Seno Gumira Ajidarma, Yanusa
Nugroho, Sirikit Syah, Jujur Prananto, Joni Ariadinata atau Agus Noor, sungguh masih
menyimpan potensi. Persoalannya tinggal menunggu keberanian mereka untuk melangkah
lebih panjang; melahirkan novel. Tengoklah Danarto! Setelah sekian lama tegak berdiri
dengan cerpen-cerpennya yang menduduki tempatnya sendiri, lahirlah dari tangannya
Asmaraloka. Langkah ini menunjukkan keberanian Danarto memasuki ragam lain. Apakah
langkah ini dapat dikatakan gagal atau berhasil, itu masalah lain lagi.
Bagaimana dengan kritik sastra kita? Ia masih tetap berjalan di tempat. Soalnya bukan
tiadanya potensi, melainkan terbatasnya ruang yang memungkinkan publikasi luas sejumlah
karya kritik. Jika saja penerbit-penerbit kita mau mempublikasikan skripsi, tesis, disertasi
atau hasil-hasil penelitian ilmiah kaum akademik, boleh jadi kehidupan kritik sastra kita akan
kembali semarak sebagaimana yang terjadi awal tahun 1970-an.Meski begitu, Sapardi Djoko
Damono, Melani Budianta Budi Darma atau Faruk HT, tetap akan menggeliat dengan
antologi esainya. Juga Maman S. Mahayana, boleh jadi ikut meramaikan dengan buku-buku
terbarunya. Dua nama lagi yang sungguh potensial adalah Nirwan Ahmad Arsuka dan
Tommy Awuy. Keduanya telah banyak melontarkan gagasan kritis atas persoalan kesenian
25
dan kesusastraan kita.Demikian, secara umum kondisi kesusastraan kita masih belum begitu
cerah. Dalam situasi yang seperti itu, cerpen kembali akan menjadi primadona. Lebih
daripada itu berbagai eksperimentasi, sangat mungkin akan ikut menyemarakkan
pemetaannya. Periksa saja, apa yang terjadi dalam dasawarsa akhir abad ke-20 ini.Ada
sedikitnya 100-an antologi cerpen yang terbit dalam sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, rata-rata
dalam setahun terbit 10 antologi cerpen atau hampir setiap bulan terbit satu antologi. Jumlah
ini niscaya akan membengkak jika kita tidak terpaku pada lima kota besar, Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, Padang, dan Pekanbaru. Belum lagi jika kita mencermati setiap koran
minggu dan beberapa majalah yang selalu menyediakan ruang untuk cerpen. Tentu
jumlahnya akan sangat mengejutkan. Dari segi kuantitas, itulah peta cerpen Indonesia.Lalu
bagaimana kualitasnya? Leila S. Chudori, Lea Pamungkas, Dorothea Rosa Herliany, dan
Sirikit Syah, jelas punya kelas tersendiri dalam mengangkat soal gender yang umumnya
digarap cerpenis wanita lain secara verbal. Seno secara meyakinkan membawa gaya
jurnalistik yang mengangkat potret sosial kita. Kurnia Jaya Raya mengalirkan pikiran
imajinatif yang pernah digarap Iwan Simatupang dan P. Sengojo. Taufik Ikram Jamil dan
Gus tf Sakai menguak problem kultural masyarakat etniknya. Dengan style yang berbeda,
Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan Shoim Anwar membeberkan kehidupan kaum gembel,
gelandangan marjinal, dan wong cilik yang selalu tergusur. Agus Noor dan Hudan Hidayat
mengangkat problem psikologis manusia urban. Herlino Soleman lain lagi dengan usahanya
memotret pengalamannya di Jepang. Sementara Eka Kurniawan menunjukkan pengamatan
terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Semua tema itu disajikan dengan cukup memukau,
khas, dan dengan style yang menjanjikan. Jadi, dari segi kualitas, cerpen-cerpen mereka
sudah pantas diterjemahkan ke dalam bahasa dunia.
Dengan demikian, pemeliharaan kualitas patut diperhatikan para cerpenis kita. Seno Gumira
(5 antologi), Yanusa Nugroho (3 antologi), Shoim Anwar (3 antologi), Ariadinata (3
antologi), Gus tf Sakai (2 antologi), misalnya, dalam masing-masing antologinya berisi
sejumlah cerpen dengan kualitas sederajat. Tetapi jika antologi itu berisi karya dari
serombongan cerpenis dengan kualitas yang domplang, maka hasilnya terkesan sebagai kerja
projek, tanpa seleksi, tanpa pertimbangan kualitas
Untuk antologi yang memuat rombongan cerpenis ini, Cerita Pendek Indonesia I-IV,
Satyagraha Hoerip (1986), Pagelaran (1993) dan Cerpen Pilihan Kompas (1992 sampai
1999), dapat dijadikan sebagai acuan bahwa kualitas merupakan landasan penting sebagai
dasar kriteria pemilihan cerpen-cerpen itu. Tanpa landasan itu, ia akan cenderung menjadi
sekadar “gado-gado” seperti yang terjadi pada Limau Walikota (1993) dan Bermula dari
26
Tambi (1999), meski jauh lebih baik daripada Maling (1994), Lidah (1994), Ritus (1995),
atau dua antologi
Dewan Kesenian Lampung (1996 dan 1998).
Terlepas dari persoalan itu, dalam beberapa tahun ke depan, cerpen Indonesia tetap akan
menjadi primadona dalam konstelasi kesusastraan kita. Dengan begitu, menempatkan
posisinya menjadi semakin penting. Wajar jika sejumlah antologi cerpen kembali akan
meramaikan peta kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Dan kembali, secara perlahan,
mengangkat pamor cerpen Indonesia sebagai wacana yang pantas menjadi bahan perdebatan
intelektual. Masalahnya tinggal, bagaimana para cerpenis ini, terus-menerus berkarya dan
meningkatkan kualitasnya.
27
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kemampuan menulis cerpen mengalami peningkatan sebesar 11,63 atau 18,30 %.
Hasil rata-rata tes menulis cerpenpratindakan sebesar 64 (pembulatan ke atas dari 63,56) dan
pada siklus Irata-ratanya menjadi 70 (pembulatan ke bawah dari 70,31) atau
meningkatsebesar 10,62 % dari rata-rata pratindakan, kemudian pada siklus IIdiperoleh rata-
rata sebesar 75 (pembulatan ke bawah dari 75,19) ataumeningkat sebesar 6,94 dari siklus I.
Pemerolehan ini menunjukan bahwa pembelajaran menulis cerpen melalui teknik
pengandaian diri sebagai tokoh dalam cerita dengan media audio visual siswa setelah
mengikuti pembelajaran menulis cerpen melalui teknik pengandaian diri sebagai tokoh dalam
cerita dengan media audio visual mengalami perubahan kearah positif.Perubahan tersebut
ditunjukan dengan perilaku yang kelihatan lebih serius dan bersemangat dalam melaksanakan
kegiatan menulis cerpen.
Saran
Kita hendaknya memandang bahwa pembelajaran menulis cerpen merupakan bagian
yang penting dan tak terpisahkan dari mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
sehinggapembelajaran menulis cerpen ini hendaknya mendapat porsi yang cukupdan tidak
dilewati begitu saja,hendaknya lebih bervariasi dalammemilih teknik dan media pembelajaran
agar siswa menjadi lebih berminatmengikuti proses pembelajaran dan tidak merasa jenuh.
Salah satualternatif dalam menggunakan media pembelajaran adalah penggunaanteknik
pengandaian diri sebagai tokoh dalam cerita film yang diputarmelalui media audio visual
yang telah terbukti dapat meningkatkan minatdan kemampuan siswa dalam mengikuti
pembelajaran menulis cerpensecara aktif dan menyenangkan. Teknik pengandaian diri
sebagai tokohdalam cerita dapat membantu siswa dalam menulis cerpen karena siswalebih
banyak menggunakan alat inderanya yang mencakup pendengarandan penglihatan.Para guru Bahasa
dan Sastra Indonesia hendaknya mengembangkanpenggunaan teknik pengandaian diri
sebagai tokoh dalam cerita dan mediaaudio visual secara kreatif dan efektif misalnya dengan
caramemperbanyak jenis cerita dan bahan ajar lain yangberhubungan kesusastraan.
Hendaknya media audio visual juga digunakan pada mata pelajaran yanglain secara
bervariasi dengan media-media yang lain.
28
Daftar pustaka
Arikunto, Suharsimi, Prof, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT. Bumi
Aksara.
Djamarah, Bahri, Syaiful, Drs dan Drs. Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fitriyah, Hidayatul. 2007. Penggunaan Media Gambar Berseri Untuk Meningkatkan
Ketrampilan Mengarang Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDN
Wiyung III/ 455 Surabaya. TA tidak diterbitkan. Surabaya. Program D-2 Unesa.
29