lambosetungkung.weebly.comlambosetungkung.weebly.com/.../4/1/2/4/4124636/karya_ilmiah_27.docx ·...
-
Upload
truongkhuong -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of lambosetungkung.weebly.comlambosetungkung.weebly.com/.../4/1/2/4/4124636/karya_ilmiah_27.docx ·...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Tradisi adat dayak
Ketapang adalah karena Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki
kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku
bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan
unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996). Jika pengertian
tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan itu,
kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak
dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan
belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam
kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di
dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud
kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan
Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, wujud kebudayan
sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu
merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan adat, yang
berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada
perilaku manusia Dayak, tampak jelas di dalam pelbagai upacara adat yang dilaksanakan
berdasarkan siklus kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam
pelbagai upcara adat yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai
sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari
aktivitas manusia yang berinteraksi yang senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di
dasarkan pada adat tata kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem kehidupan
sosial orang Dayak yang sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-aturan
mengenai hal-hal mana yang harus dilakukan dan mana yang dilarang yang sifatnya tidak
tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman
dalam bertingkah laku bagi masyarakat Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-
1
benda hasil karya manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil
karya manusia Dayak, misalnya seperti rumah panjang dan lain-lain.
Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Dayak sangat mempunyai makna
dan peran yang amat penting, yaitu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak dalam perkembangan
sejarahnya telah tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat Dayak sebagai
pendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga
mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini berarti bahwa kebudayaan Dayak itu sifatnya
tidak statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, sampai saat ini masih ada yang tetap
bertahan dan tak tergoyahkan oleh adanya pergantian generasi, bahkan semakin menunjukkan
identitasnya sebagai suatu warisan leluhur.
Dalam konteks ini, dan dalam tulisan ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan
yang terdapat dalam masyarakat Dayak, baik yang berupa kebudayaan material maupun non
material.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1. Apa itu Kamponk Tamawakng di ketapang?
1.2.2. Apa perhatian Pemerintah terhadap budaya dayak ketapang?
1.2.3. Bagaimana Cara masyarakat dayak menjaga keseimbangan alam?
1.2.4. Apa Rumah Adat Dayak Paya' Kumang?
1.2.5. Dimana Gelar Kehormatan Dayak Kayong?
1.2.6. Seperti apa Adat Buka Tanah Dayak Kayong?
1.2.7. Bagaimana Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Dayak Ketapang?
1.2.8. Apa Karakteristik Kebudayaan Dayak Ketapang?
1.2.9. Bagaimana Sistem Mata Pencaharian dan Peralatan Hidup Dayak Ketapang?
1.2.10. Seperti apa Sistem Pengetahuan Dayak Ketapang?
1.2.11. Apa saja Kebudayaan Dayak Ketapang?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
2
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir semester genap
1.4.2.
1.5. Sistematika Penyajian
Karya ilmiah ini terdiri dari 3 Bab,yaitu BAB I Pendahuluan,BAB II
Pembahasan,BAB III Penutup.Masing-masing bab memiliki subbab dengan garis besar isinya
sebagai berikut,yaitu :
BAB I Berisi pendahuluan.Pada bab ini diuraikan Latar Belakang Masalah,Rumusan
Masalah,Ruang Lingkup Masalah,Tujuan Penelitian,Metode Penelitian dan Sitematika
Penyajian.
BAB II Memaparkan pembahasan.Pada bab ini diuraikan beberapa penjelasan.
Selanjutnya,bagian terakhir yaitu BAB III.
BAB III menguraikan kesimpulan dari penulis dan saran-saran yang ditujukan bagi
para pembaca dan penulis lain.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
Secara umum seluruh penduduk dikepulauan nusantara disebut-sebut berasal dari
China selatan, demikian juga halnya dengan Bangsa Dayak. Tentang asal mula bangsa
Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan
di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di
perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara
ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya
melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier.
Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang
memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di
Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-
Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu.
Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling
berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir
pantai oleh penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya
penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut
Orang Darat . Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai
kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng
serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Islam ke borneo di sebarkan
oleh orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu
oleh orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu
tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk
islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman,
saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat
dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya
bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang
telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah
islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga
4
adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung
tawar, betangas, tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai,
masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan
alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki adat budaya
Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan
oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh
Patih Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq ) oleh Kundung
atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh
manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan
pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan sintang ( oleh
blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya dengan sesama suku Dayak dan
dengan suku-suku luar kalimantan orang Dayak telah menggunakan bahasa melayu, hal ini
terjadi mengingat suku dayak hampir setiap sub sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri.
Hal ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi, tentunya karena alasan semacam ini jugalah
yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa
melayu di kalimantan dikarenakan seluruh manusia penuturnya mempunyai bahasa yang
berbeda ( Manusia Dayak ) meyebabkan bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak
versi sesuai daerah asalnya, misal di daerah sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal bahasa
Dayak di daerah tersebut kebanyakan berbunyi vokal " o " maka bahasa melayunya juga
cenderung bervokal " O " misal kata ada akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa
( Mengapa ) di ucapkan menjadi ngapo dan lain sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu,
sintang dan ketapang bahasa melayunya sangat mendekati bahasa Dayak, cukup banyak
istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai seperti Nuan, sidak dan lain-lain. Di
bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya dari kata Tarigas dan istilah-istilah
lainnya.
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam
tradisi lisan Dayak didaerah itu sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
antara tahun 1309-1389.[5] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1608).
5
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam
tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang
Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai,
masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi
adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain
Billah.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan
orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja
Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang
Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah
belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Bahasa Dayak Ketapang
Peneliti Institut Dayakologi, Sujarni Aloy dan kawan-kawannya (Sujarni Aloi, dkk 1997), meneliti ada 50 bahasa Dayak di Ketapang, yaitu:
1. Bahasa Dayak Kualatn2. Bahasa Mali3. Bahasa Kancikng
6
4. Bahasa Cempede’5. Bahasa Semandakng6. Bahasa Sajan7. Bahasa Banjur8. Bahasa Gerai9. Bahasa Baya10. Bahasa Laur11. Bahasa Joka’12. Bahasa Domit13. Bahasa Pawatn14. Bahasa Krio15. Bahasa Konyeh16. Bahasa Biak17. Bahasa Beginci18. Bahasa Tumbang Pauh19. Bahasa Gerunggang20. Bahasa Kayong21. Bahasa Majau22. Bahasa Pangkalan Suka23. Bahasa Kebuai24. Bahasa Tola’25. Bahasa Marau26. Bahasa Batu Tajam27. Bahasa Kengkubang28. Bahasa Pesaguan Hulu29. Bahasa Kendawangan30. Bahasa Pesaguan Kanan31. Bahasa Kekura’32. Bahasa Lemandau33. Bahasa Tanjung34. Bahasa Benatuq35. Bahasa Sumanjawat36. Bahasa Tembiruhan37. Bahasa Penyarangan38. Bahasa Parangkunyit39. Bahasa Perigiq40. Bahasa Riam41. Bahasa Belaban42. Bahasa Batu Payung43. Bahasa Pelanjau44. Bahasa Membuluq45. Bahasa Dayak Menggaling46. Bahasa Air Upas47. Bahasa Sekakai48. Bahasa Air Durian49. Bahasa Sempadian
7
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sumber data
Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan dengan cara peninjauan
dan cara tinjaua kepustakaan menurut buku………………………………tinjauan
kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu mencari data dari kepustakaan misalnya
dari data buku jurnal masalah dan lain-lain.
Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan yang diteliti
namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat diolah.
3.2 Cara memperoleh data
a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang relevan dengan penelitian
yang akan dilakukan.
b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode penelitian
pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan satuan data
c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan bidang penelitian.
d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang tertera(analisis berpikir secara
kronologis)
3.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek penelitiannya berupa
pustaka yang memerlukan pemahaman dan penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal
yang berhubungan dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang
berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh data dikumpulkan dalam
catatan khusus.
3.4 Analisis data
` Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya dianalisis,proses analisis
dilakukan dengan cermat dan dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis
yang representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi.
8
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kebudayaan Dayak Ketapang
Kepercayaan yang dianut oleh suatu suku bangsa dapat ditelusuri melalui ekpresi
budaya seperti cerita rakyat, terutama dalam cerita yang berbentuk mitos tentang kejadian
alam semesta dan manusia serta mitos-mitos lainnya yang menggambarkan keterkaitan yang
hakiki antara insan manusia dan alam sekitarnya (Umberan, 1994). Hal yang sama juga
dikatakan oleh Ukur (1994) bahwa untuk memahami makna religi dari alam sekitar dalam
kebudayaan Dayak, sumber yang paling dapat membantu terutama mite-mite tentang
kejadian alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan keterikatan
dan keterkaitan hakiki antar insan dengan alam sekitar.
Mitos bukanlah sekedar cerita, tetapi melalui mitos yang hidup dalam masyarakat
Dayak dapat diungkap rahasia yang mendasari dan melatarbelakangi sikap serta perilaku
suku Dayak. Keberadaan mitos diyakini kebenarannya, dianggap suci, mengandung hal-hal
ajaib, dan umumnya ditokohi oleh para dewa, sebab itu mitos dijadikan landasan untuk
menata kehidupan masyarakat Dayak yang tampak pada berbagai ketentuan seperti adat, ritus
dan kultus.
Mitos dihayati sebagai sejarah oleh masyarakat Dayak meskipun peristiwa-peristiwa
yang dituturkan dalam mitos tidak terikat pada waktu dan ruang. Sejarah dalam konteks
pemahaman suku Dayak terhadap mitos tersebut tidak dapat diverifikasi secara historis,
menurut Ukur (1994) mitos dianggap sebagai sejarah karena memang sedemikianlah yang
dihayati oleh insan Dayak.Kepercayaan suku Dayak berhubungan erat dengan lingkungan
sekitarnya, seperti hewan, tumbuhan-tumbuhan, air, bumi, dan udara. Kepercayaan itu begitu
kuat sehingga suku Dayak percaya bahwa kehidupan akan menjadi baik jika adanya
keseimbangan kosmos, sebab itu setiap makhluk hidup berkewajiban untuk senantiasa
memelihara keserasian dan keseimbangan semesta, terutama manusia menurut kepercayaan
suku Dayak merupakan bagian yang integral dari alam (Seli, 1996).
Sistem kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suku Dayak berkaitan
erat sehingga sulit untuk dipisahkan. Kedua hal tersebut sama-sama berpengaruh pada
kehidupan masyarakat Dayak (Seli,1996). Senada dengan pendapat Seli, Alqadrie (1994)
juga menyatakan bahwa sistem kepercayaan atau agama bagi kelompok etnik Dayak hampir
9
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi mereka
sehari-hari. Ini berlaku pula antara nilai-nilai budaya itu dengan etnisitas dalam masyarakat
Dayak. Kenyataan ini yang melatar belakangi kesimpulan Coomans (1987) dan Alqadrie
(1991) yang menyatakan bahwa keperipadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan kegiatan
sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak
saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat-istiadat atau hukum adat, tetapi
juga dengan nilai budaya dan etnisitas.
Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat
berkembang (Alqadrie, 1987). Kompleksitas sistem kepercayaan tersebut di dasarkan pada
tradisi dalam masyarakat Dayak yang mengandung dua prinsip yaitu: (1) unsur kepercayaan
nenek moyang (ancestral belief) yang meneknkan pada pemujaan nenek moyang, dan (2)
kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan
merupkan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990).
Dalam penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kalimantan Barat (1988) ditemukan bahwa sistem kepercayaan nenek moyang
dalam masyarakat Dayak berisi berbagai peraturan tentang hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang, dan manusia alam
beserta isinya. Bahkan menurut Alqadrie (1994) dan Seli (1996) berkaitan sistem
kepercayaan tersebut masyarakat Dayak juga percaya bahwa Tuhan yang tertinggi yang satu
(the one highest God) memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (devinity). Karakter yang
satu mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi”, dan karakter lainnya tinggal “di
bawah” atau yang “lebih rendah” yaitu bumi yang menjadi tempat tinggal manusia. Orang
Dayak percaya kedua karakter ini masing-masing memuat sifat yang baik dan buruk.
Kompleksitasnya sistem kepercayaan orang Dayak, menurut Alqagrie (1994) di tandai juga
oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar
seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang-barang keramik (mangkok dan tempayan)
yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun
penggunaan berbagai macam dekorasi naga (tambon) atau (dragon) yang melambangkan
secara mitologis Tuhan tertinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Lebih lanjut menurut
Alqdarie (1994) pengaruh ekstern lainnya berasal dari unsur-unsur Hunduisme dan
Islamisme. Kedua unsur ini dalam masyarakat Dayak dapat ditemukan dalam istilah-istilah
keagamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan, seperti Mahatara yang mungkin
berasal dari istilah dalam agama Hindu. Maha Batara yang berarti Tuhan Maha Besar, atau
Mahatala, Lahatala/Alatala yang berasal dari ucapan Allah Ta’ala dalam Islam yang berarti
10
Allah Maha Tinggi. Selain itu, Tuhan tertinggi yang satu secara simbolik diekspresikan oleh
burung enggang yang menyajikan Ketuhanan dunia “atas”.Dalam pada itu, penggunaan
burung enggang dan naga sebagai simbol dari Tuhan yang satu, sejalan dengan pendapat
Durkheim tentang totemisme. Unsur penting dari kepercayaan nenek moyang dalam
masyarakat Dayak adalah barang-barang keramik Cina, dekorasi-dekorasi yang
menggunakan simbol naga dan burung enggang, dan kelompok etnik Dayak sendiri sebagai
penganut kepercayaan nenek moyang mereka dapat dikatakan sejajar dengan tiga unsur
totemisme Australia yang ditemui oleh Durkheim (dalam Alqadrie, 1994) bahwa lambang
totemik (totemic emblem) adalah berupa hewan atau tumbuhan-tumbuhan, dan anggota dari
kaum, suku atau klan (clan)
Tiga unsur dalam masyarakat Dayak merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan
merupakan manifestasi dari organisasi sosial. Dalam kaitan dengan itu, Mclennan (1986
dalam Alqadrie, 1994) menyatakan bahwa hubungan yang dekat antara totemisme tersebut
merupakan bentuk spesifik dari organisasi sosial. Alqadrie (1994) melihat bahwa penggunaan
naga dan burung enggang bukanlah suatu manifestasi dari kesederhanaan pemikiran orang
Dayak di Kalimantan tetapi justru merupakan refleksi dari kompleksitasnya sistem
kepercayaan mereka pada mana totemisme bukan semata-mata suatu kepercayaan, tetapi
mungkin pula menjadi sumber, atau paling kurang, suatu embrio dari agama-agama
berkembang lainnya. Tambahan pula penggunaan dua jenis hewan di atas juga merupakan
perwujudan dari organisasi sosial yang khas dalam masyarakat Dayak.
Melihat kenyataan tersebut dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya suku Dayak merupakan
rumpun suku bangsa yang unik karena walupun mereka hidup di lingkungan yang serba
alami dan tradisional tetapi dapat melahirkan suatu pemikiran yang relgius yang kompleks
dan sangat sempurna.
4.2 Sistem Pengetahuan Dayak Ketapang
Pengetahuan Tentang Gejala-Gejala Alam
Kebutuhan orang Dayak memperoleh padi ladang yang banyak telah melahirkan
sistem pengetahuan yang dapat memahami sifat-sifat gejala alam yang berpengaruh terhadap
perladangan. Menurut Mudiyono (1995) pengetahuan tentang gejala alam yang berkaitan
dengan perladangan pada orang Dayak di Kalimantan adalah pengetahuan tentang bintang
tujuh. Apabila bintang tujuh telah timbul maka pada malam hari udara akan menjadi teramat
dingin sampai pagi hari adalah suatu pertanda bahwa orang sudah sampai pada waktunya
mulai membuka ladang. Jika bintang tujuh di Timur, sedangkan bintang satu lebih rendah
11
dari bintang tujuh menandakan bahwa orang sudah boleh mulai menanam padi. Apabila di
langit tampak garis seperti tempbok dan awan menyerupai sisik ikan maka orang mengetahui
bahwa musim kemarau telah tiba. Sebaliknya jika langit tampak merah pada pagi hari dan
awan menggumpal seperti gunung adalah pratanda bahwa hari atau musim penghujan segera
tiba. Gejala datangnya musim hujan dapat pula diketahui apabila akar-akar kayu yang
tumbuh dipinggir sungai bertunas dan pohon buah-buah banyak yang berbunga.
Ketika tanda-tanda alam telah memberitahu bahwa musim kemarau segera akan tiba maka
orang mulai bersiap diri untuk berladang. Parang dan beliung sebagai alat berladang mulai di
asah supaya tidak menemui hambatan pada saatnya membuka ladang. Pekerjaan berladang
harus memperhatikan benar-benar perputaran waktu dan memahami sifat-sifatnya. Ketidak
sesuaian antara kondisi alam dengan tahapan berladang akan mengakibatkan kegagalan panen
dan bila hal ini terjadi adalah merupakan malapetaka bagi penduduk.
Sistem pengetahuan mereka juga mengajarkan bahwa apabila akan membuat bahan-
bahan rumah, hendaknya tidak menebang pohon kayu dan bambu pada waktu bulan di langit
sedang membesar karena pelanggaran yang dilakukan berarti kayu dan bambu akan cepat
dimakan bubuk. Oleh karena itu waktu yang tepat untuk meramu bahan-bahan bangunan
kayu dan bambu adalah ketika bulan di langit sedang surut.
Pengetahuan Tentang Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik orang Dayak adalah hutan. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis
hutan yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan tanah, biasanya
terlebih mereka meneliti keadaan pepohonan yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan.
Jika terdapat pohon-pohon kayu besar dan tinggi menandakan tanah tersebut sudah lama
tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat subur. Untuk memastikan kesuburan tanah
di amatinya dengan cara memasuki ujung parang ke dalam tanah kira-kira 10 cm. Ketika
parang dicabut kembali maka tanah yang melekat pada ke dua belah sisi parang dapat
menunjukkan tentang kesuburan tanah. Jika banyak tanah yang melekat pada ke dua sisi
parang dan gembur kehitam-hitaman berarti tanah setempat adalah subur. Sebaliknya jika
kondisi tanah setempat kurus maka yang melekat ke dua sisi parang adalah tanah berpasir.
Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah tanah yang terletak pada
lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini khusus orang Dayak di Kalimantan Barat di
sebut jenis tanah payak labak atau payak. Keadaan tanah paya selalu berair dan becek.
Ladang di tanah paya biasanya bersifat monokultur dapat ditanam padi selama 3 tahun
berturut-turut. Sesudah tahun ke tiga tanah paya ditinggalkan selama 2-4 tahun untuk
kemudian ditanam lagi.
12
Pengetahuan Tentang Jenis-Jenis Tanaman
Pengetahuan tentang flora diperoleh secara turun temurun. Beraneka ragam jenis
tanaman dan tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai flora untuk dimakan, dijadikan obat dan
untuk berburu dan menuba ikan.
Jenis tanaman untuk dikonsumsi sendiri kecuali padi dikenal juga tanaman jenis cabai
(Capsicum annuum L), mentimun (Cucumis sativus L), jagung (Zea mays L), singkong
(Manihot utilissima L), bambu muda atau rebung (Bambusa spinosa). Tanaman jenis palawija
dan sayur-sayuran ditanam secara tumpang sari pada lahan ladang. Pohon buah-buahan yang
paling banyak adalah durian yang tidak dibudidayakan secara baik sehingga lebih berkesan
sebagai pohon buah-buahan yang tumbuh liar pada tanah-tanah bekas ladang.
Orang Dayak juga mengenal jenis-jenis tumbuh-tumbuhan pembuat warna pada anyaman
tikar atau barang-barang kerajinan. Warna merah dapat diperoleh dari kulit buah joronang
untuk memberi warna merah pada rotan dan sebagainya. Kulit kayu porete dapat memberikan
warna hitam dan kulit kayu ngkubogng dapat dimanfaatkan sebagai lem pada kayu. Jenis-
jenis tumbuhan secara liar di hutan-hutan Kalimantan.
Orang Dayak di Kalimantan khusus di Kalbar juga mengenal getah kayu yang
disebut ipuh yang mengandung racun dan amat berbahaya karena dapat mematikan. Getah
kayu ipuh dipakai untuk memolesi ujung tombak atau ujung anak sumpit. Binatang buruan
seperti rusa, babi hutan yang terkena ujung tombak yang sudah diberi getah kayu ipuh,
walaupun hanya terluka sedikit maka dalam waktu sebentar binatang tersebut akan mati.
Kulit dan daging di sekitar luka harus dibuang sebelum dimasak dan tidak boleh dimakan.
Sebagai masyarakat yang akrab dengan lingkungan hutan, orang Dayak juga memiliki
pengetahuan dalam membedakan dengan baik jenis-jenis kayu yang sangat baik mutunya
untuk ramuan bahan-bahan bangunan. Seperti kayu besi atau kayu belian (ensidroxylon
zwageri), meranti merah (shorea leprosula), tekam (hopea sangal korth), tengkawang (shorea
Sp), medang (litrea Sp) ramin (gonystylus bancanus kwiz) dan rengas (buchanania
arborescens).
4.3 Sistem Mata Pencaharian dan Peralatan Hidup Dayak Ketapang
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat
dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka
merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat
tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan
13
yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan
habitat mereka secara turun temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka
secara holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan
itu dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu,
menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain,
serta kegiatan berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok
adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat
sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang
lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering
Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan,
dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka
mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai
hutan, seperti karet (Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang
(shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari
hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.
Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak
alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak,
dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang
dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan,
pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam
Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok
kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi
berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman
nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989
dalam Soedjito 1999), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak
sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang
diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.
Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di
Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama.
Persamaan itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka
hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
14
Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari
tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak
bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya
tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh
lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum
mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang
masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama,
memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau
beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam
di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan.
Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok
untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang
sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan
atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang
dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan
oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian
hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan
diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya
anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan
memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat
orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang
berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.
Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai
dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat
memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani
penggarap meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah
menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah
ketua adat dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika
seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang
telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya.
Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan Sapardi (1992) pada orang
Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang
berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.
15
Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove, (1988)
merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atas
tempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon
kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4)
setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan
tanaman lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya
mengadakan pencangkokan padi); (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7)
menjaga ladang dari gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9)
mengangkut hasil panen ke rumah.
Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan
tambahan yang tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan
peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau
rotan); (2) membangunan pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang
bukan padi. Dalam setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu
didahului dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang
yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di
Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial
ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat
seperti kopi (Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-
buahan, antara lain ialah pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro,
pisok karet, tombak dan lain-lain.
Dalam pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak
antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali
terbuat dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam,
dan tungku batu. Jenis alat tidur antara lain tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun
urun, kelasa yaitu tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk)
yang disarung dengan kain, klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari
kayu.
4.4 Karakteristik Kebudayaan Dayak Ketapang
Pembagian kelompok suku Dayak di Kalimantan berdasarkan pada kesamaan hukum
adat, bahasa, ritus kematian, jalur sungai, maupun kriteria lain, membuktikan adanya
keragaman yang alami dan perbedaan yang natural dari pribumi asli pulau ini (Widjono,
16
1998). Menurut Widjono (1998) terdapat karakteristik yang sifatnya khas yang
memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan yang
berbeda hanyalah istilah lokalnya saja. Riwut (1958) dan Ukur (1991 dalam Widjono 1998)
berdasarkan hasil temuannya mengatakan bahwa ciri pokok kebudayaan Dayak meliputi: (1)
rumah panjang; (2) senjata khas; (3) anyam-anyaman; (4) tembikar; (5) siastem perladangan;
(6) kedudukan perempuan dalam masyarakat; (7) seni tari.
Karakteristik kebudayaan Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Ukur tersebut secara
rinci dapat di uraikan sebagai berikut:
Rumah Panjang.
Rumah panjang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang bersambung telah
dikenal semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada
mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah panjang, yang lazim
disebut Laou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.
Persepsi suku Dayak tentang rumah panjang tercakup dalam minimal empat aspek
penting dari rumah panjang itu sendiri yaitu aspek penghunian, aspek hukum dan peradilan,
aspek ekonomi, dan aspek perlindungan dan keamanan. Tidak berlebihan bila rumah panjang
bagi suku Dayak merupakan “centre for Dayak creation, art and inspiration”. Lebih dari itu,
rumah panjang merupakan wujud konkrit dari solidaritas sosial budaya suku Dayak di masa
lampau, bahkan menurut Layang dan Kanyan (1994) bahwa rumah panjang merupakan pusat
kebudayaan Dayak, karena hampir seluruh kegiatan mereka berlangsung di sana.
Senjata Khas
Senjata khas yang di miliki suku Dayak di Kalimantan yang tidak di miliki oleh suku lainnya
adalah mandau dan sumpit. Senjata khas yang disebut mandau terbuat dari lempengan besi
yang ditempa berbetuk pipih panjang seperti parang berujung runcing menyerupai paruh
burung yang bagian atasnya berlekuk datar. Pada sisi mata di asah tajam sedang sisi atasnya
sedikit tebal dan tumpul. Kebanyakan hulu mandau terbuat dari tanduk rusa diukir berbentuk
kepala burung dengan berbagai motif seperti kepala naga, paruh burung, pilin dan kait.
Sarung mandau terbuat dari lempengan kayu tipis, bagian atasnya dilapisi tulang berbentuk
gelang, bagian bawah dililit dengan anyaman rotan.
Demikian juga senjata khas yang disebut sumpit yaitu jenis senjata tiup yang
dalamnya diisi dengan damak yang terbuat dari bambu yang diraut kecil dan tajam yang
ujungnya diberi kayu gabus sebagai keseimbangan dari peluru sumpit. Kekuatan jarak tiup
sumpit biasanya mencapai 30-50 meter. Sumpit terbuat dari kayu keras berbentuk bulat
panjang menyerupai tongkat yang sekaligus merupakan gagang tombak dengan lubang laras
17
sebesar jari kelilingking yang tembus dari ujung ke ujung. Pada ujung sumpit di lengkapi
dengan mata tombak terbuat dari besi berbentuk pipih berujung lancip yang menempel diikat
dengan lilitan rotan.
Di samping kedua jenis senjata itu masih terdapat satu peralatan yang disebut telabang
atau perisai. Perisai ini terbuat dari kayu gabus dengan bentuk segi enam memanjang,
keseluruhan bidang depannya beragam hias topeng (hudoq), lidah api dan pilin berganda.
Anyam-anyaman
Kerajinan tradisional dari orang Dayak berupa anyam-anyaman yang terbuat dari bahan baku
rotan, terdapat di semua suku Dayak dengan pelbagai versi. Hal yang tampak khas terdapat
dalam dua bentuk yaitu anyam tikar dengan aneka macam motif hias dan sejenis keranjang
bertali yang lazim disebut anjat, kiang, berangka dan sebagainya.
Tembikar
Tembikar konon katanya berasal dari Cina, seperti bejana, tempayan, belanga, piring dan
mangkok sejak ribuan tahun lalu merupakan bagian dari tradisi kehidupan suku Dayak di
Kalimantan. Bahkan sebagian besar dari barang tersebut, terutama tempayan dan guci tidak
hanya memiliki nilai ekonomis, melainkan juga memiliki nilai sosio religius yang
difungsikan sebagai mahar (mas kawin) dan sarana pelbagai upacara adat, juga untuk
menyimpan tulang-tulang leluhur serta sebagai lambang status sosial seseorang.
Sistem Perladangan
Sistem perladangan dilakukan dengan cara berotasi atau bergilir, merupakan budaya khas
semua suku Dayak. Sistem perladangan semacam itu mempunyai kearifan dan pengetahuan
tersendiri, dalam hal pemeliharaan keseimbangan lingkungan.
Namun demikian, sistem perladangan semacam ini sering dipecundangi, dituduh tidak
produktif dan merusak hutan. Suatu vonis yang harus diluruskan sebab banyak penelitian
telah membuktikan salah satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dove (1988)
terhadap suku Kantu di Kalimantan Barat yang menyatakan sistem perladangan suku Dayak
tidak menyebabkan kerusakan hutan atau lingkungan.
4.5 Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Dayak Ketapang
Sistem geneologis dalam masyarakat Dayak adalah parental, bahwa garis keturunan
ayah dan ibu dianggap sama. Hal itu berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah
18
atauy lelaki) ataupun sistem matrilineal (garis keturunan ibu atau perempuan). Dalam struktur
masyarakat Dayak, pada khakikatnya kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama
dengan kaum laki-laki baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan religius. Hal itu tampak
jelas dalam peranan perempuan di pelbagai upacara adat.
Seni Tari
Dalam masyarakat Dayak, tarian dilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan serimonial.
Namun ada juga tarian yang sifatnya untuk kepentingan umum. Tarian Dayak pada
hakikatnya merupakan selebrasi kehidupan. Ragam tarian Dayak menunjukkan identitas khas
dari suku Dayak.
Karakteristik atau ciri-ciri pokok kebudayaan Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ukur tersebut, menurut Arman (1994) makin lama makin melemah. Rumah panjang yang ada
sudah semakin tua dan punah, sedangkan rumah-rumah baru diperkampungan orang Dayak
sudah berbentuk rumah individual. Mandau dan sumpit sudah semakin langka karena sudah
dibeli oleh turis manca negera dan turis domestik. Mandau bikinan baru tidak seindah
mandau bikinan dulu. Sumpitpun mengalami nasib yang sama dengan mandau, yang tinggal
hanya satu dua. Tembikar dulu dibawa ke Kalimantan oleh pedagang Cina dalam tukar
menukar produk dengan penduduk asli, kini mereka lebih suka membawa containers dari
seng atau plastik, karena lebih ringan untuk di bawa, dan orang Dayak sendiri tidak
berkeberatan menerimanya.
Sementara itu, sistem perladangan orang Dayak juga sudah mulai berubah, karena hutan
untuk ditebang dan dibakar juga semakin sempit. Sistem perladangan yang dulu masih
sustainable kini menurun produktivitasnya, karena masa bera yang semakin pendek dan
persyaratan-persyaratan lain yang tidak mungkin dipenuhi lagi. Demikian juga dengan seni
tari tradisional di manapun juga, tidak terkecuali seni Dayak, sedang mengalami perubahan
karena generasi sekarang banyak yang tidak menyukai lagi, sedangkan generasi tua sebagai
pewaris sudah banyak yang meninggal dunia.
Berdasarkan karakteristik atau ciri pokok kebudayaan Dayak, seperti telah dikemukakan oleh
Ukur tersebut yang oleh Arman keberadaannya sudah semakin lama makin melemah, paling
tidak dapat memberi suatu gambaran bahwa orang Dayak, walaupun diantara mereka terdapat
banyak sub-sub suku yang masing-masing memiliki perbedaan, namun masih memiliki
kesamaan unsur-unsur budaya.
19
4.6 Adat Buka Tanah Dayak Kayong
Sungai Laur terletak di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kecamatan ini terdiri dari
bebarapa desa yang mayoritas dihuni oleh suku dayak Kayong. Saat saya sampai di desa
Semapo Kecamatan Sungai Laur sedang ada acara adat buka tanah, yaitu acara adat untuk
mengawali suatu kegiatan penggalian tanah atau penebangan pohon.
Dayak Kayong yang menjadi mayoritas masyarakat di Kecamatan Sungai Laur masih
memegang teguh tradisi peninggalan leluhur mereka. Adat-istiadat dari acara orang menikah,
melahirkan, meninggal, menanam dan memanen padi, atau membuka lahan pasti didahului
dengan acara adat untuk memohon keselamatan dan berkah dari alam dan Tuhan. Agama
Katholik masih menjadi mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Dayak Kayong, jadi
peran tokoh agama terutama Pastor di daerah sini masih sangat signifikan.
Acara adat buka tanah biasanya dimulai dengan pemotongan ayam dan penyiapan sesaji
berupa beras dan sesaji lain. Setelah dibacakan doa-doa oleh tokoh adat selanjutnya ayam
dipotong. Darah dari ayam tersebut ditempatkan dalam suatu tempat kemudian dicampur
dengan beberapa bulu ayam.
rumah penyimpan padi dayak kayong
Ternyata campuran darah dan bulu ini ada manfaat dan arti simbolisnya, saya sebagai orang
luar diberi bulu ini di kepala, demikian juga beberapa teman yang datang, setiap kepala diberi
sedikit bulu sebagai tolak bala.
Setelah itu baru diadakan acara bergendang, atau nyayian-nyanyian warga dayak kayong.
Tentu saja dalam acara ada pembagian arak dan tuak dan saya tidak mau melewatkan acara
ini. Tuak merah, yaitu minuman mengandung alkhohol hasil ferementasi ketan hitam, rasanya
sangat enak dan membuat tubuh hangat. Mabuk tuak lebih lama daripada mabuk arak. Tuak
lebih manis daripada arak. Bagi para drunken master ditanggung betah dan ketagihan
menikmati tuak merah khas dayak ini.
Saya sempat mampir di rumah untuk menyimpan padi. Saya tidak tahu bagaimana warga
dayak kayong menyebut bangunan ini, kalau warga dayak kanayatn / dayak ahe menyebutnya
dengan dangau. Bangunan ini unik, mirip rumah adat dayak pada umumnya, cuma atapnya
sudah memakai seng, bukan dari sirap. Tapi struktur dan motifnya masih jelas menunjukkan
ciri khas bangunan dayak.
Banyak bangunan dengan ciri khas adat dayak ada di kalimantan ini. Beberapa mulai rusak
karena sudah tua, ada juga yang baru tetapi sudang mulai menggunakan bahan-bahan
modern. Bangunan dalam gambar tersebut setengah-setengah. Atapnya sudah menggunakan
seng, tetapi tangganya masih menggunakan tangga dari batang ulin. Tangga ini adalah tangga
20
khas rumah adat suku Dayak. Pelestarian rumah dan bangunan suku dayak harus ditingkatkan
sebagai budaya Indonesia yang mempunyai nilai khusus.
Investor-investor yang tidak bertanggungjawab mulai masuk ke dalam tanah orang dayak.
Kadang mereka hanya mengambil kekayaan alam masyarakat dayak dan melupakan
kewajiban mereka selaku investor seperti melakukan program corporate social responsibility
yang berkelanjutan (sustainable CSR). Contoh lain hanya mengambil mineral sebagai bahan
galian tambang tanpa melakukan revegetasi dan reklamasi. Perusahaan-perusahaan ini harus
diberi sanksi secara tegas karena yang mereka lakukan sebenarnya adalah menghancurkan
lingkungan dan ekologinya termasuk manusia dan peradabannya.
Hutan, tanah dan air adalah identitas utama bagi masyarakat dayak. Hutan harus diselamatkan
supaya air tetap terjaga. Tanah harus tetap dijaga jangan sampai diekspansi oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab, karena pindahnya kepemilikan tanah akan mengancam hutan
yang berada di atas tanah tersebut. Ketika identitas masyarakat dayak mulai tergerus maka
budayanya pun akan luntur, relakah kita? Tentu tidak!
4.7 Gelar Kehormatan Dayak Kayong
Peringatan Hari Pangan Sedunia Keuskupan Ketapang yang berlangsung di Paroki Santo
Petrus Rasul Nanga Tayap. Jarak paroki ini kurang lebih 200 kilometer dari Kota Ketapang.
Di acara itu, ditampilkan tumpeng dari bahan pangan lokal sebanyak 75 buah, persembahan
dari umat yang berasal dari pusat sampai pelosok paroki. Ini untuk merayakan kegembiraan,
bahwa tahun 2010 ini Uskup Ketapang Mgr Blasius Pujaraharja Pr memasuki usia 75 tahun.
Acara itu berlangsung 11 Oktober 2010, dan menjadi kenangan tersendiri bagi Mgr Pujo,
panggilan akrabnya. Karena pada peringatan ini, Mgr Pujo mendapat gelar kehormatan dari
masyarakat Dayak setempat.
Gelarnya adalah Gemale Keputot Cangkar Temage Pencinte Damai Semua Bangse. Artinya
adalah seorang tokoh panutan yang mencintai kedamaian dan mencintai semua masyarakat.
Demong adat setempat menjelaskan, gelar Gemale Keputot ini adalah gelar tertinggi dalam
masyarakat adat Dayak Kayong Ketapang. Hal yang tidak terlupakan dalam kegiatan
tersebut, adalah bahwa dalam perjalanan dari Kota Ketapang menuju Kecamatan Nanga
Tayap, uskup itu harus diangkat memakai traktor.
21
Wah, apa pasal? Saat itu hujan, jalan licin, dan di jalan menuju Nanga Tayap ada yang baru
ditimbun. Mobilnya nyangkut, Mgr Puja harus turun dari mobil dan berjalan kaki.
Malangnya, Uskup Pujo terjebak dalam kubangan lumpur sampai ke pangkal paha.
"Saya tidak bisa bergerak. Maju tidak bisa, mundur tidak bisa. Terpaksa saya diangkat pakai
traktor,” kenang Uskup Pujo.
Ya, gara-gara jalan jalan becek, jadilah pemegang gelar tertinggi Gemale tersebut, harus
diangkat traktor. Lepas dari kejadian tersebut, Uskup Pujo tetap senang melihat partisipasi
umat.
"Saya senang, dalam kegiatan Hari Pangan ini, umat dari berbagai wilayah sangat antusias
terlibat. Mereka datang dari berbagai pelosok, padahal, sekarang lagi musim hujan dan sulit
transportasi,” ucapnya. (*)
4.8 Rumah Adat Dayak Paya' Kumang
Rumah Adat Dayak yang terkenal di Kota Kayong, Ketapang ini. Letaknya berada di daerah
Payak Kumang tepat berada di depan pasar ikan Payak Kumang. Rumah adat Dayak ini
adalah rumah adat yang sering dipakai untuk acara-acara resmi dari kalangan orang Dayak
sendiri. Rumah adat ini juga sering dijadikan tempat beberapa acara pelantikan, musyawarah,
dan lain sebagainya.Beberapa dari kaum pemuda sering menggunakan tempat ini untuk
rekoleksi, acara perenungan, bahkan sempat pernah dijadikan lokasi syuting oleh artis anak
daerah Ketapang sendiri. Gedung ini sekarang telah dijadikan Paroki oleh pastor setempat
untuk membantu Paroki pertama mengembangkan umat di daerah Payak Kumang. Karena
kebanyakan umat dari seberang terlalu jauh untuk mencapai gereja Katedral yang berada di
A.Yani. Gedung tersebut menjadi Paroki yang diberi nama Paroki Santo Agustinus.
4.9 Cara masyarakat dayak menjaga keseimbangan alam
Beberapa tahun bergaul dengan masyarakat dayak, penduduk asli di Kalimantan saya
mendapatkan suatu filosofi yang sangat perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan oleh
masyarakat lain. Filosofi ini berkaitan dengan bagimana menjaga keseimbangan antara
manusia dengan manusia lain, dengan alam sekitarnya dan
dengan Sang Pencipta.
22
Beberapa contoh di bawah ini adalah cara-cara masyarakat dayak menjaga keseimbangan
tersebut :
Pola pembukaan lahan atau pembagian lahan adat, biasanya tanah yang menjadi hak ulayat
masyarakat adat yang saya ketahui di masyarakat adat dayak Kanayatn di daerah Kabupaten
Landak Kalimantan Barat atau biasa dikenal dengan dayak ahe adalah setiap orang
diperbolehkan membuka lahan dengan batasan setengah gantang, artinya lahan yang dibuka
ukuranya cukup unyuk menanam bibit padi yang banyaknya setengah gantang. Tujuan dari
pembatasan ini adalah, setiap manusia dianggap dapat hidup cukup dengan hasil panen lahan
seluas satu gantang selama musim panen, selain itu pembukaan lahan tidak secara besar-
besaran tetapi sesuai dengan kemapuan warga yang akan mengelola. Sebuah nilai
keseimbangan untuk menjaga alam dapat ditemukan dengan jelas dalam pola pembukaan
lahan ini, masyarakat harus memperhatikan alam dan sesama manusianya, tidak boleh
berlebihan atau rakus dan tetap harus memikirkan keberlanjutan alam.
Masyarakat dayak kayong, di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat mempunyai budaya
buka tanah, artinya siapapun juga yang ingin menggali tanah atau menebang pohon wajib
melakukan ritual memohon ijin kepada alam (roh-roh yang menguasai alam sekitar) supaya
diberi restu dan keselamatan. Jika dianalogikan dengan pemikiran masyarakat biasa hal ini
sebenarnya menunjukkan bahwa alam merupakan pusat kehidupan dan identitas masyarakat
dayak. Pada umumnya ada tiga hal yang menjadi identitas masyarakat dayak yaitu hutan,
tanah, dan air. Dalam adat buka tanah, orang yang ingin menggali lubang atau menebang
pohon biasaya memberikan sesaji. Ini adalah bentuk syukur atas kemurahan dan ijin dari
alam kepada manusia untuk memanfaatkannya. Di beberapa tempat yang didiami suku dayak,
menggali tanah adalah tabu, karena asumsinya bahwa buka tanah adalah untuk menguburkan
orang, buka tanah atau gali lubang adalah gali kubur. Jadi orang-orang yang akan menggali
tanah seperti menggali sumur diwajibkan melakukan ritual supaya tidak celaka. Hal ini
menjadi hambatan jika ada investor dari pertambangan yang akan melakukan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam yang ada. Pekerjaan eksplorasi pasti memerlukan penggalian
untuk meneliti potensi yang ada. Kearifan lokal buka tanah ini sebenarnya secara langsung
sudah menjadi bentuk nyata untuk menjaga keseimbangan manusia dengan alam.
Masyarakat dayak kanayatn atau dayak ahe mempunyai filosofi “Adil Ka’Talino, Bacuramin
Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata”. Kalimat ini menjadi kata pembuka wajib ketika seseorang
berbicara di depan umum dan biasanya yang mendengarkan kalimat tersebut akan
23
mengucapkan sapaan balasan “harus”. Saya pernah bertanya kepada tokoh adat dayak
kanayatn tentang arti kaliman tersbeut di atas yaitu : bersikap adil kepada sesama manusia,
bercermin atau melihat diri, atau lebih tepatnya dalam bahasa lain adalah memproyeksikan
diri ke Surga, bernafaslah kepada Tuhan. Artinya secara harafiah adalah masyarakat wajib
bersikap adil kepada sesamanya, manusia dalam bertingkah laku harus mengarah supaya
masuk ke surga, dan manusia bernafas kepada Tuhan, jadi Tuhan merupakan sumber hidup
manusia.
Masyarakat dayak tidaklah seperti yang diceritakan oleh orang-orang jaman dahulu (yang
saya ragukan jangan-jangan orang-orang yang cerita tentang masyarakat dayak belum pernah
ke Kalimantan dan hidup dengan masyarakat dayak.) Fakta yang saya temui orang dayak
polos dan jujur. Dia akan mengatakan A jika itu A, atau B jika itu B. Namun sayang diantara
kita masih ada yang tega mengambil hak orang dayak. Beberapa investor di bidang
perkayuan, perkebunan dan pertambangan melakukan ekspansi besar-besaran, dan melupakan
masyarakat dayak yang ada.
Alam tentu tidak akan tinggal diam, apalagi Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak investor yang
merasa bisa membeli apa saja di Kalimantan, Tetapi tentu saya masyarakat dayak sekarang
sudah mulai pintar, tidak mudah ditipu dengan janji-janji investor. Jika termakan janji tentu
saja masyarakat dayak akan gigit jari, identitas mereka akan hilang, tanah, hutan, dan air
menjadi rusak.
Jagalah kesimbangan hidup manusia dengan sama manusia, dengan alam dan dengan Sang
Pencipta, supaya anak cuku kita tidak menanggung dosanya.
4.10 Kamponk Tamawakng di ketapang
Komunitas masyarakat adat Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, sampai
sekarang masih memegang teguh kearifan lokal yang mereka miliki dalam menjaga dan
melestarikan alam, yaitu apa yang disebut sebagai Kampokng Tamawakng. Kearifan lokal ini
merupakan istilah lokal yang digunakan oleh Dayak Simpakng untuk menjelaskan konsep
pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan yang dilakukan secara terpadu
(Indigenous Integrated Natural Resources System Management).
24
Dalam kampokng temawakng terdapat berbagai macam jenis hewan piaraan, tanam
tumbuh yang dipelihara agar bisa memberikan penghidupan bagi masyarakatnya. Diantaranya
ada, tanaman durian, cempedak, duku, rambutan, langsat, mentawa, kelapa, pinang, dan
banyak tanaman lainnya.
Kepemilikan Kampokng temawakng berdasarkan garis keturuan kekeluargaan yang
bisa berkembang menjadi kepemilikan komunal oleh masyarakat dalam satu kampung.
Karena pada prinsipnya, kampokng temawakng ini bertujuan sebagai penyediaan atau asset
(investasi) untuk generasi berikutnya. Sehingga bagi orang dari luar kampung yang ingin
memanfaatkannya harus minta izin terlebih dahulu kepada masyarakat setempat, karena
keberadaannya sudah diatur dalam ketentuan adat istiadat kampung setempat. Bagi yang
melanggar ketentuan tersebut akan berhadapan dengan hukum adat.
Selain itu juga, kampokng temawakng berfungsi sebagai kekuatan masyarakat adat untuk
mempertahankan sumber-sumber penghidupannya dari ekspansi modal, pihak-pihak
berkepentingan yang ingin merampas kedaulatan wilayah adat dari eksistensi ekologisnya.
Secara legal, pengelolaan sumber daya alam melalui aktivitas kampokng temawakng ini
sangat kuat dan memiliki posisi tawar yang sangat tinggi. Maka, perlu disadari bahwa
masyarakat adat Dayak secara umum adalah komunitas ekologis dimana keberlangsungan
hidupnya sangat tergantung pada eksistensi alam yang ada.
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang
selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat
holtikultural Dayak dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan
membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem
kehidupan ini. Berdasarkan pandangan dunianya, masyarakat Dayak mamahami manusia itu
sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan.
Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur
manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua
unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing. Pandangan kosmologi
tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam
yang bersifat antropocosmic, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal
ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu dimana
manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja
penguasa atas alam.
25
Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup
yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak mempunyai sikap
menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam. Dengan demikian, manusia tidak
dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi
kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga kesejahteraan hidup manusia secara keseluruhan -
termasuk kesejahteraan hidup generasi yang akan datang- tetap akan tergantung dari
kesehatan dan kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan dan satu-satunya
lingkungan hidupnya. Religi yang telah diwariskan para leluhur dan telah diuji dan
dipraktekkan sepanjang sejarah kehidupan mereka sebagai peladang berpindah -telah berhasil
melestarikan lingkungan hidupnya.
Mereka melalui religinya telah berhasil membuat suatu bentuk kehidupan
berkelanjutan (sustainable life) dalam kehidupan mereka. Adat dan religi sebagai produk
akumulasi dari pengalaman manusia-produk adaptive strategy dalam interaksinya dengan
alam agar supaya mereka mampu bertahan hidup telah berkembang menjadi budaya
disepanjang kehidupan manusia tersebut. Melestarikan budaya berarti melestarikan
lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat etika lingkungan hidup. Mencela budaya
karena sifatnya lokal berarti mencela para leluhur yang telah mewariskannya yang sekaligus
menolak untuk melestarikan lingkungan hidup. Dengan melestarikan budaya maka berarti
kita akan tetap ada.
4.11 Pemerintah terhadap budaya dayak ketapang
Ketapang. Kepala Seksi (Kasi) Pelestarian Budaya Daerah Disbudparpora Ketapang,
Ermansyah mengatakan, pemerintah kini sedang melakukan inventarisasi peninggalan
budaya nenek moyang penduduk Ketapang yang kian punah.
Ermansyah menegaskan, geografis masing-masing daerah yang berjauhan menjadi
kendala pemerintah dalam mendata sejumlah budaya yang kini sebagian besar tidak memiliki
garis penerus alias menuju kepunahan.
“Ketapang memiliki banyak budaya potensial warisan nenek moyang, namun hingga
kini belum semua terdata, sebagian besar hampir punah serta tidak memiliki penerus,” ujar
Ermansyah.
26
Ermansyah mencontohkan, saat ini ada delapan tradisi masyarakat Ketapang yang
nyaris punah, di antaranya, pantun pemuar penyanget (lebah), pengrajin mandau, syair
gulung, pencak silat, ritual berobat kampung, rebana besar, hukum adat Dayak, pematung
khas Dayak, dan permainan bubu.
“Seperti pesta rakyat permainan bubu saat ini hanya ada di Kecamatan Sandai. Dan
itu satu-satunya di Kabupaten Ketapang yang tersisa. Kini kita mengalami kesulitan mencari
orang yang bisa memainkan permainan tersebut,” katanya.
Berdasarkan surat Balai Pelestarian Sejarah (BPS) Pontianak, Pemkab Ketapang 2011
mengajukan delapan calon penerima anugerah kebudayaan seni tradisi, di antaranya seni
tradisi pantun pemuar penyanget (lebah), pengrajin mandau, syair gulung, pencak silat, ritual
berobat kampung, rebana besar, hukum adat Dayak, dan pematung khas Dayak.
Ermansyah mengatakan, ke delapan calon penerima anugerah kebudayaan 2011 dari
Dirjen Kebudayaan itu memiliki beberapa persyaratan antara lain, punya keahlian seni tradisi
yang benar-benar menuju kepunahan, warga negara Indonesia, berusia di atas 55 tahun,
memiliki pengalaman di bidangnya minimal 35 tahun, dan memiliki kemampuan
membagikan keahliannya pada generasi penerus.
“Seperti seni tradisi pantun pemuar penyangat, pada zaman dahulu orangtua sering
menggunakan pantun untuk mengambil madu di hutan (atas pohon). Dengan melantunkan
pantun konon lebah menjadi jinak, tidak menggigit ketika madunya diambil,” tuturnya.
Demikian halnya dengan pengrajin mandau, ia mengatakan jumlah orangtua yang
memiliki keahlian itu kini sudah tidak banyak lagi, diperkirakan dua kesenian ini hanya
memiliki ahlinya satu hingga dua orang saja.
“Dengan mengajukan calon penerima anugerah kebudayaan pemerintah berharap bisa
melestarikan tradisi di Kabupaten Ketapang, yang tidak dimiliki daerah lain. Ini jadi potensi
kita,” pungkasnya.
27
BAB V
PENUTUP
Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki adat-istiadat dan hukum adat
tersendiri. Ketentuan-ketentuan yang merupakan pedoman hidup bagi warganya, ada yang
mengandung sanksi, dan ada yang tidak. Yang tidak mengandung mengandung sanksi adalah
kebiasaan atau adat istiadat, namun yang melanggar akan dicemooh, karena adat merupakan
pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa mereka secara turun temurun. Sedangkan
yang mengandung sanksi adalah hukum yang terdiri dari norma-norma kesopanan,
kesusilaan, ketertiban sampai pada norma-norma keyakinan atau kepercayaan yang
dihubungkan dengan alam gaib dan sang pencipta. Norma-norma itu disebut hukum adat.
Sistem kekarabatan pada orang Dayak pada adalah bersifat bilateral atau parental. Anak laki-
laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama, begitu juga dalam pembagian
warisan pada dasarnya juga tidak ada perbedaan, artinya tidak selamanya anak-laki mendapat
lebih banyak dari anak perempuan, kecuali yang tetap tinggal dan memelihara orang tua
hingga meninggal, maka mendapat bagian yang lebih bahkan kadang seluruhnya. Demikian
juga tempat tinggal setelah menikah pada orang Dayak lebih bersifat bebas memilih dan tidak
terikat. Sistem perkawinan pada dasarnya menganut sistem perkawinan eleotherogami dan
tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada sistem endogami atau eksogami,
kecuali karena hubungan darah terdekat baik dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketujuh.
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, misalnya
berburu, berladang, berkebun mereka pergi ke hutan. Mata pencaharian yang berorientasi
pada hutan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, dan ternyata berpengaruh
terhadap kultur orang Dayak. Misalnya rumah panjang yang masih asli seluruhnya dibuat dari
kayu yang diambil dari hutan, demikian juga halnya dengan sampan-sampan kecil yang
dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara mengeruk batang pohon, peralatan kerja
seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai dan sumpit semuanya (paling
tidak sebagian) bahan-bahannya berasal dari hutan.
Kesenian seperti seni tari, seni suara, seni ukir, seni lukis orang Dayak merupakan
salah satu aspek dari kebudayaan Dayak yang memiliki bentuk dan ciri-ciri khas pada tiap-
tiap sub suku Dayak. Walaupun demikian, pada hampir semua sub suku Dayak memiliki ciri-
ciri dasar yang sama atau mirip, hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan kekarabatan
pada masa lampau.
28
Hutan bagi masyarakat Dayak merupakan “dunia” atau kehidupan mereka.
Kedudukan dan peranan hutan semacam ini telah mendorong petani Dayak memanfaatkan
hutan di sekitar mereka dn sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya
demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri, kehidupan mereka sebagai individu
dan kelompok, dan juga demi hubungan baik mereka dengan alam dan Tuhan mereka. Untuk
melaksanakan tugas dan komitmen tersebut, masyarakat Dayak dibekali dengan mekanisme
alamiah dan nilai budaya yang mendukung, pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup
mereka dan pelestarian alam.
29
DAFTAR PUSTAKA
Arman, Syamsuni. 1989. Perladangan Berpindah Dan Kedudukannya Dalam Kebudayaan
Suku-Suku Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Makalah disampaikan dalam
Dies Natalis XXX dan Lustrum VI Universitas Tanjungpura.
Bamba, John, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menurut Budaya Dayak Dan
Tantangan Yang Di Hadapi, Dalam Kalimantan Review, Nomor 15 Tahun V,
Maret-April 1996, Pontianak.
Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus di Kalimantan Barat,
Yogyakarta: Gajahmada University Press.
---------. 1994. Kata Pengantar, Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan,
Dalam: Paulus Florus (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi,
Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Garna, Judistira, K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.
Ignatius. 1998. Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kampung Menyumbung (Sub Suku Dayak
Rio), Dalam, Kristianus Atok, Paulus Florus, Agus Tamen (ed), Pemberdayaan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, Pontianak: PPSDAK Pancur
Kasih.
Mering, Ngo. 1990. Inilah Peladang, dalam: Prospek No. 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah, Pontianak: Dalam
Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No. II Tahun V November 1990.
Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian
Plasma Nutfah, Dalam Kusnaka Adimihardja (editor), Petani Merajut Tradisi Era
Globalisasi, Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan,
Bandung: Humaniora Utama Press.
30
Ukur, Pridolin. 1994. Makna Religi Dari Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam
Paulus Florus (editor), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta:
LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Widjono, Roedy Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuang, Suatu Kearifan Tradisional
Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor
13 Tahun IV, Oktober-Desember.
---------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
31